• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Menurut Bahder Johan Nasution, berpendapat:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Menurut Bahder Johan Nasution, berpendapat:"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan salah satu payung hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana formiil. Di dalam KUHAP mengatur tentang bagaimana cara berproses pidana. Hukum acara sangat penting karena mengatur proses tentang beracara pidana sejak tahap penyelidikan hingga nantinya dapat memberikan putusan yang mempunyai kekuatan hukum dan diharapkan dapat memberikan rasa keadilan dalam masyarakat pencari keadilan.

KUHAP menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dengan menempatkan hak asasi manusia secara layak sebagaimana lazimnya dalam Negara Hukum. Menurut Bahder Johan Nasution, berpendapat:

Dalam Negara hukum hak asasi manusia terlindungi, jika dalam suatu Negara hak asasi manusia tidak dilindungi Negara tersebut bukan Negara hukum akan tetapi Negara dictator dengan pemerintahan yang otoriter. Perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam Negara hukum terwujud dalam bentuk pernomaan hak tersebut dalam konstitusi dan undang-undang dan untuk selanjutnya penegakannya melalui badan-badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.1

KUHAP tidak hanya mengatur tentang tata cara dari suatu proses pidana, akan tetapi juga mengatur tentang hak dan kewajiban dari mereka yang terlibat di dalam proses pidana. KUHAP mengatur tentang hak dan kewajiban

1 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 10.

(2)

perangkat atau pejabat yang terkait dalam proses acara pidana, KUHAP sudah mengatur dengan jelas tentang hak dan kewajiban Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, Hakim dan juga Penasihat Hukum.

Dalam hukum pidana, untuk memperoleh suatu putusan yang adil memerlukan proses yang sangat panjang, yaitu melalui proses beracara.

Dalam proses tersebut hakikat yang hendak dicapai adalah hendak menemukan kebenaran materil, yang merupakan landasan dalam penjatuhan sanksi pidana demi tercapainya rasa keadilan. Putusan yang adil dapat diperoleh apabila ditangani oleh seorang hakim yang bukan saja mempunyai integritas keilmuan yang tinggi, namun harus didasari pula oleh jiwa akhlakul karimah. Namun perlu pula kita sadari bahwa di dunia itu tidak ada lagi keadilan yang hakiki, melainkan lebih bersifat keadilan yang relatif/nisbi.2

Hak-hak tersangka atau terdakwa diatur dalam Pasal 50 s/d Pasal 68 KUHAP yaitu meliputi sebagai berikut:

1. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan yang diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), (3) KUHAP.

2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan Bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan atau apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b KUHAP).

3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim (Pasal 52 KUHAP).

4. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 Ayat 1 KUHAP).

5. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP).

6. Hak tersangka atau terdakwa berhak memilih penasehat hukumnya sendiri

(Pasal 55 KUHAP).

2 Sri Dewi Rahayu, Yuila Monita, Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Narkotika, Pampas: Journal Of Criminal Law. Volume 1, Nomor 1, 2020, hlm.131.

Diakses pada tanggal 7 Januari 2021.

(3)

7. Hak tersangka atau terdakwa untuk disediakan Penasehat Hukum oleh pejabat yang memeriksa guna mendampingi tersangka/ terdakwa dalam pemeriksan yaitu untuk tersangka/ terdakwa yang diancaman pidana mati atau pidana penjara 15 tahun atau lebih/ bagi yang tidak mampu yang diancam 5 tahun atau lebih (Pasal 56).

8. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghibungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat 2).

9. Hak menghubungi dokter bagi yang ditahan (Pasal 58).

10. Hak untuk diberi tahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah (Pasal 59 dan 60).

11. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga, untuk kepentingan pekerjaan atau keluarga (Pasal 61).

12. Hak untuk berhubungan surat menyurat dengan penasehat hukum (Pasal 62).

13. Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63).

14. Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkan (Pasal 65).

15. Hak untuk minta banding, kecuali putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan (Pasal 67).

16. Hak menuntut ganti kerugian (Pasal 68).

Salah satu hak tersangka adalah hak untuk disediakan Penasehat Hukum oleh Penyidik yang memeriksa guna mendampingi tersangka dalam pemeriksan yaitu untuk tersangka yang diancam pidana mati atau pidana penjara 15 tahun atau lebih/ bagi yang tidak mampu yang diancam 5 tahun atau lebih yang diatur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP yaitu:

“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri,

(4)

pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.”

