• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kidung Lebih Baik Daripada Azan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kidung Lebih Baik Daripada Azan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Kidung Lebih Baik Daripada Azan

Paparan Tentang Respon Masyarakat Terhadap Puisi

Sukmawati Soekarnoputri

Faisal Muhammad Al’farisi

Fakultas Syri’ah Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana 50 Malang 65144

Email: Faisalalfarisi428@gmail.com

A. Pendahuluan

Ada beberapa sebab yang mendorong saya dalam menulis artikel ini.

Pertama, ada beberapa kasus belakangan ini yang membuat saya tertarik dengan dunia perpolitikan apa lagi ditambah oleh kasus yang sempat membuming di media dan masyarakat. Kasus yang ingin saya bahas kali ini adalah tetang Puisi Sukmawati Soekarnoputri di acara "29 Tahun Anne Avantie Berkarya" di ajang Indonesian Fashion Week 2018, akhir Maret lalu.

"Puisi saya, saya judulkan dengan 'Ibu Indonesia'," kata Sukmawati di tengah-tengah panggung berlatar layar raksasa yang menampilkan warna merah-putih khas bendera Indonesia, sebelum masuk ke larik pertama puisi.

"Aku tak tahu syariat Islam," demikian larik pertama "Ibu Indonesia". Dimana Sukmawati Soekarnoputri disini membacakan sebuah puisi yang akhirnya menimbulkan gesekan kontropersi umat islam.

Kedua, adanya ketimpagan pada respon masyarakat yang berbeda-beda dan juga menarik jiwa saya untuk mengulas kasus ini dari berbagai jenis pembelaan ataupun hinaan terhadap puisi tersebut.

(2)

Pembandingan yang disampaikan oleh Sukmawati dalam puisinya dinilai menunjukkan keberpihakannya yang terlalu subjektif. Memang benar adanya, bahwa tulisan adalah sebuah keberpihakan. Tapi, keberpihakan seorang yang baik tentu akan memikirkan apa yang nantinya akan dirasakan oleh orang lain. Artinya, masih ada nilai-nilai kesopanan yang mestinya harus dijaga.

Masih banyak yang bertanya-tanya, apa itu kidung? Sehingga ia dibanding-bandingkan dengan azan; bahkan penilaian Sukmawati menganggap bahwa kidung lebih baik daripada azan.

Menurut KBBI: kidung berarti nyanyian, lagu (syair yang dinyanyikan), serta puisi.

Ini agak sedikit berbeda dengan kidung yang dijelaskan oleh Prof Sukron Kamil, Guru Besar Sastra Banding dan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau menyebutkan bahwa kidung adalah produk dari walisongo yang merupakan hasil dialog keislaman dan keindonesiaan. Jadi menurut beliau, salah jika Sukmawati membandingkan kidung dan azan hanya karena persoalan kekhawatiran terhadap kebudayaan Islam fundamental yang berkembang pesat pada saat ini. Karena pada dasarnya, kidung sendiri adalah sebuah kebudayaan yang tidak hilang dari sarat ruh keislaman yang hadir secara implisit.

(3)

B. Pembahasan

Lahir dari keluarga presiden, Sukmawati mencoba mengikuti jejak ayahnya. Ia ingin memadukan antara dunia seni dan politik.

Diah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri alias Sukmawati merupakan anak dari Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Ia adalah adik dari Megawati Soekarnoputri dan Rachmawati Soekarnoputri.

Wanita kelahiran Jakarta, 26 Oktober 1951 ini menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat pada 1964. Lalu setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya ke Akademi Tari di di LPKJ, Jakarta dan lulus tahun 1974.

Pada tahun 1998, Sukmawati membangkitkan kembali Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan nama PNI Soepeni. Namun, selang 4 tahun partai tersebut berganti nama menjadi PNI Marhaenisme. Ia pun didapuk sebagai ketua umum.

Lalu saat usianya 60 tahun, Sukmawati menuliskan kesaksian sejarah terkait kehidupannya selama 15 tahun di Istana Merdeka dalam sebuah buku yang bertajuk 'Creeping Coup D'Tat Mayjen Suharto.

Dalam diri Sukmawati tak hanya mewarisi darah politik ayahnya. Ia juga memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap seni. Berbagai acara kegiatan seni, ia lakoni sehingga dirinya termasuk sebagai pegiat seni.

Pada acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018, Sukmawati mendapat kesempatan membacakan puisi karyanya bertajuk Ibu Indonesia. Namun, Publik menunjukkan reaksi setelah video Sukmawati membacakan puisi ‘Ibu Indonesia’. Berikut puisi Sukmawati Soekarnoputri yang menuai kontroversi:

Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah Lebih cantik dari cadar dirimu

(4)

Lihatlah ibu Indonesia

Saat penglihatanmu semakin asing Supaya kau dapat mengingat Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok Lebih merdu dari alunan azan mu

Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu

Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Walau perbincangan dan reaksi atas puisi karya Sukmawati Soekarnoputri tampaknya tidak seluas seperti yang dihadapi oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tetap saja ada rencana aksi unjuk rasa di Jakarta, Jumat (06/04).

