• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Cara Penyusunan PERDA doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tata Cara Penyusunan PERDA doc"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Tata Cara Penyusunan PERDA

Pengertian Peraturan Daerah. Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”. Dasar Hukum Penyusunan Produk Hukum Daerah

 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Pasa1136 s.d Pasa1147);

 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Inisiatif Pembentukan Perda. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)maupun dari Bupati. Apabila dalam satu kali masa sidang Bupati dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Bupati dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Perda.

Asas Pembentukan Perda; Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 yaitu sebagai berikut:

 kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

 kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

 kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

 dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

 kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

(2)

bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

 keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Di samping itu materi muatan Perda harus mengandung asas-asas sebagai berikut :

 asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

 asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

 asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia.

 asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

 asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

 asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

 asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.

 asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

 asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

 asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.

(3)

Proses Penyusunan Perda

Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:

Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda, terdiri penyusunan naskahakademik dan

naskah rancangan Perda.

Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD. Proses pengesahan oleh Bupati dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.

Inisiatif Eksekutif,

a) Usulan dari SKPD yang bersangkutan b) rapat persiapan;

c) inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan; d) penyusunan draft Rancangan Peraturan Daerah;

e) pembahasan draft Rancangan Peraturan Daerah oleh Tim Penyusun Produk Hukum Daerah, dengan mengikutsertakan SKPD terkait dan tenaga ahli yang dibutuhkan;

f) melakukan sosialisasi dalam rangka uji publik terhadap draft Raperda yang telah disusun, untuk memperoleh masukan dari masyarakat dalam rangka penyempurnaan substansi materi; g) melakukan harmonisasi dan sinkronisasi substansi materi Raperda; dan

h) membuat surat usulan Bupati dengan dilampiri draft Raperda untuk selanjutnya disampaikan kepada DPRD.

Perda Inisiatif DPRD

Perda yang telah diusulkan DPRD akan di bahas oleh Tim Penyusun Produk Hukum Daerah yang dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah Setelah selesai akan disampaikan kembali kepada DPRD untuk dibahas bersama-sama. Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.Guna mendapatkan persetujuan DPRD dilakukan kegiatan pembahasan bersama-sama pihak Eksekutif terhadap draft Raperda yang telah diusulkan oleh Eksekutif, dengan mengacu pada Tata Tertib DPRD, yang mana pembahasan dilakukan oleh Badan Legislasi Daerah (Balegda) atau Pansus DPRD bersama-sama dengan Tim Penyusun Produk Hukum Daerah. Setelah tercapai kesepakatan bersama maka akan diusulkan dalam rapat paripurna DPRD guna mendapatkan persetujuan dari DPRD.

Proses Pengesahan dan Pengundangan

Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan. Selanjutnya Bupati mengesahkan dengan menandatangani Perda tersebut dan untuk pengundangan dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penomoran Perda, penggandaan, distribusi dan dokumentasi Perda tersebut.

(4)

dilakukan evaluasi, dan apabila sudah disetujui baru ditetapkan oleh Bupati dan dikirimkan kembali ke Provinsi.

Oleh Heri Agus Sutrisno, SH

Proses Penyusunan Peraturan Daerah

Dalam Teori dan Praktek[1]

Pengantar

Kebijakan otonomi daerah telah menjadi pemicu lahirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di berbagai propinsi dan kabupaten. Tapi sayangnya dari sekian banyak Perda yang dihasilkan tersebut cenderung dibuat dengan cara yang kurang melibatkan publik dan tidak transparan. Sehingga tidak jarang terjadi penolakan terhadap peraturan yang dibuat. Sebagai contoh, di Sumatera Barat publiknya bereaksi keras terhadap Perda tentang APBD Propinsi Sumbar karena banyaknya tunjangan untuk DPRD yang tidak masuk akal dan di-mark up. Begitu pula di Jakarta, publik menjadi berang ketika APBD DKI Jakarta memberikan uang kopi kepada gubernur sebesar 90 juta. Bahkan kalangan pengusaha yang terhimpun dalam KADIN menyampaikan keluhan kepada presiden bahwa terdapat 1.006 Perda yang bermasalah dan

memberatkan dunia usaha.[2]2

Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak Perda yang bermasalah dan merugikan bagi publiknya. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa hal itu timbul karena beberapa faktor, di antaranya: instrumen hukum yang ada kurang mendukung untuk melibatkan publik, struktur atau institusi pembuat kebijakan yang kurang siap dikarenakan sumber daya manusia yang ada tidak memadai, dan budaya atau perilaku eksekutif dan legislatif daerah yang masih bercorak orde baru.

