• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum pidana internasional dalam arti se (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum pidana internasional dalam arti se (1)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Pidana Internasional (dalam arti sempit) dan

penyelenggaraan hukum di Indonesia

Tristam P. Moeliono (1/6/2016)

Pendahuluan

Persoalan konkrit yang menjadi pemicu telaahan ini adalah mengapa masyarakat internasional dianggap berwenang, bekerja melalui Mahkamah Pidana Internasional1 (dan mungkin juga Dewan Keamanan PBB), memaksa negara nasional berdaulat (casu quo: Indonesia) bereaksi terhadap pelanggaran hukum pidana yang kerap dipersamakan begitu saja dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sepenuhnya dalam yurisdiksi hukum nasional? Apakah benar, bila Indonesia suatu saat memutuskan untuk meratifikasi Statuta Roma dan menundukkan diri pada yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, dengan itu kita sebenarnya sedang menggadaikan kedaulatan (hukum) kita? Terutama karena dengan itu kita membuka peluang bagi masyarakat internasional (cq. negara maju) untuk mempermalukan kehormatan Negara -bangsa bilamana pimpinan sipil atau militer (baik mantan maupun yang masih aktif) dipanggil, dituntut dan diperiksa di hadapan Mahkamah Pidana Internasional? Hal mana sudah terjadi, misalnya, dengan negara Sudan, tatkala Pres. Sudan O a Ba as i dinyatakan oleh Penuntut Umum Mahkamah Pidana Internasional sebagai tersangka pelaku sejumlah pelanggaran berat hak asasi manusia.2

1

Sudah sejak 1948, PBB mengembangkan gagasan pendirian mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen. Pada 1998 diselenggarakan konferensi (15 june-17 july 1998) di Roma yang menghasilkan traktat final dari pendirian International Criminal Court. Statuta ini diadopsi oleh 120 negara; 7 menentang dan 21 negara abstain. Pada 01.07.2002, Statuta ini mulai berlaku dan mengikat (enter into force) dengan jumlah state parties 122: state signatories: 31. Untuk informasi umum dan muatan isi Statuta Roma periksa:

http://www.icrc.org/ihl/INTRO/585?OpenDocument. Baca pula Elsam, Mengenal Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, 2009. Sejak pengadilan dibentuk bulan Juli 2002, Mahkamah Pidana Internasional telah mendirikan kantor di Den Haag dengan 3 organisasi utama

pengadilan: Kantor Jaksa Penuntut, Kepresidenan/Hakim dan Pejabat Catatan Sipil. 2

Prosecution application for a warrant of arrest: 14 July 2008, First warrant of arrest issued by Pre-Trial Chamber I: 4 march 2009; second warrant of arrest issued by Pre-Trial Chamber I, 12 july 2010. Mr Al Bashir is allegedly criminaly responsible for ten counts on the basis of his individual criminal responsibility under Article 25(3)(a) of the Rome Statute as an indirect (co) perpetrator including: five counts of crimes against humanity: murder - Article 7(1)(a); extermination - Article 7(1)(b); forcible transfer - Article 7(1)(d); torture - Article 7(1)(f); and rape - Article 7(1)(g); two counts of war crimes: intentionally directing attacks against a civilian population as such or against individual civilians not taking part in hostilities -Article 8(2)(e)(i); and pillaging - Article 8(2)(e)(v). Three counts of genocide: genocide by killing (article 6-a), genocide by causing serious bodily or mental harm (article 6-b) and genocide by deliberately inflicting on each target group conditions of life calculated to bring about the group's physical destruction (article 6-c). Periksa: http://www.icc-cpi.int/ (28/01/2015). Namun sampai dengan sekarang

ICC elu e hasil e e iksa da e gadili ka e a pe la a a da i ega a- ega a Af ika se di i. Ba a Case:

(2)

Kemungkinan besar itulah alasan Indonesia kemudian – dengan mengenyampingkan janji-janji sepihak pemerintah untuk segera meratifikasi3 - pada 2013 memutuskan untuk tidak meratifikasi Statuta Roma.4 Untuk sebahagian alasan yang diajukan bersifat sangat politis: ratifikasi dapat disalahgunakan untuk mencampuri urusan internal Indonesia. Alasan lain adalah tidak adanya urgensi dan sudah adanya sejumlah instrumen hukum nasional untuk menjawab kebutuhan penanganan pelanggaran hak asasi manusia berat. Menteri Pertahanan Indonesia (masa pemerintahan Pres. Soesilo Bambang Yudhoyono), Purnomo Yusgiantoro, menyatakan:5

There are many countries, including major democratic countries [such as the US] that have yet to ratify the Rome Statute, although there are equally a large number of countries that have adopted it. Each of them has their own interest in the decision. Therefore, we need more time to carefully and thoroughly review the pros and cons of the ratification. (...) the ratification was not urgent because Indonesia already had national legal instruments, such as the 1945

Constitution, the 1999 law on human rights and the 2000 law on rights tribunals, which were enough to serve as a foundation for human rights protection in the country.

Kebijakan legislasi, dengan kata lain, tidak memandang mendesak ratifikasi Statuta Roma karena hukum nasional kita sudah memadai untuk melindungi hak asasi di tingkat nasional (terhadap ancaman

terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat). Sepaham dengan itu adalah pandangan Romli Atmasasmita (guru besar dari Fakultas Hukum UNPAD) yang juga menganjurkan dibuat dan disempurnakannya ketentuan-ketentuan hukum pidana (khususnya berkenaan dengan dua/tiga

kejahatan internasional) dan sistem peradilan pidana biasa maupun yang dikhususkan untuk menangani tindak pidana luar biasa tersebut. Bahkan ia mempertanyakan apakah mungkin dengan ratifikasi Statuta Roma, kedaulatan hukum NKRI juga akan dilaksanakan oleh sebuah Badan peradilan (internasional) lainnya?6 Singkat kata kita tidak perlu meratifikasi statuta Roma. Sebaliknya, yang kita perlukan adalah memperkuat sistem hukum pidana nasional.

Apakah persoalannya betul sesederhana itu? Pertama apakah sistem hukum pidana nasional sudah cukup memadai untuk mencegah dan/atau menanggulangi pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi? Hal ini akan dibahas di bawah ketika kita membahas reaksi Indonesia terhadap kasus

pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh dan Timor-Timur.

Kedua, apakah Indonesia serupa dengan Amerika Serikat – yang kiranya juga punya alasan dan

kepentingan berbeda - dapat bersikap serupa berhadapan dengan Mahkamah Pidana Internasional dan Statuta Roma? Dituliskan bahwa Amerika Serikat menolak Statuta Roma karena:7

3

Termuat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. 4Ma ga eth “. A ito a g,

Govt officially rejects Rome Statute , The Jakarta Post, Jakarta, May 21 2013).

5 Ibidem.

6‘o li At asas ita, ‘atifikasi “tatuta ICC: P o le a da P ospek a ; di uat dala

http://romliatmasasmita.blogspot.com/. Bdgkan pula dari penulis sama, Hukum Pidana Internasional dalam Kerangka Perdamaian dan Keamanan Internasional, Jakarta: Fikahati Aneska, 2010. Baca khususnya Bab V (penutup).

7

(3)

… its o e that it ight o e da ha e to surrender a citizen, particularly a member of its government or armed forces, to the jurisdiction of the International Criminal Court (ICC). The United States also feared, and continues to fear, that the ICC will deny U.S. citizens the procedural due process rights guaranteed to them in the U.S. Constitution

Di samping itu, pada 2002, U.S. President George Bush mengesahkan rancangan undang-undang, American Servicemembers Protection Act (ASPA) 2002. Human Rights Watch mengecam peraturan tersebut dan menyebutnya Hague Invasion Act karena memberikan kewenangan pada militer Amerika untuk menggunakan kekuatan militer demi membebaskan warga Amerika bahkan warga negara asing dari negara yang bersahabat dengan Amerika (U.S. allied country) yang ditahan oleh Mahkamah di Belanda. Sebagai tambahan, peraturan tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menarik bantuan militer Amerika dari negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma terkecuali negara tersebut menjamin imunitas.8 Pada saat sama ketentuan ini dapat

dikesampingkan setiap saat oleh presiden atas dasar national interest .9

Artinya pemerintah Amerika Serikat justru memboikot tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dengan pertama menuntut perlakuan istimewa bagi pasukan militernya yang diyakini bertugas memelihara perdamaian keamanan internasional maupun kepentingan nasional Amerika di manapun juga dan sekaligus menekan negara-negara lain agar memberikan immunitas kepada tentara Amerika bilamana mereka bersalah melakukan kejahatan yang masuk kewenangan Mahkamah Pidana Internasional.

Berkaitan dengan ini dapat kita telusuri pula penyebaran dan keterlibatan pasukan militernya dalam ragam operasi militer (rahasia/terbuka) di manca negara (Indonesia (PRRI/Permesta; a ; PKI -67); Nicaragua, Granada, Irak (Perang Teluk I & II), Afghanistan (di masa pendudukan Uni Soviet dan pas a aksi te o is e / atau dite patka se agai pasuka ta u pe a e Okinawa-Jepang atau di De-Military Zone sepanjang perbatasan Korea Utara-Selatan) atau terkait dengan peran Armada Angkatan Laut Amerika (khususnya Armada ke-7) untuk menjaga kepentingan Amerika (dan perdamaian-keamanan internasional) di lautan Pasific dan negara-negara yang berbatasan.

