7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Penyakit Ginjal Kronik a. Definisi dan Klasifikasi
Batasan PGK menurut Kidney Disease : Improving Global Outcomes (KDIGO) adalah kerusakan ginjal baik structural maupun fungsional yang terjadi lebih dari tiga bulan, mempengaruhi kesehatan seseorang. Klasifikasi PGK berdasarkan penyebab, kategori LFG (G1- G5), dan kategori albuminuria (A1-A3) (KDIGO., 2012).
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (KDIGO,2012).
Keterangan : Hijau : risiko rendah, kuning : risiko sedang, orange : risiko tinggi, merah : risiko sangat tinggi.
b. Program Terapi PGK
Bertambahnya penyakit ginjal kronis merupakan suatu masalah kesehatan yang tersebar luas di seluruh dunia. Di Amerika Serikat penyakit ini mempunyai angka kejadian yang selalu meningkat disertai outcome yang kurang baik dan menyerap anggaran kesehatan yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari systematic review dan metaanalisis
commit to user
dalam Global Prevalence of Chronic Kidney Disease, sekitar 11-13 % penduduk dunia menderita penyakit ginjal kronik (PGK) . Dari jumlah tersebut, sebanyak 2 juta orang menjalani TPG, tetapi hal itu diperkirakan hanya merepresentasikan 10 % saja dari jumlah seluruh pasien yang seharusnya mendapat TPG. Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010 (Hill et al., 2016).
Di Indonesia, menurut data riskesdas tahun 2013 jumlah pasien dengan PGK adalah 0,2 % sedangkan menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), jumlah pasien PGK di Indonesia adalah 12,5 %.
Data tersebut berdasarkan jumlah pasien PGK yang telah masuk Indonesia Renal Registry. Berdasarkan kebutuhan anggaran, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. Data IRR dari 249 renal unit yang melapor, tercatat 30.554 pasien aktif menjalani dialisis pada tahun 2015, sebagian besar adalah pasien dengan penyakit ginjal kronik (Kemenkes, 2017).
Bukti terbaru menunjukkan bahwa outcome yang kurang baik dari penyakit ginjal kronik ini, baik berupa gagal ginjal, penyakit kardiovaskular, kematian yang terlalu awal, dapat dicegah maupun diperlambat. Cara pencegahan yang paling baik adalah dengan melakukan deteksi dini gangguan ginjal melalui beberapa pemeriksaan laboratorium. Penatalaksanaan yang baik terhadap penyakit ginjal pada stadium yang lebih awal memberikan hasil yang efektif untuk menghambat progresivitas menuju gagal ginjal. Satu hal yang menjadi kelemahan di Indonesia, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat adalah terjadinya “under-diagnosed” dan “under- treated” yang berakibat hilangnya peluang untuk mencegah terjadinya komplikasi (K DOQI, 2012).
commit to user
Penatalaksanaan pasien dengan penyakit ginjal kronis terutama ditujukan untuk menghambat progresivitas dan mencegah terjadinya kematian awal karena penyakit kardioserebrovaskular. Hal ini juga berhubungan dengan stadium dari penyakit ginjal kronisnya (Lambie, 2010; Wheeler, 2010; Bargman, 2016).
1. Berhenti merokok.
2. Pengendalian tekanan darah dan proteinuria: target tekanan darah yang harus dicapai adalah <130/80 untuk semua pasien penyakit ginjal kronis baik diabetik maupun nondiabetik.
Obat pilihan yang digunakan adalah dari golongan ACE inhibitor maupun Angiotensin II receptorblocker.
3. Pengendalian gula darah yang ketat pada pasien dengan diabetes mellitus (DM): parameter yang digunakan adalah dengan menggunakan glycosylated haemoglobin (HbA1C) <7%.
4. Pengendalian kadar lemak : LDL - C < 100 mg/dl.
5. Koreksi terhadap anemia :Penggunaan eritropoetin dimulai apabila kadar Hb < 10g/dl dengan target Hb 11-12g/dl.
6. Pengendalian kadar fosfat, vitamin D dan hormonparatiroid.
7. Pembatasan protein: pembatasan protein mulai dilakukan pada pasien dengan LFG < 60 ml/mnt/1,73m2. Protein yang diberikan sebanyak 0,6-0,8 g/kgBB/hari. Sedangkan
kebutuhan kalori yang diberikan adalah sebanyak 30- 35kkal/kgBB/hari.
8. Pasien dengan stadium 5 harus mulai dilakukan terapi pengganti ginjal. Saat ini ada tiga terapi pengganti ginjal yaitu: hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal. Perubahan-perubahan faal ginjal (LFG), bersifat individual untuk setiap pasien gagal ginjal kronik, lama terapi konservatif bervariasi, dari bulan sampai tahun.
(Sukandar, 2006)
commit to user
Gambar 2.1 Algoritme Program Terapi PGK (Sukandar, 2006) Keterangan : Penyakit ginjal kronis yang dimulai dari stadium awal secara perlahan namun pasti akan memasuki stadium akhir yaitu stadium terminal. Stadium terminal tersebut beberapa pasien meninggal sebelum menjalani terapi pengganti ginjal dialysis baik hemodialisis maupun CAPD karena berbagai macam penyebab.
Sebagian menjalani dialysis dan transplantasi ginjal. Transplantasi ginjal dianggap sebagai pengobatan terbaik untuk penyakit ginjal kronis, namun demikian terdapat risiko kegagalan sehingga pasien Kembali menjalani dialisis ataupun meninggal dunia.
c. Dialisis
Dialisis merupakan prosedur yang sangat vital pada pasien PGK yang tidak mampu menjalani transplantasi ginjal. Pada prinsipnya, dialisis merupakan sebuah prosedur untuk membuang produk-produk sisa metabolisme dari darah seperti kreatinin dan urea yang tidak mampu dikeluarkan sempurna oleh pasien yang mengalami gagal ginjal. Teknik dialisis dibagi menjadi dua, yaitu hemodialisis dan dialisis peritoneal. Hemodialisis adalah prosedur dialisis dengan menggunakan jalur pembuluh darah, sedangkan dialisis peritoneal merupakan prosedur dialisis dengan menggunakan rongga peritoneum sebagai ruang untuk dialisat dan peritoneum sebagai membran dialisis.
