• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Harry Potter Alliance Sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Eksistensi Harry Potter Alliance Sebagai"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Eksistensi Harry Potter Alliance Sebagai Bentuk Nyata Konsep Virtual Culture di Era Teknologi Informasi

Yunia Damayanti (NIM. 071311233066) Departemen Hubungan Internasional, FISIP

Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK

Meningkatnya komunitas penggemar atau dikenal dengan istilah fanbase menjadi fenomena yang menarik. Buku, film, atau serial televisi telah banyak menarik perhatian individu yang mana dari individu-individu tersebut, terbentuklah suatu kelompok yang berdasarkan atas kesamaan hobi dan kesukaan. Namun, fenomena yang unik adalah bahwa kelompok-kelompok tersebut terbentuk karena diwadahi oleh dunia yang disebut dengan istilah dunia virtual. Harry Potter Alliance, merupakan salah satu komunitas yang penulis bahas dalam tulisan ini. Kehadiran Harry Potter Alliance yang berawal dari hanya sebuah fanbase para pencinta buku dan film Harry Potter di dalam dunia virtual, berlanjut ke dalam sebuah interaksi nyata. Penulis berargumen bahwa dunia virtual dapat menciptakan sebuah keadaan yang dinamakan sebagai virtual culture atau budaya virtual. Menggunakan konsep dari berbagai penulis seperti Manuel Castells, Paul C. Adams, David Silver, Christopher Kelty, dan Federico Mazzini beberapa pandangan penulis lainnya, tulisan ini akan membahas bentuk budaya virtual di era masyarakat teknologi dan informasi saat ini.

Kata-kata kunci: Harry Potter Alliance, budaya virtual, masyarakat informasi dan teknologi

(2)

culture. Using concepts from various authors such as Manuel Castells, Paul C. Adams, David Silver, Christopher Kelty, and Federico Mazzini, this paper will discuss a form of virtual culture in the era of technology and information society today.

(3)

Abad ke-21 merupakan sebuah era yang mana teknologi dan informasi menjadi penting bagi setiap aspek kehidupan masyarakat. Kemunculan komputer dan internet menjadi alasan utama titik balik berubahnya pola komunikasi yang terjadi. Interaksi individu, kelompok, dan masyarakat sudah berubah yang awalnya hanya dapat berkomunikasi secara bertatap muka, mengirim surat, dan saling bertelepon, pada era sekarang semuanya dapat secara efektif dimudahkan oleh internet. Internet dapat menghubungkan individu dari belahan dunia utara ke belahan dunia selatan, atau dari barat ke timur dalam satu waktu, internet dapat secara tepat waktu dan cepat dalam memberikan informasi yang berasal dari negara lain, dan berbagai hal lainnya. Pun selain internet telah mengubah pola interaksi dan komunikasi masyarakat di dalam tatanan dunia saat ini, tentu terdapat dampak yang mengiringinya. Munculnya istilah virtual community, virtual culture, dan berbagai macam perbedaan istilah yang merujuk pada hal yang sama telah memberikan gambaran bahwa suatu jaringan internet dalam prosesnya dapat membentuk suatu kumpulan individu yang tergabung di dalamnya. Bergabungnya para individu di dalam sebuah dunia virtual dan membentuk suatu komunitas bukan tanpa alasan, di balik itu semua ada sebuah bentuk nilai dan kepentingan (Castells 2010, 386).

(4)

Semakin efektifnya komunikasi berbasis internet dan dibantu pula dengan kemunculan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Tumblr, Ask.fm, Instagram, dan sebagainya telah memberikan dampak tersendiri bagi terbentuknya sebuah komunitas virtual. HPA muncul sebagai fandom dari Harry Potter yang mana telah terbentuk dan tumbuh sebagai istilah yang disebut sebagai online culture. Selain terbentuknya sebuah komunitas bernama HPA, budaya Harry Potter itu sendiri banyak dalam berbagai bentuk, seperti halnya fanfictions, liga olahraga, konferensi, dan bahkan sebuah band (Slack 2014 dalam Earl et al. 2014, 273). Pun tulisan ini merupakan upaya sebagai bentuk pengkajian terhadap komunitas HPA yang muncul sebagai bentuk dari virtual culture yang menjadi fenomena dalam era teknologi informasi. Selain itu pula berkaitan dengan pergerakan virtual culture yang dapat berpengaruh pada dunia nyata atau real world yang tentu merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji.

