• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANOGENITAL PRURITUS. Anak Agung Gde Putra Wiraguna. Departemen Dermatologi-Venereologi Fakultas Kedokteran UNUD. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANOGENITAL PRURITUS. Anak Agung Gde Putra Wiraguna. Departemen Dermatologi-Venereologi Fakultas Kedokteran UNUD. Abstrak"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ANOGENITAL PRURITUS Anak Agung Gde Putra Wiraguna Departemen Dermatologi-Venereologi

Fakultas Kedokteran UNUD

Abstrak

Pruritus anogenital merupakan rasa gatal yang hebat, bersifat akut atau kronis, dapat mengenai kulit di daerah genital (pruritus skroti dan pruritus vulva) dan anus, perianal, perineum (pruritus ani), serta menyebabkan timbulnya berbagai kelainan kulit baik lokal maupun sistemik. Gatal di daerah anogenital adalah salah satu gejala umum yang sangat mengganggu bagi pasien yang berobat ke dokter. Kulit di daerah anogenital sangat sensitif terhadap sabun, parfum, pakaian dan trauma ringan serta kelainan kulit di daerah anogenital akan semakin gatal apabila berada dalam suhu yang lembab, berkeringat, pakaian dalam yang oklusif dan adanya gesekan.

Pruritus anogenital berhubungan dengan spektrum penyakit yang sangat luas yang meliputi infeksi lokal, infestasi, peradangan kulit, kondisi alergi dan iritasi, penyakit anorektal, penyebab sistemik, gangguan nutrisi, psikologis dan penyebab yang tidak diketahui (idiopatik). Pasien sering enggan untuk berkonsultasi ke dokter kulit, dan biasanya pasien akan datang setelah kondisi penyakitnya semakin parah, dengan gambaran klinis yang atipikal, depigmentasi dan likenifikasi, serta infeksi sekunder karena garukan yang kronis.

Pasien sering mencari pengobatan sendiri untuk mengurangi rasa gatalnya, seperti misalnya dengan menggunakan produk kombinasi yang mengandung steroid. Penggunaan yang tidak rasional dari produk-produk tersebut mengakibatkan timbulnya komplikasi seperti atrofi kulit, striae dan tinea inkognito. Diagnosis pruritus anogenital ditegakkan berdasarkan riwayat klinis yang jelas, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti kerokan kulit

(2)

pemeriksaan darah yang relevan untuk menyingkirkan penyebab sistemik.

Kata kunci: pruritus anogenital, pruritus skroti, pruritus vulva, pruritus ani

Abstract

Anogenital pruritus is defines as intense itching, acute or chronic, affecting the genital skin (pruritus scroti and pruritus vulvae), anal, perianal, and perineal skin (pruritus ani). It is one of the common, extremely annoying symptoms that makes the patient seek for treatment.

This condition is characterised by various local and systemic manifestations. Anogenital skin is very sensitive to soaps, perfume, clothes, and superficial trauma and it is prone for itchy dermatosis as a result of warm and humid temperature, excessive sweating, occlusive inner garments and increase of skin friction.

Anogenital pruritus is associated with a wide spectrum of diseases, such as local skin infection and infestation, skin rash, skin allergy and irritation, anorectal diseases, systemic causes, nutritional imbalance, psychological diseases, and unknown (idiopathic) condition.

Patients are reluctant in consulting dermatologists for anogenital itch at the early stage, and they usually present at a later stage with atypical manifestations or depigmentation, lichenification, and infection secondary to chronic scratching. Patients usually have already treated themselves to reduce the pruritus, using combination products containing steroid. The irrational use of these products resulted in various complications, leading to skin atrophy, striae, and tinea incognito. Diagnosis of anogenital pruritus is made through proper history taking, clinical examination, and relevant laboratory investigations to rule out systemic conditions.

