• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUMPULAN HADITS HADITS PERNIKAHAN DAN PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KUMPULAN HADITS HADITS PERNIKAHAN DAN PE"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Kumpulan hadis hadits pernikahan – perkawinan – munakahat – nikah – kawin – cerai

dalam

islam

Posted on Desember 20, 2008 by Fulan

Kumpulan hadis hadits pernikahan – perkawinan – munakahat – nikah – kawin – cerai dalam islam Kitab Nikah

Dari Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam Oleh Ibnu Hajar Al ‘Ashqalani

Hadits ke-1

Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-2

Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan.

Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-3

Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-4

Hadits itu mempunyai saksi menurut riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Hibban dari hadits Ma’qil Ibnu Yasar.

Hadits ke-5

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallambersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.” Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.

Hadits ke-6

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallambila mendoakan seseorang yang nikah, beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta

mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-7

Abdullah Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallammengajari kami khutbah pada suatu hajat: (artinya = Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami. Barangsiapa mendapat hidayah Allah tak ada orang yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, tak ada yang kuasa

(2)

Tirmidzi dan Hakim.

Hadits ke-8

Dari Jabir bahwa Rasulullah

Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam

bersabda: “Apabila salah seorang

di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik

untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi

yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-9

Hadits itu mempunyai saksi dari hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa’i dari al-Mughirah.

Hadits ke-10

Begitu pula riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Muhammad Ibnu Maslamah. Hadits ke-11

Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: “Apakah engkau telah melihatnya?” Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: “Pergi dan lihatlah dia.”

Hadits ke-12

Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-13

Sahal Ibnu Sa’ad al-Sa’idy Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seorang wanita menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai RasulullahShallallaahu ‘alaihi wa Sallam, aku datang untuk menghibahkan diriku pada baginda. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memandangnya dengan penuh perhatian, kemudian beliau menganggukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak

menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: “Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda: “Apakah engkau mempunyai sesuatu?” Dia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Pergilah ke keluargamu, lalu lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu.” Ia pergi, kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi.” Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal berkata: Ia mempunyai selendang -yang setengah untuknya (perempuan itu). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallambersabda: “Apa yang engkau akan lakukan dengan kainmu? Jika engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa.” Lalu orang itu duduk. Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bertanya: “Apakah engkau mempunyai hafalan Qur’an?” Ia menjawab: Aku hafal surat ini dan itu. Beliau bertanya: “Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Pergilah, aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur’an yang engkau miliki.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat: Beliau bersabda padanya: “berangkatlah, aku telah nikahkan ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur’an.” Menurut riwayat Bukhari: “Aku serahkan ia kepadamu dengan (maskawin) al-Qur’an yang telah engkau hafal.”

Hadits ke-14

(3)

hafal?”. Ia menjawab: Surat al-Baqarah dan sesudahnya. Beliau bersabda: “Berdirilah dan ajarkanlah ia dua puluh ayat.”

Hadits ke-15

Dari Amir Ibnu Abdullah Ibnu al-Zubair, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sebarkanlah berita pernikahan.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-16

Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.

Hadits ke-17

Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu’ dari Hasan, dari Imran Ibnu al-Hushoin: “Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.”

Hadits ke-18

Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallambersabda: “Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib

membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Hadits ke-19

(4)

Telaah Hadis

Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai

.”

Derajat hadis:

Lemah

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2178), Baihaqi, dan Ibnu adi, dari jalan Mu’arrof bin Washil, dari

Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar secara marfu’.

Setelah memaparkan takhrij hadis ini dengan panjang lebar. Syaikh al-Albani berkata,

“Kesimpulannya bahwa yang meriwayatkan hadis ini dari Mu’arrof bin Washil ada empat

orang

tsiqoh

. Mereka adalah Muhammad bin Kholid al-Wahibi, Ahmad bin Yunus, Waki’ bin

Jarroh, dan Yahya bin Bukai. Keempat orang ini berselisih dalam riwayat hadis ini. Orang

pertama meriwayatkannya dari Mu’arrof, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar secara

marfu’

.

Sedangkan tiga yang lainnya meriwayatkannya dari Mu’arrof, dari Muharib secara

mursal

. Dan

tidak diragukan lagi bahwa riwayat yang mursal itulah yang lebih

rojih

(kuat).”

Abu Yusuf berkata, “Ketahuilah –barakallahu fikum– bahwa asal hukum cerai adalah makruh dan

terlarang, namun bisa berubah pada hukum lainnya. Hal ini sangat tergantung pada kondisi

rumah tangga tersebut, bisa menjadi haram, boleh, sunah bahkan wajib.

Hukum asal larangan cerai ini didasarkan pada beberapa hal, di antaranya:

Nikah adalah sebuah akad yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Islam, maka talak

yang merupakan pemutus pernikahan berarti juga pemutus sesuatu yang dianjurkan dan

diperintahkan. Dan semua itu terlarang kecuali kalau ada sebuah keperluan mendesak.

Perceraian banyak membawa mafsadah bagi istri dan anak-anak, juga bisa menjadi

sebab perpecahan dan pertengkaran antara keluarga, yang semua itu adalah terlarang.

