• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI DOKTRIN VICARIOUS LIABILITY DALAM PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Kasus Perkara No. 70 Pdt.G2006 PN.Pdg)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI DOKTRIN VICARIOUS LIABILITY DALAM PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Kasus Perkara No. 70 Pdt.G2006 PN.Pdg)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

A. PENDAHULUAN

Persoalan lalu lintas merupakan salah satu masalah berskala nasional yang berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Masalah lalu lintas yang dihadapi dewasa ini adalah masih tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Di Indonesia, setiap

tahun sekitar 9.000 nyawa

melayang sia-sia akibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Data tersebut menunjukkan bahwa dua puluh lima orang tewas setiap

hari atau ada satu orang

meninggal dunia di jalan raya setiap lima puluh tujuh menit.1) Ini

1)

Kompas Cyber Media,Setiap Hari 25 Orang Mati di Jalan, http://www. Kompas community. com, 2003, 02 Mei 2007, diakses terakhir kali tanggal 5 Januari 2013.

memperlihatkan bahwa walau telah dilakukan upaya penerangan dan penyuluhan serta tindakan operasi

seperti operasi zebra yang

dilanjutkan dengan operasi patuh,

namun jumlah korban akibat

kecelakaan lalu lintas masih memprihatinkan bahkan sangat menakutkan.

Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas di samping kendaraan bermotor dan kondisi lingkungan di jalan raya. Hal ini terjadi karena adanya kecerobohan atau kealpaan pengemudi dalam mengemudikan

kendaraannya. Kecerobohan

IMPLEMENTASI DOKTRINVICARIOUS LIABILITY DALAM PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS

(Studi Kasus Perkara No. 70 Pdt.G/2006/ PN.Pdg)

1

Arifin, Uning Pratimaratri2, Yetisma Saini2 1

Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum 2

Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Bung Hatta Email:[email protected]

ABSTRAK

Vicarious liability in principle is a refinement and deepening of the regulative principle of juridical moral is in certain respects a person's perceived responsibility should extend to the acts of his subordinates who do work or act for him or within the limits of his command. There are two important requirements that must be met in order to apply a criminal act with which vicarious liability there must be a relationship such as employment relationship between employer and employee or worker and criminal acts committed by an employee or worker must be related or are still within the scope of his work. Implementation or application of the doctrine of vicarious liability in the case of a traffic accident in the jurisdiction of the District Court of Class IA Champaign divided into civil liability and criminal liability. Perpetrators of criminal responsibility ditanggug by traffic accidents and losses incurred are borne by the actors who work. While consideration of the judge applying the doctrine of vicarious liability is the working relationship between the perpetrator traffic accident that Defendant C as a truck driver with Defendant A, the employer of Defendant C and the work done was within the scope of employment as a truck driver Defendant A. This can be seen in decision No Traffic Accident Case. 70 Pdt.G/2006 / PN.Pdg Jurisdiction in the District Court of Class IA Champaign.

(2)

pengemudi tersebut tidak jarang menimbulkan korban, baik korban menderita luka berat2) atau korban meninggal dunia3) bahkan tidak

jarang merenggut jiwa

pengemudinya sendiri. Wirjono

Prodjodikoro mengemukakan

bahwa :4)

“Kesalahan pengemudi mobil

sering dapat disimpulkan dengan mempergunakan peraturan lalu

lintas. Misalnya, ia tidak

memberikan tanda akan membelok, ia mengendarai mobil tidak di jalur kiri, pada suatu persimpangan tidak

memberikan prioritas kepada

kendaraan lain yang datang dari sebelah kiri, atau menjalankan mobil terlalu cepat melampaui batas kecepatan yang ditentukan dalam rambu-rambu dijalan yang

bersangkutan.”

Pernyataan Wirjono Prodjodikoro di atas, menegaskan bahwa adanya kecelakaan lalu lintas lebih

2)

Masalah korban luka berat diatur dalam Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi : Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapatkan luka berat diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun kurungan paling lama satu tahun. Luka berat diatur dalam Pasal 90 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah : Jatuh sakit atau mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian. Kehilangan salah satu panca indera. Mendapat cacat berat (verminking). Menderita sakit lumpuh. Terganggunya daya fikir selama empat minggu lebih. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

3)

Korban meninggal dunia diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi : Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

4)

Wirjono Projodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 81.

disebabkan karena faktor kesalahan manusianya. Kesalahan pengemudi adalah tidak ada rasa hati-hati dan

lalai dalam mengemudikan

kendaraannya sehingga

menyebabkan orang luka berat dan meninggal dunia. Orang yang mengakibatkan kecelakaan tersebut

harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya atau dipidana.

Dipidananya seseorang tidak cukup orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan

dengan hukum atau bersifat

melawan hukum, meskipun

perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan. Hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu, pemidanaan masih perlu adanya syarat yaitu bahwa orang yang

melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau bersalah

(subjective guilt). Disini berlaku

apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafeit ohne schhuld atau geen straf

zonder schuld ) atau nulla poena

sine culpa.Culpa di sini dalam arti

luas meliputi kesengajaan.5)

Pertanggungjawaban pidana

atau criminal reponsibilty/ criminal

liability dimaksudkan untuk

menentukan apakah seseorang

tersebut dapat

dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu.6) Dalam konsep KUHP, pada Pasal 27

dinyatakan bahwa,

5)

Sudarto, 1974, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Pusat Study Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

6)

(3)

“Pertanggungjawaban pidana

adalah diteruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat

yang memenuhi syarat-syarat

undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya. Roeslan Saleh mengatakan bahwa :

“Dalam pengertian perbuatan

pidana tidak termasuk

pertanggungjawaban. Orang yang melakukan perbuatan pidana dan

memang mempunyai kesalahan

merupakan dasar adanya

pertanggungjawaban pidana.”7)

Asas yang tidak tertulis

mengatakan, “Tidak di ada pidana

jika tidak ada kesalahan,

merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat. Seseorang melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.8) Seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :9) 1. Harus ada perbuatan yang

bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Jadi harus ada unsur obejektif. 2. Terhadap pelakunya ada unsur

kesalahan dalam bentuk

kesengajaan dan atau kealpaan,

sehingga perbuatan yang

melawan hukum tersebut dapat

di pertanggungjawabkan

kepadanya. Jadi ada unsur subjektif.

7)

Djoko Prakoso, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, hlm.75.

8)

Prodjohamidjojo, 1997, Martiman,

Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoesia,

Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 31.