Dalam tahap persidangan di pengadilan tingkat pertama atau di pengadilan negeri maka salah satu hak terdakwa yang diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP adalah hak terdakwa atau Penasehat Hukumnya untuk mengajukan Eksepsi/ Keberatan tentang:

- Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya;

- Dakwaan tidak dapat diterima;

- Surat dakwaan harus dibatalkan.

Dalam hal penggunaan hak eksepsi ini mendudukkan seorang penasihat hukum sebagai konektor surat dakwaan, misalnya, eksepsi penasihat hukum yang isinya menyatakan bahwa surat dakwaan tidak lengkap karena hanya mencantumkan dan menguraikan salah satu unsur tindak pidana yang didakwakan, tidak mencantumkan seluruh unsur.3

Eksepsi sangat diperlukan dalam sebuah surat dakwaan. Pengajuan eksepsi dalam suatu persidangan perkara pidana oleh terdakwa dan/atau penasehat hukumnya sering dinilai sebagai langkah sia-sia dalam mengambil langkah atau mengulur waktu persidangan. Karena pentingnya fungsi suatu surat dakwaan, yang bagi terdakwa dan/atau penasehat hukum surat dakwaan dipergunakan sebagai:

A. Dasar menyusun pembelaan (pleidooi);

B. Dasar menyiapkan bukti-bukti terhadap dakwaan penuntut umum;

C. Dasar pembahasan yuridis;

D. Dasar melakukan upaya hukum.4

Terhadap keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau Penasehat hukumnya yang diajukan kepada majelis hakim maka Majelis Hakim selanjutnya memutuskan apakah keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau

3 Ibid, hlm.103.

4 Putusan Sela Nomor 237/Pid.Sus/2020/Jmb, hlm. 7.

(5)

Penasehat hukumnya tersebut dapat diterima, apabila majelis hakim berkeyakinan bahwa keberatan yang disampaikan adalah benar maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang biasa disebut Putusan Sela.

Putusan sela lahir dari praktik hukum dalam arti putusan sementara yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan maksud untuk memungkinkan atau memperlancar pemeriksaan terhadap pokok perkara guna memperoleh putusan akhir (Eindvonnis)5.

Hakim sebagai salah satu dari pelaksana hukum yaitu hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara pidana. Oleh karena itu, hakim dalam menangani suatu perkara harus berbuat adil. Sehingga, dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruh agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan putusan.6

Terhadap keberatan dari terdakwa atau Penasehat hukumnya yang diterima oleh hakim maka dalam sesuai Pasal 156 ayat (2) KUHAP akan ada konsekuensi terhadap perkara tersebut yaitu perkara tersebut tidak dapat diperiksa lebih lanjut. Apabila terdakwa dalam status penahanan baik penahanan rumah, penahanan kota ataupun penahanan rutan maka terhadap penahanan tersebut juga akan berakibat hukum yaitu terdakwa harus segera dikeluarkan dari penahanan sesegera mungkin setelah adanya putusan sela.

5 HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Prakktik Hukum, UMM Press, Malang, 2007, hal 223.

6 Fransia Pattiruhu, dkk., “Kajian Yuridis Terhadap Putusan Sela Nomor: 39/PID`SUS- TPK/2018/PN.KPG Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri Kupang”, Jurnal Spektrum Hukum, Volume 1, 2019, hlm. 30. Diakses pada tanggal 7 Januari 2021.

(6)

KUHAP juga mengatur tentang hak Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan sela tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156 ayat (3), apabila Jaksa Penuntut Umum berkeberatan terhadap putusan sela yang diputuskan hakim maka Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum berupa Perlawanan ke Pengadilan Tinggi yang disampaikan melalui Pengadilan Negeri.

