• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Definisi Matematika dan Pembelajaran Matematika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Definisi Matematika dan Pembelajaran Matematika"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Pembelajaran Matematika

a. Definisi Matematika dan Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika dan matematika mempunyai arti tersendiri. Belum ada kesepakatan yang bulat mengenai pendefinisian matematika, namun dapat diketahui melalui karakteristiknya. Menurut Skemp dalam (Widyastuti: 2014), pembelajaran matematika melalui dua tahap yaitu tahap konkret dan tahap abstrak. Pada tahap pertama, yaitu tahap konkret, siswa memanipulasi benda-benda konkret untuk menghayati ide- ide abstrak. Pengalaman awal berinteraksi dengan benda konkret ini akan membentuk dasar bagi pembelajaran selanjutnya, yaitu tahap abstrak atau tahap kedua.

Matematika dapat menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi sama seperti pernyataan dari PISA (2013) yang menyatakan bahwa literasi matematis adalah kemampuan individu untuk merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks.

Kemampuan ini mencakup penalaran matematis dan kemampuan menggunakan konsep-konsep matematika, prosedur, fakta dan fungsi matematika untuk menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena.

Mendukung pernyataan tersebut, mengemukakan bahwa kurikulum bidang studi matematika setidaknya mencakup tiga elemen, yaitu konsep,

(2)

9

keterampilan dan pemecahan masalah. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk menganalis dan mengkomunikasikan ide-ide untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan seharihari (US Department of Education, 2014).

Menurut James (dalam Hasanah, 2010: 11), matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.

b. Tujuan Pembelajaran Matematika

Dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikbud, 2016) menyatakan bahwa Proses Pendidikan atau pembelajaran matematika dalam konteks Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk membentuk sejumlah kompetensi strategis yang diklasifikasikan menjadi kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi sikap tersebut terdiri atas sikap spiritual, yakni menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya dan sikap sosial, yakni menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, santun, percaya diri, peduli, tanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.

Tujuan pembelajaran matematika pun harus sesuai dengan Permendikbud nomor 58 tahun 2016 tentang Pedoman Mata Pelajaran Matematika dan Permendikbud nomor 21 tentang standar isi diantaranya

(3)

10

adalah (1) menggunakan kemampuan berpikir dan bernalar dalam pemecahan masalah, (2) mengomunikasikan gagasan secara efektif, (3) memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai matematika dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten, menjunjung tinggi kesekapatan, menghargai perberbedaan pendapat, teliti, tangguh, kreatif, dan terbuka.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran matematika di SD adalah untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam berkomunikasi menggunakan bilangan dan simbol-simbol, serta memperkuat penalaran yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Ruang Lingkup Materi Matematika di SD

Ruang lingkup materi matematika di sekolah disesuaikan dengan kompetensi yang ingin dicapai. Dalam merancang standar kompetensi, kemampuan matematika yang dipilih menyesuaikan kebutuhan, kemampuan siswa dan memperhatikan perkembangan matematika saat ini agar dapat berkembang dengan baik. Untuk mencapai standar kompetensi tersebut dipilih materi-materi matematika dengan memperhatikan struktur keilmuan, tingkat kedalaman materi, serta sifat-sifat esensial materi dan keterpakaiannya dalam kehidupan sehari-hari (Nasaruddin, 2013: 70).

Materi matematika yang abstrak menyebabkan siswa kesulitan dalam mempelajarinya. Keabstrakan matematika tersebut menurut Arifuddin, (dalam arifuddin dan Arrosyid, 2017) karena memang matematika berkaitan dengan simbol-simbol dan konsep-konsep, sehingga

(4)

11

untuk mempelajarinya membutuhkan pengalaman dengan nalar yang tinggi. Oleh karena itu dengan mengaitkan kehidupan sehari-hari dalam menyusun materi matematika dapat mempermudah dalam menyelesaikan masalah matematika siswa. Ruang lingkup untuk pembelajaran matematika sekolah dasar (SD/MI) sebagai berikut (Nasaruddin, 2013:

70):

1. Bilangan

2. Geometri dan pengukuran 3. Pengolahan data

d. Kompetensi Dasar (KD) Kelas 1 (Satu)

Dengan tersusunnya pemetaan Kompetensi Dasar (KD) per-tema, sub-tema, dan pembelajaran ini akan memudahkan guru kelas dalam mengajarkan mata pelajaran tematik umum baik dalam perencanaan pembelajaran (penyusunan RPP) maupun saat pembelajaran berlangsung.