Perceraian tanpa sebab adalah mengkufuri nikmat pernikahan yang disebutkan oleh

Allah dalam firman-Nya, “

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia telah

menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa

tentram padanya, dan dijadikannya di antara kamu rasa kasih dan sayang

.” (QS. Ar-Rum:

21)

Perceraian itu hanya diperintahkan oleh setan dan tukang sihir, sebagaimana firman

Allah

Subhanahu wa Ta’ala,

Mereka belajar dari keduanya sihir yang bisa memisahkan

antara seseorang dengan istrinya

.” (QS. Al-Baqarah: 102)

(5)

seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka iblis mendekatkan dia

padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’

.” (Muslim, no.2167)

Shahih dari Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam

bahwasanya beliau

bersabda, “

Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram

baginya bau surga

.” (HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283,

dengan sanad hasan)

Lihat

Badai Shona’i

(3:95),

Al-Mufashol

(7:354),

Jami’ Ahkamin Nisa’

(4:130) Syaikh Musthofa

Adawi,

Fiqih Sunnah

(2:2790),

Roudhoh Nadiyah

(2:238) Syaikh Shidiq Hasan Khan.

Adapun jika sikon rumah tangga itu berubah, maka hukum ini pun bisa berubah menjadi:

1. Wajib

Yaitu perceraian yang sudah ditetapkan oleh dua juru damai dari keluarga suami dan istri, lalu

keduanya menetapkan bahwa suami istri tersebut harus dipisahkan sebagaimana yang

digambarkan oleh Allah

Subhanahu wa Ta’ala

dalam firman-Nya surat an-Nisa: 35.

Juga yang termasuk dalam perceraian yang wajib adalah kalau seorang suami bersumpah untuk

tidak mengumpuli istrinya lagi, maka setelah masa tunggu selama empat bulan, wajib bagi suami

menceraikan istrinya kalau dia tidak mau rujuk kembali. Sebagaimana yang digambarkan oleh

Allah dalam firman-Nya surat Al-Baqarah: 226.

2. Sunah

Terkadang perceraian itu dianjurkan dalam beberapa keadaan, seperti jika si istri adalah wanita

yang kurang bisa menjaga kehormatannya, atau dia adalah wanita yang meremehkan

kewajibannya kepada Allah, dan suami tidak bisa mengajari atau memaksanya untuk

menjalankan kewajiban seperti sholat, puasa, atau lainnya. Bahkan sebagian ulama mengatakan

bahwa dalam keadaan yang kedua ini wajib untuk menceraikannya.

3. Mubah

Contohnya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah, “Perceraian itu mubah kalau perlu

untuk melaksanakannya, disebabkan oleh akhlak istri yang jelek dan suami merasa

mendapatkan mafsadah dari pergaulan dengannya tanpa bisa mendapatkan tujuan dari

pernikahannya tersebut.” (

Al-Mughni

, 10:324)

4. Makruh

(6)

maka istrinya pun berkata, “Apakah engkau melihat sesuatu yang tidak engkau senangi dariku?”

Ibnu Umar menjawab, “Tidak.” Maka dia pun berkata, “Kalau begitu, kenapa engkau

menceraikan seorang wanita muslimah yang mampu menjaga kehormatannya?” Maka akhirnya

Ibnu Umar pun merujuknya kembali.

5. Haram

Di antaranya adalah menceraikan istri saat haidh atau suci, namun sudah berjima dengannya.

Dan inilah yang dinamakan dengan talak bid’ah yang keharamannya disepakati oleh para ulama

sepanjang masa.

(Lihat

Al-Mughni,

10:323,

Ad Dur al-Mukhtar

Ibnu Abidin,

3:229),

Mughnil Muhtaj,

3:307,

Jami

Ahkamin Nisa,

4:18)

(7)

Kritik Hadis: ”Talak Dibenci Allah”, “Talak

Menggetarkan Singgasana Tuhan”

21

JAN

Kajian Literatur

Kritik Hadis:

”Talak Dibenci Allah”

“Talak Menggetarkan Singgasana Tuhan”

Oleh. Umar Fayumi

”Janganlah menjatuhkan talak, karena sesungguhnya singgasana Tuhan akan

tergetar olehnya”. ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. Dua

ungkapan ini, oleh banyak kalangan, terutama para da’i, sering dianggap sebagai

hadis atau sabda Nabi. Benarkah anggapan tersebut?

Karena adanya dua ung-kapan di atas, banyak kalangan beranggapan, talak merupakan hal yang ”harus” dihindari, meski resikonya adalah ”hidup tersiksa” dalam ikatan perkawinan yang ”menyakitkan”. Sebab, apapun alasannya, talak merupakan hal buruk yang meskipun dihalalkan namun tetap saja dibenci Tuhan. Bahkan, singgasana-Nya pun akan tergetar (murka) karenanya.

(8)

jawab. Namun, di sisi lain, tidak sedikit juga ”korban” yang harus menanggung ”akibat buruk” dari berkembangnya anggapan semacam itu.