Penyalahgunaan narkotika perlu dilakukan upaya pencegahan dan mengurangi tindak kejahatan penyalahgunaan narkotika tersebut, yang tidak terlepas dari peranan hakim sabagai salah satu aparat penegak hukum yang tugasnya mengadili tersangka atau terdakwa. Keputusan hakim dalam mengambil suatu keputusan harus mempunyai pertimbangan yang bijak agar keputusan tersebut berdasarkan pada asas keadilan. Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan jenis pidana dan tinggi rendahnya pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada batas minimum dan maksimum sanksi pidana yang di atur di dalam undang-undang untuk tiap-tiap tindak pidana.7

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan Hakim. Meskipun telah memiliki aturan hukum yang jelas, namun peredaran narkotika di Indonesia belum dapat diredakan. Dari tahun ke tahun, permasalahan peredaran narkotika di Indonesia terus terjadi bahkan mengalami peningkatan.8

Salah satu hukum materiil yang ada di Indonesia adalah Undang- Undang Republik Indonesia nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahwa sesuai dengan tujuan dari ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagaimana dalam penjelasan undang-undang tersebut yaitu:

7 Dewi Utari, Nys. Arfa, Pemidanaan Terhadap Pelaku Yang Melakukan Peyalah Guna Narkotika, Pampas: Journal Of Criminal Law. Volume 1, Nomor 1, 2020, hlm. 140. Diakses pada tanggal 7 Januari 2021

8 Meli Indah Sari, Hafrida, Penerapan Pidana Penjara sebagai Pengganti Pidana Denda Dalam Putusan Perkara Tindak Pidan Narkotika, Pampas Journal Of Criminal Law. Volume 1, Nomor 1, 2020, hlm. 39. Diakses pada tanggal 28 Januari 2021.

(7)

“Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika”.

Peraturan yang mengatur tentang narkotika mengklasifikasikan orang yang mengkonsumsi narkotika untuk dipakai diri sendiri atau disebut sebagai penyalahguna termasuk dalam suatu kejahatan. Pengertian penyalahguna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 peraturan tersebut adalah “seseorang yang memakai narkotika yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.” Yang berarti bahwa siapapun tanpa adanya pengecualian apabila mengkonsumsi narkotika tidak sesuai dengan aturan disebut sebagai penyalahguna.9

Di Pengadilan Negeri Jambi ada salah satu perkara Tindak Pidana Narkotika yang dilimpahkan Jaksa Penuntut Umum yaitu atas nama Terdakwa Andi Irawan alias Andi bin Abdul Majid. Adapun posisi kasusnya yaitu Terdakwa Andi Irawan alias Andi bin Abdul Majid pada hari Minggu, tanggal 29 Desember 2019, sekitar pukul 08.00 WIB saat terdakwa berada di rumahnya di Jalan Melati Pulau Pandan RT 27 Kelurahan Legok, Kecamatan Danau Sipin Kota Jambi, terdakwa ditelepon oleh Iwan Bibir (masuk dalam Daftar Pencarian Orang) dan memberitahukan bahwa Ateng akan mengantarkan narkotika jenis sabu ke rumah terdakwa, kemudian Ateng datang mengantar 1 (satu) bungkus sabu dan menyerahkan kepada terdakwa, kemudian terdakwa menelepon Iwan Bibir dan Iwan Bibir menyuruh terdakwa memberikan sebagian sabu kepada Ateng sebagai upah, sekitar pukul 11.00 WIB, Ateng mendatangi rumah Terdakwa dengan tujuan untuk mengambil

9 Andi Najemi, Kabib Nawawi, Lilik Purwastuti, Rehabilitasi Sebagai Alternatif Pemidanaan Terhadap Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Dalam Upaya Perlindungan Terhadap anak, Jurnal Sains Sosio Humaniora, Volume 4, Nomor 2, 2020, hlm. 445. Diakses pada tanggal 26 Januari 2021.