Begitu pula dalam menyusun perencanaan penilaian seperti pembuatan kisi-kisi soal baik penilaian harian, penilaian tengah semester, maupun penilaian akhir semester. Karena dari pemetaan KD tersebut akan terlihat dengan jelas apa saja yang masuk dalam periode penilaian harian, penilaian tengah semester, maupun penilaian akhir semester.

Sehingga dengan adanya pemetaan KD, baik KI-3 maupun KI-4 pada kurikulum 2013 ini akan meminimalisir kesalahan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran maupun kesalahan dalam membuat soal penilaian. Memastikan masing-masing kompetensi dasar telah berada pada tema, subtema, maupun pembelajaran yang sesuai.

(5)

12

Berdasarkan hal tersebut maka perangkat kelas 1 yang wajib dimiliki adalah sebagai berikut:

1. Daftar tema kelas 1 2. RPP kelas 1 revisi 2020

3. Buku guru dan buku siswa kelas 1 4. Silabus kelas 1

5. KKM kelas 1

6. Prota dan promes kelas 1 7. Pemetaan KI-KD kelas 1 8. Jurnal kelas 1

9. Penilaian Harian (PH) kelas 1

10. Penilaian Tengah Semester (PTS) kelas 1 11. Penilaian Akhir Semester (PAS) kelas 1

KD yang dipakai saat penelitian berlangsung yaitu KD 3.4 Menjelasan dan melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan yang melibatkan bilangan cacah sampai dengan 99 dalam kehidupan sehari-hari serta mengaitkan penjumlahan dan pengurangan.

2. Materi Bilangan Cacah

Berdasarkan sumber belajar penunjang PLPG 2017 kompetensi profesional mata pelajaran untuk guru SD unit dua matematika dari Kemendikbud Direktorat Jenderal Guru dan Pendidikan menjelaskan secara terperinci tentang materi bilangan atau aritmatika. Untuk kopetensi (kemampuan) intinya harus dapat Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang ditempuh. Kompetensi

(6)

13

dasarnya adalah dapat menguasai pengetahuan konseptual dan prosedural serta keterkaitan keduanya dalam konteks materi aritmatika/bilangan, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Indikator pencapaian kompetensinya yaitu (1) memerinci konsep bilangan bulat dan pecahan dalam pemecahan masalah (termasuk prima, FPB, KPK). (2) menguji pengetahuan konseptual, prosedural, dan keterkaitan keduanya dalam konteks materi aritmatika/bilangan. (3) menentukan alat peraga dalam pembelajaran bilangan (Latri dan Nafiah, 2017).

Bilangan adalah suatu konsep atau ide yang berasal dari hasil pikiran (abstrak) dan memberikan gambaran mengenai banyaknya suatu benda.

Penyampaian bilangan dalam kehidupan nyata disampaikan dalam bentuk angka (Ekowati, 2018: 1). Sedangkan menurut haryono (dalam Ekowati, dkk, 2018: 1) bilangan adalah satuan dalam sistem matematis yang abstrak dan dapat diunitkan, ditambah, dikurang, dikali dan dibagi.

Sri Subarinah (2016: 27), menyatakan bahwa bilangan cacah adalah barisan bilangan hasil pencacahan himpunan yang dinyatakan dengan lambing- lambang 0, 1, 2, 3, 4, 5,…. Bilangan cacah adalah bilangan yang terdiri atas himpunan semua bilangan asli dan bilangan nol. Jadi, bilangan cacah adalah 0, 1, 2, 3, 4, 5,…. (Diah Rahmawati dan Pipit Pitriana, 2017: 3).

Menurut Ekowati, dkk (2018) ada beberapa sistem bilangan yaitu bilangan kompleks, bilangan real, bilangan irasional, bilangan rasional, bilangan pecahan, bilangan bulat, bilangan negative, bilangan cacah, bilangan nol dan bilangan asli. Tidak semua sistem diajarkan di sekolah dasar.

(7)

14 3. Etnomatematika

a. Definisi Etnomatematika

Etnomatematika merupakan bagian dari matematika yang menjadi penguhubung antara konsep formal dan praktiknya dalam kebudayaan.

Etnomatematika bukan konsep yang akan menghapuskan sistem formal dari matematika melainkan menjadi alat untuk lebih memanusiakan matematika.