Inilah yang ironis, karena tak jarang ditemukan fenomena rumah tangga yang ”mati” tidak, tapi ”hidup” juga tidak. Gara-garanya adalah karena ”ketidakberanian” menalak atau menggugat talak, meskipun kondisi rumah-tangganya jelas-jelas sangat tidak kondusif, dan ”kisah penindasan” pun terus berlangsung di dalamnya. Maka, yang kemudian terjadi adalah talak tidak ada, tapi hidup berumah tangga secara sakinah mawaddah wa rahmah juga tidak terwujud. Persoalannya, masyarakat sudah terlanjur ”mengimani” stigma buruk atas kasus perceraian, apa pun alasan dan latar belakangnya.

Dan stigma ini, sadar atau tidak, sedikit banyak dipengaruhi oleh keyakinan sebagian masyarakat tentang ”kebenaran” ungkapan-ungkapan di atas yang selama ini terlanjur diyakini sebagai hadis dan sabda Nabi. Ironisnya, jika perempuan yang mengajukan gugat talak misalnya, maka akan muncul satu stigma buruk yang dilabelkan kepadanya, yaitu dianggap sebagai ”bukan perempuan salehah”, meskipun penyebabnya adalah penyelewengan suami atau karena kasus KDRT yang

menimpanya.

Inilah yang akan kita kaji lebih lanjut. Patutkah hal yang semacam itu diyakini bersumber dari sabda Nabi? Apakah ini hanya karena pemahamannya saja yang salah, atau sebaliknya memang teks itulah yang tidak shahih penisbatannya kepada Nabi? Kritik Sanad (Sejarah Teks)

Teks pertama, yakni ”Janganlah menalak, karena sesungguhnya singga-sana Tuhan akan tergetar olehnya”, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya, Akhbar Ashbahan, dan al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh-nya, dari riwayat ‘Amr ibn Jami’, dari Juwaibir, dari ad-Dhahhak, dari an-Nazal ibn Sabrah, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, dari Nabi. Bunyi (terjemahan) lafalnya begini: ”Menikahlah kalian dan janganlah menalak, karena sesungguhnya singga-sana Tuhan akan tergetar olehnya.” (HR. Abu Nu’aim, al-Khathib al-Baghdadi, dan ad-Dailami).

Status riwayat ini dinilai maudhu’ atau palsu oleh banyak ulama ahli hadis, diantaranya Ibn al-Jauzi dalam kitabnya, al-‘Ilal al-Mutanahiah, as-Suyuthi dalam kitabnya, al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, dan Ibn ‘Arraq dalam kitabnya, Tanzih as-Syari’ah. Sumber persoalan utama-nya terletak pada perawi bernama ‘Amr ibn Jami’. Perawi ini dikenal sebagai sosok yang ”banyak mera-wikan hadis-hadis munkar dan hadis-hadis maudhū’ dari tokoh-tokoh ahli hadis yang terkenal dan terpercaya (yang mereka itu karena kredibilitasnya yang tinggi tidak mungkin merawikan hadis-hadis yang semacam itu)”. Demikian dinyatakan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh-nya.

Berkenaan dengan ini, Ibn Ma’in berkomentar, ”Dia (‘Amr ibn Jami’) adalah perawi yang pembohong dan buruk (tindakannya).” Semen-tara itu, Ibn al-Jauzi dalam kitabnya, al-‘Ilal al-Mutanahiah, menjelaskan, ”Hadis ini tidak benar adanya. Di situ banyak masalah. Perawinya bernama ad-Dhahhak dicela (majruh) oleh banyak ulama ahli hadis. Juwaibir periwayatnya tidak bernilai apa-apa (laisa bi syai’). Dan ‘Amr ibn Jami’, oleh Ibn ‘Ady, dinyatakan sebagai perawi yang diindikasikan kuat sebagai pemalsu hadis-hadis (yuttaham bi al-wadh’).”

Jadi, kesimpulannya, hadis ”Ja-nganlah menalak, karena sesungguh-nya singgasana Tuhan akan tergetar olehnya” adalah hadis palsu (maudhū’), artinya Nabi sama sekali tidak menyabdakaannya.

Sedangkan teks kedua, yakni ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya, juga al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya, dan Ibn ‘Ady dalam kitabnya, al-Kamil, dari riwayat Muhammad ibn Khalid, dari Mu’arrif ibn Washil, dari Muharib ibn Ditsar, dari Ibn ‘Umar ra., dari Nabi, dengan bunyi (terjemahan) lafalnya sebagaimana telah disebutkan tadi.

Dalam konteks ini, Ibn Abi Hatim dalam kitabnya, al-‘Ilal, menambahkan, riwayat tersebut pada kesempatan yang berbeda juga dirawikan oleh Muhammad ibn Khalid (perawi yang sama yang merawikan dengan sanad di atas), tapi dia

merawikannya dari al-Wadhdhah (bukan dari Mu’arrif ibn Washil, seperti yang dirawikannya pada sanad di atas), dari Muharib ibn Ditsar, dari Ibn ‘Umar ra., dari Nabi.

