• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH HADITS I PERILAKU HAWA NAFSU OLE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH HADITS I PERILAKU HAWA NAFSU OLE"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH HADITS I ( PERILAKU )

“ HAWA NAFSU ”

OLEH

KELOMPOK VI

1. Mia Audiana :1515040113

2.Ovi Yulia sari

3. Fatdli

DOSEN PEMBIMBING : Dra. Sarmida Hanum,

M.Ag

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM (PI-C)

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

(2)

1438 H / 2016 M

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Masyarakat dimana kita hidup di dalamnya dewasa ini berada dalam zaman dengan ciri yang paling jelas adalah membiarkan kan dirinya mengumbar hawa nafsu dan hanyut di

dalamnya, tanpa memperdulikan lagi kaidah-kaidah yang disyari’atkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kebanyakan manusia menghiasi hatinya dengan hawa nafsu. Dimana segala mungkin ucapan, perbuatan dan putusan-putusan mereka semuanya berhias hawa nafsu, segenap panca indera berselimutkan hawa nafsu, sehingga mereka tidak bisa melihat selain apa yang sesuai dengan nafsunya. Artinya mereka tidak bisa melihat fakta dan kebenaran, selain apa yang sesuai dengan pola pikir sendiri yamg sudah tidak lagi murni, seperti melihat cuaca yang berwarna gelap karena melihatnya dibalik kaca mata hitam. Hawa nafsu dibiarkan liar megikuti keinginan-keinginan tanpa sedikit pun upaya meredamnya.

Sejalan dengan itu maka kiranya dalam ulasan kali ini dipandang perlu untuk mengungkapkan sepintas tentang hawa nafsu agar dapat dijadikan bahan kajian guna

(3)

PEMBAHASAN

A.

HAWA NAFSU MEMPENGARUHI PERILAKU

يّتَح مُك ُدَح َأ ُنِم ؤُي َل : َل اَق ,َمّلَس َو ِهيَلَع ُل ا يلَص ّيِبّنل ا ِنَع ,ِص اَعل ا ِنب ورمَع ِنب ِل ا ِدبَع بَع ِهِب ُتـِج اَمِل اًعَبَت ُهاَوَه َنوُكَي

Artinya : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” .

B.

KEMAMPUAN MANUSIA MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

- ِةَعرّصل اِب ُدي ِدّشل ا َسيَل" : َل أق ,َمّلَس َو ِهيَلَع ُل ا يلَص ِا َلوُسَر ّنَأ -ُهنَع ُل ا يِضَر َةَر يَرُه يِب َأ نَع, ِبَضَغل ا َدنِع ُهَسفَن ُكِلمَي يِذّل ا ُدي ِدّشل ا اَمّن ِإ"

Artinya : Abu Hurairah r.a. berkata Rasulullah saw bersabda : Bukan seorang kuat karena bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah yang sanggup menahan hawa nafsunya ketika marah (Bukhari, Muslim)

- ٌر ِد اَق َوُه َو اًظيَغ َمَظَك نَم " : َل اَق َمّلَسَو ِهيَلَع ُل ا يّلَص ِا َل وُس َر ّن َأ ,ِهيِب َأ نَع ,ٍذ اَعُم ِنب ٍلهَس نع

َء اَش اَم ِنيِعل ا ِر وُحلا َنِم ُل ا ُهَرّيَخُي يّتَح ِةَم اَيِقل ا َم وَي ِقِء لَخل ا ِس وُءُر يَل َع ّلَجَو ّزَع ُل ا ُه اَع َد ,ُهَذِفنُي نَأ يَلَع"

Artinya : Barangsiapa yang menahan amarah padahal dia mampu untuk melampiaskan marahnya itu namun ia tidak melampiakannya maka nati pada hari kiamat Allah memenuhi hatinya dengan kerida’an .

A.

Pengertian Hawa Nafsu

Nafsu berasal dari bahasa Arab, yaiitu nafsun yang artinya niat . Nafsu ialah keinginan hati yang kuat. Nafsu merupakan kumpulan dari kekuatan amanah dan sahwat yang ada pada manusia. Menurut Agus Sudjanto nafsu ialah hasrat yang besar dan kuat, ia dapat

mempengaruhi seluruh fungsi jiwa . Hawa nafsu ini bergerak dan berkuasa di dalam kesadaran. Nafsu memiliki kecenderungan dan keinginan yang sangat kuat, ia memengaruhi jiwa

seseorang, inilah yang disebut hawa nafsu .