9)

R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, hlm. 60-61

Bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan

pidana merupakan masalah

kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana harus sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal dan sehat, ini yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat. Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan

normal, maka ukuran-ukuran

tersebut tidak berlaku baginya tidak

ada gunanya untuk diadakan

pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi sebagai berikut :

1. Barang siapa mengerjakan

sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang

sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang

sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim

boleh memerintahkan

(4)

Sebenarnya mengenai

kemampuan bertanggungjawab

tidak secara terperinci diatur oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana,

misalnya van Hammel yang

mengatakan, orang yang mampu

bertanggungjawab harus

memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :10)

1. Dapat menginsafi (mengerti)

makna perbuatannya dalam

alam kejahatan.

2. Dapat menginsafi bahwa

perbuatanya di pandang tidak

patut dalam pergaulan

masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat

atau kehendaknya terhadap

perbuatan tadi.

Sementara itu secara lebih tegas

Simons mengatakan bahwa :

“Mampu bertanggungjawab adalah

mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsafan itu menentukan

kehendaknya”.11) Menurut Sutrisna

bahwa : “Untuk adanya

kemampuan beranggungjawab

maka harus ada dua unsur yaitu :12) 1. Kemampuan untuk

membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai

dengan hukum dan yang

melawan hukum.

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

10)

Sutrisna dan I Gusti Bagus, 1986, Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap Pasal 44 KUHP), dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta :Ghalia Indonesia , hlm.79

11) Ibid 12)

Ibid.

Dengan kata lain, kemampuan

bertanggungjawab berkaitan

dengan dua faktor terpenting, yakni faktor akal untuk membedakan

antara perbuatan yang di

perbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.

Menurut Jonkers,

“Ketidakmampuan

bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa di dasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang di sebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44, 48, 49, 50, dan

Pasal 51”. 13) Jadi, bagi Jonkers

orang yang tidak mampu

bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang

cacat atau karena gangguan

penyakit tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.

Mengenai anak kecil yang umurnya masih relatif muda, dalam keadaan-keadaan yang tertentu

untuk dianggap tidak mampu

bertanggungjawab harus didasarkan pada Pasal 44 KUHP, jadi sama

dengan orang dewasa. Tidak

mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, itu tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang di lakukan.

Anak memiliki ciri dan

karakteristik kejiwaan yang khusus,

13)

(5)

yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di pidana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. sebab, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia di pandang tidak bersalah, sesuai dengan asas tidak di pidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak di pidana.14)

Namun dengan adanya

perkembangan masyarakat, baik perkembangan di bidang industri,

ekonomi maupun perdagangan,

asas tersebut tidak dapat

dipertahankan sebagai satu-satunya asas dalam hal pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, konsep itu juga memberikan kemungkinan

adanya penyimpangan atau

pengecualian asas kesalahan

terhadap perbuatan pidana tertentu yaitu dengan adanya prinsip

vicarious liability yaitu

pertanggungjawaban menurut

hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang

lain (the legal responsibility of one

person for the wrongful acts of

another). Secara singkat vicarious

liability diartikan sebagai

“pertanggungjawaban pengganti”.

Pertanggungjawaban pengganti itu dirumuskan dalam Pasal 35 ayat (3) Rancangan KUHP yang berbunyi : Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang.

Prinsip vicarious liability ini

pada prinsipnya merupakan

penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan

bawahannya yang melakukan

pekerjaan atau perbuatan untuknya

14)

Ibid, hlm.84

atau dalam batas-batas perintahnya.

Oleh karena itu, meskipun

seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana

namun dalam rangka

pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Roeslan Saleh berpendapat

bahwa : “Pada umumnya seseorang

bertanggung jawab atas

perbuatannya sendiri. Akan tetapi ada yang disebut vicarious liability, orang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Aturan undang-undang yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang sebagai pelaku yang bertanggung

jawab”.15) Ada dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu perbuatan pidana denganvicarious liability yaitu : 1. Harus terdapat suatu hubungan

seperti hubungan pekerjaan antara majikan dengan pegawai atau pekerja.

2. Perbuatan pidana yang

dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Pertanggungjawaban vicarious

itu jarang diterapkan dalam kasus-kasus pidana. Jika vicarious

liability hendak diterapkan harus

terdapat dua syarat, yakni adanya hubungan kerja dan tindakan itu

masih dalam ruang lingkup

pekerjaannya. Syarat semacam ini biasanya terdapat dalam hubungan antara majikan dan pekerja, seperti yang dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri Padang Kelas IA

Padang No. 70

Pdt.G/2006/PN.PDG, dalam

15)

(6)

perkara antara Zainal (pemilik angkota/korban) selaku penggugat melalui surat gugatannya tanggal 28 Agustus 2006 dengan Nomor

Register Perkara No.

70/Pdt.G/2006/PN-PDG menggugat Zainal Usman, Nian (Pemilik Truck Tronton), Direktur Utama PT. Beta Karya Utama, Doni Eka Putra selaku sopir Truck Tronton milik Zainal Usman dan Nian (suami-istri) yang telah melahirkan kerugian kepada penggugat dalam kecelakaan lalu lintas pada hari selasa, tanggal 4 Oktober 2005.

Dimana dalam putusan ini Ny. Dina Krisnayati,SH., sebagai Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Padang mengabulkan

gugatan penggugat sebagian,

menyatakan tergugat Zainal Usman dan Nian sebagai majikan dari Doni Eka Putra telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan bahwa semua kerugian yang penggugat derita adalah akibat dari kesalahan dan kelalaian yang disengaja oleh tergugat- tergugat dalam hal pengoperasian Truk Tronton BA 9962 JA di jalan raya dengan

mengabaikan syarat-syarat

keselamatan sebagai sarana angkutan peti kemas dan tidak memikirkan keselamatan orang lain (penggugat),

menyatakan bahwa tindakan

tergugat A yang lari dari tanggung jawab atas semua kerugian yang penggugat alami adalah perbuatan melawan hukum, dan menghukum tergugat Zainal Usman dan Nian selaku pemilik, pengelola, dan majikan dari Doni Eka Putra dan Doni Eka Putra membayar semua kerugian yang penggugat derita.

Dalam perkara tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa telah diterapkannyavicarious liability atau tanggung jawab pengganti. Dimana

kerugian yang lahir karena kecelakaan lalu lintas antara mobil angkot milik penggugat dengan truck tronton milik tergugat yang telah merenggut beberapa nyawa penumpang angkot tidak hanya ditanggung oleh Doni Eka Putra selaku sopir angkot akan tetapi juga ditanggung oleh Zainal Usman dan Nian selaku pemilik, pengelola, dan majikan dari Doni Eka Putra. Permasalahannya adalah

bagaimanakah implementasi

doktrin vicarious liability dalam perkara Kecelakaan Lalu Lintas No. 70 Pdt.G/2006/ PN.Pdg di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri

Klas IA Padang dan apakah

pertimbangan hakim menerapkan Doktrin Vicarious Liability dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas No. 70 Pdt.G/2006/ PN.Pdg di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Klas IA Padang ?