Perdebatan Konsep Virtual Community atau Virtual Culture,Real or Not Real?

(5)

tersebut, bergabung atas kepentingan dan nilai-nilai yang sama, atau individu yang memiliki kepentingan multidimensi.

Paul C. Adams (1997, 155-157) berpendapat bahwa terdapat tiga bentuk metafora dalam virtual-place yang mana terjadi pada dunia komputer: (1) positional metaphor, (2) ontological metaphor, dan (3) metaphorical associations. Individu ketika sudah berada pada posisi, “I’m on-line,” dapat diindikasikan bahwa hal tersebut adalah positional metaphor atau seorang individu sudah terkoneksi di dalam sebuah dunia virtual yang berbeda dengan dunia nyata. Selain itu pula, terdapat istilah cyberspace yang merupakan bentuk dari ontological metaphor, yang berarti bahwa sebuah jaringan dapat berfungsi sebagai ruang agar adanya kesempatan interaksi dan pergerakan dari individu dengan lainnya. Lalu, istilah chat room yang mana terbentuk dari metaphorical associations yang di dalamnya terdapat struktur berisi pengalaman-pengalaman sosial yang terjadi antar masing-masing personal.

(6)
(7)
(8)

Relasi Virtual Culture dengan Budaya Masyarakat Tradisional Era Teknologi Informasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu masing-masing memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Budaya merupakan aspek yang fundamentalis yang ada di dalam kehidupan masyarakat, dan tentu keberadaannya menjadi suatu hal yang mendasari pola pikir, adat dan istiadat masing-masing individu. Perbedaan budaya suatu daerah dengan daerah lain tentu berbeda, maka dari itu banyak keanekaragaman budaya lokal yang ada di dunia. Namun yang menjadi perdebatan sekarang ini adalah eksistensi internet yang membentuk cyberspace telah menggeser budaya tradisional. Penulis berpendapat bahwa eksistensi internet bukanlah untuk menggeser budaya tradisional yang sudah menjadi nilai fundamental masing-masing individu. Budaya terbentuk karena adanya proses komunikasi, dan segala bentuk komunikasi berbasis dari adanya tanda akan kebutuhan produksi dan konsumsi (Castells 2010, 401). Sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara representasi budaya“reality” dan “symbolic.” Dari pendapat tersebut, penulis berargumen bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara virtual culture yang terbentuk dari adanya ruang lingkup bernama cyberspace, dengan real culture. Perdebatan yang terjadi hanyalah “virtual” yang merujuk pada hal-hal yang praktis atau hanya sebuah nama, dan “real” merujuk pada suatu yang benar-benar eksis.

(9)

Salah satu hal yang menonjol dalam adanya era sistem komunikasi yang baru adalah waktu menjadi hal yang tidak dipersoalkan lagi atau timeless time. Masa lalu, saat ini, dan saat yang akan mendatang dapat terprogram dengan berinteraksi satu sama lain dalam satu pesan yang sama. Selain itu pula, ruang yang mana perbedaan budaya, sejarah, dan geografis menjadi hal yang tidak dipertimbangkan lagi dalam berinteraksi via internet (Castells 2010, 406). Istilah the space of flows dan timeless time menjadi dua fondasi utama dari budaya baru yang disebut sebagai virtual culture. Penulis sependapat dengan pernyataan tersebut, bahwa internet membawa masyarakat kepada era yang lebih mengutamakan keefektifan dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Munculnya platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya telah mendorong interaksi antar manusia ke arah yang lebih terintegrasi. Permasalahan yang muncul adalah bahwa virtual culture erat kaitannya dengan budaya Western dan bentuknya hanyalah social imaginaries. Penulis berpendapat bukanlah permasalahan nyata atau tidak nyata yang berusaha dijelaskan oleh Manuel Castells, namun yang berusaha dijelaskan adalah bahwa pada era internet masing-masing individu sudah terhubung secara otomatis dengan cyberspace, individu tersebut sudah menjadi salah satu bagian dari masyarakat virtual culture, terlepas dari latar belakang budaya, ras, dan gender apapun. Sehingga, adanya virtual culture merupakan hal yang otomatis terjadi di dalam cyberspace yang mana di dalamnya individu-individu secara on-line terhubung satu sama lain secara timeless time dan space of flows.