PGK
Penyakit Ginjal Terminal
Meninggal Dialisis: Hemodialisis, CAPD
Gagal
Transplantasi Berhasil
commit to user
Sistem dialisis peritoneal memiliki tiga komponen utama yakni:
(1) mikrosirkulasi peritoneum, (2) membran peritoneum, dan (3) dialisat yang berupa cairan untuk pengeluaran racun (Rippe, 2010).
Pemilihan modalitas dialisis mana yang akan diberikan untuk seorang pasien idealnya berdasarkan pada pilihan pasien yang bersangkutan, kecuali bila ada kontraindikasi baik kontraindikasi sosial maupun kontraindikasi medis dari modalitas yang dipilih pasien. Satu hal yang kurang menguntungkan adalah terbatasnya fasilitas hemodialisis ataupun sumber daya manusia yang kompeten di bidang hemodialisis, sering membatasi pilihan pasien. Edukasi mengenai dialisis seharusnya sudah dilakukan jauh sebelum program dialisis diberikan, bahkan sudah harus diberikan pada seseorang yang baru didiagnosis PGK. Hal-hal yang perlu dijadikan sebagai topik edukasi adalah (Rainer, 2010)
(1) Keterlibatan anggota keluarga dan dukungan sosial.
(2) Informasi mengenai fungsi ginjal.
(3) Pengetahuan mengenai gejala-gejala penurunan fungsi ginjal.
(4) Pemahaman mengenai modalitas dialisis akan memengaruhi pola hidup pasien.
(5) Pengenalan fasilitas HD dan CAPD.
(6) Kesempatan pasien untuk berdiskusi dengan pasien – pasien yang sudah menjalani HD maupun CAPD.
Pemberian edukasi bahwa terapi pengganti ginjal tidak terbatas hanya pada satu modalitas dialisis, tetapi ada beberapa macam terapi pengganti ginjal sebagai berikut:
1) Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk eliminasi sisa-sisa produk metabolisme protein, koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan commit to user dialisat melalui selaput membran
semipemiabel yang berperan sebagai ginjal buatan. Hemodialisis pada umumnya sudah dilakukan pada pasien PGK dengan LFG <10 ml/
menit (<15 ml/menit pada pasien dengan nefropati diabetes) atau bila kadar kreatinin serum mencapai 8-10 mg/ dL. Sebagian besar pasien dengan PGK dalam satu minggu membutuhkan hemodialisis 9-12 jam dibagi dalam tiga sesi yang sama (Claure , 2018).
Hemodialisis saat ini merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipakai sebagai regimen untuk pasien yang sudah mengalami penyakit ginjal stadium 5, yaitu pasien yang sudah mengalami gagal ginjal. Namun demikian, hemodialisis ini memiliki beberapa keterbatasan atau kontraindikasi. Kontraindikasi tersebut ada yang berupa kontraindikasi absolut yaitu benar-benar tidak boleh dilakukan hemodialisis, dan kontraindikasi relatif yaitu masih boleh dilakukan namun dengan pengawasan yang sangat ketat. Kontraindikasi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Kontraindikasi absolut : tidak adanya akses vaskuler.
b. Kontraindikasi relatif:
(1) kesulitan akses vaskuler
(2) pasien yang mempunyai fobia terhadap jarum.
(3) gagal jantung.
(4) koagulopati
2) Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Secara umum indikasi PD sama dengan hemodialisis. Beberapa
kondisi khusus yang merupakan indikasi peritoneal dialisis : (Kitiyakara et al ., 2012).
Indikasi tersebut adalah sebagai berikut.
a) Medik : DM, penyakit kardiovaskular (angina, katup jantung buatan, aritmia), penyakit kronis (anemia kronis, HIV, kelainan perdarahan, hepatitis)
b) Psikososial : gaya hidup aktif, takut jarum, butuh diet commit to user
yang
fleksibel.
Kontraindikasinya adalah sebagai berikut.
a) Absolut : hilangnya fungsi membran peritoneum, adesiperitoneum, hernia, stoma dinding perut, kebocoran cairan diafragma, tidak mandiri
b) Relatif : graft aorta
Saat ini CAPD sebagai salah satu bentuk dialisis yang cukup mantap, menjadi pilihan bagi pasien anak-anak, usia lanjut dan pasien nefropati diabetik. Kesederhanaan keamanan hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, kebebasan pasien merupakan daya tarik tersendiri bagi dokter. Terapi ini berdasarkan kemampuan membran peritoneum sebagai membran dialisis yang terjadi pertukaran solut dan produk-produk racun antara cairan CAPD dan sirkulasi. Cairan CAPD dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui kateter permanen. Cairan CAPD mengandung glukosa, yang memfasilitasi perpindahan cairan dari aliran darah ke rongga peritoneum, mengawali pemindahan produk racun dan air. Pasien dengan CAPD memiliki mobilisasi yang lebih baik dibandingkan hemodialisis. Kerugian CAPD adalah lebih mahal pada saat awal, mempunyai risiko peritonitis, dan kerusakan membran peritoneum (Vardhan, 2014).
Secara umum, dialisis peritoneal terbagi menjadi dua kelompok yakni kontinyu dan intermiten. Adapun kontinyu terbagi menjadi tiga teknik, sebagai berikut.
a) Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) b) Continous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD) c) Tidal Peritoneal Dialysis (TPD).