(4)

perlu diperbaii dan dibina. Cara membina Nafsu ialah dengan TAZKIYAT AN-NAFSI, maksudnya pembersihan jiwa dan juga meliputi pembinaan dan pengembangan jiwa.

B

.

HAWA NAFSU MEMPENGARUHI PERILAKU

Ibn Rajab menjelaskan, yang dimaksudkan adalah kitab, Al-Hujjah ‘alâ Târik al-Mahajjah, oleh Syaikh Abu al-Fatah Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i al-Faqih az-Zahid. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Al-Hafizh Ibn Abi ‘Ashim al-Ashbahani dalam As-Sunnah li Ibn Abi ‘Ashim; al-Hasan bin Sufyan Abu al-‘Abbas an-Nasawi (w. 303 H) dalam kitabnya, Al-Arba’un li an-Nasawi; Ibn Baththah dalam Al-Ibânah Kubrâ; Khathib al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdad; al-Baihaqi dalam Al-Madkhal; dan al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Fath al-Bârî mengatakan tentang hadis ini: Al-Baihaqi telah mengeluarkan di dalam Al-Madkhal dan Ibn ‘Abd al-Barr dalam Bayân al-‘Ilmi dari jamaah tabi’in seperti al-Hasan, Ibn Sirin, Syuraih, asy-Sya’bi dan an-Nakha’i dengan sanad-sanad baik; tentang celaan terhadap perkataan semata menurut ra’yu (pikiran). Semua itu dihimpun oleh hadis penuturan Abu Hurairah ra., “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Hadis ini dikeluarkan oleh Al-Hasan bin Sufyan dan lainnya. Para perawinya tsiqah dan an-Nawawi telah

mensahihkan hadis ini di akhir Al-Arba’un.

Dalam hadis ini Rasulullah saw. menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang memperlakukan al-hawâ supaya imannya sempurna. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, hawâ an-nafsi adalah keinginan jiwa. Para ahli bahasa mengatakan,al-hawâ adalah kecintaan manusia terhadap sesuatu dan dominannya kecintaan itu atas dirinya. Abu al-‘Abbas al-Fayyumi dalam Mishbah al-Munir menjelaskan, al-hawâ adalah jika kamu menyukai sesuatu dan terkait dengannya. Kemudian kata al-hawâ digunakan untuk menyebut kecenderungan jiwa dan penyimpangannya ke arah sesuatu, lalu digunakan untuk menyebut kecenderungan yang tercela.

Di dalam At-Ta’rifât, al-Jurjani menjelaskan bahwa al-hawâ adalah kecenderungan jiwa (mayl an-nafsi) pada syahwat yang menyenangkannya tanpa alasan syariah. Muhammad Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ juga menjelaskan, al-hawâ adalah kecenderungan jiwa pada apa yang disukai tanpa memperhatikan hukum syariah dalam hal itu.

Jadi, secara bahasa al-hawâ adalah kecenderungan, keinginan atau kecintaan secara mutlak. Namun, dalam penggunaannya, kata al-hawâ itu jika disebutkan secara mutlak maka yang dimaksudkan adalah kecenderungan pada apa yang menyalahi kebenaran.

(5)

Dengan demikian hadis ini bermakna: seseorang tidak akan mencapai derajat Mukmin yang paripurna imannya sampai seluruh keinginan, kecenderungan dan kecintaannya mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul saw.; baik perintah, larangan ataupun yang lainnya. Dengan itu ia menyukai apa yang diperintahkan dan tidak menyukai apa yang dilarang .

Dalam Al-Qur’an Hawa Nafsu dijelaskan dalam surat :

1.

Surat AL-Jaatsiyah : 45

يِذّلا ءاَوْهَأ ْعِبّتَت َلَو اَهْعِبّتاَف ِرْمَ ْلا َنّم ٍةَعيِرَش ىَلَع َكاَنْلَعَج ّمُث

Arinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.( QS.Al Jaatsiyah : 45 )

2.

Surat Yusuf : 53

ٌميِحّر ٌروُفَغ يّبَر ّنِإ َيّبَر َمِحَر اَم ّلِإ ِءوّسلاِب ٌةَراّمَل َسْفّنلا ّنِإ يِسْفَن ُءىّرَبُأ اَمَو

Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.

Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.( QS. Yusuf : 53 )

C.