B. PEMBAHASAN

1. Implemntasi Doktrin Vicarious Liability Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas No. 70 Pdt.G/2006/ PN.Pdg di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Klas IA Padang

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa lalu lintas berarti

berbicara mengenai manusia,

kendaraan, dan jalan yang

masing-masing mempunyai masalah

tersendiri dan berkaitan dengan keselamatan hidup orang banyak khususnya para pemakai jalan raya. H.S. Djajusman mengatakan bahwa lalu lintas merupakan gerak-gerik pindah manusia dengan atau tanpa alat penggerak dari satu tempat ke

tempat lain”. Sedangkan Pasal 1

(7)

Jalan mengartikan lalu lintas dengan gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan.

Lalu lintas mempunyai

kedudukan yang vital dalam

kehidupan masyarakat. Fungsi lalu lintas dapat disamakan dengan fungsi peredaran darah tubuh manusia. Kesehatan manusia sangat tergantung dari kesempurnaan saluran-saluran darah melalui fungsinya. Ketidaklancaran apalagi kemacetan dalam peredaran darah

akan menimbulkan berbagai

macam penyakit. Demikian pula

halnya dengan lalu lintas,

keamanan, ketertiban, dan

kelancaran lalu lintas dengan mengindahkan faktor efisiensi, akan mewujudkan ketenangan bagi masyarakat, khususnya pemakai jalan raya. Akan tetapi lalu lintas yang tidak aman, tidak lancar, dan tidak tertib serta tidak efisien

pengaturannya akan membawa

kesulitan yang besar bagi

masyarakat pemakai jalan raya itu sendiri seperti terjadi kecelakaan lalu lintas yang melahirkan kerugian materil maupun kerugian immateril. Dimana, kecelakaan berlalu lintas tersebut lebih disebabkan oleh faktor kesalahan manusia atau pengumudi yang tidak

hati-hati dan lalai dalam

mengemudikan kendaraannya

sehingga menyebabkan orang luka berat dan meninggal dunia yang berarti telah melakukan tindak pidana, merupakan satu tindakan atau perbuatan yang diancam

dengan pidana oleh

undang-undang, bertentangan dengan

hukum dilakukan dengan kesalahan

oleh seseorang yang mampu

bertangggungjawab. Agar suatu

tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi

semua unsur dalam delik

sebagaimana yang dirumuskan

dalam undang-undang. Setiap delik sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut

undang-undang itu, pada

hakekatnya merupakan suatu

tindakan melawan hukum.

Dipidananya seseorang tidak cukup orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan

dengan hukum atau bersifat

melawan hukum. Meskipun

perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Pemidanaan

masih perlu adanya syarat

kesalahan atau bersalah yang bertolak dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas itu

merupakan asas yang sangat

fundamental dalam

mempertanggungjawabkan

perbuatan yang telah melakukan tindak pidana. Pengertian asas itu

menunjukkan bahwa seseorang

tidak dapat dipidana apabila ia tidak mempunyai kesalahan, baik

berupa kesengajaan maupun

kealpaan. Jadi, prinsipnya asas itu

bertolak dari “pertanggungjawaban

pidana berdasarkan asas kesalahan (liability based of fault). Asas itu terdapat dalam Pasal 35 ayat (1)

KUH Pidana berbunyi : “Tidak

seorang pun dapat dipidana tanpa

kesalahan.” Dalam pengertian

tindak pidana termasuk hal

pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Apakah pembuat yang telah

(8)

pidana, sangat tergantung kepada

persoalan apakah ia dalam

melakukan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Dengan perkataan lain, apakah ia mempunyai kesalahan atau tidak.

Kesalahan adalah keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan

itu dan hubungannya dengan

perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela melakukan perbuatan

tersebut. Bilamana pembuat

tersebut memang mempunyai

kesalahan dalam melakukan tindak pidana itu, ia tentu akan dijatuhi pidana. Akan tetapi, manakala ia

tidak mempunyai kesalahan,

walaupun ia telah melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana, ia tentu tidak akan dijatuhi pidana. Asas tiada pidana tanpa

kesalahan dengan demikian

merupakan asas fundamental dalam mempertanggungjawabkan

pembuat karena telah melakukan tindak pidana. Asas itu juga merupakan dasar dijatuhkannya pidana kepada pembuat. Walaupun

demikian, dengan adanya

perkembangan masyarakat, baik perkembangan di bidang industri,

ekonomi maupun perdagangan,

asas tersebut tidak dapat

dipertahankan sebagai satu-satunya asas dalam hal pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, konsep itu juga memberikan kemungkinan

adanya penyimpangan atau

pengecualian asas kesalahan

terhadap perbuatan pidana tertentu, seperti kecelakaan lalu lintas yang

menyebabkan orang meninggal

dunia.

Kecelakaan lalu lintas

merupakan kejadian akhir dari

peristiwa kecelakaan yang

akibatnya bukan hanya kematian dan luka-luka tetapi juga kerusakan

terhadap benda. Terjadinya

kerusakan atau hancurnya sesuatu benda dalam kecelakaan lalu lintas

pada gilirannya melahirkan

kerugian terhadap pemilik barang atau benda tersebut. Tentunya kepada para pihak diwajibkan

mengganti kerugian yang

ditimbulkan dari kecelakaan lalu

lintas dimaksud. Apakah

penggantian kerugian tersebut harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan atau pihak yang tidak terlibat dalam kecelakaan tetapi

terkait dengan kecelakaan.

Sehubungan dengan hal ini, Ibu Dina Hayati Syofyan kemudian dibenarkan oleh Dina Krisnayati dan Masrimal, yang mengatakan bahwa :16)

“Dalam kecelakaan lalu lintas,

akibat yang muncul bukan hanya hilangnya nyawa orang lain dan luka-luka pada pihak korban akan tetapi juga melahirkan kerugian berupa rusak atau hancurnya barang milik korban. Jika terjadi hal yang demikian, pada dasarnya pihak korban dapat memperkarakannya baik melalui sidang pidana dan mengajukan gugatan dalam rangka menuntut kerugian yang timbul dalam sidang perdata. Perkara ini dapat diajukan bersama-sama dan bisa juga diajukan secara terpisah. Persoalannya adalah siapa yang mempertanggungjawabkan

perbuatan pidananya dan siapa yang bertanggung jawab atas

kerugian yang ditimbulkan.