Rencana unjuk rasa dilontarkan oleh sebagian orang dari yang menamakan diri alumni Gerakan 212. Kelompok itu aktif turun ke jalan pada akhir 2017 untuk menuntut agar Ahok diadili dengan dakwaan penistaan agama Islam.

Sukmawati juga sudah dilaporkan ke polisi karena puisinya itu, antara lain oleh pengurus wilayah Nahdatul Ulama di Jawa Timur. Langkah tersebut, menurut salah satu ketuanya, Achmad Muhibin Zuhri, merupakan sebuah proses pembelajaran.

(5)

Ketua MUI soal puisi Sukmawati: Tak perlu diteruskan dan membuang energi Puisi Ibu Indonesia: Sukmawati Soekarnoputri 'mohon maaf lahir batin' kepada umat Islam

Sukmawati sendiri sudah meminta maaf kepada seluruh umat Islam, Rabu (04/04), terkait puisinya yang dibacakan pada acara Indonesia Fashion Week, yang dianggap sebagian orang merendahkan pemakaian jilbab dan adzan.

Pengurus Persaudaraan Alumni 212, Kapitra Ampera ikut mempermasalahkan puisi Sukmawati yang menurut dia isinya diduga kuat mendiskreditkan agama.

“Menurut saya ada dugaan kuat mendiskreditkan agama,” ujar Kapitra yang juga kuasa hukum Habib Rizieq Shihab.

Politikus PKS, Ledia Hanifa ikut mengomentari puisi Sukmawati. Menurutnya untuk orang-orang yang memiliki posisi terhormat, harus berhati-hati bersikap dan menyampaikan berbagai hal, agar tidak menimbulkan polemik.

“Ketika kita bicara soal azan, azan itu kan bagian dari panggilan beribadah, yang terkait ibadah itu sebaiknya tidak diangkat-angkat, dalam konteks dipertentangkan. Dua hal yg dimunculkan, kan ini lebih baik dari ini, ini sebaiknya tidak dimunculkan. Karena ini akan mengganggu rasa keberagaman, sebagian besar Muslim,” ujarnya.

Sementara Guruh Soekarnoputra memaklumi jika puisi Sukmawati menuai pro-kontra, tapi ia menangkal bahwa puisi tersebut menyinggung SARA. "Yang kita inginkan adalah, kita semua berpikir jernir, berpikir dan berbuat bijaksana dalam segala hal," ujar putra bungsu Soekarno itu di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (3/4/2018).

"Saya melihat reaksi-reaksi gitu, itu kan akhirnya sangat relatif tergantung dari persepsi kita, ya persepsi orang bermacam-macam, saya bisa mengerti isinya, bukan untuk SARA dan sebagainya," papar Guruh.

(6)

Bagi Hasta Indriyana, penyair yang sudah menerbitkan sejumlah buku puisi [seperti Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta, Seni Menulis Puisi dan terbaru Belajar Lucu dengan Serius), mutu puisi karya Sukmawati itu "jelek".

Vonis "jelek" ia jatuhkan pada puisi ini terutama karena maknanya yang saling kontradiktif. Ia mengaku tidak tahu syariat Islam, tapi kemudian membandingkannya dengan yang lain. Ini misalnya terlihat ketika ia membandingkan kalau "Sari konde ibu Indonesia sangatlah Indah/Lebih cantik dari cadar dirimu."

"Mengapa harus membandingkan dua hal jika salah satu di antaranya tidak dipahami? Ini fatal," kata Hasta, penyair yang meraih gelar sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dari Universitas Negeri Yogyakarta.

Berbeda lagi dengan Rachmawati Soekarnoputri yang meminta kepada aparat kepolisian untuk tegas dalam menyikapi kasus puisi yang dialami adiknya, Sukmawati Soekarnoputri.

Menurutnya, kasus itu berbeda dengan kasus penodaan agama yang ditujukan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Saat itu, Ahok dianggap keseleo lidah dan tanpa perencanaan. Sementara puisi yang dibacakan oleh Sukmawati sudah direncanakan terlebih dahulu.

"Ini harus ditanggapi serius oleh pihak kepolisian. Karena menurut saya, ini sudah jelas dan tertulis," kata Rachmawati saat ditemui di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, Jumat (20/4/2018).

(7)

Sukmawati juga mengatakan bahwa puisi tersebut merupakan karya sastra Indonesia murni sebagai wujud ekspresi seorang seniman dan budayawati Indonesia.

"Puisi itu saya tulis sebagai bentuk dari upaya mengekspresikan dari melalui 'suara kebudayaan' sesuai dengan tema acara pagelaran busana, yakni Cultural Identity. Saya pun tergerakkan oleh cita-cita untuk semakin memahami masyarakat Islam Nusantara yang berkemajuan sebagaimana cita-cita Bung Karno," ujar Sukmawati di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (4/4/2018).