Keywords: anogenital pruritus, pruritus scroti, pruritus vulvae, pruritus ani

(3)

DEFINISI

Pruritus (gatal) sudah dijelaskan lebih dari 340 tahun yang lalu oleh dokter Jerman Samuel Hafenreffer yaitu sebagai "sensasi tidak menyenangkan yang menimbulkan keinginan atau refleks untuk menggaruk". Pruritus diklasifikasikan berdasarkan neuropatofisiologi yaitu pruritoseptif (gatal yang berasal dari kulit/ dermatosis primer), neuropatik (gatal yang timbul dari disfungsi neuroanatomi misalnya cedera saraf), neurogenik (timbul dari pemberian neurokimia misalnya opioid) dan psikogenik. Pruritus dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronis (lebih dari 6 minggu), dapat mengenai seluruh kulit atau terlokalisir di area seperti kulit kepala, punggung bagian atas, lengan dan daerah anogenital. Forum Internasional untuk Studi Gatal/ The Internasional Forum for the Study of Itch (IFSI) membuat klasifikasi pruritus berdasarkan tanda klinis dan membedakan antara pruritus dengan atau tanpa lesi kulit primer atau sekunder. Kelompok pertama (pruritus primer pada kulit yang meradang) meliputi pasien dengan latar belakang penyakit kulit seperti dermatitis atopik, psoriasis, dermatitis kontak alergi atau iritan; penyakit infeksi seperti kandidosis, tinea atau infestasi kutu. Kelompok kedua (pruritus primer pada kulit yang tidak meradang) termasuk pasien dengan penyakit sistemik, kehamilan, pruritus yang diinduksi obat, neurogenik, neuropati dan kelainan psikiatri; dan kelompok ketiga (pruritus sekunder akibat garukan kronis seperti prurigo nodularis) adalah pasien dengan pruritus karena penyebab kelompok pertama dan kedua. Selain klasifikasi tersebut, pruritus juga dapat terjadi akibat koeksistensi beberapa penyakit atau penyebab yang tidak diketahui.1

Pruritus anogenital adalah rasa gatal yang terlokalisir pada kulit di daerah kelamin (laki-laki – pruritus skroti, wanita – pruritus vulva) dan pada anus, perianal (pruritus ani).

Pruritus ani terjadi pada 1-5% populasi dewasa, dan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Frekuensi pruritus vulva tidak diketahui, tetapi terbukti bahwa sebagian

(4)

paska menopaus sebagai akibat dari defisiensi estrogen, dengan gejala utama berupa distrofi vulva. Pruritus anogenital baik pada laki-laki maupun wanita dapat menyebabkan stres yang berat dan gangguan tidur akibat siklus gatal-garukan-gatal (itch-scratch-itch cycle).1,2

ETIOLOGI

Pruritus anogenital dapat terjadi akibat adanya penyakit kulit (lokal) atau penyakit sistemik, dan dapat bersifat akut atau kronis. Pruritus anogenital akut umumnya disebabkan oleh infeksi (kandidiasis vulvovaginal dan infeksi bakteri) dan dermatitis kontak alergi atau iritan, sedangkan pruritus anogenital kronik biasanya disebabkan oleh dermatosis papuloskuamosa, gangguan primer pada genitalia, penyebab mekanik, keganasan dan penyebab psikogenik.

Pruritus anogenital dapat pula disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, penyakit hati, leukemia, limfoma, gagal ginjal, anemia defisiensi besi, connective tissue disoders, hipertiroidisme, hipovitaminosis. dan celiac disease; penyebab anorektal seperti

hemoroid, fisura ani, fistula, prolaps rektal, papiloma anal, abses dan penyakit Crohn; tumor jinak seperti keratosis seboroik, angiokeratoma dan bowenoid papulosis; reaksi obat;

penyebab fisik seperti luka akibat waxing, cidera pencukuran dan luka akibat masuknya benda asing; kotoran feses, urin dan keringat; faktor makanan (kopi, teh, cola, alkohol, cokelat dan tomat, susu, kacang tanah, buah jeruk dan rempah-rempah); dan radikulopati lumbosakral.2,3

PRURITUS SKROTI

Rasa gatal lokal pada skrotum, atau pruritus skroti, menimbulkan problem klinis yang sulit untuk dokter dan pasien. Pruritus skroti biasanya menimbulkan manifestasi klinis berupa likenifikasi akibat garukan yang kronis dan berulang-ulang (Gambar 1), dan hal tersebut menyebabkan gambaran klinis yang spesifik dari pruritus skroti.