Pada saat sama sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB – sekalipun bukan pihak dalam Statuta Roma – Amerika Serikat, berbeda dengan Indonesia, justru dapat – dengan menggunakan posisinya di Dewan Keamanan PBB sebagai anggota tetap, baik dengan memberikan suara atau justru abstain - memerintahkan Prosecutor ICC (by referral) untuk memeriksa pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang berpotensi mengancam keamanan dan perdamaian internasional. Berkaitan dengan ini

8

Disebut Bilateral non-surrender agreements, Article 98 agreements atau Bilateral immunity agreements (BIAs). Tujuannya adalah melindungi warga Amerika Serikat dari yurisdiksi ICC. Periksa: http://www.iccnow.org yang memuat daftar US Bilateral Immunity Agreements (BIAs), 22/02/2015.

9A up “hah, U ited “tates a d the I te atio al C i i al Cou t dala

(4)

perlu diperhatikan keterjalinan Mahkamah Pidana Internasional dengan Persekutuan Bangsa-Bangsa khususnya Dewan Keamanan. Keterjalinan ini jelas muncul dalam Statuta ICC:10

(...) where the Security Council maintains two distinct powers in the functioning of the ICC. First, under Article 13(b) the Security Council may, acting under Chapter VII of the UN Charter, refer a situation to the ICC. The referral power of the Security Council is unique in that it allows the ICC to bypass the territory and nationality bases for jurisdiction required for a State party referral or the Prosecutor acting in proprio motu. Second, under Article 16 the Security Council may, acting under Chapter VII, request the ICC to defer a situation or prosecution for a period of twelve months, with the possibility of renewal.

Artinya Amerika Serikat yang menolak tandatangan Statuta ICC, bahkan melalui bilateral immunity agreements berupaya memangkas kewenangan ICC, justru sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan dapat menggunakan kewenangannya untuk menggerakan Mahkamah Pidana Internasional bekerja11 atau sebaliknya menahan Mahkamah untuk tidak memeriksa kasus pelanggaran hak asasi manusia berat terjadi di manapun (di luar Amerika Serikat) yang dilakukan semua orang (kecuali warganegara Amerika). Maka apakah sikap Amerika Serikat terhadap Mahkamah Pidana Internasional dan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat dapat atau pantas kita jadikan acuan?

Lagipula satu hal yang kiranya luput dalam argumen di atas tentang tidak perlunya Indonesia meratifikasi adalah perhatian pada fakta jangkauan keberlakuan hukum pidana internasional tidak terbatas dan berhenti hanya pada apa yang tertuang secara eksplisit di dalam Statuta Roma (perjanjian internasional yang mendasari pembentukan International Criminal Court). Norma-norma hukum pidana substantif ataupun prosedural yang dicakupkan ke dalam Statuta Roma dapat pula dipahami tidak saja sebagai bagian dari doktrin yang mapan (pendapat hukum ahli hukum pidana internasional yang terkemuka), jurisprude e aik da i pe adila pida a i te asio al a g muncul sebelum pendirian Mahkamah Pidana Internasional maupu sesudah a aupu se agai agia da i huku ke iasaa i te asio al atau p i sip-prinsip hukum umum yang diakui bangsa- a gsa e ada .

Bertolak belakang dari itu, Abdul Kadir Jailani dari KeMenLu RI,12 justru menyatakan perlunya Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma dan mengecam keengganan pemerintah untuk merealisasikan

Peraturan Presiden 23/2011 (ranhamnas 2011-2014). Ia menyatakan bahwa penolakan Indonesia untuk

10

CONDO‘ELLI, Luigi & “a tiago Villalpa do . ‘efe al a d Defe al the “e u it Cou il . Dala A to io

Cassese, Paola Gaeta & John R.W.D. Jones (eds.). The Rome Statute of the International Criminal Court. Volume I. Oxford: Oxford University Press, 2002, p. 627; Periksa pula Article 24 and Article 39, UN Charter, 1 U.N.T.S. XVI (1945).

11 Corrina Heyder, The U.N. Security Council's Referral of the Crimes in Darfur to the International Criminal Court in Light of U.S. Oppositionto the Court: Implications for the International Criminal Court's Functions and Status, 24 Berkeley J. Int'l Law. 650(2006).

Available at: http://scholarship.law.berkeley.edu/bjil/vol24/iss2/10 12

(5)

merealisasikan komitmen pemerintah dalam pengembangan hukum hak asasi manusia bersumber pada kesalahan persepsi. Disebutkannya secara berurut: kekuatiran Mahkamah Pidana Internasional

mengadili kasus – kasus pelanggaran HAM di masa lalu, proses penerapan complementarity principle dianggap dilakukan melalui proses politik, dominasi kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Mahkamah Pidana Internasional, ratifikasi Statuta Roma dapat memberikan dampak negatif terhadap hubungan bilateral RI – Amerika Serikat, (sehingga) Indonesia sebaiknya meratifikasi Statuta Roma setelah hukum nasional siap untuk melaksanakannya di dalam negeri dan terakhir, yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap kejahatan agresi akan menyulitkan Indonesia e pe taha ka

keutuha NK‘I.

Tanpa perlu masuk lebih mendalam ke dalam perdebatan di atas perihal perlu/tidaknya Indonesia sebagai negara berdaulat dan anggota PBB meratifikasi Statuta Mahkamah Pidana Internasional, menurut penulis pendekatan di sini berbeda harus digunakan. Titik tolaknya adalah pertanyaan bagaimana sebenarnya hubungan hukum pidana nasional, penegakan hukum dalam hal adanya pelanggaran hak asasi manusia (ringan dan berat) dengan hukum pidana internasional dalam arti sempit? Persoalan-persoalan sebagaimana digambarkan di atas tidak akan tuntas dengan bersikukuh mengikuti pandangan tidak (mungkin) ada pela gga a hak asasi a usia di I do esia atau ah a peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat sangat kecil bahkan tertutup. Juga tidak akan selesai dengan mengajukan argumen bahwa hukum pidana internasional dan Mahkamah adalah sekadar wujud a pu ta ga asi g da e tuk eo-imperialisme/kolonialisme, pemaksaan sudut pandang barat terhadap masyarakat timur dan yang menafikan kea ifa uda a ti u .

Untuk yang pertama disebut, setidak-tidaknya itulah pandangan dan pembelaan pemerintahan Orde Ba u ketika pada a al a ulai e se tuha de ga k itika as a akat i te asio al disua aka negara-negara maju) terhadap ketidakperdulian Indonesia terhadap pelanggaran hak asasi manusia di sejumlah daerah konflik (aceh, timor-timur, papua). Perubahan pandangan pemerintah terjadi secara bertahap. Kerusuhan Santa Cruz di Timor-Timur (November 1991) memunculkan reaksi cepat dari pemerintah Orde Baru, yaitu pencopotan sejumlah pimpinan militer yang dianggap bertanggungjawab atas pecahnya kerusuhan tersebut.13

Baru pada akhir rezim Orde Baru, sikap pemerintah (dan legislatif) jauh melunak. Ketika pada awalnya a g di atifikasi e a a adalah hak asasi a g e a gkut kelo pok-kelompok marginal

13

Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk pemerintah (dipimpin alm. Jend. Feisal Tanjung) menghasilkan rekomendasi yang ditindaklanjuti dengan pencopotan sejumlah perwira, antara lain, Pangdam Udayana Mayjen Sintong Panjaitan, Brigjen Rudolf Warouw dari Panglima Komando Pelaksana Operasi Timor Timur serta Kapten Choki Aritonang dan beberapa bawahannya sebagai perwira pelaksana di lapangan. Pencopotan itu sebagai reaksi pemerintah Indonesia memenuhi tuntutan internasional akan penanggung jawab insiden Dili yang mengakibatkan 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Baca: Hestiana Dharmastuti, Kisah Jendral Feisal Tanjung & Tragedi Santa Cruz, detikNews.com (18/02/2013) Namun bandingkan pula dengan uraian singkat tentang peristiwa Santa Cruz: Aboeprijadi Santoso, Tonggak Zaman: 20 tahun pembantaian Santa Cruz, 16 november 2011, dimuat dalam http://archief.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/tonggak-zaman-20-tahun-pembantaian-santa-cruz.