Terhadap persoalan ini, yang

16)

(9)

bertanggung jawab atas perbuatan

pidana adalah pelaku dalam

kecelakaan lalu lintas dan kerugian korban ditanggung oleh pada siapa pelaku bekerja atau Vicarious

liability, sebagaimana pernah dan

telah diputus dalam putusan No. 70

Pdt.G/2006/PN.Pdg.”

Putusan No. 70

Pdt.G/2006/PN.Pdg., merupakan putusan perkara perdata yang telah diperiksa dan diadili dalam peradilan tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri kelas I Padang, dengan surat gugatan tertanggal Padang Agustus 2006 yang telah didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Padang pada tanggal 28 Agustus 2006. Dimana para pihak dalam perkara tersebut adalah Zainal, umur + 52 tahun, pekerjaan jualan, alamat di Jl. Banyuwangi no. 16 RT 02 RW

II Gaung Kelurahan Gates,

Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang, sebagai Penggugat berlawanan dengan Zainal Usman, umur + 42 tahun, pekerjaan Pegawai Pelindo II Teluk Bayur Padang; NIAN (pgl. NIAN) umur + 40 tahun pekerjaan rumah tangga, keduanya suami istri, alamat di Komplek Jondol Blok Y

No. 1 Kelurahan Rawang,

Kecamatan Padang Selatan Kota Padang, selanjutnya disebut sebagai: TERGUGAT A; Direktur Utama Pt. Beta Karya Utama. alamat di Jl.Parak Pisang No.5 Kelurahan Parak Gadang Kecamatan Padang

Timur Padang Kota Padang,

selanjutnya disebut sebagat

TERGUGAT B; DQNI EKA

PUTRA. UMUR + 21 tahun, pekerjaan sopir, alamat Jl. Belawan Kampung Baru No.1 Kelurahan Teluk Bayur Kecamatan Padang Selatan Kota Padang, selanjutnya

disebut sebagai : TERGUGAT C. Adapun posisi kasus perkara tersebut sebagai berikut :

1. Penggugat adalah sebagai pemilik mobil Angkot/Mikrolet Merek SUZUKI ST 100 Tahun 1993 nomor Polisi BA. 2940.JF yang mempunyai Surat Izin Trayek Pasar Raya - Teluk Bayur Via Seberang Padang, dengan Kartu Pengawas (KP) Nomor 433;

2. Bahwa mobil Angkot/Mikrolet Merek SUZUKI ST 100 Tahun 1993 Nomor Polisi BA. 2940 JF milik Penggugat telah

menjadi korban, akibat

peristiwa yang terjadi pada hari Selasa sekitar jam 7.40 wib pagi, tanggal 4 Oktober 2005, di An. Sutan Syahrir dekat kuburan Turki, dimana Truck Tronton BA. 9962 JA, milik,

yang dikemudikan oleh

Tergugat C, pada saat kejadian

sedang membawa muatan

berupa peti kemas/container seberat + 20 ton, dan peti kemas

yang diangkut oleh Truck

Tronton BA. 9962 JA telah jatuh, selanjutnya menimpa mobil Angkot/Mikrolet Merek SUZUKI Tahun 1993 Nomor Polisi BA. 2940 JF milik Penggugat yang berisikan penumpang sebanyak 5 orang termasuk Sopir (pengemudi) 3. Bahwa kelima penumpang yang

(10)

melakukan tuntutan ganti rugi secara terserndiri;

4. Bahwa akibat kejadian tersebut mobil Angkot/Mikrolet BA. 2940 JF milik dari Penggugat mengalami rusak berat (hancur), sejak kejadian tersebut mobil

angkot milik Penggugat

tersebut telah ditahan di Poltabes Padang dijadikan sebagai barang bukti, dimana sampai sekarang telah memakan waktu selama 10 (sepuluh) bulan, yaitu dari kejadian sampai dengan perkara ini didaftarkan. Perincian kerusakan dimaksud sebagai berikut : Karoseri/body hancur total, Cassis/rangka bengkok, Sarang Gardan, beserta As Roda bengkok, Das boar hancur, Stir Patah, Kaca depan, belakang, kaca samping kanan kiri, kaca pintu depan kiri, kanan pecah, Lampu belakang pecah/hancur, Plapon rusak, Bangku depan, angku penumpang rusak. Accu hancur, dan Kaca spion kanan, kiri hancur serta Radiator hancur, Mesin besarta komponennya rusak. Total kerugian + Rp. 35.000.000,-(tiga puluh lima juta rupiah), termasuk upah perbaikan;

5. Mobil angkot BA.2940 JF tersebut adalah merupakan

satu-satunya sarana untuk

menunjang kehidupan keluarga

Penggugat, serta untuk

membiayai kebutuhan sehari-hari dari keluarga terutama anak perempuan Penggugat 2 yang telah ditinggal mati oleh suaminya dan mempunyai anak satu orang yang masih kecil, sebab uang pembelian mobil angkot tersebut adalah berasal dari

santunan/Klaim Asuransi yang diterima oleh anak Penggugat dari perusahaan tempat suaminya bekerja;

6. Mobil angkot milik Penggugat tersebut menerima hasil dari setoran wajib dari pengemudi sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) per harinya, dan sejak kejadian

tersebut Penggugat telah

kehilangan penghasilan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) setiap hari, dan sampai perkara ini didaftarkan telah memakan waktu selama 10 (sepulu) bulan ;

7. Atas semua kerugian yang telah Penggugat derita tersebut, ternyata para Tergugat tidak mau tahu, dimana para Tergugat sebagai pihak yang bertanggung jawab seolah-olah ingin lari dari

tanggung jawabnya, sebab

Penggugat telah berulang kail

menemui Tergugat untuk

meminta pertanggung

jawabannya, akan tetapi Tergugat tidak mau bertanggung jawab, dan malahan Tergugat A dengan angkuhnya telah mengeluarkan kata-kata yang tidak

bersahabat, dengan

menganjurkan agar Penggugat menempuh jalur hukum, seolah-olah ianya tidak memikirkan kerugian yang diakibatkan kesalahannya ;

8. Bahwa dalam hal terjadinya

peristiwa/ kejadian yang

mengakibat kerugian kepada Penggugat, jelas Tergugat A dan B sebagai pemilik dan sebagai Pengelola atas Truck Tronton