(10)

menyediakan informasi bagi diri sendiri. Tidak heran jika melalui media sosial, orang akan menemukan sekelompok atau komunitas yang sesuai dengan minat dan kepentingannya.

Elaborasi Kasus Konsep Virtual Culture dengan Harry Potter Alliance

Pembahasan mengenai virtual culture atau digital life dan/atau istilah lainnya yang telah penulis sebutkan di atas dapat dicontohkan dalam kasus perkembangan online culture, yaitu Harry Potter Alliance (HPA). Pembahasan mengenai HPA di awali dengan latar belakang terbentuknya komunitas on-line berbasis fanbase tersebut, lalu dilanjutkan dengan eksistensi HPA yang menjadi bentuk nyata dari istilah virtual culture dan relasinya dengan aktivitas-aktivitas masyarakat dunia di era teknologi informasi saat ini. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa HPA merupakan organisasi non-profit yang dibentuk oleh para penggemar seri buku dan film Harry Potter. Terbentuk pada tahun 2005 di Amerika Serikat oleh Andrew Slack, tujuan awal HPA adalah untuk menarik perhatian atas isu kekerasan terhadap hak asasi manusia di Sudan (Snyder 2007). Melalui situs yang berdomain www.thehpalliance.org, HPA memiliki visi yaitu, “A creative and collaborative culture that solves the world’s problem.” Era teknologi informasi telah menjadikan suatu hal yang kecil, bahkan tidak terpikir sebelumnya, menjadi suatu hal yang berdampak besar bagi masyarakat. HPA hanya berawal dari kumpulan penggemar Harry Potter, yang mana mereka terintegrasi berdasarkan kepentingan dan kemauan masing-masing. HPA terus berkembang menjadi suatu organisasi non-profit yang berbasis online, dan memiliki beberapa cabang atau chapters yang tersebar ke seluruh dunia, yaitu: (1) Oceania yang terdiri dari Australia, dan Selandia Baru, (2) Asia yang terdiri dari India, Iran, Israel, Pakistan, Filipina, Singapura, Vietnam, Korea Selatan, dan Thailand, (3) Eropa yang terdiri dari Belgia, Belanda, Prancis, Jerman, Irlandia, Rusia, dan Britania Raya, (4) Afrika yang terdiri dari Burundi, Liberia, Afrika Selatan, Uganda, dan (5) Amerika Selatan yang terdiri dari Argentina, Brasil, Cili, Guyana, dan Uruguay (The Harry Potter Alliance 2015). Seperti halnya argumen yang dikatakan oleh Manuel Castells bahwa sistem komunikasi baru yang muncul di era teknologi informasi membuat ruang dan waktu bukan menjadi permasalahan. Tersebarnya beberapa cabang HPA telah membuktikan bahwa lokasi geografis yang berbeda tidak membuat para penggemar dan pihak yang ingin bergabung menjadi terhalang oleh aspek tersebut.