Sementara itu, intermiten terbagi menjadi dua, seperti berikut ini.
a) Intermitten peritoneal dialysis (IPD)
b) Nightly Intermitten Peritoneal Dialysis (NIPD) (Rippe, 2010)
Tabel 2.2 Komposisi Cairan Dialisat (Rippe, 2010). commit to user
Konsentrasi Dekstrosa
Osmolalitas (mOsM/L)
Ph Na Ca Mg Cl Laktat
1,5% 347 5,5 132 3,5 1,5 102 35
2,5% 398 5,5 132 3,5 1,5 102 35
4,25% 486 5,5 132 3,5 1,5 102 35
Tranfer set pada CAPD berbentuk Y merupakan bentuk standar.
Variasi sambungan untuk CAPD seperti catheter-to-transfer set connectors, transfer set-to-container connector. Modifikasi sistem konektor pada CAPD untuk mengurangi risiko infeksi peritonitis yaitu mechanical devices to assist in spike- port insertion, UV light sterilization device, the sterile connection device. Ada beberapa macam bentuk kateter seperti : 1) kateter sederhana/ simple catheter (standard double-cufft tenckhoff, culred tenckhoff) 2) kateter kompleks / complex catheter(toronto western II, lifecath catheter). Bentuk simple catheter Tenckhoff biasa digunakan dengan ciri double cuff, silicon catheter. Prosedur pemilihan kateter umumnya di Indonesia memakai kateter standard double-cuff Tenckhoff (Vardhan, 2014).
Gambar 2.2 Tipe Kateter CAPD (Rippe, 2010).
Keterangan: Kateter Tenckhoff yang digunakan dalam proses CAPD dibuat dari bahan elastis yang mempunyai lubang sepanjang commit to user
kateter yang masuk ke peritoneum. Kateter ini biasanya mempunyai satu atau dua cuff seperti yang terlihat pada gambar 2.2. Fungsi dari cuff tersebut adalah untuk mencegah kebocoran dan infeksi. Kateter yang berbentuk swan neck mempunyai risiko kegagalan aliran dialisat lebih kecil dibandingkan dengan kateter yang lurus (Rippe., 2010)
Prinsip kerja CAPD adalah osmosis melalui membran peritoneum.
Hal ini merupakan konsep untuk mengeliminasi toksin , mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit yang bersifat kontinyu sepanjang hari serta tidak fluktuatif seperti hemodialisis. Kelebihan cairan pada pasien menyebabkan luaran yang tidak baik. Ultrafiltrasi yang adekuat merupakan kunci keberhasilan CAPD terutama pada kondisi fungsi ginjal tersisa yang rendah. Darah mengalir dari peritoneum parietal ke dalam v.cava inferior dan sirkulasi sistemik porta. Hal penting pada pasien nefropati diabetik dengan program CAPD adalah kemungkinan terjadi hiperglikemia bila dipakai dialisat hipertonis (Rainer, 2010 ; Morelle, 2018).
commit to user
Gambar 2.3 Ilustrasi Filtrasi Solut di Cavum Peritoneum dan Kapiler (Morelle, 2018 )
Keterangan : Mekanisme kristaloid, koloid, dan kombinasi keduanya pada proses osmosis melintasi membran peritoneal. Penggunaan agen osmotik kristaloid seperti glukosa atau asam amino (panel kiri), UF transkapiler terjadi pada pori-pori yang kecil dan ultrasmall (AQP1) dan berhubungan langsung dengan tonisitas larutan dialisis. Setelah gradien osmotik menghilang karena penyerapan sistemik agen osmotik, reabsorpsi cairan (backfiltration) terjadi, terutama di pori- pori kecil. Subfraksi besar (panel tengah) menghasilkan transportasi osmotik air secara independen dari saluran air AQP1 dan tonisitas, melalui sistem pori-pori kecil sistem.
Koefisien refleksi peritoneal untuk molekul besar ini mendekati satu commit to user
kesatuan, menunjukkan bahwa tidak dapat melintasi membran peritoneal dan menginduksi osmosis koloid. Peningkatan volume cairan intraperitoneal ini berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat, mencapai puncak (selama ultrafiltrasi), selanjutnya akan menurun, sebanyak dua liter cairan peritoneal didiamkan selama 24 jam selanjutnya akan diabsorbsi kembali. Hal ini karena efek convective dari tekanan onkotik plasma dan aliran sirkulasi. Optimalisasi ultrafiltrasi tidak hanya dipengaruhi konsentrasi glukosa dari cairan peritoneal saja tetapi juga dipengaruhi oleh lamanya dwell time (Aroeira et al.,2018 ). Area permukaan fungsional peritoneum mencerminkan area permukaan efektif pada kapiler peritoneum. Transportasi zat terlarut berukuran kecil seperti urea, kreatinin, dan glukosa, sebagian dibatasi oleh derajat perfusi kapiler ini. Vasodilatasi arteriola menghasilkan peningkatan angka perfusi kapiler efektif, sedangkan vasokonstriksi menghasilkan penurunan. Perubahan ini sering terjadi tanpa adanya perubahan besar pada permeabilitas peritoneum, sehingga saat vasodilatasi atau vasokonstriksi, biasanya ada disosiasi antara perubahan permeabilitas area permukaan. Vasodilatasi terjadi pada awal- awal ketika glukosa digunakan sebagai agen osmosis, menyebabkan peningkatan tekanan sementara di permukaan peritoneum. Kontak antara dialisat dan jaringan peritoneum bervariasi tergantung postur dan volume.
Orang dewasa biasanya dapat menoleransi 2 – 2,5 liter volume masuk.
Tekanan hidrostatik intraperitoneal kurang dari 18 cm H2O (saat posisi supinasi) biasanya dapat ditoleransi. Pada tekanan yang lebih tinggi (> 18 cm H2O), pasien biasanya merasa kurang nyaman. Volume intraperitoneum kurang dari 2 liter menyebabkan reduksi pada zat terlarut ukuran kecil.
Seluruh peningkatan isi volume berdampak pada pertukaran yang lebih efisien baik zat terlarut ukuran kecil maupun ultra (Ronco, 2009).
commit to user
Gambar 2.4 Tiga Model Pori-Pori Membran Semipermeabel (Rippe, 2010) Keterangan: Dalam konteks dialisis peritoneal, sekat yang memisahkan antara cairan di pembuluh kapiler dengan cairan di peritoneum adalah dinding pembuluh kapiler dan interstisium.