KEMAMPUAN MANUSIA MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

Penjelasan Hadits Ke-1

Psikologi atau 'ilm al-nafs dalam pandangan Imam al-Ghazali Termasuk dalam kategori ilmu-ilmu terapan. Psikologi pada hakekatnya bertujuan melatih jiwa (riyadhah) dan

pengendalian hawa nafsu (mujahadatul hawa). Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana melatih jiwa dalam bermuamalah kepada seluruh anggota keluarga, pembantu dan budak. Dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin, beliau menjelaskan bahwa mempelajari disiplin ilmu jiwa ini adalah wajib. Sebab dengan menguasai ilmu inilah tercapainya cara-cara pensucian jiwa. "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (QS. 91:9). Sedangkan

(6)

mengotori jiwanya" (QS. 91:10). Hal ini dikarenakan bahaya penyakit kalbu lebih parah daripada penyakit fisik. Sebab penyakit fisik hanya merenggut kehidupan yang fana, sementara penyakit hati menyebabkan kehancuran pada kehidupan yang abadi. Maka perhatian terhadap kecermatan tentang kaedah-kaedah penyembuhan penyakit kalbu harus lebih diutamakan.

Di samping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu jiwa pada intinya difokuskan untuk mengarahkan tiga kekuatan dalam diri manusia, yakni kekuatan fikir, kekuatan syahwat dan kekuatan amarah. Maka jiwa yang sehat akan terwujud, jika ketiga kekuatan tersebut terarah dan terbina dengan baik. Fokus pertama adalah pembinaan kekuatan fikir. Dan terbinanya potensi fikir membuka manusia meraih hikmah. Dengan hikmah, manusia tidak lagi

mencampuradukkan antara keimanan terhadap yang hak dan batil, antara perkataan yang benar dan dusta, antara perbuatan yang terpuji dan tercela, dst. Hikmah juga menjaga akal manusia agar tidak terjerumus kedalam limbah relativisme dan belantara purba sangka dalam berislam.

Yang kedua, fokus ilmu jiwa ditujukan pada pengarahan kekuatan syahwat. Dengan terarahnya potensi ini, maka tercapailah kesederhanaan jiwa ('iffah). 'Iffah akan membentengi manusia dari perbuatan maksiat dan senantiasa mendorongnya untuk mendahulukan perilaku yang terpuji. Sedangkan fokus ketiga diarahkan untuk mengendalikan kekuatan amarah hingga tercapainya kesabaran (hilm) dan keberanian (syaja'ah).

Maka keadilan akan bersemai dalam jiwa seseorang, jika dia telah berhasil mengelola ketiga kekuatan di atas. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. 49:15)

Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya pada ayat di atas disertai dengan menafikan keraguan. Dan keraguan hanya bisa dinafikan dengan adanya keyakinan ilmu dan hikmah, yang diperoleh dari terarahnya potensi fikir. Berjihad dengan harta terlaksana berkat 'iffah yang lahir dari potensi syahwat yang telah dikendalikan. Sedangkan berjihad (mujahadah), tidak terlaksana kecuali adanya keberanian dan kesabaran yang merupakan buah pengendalian potensi amarah.

Dengan demikian jiwa yang sehat itu menurut imam al-Ghazali, jika ia dihiasi dengan empat induk kesalehan, yakni hikmah, kesederhanaan ('iffah), keberanian (syaja'ah) dan keadilan ('adalah). Beliau menjelaskan bahwa kerelaan memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja'ah) yang sempurna. Kesempurnaan 'iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada orang yang terus berbuat kikir terhadapnya. Sedangkan kesediaan untuk tetap menjalin silaturrahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan adalah wujud dari ihsan yang sempurna. (lihat: Mizanul 'Amal). Sebaliknya, ciri-ciri jiwa yang sakit adalah kosongnya jiwa dari keempat induk kesalehan di atas. Sakit jiwa bukan sekedar hilangnya akal (gila), tetapi ia juga hilangnya ketaatan pada Sang Khalik.

(7)

hawa nafsu dan bahkan menjadikannya tuhan sesembahannya (lihat QS. 25:43 dan QS. 45:23). Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya ini akan cenderung pada kesesatan, karena pendengaran dan kalbunya sudah terkunci. Mereka diibaratkan seperti anjing (QS. 7:176), oleh karena itu tidak layak dijadikan pemimpin.

Kedua, orang yang selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya. Maka terkadang ia mampu mengendalikannya dan terkadang tidak. Mereka ini tergolong mujahidin. Jika saat kematian datang menjemputnya, sedangkan ia dalam usaha mengendalikan hawa nafsunya, maka ia tergolong syuhada'. Sebab ia sedang menyibukkan dirinya menjalankan perintah Rasulullah SAW untuk memerangi hawa nafsu seperti memerangi musuhnya.