Ibn Majah dalam kitab Sunan-nya, menambahkan, Muhammad ibn Khilid ini di saat yang lain juga merawikannya dari ‘Ubaidullah ibn al-Walid dan Mu’arrif ibn Washil (secara bersamaan), dari Muharib ibn Ditsar, dari Ibn ‘Umar ra., dari Nabi. Namun, yang jelas, semua riwayat yang dikemukakan oleh Muhammad ibn Khalid di sini adalah berstatus maushul (yakni tersambung sanadnya hingga na-rasumber pertama ”pencetus” matan, alias Nabi).

(9)

dari kalangan sahabat Nabi, dan langsung meloncat kepada Nabi sebagai nara sumber pertama ”pencetus” matan). Riwayat mursal ini dirawikan juga oleh Ibn al-Mubarak dalam kitabnya, al-Birr wa as-Shilah, dan Abu Nu’aim al-Fadhl ibn Dukain, dari Mu’arrif ibn Washil, dari Muharib ibn Ditsar, dari Nabi.

Jadi, pada intinya, riwayat yang menyebutkan, ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”, secara historitas teks dirawikan oleh dua perawi secara berbeda, yakni dirawikan oleh Muhammad ibn Khalid al-Wahbi secara maushul, dan oleh Ahmad ibn Yunus dirawikan secara mursal. Terhadap kedua sanad yang berbeda ini, para ulama ahli hadis menegaskan bahwa yang terkuat dan bisa diterima validitasnya adalah riwayat Ahmad ibn Yunus yang mursal. Ini ditegaskan oleh maestro-maestro kritikus hadis, seperti Abu Hatim dan Abu Dawud. Sedangkan riwayat Muhammad ibn Khalid yang maushul dinyatakan sebagai ”bermasalah karena pada sanadnya terjadi idhthirāb (kesimpangsiuran)” (lihat al-Albani dalam kitabnya, Irwa’ al-Ghalil).

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ungkapan ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”, karena alasan ke-musrsal-an (pada sanadnya Ahmad ibn Yunus) dan idhthirab (pada sanadnya Muhammad ibn Khalid), maka berdasarkan kriteria ilmu hadis, riwayat yang demikian itu statusnya adalah dha’if (lemah), dan karena itu tidak bisa dikatakan sebagai bersumber dari sabda Nabi.

Kritik Matan (Pemahaman Teks)

Ditinjau dari segi matan, kedua ”hadis” di atas masing-masing mengandung makna yang dalam ilmu hadis biasa disebut sebagai ”fihi nakarah” (terindikasi mengundang penolakan), karena pemahaman yang ditimbulkannya berbenturan dengan teks-teks lain (Alquran dan Hadis) yang notabene berstatus ”lebih sahih” (ashahh) atau ”lebih kuat” (aqwa).

Teks pertama, yakni ”Janganlah menalak, karena sesungguhnya singgasana Tuhan akan tergetar olehnya”, ditinjau dari segi matan, bahasa dan redaksi yang digunakan terindikasi kuat berseberangan, atau at least tidak senafas dengan al-ma’luf min kalam an-nubuwwah (yang biasa berlaku sebagai gaya bahasa yang khas digunakan oleh Nabi).

Dalam banyak hadis yang shahih, misalnya, ungkapan ”singgasana Tuhan tergetar” justru banyak digunakan oleh Nabi untuk menggambarkan apresiasi dan ekspresi ”kegembiraan” Tuhan yang ”spesifik” terhadap apa yang terjadi atau dilakukan oleh hamba-Nya yang luhur budi dan ”berjasa” bagi umat, bukan untuk menggambarkan ”ekspresi kemurkaan”. Misalnya, sabda Nabi: ”Singgasana Tuhan (arsy ar-Rahman) tergetar karena kematian Sa’d ibn Mu’adz.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Jabir ra.), atau ”Singgasana Tuhan tergetar karena kematian Sa’d ibn Mu’adz, disebabkan oleh kegembiraan (farah) Tuhan atasnya.” (HR. Tammam dalam kitabnya, al-Fawa’id, dari Abu Sa’id al-Khudri ra.). Dan Sa’d ibn Mu’adz sendiri, menurut catatan sejarah, dikenal sebagai pejuang dan pahlawan yang gigih membela Islam. Dia tercatat sebagai kelompok sahabat yang pertama kali mengajukan diri sebagai ”perisai” Nabi di saat perang Uhud. Dia juga sebagai pelopor dakwah Islam di kalangan bani Aus. Seluruh anggota klan bani ‘Abd al-Asyhal berbondong-bondong memeluk Islam dengan suka rela berkat jasa dan kepemimpinan Sa’ad. Saking ”hebatnya”, karena ”kegembiraan” Tuhan menerima kehadirannya di sisi-Nya, singgasana-Nya sampai tergetar oleh kematian Sa’d.