(11)

atau charity, dan gerakan melek huruf. Beberapa bantuan dan capaian yang telah diraih oleh HPA adalah penggalangan dana untuk Partners In Health dan berhasil meraih 123.000 dolar AS, yang mana uang tersebut digunakan untuk menyewa lima pesawat pengantar kebutuhan bagi korban di Haiti. Lalu, mendonasi 250,000 buku ke seluruh dunia dengan program HPA’s Accio Books, dan masih banyak pencapaian yang diraih oleh HPA ini. Karena berbasis amal, organisasi HPA ini mendapatkan pendanaan dari pendonor di seluruh dunia. Pada tahun 2012, program penggalangan dana yang diberi nama Equality for the Win atau Equality FTW telah mendapatkan uang sebesar 94.803 dolar AS, dari jumlah 2.289 pendonor dana (Indiegogo 2013). HPA menjadi organisasi non-profit salah satunya karena J.K. Rowling yang mana penulis Harry Potter pernah bekerja di Amnesti Internasional. Pendiri HPA terinspirasi dari nilai-nilai yang diajarkan oleh cerita Harry Potter. Sehingga, HPA muncul sebagai fanbase dari Harry Potter dan pertama kali dikenal di dalam cyberspace telah memberikan dampak yang cukup signifikan di dalam masyarakat.

(12)
(13)

terealisasikan di dunia nyata. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan esensi dari kata “virtual” itu sendiri, namun dapat dilihat bahwa aspek-aspek yang terdapat dalam cyberspace secara otomatis membentuk suatu budaya, yang telah disebutkan sebagai virtual culture.

Segala aktivitas humanisme yang dilakukan oleh HPA adalah berdasarkan dari organisasi aktivitas “Dumbledore’s Army,” yang mana di dalam buku Harry Potter merupakan organisasi yang dibentuk oleh para murid Hogwarts yang bertujuan untuk melawan kejahatan pasukan Lord Voldemort. Budaya yang dibawa oleh HPA tidak hanya virtual culture yang merupakan asal mula dibentuknya komunitas tersebut. Namun, HPA menjadi salah satu contoh organisasi Parcipatory Culture Civics (PCC), yang mana menjembatani antara budaya dan partisipasi politik (Jenkins 2006). Pada awal HPA terbentuk memang secara eksklusif bagi penggemar Harry Potter saja, namun setelah berkembangnya organisasi ini, yang bergabung dalam HPA tidak mengkhususkan hanya sebatas penggemar Harry Potter saja. Namun, anggota-anggotanya adalah individu yang memiliki kepentingan untuk membantu sesama melawan ketidakadilan. Penulis membahas HPA sebagai salah satu bentuk dari konsep virtual culture dikarenakan bahwa HPA merupakan komunitas yang terbuka, dan berdasarkan partisipasi jaringan internet. Para penggemar diundang untuk berpartisipasi secara online sebagai pegawai sukarela (Connected Learning Alliance 2016). Tidak ada batasan yang menyulitkan para anggota baru untuk bergabung, para partisipan akan dengan mudah untuk bergabung dan melaksanakan tanggung jawab. Aktivitas yang dilakukan oleh HPA adalah kampanye dan diskusi secara online, dan semuanya telah terkoordinasi dengan baik karena setiap anggota memiliki perannya masing-masing. Salah satu syarat menjadi anggota HPA adalah aktif secara online, dan minimal memiliki akun Facebook. Media sosial menjadi wadah penting untuk menggerakkan organisasi HPA ini, seperti Facebook, Tumblr, Twitter, dan YouTube untuk mengunggah vlog atau video blog. Ketika HPA mengadakan sebuah acara seperti contohnya LeakyCon, HPA menggunakan platform LiveStream untuk menayangkan acara mereka.

(14)

know your cultural terrain, yaitu prinsip yang dipegang oleh HPA bahwa, “meet people where they’re at, not where you want them to be.” Penggemar Harry Potter yang tersebar di seluruh dunia tentu memiliki latar belakang budaya, sosial, politik, dan bahasa yang berbeda. Namun, HPA menjadi wadah bagi para nerds untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi, (3) think narratively, yang dibagi atas tiga level, yaitu personal, kolektif, dan mitological. Maksudnya adalah bahwa di dalam berinteraksi, anggota yang tergabung dalam HPA dapat mengorganisir masing-masing cerita yang dapat dibagi dengan anggota lain, dan (4) create online-offline synergy, bahwa terkadang individu di dalam dunia online sangat berbeda jauh ketika mereka berada di dalam dunia nyata. Maka dari itu, HPA membantu agar para anggotanya menjadi lebih percaya diri, agar peran mereka ketika online dan ketika offline tidak jauh berbeda (Slack 2005).