(5)

Gambar 1. Likenifikasi difus pada skrotum.

Fungsi barier kulit skrotum yang tidak sempurna akan memudahkan bahan-bahan kimia yang dari luar masuk ke dalam kulit dengan cepat. Mandi dengan menggunakan spons akan menyebabkan skrotum mudah terjadi iritasi. Penguapan air melalui kulit skrotum lebih besar daripada kulit di daerah lain, tetapi dengan pakaian dalam yang dapat menyerap air serta lipatan skrotum yang menonjol dapat menghambat penguapan cairan tubuh di daerah tersebut. Kondisi ini akan diperburuk jika memakai pakaian yang ketat karena dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan maserasi.4

Pruritus skroti memiliki berbagai penyebab (Tabel 1). Penyebab inflamasi dan iritasi adalah yang paling umum. Salah satu agen penyebab iritasi yang pernah dilaporkan adalah Hexachlorophene. Pada tahun 1961, McDonald dan Woodruf melaporkan dermatitis skrotum

akut akibat penggunaan hexachlorophene yang tidak tepat sebanyak 3% pada 12 pasien.

Kemudian Baker dan Uoyd melaporkan dermatitis skrotum pada enam pasien psoriasis atau dermatitis yang mandi menggunakan hexachlorophene. Pasien-pasien ini kemungkinan mengalami reaksi iritasi yang diinduksi akibat kontak dengan partikel-partikel dari hexachlorophene yang menetap setelah mandi. Baker dkk., melaporkan patch test negatif

(6)

Tabel 2.

Penyeban pruritus skroti Imflamasi

Dermatitis kontak (iritan, alergi) Faktor fisik (gesekan, kelembaban) Liken simpleks kronikus

Psoriasis

Dermatitis seboroik Dermatitis atopik Sarkoidosis

Infeksi atau infestasi Bakteri

Staphylococcus Fungi

Kandida Dermatofita Malassezia furfur Virus

Papillomavirus Parasit

Skabies Pedikulosis Schistosomiasis Enterobiusvermicularis

Neoplastik Karsinoma sel basal Penyakin Bowen Karsinoma sel skuamosa Extramammary Paget‘s disease

Lain-lain

Defisiensi nutrisi (contoh: riboflavin) Faktor psikoseksual

Diabetes melitus

pada empat pasien dengan dermatitis skrotum, hal tersebut mendukung adanya reaksi iritasi terhadap hexachlorophene.4

Dermatitis kontak pada skrotum dapat disebabkan oleh kateter, sabun mandi batang, perlengkapan atletik, atau bahan yang digunakan untuk membersihkan alat-alat tersebut (Gambar 2). Obat topikal yang mengandung alergen juga dapat menyebabkan dermatitis skrotum. Kelembaban dapat menyebabkan iritasi dan memicu terjadinya itch-scratch cycle.

Psoriasis, dermatitis seboroik, dermatitis atopik, dan sarkoidosis sering disertai dengan gatal dan lesi pada skrotum. (Gambar 3).4

Tabel 1. Penyebab Pruritus Skroti

Pruritus skroti dapat disebabkan oleh infeksi seperti bakteri dan jamur, paling sering stafilokokus dan kandida (Gambar 4). Pruritus sering menyertai tinea kruris, tetapi secara

(7)

khas infeksi dermatofita ini tidak akan menimbulkan lesi pada skrotum (Gambar 5). Pada kasus yang jarang seperti Majocchi’s granuloma, maka tinea kruris dapat menimbulkan manifestasi pada skrotum (Gambar 6).4

Tinea versikolor juga kadang-kadang dapat melibatkan skrotum. Kondiloma akuminata dan bowenoid papulosis dapat dikaitkan dengan pruritus, dan pada kasus subklinis dapat disertai dengan pruritus skroti (Gambar 7). Infeksi parasit juga dapat menjadi penyebab dermatitis skrotum papular kronis, seperi skabies, infeksi Schistosoma mansonii, enterobiasis, dan pedikulosis. (Gambar 8).4