Ketiga, golongan yang berhasil mengendalikan hawa nafsu dan mengalahkannya dalam kondisi apapun. Mereka inilah golongan penguasa sejati yang telah terbebas dari belenggu hawa nafsu. Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh orang yang menduduki peringkat ini, hingga Nabi pun bersabda bahwa setan akan mengambil jalan yang tidak dilalui Umar.

Oleh sebab itu, dalam rangka melepaskan belenggu nafsu dan untuk meraih

kebahagiaan hakiki, beliau menjelaskan empat kiat, yaitu mengenal diri, mengenal Pencipta, mengenal hakekat dunia dan mengenal hakekat akherat. Dalam proses mengenali diri, Imam Imam al-Ghazali memberikan bahan introspeksi harian (muhasabah).

Masih dalam rangka mengenali diri, Imam al-Ghazali menjelaskan adanya empat potensi dalam diri manusia, dimana masing-masing memiliki kebahagiannya sendiri. Keempat potensi tersebut adalah sifat binatang ternak, sifat binatang buas, sifat setan dan sifat malaikat. Beliau pun menguraikan sebagai berikut: "Sesungguhnya kebahagiaan binatang ternak itu di saat makan, minum, tidur dan melampiaskan hasrat seksnya. Jika Anda termasuk golongan mereka, maka bersungguh-sungguhlah dalam memenuhi kebutuhan perut dan kemaluan. Kebahagiaan binatang buas itu dikala ia berhasil memukul dan membunuh. Kebahagiaan setan itu ketika ia berhasil melakukan makar, kejahatan dan tipu muslihat. Jika Anda berasal dari golongan mereka, maka sibukkanlah diri Anda dengan kesibukan setan. Sedangkan

kebahagiaan malaikat itu tatkala ia menyaksikan indahnya kehadiran Tuhan. Maka jika Anda termasuk golongan malaikat, bersungguh-sungguhlah dalam mengenali asal-usul Anda, hingga mengetahui jalan menuju kepada-Nya dan terbebas dari belenggu syahwat dan amarah". (lihat: Kimiya al-Sa'adah).

Menurut Imam al-Ghazali, kebahagiaan dan jiwa yang sehat itu diawali dengan ilmu pengetahuan. Maka barang siapa yang sudah hilang kemauan untuk mencari Ilmu, maka orang itu ibarat orang yang habis seleranya untuk memakan makanan yang baik; atau seperti orang yg lebih suka makan tanah daripada makan roti. Sebab kebahagiaan hakiki adalah hakekat

spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal mutlak tentang hakikat alam, identitas diri dan tujuan hidup. Kesemuanya itu berawal dari ilmu dan bermuara pada mahabbatullah (cinta kepada Allah) .

(8)

اًظيَغ َمَظَك نَم, artinya dan orang – orang yang menahan amarahnya. Diceritakan bahwa Umar Bin Abdul Aziz melihat seseorang yang sedang mabuk, dan ia bermaksud untuk menghukum orang yang mabuk itu, namun orang yang mabuk itu mencaci maki kepadanya. Ketika orang yang mabuk itu selesai mencaci maki, Umar kembali, tidak jadi menghukumnya. Lalu ada seseorang yang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mu’minin, kenapa ketika ia selesai mencaci maki kamu, justru kamu menginggalkannya ?” ‘Umar menjawab : “Karena ia memarahi aku, dimana sekiranya aku menghukumnya, niscaya aku berada dalam keadaan marah, dan aku tidak suka memukul seseorang Muslim untuk membela diriku sendiri .

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih dimana ia berkata : “Pada kalangan Bani Israil ada seseorang yang ahli Ibadah akan disesatkan oleh syetan namunsyetan tidak mampu. Pada suatu hari, orang itu keluar untuk suatu kepentingan, lalu syetan mengikutinya, dengan harapan syetan itu bisa memperoleh kesempatan untuk menggodanya. Syetan lantas mulai berusaha menggodanya melalu syahwat dan marah, namun ia tetap tidak berhasil. Syetan itu