Dinding kapiler berperan sebagai sekat untuk transpor cairan dan zat dengan molekul besar.
Sementara itu, interstisium berperan sebagai sekat untuk transpor zat kecil (ultra filtration). Rute utama yang digunakan untuk transpor cairan dan solut ukuran kecil dari plasma ke kavum peritoneum adalah ruang antar endotel, sehingga disebut juga celah interendotel (interendothelial clefts).
Lebar celah ini sekitar 40 -50 Å, sedikit lebih besar dari albumin yang memilki ukuran molekul 36 Å. Lebar celah tersebut dapat menahan transit albumin dan mencegah pasase molekul-molekul besar seperti imunoglobulin. Namun demikian, molekul besar masih bisa transit via large pore (250 Å) yang langka, terletak di post kapiler venula. Jumlah pori-pori ini hanya sekitar 0,01 % dari total keseluruhan pori-pori yang ada di kapiler.
Transportasi cairan melalui pori-pori ini hanya dilakukan via filtrasi satu arah yang dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik. Dinding kapiler memilki pori khusus air (water only pore) yang terletak di membran sel dan dikenal commit to user
dengan kanal aquaporin (AQP1) (Morela, 2018).
Gambar 2.5 Membran Peritoneum (Zhou et al., 2016) Keterangan: Perbedaan antara peritoneum normal dan peritoneum pasien CAPD. a Normal peritoneum b. fibrosis peritoneum peritoneal dialysis. Permukaan membran peritoneum ditutup oleh lapisan tunggal sel mesotelial (PMCs), yang selama proses CAPD merupakan area permukaan utama untuk pertukaran molekul.
Masalah penting yang terjadi pada CAPD adalah keterbatasan fungsi peritoneum yang tergantung pada lamanya CAPD. Selama jangka panjang CAPD, hilangnya integritas membran peritoneum, dan kapasitas ultrafiltrasi peritoneum merupakan komplikasi utama akibat paparan cairan dialisat CAPD yang telah diketahui bukan merupakan cairan fisiologis dengan karakteristik pH rendah, laktat yang tinggi,
hiperosmolar, tinggi glukosa, dan hasil pemecahan glukosa (Fielding et al., 2014).
Peritoneum memiliki komposisi yang sangat sederhana berupa lapisan tunggal sel mesotelial yang merupakan area yang padat, yang terdiri atas jaringan ikat dengan sedikit fibroblas, matriks ekstraselular, sel – sel imun seperti sel mast, makrofag, dan pembuluh darah. Paparan terhadap cairan CAPD yang nonfisiologis, status uremikum, dan juga terjadinya infeksi yang berulang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
b
commit to user
membran peritoneum. Kerusakan yang terjadi dapat berupa fibrosis submesotelial, angiogenesis, dan hialinisasi vaskulopati. Hilangnya fungsi membran peritoneum secara perlahan – lahan merupakan masalah serius pada pasien CAPD. Kontak jangka panjang antara peritoneum dengan cairan peritoneal dialisis yang mengandung glukosa konsentrasi tinggi memberikan kontribusi hilangnya kapasitas ultrafiltrasi (Jain, 2012 ; Lima et al., 2013)
Inflamasi merupakan masalah tersendiri pada gagal ginjal terminal.
Inflamasi akut dan kronik pada peritonium merupakan penentu mulainya dan progresivitas kerusakan membran peritoneum. Berbagai macam faktor yang merangsang respon inflamasi ini meliputi akumulasi toksin uremia, homosistein, Advance Glicated End Products (AGE), berbagai macam sitokin proinflamasi. Selain sitokin dan growth factor yang dihasilkan selama inflamasi peritoneum, transforming growth factor- β (TGF-β), merupakan sitokin profibrotik yang dianggap sebagai molekul utama untuk terjadinya fibrosis peritoneum, karena jumlah yang berlebihan berhubungan dengan kegagalan CAPD (Lima et al., 2013).
3) Komplikasi CAPD
Meskipun insersi kateter peritoneal merupakan suatu prosedur yang relatif tidak invasif, hal tersebut masih memilki potensi komplikasi. Secara umum komplikasi ini dibagi menjadi teknik (pendarahan, perforesi viseral, perforasi bladder), mekanik (peningkatan tekanan intra abdominal, gangguan aliran dialisat, kebocoran dialisat, disfungsi kateter, nyeri), infeksi (peritonitis, infeksi pada akses keluar dan tunnel), dan sistemik (kardiovaskuler, hiperlipidemia, glukosa dan sindrom metabolik).
Komplikasi-komplikasi ini dapat meningkatkan morbiditas dan kegagalan dialisis peritoneal (Miftah et al., 2014 ; Holley, 2017)
a) Komplikasi Teknik :
(1) Perdarahan commit to user
Pendarahan yang dimaksud adalah pendarahan yang disertai dengan penurunan hematokrit lebih besar dari atau sama dengan 3%. Kejadian perdarahan dapat bervariasi dari 1 - 23% dengan teknik pemasangan kateter bedah terbuka. Dalam sebuah penelitian retrospektif dengan 292 kateter yang dimasukkan melalui operasi terbuka, 2 % di antaranya terjadi kasus pendarahan. Dari data tersebut, hampir semua pasien dengan perdarahan telah mendapat antikoagulan atau memiliki koagulopati sebelumnya. Ada kemungkinan bahwa tingkat komplikasi hemoragik lebih rendah dengan menggunakan teknik penyisipan minimal invasif (Miftah et al., 2014).