Penyakit Bowen, karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel basal biasanya jarang disertai dengan pruritus skroti (Gambar 9). Penyakit paget extramammary dapat muncul sebagai tinea kruris atau dermatitis kronis. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan biopsi kulit (Gambar 10).4

(8)

Diabetes mellitus biasanya menyebabkan pruritus lokal dan menyeluruh, termasuk dapat mengenai area genital. Dalam sebuah studi terhadap 300 penderita diabetes, insidensi pruritus vulva ditemukan lebih tinggi pada penderita diabetes dibandingkan pada kelompok kontrol. Berdasarkan temuan tersebut dapat dianalogikan bahwa insidensi pruritus skroti yang lebih tinggi juga dapat terjadi pada penderita diabetes.4 Faktor psikoseksual yang terkait dengan pruritus anogenital mungkin perlu dipertimbangkan sebagai penyebab, apabila penyebab yang lainnya tidak ditemukan.4

Apabila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik belum dapat ditentukan penyebabnya, maka pemeriksaan laboratorium diharapkan dapat membantu menemukan penyebab pruritus skroti. Pemeriksaan penunjang seperti kultur bakteri dan jamur dapat dilakukan melalui

(9)

faktor predisposisi penyebab infeksi jamur yang berulang. Biopsi kulit dapat mengungkapkan temuan patologis, dan pewarnaan khusus dengan Periodic Acid-Schiff dianjurkan untuk menemukan adanya infeksi jamur.2,3

Pengobatan pruritus skroti bersifat simtomatik dan spesifik untuk penyebab yang mendasari. Selain itu, upaya menghindari faktor predisposisi seperti menghindari bahan iritan, alergen (misalnya, bahan kimia tertentu dalam detergen atau pelembut kain.), pakaian ketat, dan pakaian dalam dengan bahan yang bersifat oklusif. Kompres dingin dapat mengurangi gejala gatal. Antihistamin sistemik membantu mengurangi itch-scratch cycle, tetapi antihistamin topikal dan turunan caine tidak boleh digunakan karena cenderung menyebabkan sensitisasi.4

Terapi topikal juga membantu dalam menghentikan siklus gatal yang akut.

Kortikosteroid superpoten dapat digunakan pada kasus dengan likenifikasi dan harus dibatasi penggunaannya dalam jangka waktu pendek (<2 minggu). Setelah dijumpai perbaikan, kortikosteroid potensi rendah dapat digunakan untuk terapi pemeliharaan. Terapi topikal sebaiknya dipilih dengan vehikulum berbasis salep, sedangkan krim dapat digunakan jika didapatkan maserasi dan lesi yang basah. Antibiotik sistemik atau topikal yang sesuai, antijamur, skabisida, atau antihelminthik dapat diberikan sesuai dengan infeksi atau infestasi yang ditemukan.4

Memberikan dukungan dan dorongan kepada pasien dengan pruritus skroti sangat penting, serta upaya untuk menghilangkan kecemasan mereka terhadap kanker atau AIDS.

Pasien dapat dikonsulkan ke psikiater apabila dijumpai adanya gangguan kejiwaan yang jelas secara klinis.4

(10)

PRURITUS VULVA

Pruritus vulva adalah rasa gatal atau sensasi tidak nyaman yang terjadi pada vulva dan daerah sekitarnya. Insiden pruritus vulva pada wanita secara umum adalah sekitar 27%, dan terutama ditemukan pada usia tua. Hal ini disebabkan karena, pada wanita usia reproduksi, flora normal vagina didominasi oleh spesies laktobasilus. Kolonisasi oleh bakteri ini menjaga pH vagina tetap normal (3,5-4,5), sehingga mencegah pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri patogen. Selain itu, kadar estrogen yang tinggi pada usia reproduksi, akan mempertahankan ketebalan vagina dan memperkuat imunitas lokal terhadap infeksi. Pada wanita usia tua, terutama setelah menopause, terjadi penurunan hormon estrogen yang menyebabkan perubahan pH vagina menjadi alkali sehingga menjadi lebih rentan terhadap berbagai infeksi, seperti Gardnerella vaginalis. Selain infeksi, pruritus vulva dapat pula disebabkan oleh berbagai kelainan kulit lainnya, seperti dermatitis, dermatitis kontak, liken planus (LP), liken sklerosus atrofikan (LSA), liken simpleks kronikus (LSC), serta dapat pula disebabkan oleh penyebab bukan kelainan kulit, seperti prolapsus uteri, inkontinensia urin, dan karsinoma.5,6