(8)

sabu atas perintah Iwan Bibir yang mana sabu tersebut akan diserahkan kepada orang lain, lalu terdakwa menyerahkan sabu seberat 49,23 (empat puluh sembilan koma dua puluh) gram, saat Ateng setelah menerima shabu tersebut Ateng langsung menuju ke kuburan Putri Ayu guna menemui Indra Jaya kemudian setelah bertemu dengan Indra Jaya, Ateng langsung menyerahkan shabu tersebut. Bahwa atas perbuatan terdakwa maka dilakukan penyidikan dan terhadap terdakwa dilakukan penahanan di rutan. Adapun Pasal dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah dakwaan Pertama melanggar Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dakwaan kedua melanggar Pasal 112 ayat (2) Jo Pasal 132 Ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika atau dakwaan ketiga melanggar Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Bahwa di dalam KUHAP telah diatur hak tersangka ancaman hukuman Pasal yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa minimal 6 tahun maximal 20 tahun. Hak tersebut telah disampaikan bahwa tersangka menolak dan telah dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan. Tetapti, pada saat dipersidangan ini menjadi permasalahan bagi Penasehat Hukum.

Walaupun hal tersebut telah diatur di dalam KUHAP bahwa itu hak- nya tetapi terdakwa tersebut telah menggunakan hak-nya untuk menolak menggunakan hak-nya. Namun, Penasehat Hukumtetap juga mengajukan eksepsi terkait surat dakwaan tersebut karena dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan yang tidak sah karena tidak di dampingi Penasehat Hukum.

(9)

Terhadap keberatan Penasehat Hukum terdakwa tersebut maka Hakim Pengadilan Negeri Jambi telah memberikan Putusan Sela melalui Penetapan Nomor 237/Pid.Sus/2020/Pn tanggal 18 Juni 2020 yang menetapkan bahwa surat dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum dan salah satu amar dalam putusan sela tersebut juga memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan sela diucapkan. Berkenaan dengan hal tersebut maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul: “Analisis Terhadap Putusan Sela Nomor 237/Pid.Sus/2020/Pn.Jmb Tanggal 18 Juni 2020 Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika”.

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan diatas, penulisan kemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah analisis putusan sela terhadap eksepsi/ keberatan penasehat hukum terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika penetapan perkara nomor 237/Pid.Sus/2020/Pn.Jmb dalam perkara tindak pidana narkotika?

2. Bagaimana analisis terhadap status terdakwa atas putusan sela yang dijatuhkan terhadapnya berdasarkan putusan sela nomor 237/Pid.Sus/2020/Pn Jmb?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

(10)

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hukum terhadap putusan sela nomor 237/Pid.Sus/2020/Pn.Jmb.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis terhadap status terdakwa atas putusan sela yang di jatuhkan terhadapnya berdasarkan putusan sela nomor 237/Pid.Sus/2020/Pn.Jmb.

D. Manfaat Penelitian

Atas dasar, maksud, tujuan dan alasan sebagaimana yang penulis uraikan diatas maka penelitian ini diharapkan memiliki beberapa manfaat sebagaimana berikut:

1. Teoritis

Dapat memberikan pikiran terhadap bidang hukum yang berkaitan dengan masalah dalam pelaksanaan terhadap putusan sela. Memberikan petunjuk mengenai perlawanan terhadap putusan sela yang menjadi prosedur yang berlaku yang diharapkan memberikan sumbangan pikiran.

2. Praktis

Dapat digunakan oleh masyarakat khususnya mahasiswa fakultas hukum dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang lebih mendalam mengenai pelaksanaan terhadap putusan sela yang berlaku menurut prosedur dan sebagai pengetahuan bahan evaluasi di perkuliahan oleh mahasiswa fakultas hukum sesuai dengan realitas dan kondisi di lapangan.

(11)

E. Kerangka Konseptual

Guna menghindari penafsiran yang berbeda dan memudahkan penulis serta pembaca dalam memahami skripsi ini, maka dijelaskanlah beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul proposal ini yaitu sebagai berikut:

1. Analisis

Menurut Gorys Keraf, analisa adalah “sebuah proses untuk memecahkan sesuatu dalam bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lainnya.

Sedangkan menurut Komarrudin mengatakan bahwa analisis merupakan suatu kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda dari setiap komponen, hubungan satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam suatu keseluruhan yang terpadu.” 10

2. Putusan sela adalah “putusan yang bersifat sementara dan bukan merupakan putusan akhir. Putusan ini biasanya diucapkan hakim sebelum putusan akhir dikarenakan adanya permintaan dari pihak Tergugat dalam bentuk eksepsi yang meminta agar hakim memutus perkara tersebut terlebih dahulu karena pihak gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak memenuhi syarat formil. Artinya, hakim tidak perlu memutus perkara tersebut sampai akhir atau tidak perlu masuk kepada pokok perkara

10 https://pengertiandefinisi.com/pengertian-analisa-menurut-ahli/. Diakses pada tanggal 27 maret 2021.