Kesimpulan

Pembahasan mengenai virtual culture memang tidak dapat terlepas dari konsep yang dijelaskan oleh Manuel Castells. Penulis berpendapat bahwa virtual culture merupakan salah satu fenomena yang otomatis terjadi di dalam cyberspace. Sejak internet pertama kali digunakan pada tahun 1990-an, dapat dikatakan bahwa budaya masyarakat dunia bergeser. Kebutuhan yang dicari bukanlah kebutuhan fisik saja, namun kebutuhan akan informasi lebih penting pada era berkembangnya internet. Komunikasi dan interaksi antar sesama tidak perlu lagi secara face-to-face, namun dapat dilakukan dengan tidak memikirkan letak geografis dan waktu. Berkirim surat elektronik dan mengirim pesan singkat merupakan salah satu bentuk dari berkembangnya era teknologi informasi. Seiring berkembangnya era tersebut, tentu masyarakat sekarang ini tidak asing dengan istilah media sosial atau social media, seperti halnya Facebook, Twitter, YouTube, Tumblr, Instagram, dan lainnya. Media sosial menjadi aspek yang penting dalam terbentuknya virtual culture, hal tersebut dikarenakan dengan menggunakan media sosial ini, individu akan mudah menemukan komunitas yang sesuai dengan kepentingan dan minatnya. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa di era teknologi informasi membuat informasi sebagai hal yang penting dan dikonsumsi sendiri oleh masing-masing individu.

(15)

Interaksi yang berawal dari kesamaan minat dan kegemaran, berlanjut ke tahap di mana individu bergabung di dalam suatu komunitas. Salah satu ciri dari virtual culture adalah bahwa jika sudah bergabung atau online, latar belakang kehidupan, gender, ras, dan agama tidak menjadi hal yang penting. Yang terpenting adalah ketika individu sudah tergabung dalam internet atau online, berarti otomatis sudah menjadi bagian dari cyberspace. Penulis tidak sependapat apabila dikatakan bahwa virtual culture adalah imajinasi sosial atau social imaginaries, atau dapat dikatakan virtual culture hanyalah mitos. Penulis berpendapat bahwa virtual culture merupakan hal yang nyata, karena hampir seluruh lapisan masyarakat saat ini sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Memang level koneksi pada jaringan internet masing-masing berbeda, namun tetap saja bahwa kita sebagai masyarakat sudah merasakan dampak adanya virtual culture. HPA membuktikan bahwa komunitas yang awalnya merupakan komunitas online, dapat langsung berpartisipasi di dalam kehidupan masyarakat secara nyata. Selain itu pula, pendapat mengenai bahwa virtual culture hanya berbentuk budaya Western. Penulis tidak setuju karena virtual culture bagi penulis tidak ada sangkut pautnya dengan menghilangnya rasa kebudayaan tradisional. Budaya tradisional tidak dengan mudah diganti atau dihapus, namun penulis beranggapan budaya tradisional hanya dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman yang sedang berlangsung. HPA sendiri tidak mempermasalahkan latar belakang ras para anggotanya, justru mereka melawan segala bentuk inequality yang dialami oleh masyarakat sekitar.

(16)

Daftar Pustaka

Buku

Castells, Manuel. 1996. The Rise of the Network Society: A Cross-cultural Perspective. Oxford: Blackwell Publisher.

____________. 1996. “The Culture of Real Virtuality: the Integration of Electronic Communication, the End of the Mass Audience, and the Rise of Interactive Networks,” dalam The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell Publisher, hal 327-375.

Earl, Esther, et.al., 2014. This Star Won’t Go Out. USA: Penguin Books.