Perdarahan volume dapat terjadi bila arteri epigastrik atau cabang- cabangnya secara tidak sengaja terluka. Arteri ini terletak di belakang otot rektus dan umumnya tidak tervisualisasi dengan teknik perkutan (trokar, flizoroscopy atau peritoneoscopy). Perdarahan dapat terjadi selama prosedur atau pada fase awal pascaoperasi. Setiap pembuluh darah yang terlihat harus diawasi untuk menghindari hematoma posterior.
Apabila tes infus dialisat kembali berdarah, pencucian rongga peritoneum dengan 0,5-1,0 liter larutan dialisat dingin harus dimulai di ruang operasi. Umumnya, cairan akan menjadi lebih jernih setelah 2 atau 3 liter cairan dialisat masuk. Jika tidak terjadi perbaikan, pasien harus tetap dirawat di rumah sakit untuk evaluasi. Pasien ini harus dipantau selama 24 jam pertama pascaoperasi. Bagi pasien dengan hemodinamik tidak stabil, keputusan tentang intervensi bedah harus segera dilakukan.
Transfusi darah harus diberikan untuk mempertahankan hematokrit sekitar 30% yang terkait dengan penggunaan DDAVP (desmopressin) dan / atau kriopresipitat, seperti yang direkomendasikan untuk perdarahan uremik (Miftah et al., 2014; Jones, 2019)
(2) Perforasi Instestinum commit to user
Perforasi intestinum adalah komplikasi lain dari kateter dialisis peritoneal yang tidak biasa, namun jika terjadi, dapat menjadi serius. Operator yang melakukan prosedur ini harus dipersiapkan dengan baik dalam menegakkan diagnosis segera dan merawat pasien secara efektif. Pasien dengan pembedahan abdomen sebelumnya memiliki risiko perforasi usus yang lebih besar karena pembentukan adhesi intraabdominal. Setengah dari pasien memiliki riwayat operasi perut sebelumnya dan hanya 2 (33%) yang mengalami perforasi usus. Faktor risiko lain untuk perforasi usus adalah adanya distensi abdomen.
Itulah sebabnya beberapa pakar merekomendasikan penggunaan enema atau obat pencahar pada malam hari sebelum prosedur, tetapi ini tidak wajib. Untuk menghindari perforasi sekum, kateter harus ditempatkan di sisi kiri dinding perut. Beberapa laporan mendokumentasikan hasil pengobatan konservatif perforasi usus yang berhasil dengan cepat dalam penyisipan kateter dan prosedur kolonoskopi. Mayoritas perforasi ini biasanya kecil dan dapat menutup secara spontan 24 - 48 jam (Jones, 2019).
Pada kasus perforasi usus, semua pasien harus dilakukan diet NPO (Niels Per Os) atau diet non oral, pemberian antibiotik dan cairan intravena. Terapi antibiotik harus mencakup bakteri gram-positif, gram-negatif, dan anaerob. Pada hari kedua, jika stabil secara klinis, cairan oral dapat dimulai dan kemudian perlahan diteruskan ke makanan. Jika bertambah buruk secara nyeri perut bertambah, segera dikonsulkan ke bedah (Gadallah et al., 2008).
(3) Perforasi Bladder
Perforasi bladder saat penempatan kateter dialisis peritoneal merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. commit to user
Umumnya diagnosis dilakukan setelah prosedur. Selama pemasangan dialisat pasien mengeluhkan ketidaknyamanan perut dan urgensi urin. Dengan peningkatan volume masukan dialisat berikutnya, terjadi peningkatan volume urin. Selain itu, urinalisis menunjukkan positif glukosa. Untuk mencegah komplikasi ini, setiap pasien harus mengosongkan kandung kemihnya sebelum prosedur berlangsung. Penting untuk ditekankan bahwa pasien diabetes dan pasien dengan riwayat penyakit neurologis sebelumnya mungkin memiliki kandung kemih neurogenik. Pada pasien ini, kateter Foley harus dipertimbangkan sebelum prosedur (Jones, 2019).
b) Komplikasi Infeksi : (1) Peritonitis
Peritonitis merupakan inflamasi rongga peritoneal serta merupakan komplikasi paling sering ditemui terkait dialisis peritoneal. Penyebab tersering peritonitis adalah kontaminasi pada port de entry bakteri yakni exit site dan tunnel. Diagnosis peritonitis ditegakkan apabila ada tiga gejala berikut: (a) nyeri pada abdominal, (b) cairan tampak berembun, dan (c) hasil positif pada kultur dari cairan peritoneal yang keluar.
Peningkatan sel darah putih lebih dari 100/mm3 dan lebih dari 50% netrofil juga menguatkan diagnosis. Manifestasi lain dari peritonitis ini termasuk demam, abdominal menjadi kaku, malaise umum, mual, dan muntah (Miftah, 2014; Burkart, 2016).
Sebagian besar peritonitis akibat dari bakteri, sebagian kecil disebabkan oleh jamur, terutama candida sp.
mikroorganisme yang menyebabkan peritonitis ini dapat berupa gram-positif, gram negatif, jamur dan kombinasi mikobakterium. Kontaminasi sentuhan dengan organisme S. Aureus dan S. Epidermidis juga dapat terjadi pada saat commit to user
mengakhiri prosedur. Staphylococcus menjadi bakteri paling sering yang menyebabkan peritonitis disusul dengan pseudomonas. Pemberian antibiotik menghasilkan perbaikan yang cepat terhadap peritonitis, memperbaiki inflamasi dengan cepat, dan juga dapat mempertahankan fungsi membranperitoneum. Tidak ada satu pun antibiotik empiris yang lebih superior dibandingkan yang lainnya. Namun demikian, pada satu penelitian metaanalisis mendapatkan hasil bahwa kombinasi glikopeptida (vancomycin atau teicoplanin) dengan ceftazidim dianggap sebagai kombinasi yang paling baik (Li et al., 2016).