Sukmawati memaparkan, makna yang terkandung dalam puisi adalah bentuk penghormatannya kepada Ibu Pertiwi Indonesia yang begitu kaya dengan tradisi kebudayaan dalam susunan masyarakat Indonesia yang begitu berbhineka namun tetap tunggal ika.

Puisi yang ditulis Sukmawati sendiri juga telah dibukukan dalam Buku Kumpulan Puisi Ibu Indonesia yang diterbitkan pada 2006 silam. Sukmawati memutuskan kembali membacakan puisi tersebut di ajang Indonesian Fashion Week 2018 untuk mengingatkan kembali kepada anak bangsa.

"Saya rangkum semata-mata untuk menarik perhatian anak-anak bangsa untuk tidak melupakan jati diri Indonesia asli," ungkapnya

C. Potret Sensifitas Negara

Analisa Hukum Terhadap Puisi Sukmawati

Dalam penggalan puisi Ibu Sukmawati terdapat frase kalimat “Aku tak tahu Syariat Islam yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah Indah lebih cantik dari cadar dirimu” dan frase kalimat lainnya adalah “Aku tak tahu syariat Islam yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangat elok Lebih merdu dari alunan adzan mu”

(8)

Dengan membandingkan sesuatu yang ibu Sukmawati tidak paham dan isinya bersifat sangat merendahkan ajaran agama Islam, maka unsur perbuatan penodaan terhadap agama Islam jelas telah terpenuhi.

Pasal 156a KUHPidana menyebutkan:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Maka semestinya aparat penegak hukum dapat langsung memproses kasus penodaan agama tersebut, sebab itu bukan delik aduan. Jadi tidak perlu menunggu ummat Islam melaporkan dan turun kejalan untuk menuntut keadilan. Apabila aparat penegak hukum masih harus menunggu Laporan, maka kami atas nama Lembaga Bantuan Hukum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam dan Dewan Pimpinan Pusat Forum Syuhada Indonesia menyerukan kepada seluruh ummat Islam diseluruh Indonesia utk membuat Laporan Polisi di Mabes Polri, Polda, Polres ataupun Polsek-polsek diseluruh Indonesia. (Khoirul Amin, Direktur LBH PP Gerakan Pemuda Islam & Forum Syuhada Indonesia)

Nah, dari sinilah saya pikir Sukmawati ingin menyampaikan rasa kekhawatirannya terhadap berapa porsi rasa nasionalisme yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Sehingga ia dengan berani membandingkan nilai-nilai yang ia anggap asli dari nusantara dan budaya Arab yang sudah mengakar di agama Islam sendiri. Sukmawati sudah terlanjur men-generalisir semua hal yang berbau Arab sebagai budaya Arab, bukan ajaran Islam. Termasuk azan yang ia sampaikan dalam bait puisi tersebut.

(9)

Oleh para ilmuwan, fenomena kesalahan berpikir ini biasa disebut dengan intellectuall cul de sac yang artinya kesalahan dalam berpikir. Nah, kesalahan dalam berpikir ini juga terbagi lagi menjadi dua, yakni intellectual cul de sac dan mitos. Mitos adalah sebuah informasi yang belum tentu wujud kebenarannya, akan tetapi sudah diamini dan dipercayai oleh masyarakat umum.

Dalam teori rekayasa sosial Jalaluddin Rakhmat tentang kesalahan dan kerancuan berpikir, ada banyak macam-macam kesalahan-kesalahan berpikir. Satu di antaranya adalah disebutkan Fallacy of Dramatic Instance tentang kecenderungan melakukan over generalization. Sukmawati bisa kita asumsikan gagal dalam memahami perbedaan antara budaya asli Arab dan ajaran Islam yang memang pada dasarnya (hampir seluruh) menggunakan bahasa Arab. Kecenderungan ini oleh Jalaluddin Rakhmat disebut sebuah kesalahan berpikir.

Di lain sisi, kita tidak bisa juga sepenuhnya menyalahkan Sukmawati, karena kemungkinan alasan lain bisa jadi diterima dalam nalar berpikir kita. Penulis meyakini betul, bahwa Sukmawati sebenarnya tidak bermaksud melecehkan ataupun menistakan agama. Karena menarik ulur lagi keseluruhan isi dari puisi tersebut, Sukmawati ibarat sosok yang sedang merintih akan kekhawatirannya tentang jiwa nasionalisme cinta tanah yang sudah mulai hilang seiring berkembang pesatnya ajaran-ajaran Islam konservatif di Indonesia.

Terakhir, penulis ingin menyampaikan konteks puisi yang dibacakan oleh putri Soekarno tersebut tidak sepenuhnya bisa kita salahkan. Akan tetapi, dari segi tekstual, cara berpikir, dan pemahaman tentang Islam, saya pikir memang jelas ada kesalahan. Nah, kewajiban kita sebagai warga negara yang menghargai pendapat orang lain serta senantiasa menanamkan nilai toleransi, hendaknya dijadikan sebagai senjata kita dalam menghadapi segala macam bentuk kesalahan-kesalahan dalam berpikir.

Referensi

Dokumen terkait