Tata Cara Penyusunan Perda yang Elitis Hampir sama dengan proses pembuatan undang-undang, proses pembuatan Perda juga dapat muncul melalui dua jalur, yaitu atas usulan eksekutif (pemda) dan atas usulan legislatif (DPRD). Selama kebijakan otonomi bergulir –-yang ditandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah — instrumen hukum dari pemerintah pusat yang dijadikan landasan atau acuan dalam menyusun peraturan di tingkat daerah terbatas pada PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Dalam prakteknya, karena lazimnya prosedur penyusunan rancangan Perda atas usulan DPRD diatur dalam tata tertib DPRD –- yang penyusunannya mengacu pada PP No. 21 Tahun 2001 — maka usulan rancangan Perda atas usulan DPRD lebih mengacu pada PP No. 1 Tahun 2001. Sedangkan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 lebih diperlakukan sebagai pedoman penyusunan

rancangan Perda atas usulan pemda.

(5)

sempit. Ironisnya, tatip DPRD justru menutup diri sama sekali dan tidak mengagendakan konsultasi publik dan cenderung elitis. Lain halnya dengan Raperda usulan DPRD, prosedur penyusunan Raperda usulan pemda saat ini diatur melalui Kepmendagri No. 23 Tahun 2001. Pada bagian mengingatnya kepmendagri ini mencantumkan Keppres No. 188 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, namun demikian kepmendagri ini tidak dapat dikatakan sebagai aturan pelaksanaan dari keppres tersebut. Hal ini tidak lain dikarenakan Keppres No. 188 Tahun 1998 hanya diperuntukkan untuk penyusunan UU, tidak untuk Perda atau peraturan yang lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencantuman Keppres No. 188 Tahun 1998 merupakan suatu kekeliruan meskipun dari segi materi kepmendagri ini merupakan dari Keppres tersebut. Dilihat dari segi isinya, kepmendagri No. 23 Tahun 2001 pun belum memberikan peluang yang banyak kepada publik untuk berpartisipasi dalam penyusunan Raperda. Apabila dibuat ke dalam bentuk diagram, urutan pembuatan kebijakan daerah berdasarkan kedua peraturan tersebut dapat terlihat seperti di bawah ini:

A. Diagram Usulan DPRD Berdasarkan PP. No. 1 Tahun 2001

B. Usulan Pemda Berdasarkan KepMendagri No. 23 Tahun 2001

Mesin Copy Paste

Sesuai dengan dasar kewenangan penyusunan Perda, perancang Perda adalah aparat pemda dan anggota DPRD. Dalam pembuatan peraturan setidak-tidak pihak-pihak tersebut mengerti dasar-dasar teknik pembuatan peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang sering timbul di tingkat perancangan Perda adalah aparat yang berwenang kurang memiliki kemampuan mengenai mekanisme pembuatan perundang-undangan. Sebagai contoh, aparat bagian hukum Pemda Kabupaten Merangin mengakui bahwa kemampuandrafting DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif masih sangat terbatas sehingga tidak dapat dihindari jika eksekutiflah yang kemudian menjadi mesin penyusun Perda-perda yang ada di Merangin. Selain itu sejak tahun 2001, dari ± 42 Perda yang telah dihasilkan Kabupaten Merangin, belum satu pun yang merupakan hasil inisiatif DPRD. Ini terjadi karena kesalahan persepsi oleh anggota DPRD Merangin mengenai hak inisiatif seperti yang dimaksud dalam UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Ketua Komisi B DPRD, inisiatif penyusunan peraturan perundangundangan diartikan hanya sebagai memunculkan ide saja, dan selanjutnya ide tersebut diserahkan kepada eksekutif untuk ditindaklanjuti menjadi Perda.[3] Kenyataan ini mengindikasikan bahwa institusi yang ada sebagai pihak yang berwenang menyusun Perda, masih kurang memadai untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas. Sayangnya kekurangmampuan menciptakan produk hukum yang berkualitas itu tidak diimbangi dengan pelibatan publik untuk berperan aktif. Tidak heran jika produk-produk yang dihasilkan di tiap-tiap daerah agak mirip bahkan tak jauh beda dari segi isi karena praktek copy paste yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan yang lain. Hampir seluruh kabupaten di Indonesia memiliki Perda mengenai pemerintah daerah yang tidak mempunyai perbedaan signifikan satu dengan yang lain. Jumlahnya selalu sama, berkisar antara 11 – 13 buah, demikian pula dengan judul-judul yang digunakan.