(6)

(perempuan (CEDAW), anak (Child Convention)),14 pasca Orde Baru (1997/99), pemerintah mengubah haluan. Bersamaan dengan amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan pula ratifikasi terhadap ICCPR & ICESCR yang memuat hak-hak dasar generasi pertama dan kedua. Dengan itu, setidaknya di atas kertas, posisi hukum warganegara (citizen) diperkuat ketika berhadapan dengan penyelenggara kekuasaan negara yang secara hukum setidak-tidaknya sudah seharusnya memonopoli penggunaan kekerasan (bersenjata).15 Sekaligus juga terjadi penguatan makna jaminan kesetaraan kedudukan warga negara dihadapan hukum dan pemerintahan (Pasal 27 UUD 1945). Maka dapat dimengerti mengapa kemudian dengan bergantinya rezim, pemerintahan baru lebih bersedia untuk mengembangkan extra-ordinary measures untuk membereskan persoalan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di masa lalu atau yang akan datang.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam perspektif hukum (pidana) nasional

Dalam suasana politik dan hukum berbeda sebagaimana digambarkan di atas, rezim pemerintahan pasca Orde Baru, menerbitkan UU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). UU ini di dalam konsideran (butir b) disebut dibentuk sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 104(1) UU 39/1999 (tentang Hak Asasi Manusia). UU ini menggantikan PerPU 1/1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai oleh DPR. Di dalam ketentuan Pasal 7 UU 26/2000 secara tegas ditetapkan se agai pela gga a hak asasi a usia a g e at eliputi dua pe uata : ge osida diu aika le ih lanjut dalam Pasal 8) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (diuraikan lebih lanjut dalam Pasal 9). Tidak disebutkan dan itu tanpa penjelasan adalah kejahatan perang (war-crimes).

Selain itu, kewenangan pengadilan hak asasi manusia untuk memeriksa dan mengadili dua pelanggaran hak asasi manusia berat (genosida dan kejahatan atas kemanusiaan) di atas dibatasi oleh pertama asas retroaktif dan kedua prosedur rekomendasi dari DPR. Artinya hanya pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi sesudah 2000 dapat diserahkan kepada Pengadilan HAM untuk diperiksa dan diputus. Dijelaskan pula bahwa proses sebelum dapat dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat akan didahului oleh penyelidikan oleh KomNas HAM (Pasal 18-19). KomNas HAM kemudian harus menyerahkan hasil penyelidikan kepada penyidik (Jaksa Agung: Pasal 21-22) yang sekaligus akan bertindak sebagai penuntut (Pasal 23 et seq). Penyimpangan terhadap asas retroaktif (setidaknya berkenaan dengan keberlakuan UU 26/2000) dimungkinkan melalui ketentuan Pasal 43. Disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini akan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

14

Dengan cara itu pula dihindari pengakuan dan pemenuhan hak-hak sipil-politik. Hal ini dianggap justru mengancam keberlangsungan rezim pemerintahan Orde Baru yang dilandaskan pada dukungan Golkar (partai

politik a g es i a uka pa tai politik da TNI-ABRI (melalui pelaksanaan doktrin dwi-fungsi). 15

(7)

Penetapan ada/tidaknya pelanggaran hak asasi manusia berat ditetapkan oleh KomNas HAM. Badan inilah yang akan merekomendasikan pembentukan pengadilan hak asasi manusia ad hoc kepada DPR. Sidang DPR yang akan menentukan diterima atau tidaknya rekomendasi (usulan) tersebut. 16 Bilamana DPR memberikan persetujuan, selanjutnya pembentukan pengadilan ad hoc untuk mengadili peristiwa tertentu akan dilakukan melalui Keputusan Presiden. Sekalipun diberi nomenclature keputusan yang

seolah-olah sepe uh a e ada dala li gkup ke e a ga P eside se agai kepala ega a/kepala pemerintahan, keputusan Presiden dalam konteks ini hanya dapat diterbitkan setelah DPR memberikan lampu hijau.

Dengan kata lain, penetapan ada/tidaknya peristiwa di masa lalu yang dikategorikan sebagai

pelanggaran hak asasi manusia berat pada akhirnya diserahkan pada proses politik di DPR dan kesedian rezim pemerintahan yang pada saat tertentu berkuasa untuk menerbitkan Keputusan Presiden.17 Maka itu berarti bahwa persoalan penegakan hukum atas pelanggaran hak asasi manusia berat tidak

sepenuhnya dapat dipandang sebagai proses mengungkap kebenaran dan menegakkan hukum serta keadilan. Bahkan dengan sengaja proses politik – dan artinya kompromi-kompromi politik – diberi pelua g u tuk e ge a pi gka pe egaka huku da keadila , te uta a agi ko a atau keluarga korban).

Implementasi ketentuan Pasal 43 di atas untuk pertama kali18 diujicobakan terhadap kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan petinggi militer dan sipil di Timor Timur pasca referendum (1999). Presiden Habibie - kemungkinan besar karena tekanan masyarakat internasional da se agai ko p o i te hadap pe ela ata i a a ega a da ilite – memutuskan

membentuk pengadilan hak asasi manusia yang bersifat ad hoc untuk memeriksa dan mengadili

sejumlah pimpinan militer dan sipil. Setidak-tidaknya fakta adanya tekanan internasional ini, antara lain, dapat terbaca dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB (S/RES/1272 (1999)). Di dalamnya Security Council (considerans):

16

Berdasarkan mandat dari UU 26/2000, KomNas HAM membentuk sejumlah Komisi Penyelidik Peristiwa Pelanggaran HAM (KPP HAM). KPP yang sudah terbentuk antara lain, KPP-HAM Timor-Timur (menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999); KPP HAM Tanjung Priok (1984), Tragedi Trisakti-Semanggi 1998, Talang Sari 1989, penghilangan paksa 1997-1998 dan peristiwa 1965 (1966-67). Hasil penyelidikan menurut ketentuan harus dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan. Maka dalam sejumlah kasus (Talang Sari dan Penghilangan Paksa) Jaksa Agung dapat menolak untuk meneruskan. Selain itu, ditengarai pula bahwa keputusan akhir ada ditangan DPR karena hasil penyelidikan wajib diserahkan kepada DPR untuk dilakukan penelahaan dan ditindaklanjuti dengan rekomendasi DPR tentang langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, termasuk perlu/tidaknya dibentuk pengadilan ad hoc hak asasi manusia. Tercatat bahwa kasus Trisakti-Semanggi 1998, DPR justru menolak mengeluarkan rekomendasi, sedangkan kasus lainnya bahkan tidak pernah dibicarakan lagi.

17Wah udi Djafa staf pelaksa a P og a Bida g Pe a taua Ke ijaka EL“AM , Me gu ai Ke ali I isiatif

Nega a dala Pe elesaia Masa Lalu https://docs.google.com/document/d/1--82kpts4fEmT.../edit).

Disebutkan bahwa Presiden Habibie pada 1998 membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa kerusuhan 13-15 mei 1998. Selain itu juga diterbitkan KepPres 88/1999 tentang pembentukan komisi independen pengusutan tindak kekerasan di Aceh (untuk mengusut dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia semasa penerapan DOM dan pembunuhan Teungku Bantaqiah.

18

(8)

Expressing its concern at reports indicating that systematic, widespread and flagrant violation of international humanitarian dan human rights law have been committed in East-Timor, stressing that persons committing such violations bear individual responsibility, and calling on all parties to cooperate with investigations into these reports

dan (butir 16).

condems all violence and acts in support of violence in East Timor, calls for their immediate end, and demands that those responsible for such violence be brought to justice.

Maka berbeda dari kasus-kasus dugaa pela gga a hak asasi a usia di asa lalu a g te jadi semasa pemerintahan Orde Baru lainnya (yang di peti-es-kan),19 untuk memeriksa dan memutus para pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang diduga terjadi di sejumlah wilayah di Timor Timur (liquica, dili dan suai dengan batasan waktu april-september 1999), pemerintah menerbitkan KepPres 53/2001 dan KepPres 96/2001. Benyamin Mangkoedilaga sebagai ketua tim persiapan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bahkan menyatakan:20

(...) dunia internasional akan mempertanyakan jika suatu negara tidak bersedia memeriksa pelanggaran ham. Kita tidak ingin disebut tidak mau dan tidak mampu.

Pengadilan ad hoc yang terbentuk memeriksa 18 terdakwa (10 militer; 4 polisi dan 4 orang sipil). Hasil akhirnya adalah tidak satupun petinggi militer dinyatakan memiliki tanggungjawab komando dan bersalah terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor Timur.21 Dengan sikap resmi pengadilan Indonesia seperti ini tidak mengherankan bila kemudian pemerintah RI memandang persoalan pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur lebih sebagai masalah politik dan

19

Dapat disebut sebagai ilustrasi, pembunuhan mereka yang dianggap terlibat peristiwa G-30-S (1965), anggota-simpatisan PKI (yang terjadi dalam kurun waktu 1966- da pe se utio a g diala i e eka (keluarga, kerabat atau sanak saudara anggota/simpatisan PKI) yang digolongkan sebagai berbahaya (tidak bersih diri atau bersih lingkungan) semasa pemerintahan Orde Baru.