Terdapat enam dimensi kajian dalam etnomatematika, yaitu dimensi kognitif, dimensi konseptual, dimensi pendidikan, dimensi epistemologi, dimensi sejarah, dan dimensi politik. (Nur, dkk. 2019)

Pada tiga dekade terakhir, etnomatematika telah menjadi kajian penelitian yang ramai diperbincangkan di seluruh dunia. Etnomatematika mewakili metodologi untuk penelitian yang sedang berlangsung dan analisis proses yang mentransmisikan, menyebar, dan melembagakan matematika sebagai pengetahuan (ide, proses, dan praktik) yang berasal dari beragam konteks budaya melalui sejarah (Rosa & Orey, 2016). Konteks ini memungkinkan pengembangan terhadap enam dimensi dari program etnomatematika yaitu; kognitif, konseptual, pendidikan, epistemologis, historis, dan politik. Dimensi dimensi ini saling terkait dan bertujuan untuk menganalisis akar sosiokultural pengetahuan matematika (Rosa & Orey, 2016).

Tantangan utama dalam pembelajaran etnomatematika adalah bagaimana mengintegrasikan pendekatan ini ke dalam pengajaran di dalam kelas. Hambatan masih lemahnya pengetahuan guru terkait matematika sekolah, kompetensi guru mengelola kelas, pengalaman mengajar dan

(8)

15

profesionalisme serta penolakan guru terhadap perubahan paradigma pembelajaran mengharuskan adanya pemahaman substantif terkait etnomatematika dalam berbagai pelatihan guru (Sunzuma & Maharaj, 2019).

Kurikulum matematika tradisional mungkin tidak dapat memberikan ruang implementasi dari sudut pandang etnomatematis. Tantangan ini bergantung pada bagaimana aspek-aspek etnomatematika dipilih dari pengalaman siswa atau dari lingkungan dan komunitasnya sendiri, karena sebagai sebuah paradigma, ia berakar secara budaya, dan seringkali tidak ada silabus tradisional atau standar penilaian yang dapat digunakan (Rosa &

Orey, 2011).

Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui budaya. Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi pendidikan sebagai ekspresi dan komunikasi suatu gagasan dan perkembangan pengetahuan.

Etnomatematika merupakan sebuah pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan realitas hubungan antara budaya lingkungan dan matematika sebagai rumpun ilmu pengetahuan. Hal ini membuktikan

(9)

16

bahwa implementasi etnomatematika dalam pembelajaran akan lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa.

Etnomatematika merupakan matematika yang diterapkan oleh kelompok budaya tertentu (Alfonsa M. Abi, 2016). D’Ambrosio, dkk (dalam Dodi, dkk, 2017) menjelaskan bahwa etnomatematika merupakan metodologi penelitian dan analisis yang mengenai proses yang mentransmisikan, menyebarkan, dan melembagakan pengetahuan matematika (gagasan, proses dan praktik) yang berasal dari beragam konteks budaya melalui sejarah. Dengan adanya etnomatematika yang memunculkan budaya mampu memotivasi siswa dalam pembelajaran matematika.

b. Tujuan Etnomatematika

Tujuan dari etnomatematika adalah mengintegrasikan pendekatan ini ke dalam pengajaran di dalam kelas. Lemahnya pengetahuan guru terkait matematika sekolah menjadi penghambatnya, pengelolaan kelas kelas oleh guru yang kompeten, pengalaman mengajar, dan profesionalisme serta penolakan guru terhadap perubahan paradigma pembelajaran mengharuskan adanya pemahaman mendasar terkait etnomatematika dalam berbagai pelatihan guru (Sunzuma & Maharaj, 2019).

Barton (dalam Fajriyah, 2018) mengungkapkan bahwa etnomatematika juga dapat dianggap sebagai sebuah program yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana siswa dapat memahami, mengartikulasikan, mengolah, dan akhirnya menggunakan ide-ide matematika, konsep, dan praktik-praktik yang dapat memecahkan masalah

(10)

17

yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari masyarakat di sana. Tujuan tersebut dapat dibuktikan dengan pembelajaran berbasis budaya yang diintegrasikan dalam kurikulum matematika mampu menumbuhkan motivasi belajar dengan cara merepesentasikan ide matematis yang unik (Owens, 2012).