Perilaku Lama Oleh Pemain Lama

(6)

turut menyumbang pada upaya pelanggengan proses pembuatan kebijakan daerah yang anti terhadap partisipasi publik. Rakyat masih tetap dianggap sebatas penyampai aspirasi, sementara tugas untuk menuangkannya dalam bentuk kebijakan daerah masih menjadi wewenang pemda dan DPRD semata. Selain itu, birokrasi lama yang penuh liku masih tetap bertahan karena memang kenyataannya SDM yang ada merupakan pemain lama yang terbiasa dengan pola lama. Akibatnya, acap kali peraturan pusat yang sifatnya pedoman oleh aparat daerah diterjemahkan sebagai instruksi sehingga tidak perlu aneh jika produk hukum

yang dihasilkan cenderung seragam.

Sifat seragam produk yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut mengindikasikan bahwa proses penentuan obyek atau materi yang hendak diatur dalam Perda tidak berangkat dari identifikasi kebutuhan nyata masyarakat. Dampak yang timbul kemudian adalah munculnya konflik-konflik baru ketimbang menyelesaikan permasalahan lama. Oleh karena itu, diperlukan suatu penataan ulang terhadap peraturan yang mengatur mengenai pembuatan kebijakan daerah untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi publik.

Inisiatif Datang Dari Pihak Lain

Seperti diuraikan di muka, usulan Raperda dapat diinisiasi oleh pemda dan DPRD dengan aturan main yang berbeda. Berdasarkan PP No. 1 Tahun 2001, Penyusunan Raperda hasil usulan DPRD diawali oleh pengajuan usulan oleh sejumlah anggota yang terdiri atas lebih dari satu fraksi. Usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD dalam bentuk Raperda, disertai penjelasannya. Usul tersebut kemudian diberi nomor pokok oleh sekretariat DPRD. Setelah itu disampaikan oleh pimpinan DPRD pada rapat paripurna setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari panitia musyawarah (pamus)[4]. Sedangkan penyusunan Raperda hasil usulan pemda, menurut Kepmendagri No. 23 Tahun 2001, unit kerja dan pimpinan dinas/lembaga teknis daerah dapat mengambil prakarsa untuk menyusun Raperda. Usulan Raperda tersebut dimintakan persetujuannya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Sebelum diajukan kepada kepala daerah, sekretaris daerah melalui bagian hukum bisa melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Permohonan persetujuan dilampiri dengan pokok-pokok pikiran atau konsepsi pengaturan, yang memuat:

(1) latar belakang, maksud dan tujuan pengaturan; (2) dasar hukum; (3) materi yang diatur, dan (4) keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain. Dalam tahap ini tidak ada suatu kewajiban untuk melibatkan publik dalam tahap usulan. Keterlibatan publik dalam tahap usulan lebih dikarenakan peran aktif masyarakat yang kadang didampingi oleh ornop. Sebagai contoh, misalnya usulan terhadap pembuatan Perda Kabupaten Wonosobo No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) –- hasil usulan DPRD — berangkat dari pendekatan aktif Lembaga Arupa dan ornop lainnya kepada DPRD Wonosobo untuk mengagendakan pembuatan Perda demi menjawab permasalahan pengelolaan hutan di Wonosobo. Keterlibatan publik dalam penyusunan Perda ini juga tidak lepas dari niat baik anggota DPRD menjawab aspirasi yang ada. Bahkan dalam kasus Perda Wonosobo, keterlibatan publik juga sampai pada

penyusunan/drafting Raperda.

Di Kutai Barat, inisiasi pembuatan Perda No. 18 Tahun 2002 Tentang Kehutanan Kabupaten Kutai Barat datang dari masyarakat bersama pemda. Pemda dalam hal ini betul-betul melibatkan publik dengan membentuk tim peyusun yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pembangunan Kehutanan Daerah (KK-PKD) yang terdiri atas anggota perwakilan dinas-dinas pemda, ornop, akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.