BA.9962 JA harus

(11)

secara fakta dimana Tergugat A sebagai pemilik dan sebagai

pengelola telah sengaja

menyerahkan kenderaannya

untuk dikemudikan kepada

Tergugat C yang nota bene belum/tidak berhak secara hukum mengemudikan Truk Tronton milik Tergugat A, karena Tergugat B tidak mernpunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) B.I, dimana terbukti bahwa Tergugat B hanya mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM)

A pribadi, yang hanya

diperbolehkan mengemudikan mobil roda 4 (empat), serta tidak melengkapi truck Tronton BA.9962 JA dengan perlengkapan pengamanan yang diwajibkan sebagaimana layaknya sebagai sarana alat pengangkut peti kemas;

9. Bahwa atas semua kerugian yang Penggugat derita tersebut, adalah diakibatkan dari kesalahan dan kelalaian dari para Tergugat, hal tersebut terbukti bahwa Tergugat B telah dinyatakan bersalah melanggar Pasal 359 dan Pasal 360 KUH Pidana dan dihukum oleh Pengadilan Negeri Padang, sesuai dengan putusan tanggal 4 April 2006 Nomor 548/Pid.B/2005.PN.PDG, dimana dihukum selama 3 (tiga) tahun, dan putusan dalam perkara

tersebut telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap. Terhadap duduk perkara atau posisi kasus di atas, Pengadilan Negeri Klas IA Padang telah mengeluarkan putusan mengabulkan gugatan penggugat sebahagian, menyatakan tergugat A dan C telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan bahwa semua kerugian

yang penggugat derita adalah akibat dari kesalahan dan kelalaian yang disengaja oleh tergugat-tergugat dalam hal pengoperasian Truk Tronton BA 9962 JA di jalan raya dengan mengabaikan syarat-syarat keselamatan sebagai sarana angkutan peti kemas dan tidak memikirkan keselamatan orang lain (penggugat);

menyatakan bahwa tindakan

tergugat A yang lari dari tanggung jawab atas semua kerugian yang penggugat alami adalah perbuatan

melawan hukum; menghukum

tergugat A dan C dimana membayar semua kerugian yang penggugat derita dengan perincian biaya perbaikan mobil Angkot BA 2940 JF Rp 16.762.350, setoran angkot selama 10 bulan yaitu : 30 x 10 Rp 120.000,-= 36.000.000,-, dan menghukum tergugat A dan C untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 371.000 (tiga ratus tiga puluh satu ribu rupiah). Diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 22 Mei 2007 oleh Hakim Ketua Ny.

Dina Krisnayati,SH, dengan

didampingi oleh Hakim-hakim

anggota Masrimal. SH dan Ahmad Rosyidin. SH. MH., dibantu oleh Bakti Indra Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Penggugat tanpa dihadiri oleh para Tergugat

Jika diperhatikan duduk perkara dan putusan yang dikeluaran atau

diucapkan oleh hakim dalam

putusan di atas, nampak dengan

jelas bahwa hakim telah

menerapkan atau melibatkan asas

Vicarious liability. Hal ini terlihat

ketika hakim membacakan

putusannya dengan melibatkan tergugat A sebagai pihak yang diharuskan membayar kerugian yang diderita oleh penggugat yaitu Zainal. Bila dipahami lebih lanjut

Putusan No. 70

(12)

Tergugat A : Zainal Usman dalam perkara ini adalah sebagai pemilik mobil Truck Tronton BA 9962 JA yang dikemudikan oleh Tergugat C : Doni Eka Putra. Artinya disini keterlibatan Tergugat A harus membayar kerugian yang diderita oleh Penggugat : Zainal adalah sebagai iduk semang dari Tergugat

C yang bekerja kepadanya.

Tegasnya ada hubungan kerja

antara Tergugat C dengan

Tergugat A yaitu Tergugat C

sebagai penerima kerja dan

Tergugat A sebagai pemberi kerja. Sementara kesalahan timbul karena perbuatan Tergugat C sementara yang mennaggung akibat yang timbul dari perbuatan Tergugat C adalah Tergugat A. dalam hal ini ada implikasi Vicarious liability

dalam kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada hari Selasa sekitar jam 7.40 wib pagi, tanggal 4 Oktober 2005, di Jl. Sutan Syahrir dekat

kuburan Turki antara Truck

Tronton BA. 9962 JA, milik, yang dikemudikan oleh Tergugat C yang sedang membawa muatan berupa peti kemas/container seberat + 20 ton dengan mobil Angkot/Mikrolet Merek SUZUKI Tahun 1993 Nomor Polisi BA. 2940 JF milik

Penggugat yang berisikan

penumpang sebanyak 5 orang

termasuk Sopir (pengemudi).

Vicarious liability adalah

pertanggungjawaban menurut

hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang

lain (the legal responsibility of one

person for the wrongful acts of

another). Secara singkat vicarious

liability sering diartikan sebagai

“pertanggungjawaban pengganti”.

Pertanggungjawaban pengganti itu

dirumuskan dalam Pasal 35 ayat (3)

Konsep yang berbunyi, “Dalam hal

tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang. Untuk memahami lebih jauh latar dan alasan dicantumkannya asas vicarious

liability ini ke dalam konsep, dapat

dilihat pada penjelasannya berikut ini. Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana

tanpa kesalahan. Lahirnya

pengecualian ini merupakan

penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan

bawahannya yang melakukan

pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.

Oleh karena itu, meskipun

seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana

namun dalam rangka

pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak

pidana. Sebagai suatu

pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh

undang-undang agar tidak

digunakan secara

sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggung jawab mutlak atau ”vicarious liability”. Roeslan Saleh dalam

bukunya mengakui adanya

(13)

pengecualian dari asas kesalahan. Roeslan Saleh berpendapat bahwa

pada umumnya seseorang

bertanggung jawab atas

perbuatannya sendiri. Akan tetapi ada yang disebutvicarious liability, orang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Aturan

undang-undanglah yang

menetapkan siapa-siapakah yang dipandang sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

Vicarious liability biasa

digunakan dalam hukum perdata. Namun, dalam hukum pidana

merupakan hal baru karena

menyimpang dari asas kesalahan yang dianut selama ini. dalam hukum perdata vicarious liability

diterapkan pada kasus-kasus

kerugian (tort). Tort merupakan pembayaran ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukan oleh

buruh yang merugikan pihak

ketiga. Akan tetapi, dalam hukum pidana konsepnya sangat berbeda. Diterapkannya hukuman (pidana) terhadap orang yang merugikan

atau mengancam kepentingan

sosial, sebagian untuk memperbaiki dan sebagian lagi untuk melindungi dan mencegah dari aktivitas yang bersifat anti sosial. Penerapan doktrin vicarious liability itu berkembang dan pada akhirnya juga dicoba untuk diterapkan pada kasus-kasus pidana. Perkembangan doktrin itu terutama didukung oleh putusan-putusan pengadilan yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan berikutnya, yang pada dasarnya menganut asas precedent.