20 Be a i : Kita Tidak I gi Du ia I te asio al Me pe ta aka agustus , ; e s.liputa . o . 21

Elsam, Pengadilan Ham Ad Hoc Timor-Timur di bawah standar: Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk, September 2002; www/elsam.or/mobileweb/article.php.?id=529). Bdgkan pula David Cohen, Fadilah Agus & Widati Wulandari, Pengadilan Setengah Hati: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HASM Kasus Timor Timur, Elsam: Jakarta, 2008. Sebaliknya di negara baru yang terbentuk (Timor Loro Sae/Timor Leste), UN-TAET (transitional administration in East Timor) membentuk hybrid court (regulation 2000/11; 6 march 2000) untuk mememeriksa dan memutus keterlibatan warga Timor dalam dugaan pelanggaran hak asasi manusia (genocide, war crimes; crimes against humanity; murder; sexual offences; torture) yang terjadi pasca referendum. Lihat: Hybrid Tribunals; Special Panel for Serious Crimes; Timor Leste; www.trial-ch.org (25/01/2015). Sayangnya hasilnyapun mengecewakan karena hanya pelaku kecil yang diadili, sedangkan pelaku besar dan actor intelectual tidak terjaring. Ba a le ih la jut: Me i o.J. Dos ‘eis, ‘e o st u tio i East

(9)

hubungan luar negeri. Dengan kata lain, para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor-Timur baik langsung maupun tidak langsung akan menikmati impunitas.22

Pada 9 maret 2005 dalam suatu Joint Declaration yang ditandatangani Presiden RI, Presiden dan Perdana Menteri Timor-Leste disepakati terms of reference for the Commission of Truth and Friendship yang akan dibentuk kedua negara.23 Di dalam butir 10 dapat kita cermati pesan implicit bahwa penyelesaian hukum pidana (menghukum pelaku) bukan solusi terbaik. Dikatakan:

Different countries with their respective experiences have chosen different means in

confronting their past. The leaders and people of South Africa, where apartheid was defined as a crime against humanity, opted to seek truth and reconciliation. Indonesia and Timor-Leste have opted to seek truth and promote friendship as a new and unique approach rather than the prosecutorial process. True justice can be served with truth and acknowledgment of

responsibility. This prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is to punish the perpetrators, but it might not necessarily lead to the truth and promote

reconciliation.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kedua belah pihak bersepakat membentuk Commission of Truth and Friendship yang:

a. Based on the spirit of a forward looking and reconciliatory approach, the CTF process will not lead to prosecution and will emphasize institutional responsibilities;

b. …;

c. Does not prejudice against the ongoing judicial process with regard to reported cases of human rights violations in Timor-Leste in 1999, nor does it recommend the establishment of any other judicial body.

Maka dapat dimengerti pula mengapa mandat CTF bukan mengadili dan menghukum melainkan (butir 14 huruf d):

devise ways and means as well as recommended appropriate measures to heal the wounds of the past, to rehabilitate and restore human dignity, inter alia: recommend amnesty for those involved in human rights violations who cooperate fully in revealing the truth.

Sebagai tindak lanjut, selanjutnya pada 15 juli 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao menandatangani pernyataan bersama setelah menerima laporan akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang diserahkan Benjamin

22 Baca pula Geoffrey Robinson, Timor Timur 1999 Kejahatan terhadap Umat Manusia: Sebuah Laporan yang dibuat berdasarkan permintaan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Dili & Jakarta: Perkumpulan Hak & Elsam, 2003).

23 Terms of Reference for the Commission of Truth and Friendship Established by the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste yang merupakan lampiran dari Joint Declaration 9 march 2005 yang

(10)

Mangkoedilaga sebagai Ketua KKP Indonesia.24 Butir terpenting dalam pernyataan bersama di atas ialah pernyataan tekad menutup bagian dari masa lalu melalui berbagai upaya bersama (butir 3) dan

penyesalan yang mendalam kepada seluruh pihak dan korban baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengalami luka fisik dan psikologis akibat pelanggaran ham serius yang terjadi menjelang dan segera setelah jajak pendapat di TimTim pada 1999 (butir 8) dan berdasarkan itu bersepakat

menyusun suatu rencana aksi yang harus dilaksanakan oleh Komisi Bersama Tingkat Menteri untuk Kerjasama Bilateral (butir 9).

Dari kedua dokumen di atas, dapat kita simpulkan bahwa persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur pertama dikerucutkan hanya pada peristiwa yang terjadi pasca 1999, dan kedua bahwa persoalan ini de i kepe ti ga e jali pe saha ata a ta dua ega a , dianggap usai.

Penyelesaian politik juga digunakan untuk menuntaskan persoalan dugaan pelanggaran hukum perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi semasa pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan penerapan DOM (daerah operasi militer) yang dilakukan keduabelah pihak yang bertikai, tampaknya tidak lagi dipersoalkan. Masyarakat Aceh setidaknya mendapatkan sebagian dari apa yang diperjuangkannya, yaitu pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar hukum bernegara dan bermasyarakat dalam konteks Nanggroe Aceh Darussalam.25 Padahal MoU Helsinki26 yang memuat kompromi politik antara pemerintahan dalam pengasingan (GAM) dengan NKRI kita temukan pula kesepakatan perihal

2.human rights:

2.1. GoI will adhere to the UN ICCPR and on ESCR; 2.2. a human rights court will be established for Aceh.

2.3. A commision for truth and reconciliation will be established for Aceh by the Indonesian Commission of Truth and Reconciliation with the task of formulating and determining reconcilliation measures.

Pelaksanaan dari janji di atas, namun demikian, masih tertunda sampai dengan sekarang. Pada 2005, ELSAM (lembaga studi dan advokasi masyarakat) mengajukan rekomendasi agar pemerintah RI mewujudkan janji di atas. Dalam satu position paper yang dibuat ELSAM dinyatakan:27

24

Baca Megan Hirst, Kebenaran yang Belum Berakhir: Kajian terhadap Laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste tentang Kejahatan yang terjadi pada tahun 1999, KKPK, Komnas Perempuan, International Center for Transitional Justice, 2009. Tersedia di https://www.icjt.org/... (22/02/2015). 25

UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

26

Untuk ulasan tentang sejarah konflik Aceh, serta rangkaian ikhtiar pencarian solusi atas konflik Aceh baca: Edward Aspinall, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh? (policy studies 20, east-west center Washington, 2005, tersedia online: www.eastwestcenterwashington.org/publications. Ulasan itupun menjadi latarbelakang dari ditandantangainya pada 15 agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, MoU antara perwakilan pemerintah Indonesia dan GAM yang bertujuan mengakhiri konflik di Aceh. Bdgkan pula dengan Michael Morfit,

Be o d Helsi ki: A eh a d I do esia s De o ati De elop e t , Fi st I te atio al Co fe e e of A eh a d

Indian Ocean Studies, organized by Asia Research Institute, National University of Singapore & Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh Indonesia, 24-27 february 2007.

27

(11)

(2) Pembentukan pengadilan HAM di Aceh tidak bertentangan dengan hukum nasional, karena pengadilan HAM sesuai dengan UU no. 26/2000 adalah peradilan khusus di bawah peradilan umum yang dapat dibentuk di setiap wilayah pengadilan negeri (kabupaten dan kota) (psl 2 dan 3). (...)

(3) .... (4) ....

(5) prinsip dalam hukum internasional menentukan bahwa negara berkewajiban untuk melakukan proses penuntutan terhadap segala bentuk pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights). Jika negara tidak melakukan penuntutan atas kejahatan tersebut menunjukkan bahwa negara telah melanggengkan praktek impunitas.

Sebaliknya, prof. Muladi, selaku gubernur Lemhanas, pada 2006, menganggap pembentukan pengadilan hak asasi manusia di Aceh (hanya) akan membuka luka lama. Artinya ia mendukung sikap pemerintah (SBY) maupun DPR yang menurut UU 26/2000 berwenang merekomendasikan pembentukan pengadilan hak asasi manusia untuk tidak melaksanakan kewajiban internasional di atas, yakni dengan mengacu pada pertimbangan praktis (apa yang sudah berlalu tidak perlu diungkit lagi) dan kebanggaan (semu) bahwa semasa pemerintahan SBY tidak muncul kasus-kasus pelanggaran ham berat.28 Sebagaimana dikutip ia menyatakan29: A eh sudah selesai. Pe da aia sudah, tak pe lu A eh di uka lagi . Di samping itu peluang untuk membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi tertutup pula ketika

Mahkamah Konstitusi membatalkan payung hukum yang tersedia (UU 27/2004).30 Selanjutnya, KontraS pada 2014 kembali mengingatkan pemerintah akan janji yang belum terpenuhi di atas.31

Kedua contoh kasus di atas e u jukka de ga jelas ua sa da pe ga uh politik nasional-internasional sebagai faktor penentu bagi pemerintah ketika dihadapkan pada pilihan untuk memberdayakan atau tidak memberdayakan hukum pidana nasional (atau internasional) terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia. Persoalannya di sini – dari kacamata hukum pidana internasional – ialah seberapa jauh Indonesia sebenarnya memiliki kehendak (willing) dan mampu (able) membereskan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi dalam yurisdiksi-nya (teritorial maupun substantif)? Hal ini dapat dikatakan terkait pula dengan persoalan prioritas antara peace atau justice.