(7)

daerah memberikan persetujuan terhadap usulan Raperda dan diteruskan dengan pemberitahuan kepada bagian hukum dan dinas/lembaga teknis daerah oleh sekretaris daerah. Untuk membantu menyusun Raperda tersebut, pemrakarsa dapat membentuk Tim Asistensi antar Dinas/lembaga teknis daerah atau disebut juga Tim Unit Kerja, yang diketuai langsung oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah untuk menyusun Raperda tersebut. Kepala Bagian Hukum secara otomatis akan bertindak sebagai sekretaris di dalam Tim tersebut. Pembentukan tim ini selambat-lambatnya 21 hari sejak dikeluarkannya surat sekda mengenai pemberitahuan persetujuan prakarsa. Sebelumnya, sekda sendiri yang langsung mengajukan pembentukan tim asistensi kepala seluruh pimpinan dinas/lembaga teknis daerah yang terkait, selambat-lambatnya 7 hari sejak Raperda disetujui oleh kepala daerah. Pimpinan dinas/lembaga teknis daerah menunjuk orang yang akan duduk di dalam tim asistensi. Usulan nama dari masing-masing dinas/lembaga teknsi daerah paling lambat 7 hari terhitung sejak sekda mengajukan permintaan. Secara berkala, ketua tim asistensi akan melaporkan perkembangan pembahasan kepada sekda dan pimpinan dinas/lembaga terkait daerah. Setelah selesai menuntaskan tugasnya, tim asistensi melaporkan hasil perumusan akhir Raperda kepada sekda dan pimpinan dinas/lembaga teknis daerah, disertai penjelasan. Selanjutnya sekretaris daerah mengajukan Raperda tersebut kepada kepala daerah, sekaligus menyipakan Nota Penyampaian kepala daerah kepada DPRD. Pada proses penyusunan Raperda yang merupakan usulan dari DPRD, menurut PP No. 1 Tahun 2001, drafting Raperda baru dapat dimulai setelah rapat paripurna DPRD memutuskan menerima dan menetapkan usulan menjadi usulan DPRD, pembahasan lebih lanjut atas usulan tersebut dilakukan oleh komisi/rapat gabungan komisi/panitia khusus. Dalam hal pembahasan diserahkan kepada pansus, pimpinan DPRD membentuk pansus. Komisi adalah salah atau alat kelengapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan masa keanggotaan DPRD. Salah satu tugas komisi adalah melakukan pembahasan terhadap Perda dan rancangan keputusan DPRD. Sama seperti pamus dan komisi, pansus juga merupakan alat kelengkapan DPRD yang dibentuk pimpinan DPRD setelah mendengar pertimbangan dari pamus. Tetapi, tidak seperti pamus dan komisi yang bersifat tetap, pansus bersifat sementara. Pansus dibentuk untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas tertentu dengan kemungkinan diperpendek atau diperpanjang jangka waktunya. Komisi/rapat Gabungan Komisi/Pansus yang ditugasi untuk membahas Raperda tersebut — lewat pimpinannya — memberikan penjelasan kepada seluruh anggota DPRD dalam rapat paripurna. Dalam rapat tersebut, kepala daerah memberikan pendapat yang kemudian dijawab oleh pimpinan komisi/rapat gabungan komisi/pansus. Sebelumnya, Raperda tersebut — disertai penjelasannya — disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah secara

tertulis, melalui sekretaris daerah.

(8)

dan pemikiran terkait dengan substansi Raperda yang sedang disusun, namun kenyataannya pendapat dan pemikirannya tidak digubris oleh oleh pihak eksekutif.[5]

