• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP Salah satu hal yang diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan nasional dalam UU Minerba adalah adanya kewajiban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V PENUTUP Salah satu hal yang diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan nasional dalam UU Minerba adalah adanya kewajiban"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

97 BAB V

PENUTUP

Salah satu hal yang diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan nasional dalam UU Minerba adalah adanya kewajiban perusahaan tambang seperti Freeport untuk mengolah dan memurnikan mineral mentah (ore) dalam negeri sebelum diekspor. Hal ini diyakini akan mendatangkan multiplier effects seperti peningkatan pendapatan negara serta memberikan manfaat ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja baru. Namun sangat disayangkan, dalam kurun 2009-2014 proses pengolahan dan pemurnian sebagaimana diamanatkan dalam UU Minerba belum terlaksana yang ditandai dengan tidak adanya smelter.

Ironisnya lagi, pemerintah malah membuat peraturan yang memberikan kelonggaran ekspor mineral yakni Peraturan Menteri ESDM No.1 Tahun 2014 yang ditindaklanjuti dengan pemberian SPE kepada Freeport. Peraturan tersebut dinilai oleh sejumlah pihak menyalahi amanat UU Minerba. Atas dasar itulah penelitian ini hadir untuk mengkaji faktor apa yang menyebabkan pemerintah sehingga tidak konsisten dalam mengimpelementasikan amanat UU Minerba dengan memberikan SPE kepada Freeport.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui metode library research dan interview, penulis menemukan jawaban bahwa inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan amanat UU Minerba dengan memberikan SPE kepada Freeport disebabkan oleh dua hal yakni; pertama, bargaining power pemerintah Indonesia lemah dibandingkan dengan bargaining power Freeport. Meskipun pemerintah unggul dalam hal sumber daya alam dengan memiliki cadangan tembaga, emas dan perak yang cukup melimpah namun hal ini tidak cukup menguatkan bargaining power-nya. Ada sejumlah hal penting yang turut melemahkan bargaining power pemerintah Indonesia seperti tenaga kerja yang kurang terdidik dan terampil (unskilled labour), infrastruktur buruk atau tidak memadai, modal domestik tidak cukup atau bahkan sama sekali tidak ada dan kualitas birokrasi yang buruk dalam hal regulasi. Di samping itu, juga karena mentalitas sebagian birokrat yang korup. Kelemahan bargaining power pemerintah Indonesia tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari faktor politis. Pernyataan Mantan Ketua KPK, Abraham Samad bahwa banyak

(2)

98 perusahaan tambang melakukan suap kepada bupati, gubernur dan pejabat di kementerian agar izin pertambangannya tetap aman menjadi bukti bahwa pemberian SPE kepada Freeport memang juga tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik.

Kekuatan bargaining power Freeport terlihat dalam dua hal yakni teknologi dan modal. Dari sisi teknologi, teknologi Freeport dalam mengeksplorasi tambang underground sangat canggih sebagaimana diakui oleh pemerintah Indonesia sendiri bahwa teknologi Freeport merupakan teknologi terbaik yang ada di Indonesia. Dari sisi modal (uang) kontribusi Freeport melalui uang juga sangat signifikan. Hal itu terlihat melalui kontribusi Freeport sebanyak 0,8% bagi penerimaan negara (PDB nasional), 37,5% bagi PDB Papua, dan 91%

bagi PDB Mimika pada tahun 2013. Wujud nyata kontribusi Freeport dalam bentuk uang melalui keuntungan langsung (royalti, dividen, pajak dan pungutan lainnya) dan keuntungan tidak langsung (gaji karyawan, pengembangan regional, pembelian barang dan jasa dalam negeri/investasi domestik dan dana kemitraan).

Intinya adalah kontribusi Freeport yang cukup signifikan terhadap keuangan negara dan daerah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan inkonsistensi pemerintah Indonesia.