Horn, Stacy. 1998. Cyberville: Clicks, Culture, and the Creation of an Online Town. New York: Warner Books.

Jones, Steven. 1997. Virtual Culture: Identity and Comunnication in Cybersociety. London: Sage Publications.

Artikel Jurnal/Jurnal Online

Adams, Paul C. 1997. “Cyberspace And Virtual Places,” dalam Geographical Review. Research Library, hal. 155.

Jenkins, Henry. 2006. “Cultural acupuncture: Fan activism and the Harry Potter Alliance” dalam Transformative Works and Cultures. Vol. 10. [online] dalam http://journal.transformativeworks.org/index.php/twc/article/view/305/259 [diakses pada 25 Desember 2016]

Kelty, Christopher. 2010. “Introduction: Culture In, Culture Out,” dalam Anthropological Perspectives on Knowledge in the Digital Age. Los Angeles: University of California.

Mazzini, Federico. 2014. “Cyber-Cultural History: Some Initial Steps toward a Cultural History of Digital Networking,” dalam Humanities, vol. 3, hal. 185-209.

(17)

Artikel Online

Burt, Kaytl. 2016. “How Harry Potter Shaped Modern Internet Fandom” [online]. dalam

http://www.denofgeek.com/us/books-comics/harry-potter/260201/how-harry-potter-shaped-modern-internet-fandom [diakses 12 Desember 2016]

Galarneau, Lisa. 2011. “10 Ways Social Media is Transforming Our World” [online]. dalam http://www.jeffbullas.com/2012/02/06/10-ways-social-media-is-transforming-our-world/ [diakses pada 24 Desember 2016]

Slack, Andrew. 2005. “Case Study: Harry Potter Alliance” [online]. dalam http://beautifultrouble.org/case/harry-potter-alliance/ [diakses pada 25 Desember 2016] Snyder, Chris. 2007. “Harry Potter as a political force” [online]. dalam

http://www.politico.com/story/2007/07/harry-potter-as-a-political-force-005039 [diakses pada 24 Desember 2016]

The Harry Potter Alliance. 2016. “Chapters” [online]. dalam http://www.thehpalliance.org/chapters [diakses pada 24 Desember 2016]

Media Massa Online

Connected Learning Alliance. 2016. “The Harry Potter Alliance: Connecting Fan Interest and Civic Action” [online] dalam http://clalliance.org/resources/the-harry-potter-alliance-connecting-fan-interests-and-civic-action/ [diakses pada 25 Desember 2016]

Indiegogo. 2013. “Equality FTW 2013” [online] dalam

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku dan sikap tidak bisa dipisahkan untuk menjadikan lebih sempurna karena kedua- duanya memiliki karakteristik yang berbeda. Sikap itu cara pandang dan pola pikir,

Teori Interaksi Simbolik yang diuraikan oleh Hebert Blumer (dikutip dalam Machmud, 2011 : 85) didalamnya mengandungi dasar pemikiran antara lain : (1)

[r]

Dalam penelitian ini, penulis menambahkan kinesio taping dalam pemberian intervensi joint mobilization karena menurut salah satu jurnal penelitian menyebutkan bahwa

ini menunjukan bahwa perlakuan kel 1 dan 2 tidak ada perbedaan pengaruh active isolated stretching dan static stretching terhadap peningkatan fleksibilitas otot hamstring

Operasional penelitian ini dimulai dengan pengukuran kemampuan fungsional dengan WOMAC indeks sebelum diberi perlakuan baik pada kelompok 1 maupun kelompok 2 dan

Topografi Kota Padang ini disebabkan oleh beberapa proses alam yaitu berupa proses marin, fluvial, vulkanik, dan pengangkatan Terapan model dua dimensi (2D) dan tiga dimensi

1.081.783.191,- (Satu milyar delapan puluh satu juta tujuh ratus delapan puluh tiga ribu seratus sembilan puluh satu. rupiah), setelah diadakan evaluasi dan pembuktian kualifikasi