Etiologi

Infeksi bakteri. Vaginosis bakterial adalah sindrom polimikrobial yaitu laktobasilus vagina digantikan oleh berbagai bakteri anaerob dan mikoplasma. Agen umum vaginosis bakterial adalah G. vaginalis, Mobiluncus, Bacteroides spp. dan Mycoplasma hominis. Vaginosis bakterial ditandai dengan duh tubuh vagina yang berbau amis, homogen berwarna abu-abu.

Vaginosis bakterial lebih sering terjadi pada wanita lanjut usia dan menipisnya mukosa vagina mempermudah bakteri memasuki jaringan subepitel.5

Infeksi jamur. Tinea kruris umumnya tidak mempengaruhi membran mukosa vulva tetapi dapat mengenai labia majora dan mons pubis, serta dijumpai lebih sering pada wanita yang

(11)

imunokompromais, diabetes, atau memakai kortikosteroid oral. Infeksi jamur lainnya yang sering menjadi penyebab pruritus vulva adalah kandidiasis. Kandidiasis vulvovagina biasanya ditandai dengan gatal dan sensasi terbakar di daerah vulva, dan secara klinis ditandai dengan makula eritema batas tegas, beberapa tampak pustul dan papul, serta dapat disertai dengan lesi satelit dan fisura pada lipatan gluteal, interlabial, dan genitokruris.

Insiden kandidiasis umumnya menurun pada kelompok usia paskamenopause karena penurunan kadar estrogen.5,6

Skabies. Skabies biasanya ditemukan pada sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, ketiak, perut, serta daerah kulit lainnya yang memiliki stratum korneum yang tipis, tetapi dapat juga ditemukan pada genitalia. Gejala yang spesifik adalah adanya pruritus nokturnal yang intens.

Diagnosis pasti dapat ditegakan dengan pemeriksaan tungau dan telur dari Sarcoptes scabei pada mikroskop cahaya.5

Vaginitis atrofi. Disebut juga dengan atrofi vulvovaginal, merupakan inflamasi pada vagina yang disebabkan oleh penipisan jaringan dan berkurangnya aliran darah. Gejala ini muncul akibat menurunnya kadar estrogen. Prevalensi pruritus vulva akibat vaginitis atrofi pada wanita paska menopause dilaporkan sebesar 50%.7

Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan hormon dan hapusan Papanicolau, dapat membantu menegakkan vaginitis atrofi. Pemeriksaan sitologi menunjukkan peningkatan proporsi sel parabasal dan penurunan jumlah sel superfisial diikuti dengan peningkatan pH.5 Liken sklerosus atrofikan. Liken sklerosus atrofikan merupakan penyakit yang belum diketahui penyebabnya, namun dapat menyebabkan timbulnya white scarring pada genitalia.

Terdapat distribusi bimodal, rata-rata mengenai usia prepubertas 7,6 tahun dan usia tua diatas 60 tahun. Secara klinis akan ditandai dengan adanya pruritus, namun dapat juga asimtomatik, dengan penipisan dan pengkerutan area genital yang mengakibatkan nyeri pada saat koitus,

(12)

buang air kecil, dan saat defekasi. Biopsi akan menunjukkan adanya hiperkeratosis, atrofi epidermis, sklerosis dermis, dan peningkatan limfosit pada dermis.8,9

Liken planus. Liken planus (LP) merupakan dermatosis inflamasi yang dapat mengenai kulit, kuku, dan membran mukosa, termasuk genitalia. Lesi vulva pada LP mungkin lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang dilaporkan; prevalensi keterlibatan genitalia pada LP dilaporkan 51% dari wanita dengan lesi kulit dan 25% dari wanita dengan oral LP.