Jadi, seperti itulah ungkapan ”singgasana Tuhan tergetar” digunakan oleh Nabi, yakni untuk menggambarkan apresiasi dan ”kegembiraan” Tuhan atas apa yang terjadi atau dilakukan oleh hamba-Nya yang luhur budi, gigih dan berjasa bagi umat. Bukan, sebaliknya, untuk mengungkapkan makna dan ekspresi ”kemurkaan” sebagaimana yang terdapat dalam teks riwayat yang berkenaan dengan talak di atas. Uniknya, hadis-hadis yang redaksinya menggunakan ungkapan tersebut untuk konotasi makna yang menggambarkan ”kemurkaan ataupun kebencian” Tuhan, semuanya adalah dha’if , alias berstatus lemah karena validitasnya diragukan. Hal ini tentunya turut memperkuat indikasi ke-dha’if-an riwayat yang menyebutkan bahwa

(10)

Ayat ini jelas-jelas menyebutkan, apabila talak memang merupakan jalan terbaik bagi suami-isteri yang berselisih, kemudian dilakukan secara baik-baik dan demi kemaslahatan bersama, maka yang demikian itu ”direstui” oleh Allah dan karenanya Allah akan melimpahkan berkah berupa ghina’ kepada mereka. Isi dan makna yang terkandung dalam ayat ini tentunya sangat bertentangan dengan apa yang terkandung dalam teks riwayat di atas. Kalau memang shahih bahwa talak merupakan perkara halal yang paling dibenci Tuhan, lalu mengapa kemudian dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa talak dalam kondisi tertentu justru direstui dan mendapatkan limpahan keberkahan dari-Nya?

Kesimpulan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua riwayat di atas, yakni ”Janganlah menalak, karena sesungguhnya singgasana Tuhan akan tergetar olehnya”, dan ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”, status sanad dan matannya adalah lemah, dan karena itu tidak bisa dikatakan sebagai ”bersumber dari sabda Nabi”.

Kalupun oleh beberapa kalangan kedua riwayat tersebut (terutama riwayat yang kedua) cukup ”layak” dijadikan ”dasar” dalam konteks memberikan motivasi yang berkenaan dengan fadha’il al-a’mal (perilaku dan tindakan yang luhur), maka pemahamannya harus diluruskan terlebih dahulu, karena riwayat yang semacam itu, dalam beberapa riwayat disebutkan berbarengan dengan konteks yang melatarbelakanginya. Nah, berdasarkan konteks itulah pemahaman atas riwayat yang ada mesti diarahkan.

Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, mengeluarkan riwayat dari Muharib ibn Ditsar, dia berkata: ”Di zaman Nabi, ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, ke-mudian ia menceraikannya. Na-bi bertanya kepadanya: ”Apa-kah kamu sudah menikah?”. ”Sudah”, jawabnya. ”Lalu, apa yang terjadi?” tanya Nabi. ”Aku telah menceraikannya.” ”Apakah karena ada sesuatu yang mencuri-gakan dari isterimu?”. ”Tidak”. Kemudian, laki-laki itu menikah dengan perempuan lain dan menceraikannya lagi. Dan begitu dia melakukannya hingga dua atau tiga kali, sementara Nabi selalu mengomentarinya dengan hal yang sama. Oleh karena itu Nabi kemudian bersabda: ”Sesungguhnya perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. Hadis ini statusnya adalah mursal. Dengan demikian, ketentuan bahwa talak merupakan perkara halal yang paling dibenci Tuhan, kalau hal itu memang ”harus” dikemukakan pada ceramah-ceramah atau tausiah-tausiah, maka pemahamannya adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat al-Baihaqi di atas. Yaitu, bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang suka kawin-cerai hanya untuk bersenang-senang dan tanpa alasan tertentu yang dibenarkan menurut syariat.

(11)

Disebut sepotong karena dalam tulisan ini hanya menguraikan sedikit dari permasalahan 

seputar dunia pernikahan.

Dalam menentukan kriteria calon pasangan, Islam memberikan beberapa sisi yang perlu 

diperhatikan. Pertama, sisi yang terkait dengan agama, nasab, harta maupun kecantikan. 

Kedua, sisi lain yang lebih terkait dengan selera pribadi, seperti masalah suku, status sosial,

corak pemikiran, kepribadian, serta hal­hal yang terkait dengan masalah fisik termasuk 

masalah kesehatan dan seterusnya.

Topik pertama terkait dengan standar umum. Yaitu masalah agama, keturunan, harta dan 

kecantikan. Masalah ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW dalam haditsnya yang cukup 

masyhur.

Dari Abi Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”

Wanita itu dinikahi karena empat 

hal: karena agamanya, nasabnya, hartanya, dan kecantikannya. Maka perhatikanlah 

agamanya kamu akan selamat.

” (HR. Bukhari, Muslim)

Berdasar hadits di atas, banyak orang mengartikan bahwa seorang muslim hendaknya 

menikahi wanita dengan mempertimbangkan kualitas agama, nasab, harta, dan 

kecantikannya. Benarkah demikian?

Dalam teks hadits di atas, Rasulullah SAW menyuruh kita untuk memperhatikan agamanya. 