Selanjutnya seberapa penting pelanggaran hak asasi manusia di tataran local atau nasional bagi masyarakat internasional? Misalnya berkaitan dengan pelanggaran atas hak atas kebebasan beragama

28Wah udi Djafa , Me gu ai Ke ali I isiatif Nega a dala Pe elesaia Masa Lalu , lapo a uta a ; Buleti Asasi (Analisis Dokumentasi Hak Asasi Manusia, Edisi Januari-Februari 2011: www.elsam.or.id/ 28/01/2015). 29 Muladi: Pe gadila HAM A eh Buka Luka La a , Te po. o, ei .

30 Putusa MK te ta g UU KK‘ Dia ggap Ulta

-Petita , hukumonline.com (11 desember 2006). Sekalipun ada pandangan berbeda dari Jimly Asshidiqie yang menyatakan terlepas dari pembatalan UU 27/2004, KKR di Aceh

tetap isa di e tuk. Ba a Luhut He ta to, UU KK‘ Di a ut, KK‘ A eh Tetap Bisa Di e tuk detikNe s;

08/12/2006).

31 Joko i Ha us Buat Pe gadila HAM di A eh , a ehte ki i. o . agustus

. Bdgka ‘a idi, A est

(12)

dari kelompok minoritas di Indonesia 32 yang sekalipun kerap dipertanyakan dan dipersoalkan oleh masyarakat umum, belum tentu dianggap sebagai pelanggaran serius (oleh masyarakat internasional) dan juga tidak bisa diselesaikan pemerintah sendiri.33 Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan memaksa kita menelaah dengan lebih cermat keterkaitan dan/atau keselarasan hukum pidana nasional Indonesia (khususnya berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat) dengan hukum pidana internasional dalam arti sempit.

Hukum Pidana Internasional dalam arti sempit: kewenangan Mahkamah Pidana Internasional

Sebagaimana diindikasikan di atas, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court (ICC)), berdasarkan prinsip-prinsip hukum perjanjian internasional maupun prinsip komplemetaritas, tidak akan begitu saja mengambil-alih persoalan dan memutuskan untuk menuntut, memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap siapapun yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia berat. Di sini, dari sudut pandang hukum perjanjian internasional, kita tidak hanya akan berhadapan dengan persoalan seberapa jauh bukan negara pihak (baik yang tidak menandatangani, sudah menandatangani, namun tidak meratifikasi ataupun sudah meratifikasi), dapat dipaksa tunduk pada kewenangan

Mahkamah Pidana Internasional untuk memeriksa, mengadili dan memutus pelanggaran hak asasi berat yang terjadi dalam wilayah negara. Hal serupa dapat dikatakan tentang Dewan Keamanan PBB yang tidak akan begitu saja menilai suatu konflik yang terjadi (di mana terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat) sebagai ancaman terhadap perdamaian-keamanan internasional dan berdasarkan itu

memutuskan untuk merujuk kasus pada Mahkamah Internasional.

Lebih dari itu, kita harus mencermati jangkauan prinsip komplementaritas yang melandasi kewenangan ICC atas empat kejahatan khusus. Mahkamah hanya akan mengambil-alih perkara bilamana kasus tersebut tidak (mau atau mampu) ditangani pengadilan nasional34 dan untuk bagian terbesar juga

32 Lilis Khalisotussurur, KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN: Kasus Pelanggaran HAM Meningkat Akibat Regulasi Diskriminatif. 24 desember 2014. http://www.elsam.or.id/article.php.

33

Jaminan kebebasan beragama di Indonesia dinilai semakin buruk

Terbit 4 June 2012 http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/ (28/01/2015). Dinyatakan: Buruknya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia juga mendapat sorotan dari dunia

internasional.Dalam sidang Universal Periodic review Dewan HAM PBB, isu pelanggaran HAM berlatar belakang agama dan keyakinan di Indonesia menjadi salah satu isu yang paling banyak dipertanyakan negara-negara anggota PBB kepada delegasi Indonesia.

34

(13)

terlepas dari kondisi factual apakah locus delicti terjadi di dalam wilayah negara pihak atau bukan. Satu dan lain, peluang intervensi ICC (yang mengenyampingkan kedaulatan negara dan asas pacta sunt servanda) adalah karena pelanggaran hak asasi manusia (terjadi di manapun juga) dikualifikasikan sebagai the most serious crimes of international concern35, dan itu sekaligus dipahami sebagai ancaman terhadap perdamaian-keamanan internasional.36 Artinya pertama-tama kita harus menelaah apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut hukum pidana internasional serta menelisik apakah pengertian ini selaras dengan pemahaman kita sendiri (dalam hukum nasional) tentang hal yang sama.

Beranjak dari Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki kewenangan untuk

menuntut (melalui Prosecutor), memeriksa dan mengadili international crimes yang didefiniskan sebagai the gravest crimes that threaten the peace, security, and well-being of the world and are of concern to the international community. Kejahatan internasional ini mencakup the ore ri es of: 37

a. genocide38, b. war crimes39,

c. crimes against humanity40, dan

ila ah Pakista . Ba a le ih la jut: Ashle Deeks, U illi g o U a le': To a d a No ati e F a e o k fo

Extra-Territorial Self-Defe se , Virginia Journal of International Law, Vol. 52, No. 3, p. 483, 2012) 35

Ketentuan Pasal 1 Statuta Roma. Itu juga menyebabkan Mahkamah tidak akan memiliki yurisdiksi bila

pela gga a hak asasi a usia tidak dikatego ika se agai e at . I i a g dise ut impunity gap. Baca pula: david

lee , Positi e Co ple e ta it : P ospe ts a d Li its di dala fo u ICC; http://iccforum.com/forum/permalink/68/946. (14.7.2014).

36

Ketentuan Pasal 39 UN Charter menetapkan ah a: the Security Council shall determine the existence of any threat to the peace, breach of the peace, or act of aggression and shall make recommendations, or decide what measures shall be taken in accordance with Articles 41 and 42, to maintain or restore international peace and security .

37

Untuk rincian unsur-unsur delik periksa UN document PCNICC/2000/INF/3/Add.2, on Elements of Crime. 38

Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Adopted by Resolution 260 (III) A of the United Nations General Assembly on 9 December 1948). Definisi yang diberikan Konvensi ini terhadap Genocida juga muncul di dalam Statuta Roma. Apa yang menarik adalah ketentuan Pasal 3 yang menetapkan perbuatan apa yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, yaitu: genocide; conspiracy to commit genocide; direct and public incitement to commit genocide; attempt to commit genocide dan complicity in genocide.

39The ter ar ri es is used i arious a d so eti es o tradi tory ays. “o e see ar ri es

very generally, as criminal conduct committed in the course of war or other armed conflict. Others apply the term to all violations of international humanitarian law, regardless of whether they are criminal. The term is used to describe crimes under international law committed in connection with armed conflict (international as well as internal), even if the individual case is a crime against humanity or genocide. … a ore arro , legally pre ise defi itio : a ar ri e is a violation of a rule of international humanitarian law that creates direct criminal responsibility under international law. Periksa lebih lanjut Gerhard Werle, Principle of International Criminal Law, The Hague: T.M.C. Asser Press, 2005. Part Five: War Crimes (267 et seq).

40

Disebutkan bahwa: the phrase ri es agai st hu a ity as first e ployed i ter atio ally i a 1915 declaration by the governments of Great Britain, France and Russia which condemned the Turkish government for the alleged

(14)

d. the crime of aggression (crimes against peace).

Dari sudut pandang hukum pidana internasional dan penegakan hak asasi tentunya ada anggapan atau harapan bahwa apa yang ditetapkan sebagai perbuatan tercela di tataran internasional (genocide; crimes against humanity; war crimes dan crimes of aggression) akan dengan sendirinya dianggap sebagai tindak pidana di tataran hukum nasional.

Perbuatan-perbuatan tersebut, dengan kata lain, harus dianggap mala in se, jahat dengan sendirinya. Dengan konsekuensi, ketiadaan ketentuan pidana (hukum nasional) tidak sertamerta menghilangkan sifat jahat dari perbuatan di maksud. Itu juga berarti bahwa tiada negara boleh menggunakan asas legalitas (tiadanya ketentuan pidana di aras hukum asio al u tuk e ghi da i ke aji a menegakan hukum pidana (internasional), khususnya berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia dalam ketiga bentuk di atas. Lebih jauh lagi itu berarti bahwa penetapan ketiga perbuatan di atas se agai international atau core crimes se e a a melangkahi atau mengenyampingkan kewenangan negara untuk menetapkan sendiri perbuatan apa yang akan dikualifikasikan sebagai gangguan atas ketertiban umum (di tataran nasional). Hal ini jelas berbeda dengan proses penetapan tindak pidana trans-nasional yang umumnya dilakukan berdasarkan kesepakatan dan sudah otomatis mengandaikan adanya kepentingan bersama. Sejalan dengan ini ketentuan Art. 15 para.2 ICCPR menyatakan:

nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or ommission which at the time it was committed was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations.