Pembahasan Raperda oleh DPRD dan Eksekutif Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Raperda yang merupakan inisiatif pemda akan dibahas dalam suatu rapat paripurna yang mengagendakan penyampaian nota penyampaian dari kepala daerah. Isi nota tersebut adalah sifat penyelesaian Raperda, cara penanganan atau pembahasannya dan pejabat yang ditugasi untuk mewakili pemda dalam pembahasan Raperda dengan komisi/pansus DPRD. Dalam hal pembahasan tersandung pada hal-hal prinsipil, pejabat yang ditunjuk dapat melaporkan kepada kepala daerah dengan disertai saran pemecahan yang diperlukan. Setelah melewati putaran rapat-rapat di komisi/pansus, DPRD kemudian mengadakan rapat paripurna untuk menyetujui Raperda tersebut. Dalam rapat paripurna ini, didengarkan juga penjelasan resmi pemda terhadap Raperda tersebut. Reperda yang telah disetujui tersebut kemudian ditetapkan melalui keputusan DPRD. Berikutnya, kepala daerah menetapkannya dengan cara membubuhi tanda tangan dan Cap Jabatan. Sebelumnya, bagian hukum memberikan nomor kepada Raperda tersebut. Rangkaian penyusunan kemudian ditutup dengan diundangkannya Perda tersebut ke dalam lembaran daerah serta memberitahukannya

kepada Mendagri dan Otda.

Sedangkan pada Raperda yang merupakan usulan/inisiasi dari DPRD, pembahasan bersama eksekutif akan mulai dilakukan setelah Raperda tersebut — disertai penjelasannya — disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah secara tertulis, melalui sekretaris daerah. Selanjutnya sekretaris daerah melaporkannya kepada kepala daerah disertai saran mengenai pejabat yang akan ditugasi untuk mengkoordinasikan pembahasannya dengan pimpinan Dinas/Lemabaga Teknis daerah yang terkait. Selanjutnya, sekretaris daerah menyampaikan Raperda kepada Unit Kerja dan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah yang ditugaskan oleh kepala daerah untuk mengkoordinasikan pembahasannya. Unit kerja yang dibebani untuk mengkoordinasikan pembahasan tersebut membentuk Tim Asistensi yang diberi tugas untuk membahas dan menyiapkan pemdapat, pertimbangan, serta saran penyempurnaan yang diperlukan. Untuk mengerjakan tugas tersebut, Tim Asistensi Teknis diberi waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal pembentukannya dan melaporkan hasil tugasnya kepada Unit kerja yang ditugasi untuk mengkoordinasi pembahasan. Bila diperlukan, Tim Asistensi Teknis tersebut bisa juga membantu kepala daerah dalam rapat-rapat pembahasan dengan DPRD. Dalam menjalankan tugasnya, Tim Aistensi Teknis bersekretariat di kantor Bagian Hukum. Pejabat atau Unit Kerja yang ditugasi untuk mengkoordinasi pembahasan tersebut berkewajiban mengkonsultasikan Raperda—berikut pendapat, pertimbangan serta penyempurnaan yang diajukan oleh Tim Asistensi Teknis—dengan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah terkait. Pejabat tersebut juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan dan melaporkan seluruh proses konsultasi selambat-lambatnya 21 hari sejak tanggal dikeluarkannya surat sekretaris daerah mengenai penyampaian Raperda kepada Unit Kerja dan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah terkait.

(9)

untuk kemudian disampaikan dalam rapat paripurna. Dalam rapat ini, selain memberikan kesempatan kepada pimpinan komisi/rapat gabungan komisi/pansus untuk melaporkan Raperda yang sudah disempurnakan, juga didengarkan pendapat akhir dari fraksi-fraksi dan sambutan dari kepala daerah. Rapat paripurna dilanjutkan dengan agenda menyetujui Raperda. Persetujuan atas Raperda tersebut ditetapkan dengan Keputusan DPRD. Selanjutnya Raperda tersebut ditetapkan menjadi Raperda oleh kepala daerah dengan cara mendatanganinya dan membubuhkan Cap Jabatan, setelah terlebih dahulu diberi nomor oleh Bagian Hukum. Perda yang telah dinomori, ditandatangani dan dicap jabatan tersebut kemudian diserahkan kepada sekretaris daerah untuk diundangkan dalam lembaran daerah dan dikirimkan kepada Mendagri dan Otda selambat-lambatnya 15 hari setelah tanggal penetapan, disertai dengan risalah rapat pembahasan. Dalam praktek pembahasan Raperda PSDHBM Wonosobo di DPRD, untuk menambah masukan, DPRD Wonosobo sering mengadakan hearing keada anggota masyarakat sebagai petani hutan, akademisi, ornop, dan pihak lain yang berkepentingan. Karena dinilai berlarut, masyarakat juga sesekali mengadakan aksi untuk mendesak anggota DPRD menuntaskan pembahasannya degan segera. Sekali lagi, keterlibatan publik dalam proses pembahasan lebih banyak tergantung pada sikap proaktif anggota DPRD untuk menampung aspirasi dari masyarakat. Jika hanya mendasarkan pada peraturan, sesungguhnya peraturan yang ada tidak mewajibkan publik untuk dimintai pendapat mengenai Raperda yang sedang dibahas. Walaupun masyarakat sudah dilibatkan terkadang apa yang disampaikan masyarakat tidak diperlakukan sebagai aspirasi yang dijadikan bahan pertimbangan, malah keterlibatan masyarakat hanya diperlakukan sebagai excuse belaka. Kejadian ini dapat dibuktikan seperti pembahasan Raperda di Sumatera Barat tentang Pemafaatan Tanah Ulayat di mana aspirasi publik tidak diprioritaskan.