(12)

memeriksa bukti-bukti karena syarat formil gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat tidak terpenuhi.”11

3. Tindak pidana adalah “sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab)”.12

4. Narkotika “Adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hlangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”

Berdasarkan uraian dari penjelasan diatas maka yang dimaksud penulis adalah akan mengkaji tentang putusan sela dalam perkara Tindak Pidana Narkotika dalam putusan sela Nomor 237/Pid.Sus/2020/PN Jmb tanggal 18 Juni 2020.

F. Landasan Teori 1. Teori Pemidanaan

Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada dasarnya pidana itu adalah “suatu penderitaan yang oleh undang-

11 https://doktorhukum.com/jenis-dan-sifat-putusan-sela-akhir-deklaratoir-konstitutif- dan-kondemnatoir/. Diakses pada tanggal 19 April 2021.

12 Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta &

PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm.18-19.

(13)

undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan Hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.”13 Secara tradisional, teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu Teori Absolut atau pembalasan (retributive), dan Teori Relative atau tujuan (Lilitariun).

Kedua teori tersebut tidak luput pula dari pengaruh yang berkembang dari dua mazhab/aliran dalam hukum pidana. Kedua pemikiran tersebut adalah pemikiran klasik dan positif. Berkaitan dengan tujuan penjatuhan pidana terhadap terpidana, maka ada “tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu:

(vergeldingstheorie); teori maksud atau tujuan (relative/doeltheorie);

dan teori gabungan (verenigingstheorie). 14

Di dalam hukum pidana dikenal beberapa teori hukum pidana (teori penjatuhan pidana) yang pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan teori yaitu:

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori absolut (Absolute Theorien) atau teori pembalasan (vergeldings Theorien), penjatuhan pidana dibenarkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran pidana terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Oleh karena kejahatan itu, mengakibatkan penderitaan yang berupa pidana kepada orang yang melakukan kejahatan itu. 15

13Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, 2010, hlm. 35.

14Bambang Waluyo, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta 2009, hlm. 105.

15Tolib Setiady, Pokok-Pokok Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, hlm.53.

(14)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolute ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedangkan pengaruh menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Andi Hamzah mengemukakan bahwa teori pembalasan menyatakan bahwa:

Pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.16

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh pengamit teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam.

Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Menurut teori relative (Relative Theorien) atau teori tujuan (Doel Theorien) pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat

16Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Pradaya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 26.

(15)

kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Dengan demikian dasar pembenaran pidana menurut teori ini terletak pada tujuan pemodanaan itu sendiri.17

Menurut teori ini dasar pembenaran pidana adalah untuk menjamin ketertiban hukum (Rechts Orde). Teori ini berpokok pangkal kepada susunan Negara oleh karena sifat hakikat serta tujuan dari Negara adalah untuk menjamin ketertiban hukum di wilayahnya. Adapun caranya adalah Negara membuat peraturan-peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan yang berupa norma atau kaidah. Norma tersebut digunakan untuk mengatur kehidupan di dalam masyarakat, agar norma itu ditaati maka terhadap pelanggar norma tersebut diberi sanksi berupa ancaman pidana.18

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu:

1. Untuk (dehandhaving van de maatschappelijke orde)

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahtan. (het Therstel maatschappelijke nadeel)

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader)

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); mempertahankan ketertiban masyarakat oleh (het doer de misdaad Van onstane)

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonniring misdaad)19

Jadi tujuan pidana menurut teori relative adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang

17Ibid, hlm.56.

18Ibid, hlm. 58.

19Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, Bandung 1995, hlm. 12.