Bahwa pertimbangan nasab, harta, dan kecantikan itu adalah faktor­faktor yang jamak 

ditemui pada lelaki yang hendak melamar wanita. Padahal nasab, harta, dan kecantikan jika 

dijadikan pertimbangan untuk menikah, justru bisa mencelakakan.

Hal ini diperkuat dengan adanya hadits yang menjelaskannya.

(12)

Dijelaskan dalam Mabadi’ul Fiqhiyah juz 2, definisi hukum wajib/fardhu adalah “fa idza 

fa’alahu al­mukallafu yanaalu tsawaban, wa idza tarokahu yanaalu ‘iqooban”, yaitu jika 

dilakukan oleh para mukalaf maka memperoleh pahala, dan jika meninggalkannya maka 

mendapat iqab. Jika seseorang memilih pasangan hidup bukan karena faktor agama, maka 

jelaslah balasan/iqob dari Allah.

Mempertimbangkan faktor agama di atas, ada 3 hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, memilih istri yang agamanya lebih baik dengan harapan bisa membimbing suami 

lebih dekat dengan Allah. Pilihan ini digunakan jika seorang suami sejak awal sudah berniat 

untuk menjadi lebih dekat dengan Allah.

Kedua, memilih istri yang agamanya lebih buruk dengan harapan sang suami hendak 

menyelamatkan agama sang istri. Ada banyak kasus seperti ini, tentang adanya seorang 

wanita hampir terjerumus ke hal­hal nista namun dinikahi pria baik agar sang wanita 

terselamatkan.

Ketiga, memilih istri yang se­kufu atau seimbang dalam hal agama. Hal ini berdasar dari 

Surah An Nuur ayat 26:

“Wanita­wanita yang keji adalah untuk laki­laki yang keji, dan laki­laki yang keji adalah buat 

wanita­wanita yang keji (pula), dan wanita­wanita yang baik adalah untuk laki­laki yang baik 

dan laki­laki yang baik adalah untuk wanita­wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) 

itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan

dan rezeki yang mulia (surga).”

Dengan demikian jelaslah bahwa faktor agama adalah pertimbangan muthlaq dan 

hukumnya wajib yang harus diperhatikan untuk memilih pendamping hidup.

Masalah selanjutnya terkait dengan selera subjektif seseorang terhadap calon pasangan 

hidupnya. Sebenarnya hal ini bukan termasuk hal yang wajib diperhatikan, namun 

sesungguhnya Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan hidup 

berdasarkan subjektifitas selera setiap individu maupun keluarga dan lingkungannya. 

Intinya, meski pun dari sisi yang pertama tadi sudah dianggap cukup, bukan berarti dari sisi 

yang kedua bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal yang tidak 

bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu dan hubungannya 

dengan orang lain. Sebagai contoh adalah kecenderungan dasar yang ada pada tiap 

masyarakat untuk menikah dengan orang yang sama sukunya atau sama rasnya. 

(13)

melainkan sudah menjadi bagian dari kecenderungan umum di sepanjang zaman. Dan 

Islam bisa menerima kecenderungan ini meski tidak juga menghidup­hidupkannya. Sebab 

bila sebuah rumah tangga didirikan dari dua orang yang berangkat dari latar belakang 

budaya yang berbeda, meski masih seagama, tetap saja akan timbul hal­hal yang secara 

watak dan karakter sulit dihilangkan.

Contoh lainnya adalah selera seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter

dan sifat tertentu. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai. Misalnya seorang 

wanita menginginkan punya suami yang serius atau yang humoris, merupakan bagian dari 

selera seseorang. Atau sebaliknya, seorang laki­laki menginginkan punya istri yang bertipe 

wanita pekerja atau yang tipe ibu rumah tangga. Ini juga merupakan selera masing­masing 

orang yang menjadi haknya dalam memilih. Islam memberikan hak ini sepenuhnya dan 

dalam batas yang wajar dan manusiawi memang merupakan sebuah realitas yang tidak 

terhindarkan.

Karena menurut Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, salah satu tujuan pernikahan dalam 

Ar Ruum ayat 21 adalah “litaskunuu”, yakni agar seseorang menjadi tentram. Seseorang 

cenderung menjadi tentram ketika memiliki apa yang diharapkan. Tentu dengan 

pertimbangan yang bijaksana.

Tentang khitbah atau meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi dengan cara

yang dikenal di tengah masyarakat. Tentu saja pinangan itu tidak semata­mata ditujukan 

kepada si gadis tanpa sepengetahuan ayahnya yang menjadi wali. Sebab pada hakikatnya, 

ketika berniat untuk menikahi serang gadis, maka gadis itu tergantung dari ayahnya. 

Ayahnyalah yang menerima pinangan itu atau tidak dan ayahnya pula yang nantinya akan 

menikahkan anak gadisnya itu dengan calon suaminya. Sedangkan ajakan menikah yang 

dilakukan oleh seorang pemuda kepada seorang pemudi tanpa sepengetahuan ayah si 

gadis tidaklah disebut dengan pinangan. Sebab si gadis sangat bergantung kepada 

ayahnya. Hak untuk menikahkan anak gadis memang terdapat pada ayahnya, sehingga 

tidak dibenarkan seorang gadis menerima ajakan menikah dari siapapun tanpa 

sepengetahuan ayahnya. Meminang adalah muqaddimah dari sebuah pernikahan.