Dari beberapa tujuan diatas dapat disimpulkan bahwa etnomatematika bertujuan sebagai penghubung antara budaya dan pendidikan matematika yang dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah matematika di sekolah.

c. Penerapan Etnomatematika

Dalam setiap suku atau etnis ada matematika atau etnomatematika, maka yang patut dilakukan di sekolah adalah bagaimana membelajarkan matematika dengan menggunakan konteks budaya (Dominikus 2019). Pada kurikulum 2013 saat ini pembelajaran matematika berbasis budaya mulai diterapkan di sekolah. Di mana dalam penerapannya siswa bermodalkan pengetahuan tentang budaya yang dimiliki. Dan penerapannya adalah sebagai berikut (Dominikus 2019):

1. Tahap Explorasi (Exploration): Pada tahap ini siswa menggali ide matematis dalam budaya. Siswa diberikan materi tentang budaya (literasi budaya). Pada tahapan ini siswa mengenal dan tahu dan mengingat kembali budaya yang menjadi konteks pembelajaran.

Memanfaatkan sumberdaya yang bervariasi dalam pembelajaran matematika. Sumber belajar tidak hanya guru dan buku. Diperoleh

(11)

18

berbagai ide matematis atau praktik matematika dalam budaya yang disebut sebagai etnomatematika.

2. Tahap Pemetaan (Mapping): Melalui dampingan guru, siswa membuat peta hubungan antara konsep matematika sekolah dan etnomatematika.

Kemudian memilih konsep matematika yang bersesuaian untuk dipelajari baik secara individu maupun kelompok.

3. Tahap Eksplanasi (Explanation): Siswa mempelajari konsep matematika sekolah, mengkomunikasikan apa yang dipelajari, saling berbagi, mengapresiasi apa yang dipelajari dalam berbagai bentuk.

4. Tahap Refleksi (Reflextion): merangkum apa yang dipelajari baik pengetahuan matematika dan nilai-nilai hidup (living values) yang dikembangkan dan diperoleh dalam proses pembelajaran matematika.

Setiap budaya memiliki etnomatematika sendiri-sendiri.

Etnomatematika disini adalah matematika yang dikembangkan dalam tiap budaya masyarakat untuk berbagai kebutuhan dan tujuan tertentu.

Meskipun beberapa daerah ada yang mimiliki mata pencaharian yang sama, namun setiap daerah memiliki budaya bahasa yang berbeda sehingga cara menghitung penghasilan juga berbeda. Trenggalek adalah salah satu kota yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Karena daerah Trenggalek memiliki dataran tinggi sehingga banyak dijumpai pegunungan dan pantai. Dalam penerapannya etnomatematika budaya Trenggalek dapat disesuaikan dengan budaya sekitar.

(12)

19 d. Budaya Trenggalek

Budaya Trenggalek, merupakan budaya yang ada di daerah Trenggalek mulai dari adat, kesenian, dan makanan khas. Trenggalek adalah kota yang ada di pesisir Jawa Timur. Kota Trenggalek adalah kota wisata, yang terkenal dengan pantai pasir putihnya. Trenggalek memiliki dataran tinggi yang indah pemandangannya dan juga memiliki makanan khas yang jarang dijumpai di kota lainya. Makanan khas trenggalek adalah alen-alen, tempe kripik dan yang paling terkenal adalah nasi tiwulnya. Nasi tiwul terbuat dari gaplek atau singkong yang sudah diproses.

Salah satu kesenian Trenggalek adalah seni tari Turangga Yaksa.

Tarian ini ditampilkan pada acara-acara tertentu. Turangga Yaksa memiliki arti jaran buto atau kuda raksasa. Karena di daerah Trenggalek kaya akan pantai-pantainya dan banyak pegunungan, kebanyakan mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani dan nelayan.

4. Modul Pembelajaran

a. Pengertian Modul Pembelajran

Modul pembelajaran adalah media pembelajaran berbentuk cetak yang berdiri sendiri dan terdiri dari serangkaian kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan tertentu dalam sebuah pembelajaran. Modul pembelajaran disusun serta dirumuskan sesuai dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam sebuah kegiatan pembelajaran. Modul pembelajaran bersifat berdiri sendiri atau dapat dipelajari oleh peserta didik itu sendiri tanpa membutuhkan bantuan tenaga pengajar untuk menjelaskan isi dari modul tersebut.