Insidensinya terutama berkisar pada antara usia 30-60 tahun. Etiologinya masih belum diketahui, namun diperkirakan berhubungan dengan antigen HLA-DR1.5

Liken simpleks kronikus. Liken simpleks kronikus (LSK) bukan merupakan entitas yang spesifik, namun menggambarkan adanya likenifikasi pada vulva yang disebabkan oleh rasa gatal dan garukan yang persisten. Faktor penyebab LSK secara umum mencakup berkeringat, retensi keringat, gesekan pakaian, penggunaan pembersih yang berlebihan, penggunaan bahan topikal iritatif, serta iritasi akibat penggunaan pembalut pada wanita. Liken simpleks kronikus dapat juga terjadi sekunder akibat kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti kandidiasis, tinea, infeksi human papilloma virus, liken sklerosus, psoriasis, infestasi parasit, atau neoplasia. Tidak tergantung dari penyebabnya, penyakit ini menyebabkan siklus gatal- menggaruk pada wanita yang menyebabkan timbulnya manifestasi pruritus vulva.5,9

Pengobatan Pruritus vulva (idiopatik). Langkah-langkah umum yang harus dilakukan adalah menghindari faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala gatal seperti keringat, oklusi, penggunaan bahan-bahan pembersih yang bersifat iritatif, serta kebiasaan membersihkan vagina harus selalu dilakukan dari depan ke belakang. Sebaiknya dipilih pakaian dalam dari bahan katun yang bersifat menyerap keringat dan nyaman. Tampon dianggap lebih baik daripada pembalut selama menstruasi. Kompres dingin dapat digunakan untuk menurunkan suhu dan mengurangi rasa gatal.5

(13)

Garukan yang keras dapat menyebabkan eksoriasi, likenifikasi dan depigmentasi. Lesi ekskoriasi dan basah mudah terinfeksi sehingga memerlukan antibiotik topikal atau sistemik.

Emolien dapat digunakan untuk pasien dengan pruritus vulva tanpa manifestasi klinis.

Pengobatan utama untuk pruritus vulva non-spesifik adalah steroid topikal, dimulai dengan steroid potensi tinggi seperti krim klobetasol propionat 0,05% dua kali sehari kemudian dikurangi menjadi satu kali sehari dan beralih ke steroid potensi sedang atau ringan sesuai dengan respon klinis, serta selalu dalam pengawasan yang ketat. Penggunaan steroid topikal jangka panjang harus dihindari karena akan mengakibatkan efek samping yang serius seperti atrofi kulit. Triamsinolon asetonid intralesi (15-20 mg) dapat mengurangi rasa gatal untuk kasus-kasus yang resisten. Inhibitor kalsineurin topikal, seperti krim pimekrolimus 1%

tampaknya menjadi modalitas pengobatan yang efektif dan aman untuk pruritus pada wanita paskamenopause dengan liken kronik simpleks vulva. Anestesi lokal dan agen antipruritik topikal lainnya dapat dicoba sesuai dengan respon terapeutiknya.5,6

Antihistamin yang bersifat sedatif seperti difenhidramin (25-50mg) atau hidroksizin (12,5-25mg) diberikan untuk memutus itch-scratch-itch cycle dan mencegah kerusakan kulit lebih lanjut akibat garukan. Agen yang memiliki efek antidepresif seperti doksepin (25mg hingga 75mg) atau amitriptilin (25mg hingga 100mg) juga dapat digunakan pada pasien yang tidak berespon dengan antihistamin sedatif. Amitriptilin terutama digunakan untuk pruritus vulva yang memiliki kualitas neuropatik seperti menyengat atau terbakar. Gabapentin (analog asam gamma-aminobutirat) dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) seperti fluoxetine, paroxetine, sertaline, fluvoxamine mirtazapine, serta sitalopram dapat diberikan pada pasien dengan pruritus yang resisten terhadap terapi konvensional.5

(14)

PRURITUS ANI

Pruritus ani adalah kelainan kulit yang ditandai dengan rasa gatal atau sensasi yang tidak menyenangkan yang terjadi pada daerah sekitar anus dan perianal. Pruritus ani menyebabkan timbulnya rasa tidak nyaman dan rasa malu bagi penderitanya. Pruritus ani dapat disebabkan oleh berbagai kelainan atau penyakit pada saluran cerna bagian bawah seperti hemoroid, masalah kulit, faktor iritasi (pencucian yang berlebihan), dan faktor higiene.1,10

Selain gatal, pruritus ani dapat disertai rasa terbakar, kemerahan dan nyeri.