Artinya: absence of criminal prohibition under national law is no bar to prosecution for conduct criminal law under international law at the time of its commission.41 Dalam artian ini, bilamana di dalam hukum pidana nasional, perbuatan serupa tidak dikriminalisasi, fakta ini tidak akan menghalangi Mahkamah Pidana Internasional untuk mengkualifikasikan perbuatan tersebut sebagai kejahatan internasional yang te hadap a Mahka ah e iliki ke e a ga . Di si i ega a asio al aka dia ggap tidak a pu menegakan hukum (pidana) terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi. Lagipula di sini, keberlakuan asas legalitas ditafsirkan tidak berangkat dari ada/tidaknya ketentuan pidana dalam hukum nasional suatu negara.

extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or prosecutions on political, racial or religious grounds in execution or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated . Ko sep i i digu aka lagi oleh as a akat i te asio al u tuk e gadili pelaku kejahata terhadap kemanusian di Yugoslavia (ICTY; 1993) dan Ruanda (ICTR; 1994). Periksa:

http://www.internationalcrimesdatabase.org/Crimes/CrimesAgainstHumanity (diunduh 14/07/2014). 41

(15)

Dengan kata lain, Mahkamah di sini memiliki automatic jurisdiction over the core crimes. Sekalipun kewenangan rationae materiae tersebut dinyatakan bersifat automatic, keberlakuannya tetap

ditu dukka pada p i sip ullu i e si e lege (asas legalitas). Dalam hal ini harus diperhatikan:42

The international i i al la that has pe tai ed to the o e i es f o the Cha te a d Judgment of the Nuremberg Tribunal to the Rome Statute is based on the assumption of individual responsibility directly under international law. As such, the international principle of

ullu i e , at least ith espe t to these i es, does ot e ui e p ohi itio atio al law. To allow otherwise would allow States to legislate their own agenst out of their

international responsibilities – something that the international community has deemed to be intolerable ever since Nuremberg. (....) article 22 does not require that conduct be defined as criminal under the national law of any given State in order to give rise to criminal responsibility before the Court. Such a requirement would make the Court hostage to the legislative (in-) a ti it of “tate Pa ties, o t a to the fu da e tal o eptio of the ICC as a ju isdi tio of last eso t i ases he e “tates a e i effe ti e.

Diasumsikan bahwa ke-empat kejahatan inti di atas adalah kejahatan menurut hukum pidana i te asio al da tidak e utuhka t a sfo asi ke dala huku pida a asio al u tuk dapat ditegakkan di tataran internasional. Pada sisi lain, pengadilan nasional akan dianggap memiliki universal jurisdiction terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat yang sekalipun belum dimuatkan ke dalam hukum pidana nasional harus dianggap dengan sendirinya sebagai perbuatan jahat yang patut diancam pidana.43

Dari asas legalitas (di aras hukum pidana internasional) itu pula mengalir prinsip non-retroactivity dan larangan untuk melakukan perluasan makna/cakupan kejahatan melalui penafsiran analogis.44 Itu berarti bahwa Mahkamah hanya berwenang memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi setelah Statuta Roma dinyatakan berlaku dan mengikat (entered into force). Artinya hanya perbuatan yang terjadi sesudah 01.07.2002 (tanggal entry into force Statute Roma) dapat diperiksa dan diputus Mahkamah.

Itu juga berarti bahwa dugaan pelanggaran berat hak asasi manusia berat yang daftarnya telah disusun KomNas HAM (termasuk yang terjadi 1965-67) tidak mungkin diajukan kehadapan Mahkamah Pidana Internasional.

42

Otto Triffterer, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court –O se e s Notes, A ti le by Article - , second edition, (C.H. Beck – Hart – Nomos, 2008). P. 718-719.

43

Di dalam the Princeton Principles of Universal Jurisdiction 28 (2001) (principle 1): universal jurisdiction didefiniskan sebagai criminal jurisdiction based solely on the nature of the crime, without regard to where the crime was committed, the nationality of the alleged or convicted perpetrator, the nationality of the victim, or any other connection to the state exercising such jurisdiction. Naskah dapat ditemukan di

https://lapa.princeton.edu/hosteddocs/unive_jur.pdf. Untuk komentar umum tentang ragam pengertian yurisdiksi dan yurisdiksi universal dalam hukum pidana internasional (dalam arti luas) baca: ‘oge O Keefe

Universal Jurisdiction: Clarifying the Basic Concept, J Int Criminal Justice (2004) 2 (3): 735-760. doi: 10.1093/jicj/2.3.735

44

(16)

Kejahatan agresi

Harus diperhatikan di sini bahwa faktual saat ini kewenangan rationae materiae Mahkamah masih melingkupi 3 core crimes saja. Tidak atau belum termasuk ke dalam kewenangan Mahkamah adalah kejahatan agresi karena belum didefinisikan lebih lanjut.

Padahal crimes of agression telah digunakan untuk memutus bersalah pimpinan militer-sipil Jepang dan Jerman karena memicu Perang Dunia ke-II (Nuremberg & Tokyo Trials).45 Pada waktu itu digunakan istilah crimes against peace yang dirumuskan sebagai perbuatan (pimpinan militer atau sipil) yang terwujud ke dalam:

(i) Planning, preparation, initiation or waging of a war of oppression, or a war in violation of international treaties, agreements or assurances; dan (ii) Participation in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of the above.

Selanjutnya crime of agression didefinisikan oleh masyarakat internasional sebagaimana muncul dalam UN-GA Resolution 3314 (XXIX) 1974,46 yaitu sebagai:

the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a position effectively to

exercise control over or to direct the political or military action of a State, of an act of aggression which, by its character, gravity and scale, constitutes a manifest violation of the Charter of the United Nations.

Di dalam Statuta Roma, crimes of agression baru disebut (Pasal 5(1)(d) & (2), tetapi belum dielaborasikan ke dalam unsur-unsur yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pendakwaan, penuntutan maupun penghukuman. Dinyatakan: under the ICC Statute, agression is thus a crime in

a eya e .47

Bahkan juga Konferensi Kampala yang berhasil mendefinisikan lebih lanjut crimes of agression,48 pada saat sama belum berhasil memunculkan kesepakatan perihal kapan/bilamana

Mahkamah dapat mulai memeriksa dan menuntut pelaku dalam hal ada dugaan diperbuatnya kejahatan ini ((trigger mechanism).

45

Untuk uraian singkat tentang perkembangan pemikiran tentang crimes of agression baca Constatine

Antonopoulus, Agression, sebagai lema di dalam www.oxfordbibilographies.com/view/.../obo-9780199796953-0061.xml (14/09/2014). Pe iksa juga Milesto es: -1952: The Nuremberg Trials and the Tokyo War Crimes Trials (1945-1948), US Department of State (Office of the Historian); https://history.state.gov/milestones/1945-1942/nuremberg (14/09/2014).

46 Definisi agresi dalam UN GA Res. Ini merujuk kembali pada konsep illegalitas penggunaan ancaman atau kekerasan dalam hubungan internasional (Pasal 2(4) Piagam PBB)

47

Gerhard Werle, Principles of International Criminal Law, (Asser Press, Berlin, 2005)., p. 387. 48 ‘e ie Co fe e e of the ‘o e “tatute, Ka pala, Uga da Ma - Ju e te uat di dala

www.iccnow.org/?mod=review / / . Ba a pula: Lo ai e “ ith, What did the ICC ‘e ie Co fe e e

(17)

Kiranya perujukan pada Piagam PBB menyiratkan ketidaksepakatan bahwa semua tindak agresi harus dilarang. Di sini kita pada prinsipnya berbicara tentang the legality and illegality of the use of force (in international relations).49 Satu persoalan mendasar ialah keberatan banyak negara bahwa rumusan delik dari crimes of agression akan sekaligus mengkriminalisasi serta mengganggu pelaksanaan hak (atau kewajiban negara) untuk menggunakan kekerasan (perang) dalam rangka bela diri (use of force in self-defence)50 atau untuk mempertahankan the right of self determination atau untuk alasan-alasan lain yang dianggap legitimate. Untuk yang terakhir kita dapat mengaitkannya dengan perdebatan perihal humanitarian intervention.51

Pelanggaran Hak Asasi Berat menurut hukum pidana internasional dan nasional: keselarasan?

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sudah ada kesepakatan internasional tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia berat, terkecuali berkaitan dengan

kriminalisasi kejahatan agresi. Bahkan Indonesia dari kacamata hukum internasional memiliki yurisdiksi universal untuk menegakan hukum atas 3 kejahatan internasional di atas.

Pertanyaannya di sini ialah apakah kemudian hukum nasional Indonesia dapat menyimpang dari kesepakatan internasional di atas, yaitu:

1. Mengkriminalisasi hanya dua pelanggaran hak asasi manusia berat (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) di dalam hukum nasional;

2. Mengembangkan pengertian berbeda tentang pelangggaran hak asasi manusia berat atau mengurangi/menambah atau mengartikan unsur-unsur delik dengan cara berbeda?

Pertanyaan ini muncul jika kita bandingkan UU 39/1999 dengan Statuta Roma, khususnya berkenaan dengan daftar yang tersedia (rationae materiae) dan rumusan delik.52

49

Untuk ini baca karya klasik Ian Brownlie, International Law and the Use of Force by States, (Oxford: Clarendon, 1963).