(13)

20

Menurut Winkel (2009: 472), mendefinisikan bahwa modul pembelajaran adalah salah satu program belajar mengajar yang paling dasar, dimana modul dapat dipelajari oleh peserta didik kepada dirinya sendiri atau Self-Instructional. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa modul

pembelajaran merupakan buku yang mampu dipelajari oleh peserta didik secara mandiri tanpa menggunakan bantuan dari buku lain maupun tenaga pendidik.

Dikuatkan dengan pendapat Wijaya (1988: 128), mendeskripsikan bahwa sebuah modul pembelajaran adalah suatu kegiatan belajar yang terencana, modul di desain atau disesuaikan dengan kompetensi peserta didik untuk menyelesaikan suatu tujuan belajar tertentu.

Modul pembelajaran merupakan sebuah kegiatan pembelajaran terencana, dimana di dalam modul pembelajaran terdapat susunan materi yang disesuaikan dengan rencana pelaksanaan pembelajaran maupun rencana pembelajaran semester.

b. Tujuan Penulisan Modul

Tujuan disusunnya modul adalah untuk mempermudah dan memperjelas proses pengajaran agar tidak bersifat verbalistis, kemudian dengan disusunnya modul dapat mengatasi permasalahan ruang dan waktu bagi peserta didik maupun pengajar dan memberikan variasi model pembelajaran kepada tenaga pendidik sehingga peserta didik menjadi aktif berperan dalam proses pembelajaran serta termotivasi dengan adanya modul pembelajaran. Syamsudin (2005: 168), mengemukakan bahwa modul adalah media belajar mandiri karena memiliki panduan untuk belajar mandiri,

(14)

21

dalam kata lain pembaca dapat melaksanakan kegiatan belajar tanpa kehadiran tenaga pendidik secara langsung.

Pendapat yang serupa juga didefinisikan oleh Sukirman (2011: 131), yang menyatakan bahwa modul merupakan bagian belajar yang terencana yang dirancang untuk membantu peserta didik secara mandiri dalam mencapai tujuan belajarnya.

Sejalan dengan pendapat di atas, Prastowo (2011: 108), mengemukakan beberapa tujuan penulisan modul, antara lain :

1) Mendorong peserta didik untuk dapat belajar secara mandiri tanpa bimbingan dari tenaga pendidik.

2) Mengubah peran tenaga pendidik yang umumnya dominan dalam proses pembelajaran.

3) Melatih peserta didik untuk dapat jujur dalam mengerjakan tugas.

4) Mengakomodir berbagai macam tingkat kecepatan belajar peserta didik, sehingga peserta didik dengan kecepatan belajar yang tinggi dapat dengan cepat menguasai materi dan bagi peserta didik yang memiliki kecepatan belajar rendah dapat mempelajari materi kembali tanpa terbatas waktu.

c. Karakteristik Modul Pembelajaran

Karakteristik Modul Pembelajaran Materi yang terdapat di dalam modul pembelajaran harus memenuhi unsur-nsur yang telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2008: 3), yaitu sebagai berikut:

(15)

22

1. Self Instructional, modul pembelajaran disusun dengan dasar modul harus dapat dipelajari oleh peserta didik itu sendiri tanpa bantuan dari perangkat pembelajaran lain. Untuk mendukung hal tersebut, maka modul pembelajaran harus:

a. Modul pembelajaran memiliki tujuan dan rumusan dengan jelas.

b. Modul pembelajaran memiliki isi yang dikemas dalam bagian- bagian kecil dengan spesifik sehingga mempermudah pengguna untuk belajar.

c. Tersedia contoh atau ilustrasi di dalam modul pembelajaran untuk mempermudah menjelaskan materiupembelajaran.

d. Terdapat soal-soalulatihan, tugas dan lain sebagainya yang memungkinkanupengguna modul pembelajaran dapat mengukur tingkat penguasaan materi

e. Materi yang disajikan di dalam modul pembelajaran sesuai dengan lingkungan penggunanya.

f. Bahasa yang digunakan di dalam modul pembelajaran dapat dipahami pengguna.

g. Modul pembelajaran memiliki rangkuman materi pembelajaran.

h. Memiliki instrumen penilaian yang memungkinkan pengguna modul pembelajaran melakukan self assesment.

2. Self Contained, modul pembelajaran disusun mencakup seluruh materi yang ingin diajarkan kemudian dicetak dalam satu kesatuan yang utuh.

Tujuan dari Self Contained adalah untuk memberikan peserta didik materi pembelajaran yang didesain dengan lengkap.