(2) Infeksi pada akses keluar dan tunnel
Akses keluar dialisis peritoneal seharusnya bersih, kering dan tanpa nyeri atau inflamasi. Infeksi pada akses keluar (exit sites) dapat terjadi pada semua tipe dialisis. Infeksi ini sulit diatasi dan dapat menjadi kronik. Infeksi pada akses keluar dan tunnel dapat menjadi peritonitis, kegagalan kateter, dan membutuhkan rawat inap. Kebocoran dialisat dan tarikan atau kateter membelit, merupakan predisposisi klien ESIs.
Pemeriksaan gram dengan zat warna dan kultur perlu dilakukan jika akses keluar tampak purulen. Infeksi tunnel terjadi pada bagian kateter dari kulit ke stuff. Manifestasinya berupa kemerahan, lembek, dan nyeri. ESIs diobati dengan antimikroba. Infeksi cuff yang dalam biasanya ditangani dengan mencabut kateter (Li et al., 2016).
2. Fibrosis Peritoneum
Satu permasalahan serius setelah CAPD jangka lama adalah fibrosis peritoneum yang sering memulai terjadinya disfungsi transpor. Paparan jangka panjang dengan cairan CAPD, akan menyebabkan perubahan morfologi dan fungsi membran peritoneum yang dinamakan fibrosis commit to user
peritoneum, yang selanjutnya berakibat fatal berupa kegagalan ultrafiltrasi dari peritoneum. Gambaran utama dari fibrosis peritoneum adalah hilangnya sel-sel mesotelial (MCs), penebalan lapisan submesotelial, dan angiogenesis. Kelainan utama yang berperan dalam progresivitas fibrosis peritoneum dan angiogenesis adalah perubahan pada lapisan sel epithelial- like mesothelial yang membatasi rongga peritoneum. Injuri pada jaringan peritoneum menginduksi transisi sel – sel mesotelial menuju suatu mesenchymalphenotype, yaitu suatu proses yang dinamakan Epithelial Mesenchymal Transition (EMT). Pada fibrosis peritoneum EMT diinduksi oleh bahan yang terdapat pada cairan PD terutama disebabkan kadar glukosa yang tinggi. Membran peritoneum memperlihatkan hilangnya lapisan tunggal mesotelial, peningkatan proliferasi fibroblas, akumulasi kolagen mesotelial dan neo angiogenesis, dan akhirnya terjadi kegagalan ultrafiltrasi. Derajat berat ringan fibrosis peritoneum ini bervariasi, dari yang paling ringan yaitu simple peritoneal sclerosis (SPS) perubahan yang terjadi tidak luas, ditandai penebalan rongga submesotelial, peningkatan angiogenesis dengan hialinisasi vaskulopati. Berhubungan dengan lamanya kontak peritoneum dengan cairan PD dan biasanya membaik apabila CAPD dihentikan. Pada beberapa kasus terjadi fibrosis peritoneum yang berat dinamakan Encapsulating Peritoneal Sclerosis (EPS) yang potensial menyebabkan kematian peritoneum, ditandai oleh penebalan peritoneum yang berat, inflamasi, kalsifikasi, dan deposit fibrin (Onishi et al., 2011;
Zhang et al., 2017).
commit to user
Gambar 2.6 Mekanisme fibrosis peritoneum pada peritoneal dialisis (Onishi et al., 2011)
Keterangan : Uremia, bioinkompatibel cairan PD (tinggi glukosa, pH rendah), Glucose Degradation Products (GDP), dan Advanced Glycation End Products (AGEs), dan peritonitis mempunyai peranan dalam terjadinya fibrosis peritoneum ini. Inflamasi peritoneum dan angiogenesis merupakan kunci terjadinya fibrosis peritoneum. Inflamasi ditandai dengan peningkatan produk-produk proinflamasi seperti C- reactive protein, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan berbagai macam interleukin. Sedangkan angiogenesis, terjadi sebagai akibat peningkatan produksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan berbagai faktor proangiogeniklain yang merangsang pembentukan kapiler-kapiler baru dalam membran peritoneum (Onishi et al.,2011).
Transforming Growth Factor -β memainkan peranan yang sangat penting dalam proses fibrogenik pada membran peritoneum dan merupakan mediator langsung pada proses EMT di peritoneum. Selama CAPD, glukosa dan produk pemecahan glukosa dalam cairan CAPD menginduksi produksi TGF-β lokal. Peningkatan produksi TGF-β yang menetap dalam dialisat pasien CAPD dan peritonitis berhubungan dengan peningkatan risiko fibrosis peritoneum dan kemunduran fungsi peritoneum (Chugh et al., 2014).
commit to user
Gambar 2.7 Mekanisme Kegagalan Ultrafiltrasi akibat Fibrosis Peritoneum (Bodenham et al., 2012)
Keterangan : Kontak jangka panjang antara peritoneum dengan cairan peritoneal dialisis yang mengandung glukosa konsentrasi tinggi akan meningkatkan akumulasi AGE pada membran peritoneum. Akumulasi AGE ini mempunyai peranan dalam hilangnya kemampuan ultrafiltrasi (UF).
Pembentukan AGE selama proses CAPD yang kemudian berikatan dengan reseptor AGE dalam membran peritoneum mengaktivasi secondary messenger system dan meningkatkan produksi VEGF dan TGF-β. Peningkatan ekspresi VEGF memicu angiogenesis dan permeabilitas vaskular diikuti kebocoran makromolekul yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kegagalan ultrafiltrasi.
Penangkapan AGE oleh sel- sel peritoneum termasuk fibroblas dijalankan melalui reseptor AGE. Kedua proses baik yang reseptor dependen maupun independen bertanggung jawab terhadap kegagalan UF.
Terdapat beberapa subklas AGE- Specific receptor berdasarkan kelarutan komponennya, yang mungkin memainkan peranan yang berbeda. Reseptor AGE (RAGE) merupakan reseptor AGE yang lebih terlibat dalam sinyal transduksi intraselular dibandingkan pemecahan AGE. N carboxymethyl lysin adalah suatu ligan utuk AGE yang meningkatkan ekspresi AGE.