Dari uraian di atas sangat terasa bahwa kaum wanita cenderung pasif dalam hal 

pernikahan. Maksudnya, wanita hanya bisa dipilih tanpa bisa memilih. Padahal menurut Dr. 

Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al­Maliki dalam kitab Adab al­Islam fi Nidham al­

Usrah, walaupun pria bebas memilih, wanita bebas menolak. Tentunya masih dalam koridor 

agama.

(14)

Apabila datang laki­laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya 

maka kawinkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan 

kerusakan yang meluas.

” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Maksud dari terjadinya fitnah disini, dikhawatirkan jika wanita menolak maka wanita bisa 

mendapat jodoh yang agamanya lebih buruk. Atau sebaliknya, sang pria mendapat jodoh 

yang lebih buruk.

Suatu ketika, Imam Hasan Al­Bashri didatangi seseorang, ayah seorang putri yang sangat 

cantik. Lelaki itu bertanya kepadanya, “Wahai Imam, putriku adalah seorang wanita yang 

sangat cantik dan sudah banyak lelaki yang meminangnya. Dia antara mereka ada anak 

orang kaya, anak pejabat, dan anak seorang qadhi (hakim). Lalu, kepada siapa aku 

nikahkan putriku?” Imam Hasan al­Bashri menjawab “Nikahkan ia dengan yang paling 

bertaqwa diantara mereka. Karena, bagi seorang lelaki yang bertaqwa, jika dia mencintai 

putrimu, ia akan memuliakan putrimu. Dan jika ia tidak menyukai putrimu, ia tak akan 

menzhaliminya”

Ketika orang tua yang notabene wali perempuan sudah meridhoi bahkan memaksa untuk 

menikah, bukan berarti wanita tidak bisa menolak.

Dalam Bulughul Maram Kitab an­Nikah, ada sebuah hadits yang menjelaskannya.

Dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang gadis menemui Nabi SAW lalu bercerita bahwa 

ayahnya menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai. Maka Rasulullah Shallallaahu 

‘alaihi wa Sallam memberi hak kepadanya untuk memilih.

” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan 

Ibnu Majah)

Dalam hadits yang lain, diceritakan juga.

(15)

Mudahnya, untuk melamar wanita itu pertama mendapat ridho orang tua baru kemudian 

ridho wanita itu sendiri.

Abdul Wahid bin Zahid, salah seorang yang alim lagi zahid, pernah datang melamar Rabi’ah

al­Adawiyah. Dan nihil, ia ditolak oleh Rabi’ah. Imam Hasan al­Bashri yang merupakan alim 

faqih dan zahid yang juga hidup semasa itu, pernah juga jatuh cinta pada Rabi’ah al­

Adawiyah dan juga hendak melamarnya. Namun ia juga tidak diterima oleh Rabi’ah. 

Padahal, Rabi’ah adalah salah seorang murid yang sering mengikuti majelis pengajian yang 

diasuh Imam Hasan al­Bashri. Imam Hasan al­Bashri bukannya marah karena penolakan 

tersebut, justru memuji dan menjadi murid Rabi’ah dan sering meminta nasihat juga 

bertanya masalah fiqh.

Masih dari Bulughul Maram, dalam sebuah hadits juga dijelaskan cara mengetahui ridho 

wanita.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang janda tidak boleh 

dinikahkan kecuali setelah diajak bermusyawarah dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan 

kecuali setelah diminta izinnya.” Mereka bertanya: Wahai Rasulallah, bagaimana izinnya? 

Beliau bersabda: “Ia diam.” (Muttafaq Alaih). Hadits tersebut menunjukkan bahwa wanita 

harus dimintai ridhonya dan tak ada paksaan.

Meskipun wanita berhak menolak dengan alasannya, jauh lebih baik jika wanita tidak 

menunda pernikahan terlalu lama.

“Rasulullah Saw bersabda kepada Sayyidina Ali Kw: ‘Wahai Ali, ada tiga perkara yang 

janganlah kamu tunda­tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah 

bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki­laki 

sepadan yang meminangnya’.” (HR. Ahmad)

(16)

Filosofi Perkawinan dalam Islam

Tujuan jangka pendek dari sebuah perkawinan adalah menghindari zina. Seorang laki-laki secara natural akan bangkit hasrat seksualnya seiring dengan sampainya dia pada tahap baligh dalam istilah fiqih. Tanda balighnya seorang laki-laki adalah saat dia mulai mimpi basah. Itu artinya, hasrat libido sudah mulai tumbuh. Karena pria adalah gender manusia yang memiliki sifat agresif dalam hal seks sedang di sisi lain Islam melarang perbuatan zina (QS Al-Isra’ 17:32) [1], maka Rasululullah menganjurkan anak muda untuk segera menikah. Karena perkawinan akan memelihara mata dan menjaga kemaluan dari perbuatan zina.[2] Pada akhir hadits yang sama Nabi bersabda bahwa kalau tidak mampu menikah maka dianjurkan untuk berpuasa agar nafsu syahwatnya menurun.[3] Puasa adalah salah satu cara

menurunkan syahwat. Cara lain seperti olahraga dan mengurangi atau menghindari makanan-makanan tertentu dapat juga dipakai..