Perkembangan yang pesat

mengenai vicarious liability terjadi di negara-negara yang menganut sistem common law, terutama di

negara Inggris dan Amerika

Serikat.

Perkembangan di kedua negara tersebut ternyata juga diikuti oleh negara-negara lain yang menganut sistem hukum yang berbeda, yakni sistem civil law. Indonesia yang termasuk sistem civil law tidak terkecuali mendapat pengaruh dari

doktrin tersebut. walaupun

Indonesia tidak secara eksplisit mengakui akan adanya doktrin tersebut, secara implisit dapat

ditafsirkan dari ketentuan

perundang-undangannya dan juga di dalam prakteik penegakan hukumnya lewat putusan-putusan pengadilan. Secara tradisonal konsep itu telah diperluas terhadap suatu situasi dimana pengusaha

bertanggung jawab terhadap

perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawainya dalam ruang lingkup pekerjaanya. Tanggung jawab yang dipikul oleh majikan itu dapat terjadi satu diantara tiga hal berikut ini:

1. Peraturan perundang-undangan secara eksplisit menyebutkan

pertanggungjawaban suatu

kejahatan secaravicarious.

2. Pengadilan telah

mengembangkan “doktrin pendelegasian” dalam kasus

pemberian lisensi. Doktrin itu

berisi tentang

pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan

kewenangannya menurut

undang-undang keapda orang lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian.

3. Pengadilan dapat

(14)

dalam undang-undang sehingga tindakan dari pekerja atau

pegawai dianggap sebagai

tindakan dari pengusaha.

Ada dua syarat penting yang

harus dipenuhi untuk dapat

menerapkan suatu perbuatan pidana dengan vicarious liability. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Harus terdapat suatu hubungan seperti hubungan pekerjaan antara majikan dengan pegawai atau pekerja.

2. Perbuatan pidana yang

dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Pertanggungjawaban vicarious itu jarang diterapkan dalam kasus-kasus pidana. Jikalau vicarious

liability hendak diterapkan harus

terdapat dua syarat, yakni adanya hubungan kerja dan tindakan itu

masih dalam ruang lingkup

pekerjaannya. Syarat seperti itu biasanya terdapat dalam hubungan antara majikan dan pekerja. Selanjutnya, dikatakan bahwa adalah lebih baik pembuat

undang-undang untuk memilih atau

mengkhususkan beberapa bidang

dari tindakan manusia dan

menerapkan vicarious liability

terhadap majikan yang tanpa kesalahan pribadi, tetapi kasus atau persoalan itu seharusnya tidak

disebut “kejahatan” dan hukuman

tidak seharusnya melebihi denda atau tebusan atau hukuman yang bersifat perdata lainnya. Oleh karena itu tidak sewajarnya

menerapkan pidana penjara

terhadap vicarious liability crimes

ini. Ada juga alasan lain yang

dikemukakan mengapa

membutuhkan vicarious liability.

Mengapa tidak orang yang

melakukan perbuatan itu saja yang dikenakan pidana. Alasan lain

memidana majikan yang

sebenarnya bukan pelaku fisik adalah, karena majikan pemegang izin (lisensi) dan pelanggaran itu adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh pemegang lisensi. Karena sulit untuk membuktikan kesalahan terhadap majikan, actus

reus dan mens rea dari buruh

dibebankan kepada majikan.

Telah dimaklumi bahwa

perbuatan pidana memiliki

konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka,

setidaknya ada dua alasan

mengenai hakikat kejahatan, yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang di lakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua

pendekatan ini berkembang

sedemikian rupa bahkan di yakini

mewakili pandangan-pandangan

yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja

perbuatan tersebut telah

menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.

Dalam hal kemampuan

bertanggungjawab bila di lihat dari

keadaan batin orang yang

melakukan perbuatan pidana

(15)

dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat. Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan

normal, maka ukuran-ukuran

tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

1. Barang siapa mengerjakan

sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang

sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang

sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.

Mengenai kemampuan

bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci di tegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para sarjana yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya

dalam alam kejahatan, dapat menginsafi bahwa perbuatanya di

pandang tidak patut dalam

pergaulan masyarakat, dan mampu

untuk menentukan niat atau

kehendaknya terhadap perbuatan tadi. Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan

kehendaknya. Untuk adanya

kemampuan beranggungjawab

maka harus ada unsur kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum dan unsur

kemampuan untuk menentukan

kehendaknya menurut keinsafan

tentang baik dan buruknya

perbuatan tadi. Dengan kata lain,

bahwa kemampuan

bertanggungjawab berkaitan

dengan dua faktor terpenting, yakni

pertama faktor akal untuk

membedakan antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.

Ketidakmampuan

(16)

bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.

Mengenai anak kecil yang umurnya masih relatif muda, dalam keadaan-keadaan yang tertentu

untuk dianggap tidak mampu

bertanggungjawab harus didasarkan pada Pasal 44 KUHP, jadi sama

dengan orang dewasa. Tidak

mampu bertanggungjawab karena masih muda saja tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau

belum menginsyafi makna

perbuatan yang di lakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum

memiliki fungsi batin yang

sempurna. Maka, dia tidak di pidana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. Sebab satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karena dia dipandang tidak bersalah, sesuai dengan asas tidak di pidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak di pidana.

2. Pertimbangan Hakim

Menerapkan Doktrin Vicarious Liability Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas No. 70 Pdt.G/2006/ PN.Pdg

Telah dijelaskan di atas bahwa dipidananya seseorang tidak cukup

orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan

dengan hukum atau bersifat

melawan hukum. Meskipun

perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan

tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Pemidanaan

masih perlu adanya syarat

kesalahan atau bersalah yang bertolak dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas itu

merupakan asas yang sangat

fundamental dalam

mempertanggungjawabkan

perbuatan yang telah melakukan tindak pidana. Pengertian asas itu

menunjukkan bahwa seseorang

tidak dapat dipidana apabila ia tidak mempunyai kesalahan, baik

berupa kesengajaan maupun

kealpaan. Jadi, prinsipnya asas itu

bertolak dari “pertanggungjawaban

pidana berdasarkan asas kesalahan (liability based of fault). Asas itu terdapat dalam Pasal 35 ayat (1)

berbunyi : “Tidak seorang pun dapat dipidana tanpa kesalahan.”