50

Natalia Ochoa-Ruiz & Esther Salamanca-Aguado, E plo i g the Li its of I te atio al La elati g to the Use of Force in Self-defence EJIL , Vol. No. , -524. Kedua penulis menyimpulkan bahwa: (...) the Court (ICJ) reaffirmed and outlined the conditions for the legitimate use of self-defence established in the Nicaragua case and in the Legality of Nuclear Weapons Advisory Opinion, namely, the existence of an armed attack; proportionality and necessity of action taken, and employment of force in self-defence against a military target. It also provided some guidance concerning the parameters of these conditions. Notably the Court strengthened the conditions of an armed attack, on the basis of treaty and customary law, thereby opting for a restrictive interpretation of the right of self-defence.

51

Simon Chesterman, Just War or Just Peace? Humanitarian intervention and international law, (Oxford University

P ess . Di dala kesi pula a ia e ataka : .. the e is o ight of hu a ita ia i te e tio i eithe the UN Cha te o usto a i te atio al la . … I the e e t of a i te e tio alleged to e o hu a ita ian grounds, the better view is that such an intervention is illegal but that the international community may, in extreme circumstances, tolerate the delict. (pp. 226-232).

52Bdgka pula de ga ‘. He la a g Pe da a Wi at a , HUKUM ACA‘A

PERADILAN HAK ASASI

(18)

UU 39/1999 Rome Statute destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:

(a) Killing members of the group;

(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;

(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;

(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;

(e) Forcibly transferring children of the group to another group.

Crimes against humanity means any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack:

(a) Murder;

(b) Extermination;

(c) Enslavement;

(19)

penduduk secara paksa; any other form of sexual violence of comparable gravity;

(h) Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that are universally recognized as

impermissible under international law, in connection with any act referred to in this paragraph or any crime within the

jurisdiction of the Court;

(i) Enforced disappearance of persons;

(j) The crime of apartheid;

(k) Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

War crimes (Art. 8):

War crimes include grave breaches of the Geneva Convention and other serious violation of the laws and custom applicable in international armed conflicts and in conflicts not of an international character listed in the Rome Statute, when they are committed as part of a plan or policy or on a large scale. These prohibite acts include:

(20)

(ii) Mutilation, cruel treatment and torture;

(iii) Taking of hostages;

(iv) Intentionally directing attacks against the civilian population;

(v) Intentionally directing attacks against building dedicated to religion, education, art, science or charitable puporses, historical monuments or hospitals;

(vi) Pilaging;

(vii) Rape, sexual slavery, forced pregnancy or any other form of sexual violence;

(viii) Conscripting or enlisting children under the age of 15 years or using them to participate actively in hostilities;

(ix) Killing of hostages;

(x) Torture or inhuman treatment , including biological experiment.

(21)

Indonesia, persecution diterjemahkan sebagai penganiayaan. Selain itu dalam versi bahasa Indonesia, butir k (other inhumane acts dstnya) dihapuskan.

Pertanyaannya adalah apakah istilah penganiayaan dalam Pasal 9 (butir h) UU 39/1999 harus ditafsirkan dalam konteks hukum pidana (KUHPidana) ataukah justru dibedakan darinya? Apabila pilihan pertama yang diambil, maka ketentuan pidana ini mempersempit luas lingkup ketentuan asli dalam Statuta Roma. Apa yang diancam pidana adalah perbuatan penganiayaan (mishandelingen) yang menyebabkan luka ringan, berat atau kematian dan penganiayaan ini ditujukan pada mereka yang berbeda paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin.

Sebaliknya jika pilihan kedua yang diambil, maka kita harus menelusuri apa makna sesungguhnya dari persecution? Ditengarai bahwa persecution (to pursue in such a way as to injure or aflict; to cause to suffer because of belief)53 sebagai suatu perbuatan (pidana) (yang tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan sekadar menganiaya) ditujuka against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3 . Artinya yang hendak

dikriminalisasi di sini adalah semua perbuatan orang atau kelompok orang (termasuk yang state

sponsored) yang bersifat diskriminatif dan mengakibatkan penderitaan pada kelompok sasaran (korban). Kiranya tafsiran kedua lebih masuk akal, mengingat juga jaminan konstitusi dalam Pasal 27 (UUD 1945), yakni bahwa setiap orang (warganegara) berkedudukan setara dihadapan hukum (negara) dan

pemerintahan (yang seharusnya demokratis, partisipatif dan akuntable). Juga dapat diargumentasikan bahwa pendekatan kedua ini lebih masuk akal (dari segi penafsiran sistematis), khususnya bila dikaitkan dengan ketentuan k yang dihapus dari versi bahasa Indonesia, yaitu: other inhumane acts of a similar character (dengan semua di atas: torture, rape, persecution dll) intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Dapat kita cermati pula bahwa kewenangan(rationae materiae) pengadilan Indonesia, berbeda dari Mahkamah Pidana Internasional, hanya mencakup dua hal, yaitu pelanggaran hak asasi manusia yang berat (dilakukan oleh seseorang di atas 18 tahun; Pasal 6) yang meliputi kejahatan genosida dan

kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7). Artinya secara formal, sistem hukum pidana Indonesia tidak mengenal konsep dan tidak mengkriminalisasi kejahatan perang. Ternyata pula bahwa yang diatur di dalam UU Militer dan menjadi kewenangan Mahkamah Militer adalah persoalan penegakan hukum dan disipli ilite a g tidak e i a a te ta g kejahata pe a g .54

53

Lema per-se-cute, dalam The Merriam Webster Dictionary, new edition, (Merriam-Webster Incorporated, Springfield-Massachusetts, 2004): 538.

54

Periksa UU 31/1997 (Peradilan Militer); KUHPidana Militer dan UU 25/2014 mencabut UU 26/1997 (hukum disiplin militer). Dalam KUHP belum ada kualifikasi tindak pidana yang disebut kejahatan perang. Namun ada perumusan tindak pidana yang berkait dengan perang atau yang dilakukan pada masa perang, antara lain seperti diatur dalam Pasal 111 Ayat (1) yaitu melakukan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkan untuk melakukan perang. Pasal 122 (1) dan (2) mengatur tentang perbuatan yang membahayakan kenetralan negara dalam masa perang yang tidak melibatkan Indonesia dan melanggar aturan pemerintah dalam masa perang. Pasal 123 soal dengan sukarela masuk tentara asing yang sedang berperang dengan Indonesia. Pasal 124 (1) dan Pasal 124 (2) Butir ke-1 dan ke-2 soal pemberian bantuan kepada musuh, memberitahukan

(22)

Pengakuan bahwa hukum pidana nasional tidak mengenal kejahatan perang sekaligus kesadaran hal itu harus dikoreksi sudah muncul. Barda Nawawi Arief, pakar hukum pidana dari Universitas Diponegoro, mengajukan sejumlah pilihan bagaimana dan di mana kejahatan perang dapat

ditempatkan-diintegrasikan. Pilihannya adalah 1) pengintegrasian ke dalam KUHPidana yang saat ini berlaku, 2) ditempatkan/diintegrasikan dalam UU di luar KUHP yang ada saat ini, misalnya dengan amandemen UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang sebenarnya telah mengatur

pelanggaran hak asasi manusia berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, 3) diatur/ditempatkan tersendiri dalam UU (di luar KUHP), serta 4) ditempatkan dalam KUHP yang akan datang sebagai upaya serta wujud kebijakan kodifikasi yang menyeluruh.55

Padahal sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Konvensi Den Haag 1907 dan Geneva Contentions (I, II, III, IV) 194956 (30.09.58; namun tidak menandatangani Additional Protocol I 1977, Additional Protocol II 1977 & Additional Protocol III 2005), Hague Convention 1907,57 Hague Convention 1954 (10.01.67), Hague Protocol 1954 (26.07.67) (namun tidak Hague Protocol 1999 (baru tandatangan pada 17.05.99); & ENMOD Convention 1976). Selain itu Indonesia adalah negara pihak dalam:58

1. Geneva Gas Protocol 1925 (21.01.71)

2. Biological Weapons Convention 1972 (19.02.92) 3. Chemical Weapons Convention 1993 (12.10.98) 4. Ottawa Treaty 1997 (20.02.07)

Di samping itu dari sekian banyak instrumen hukum humaniter yang sudah ditandatangani tapi belum diratifikasi atau bahkan belum ditandatangani, norma-norma di dalamnya oleh masyarakat internasional sudah dianggap berlaku dan mengikat sebagai hukum (positif) internasional.59 Dapat dimengerti

e gapa ke udia war crimes di dala “tatuta ‘o a tidak saja e akup pela gga a e at grave breaches) terhadap Geneva Convention melainkan mencakup pula pelanggaran serius (serious violation) terhadap the laws and custom applicable in international armed conflicts and in conflicts not of an international character.

pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan seperti tersebut dalam Pasal 124 serta Pasal 126 dan Pasal 127, yaitu pada masa perang dengan tidak bermaksud membantu musuh, memberikan pondokan/menyembunyikan mata-mata musuh, serta menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan AL/AD 55

Marcella Elwina S, Me gatu Kejahata Pe a g , Ha ia U u “ua a Me deka, dese e . 56

Geneva Convention (I) on wounded and sick in armed forces in the field 1949; Geneva Convention (II) on the wounded, sick and shipwrecked of armed forces at sea 1949; Geneva Convention (III) on prisoners of war 1949; and Geneva Convention (IV) on civilians 1949.