Kedua, birokrasi pemerintah Indonesia terfragmentasi. Fragmentasi tersebut menyebabkan koordinasi di antara Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan tidak berjalan. Koordinasi dari kementerian ESDM sebagai kementerian hulu tidak berjalan akibat fokus terhadap sejumlah gugatan terhadap UU Minerba akibatnya masing-masing kementerian hanya melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya sementara industri hilirisasi diabaikan. Fragmentasi birokrasi tersebut juga menyebabkan munculnya kebijakan dari masing-masing kementerian untuk memperjuangkan kepentingannya yang pada dasarnya bertentangan dengan UU Minerba, seperti Permen ESDM No.1/2014 yang bertujuan untuk menjaga kontribusi sektor pertambangan bagi penerimaan negara dan alasan tenaga kerja dan SPE yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan Indonesia dalam neraca perdagangan dunia agar tidak defisit.

(3)

99 Sedikitnya terdapat tiga pelajaran yang bisa dipetik dari kasus inkonsistensi pemerintah Indonesia dengan memberikan SPE kepada Freeport, yakni;

a. Secara teoretis, bargaining power akan berada di tangan pemerintah host country selaku pemilik sumber daya alam tetapi dalam kasus ini berbeda.

Bargaining power pemerintah Indonesia menjadi lemah atas bargaining power Freeport karena faktor-faktor penting pendukung melimpahnya sumber daya alam sebagai bargaining power yang kuat dari pemerintah Indonesia berada dalam kondisi yang buruk. Hal lain yang dengan sendirinya menguatkan bargaining power Freeport adalah adalah keputusan pemerintah Indonesia menetapkan Freeport sebagai obyek vital nasional.

b. Kontrak Karya yang dipertahankan oleh sejumlah anggota parlemen menjadi bagian dari substansi UU Minerba menjadi bukti empiris bahwa MNC memang punya power dalam mempengaruhi pembuatan keputusan otoritatif bagi yang sebelumnya hanya merupakan hak prerogative negara. Selain itu, hal tersebut juga menandakan bahwa proses bisnis oleh perusahaan multinasional memang susah dipisahkan dari proses politik. Dengan berbagai cara, perusahaan multinasional akan selalu menjaga hubungannya dengan pemerintah host country agar tetap harmonis dan selalu mengusahakan hubungan yang ‘saling menguntungkan‘ dengan rezim penguasa, dalam kasus ini terlihat dengan adanya pembayaran ‘uang keamanan’ dan suap oleh Freeport.

c. Lobi petinggi Freeport McMoran ke sejumlah kementerian menjadi bukti bahwa relasi antara MNC dengan pemerintah host country tidak bisa dipisahkan dari proses politik. Lobi tersebut tidak tertutup kemungkinan merupakan lobi-lobi politik yang memberikan ‘keuntungan pribadi’ bagi kedua belah pihak. Di samping itu, hal ini juga menjadi bukti bahwa perusahaan multinasional akan selalu menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi pemerintah host country agar memperjuangkan kepentingannya.

(4)

100 Terdapat beberapa kontribusi yang diberikan oleh kajian ini bagi studi Hubungan Internasional.

a. Kajian ini diharapkan dapat menegaskan betapa pentingnya peran pemerintah host country dalam membenahi sejumlah persoalan krusial dalam industri ekstraktif seperti tenaga kerja, infrastruktur, modal dan persoalan birokrasi khususnya menyangkut mentalitas birokrat yang korup dan kualitas pemerintah selaku regulator. Persoalan ini merupakan hal yang urgent karena jika hal-hal tersebut tidak dibenahi, bargaining position host country selamanya akan lemah ketika berhadapan dengan MNC.

b. Kajian ini juga diharapkan mempertegas kajian-kajian sebelumnya bahwa MNC memang memiliki power dalam mempengaruhi pembuatan dan penerapan kebijakan di negara tempat kegiatan operasionalnya berlangsung.

c. Kajian ini juga turut mempertegas kajian-kajian terdahulu bahwa jika tidak di- manage dengan baik, relasi antara pemerintah host country dengan MNC selamanya akan bersifat konfliktual karena adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Di satu sisi, MNC mengejar kepentingan privat demi maksimalisasi profit namun di sisi lain host country mengejar kepentingan publik.

d. Kajian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi riset-riset selanjutnya yang akan memfokuskan pembahasannya pada relasi MNC dengan host country. Dengan adanya kasus ini, diharapkan dapat memberikan sedikit gambaran bagaimana seharusnya relasi antara MNC dengan host country agar keduanya memetik keuntungan dari ekplorasi sumber daya alam.