(16)

23

3. Stand Alone, modul pembelajaran harus dapat digunakan tanpa memerlukan buku atau media ajar lain sehingga peserta didik tidak memerlukan perangkat belajar yang lain untuk mempelajari materi tersebut.

4. Adaptive, modul pembelajaran dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi yang ada, modul juga harus bersifat fleksibel sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu tertentu.

5. User Friendly, modul pembelajaran memiliki petunjuk penggunaan serta daftar istilah jika ada. Penggunaan bahasa sederhana atau umum juga merupakan bentuk dari user friendly.

Sedangkan menurut Widodo dan Jasmadi (2008: 52), media pada modul pembelajaran perlu ditinjau dari enam aspek, di antaranya:

1. Format, dalam penyusunan modul pembelajaran perlu diperhatikan format media di dalamnya. Format yang dimaksud adalah seperti format ukuran kertas, margin, kolom, tata letak serta pengetikan.

2. Sistematika, media di dalam modul pembelajaran yang baik harus memiliki sistematika yang baik. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan sistematika di antaranya adalah penempatan ilustrasi atau gambar, tabel, peta materi dan lain sebagainya.

3. Daya Tarik, modul harus memiliki daya tarik untuk menarik minat peserta didik dalam membaca modul tersebut. Umumnya daya tarik ditentukan dari desain sampul modul, desain isi modul dan tersedianya evaluasi di akhir materi.

(17)

24

4. Bentuk dan Ukuran Huruf, dalam menyusun modul pembelajaran diperlukan pemilihan jenis huruf dan ukuran huruf yang proporsional, sehingga pembaca tidak kesulitan dalam membaca isi materi.

5. Ruang, dalam susunan modul pembelajaran diperlukan kesesuaian antara isi materi dengan ukuran kertas yang digunakan, sehingga tidak terdapat spasi atau ruang kosong yang terlalu banyak di setiap lembarnya.

6. Konsistensi, modul pembelajaran yang dikembangkan harus memiliki konsistensi baik dalam pemilihan huruf, ukuran huruf, ukuran gambar, ukuran tabel dan lain sebagainya. Hal ini ditujukan untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi dari materi yang terdapat pada modul pembelajaran.

Modul pembelajaran yang dikembangkan harus mampu untuk dipelajari oleh peserta didik itu sendiri tanpa bantuan dari tenaga pendidik.

Maka dari itu modul pembelajaran harus mampu untuk meningkatkan minatubelajar atau motivasi peserta didik. Untuk itu dalam penyusunan modul pembelajaran, modul wajib memiliki kelengkapan isi yang sistematis dan mudah untuk dipahami oleh peserta didik. Selain itu juga pembelajaran harus memiliki desain yang baik untuk meningkatkan daya tarik peserta didik.

B. Penelitian Relevan

Penelitian yang terkait pengembangan buku ajar etnomatematika diperlukan agar ada pembaharuan dalam setiap penelitian yang dilakukan ke depan. Beberapa penelitian relevan berikut akan menjadi referensi peneliti

(18)

25

dalam menemukan penelitian terbaru. Selain itu, menambah ilmu pengetahuan yang lebih komplek dan menjadi rujukan bagi yang membutuhkan perbaikan penelitian.

Penelitian dari Atje Setiawan Abdullah (2017) dengan judul tentang

“Ethnomathematics in Perspective Of Sundanese Culture”. Penelitian ini sangat lekat dengan unsur kebudayaannya. Penelitian dengan jenis eksplorasinya ini menyampaikan hasil temuannya yang mengetahui suatu fenomena etnomatematika. Dengan pendekatan etnografi, pendekatan empiris dan teoritis yang dibantu beberapa tokoh masyarakat di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya dan di Santolo Pameungpeuk pantai, Kabupaten Garut maka diketahui bahwa Etnomatematika masih banyak digunakan oleh masyarakat Sunda khususnya di daerah pedesaan seperti penggunaan unit pengukuran, pemodelan matematika, dan penggunaan simbol jam. Manfaat penelitian ini dapat digunakan untuk masyarakat sunda dan pemerintah daerah jawa barat dalam bidang pendidikan, jasa budaya, dan pariwisata.

Penelitian ini menjadi refleksi bagi peneliti untuk dapat mengembangankannya lebih spesisfik pada satu budaya yang disusun bahkan menjadi panduan tentang tata cara mengembangkan etnomatematika melalui buku ajar di mana hasilnya lebih kongkrit manfaatnya Perbedaan itulah yang ingin diberikan oleh peneliti melalui penelitian ini.