Dalam pengertian tindak pidana termasuk hal pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya

menunjuk kepada dilarangnya

perbuatan yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Apakah pembuat yang telah melakukan perbuatan yang dilarang tersebut kemudian juga dijatuhi pidana, sangat tergantung kepada persoalan apakah ia dalam melakukan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Dengan perkataan lain, apakah ia mempunyai kesalahan atau tidak.

Kesalahan adalah keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan

itu dan hubungannya dengan

perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela melakukan perbuatan

tersebut. Bilamana pembuat

(17)

kesalahan dalam melakukan tindak pidana itu, ia tentu akan dijatuhi pidana. Akan tetapi, manakala ia

tidak mempunyai kesalahan,

walaupun ia telah melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana, ia tentu tidak akan dijatuhi pidana. Asas tiada pidana tanpa

kesalahan dengan demikian

merupakan asas fundamental dalam mempertanggungjawabkan

pembuat karena telah melakukan tindak pidana. Asas itu juga merupakan dasar dijatuhkannya pidana kepada pembuat. Walaupun

demikian, dengan adanya

perkembangan masyarakat, baik perkembangan di bidang industri,

ekonomi maupun perdagangan,

asas tersebut tidak dapat

dipertahankan sebagai satu-satunya asas dalam hal pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, konsep itu juga memberikan kemungkinan

adanya penyimpangan atau

pengecualian asas kesalahan

terhadap perbuatan pidana tertentu, seperti kecelakaan lalu lintas yang

menyebabkan orang meninggal

dunia.

Diputuskannya Tergugat A

sebagai pemilik mobil yang

dikendarai oleh dan juga majikan Tergugat C mengganti kerugian yang diderita oleh Penggugat merupakan salah satu indikasi diterapkannya Vicarious liability

dalam kecelakaan lalu lintas. Sebab, sebagaimana diketahui

Vicarious liability adalah

pertanggungjawaban menurut

hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang

lain (the legal responsibility of one

person for the wrongful acts of

another). Vicarious liability biasa

digunakan dalam hukum perdata. Namun, dalam hukum pidana

merupakan hal baru karena

menyimpang dari asas kesalahan yang dianut selama ini. dalam hukum perdata vicarious liability

diterapkan pada kasus-kasus

kerugian (tort). Tort merupakan pembayaran ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukan oleh

buruh yang merugikan pihak

ketiga. Akan tetapi, dalam hukum pidana konsepnya sangat berbeda. Diterapkannya hukuman (pidana) terhadap orang yang merugikan

atau mengancam kepentingan

sosial, sebagian untuk memperbaiki dan sebagian lagi untuk melindungi dan mencegah dari aktivitas yang bersifat anti sosial. Penerapan doktrin vicarious liability itu berkembang dan pada akhirnya juga dicoba untuk diterapkan pada kasus-kasus pidana. Perkembangan doktrin itu terutama didukung oleh putusan-putusan pengadilan yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan berikutnya, yang pada dasarnya menganutasas precedent.

Secara tradisonal konsep itu telah diperluas terhadap suatu

situasi dimana pengusaha

bertanggung jawab terhadap

perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawainya dalam ruang lingkup pekerjaanya. Tanggung jawab yang dipikul oleh majikan itu dapat terjadi satu diantara tiga hal

yaitu peraturan

perundang-undangan secara eksplisit

menyebutkan pertanggungjawaban suatu kejahatan secara vicarious,

pengadilan telah mengembangkan

“doktrin pendelegasian” dalam

(18)

berisi tentang pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila

ia telah mendelegasikan

kewenangannya menurut undang-undang keapda orang lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian

atau pengadilan dapat

menginterprestasikan kata-kata dalam undang-undang sehingga tindakan dari pekerja atau pegawai dianggap sebagai tindakan dari pengusaha. Ada dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu perbuatan pidana dengan vicarious liability. Syarat-syarat tersebut adalah harus terdapat suatu hubungan seperti hubungan pekerjaan antara majikan dengan pegawai atau pekerja dan perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Pertanggungjawaban vicarious

itu jarang diterapkan dalam kasus-kasus pidana. Jikalau vicarious

liability hendak diterapkan harus

terdapat dua syarat, yakni adanya hubungan kerja dan tindakan itu

masih dalam ruang lingkup

pekerjaannya. Syarat seperti itu biasanya terdapat dalam hubungan antara majikan dan pekerja. Selanjutnya, dikatakan bahwa adalah lebih baik pembuat

undang-undang untuk memilih atau

mengkhususkan beberapa bidang

dari tindakan manusia dan

menerapkan vicarious liability

terhadap majikan yang tanpa kesalahan pribadi, tetapi kasus atau persoalan itu seharusnya tidak

disebut “kejahatan” dan hukuman

tidak seharusnya melebihi denda atau tebusan atau hukuman yang bersifat perdata lainnya. Oleh karena itu tidak sewajarnya

menerapkan pidana penjara

terhadap vicarious liability crimes

ini. Ada juga alasan lain yang

dikemukakan mengapa

membutuhkan vicarious liability.

Mengapa tidak orang yang

melakukan perbuatan itu saja yang dikenakan pidana. Alasan lain

memidana majikan yang

sebenarnya bukan pelaku fisik adalah, karena majikan pemegang izin (lisensi) dan pelanggaran itu adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh pemegang lisensi. Karena sulit untuk membuktikan kesalahan terhadap majikan, actus

reus dan mens rea dari buruh

dibebankan kepada majikan.

C. KESIMPULAN

1. Implementasi doktrin vicarious

liability dalam perkara Kecelakaan

Lalu Lintas No. 70 Pdt.G/2006/

PN.Pdg di Wilayah Hukum

Pengadilan Negeri Klas IA Padang dengan jelas bahwa hakim telah menerapkan atau melibatkan asas

Vicarious liability. Hal ini terlihat

ketika hakim membacakan

putusannya dengan melibatkan Tergugat A sebagai pihak yang diharuskan membayar kerugian yang diderita oleh penggugat yaitu Zainal/korban kecelakaan. Bila dipahami lebih lanjut Putusan No. 70 Pdt.G/2006/PN.Pdg, kedudukan Tergugat A : Zainal Usman dalam perkara ini adalah sebagai pemilik mobil Truck Tronton BA 9962 JA yang dikemudikan oleh Tergugat C : Doni Eka Putra yang melakukan pelanggaran dalam kecelakaan lalu lintas. Artinya disini keterlibatan

Tergugat A harus membayar

kerugian yang diderita oleh

Penggugat sebagai Korban

(19)

Usman/Tergugat A adalah sebagai iduk semang dari Tergugat C yang bekerja kepadanya. Tegasnya ada hubungan kerja antara Tergugat C dengan Tergugat A yaitu Tergugat C sebagai penerima kerja dan Tergugat A sebagai pemberi kerja. Sementara kesalahan timbul karena perbuatan Tergugat C sementara

yang menaggung akibat yang

timbul dari perbuatan Tergugat C adalah Tergugat A. dalam hal ini ada implikasi Vicarious liability

dalam kecelakaan lalu lintas yang terjadi.