Reseptor AGE pada permukaan sel seperti RAGE, Galectin 3, dan macrophage scavenger receptor dapat diidentifikasi pada monosit, sel
commit to user
endotelial, dan sel ginjal. Peningkatan ekspresi RAGE dalam fibroblas peritoneum bersama dengan AGE intraselular. Penemuan ini menunjukkan bahwa AGE terperangkap dalam sel peritoneum paling tidak melalui RAGE, dan peristiwa ini diikuti oleh reaksi selular dan up-regulation berbagai macam growth factors ( Duman et al., 2005; Kihm et al., 2011;
Bodenham et al., 2012).
Sel – sel mesotelium peritoneum menghasilkan berbagai macam sitokin dan growth factors. Semua jenis AGE terkolonisasi dalam peritoneum dengan growth factors, seperti TGF-β, Macrophge-Colony Stimulating Factor (M-CSF) dan VEGF. Intensitas ekspresi growth factors sebanding dengan beratnya akumulasi AGE. Transforming Growth Factors- β mempunyai peranan utama pada proses fibrogenesis dan memicu proliferasi fibroblas untuk meningkatkan ekspresi kolagen I dan III dan tissue inhibitor of metalloproteinase. Sejumlah besar AGE terbentuk selama proses CAPD berikatan dengan reseptor AGE pada berbagai macam sel di peritoneum. Interaksi antara AGE dengan reseptor AGE memulai aktivasi sistem messenger sekunder dan meningkatkan produksi VEGF dan TGF-β. Peningkatan ekspresi VEGF meningkatkan angiogenesis dan permeabilitas vaskuler, diikuti peningkatan kebocoran makromolekul, dan akhirnya memberikan peranan terjadinya kegagalan UF. Transforming Growth Factors- β meningkatkan proliferasi fibroblas, yang selanjutnya meningkatkan produksi M-CSF, memicu rekrutmen dan proliferasi makrofag. Makrofag ini meningkatkan produksi TGF-β yang selanjutnya memicu Hepatocyte Growth Factors (HGF) tanpa menimbulkan perubahan morfologi, juga memicu fibrosis peritoneum melalui proliferasi fibroblas, produksi kolagen tipe 1 dan 3, dan tissue inhibitor of metalloproteinase 1.
Jadi, peningkatan ekspresi TGF- β menginduksi penebalan mesotelial dan fibrosis peritoneum, dan memberikan peranan terjadinya kegagalan UF (Kihm et al., 2011; Bodenham et al., 2012).
commit to user
Gambar 2.8 Mekanisme Seluler Fibrosis Peritoneum (Zhang et al., 2017) Keterangan: Inflamasi kronis menjadi dasar terjadinya fibrosis peritoneum.
Makrofag merupakan sel inflamasi yang paling banyak didapatkan pada cairan CAPD dalam peritoneum, berperan sentral pada proses inflamasi kronis di dalam peritoneum. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh makrofag, dilaporkan meningkat dalam cairan PD yang berada di dalam rongga peritoneum. Selain inflamasi juga terjadi angiogenesis pada fibrosis peritoneum.
3. Advanced Glycation end Products (AGE)
Advanced Glycation end Products dihasilkan dari suatu reaksi non - enzimatik dalam keadaan hiperglikemia dan oksidatif, yang berhubungan dengan diet tinggi lemak dan tinggi gula, dan menjadi penyebab utama komplikasi diabetes melitus seperti nefropati dan retinopati. Advanced Glycation end Products disajikan sebagai ligan terhadap reseptor RAGE.
Reseptor AGE ini merupakan suatu reseptor membran dari imunoglobulin yang berhubungan dengan protein kinase serin/treonin, memperantarai commit to user
intracellular signaling pathways yang disertai proliferasi sel, survival, migrasi, dan invasi, lisis stroma, angiogenesis, dan terjadinya stres oksidatif (Cheng et al., 2012).
Reseptor AGE diekspresikan sebagai dua bentuk yaitu full-length dan membrane- bound (fl-RAGE dan mRAGE). Reseptor AGE diekspresikan dalam kadar yang rendah secara luas pada sel-sel. Kadar RAGE paling tinggi didapatkan pada pneumosit tipe – I paru yang matur dibandingkan pada sel – sel yang lain. RAGE juga diekspresikan dalam kadar yang tinggi pada kondisi yang menyertai inflamasi seperti kelainan – kelainan vaskular, kanker, neurodegenerasi dan diabetes (Cheng et al., 2012).
4. Reactive Oxygen Species ( ROS )
Pada sel yang sehat ROS cepat didegradasi dan dikeluarkan dari tubuh oleh sistem antioksidan yang ada di dalam tubuh seseorang, terdapat keseimbangan antara oksigen radikal dengan antioksidan. Stres oksidatif menyebabkan gangguan keseimbangan sistem tersebut. Malondialdehid (MDA) merupakan hasil proses metabolisme ROS banyak digunakan sebagai indicator stres oksidatif (Ercan, 2017)
Reactive oxygen species dibentuk dari berbagai proses sinyal seluler, bersumber dari berbagai sumber seluler di dalam sebuah sel dengan mitokondria sebagai sumber terbesar dari pembentukan ROS. Secara umum sumber ini dibagi menjadi dua kategori. Pertama, terdapat proses biologis yang melepas ROS sebagai produk sampingan atau buangan dari berbagai reaksi yang terjadi, dan kedua, terdapat proses yang memang terjadi untuk membentuk ROS, baik pada proses sintesis atau pemecahan secara molekuler sebagai bagian dari jalur transduksi atau mekanisme pertahanan seluler (Morgan, 2011).
commit to user
Gambar 2.9 Sumber ROS Intraseluler (Morgan, 2011)
Keterangan: Mitokondria merupakan sumber terbesar dari ROS, karena reaksi yang terjadi selama proses fosforilasi oksidatif umumnya kehilangan elektron selama transfer antarkompleks rantai transport elektron. Elektron- elektron ini bereaksi dengan oksigen molekuler dan membentuk ROS.