57

Mencakup Konvensi tentang international dispute settlement, hukum dan kebiasaan perang di darat dan perang di laut. Keterikatan Indonesia didasarkan pada ratifikasi yang dilakukan Pemerintahan Hindia Belanda melalui Wet 1 juli 1909, Koninklijk Besluit 22 februari 1919 (dan aturan peralihan)

58

Sebagaimana terdata dalam www.geneva-academy.ch/RULAC/international_treaties.php?id_state=108. (22.02/2015). Bdgkan juga dengan daftar yang tersedia dalam

https://www.icrc.org/.../States.xsp?...NORMStatesParties...treatySelected (22/02/2015). 59

(23)

Apakah perbedaan ini cukup penting sehingga masyarakat internasional kelak dapat menuduh

(pengadilan) Indonesia tidak mau atau mampu (unwilling atau unable) menangani pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi dalam yurisdiksi nasional? Dalam kasus perang kemerdekaan Aceh atau penetapan status Daerah Operasi Militer di Aceh, sebagaimana telah dijelaskan di atas, muncul persangkaan keduabelah pihak yang bertikai (terutama pihak angkatan bersenjata dari GAM maupun Indonesia cq. TNI) telah bersalah melakukan kejahatan perang. Hal serupa berlaku dengan konflik sektarian di Poso (1998-2001), Ambon-Maluku (1999-2002) di mana kedua belah pihak yang bertikai (dan menggunakan senjata) dipersangkakan melakukan kejahatan perang atau sebaliknya pemerintah diduga bersalah membiarkan atau justru mensponsori berlanjutnya pertikaian tersebut.60

Persoalan lain berkaitan dengan penafsiran atas unsur-unsur (dan chapeau elements) dari tiga pelanggaran hak asasi manusia berat (genocida, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan perang). Yurisprudensi (hukum pidana internasional) yang sudah ada dan berkembang setelah Mahkamah Pidana Internasional beroperasi mempertajam pengertian dari unsur-unsur atau istilah-istilah yang ada.61 Secara hukum bahkan hukum internasional mengakui dan menghormati putusan hakim sebagai sumber hukum yang penting.62 Pentingnya yurisprudensi pengadilan hak asasi manusia pada tataran

internasional sebagai sumber hukum (mengikat) tidak lagi dapat diperdebatkan.

Seberapa jauhkah yurisprudensi tersebut juga harus dianggap berlaku dan mengikat hakim pengadilan hak asasi manusia di Indonesia? Hakim Indonesia tentu dapat berkilah bahwa sistem hukum Indonesia tidak mengenal the binding force of precedent apalagi yang muncul dalam bentuk putusan dari

pengadilan ham ad hoc atau permanen di tataran internasional dan juga bahwa hakim Indonesia karena kemandirian kekuasaan kehakiman harus memutus berdasarkan keyakinannya sendiri – bebas dari pengaruh luar, termasuk putusan hakim terdahulu. Sebaliknya, bagaimanapun juga harus diterima kenyataan bahwa sepanjang berkenaan dengan putusan pengadilan nasional atas pelanggaran hak asasi manusia berat (apalagi yang mendapat perhatian dari masyarakat internasional), masyarakat

internasional (di dalam atau di luar forum PBB) akan menilai dan mengkritisi.

Apa yang dinilai selain keseluruhan proses pengadilan (due process of law) adalah logika yang melandasi pertimbangan hakim serta keluasan pengetahuan hakim. Kualitas buruk dari putusan (misalnya yang tidak konsisten dengan pengetahuan umum tentang kasus yang terjadi) atau yang mengeyampingkan sama sekali pemahaman umum atas unsur-unsur tindak pidana yang muncul dalam yurisprudensi internasional akan berpeluang dinilai sebagai proses pengadilan pura-pura yang sejak awal dimaksudkan

60

George J. Aditjondro, ORANG-ORANG JAKARTA DI BALIK TRAGEDI MALUKU , 7 juni 2001 www.michr.net

(23/02/2015). 61

Periksa misalnya Human Rights Watch Commentary to the 4th Preparatory Commission Meeting for the ICC. (PCNICC/1999/L.5/Rev.1/Add.2). tersedia di www.hrw.org/legacy/campaigns/icc/.../prep4_en.pd... (23/02/2015). Preparatory Commission for the International Criminal Court Working Group on Elements of Crimes (New York 16-26 February; 16-26 July-12 August; 29 November-17 December 1999), tersedia di www.iccnow.org/.../3rdSes... (23/02/2015). Bdgkan pula dengan Phylilis Hwang, Defining Crimes Against Humanity in the Rome Statute of the International Criminal Court (Fordham International Law Journal, Vol. 22, Issue 2, 1998).

62

(24)

untuk gagal (memeriksa secara layak kebersalahan/ketidakbersalahan terdakwa). Ini jelas akan mencoreng reputasi internasional negara, terutama negara Indonesia yang di dalam kontstitusi

mengaku negara hukum yang menghormati dan melindungi hak asasi manusia dari warga negara tanpa memandang perbedaan suku-ras dan agama.

Penutup

Bilamana kita kembali kepada persoalan pokok: perkaitan dan persinggungan hukum internasional dengan hukum nasional, yang kasat mata muncul di sini adalah kompleksitas keterjalinan hukum pidana nasional dengan hukum pidana trans-nasional dan hukum pidana internasional dalam arti sempit. Teori-teori klasik yang ada monism atau dualism tidak lagi berguna menjelaskan keterkaitan dan keterjalinan tersebut. Kerumitan itu juga muncul mengingat keterjalinan rezim international human rights law dengan ketiga sistem hukum berbeda tersebut. Itu pula alasan mengapa ketika berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat (gross human rights violations) baik yang muncul dalam konteks hukum pidana transnasional atau hukum pidana internasional dalam arti sempit yang mensyaratkan adanya extra-ordinary measures tidak terlalu berguna bersikukuh mempertahankan argumen

kedaulatan atau kepentingan nasional. Pelanggaran hak asasi manusia yang muncul dari tindak pidana demikian pada akhirnya menjadi kepentingan bersama (banyak atau semua) negara untuk

menanggulangi dan memberantasnya.

Sekalipun begitu untuk hukum pidana trans-nasional dengan mudah dapat kita katakan bahwa selama negara berdaulat belum meratifikasi, perjanjian internasional yang ada (mengatur trans-national crimes) tidak akan mengikat dan tidak menjadi bagian dari hukum nasional. Sebaliknya begitu diratifikasi, kesepakatan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan, negara berkewajiban di bawah hukum internasional untuk mengkriminalisasi perbuatan yang disebut di dalam perjanjian internasional tersebut. Ketidaktaata aka di espo s se agai breach of (treaty-)contract . Hal ini jauh berbeda bila kita berhadapan dengan pelanggaran hukum yang dkualifikasikan sebagai tiga dari empat kejahatan yang jatuh ke dalam lingkup wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Bahkan negara yang tidak menandatangani atau meratifikasi statuta Roma tidak mungkin menyatakan bahwa negara lain atau Mahkamah Pidana Internasional tidak wenang memeriksa dan mengadili.

Tentu ini dikatakan dengan mengenyampingkan realitas politik di mana negara-negara besar seperti Amerika Serikat dapat menuntut imunitas bagi warganya yang disangka melakukan 3 kejahatan

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian setelah peneliti telah uraikan, dapat dilihat dari latar belakang diatas, hal tersebut menarik untuk diteliti, adapun yaitu meneliti bagaimana Dinas Kepemudaan Olahraga

Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan variable dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variable dari seluruh responden,

• Meng-extract single file dari file arsip tar, tar.gz, tar.bz2 • extract multiple file dari file arsip tar, tar.gz, tar.bz2 • Meng-extract suatu format file dari dalam file arsip

Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan pada Rumah Sakit Islam (RSI) Malang

DIA merekam data APBN, melaksanakan konsolidasi data akuntansi dari seluruh Kanwil Ditjen PBN serta melakukan verifikasi dan akuntansi data transaksi penerimaan dan pengeluaran BUN

Total kunjungan kapal laut di 12 pelabuhan laut yang ada di Sulawesi Utara (Pelabuhan Labuhan Uki, Tahuna, Lirung, Likupang, Ulu-Siau, Pehe-Siau, Tagulandang, Biaro, Amurang,

2. Persiapan fisik dan mental supaya dalam melaksanakan praktek mangajar mempunyai rasa percaya diri, emosi dapat dikendalikan sehingga dapat menghadapi kemungkinan rintangan

Menurut penuturan bapak Afroh, nasi dikepal itu mirip seperti simbol yang sering digunakan dalam peribadatan Agama Hindu yaitu japa mala , untuk kemudian oleh Sultan