2. Pertimbangan hakim menerapkan Doktrin Vicarious Liability dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas No. 70 Pdt.G/2006/ PN.Pdg di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Klas IA Padang adalah adanya hubungan kerja antara Tergugat C sebagai sopir truk dengan Tergugat A dan pekerjaan yang dilakukan oleh Tergugat C sebagai sopir truk masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya bukan pekerjaan pribadi Tergugat C sebagai sopir truk.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Wahab Solichin, 2004, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan

Negara, Edisi Kedua, Bumi

Aksara, Jakarta.

Adami Chazawi, 2001, Pelajaran

Hukum Pidana Bagian 1, Raja

Pidana, Rangkang Education,

Makassar.

Amiruddin, dkk., 2004, Pengantar

Metode Penelitian Hukum,

Jakarta, Raja Grafindo Persada.

A.Z Abidin, 1983, Bunga Rampai

Hukum Pidana, Pradnya

Paramita, Jakarta.

Bambang Waluyo, 1991, Penelitian

Hukum Dalam Praktek, Jakarta :

Sinar Grafika.

Bambang Poernomo, 1991, Hukum

Pidana Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta.

B. Bosu, 1982, Sendi-Sendi

Kriminologi, Usaha Nasional,

Surabaya.

Djoko Prakoso, 1987, Asas-asas

Hukum Pidana di Indonesia .

Edisi Pertama , Yogyakarta, Liberty Yogyakarta.

Schaffmeister et.al. 2004, Hukum

Pidana.Yogyakarta, Liberti.

Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana

Indonesia Suatu Pengantar,

Refika Aditama, Bandung.

H.S. Djajusman, 1976, Polisi Dan Lalu

Lintas, Mabak,Bandung.

LoebbyLoqman, 1991,Beberapa Ikwal

di Dalam Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi,1991, Datacom, Jakarta.

Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991,

Pertanggungjawaban Koorporasi

Dalam Hukum Pidana, Sekolah

Tinggi Bandung.

M. Hamdan, 2008, Pembaharuan

Hukum Tentang Alasan

Penghapusan Pidana,Medan.

O.C. Kaligis, Kumpulan Kasus

Menarik Jilid 2, 2007,O.C.

(20)

Sudarto, 1974, Suatu Dilema Dalam

Pembaharuan Sistem Pidana

Indonesia, Pusat Study Hukum

dan Masyarakat, Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal demi Pasal,

Politea, Bogor.

Roeslan Saleh, 1983,Suatu Reorientasi

dalam Hukum Pidana, Jakarta,

Aksara Baru.

---, 1985, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian dalam

Hukum Pidana, Jakarta, Aksara

Baru.

---, 1987, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana,

Aksara Baru, Jakarta.

Rianto Adi, 2004, Metodologi

Penelitian Sosial dan Hukum,

Jakarta : Granit.

Roscoe Pound, 2000, “introduction to

the phlisophy of law” dalam

Romli Atmasasmita,

Perbandingan Hukum

Pidana.Cet.II, Bandung, Mandar

Maju, 2000 .

R. Soesilo, 1982, Kriminologi

Pengetahuan Tentang Seluk

Beluk Kejahatan,Politea, Bogor.

S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana di

KUHP Berikut Uraiannya,

Jakarta,Alumni AHM-PTHM. ---, 1996, Asas-asas

Hukum Pidana Indonesia dan

Penerapanya, Cet IV, Jakarta,

Alumni Ahaem-Peteheam.

Sutrisna dan I Gusti Bagus, 1986,

Peranan Keterangan Ahli dalam

Perkara Pidana ( Tijauan

terhadap Pasal 44 KUHP),

dalam Andi Hamzah (ed.),Bunga

Rampai HUkum Pidana dan

Acara Pidana, Jakarta :Ghalia

Indonesia.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

Penelitian Hukum Normatif :

Suatu Tinjauan Singkat, Jakata,

Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar

Penelitian Hukum, Jakarta : UI

Press.

Sugiato, Dergibson Siagian, 2003,

Teknik Sampling, Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama.

S.R Sianturi, 1996, Asas-asas Hukum

Pidana Indonesia dan

Penerapanya,Cet IV, Jakarta

:Alumni Ahaem-Peteheam. Sutrisna, I Gusti Bagus, 1986,

Peranan Keterangan Ahli

Dalam Perkara Pidana (Tinjauan

terhadap Pasal 44 KUHP),

dalam Andi Hamzah, Bunga

Rampai Hukum Pidana dan

Acara Pidana, Jakarta, Ghalia

Indonesia.

Saleh Roeslan, 1983, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban

Pidana” dua pengertian dalam Hukum Pidana”, Jakarta, Aksara Baru.

Prodjohamidjojo, 1997, Martiman,

Memahami Dasar-Dasar Hukum

Pidana Indoesia, Jakarta,

Pradnya Paramita.

Prodjodikoro, Wirjono, 2002,

Tindak-tindak Piadana tertentu di

Indonesia. Bandung : Refika

Aditama.

P.A.F.Lamintang, 1997, Dasar-Dasar

Hukum Pidana Indonesia, Citra

Aditya Abadi, Bandung.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997,

Memahami Dasar-Dasar Hukum

Pidana Indoesia, Jakarta,

(21)

Wirjono Projodikoro, 203,

Tindak-Tindak Pidana Tertentu di

Indonesia, Refika Aditama,

Bandung.

W.J.S. Poerwadarminta, 2003, Kamus

Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

Winarno, 1989, Hukum Dan Lalu

Lintas Di Jalan Raya, Erlangga,

Jakarta.

W.J.S Poerwadarmita, 1996, Kamus

Umum Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

B. PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

C. SUMBER LAINNYA

Kompas Cyber Media, Setiap Hari 25

Orang Mati di Jalan, Error!

Referensi

Dokumen terkait