(16)

dijauhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

c. Teori Gabungan

Teori Gabungan (Verenegings Theorieen) merupakan gabungan dari teori Absolut atau teori pembalasan dengan teori relatif atau teori tujuan. Dasar pembenaran pidana dari teori gabungan adalah meliputi dasar pembenaran pidana dari teori pembalasan atau teori tujuan yaitu baik terletak pada kejahatannya maupun pada tujuan pidananya.20 Teori gabungan ini dibagi menjadi 3 (tiga golongan) yaitu:

1. Teori gabungan yang menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi dari pada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat.

2. Teori gabungan yang menitikberatkan kepada pertahanan ketertiban masyarakat, tetapi pidana tidak boleh lebih berat dari pada beratnya penderitaan yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.

3. Teori gabungan yang menitikberatkan sama baik kepada pembalasan maupun kepada pertahanan ketertiban masyarakat.21

2. Teori Tentang Sistem Pembuktian

Dalam rangka menerapkan pembuktian atau hukum pembuktian hakim lalu bertitik tolak kepada sistem pembuktian dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Ada 4 (empat) teori pembuktian, yaitu:

1. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie).

20Ibid, hlm. 59.

21Ibid, hlm. 60.

(17)

Berdasarkan teori undang-undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie) bahwa pembuktian yang benar hanyalah

berdasar undang-undang. Hakim hanya diberikan kewenangan dalam menilai suatu pembuktian hanya berdasarkan pertimbangan undang- undang saja, tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dari luar undang- undang.

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung kepada ala- alat bukti sebagaimana disebut secara limitative dalam Undang- Undang. Singkatnya Undang-Undang telah menentukan adanya alat- alat bukti mana yang dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana cara nya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini, hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan Undang- Undang. Hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah.

Begitupun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan Undang-Undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut keyainannya sebenarnya terdakwa bersalah.

2. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime).

Menurut teori ini, suatu pembuktian untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata hanya dinilai berdasarkan keyakinan hakim saja (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Seorang hakim tidak terikat oleh alat bukti yang sudah ditentukan dalam undang-undang.

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dalam perkembangannya, lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) polariasi yaitu: “conviction intime” dan conviction raisonce”.

Melalui sistem pembuktian “conviction intime”, kesalhan terdakwa

(18)

bergantung kepada keyakinan belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dengan demikian, putusan hakim disini tampak timbul nuasa subyektifnya. Misalnya dalam putusan hakim dapat berdasarkan pada mistik, keterangan medium, dukun dan lain-lain sebagainya sebagaimana pernah diterapkan dahulu pada praktik pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten.

3. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction raisonce).

Berdasarkan teori keyakinan hakim secara logis (conviction raisonce) bahwa keyakinan seorang hakim harus mempunyai dasar yang jelas.

Pada sistem pembuktian conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonce merupakan suatu pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan atas setiap alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan seorang terdakwa.

“Lebih lanjut lagi pada sistem pembuktian “conviction raisonce”

keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keyakinan hakim secara logis (conviction raisonce) utusan”.

4. Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie).

Teori ini merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction raisonce dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie). Dalam teori ini mengajarka bahwa

(19)

salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang.

“Dengan peramuan ini, substansi sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negative (negative wettelijke bewijs theorie) tentulah melekat adanya prinsip:

a. Procedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitative ditentukan Undang-Undang; dan b. Terhadap alat-alat bukti tersebut hakim baik secara materiil

maupun secara procedural”. 22

Dari keempat teori di atas maka hukum acara pidana di Indonesia menganut teori berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie). Hal itu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang

menyatakan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Bahwa dari uraian Pasal 183 KUHAP tersebut maka didalam memutuskan suatu perkara untuk menyatakan seseorang telah bersalah melakukan suatu tindak pidana apabila didukung 2 (dua) alat bukti dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

22 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik Dan Masalahnya, Bandung, Pt.Alumni, 2007, hlm. 243-247.

(20)

G. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yaitu pengkajian hukum terhadap aturan-aturan hukum meliputi pengkajian asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan atau sejarah hukum dengan tujuan untuk menjelaskan hukum sesuai dengan kasus tertentu23. Maka penelitian hukum normatif pada penelitian ini dilakukan terkait putusan sela atas eksepsi dalam tindak pidana narkotika.