menggodanya melalui rasa takut dimana ia membuat bayang – bayang seolah – olah orang itu akan dijatuhi batu besar dari gunung, namun orang itu berdzikir kepada Allah, sehingga ia selamat. Syetan lalu menyerupai harimau dan binatang buas namun ia tetap tabah dengan berdzikir kepada Allah, sehingga ia selamat. Syetan lalu menyerupai ular dimana ketika ia sedang shalat ular alsu itu melilit pada kedua kaki dan badanya sampai ke kepalanya, dan bila ia hendak meletakkan kepala untuk bersujud, ular palsu itu membuka mulut seolah – olah akan mencaplok kepala orang itu namun ia tidak takut, ia menyingkirkan ular palsu itu dengan tangganya sehingga ia bisa sujud. Setelah shalat orang itu selesai, syetan menemuinya seraya berkata :”Aku telah berbuat begini dan begitu tetapi sedikit pun aku tidak mampu menggoda kamu ; dan kini aku ingi bersahabat dengan kamu dan tidak akan lagi – lagi menggoda kamu”. Orang itu berkata kepada syetan : “Sewaktu kamu menakut – nakuti aku, Alhamdulillah aku tidak takut dan kini tidak perlu bagiku untuk bersahabat dengan kamu”. Setan berkata kepadanya : “Apakah kamu tidak ingin menanyakan tentang nasib keluargamu nanti setelah kamu mati ?” Ia menjawab : “Tidak ada urusan, aku telah mati sebelum mereka”. Syetan berkata kepadanya : “Apakah kamu tidak ingin bertanya kepadaku tentang bagaimana cara aku menyesatkan manusia ?”. Ia menjawab : “Ya, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang dengannya kamu berhasil menyesatkan manusia”. Syetan itu berkata : “dengan tiga hal yaiitu : KIKIR, MARAH, DAN MABUK. Seseorang itu bila kikir, ia selalu menganggap sedikit apa yang dimilikinya sehingga ia tidak mau mengeluarkan kewajiban – kewajibannya dan ingin memiliki apa yang dimiliki seseorang. Seseorang itu bila sedang marah, kami mempermainkan orang itu sebagaimana anak – anak mempermainkan bola ; meskipun ia dapat menghidupkan orang mati dengan doanya, kami tidak putus asa untuk dapat menggodanya karena ia

membangun kami dari kami yang merobohkannya dengan satu kata saja. Dan seseorang bila sudah mabuk, kami menuntunnya ke segala perbuatan yang jahat yang kami kehendaki sebagaimana kambing yang ikut saja bila dituntun” .

(9)

PENUTUP

KESIMPULAN

Nafsu adalah suatu keinginan yang harus dipenuhi. Nafsu sering berkonotasi negatif seperti bernafsu besar dan lain sebagainya. Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan Allah swt. Dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.

Tingkatan nafsu ada tiga yakni nafsu ammarah bissu’(diri yang buruk), lawwamah (diri yang menyesal), nafsu muthmainah(diri yang tenang), yang masing- masing mempunyai kriteria sendiri.

(10)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

► Al-Qur’an dan terjemahan

► Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam.

► Al-Lu’Lu’ Wal Marjan, Himpunan Hadits Shahih yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, terjemahan H.Salim Bahreisy, jilid 2, PT.Bina Ilmu 2006.

► Shabir Muslich, KITAB TANBIHUL GHAFILIN, Semarang : CV.Toha Potra Semarang, 1993.

► Yunus Mahmd, KAMUS ARAB INDONESIA, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemah, 1998

► Sudjanto Agus, PSIKOLOGI UMUM, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.

► Abdullah Yatim, STUDI AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN, Jakarta : Amzah, 2007

► Drajat Zakiah, TAZKIYAH AL-NAFS,Jakarta: Gunung Agung, 1983.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan, maka yang menjadi batasan masalah penelitian adalah tentang pemahaman struktur dan nilai-nilai moral dalam pantun pada acara

Analisa bivariat dengan uji Chi Square , bertujuan untuk mengetahui hubungan umur ibu, paritas, pendidikan, status ekonomi, jarak antar kehamilan, ANC dan kepatuhan

Pera/atn Kesehatan 4asyarakat (Perkesmas) Pencatatan di 7ormat ;suhan Kepera/atan Dan Register Di kohort Keluarga Kemudian semuanya direkap di laporan bulanan perkesmas

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, setelah melalui tahap pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan yang terakhir melakukan analisis

Maka Pemerintah Indonesia mencanangkan sebuah Program yang diharapkan mampu mengatasi atau setidaknya menekan sejumlah permasalahan terkait laju penduduk yang tidak

Pengisian evaluasi dalam rekam medis adalah hasil dari evaluasi perencanaan dan implementasi yang sudah dilakukan oleh masing-masing profesi dan ditanyakan

dan n %u %u&u &u. ;ntu& itu< &ami menghara,&an &e&urangan dan masih !auh dari &esem,urnaan.. #alah satu su% sistem &esehatan nasional

Pelaksanaan kegiatan, setelah bahan dan peralatan disiapkan, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan kegiatan yaitu dilakukan kegiatan berupa pengoperasian/