Jadi, tujuan awal dan mendesak dari perkawinan adalah menghindari zina. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat tidak mentolerir pergaulan bebas antar lawan jenis yang berujung pada perzinahan dan secara signifikan akan merusak tatanan kekeluargaan, kemasyarakatan dan cita-cita Islam untuk mendidik umat menjadi komunitas terbaik di dunia (QS Ali Imron 3:110).[4]

Tentu, perkawinan tidak hanya bertujuan sebagai pemenuhan hasrat libido semata. Ada beberapa tujuan jangka panjang berkaitan dengan perkawinan yang antara lain adalah, pertama, sebagai wujud ketaatan pada Allah.dan Rasul-Nya. Islam telah menysriatkan perkawinan dan menjadikannya sebagai salah satu syiar agama[5].

Kedua, mengikuti sunnah Nabi Muhammad dan para Rasul sebelumnya. Perkawinan merupakan salah satu tauladan para Rasul seperti tersurat dalam QS Ar-Ra’d 13:38) yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.”[6] Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Qurtubi mengatakan bahwa maksud dari ayat di atas adalah anjuran untuk menikah dan mennyegerakan menikah serta larangan untuk tabattul (tidak menikah selamanya seperti yang dilakukan pendeta Katolik). [7]

Ketiga, memperbanyak jumlah umat Islam. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda, “Nikahilah perempuan yang subur karena aku suka melihat umat yang banyak kelak di hari kiamat.”[8]

Keempat, agar memiliki anak cucu yang dapat berjihad memakmurkan bumi dan menyembah Allah. Untuk tujuan ini, maka Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Syarh Sahih Bukhari menganjurkan setiap kali akan berhubungan intim dengan istri untuk berniat mendapatkan anak yang dapat berjihad.[9] Pendapat ini disetujui oleh Al Mawardi dalam Nasihatul Muluk.[10]Jihad yang dimaksud tidak harus bermakna perang di jalan Allah, tapi juga jihad atau beramal di bidang ekonomi, keilmuan, dan lain-lain. (QS Al-Anfal 8:72).[11]

Kelima, mencari kerihaan Allah. Pernikahan adalah ibadah yang keutamaan dan pahalanya sangat luas. Karena di dalam kehidupan rumah tangga yang baik akan banyak sekali amal kebaikan yang mendapatkan pahala dari Allah. Seperti pahala menjaga diri dan keluarga dari perbuatan dosa, pahala memperlakukan istri dengan baik, pahala mendidik anak, pahala bersabar dalam mencari rejeki untuk anak istri, dan lain-lain.

Keenam, mendapatkan ketentraman hati. Dalam QS Ar-Rum 30:21 Allah berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[12]

Ketujuh, selamat dari fitnah dan praduga. Orang yang sudah menikah dianggap lebih memiliki kredibilitas dan integritas. Kata-katanya akan lebih didengar. Orang dewasa yang tidak menikah cenderung diasumsikan macam-macam karena dianggap menyalahi insting natural dan norma masyarakat.

(17)

Karena filosofi pernikahan memiliki banyak aspek bukan hanya sekedar pelepas hasrat biologis, maka seorang muslim hendaknya berhati-hati dalam memilih pasangan. Kualitas agama hendaknya lebih didahulukan dari kualitas fisik, materi, status sosial, ijazah dan keturunan. []

RUJUKAN

[1] Teks ayat: ليبس ءاسو ةشحاف ناك هنإ انزلا اوبرقت لو , . Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

[2] Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq aliah). Teks hadits: جوزتيلف ةءابلا مكنم عاطتسا نم بابشلا رشعم اي

ءاجو هل هنإف موصلاب هيلعف عطتسي مل نمو جرفلل نصحأو رصبلل ضغأ هنإف. Wahai pemuda, barangsiapa yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena perkawinan itu dapat menutup mata (dari godaan) dan menjaga kemaluan (dari zina). Bagi yang tidak mampu menikah, maka hendaknya berpuasa karena itu adalah obat (penurun syahwat)

[3] ibid

[4] مهنم مهل اريخ ناكل باتكلا لهأ نمآ ولو هللاب نونمؤتو ركنملا نع نوهنتو فورعملاب نورمأت سانلل تجرخأ ةمأ ريخ متنك , ,

نوقسافلا مهرثكأو نونمؤملا. Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

[5] Lihat QS An-Nisa’ 4:3; Annur 24:32; An-Nisa’ 4:25.

[6] Teks ayat: ةيرذو اجاوزأ مهل انلعجو كلبق نم لسر انلسرأ دقلو

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

(18)

Referensi

Dokumen terkait