2. Pendekatan yang digunakan

Dalam pendekatan penelitian normatif terdapat beberapa pendekatan, yaitu, pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach), pendekatan kasus (Case Approach).

“Pendekatan undang-undang (Statue Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.”24 “Adapun pendekatan konseptual (Conceptual Approach) adalah suatu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.”25

“Pendekatan kasus (Case Approach) adalah salah satu jenis pendekatan dalam penelitian hukum normative yang peneliti mencoba membangun argumentasi hukum dalam perpektif kasus konkrit yang terjadi di lapangan,

23Bahder Johan Nasution, metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008 hlm. 86-87

24Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 92.

25 Ibid. hlm. 95.

(21)

tentunya kasus tersebut erat kaitannya dengan kasus atau peristiwa hukum yang terjadi di lapangan.”26 Pendekatan kasus berdasarkan putusan nomor 237/Pid.Sus/2020/pn.jmb bahwa terdapat isu hukum yang harus diteliti dengan mempelajari pandangan-pandangan dan asas-asas serta teori yang berkembang dalam ilmu hukum.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah data sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang bersumber dari kepustakaan (penelitian kepustakaan). Adapun penelitian bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian kepustakaan ini antara lain adalah:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yakni dengan mempelajari peraturan perundang- undangan yang berhubungan dengan masalah yang akan ditulis yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana.

3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya diperoleh dengan mempelajari literatur, berupa publikasi yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,

26 https://www.saplaw.top/pendekatan-perundang-undangan-statute-approach-dalam- penelitianhukum/#:~:text=Pendekatan%20Kasus%20(case%20approach)%20adalah,hukum%20ya ng%20terjadi%20di%20lapangan. Diakses pada tanggal 19 Januari 2021

(22)

meliputi buku-buku hukum, hasil penelitian, jurnal hukum, berbagai website alamat di internet, majalah/koran, skripsi, thesis, dan disertasi.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan yang memberikan definisi, petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, meliputi kamus umum dan kamus hukum.

4. Analisis Bahan Hukum

Analisis yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan cara:

a. Menginterpretasikan semua peraturan perundang-undangan sesuai masalah yang dibahas.

b. Menilai bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

c. Mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara lebih jelas atas seluruh isi dan pembahasan skripsi ini secara sistematis, guna memudahkan dalam hal menghubungkan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi yang dibagi ke dalam 4 (empat) bab, yaitu:

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, landasan teori, tujuan, dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematka penulisan.

(23)

BAB II : Dalam bab ini merupakan syarat surat dakwaan, eksepsi, putusan sela, dan upaya hukum terhdap putusan sela/perlawanan.

BAB III : Bab ini merupakan bab pembahasan sesuai dengan perumusan masalah yaitu bagaimana pelaksanaan penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana yang memiliki putusan sela dan isu hukum yang terdapat dalam putusan sela dalam kasus tindak pidana narkotika.

BAB IV : Bab penutup yang merupakan bagian akhir dari penulisan ini yang berisikan kesimpulan dan saran.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

HUKUM HAK MEWARIS AL-KHUNTSA (KELAMIN GANDA) MENURUT HUKUM WARIS ISLAM” yang disusun guna memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program studi ilmu hukum dan

Selain itu juga ada substansi hak tersangka atau terdakwa yang hanya diatur di dalam Kompendium saja namun ada substansi hak tersangka atau terdakwa yang di dalam hukum

terhadap tersangka oleh penyidik.. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dan. terdiri dari atas norma-norma dasar

Hak-hak tersangka yang diancam hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih yang tidak didampingi penasihat hukum adalah : berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik,

materi Undang-undang hak cipta dikalangan aparat penegak hukum khususnya penyidik masih minim disamping terbatasnya jumlah penyidik. Adanya kemudahan dalam

Untuk mengetahui dan menganalisa Putusan No.30PK/PID/2010 terkait hak-hak tersangka dalam memperoleh bantuan hukum dan diperiksa tanpa adanya tekanan dalam tingkat

Perbuatan hukum dimaksud yaitu: jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai

Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang di dalamnya menegaskan hak dari tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasehat hukum apabila tindak pidana yang disangkakan atau