Tergantung dari penyebabnya, pruritus ani dapat bersifat sementara atau persisten. Pada umumnya, pruritus ani tidak memerlukan perawatan medis. Konsultasi dengan dokter diperlukan apabila rasa gatal yang muncul bersifat persisten atau parah, terdapat infeksi di daerah anus, perdarahan di daerah anus, serta pruritus yang muncul dengan penyebab yang tidak jelas.

Klasifikasi. Insiden pruritus ani berkisar 1-5% pada populasi umum. Pria lebih sering terkena dibandingkan wanita dengan rasio 4:1, dan biasanya muncul pada dekade keempat hingga keenam kehidupan. Oleh karena pasien dengan pruritus ani biasanya memiliki faktor higiene perianal yang kurang baik, dengan manifestasi klinis berupa rash atau reaksi inflamasi, berbagai upaya untuk mengurangi rasa gatal (mencuci dengan sabun secara berlebihan, garukan, penggunaan krim, salep, atau zat lain).11

Pruritus ani dibagi menjadi pruritus ani primer (pruritus ani idiopatik) dan pruritus ani sekunder. Pruritus ani primer atau idiopatik mencakup 50-90% kasus. Pruritus ani sekunder biasanya jarang terjadi, sehingga manajemen secara umum untuk pruritus ani adalah dengan menggunakan manajemen pruritus ani idiopatik, yang efektif pada 90% kasus. Pada pasien yang tidak efektif setelah diobati 1 sampai 2 bulan, maka harus dipikirkan untuk mengobati beberapa penyebab pruritus ani sekunder. Penyebab pruritus ani sekunder dapat dibagi

(15)

menjadi beberapa kategori: infeksi, kelainan kulit, penyakit sistemik, iritasi lokal, dan penyebab kolorektal dan anus (Tabel 2).10

Tabel 2. Penyebab Pruritus Ani Sekunder10

Dalam mencari penyebab pruritus ani dapat dilakukan dengan anamnesis yang cermat mengenai riwayat medis, gejala dan kebiasaan pribadi, pemeriksaan fisik untuk mencari tanda klinis kelainan kulit dan pemeriksaan colok anus bila diperlukan, serta pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab sekunder. Jika penyebab pruritus ani masih belum jelas, maka pasien dapat dirujuk ke dokter spesialis kulit atau seorang proktologis (dokter yang mengkhususkan diri dalam mengobati masalah anus). Pemeriksaan lain, seperti kolonoskopi atau proktoskopi dapat dilakukan untuk melihat saluran pencernaan dengan lebih cermat.10,11 Pruritus ani primer (idiopatik). Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, ketika tidak ada penyebab yang dapat ditemukan, maka kondisi ini disebut pruritus ani primer atau idiopatik.

Rumah Sakit Washington mengklasifikasikan pruritus ani primer berdasarkan kelainan kulit

Penyebab pruritus ani sekunder

1. Infeksi a. Bakteri

b. Fungi/yeast c. Virus d. Parasit

2. Dermatologis a. Psoriasis

b. Liken planus, liken simpleks kronikus c. Liken skleosus et atrophicus d. Dermatitis kontak

e. Dermatitis atopik

f. Keganasan lokal: Penyakit Bowen dan Paget 3. Penyakit sistemik a. Diabetes melitus

b. Leukemia dan limfoma

c. Penyakit hepar (obstructive jaundice) d. Penyakit tiroid

4. Iritasi lokal a. Kontaminasi tinja dan kelembaban b. Sabun

c. Diet

d. Medikasi topikal atau sistemik 5. Penyebab kolorektal dan anal a. Prolaps (hemoroid internal atau rektal)

b. Fistula in ano c. Fissures d. Diare

(16)

meradang, stadium 2 ditandai dengan likenifikasi (Gambar 1), dan stadium 3 ditandai oleh adanya likenifikasi, fisura dan ulserasi (Gambar 2). Pruritus ani primer ini dapat menjadi kronis dan sangat sulit diobati.10