Kritik terhadap kajian ini adalah berhubung kasus ini terbilang cukup baru dan merupakan kasus ‘on-going process’ maka keterbatasan referensi menjadi persoalan utama dalam membahas isu tersebut. Untuk itu, diperlukan kejelian dan kecermatan dalam memilah referensi yang relevan dengan kasus ini sebagai bahan rujukan. Kekurangan dari riset ini dapat menjadi basis bagi riset selanjutnya untuk menemukan pengetahuan baru terkait penyebab pemerintah host country inkonsisten terhadap regulasi yang telah mereka sahkan. Riset selanjutnya dapat lebih memfokuskan kajiannya pada studi komparatif antara Indonesia dengan negara lain mengenai implementasi UU khususnya dalam bidang pertambangan

(5)

101 sebagai wujud nasionalisme sumber daya pemerintah host country yang bersangkutan. Pertanyaan tentang mengapa nasionalisme sumber daya di negara lain yang juga kaya akan sumber daya alam berhasil sementara di Indonesia tidak sepenuhnya berhasil menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Dengan berakhirnya penelitian ini, ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah selaku garda terdepan bangsa dalam memperjuangkan kepentingan nasional khususnya dalam bidang pertambangan, yakni;

1. Diperlukan adanya sinkronisasi UU dengan permasalahan yang ada di lapangan.

2. Infrastruktur khususnya ketersediaan tenaga listrik merupakan hal yang mendesak dalam sektor pertambangan Indonesia.

3. Reformasi birokrasi juga menjadi hal yang penting dilakukan dalam sektor pertambangan Indonesia.

4. Koordinasi atas implementasi sebuah kebijakan yang melibatkan banyak kementerian harus dilakukan secara berkesinambungan.

5. Diperlukan konsistensi pemerintah dalam implementasi UU agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi sektor lain terlebih bagi pelaku usaha asing.

Tidak kalah pentingnya adalah ketegasan pemerintah karena ketegasan merupakan syarat mutlak terjadinya perubahan demi perbaikan.

6. Bahasa yang tegas dan lugas dalam UU ekplorasi SDA merupakan suatu keharusan agar sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini tidak menjadi curse tetapi menjadi blessing.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia sangatlah komplek khususnya pada kepuasan kerja yang dirasa kurang bagi para guru sekarang ini, ketidak hadiran guru

Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dikelas, tidak hanya tergantung dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik

Adapun peneliti menjadikan likers di MCI untuk menjadi informan dalam penelitian ini agar peneliti mengetahui bagaimana motif mereka bergabung dalam komunitas dan

Ukuran yang telah ditetapkan untuk purse seine bertali kerut dengan alat bantu penangkapan ikan (rumpon atau cahaya) dan ikan target tongkol atau cakalang memiliki panjang

Lingkungan Teman Sebaya yang positif akan membawa dampak yang positif juga dalam proses belajar karena teman sebaya akan mengajak kearah yang lebih baik

BENER MERIAH ACEH 772 10111605 SMP NEGERI TERPADU SEUMAYOEN NUSANTARA KAB. BENER

Mengenai hal ini observer dari KB UKDI memberikan masukan bahwa akan lebih baik pada saat try out CBT soal diberikan sesuai dengan jumlah soal yang seharusnya,

Tidak jarang juga pembelian konsumen di pengaruhi oleh harga promosi, dalam penelitian ini juga membahas tentang pengaruh orang yang berpemahaman agama