Selanjutnya, Abi suwito (2016) dan Dinawati Trapsilasiwi (2016) dengan Skripsi yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika SMP Kelas VII Berbasis Kehidupan Masyarakat Jawara (Jawa dan Madura) di Kabupaten Jember”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

(19)

26

baik dengan rata-rata yang baik hanya saja pada penerapannya hanya memakai 3 siswa sebagai subjek penelitian, sehingga masih perlu dilakukan penambahan pada subjek penelitian agar hasil penelitian lebih mudah dan dapat diterapkan dengan baik. Dalam penelitian ini memiliki persamaan mengembangkan buku matematika yang kemudian dikaitkan dengan budaya masyarakat. Untuk perbedaannya subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kurbaita, G. (2013), Zulkardi (2013), dan Siroj, R.A. (2013) dengan penelitian skripsi yang berjudul

“Pengembangan Buku Ajar Matematika Tematik Integratif Materi Pengukuran Berat Benda untuk Kelas 1 SD”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar berhasil hanya saja ada sebagian kecil yang masih kurang memenuhi tujuan, sehingga perlu diadakan peningkatan pada kemampuan matematika dengan memperdalam dan memperjelas materi, dan mengaitkan dengan pengalaman siswa agar siswa lebih tertarik dalam belajar. Peneliti mengembangkan buku ajar Etnomatematika Budaya Trenggalek di Kelas 1 SD Materi Bilangan Cacah, supaya siswa lebih mudah dalam memecahkan masalah matematika dan lebih tertarik pada materi pembelajaran. Dalam penelitian ini sama-sama mengembangkan buku ajar matematika dan subjek yang digunakan sama-sama kelas 1 SD. Perbedaan dari penelitian ini adalah pada materi yang diujicobakan.

(20)

27 C. Kerangka Pikir

Gambar 1. Kerangka Berpikir Pengembangan Buku Etnomatematika Materi Bilangan Cacah

Kondisi Ideal

Peneliti mengembangkan buku etnomatematika karena dapat menunjang kegiatan belajar mengajar di kelas.

Kondisi Faktual

1. Kurangnya kemampuan pemecahan masalah siswa

2. Tidak ada modul selain buku yang disediakan oleh sekolah yaitu buku dari Diknas

Tindak Lanjut

Pengembangan Ethnomatematika Budaya Trenggalek di Kelas 1 SD

Metode Penelitian dan Pengembangan

- Teknik pengumpulan data: wawancara tak terstruktur, anget, Observasi tak terstruktur, dan dokumentasi

- Instrumen penilaian: Pedoman wawancara, angket, observasi, dan dokumentasi - Penerapan lima langkah pengembangan: analisis, desain, pengembangan produk,

implementasi, dan evaluasi.

Hasil yang Diharapkan

Mengembangkan buku Ethnomatematika yang valid dan menarik untuk siswa Analisis Kebutuhan

Siswa membutuhkan buku ajar selain buku dari diknas yang bisa digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan kondisi kehidupan siswa

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir Pengembangan Buku Etnomatematika Materi  Bilangan Cacah

Referensi

Dokumen terkait

akan membuat sebagian guru memilih untuk tidak menjalani supervisi klinis.. Peran supervisi klinis bagi guru SDN Tempel Banjarsari Surakarta untuk. mengatasi permasalahan

Android merupakan subset perangkat lunak untuk ponsel yang meliputi sistem operasi, middleware dan aplikasi kunci yang di release oleh Google4. Saat ini disediakan

Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan penelitian yang dalam pengumpulan data penelitian hingga penafsirannya banyak menggunakan angka, Pengumpulan data dalam

EKSPLORASI KEBUTUHAN PASIEN RAWAT JALAN PADA PELAYANAN INFORMASI OBAT DI RUMAH SAKIT UMUM Dr SAIFUL ANWAR KOTA

Penelitian yang di- lakukan oleh Mutabagani dan El Mahdy menun- jukkan bahwa baik minyak menguap dari jintan hitam dan thimokuinon yaitu senyawa aktif yang terkandung dalam

Jika kita melihat korelasi atau hubungan antara terapis dan keluarga seharusnya berada dalam tahap keintiman yang cukup tinggi, dimana ketika seseorang

[r]

[r]