Gambar 11. Pruritus ani stadium 2. Tampak likenifikasi karena iritasi yang kronis.10

Gambar 12. Pruritus ani stadium 3. Tampak likenifikasi dengan fisura dan ulserasi10

Terapi pruritus ani idiopatik bertujuan untuk mengembalikan higiene anal yang ideal dan menyakinkan pasien bahwa tidak ada kondisi lain yang menyebabkan gejala tersebut. Terapi rutin dimulai dengan beberapa langkah sederhana. Pertama menghindari bahan iritan seperti sabun, lotion, krim, bedak, dan tisu basah. Kedua, hindari trauma pada kulit perianal, termasuk hindari garukan, tidak menggunakan tisu toilet kering, dan tidak menggosok

(17)

berlebih pada saat mandi. Ketiga, hindari kelembaban dan usahakan area perianal tetap kering.10

Krim anti gatal yang mengandung steroid dapat digunakan untuk mengurangi rasa gatal pada anus. Jika pasien menderita hemoroid atau infeksi, maka hemoroid atau infeksinya harus ditangani lebih dahulu. Antihistamin oral dapat diberikan apabila gejala pruritis ani timbul pada malam hari.12

RINGKASAN

Pruritus anogenital adalah masalah umum dengan penyebab yang bervariasi. Umumnya pruritus anogenital bersifat idiopatik; sedangkan penyebab sekunder dapat dibagi menjadi penyebab adanya kelainan kulit, kondisi daerah anogenital, penyebab sistemik dan psikogenik. Anamnesis yang cermat tentang riwayat klinis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang yang relevan sangat penting dilakukan untuk menegakan diagnosis yang akurat. Pengobatan spesifik diberikan setelah mengetahui penyebabnya dan untuk pasien dengan pruritus anogenital idiopatik dapat dilakukan dengan menghindari gesekan dan bahan-bahan yang dapat mengiritasi kulit, serta pengobatan yang aktif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Murugan Swamiappan. Anogenital Pruritus - An Overview. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2016; 10(4): 1-3.

2. Nicoletta Cassano, Gianpaolo Tessari, Gino A. Vena and Giampiero Girolomoni.

Chronic Pruritus in the Absence of Specific Skin Disease: An Update on Pathophysiology, Diagnosis, and Therapy. Am J Clin Dermatol. 2010; 11 (6): 399-411.

3. Taige Cao, Hong Liang Tey and Gil Yosipovitch. Chronic Pruritus in the Geriatric

(18)

1990;88(6):95-102.

5. Jasleen Kaur and Jyotika Kalsy. Study of pruritus vulvae in geriatric age group in tertiary hospital. Indian Journal of STI and AIDS. 2017;38 (1):15—21.


6. Julien Lambert. Pruritus in Female Patients. BioMed Research Internasional. 2014 :1- 6.

7. Mac Bride MB, Rhodes DJ and Shuster LT. Vulvovaginal atrophy. Mayo Clin Proc.

2010; 85:87-94.

8. Cassandra Simonetta, Erin K. Burns and Mary A. Guo. Vulvar Dermatoses: A Review and Update. Science of Medicine. 2015; 112(4):301-307.

9. Margesson LJ, Danby FM. Diseases and Disorders of Female Genitalia. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: McGraw-Hill; 2012.p.878-892 10. Katharine W. Markell and Richard P. Billingham. Pruritus Ani: Etiology and

Management. Surg Clin N Am. 2010 (90): 125–135


11. Edy Stermer, Igor Sukhotnic, and Ron Shaoul. Pruritus Ani: An Approach to an Itching Condition. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2009:48:513–

516.

12. Pata F. Pruritus Ani: the neglected stepchild of coloproctology. Società Italiana di Chirurgia Colo Rettale. 2017; 45: 383-395

Gambar

Gambar 1. Likenifikasi difus pada skrotum.
Gambar 11. Pruritus ani stadium 2. Tampak likenifikasi karena iritasi yang kronis. 10

Referensi

Dokumen terkait