Tahapan Penyusunan Peraturan Daerah

Secara sederhananya, tahapan penyusunan peraturan daerah dapat dilihat dalam diagram berikut:

C. Usulan DPRD berdasarkan Keputusan DPRD Kab. Sanggau No 11 Tahun 2001 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kab. Sanggau D. Usulan Pemerintah Daerah Berdasarkan Keputusan DPRD Kab. Sanggau No. 11 Tahun 2001 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kab. Sanggau

Pembicaraaan Tahap IV: Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna dan pemberian kesempatan kepada Kepala Daerah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan

Penetapan Peraturan Daerah Hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah. Persetujuan DPRD ditetapkan dalam Keputusan DPRD

Penutup

(10)

dimana peraturan tersebut nantinya akan diterapkan. Rendahnya peran serta dalam penyusunan peraturan pada dasarnya lebih disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai itu kurang memberi kesempatan pada publik (bahkan nyaris tak ada). Kemampuan yang minim dan elitisme pembuat peraturan di tingkat daerah turut menyumbang sempitnya ruang partisipasi bagi publik. Selain itu, birokrasi model lama masih mendominasi sehingga proses penyusunan peraturan yang seharusnya dimungkinkan untukmelibatkan publik malah menjadi tertutup.

[1] Tulisan ini sebagian besar, terutama yang berkenaan dengan PP No 1 Tahun 2001 dan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 dikutip dari Manual PHR oleh Q-Bar, LBBT, RMI, PPSHK Kalbar,Komite HAM Kaltim, LP2S, YBH Bantaya, ptPPMA, HuMa.

[2] Media Indonesia, 24 November 2001

[3] Contoh ini diambil dari Laporan Kunjungan Lapangan Jambi, 24 Oktober – 04 November 2002, Titi Anggraini dan Reny Rawasita, IHSA.

[4] Pamus adalah salah satu alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan masa keanggotaan DPRD. Salah satu pamus adalah menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD

[5] Media Indonesia, Ranperda Tanah Ulayat Lebih Pentingkan Investor, 21 Februari 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) sebagai Pusat Unggulan IPTEK akan mengadakan kegiatan rutin dua tahunan yaitu Pertemuan Teknis Kelapa Sawit

1. Tatakrama dan tatatertib sekolah ini dimaksudkan sebagai rambu-rambu bagi siswa dalam bersikap, berucap, bertindak dan melaksanakan kegiatan sehari-hari di sekolah

Keputusan Majelis Komisi yang menyatakan PT Telekomunikasi Indonesia tidak terbuktinya secara sah dan meyakinkan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukanlah tanpa

Pandangan-pandangan tersebut memperkuat pentingnya posisi Indonesia dalam mempertahankan the cornerstone of Indonesia foreign policy terhadap ASEAN agar mampu

1. Jika candle bank sekitar 100pips. Tunggu candle patah balik sekitar 60pips dan masuk. Jika candle bank sekitar 80pips. Tunggu candle patah balik sekitar 40pips dan masuk.

Begitu juga dengan surat keluar sangat penting pengaruhnya terhadap perusahaan, karena surat keluar merupakan data perusahaan yang dapat memberikan reputasi yang

Dalam penelitian ini digunakan metode observasi, dan angket dan dokumentasi diperoleh koefisien korelasi product moment untuk motivasi intrinsik sebesar 0,998 dan

Penelitian ini membuktikan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran Think Pair Square secara tepat dapat meningkatkan prestasi dan minat belajar matematika pada siswa