Pembentukan ROS dan oksidasi seluler seringnya ditingkatkan oleh enzim- enzim seperti superoksida dismutase, katalase, dan peroksiredoksin. Sistem ini tidak hanya untuk memperbaiki kerusakan oksidatif, tetapi juga berkontribusi terhadap respon sel secara keseluruhan terhadap ROS dengan berperan sebagai sensor oksidatif pada transduksi sinyal (Morgan, 2011).
Di sisi lain, pada kategori kedua, banyak enzim yang membentuk ROS untuk berbagai tujuan, meskipun tidak ada yang lebih kuat dibandingkan NADPH oksidase fagositik, NOX2 (gp91), yang menggunakan NADPH untuk mereduksi oksigen molekuler sehingga membentuk superoksida. Selain itu, enzim pembentuk ROS seperti lipoksigenase dan siklooksigenase membentuk ROS berfungsi dalam proses katabolik atau anabolik tertentu, dan umumnya menghasilkan ROS yang lebih sedikit dibandingkan NADPH oksidase. Maka, banyak sekali sumber ROS intraseluler yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh commit to user
aktivitas NF-κB (Morgan., 2011).
Reactive oxygen species seperti anion superoksida (O2-) dan hydrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (HO*), terdiri atas spesies oksigen radikal dan nonradikal yang dibentuk dari reduksi oksigen (Rayet al, 2012). Salah satu jenis ROS yang dikenal adalah anion superoksida (O2-) yang diproduksi dengan mereduksi satu elektron dari O2.
Oleh karena itu, faktor kinetik dan termodinamik mendasari donor elektron kepada O2 dalam membentuk ROS. Standar potensi reduksi untuk transfer satu elektron kepada O2 untuk membentuk O2- adalah -160 mV pada pH 7, dengan keadaan standar berupa O2 1 M. Faktor yang menentukan laju pembentukan O2- antara lain adalah konsentrasi enzim atau protein yang membawa elektron yang berada dalam bentuk redoks dan dapat bereaksi dengan O2 sehingga membentuk O2-. Faktor lain adalah [O2] lokal dan konstanta reaksi elektron dengan O2 untuk membentuk O2- (Murphy, 2009).
Selain dari mitokondria, ROS juga dapat dibentuk dari proses eksogen seperti paparan senyawa xenobiotik, memiliki kemampuan meregulasi jalur sinyal seluler seperti mitogen-activated protein kinase (MAPK), Phosphoinositide 3-Kinase (PI3K), dan terlibat dalam proses penuaan atau aging melalui pembentukan protein Shc. Semua kemampuan ini akan menyebabkan kerusakan sel jika ROS melebihi sistem pertahanan antioksidan sehingga kejadian ini disebut sebagai stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan dari asam nukleat, protein, dan lipid dari sel, dan telah berhubungan dengan karsinogenesis, neurodegenerasi, atherosklerosis, fibrosis, dan penuaan. Keterlibatan ROS dalam berbagai patogenesis tidak terbatas pada kerusakan makromolekuler.
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ROS menyebabkan metastasis tumor melalui aktivasi gen (Ray et al., 2012).
commit to user
5. Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α)
Tumor necrosis factor-alpha merupakan sebuah sitokin pleiotropik 17 kDa yang bersifat proinflamatorik. Pertama kali dideskripsikan oleh Carswell et al pada 1975 sebagai komponen berprotein dari serum yang dapat menginduksi kematian sel kanker secara in vitro dan mengeliminasi sarkoma yang ditransplantasikan in vivo. Isolasi molekuler bertahap dan karakterisasi dari gen TNF-α mengindikasikan bahwa sitokin ini adalah sebuah asam amino-212 yang berada di permukaan sel (Park, 2010).
Banyak sel hematopoietik dan non hematopoietik yang menghasilkan TNF- α, seperti makrofag, sel T CD4+ dan CD8+, sel B, sel NK, sel otot polos, sel endotel, dan sel fibroblast. Tumor necrosis factor- alpha diekspresikan sebagai protein prekursor dengan massa molekul sebesar 26 kDa, yang kemudian secara enzimatik dipecah menjadi bentuk aktif sebesar 17 kDa, memiliki dua bentuk yaitu bentuk yang terikat membran dan bentuk yang terlarut, yang keduanya bersifat fungsional (Distler et al, 2008).
Tumor necrosis factor-alpha diproduksi sebagai respon sinyal eksogen, seperti paparan protein bakteri dan virus. Ekspresi TNF-α juga diinduksi oleh stimuli intrinsik seluler berkaitan dengan kerusakan fisik.
Asam nukleat dari mamalia dapat mencetuskan pembentukan TNF-α dan mediator inflamasi lainnya. Antibodi yang spesifik terhadap self-RNA dan oligonukleotida DNA dapat memicu aktivasi TLR-7 dan 9 yang kemudian dapat menghasilkan sitokin proinflamasi seperti TNF-α (Park, 2010).
commit to user
Gambar 2.10 Proses Signaling dari TNF-α (Aggarwal et al., 2011)
Keterangan: Dalam kondisi fisiologis, TNF-α membentuk homotrimers, yang berinteraksi dan berkait silang dan berikatan dengan reseptor transmembran, TNF receptor I (TNFRI; atau disebut juga TNFRβ, p55, atau CD120a) dan TNFRII (disebut juga TNFRα atau p75). Ekspresi TNFRI dikontrol oleh promoter dengan aktivitas basal yang tinggi dan hanya berespon lemah terhadap stimulasi. Sebaliknya, ekspresi TNFRII sangat dipengaruhi terutama oleh faktor eksternal.
Tumor necrosis factor-alpha receptor I dapat memediasi hampir semua aktivitas TNF-α, sementara TNFRII hanya mentransduksi sinyal pada kondisi fisiologis di beberapa jenis sel saja, seperti sel T. Tetapi, TNFRII memainkan peran penting dalam proses sinyal TNFRI. Akibat afinitasnya yang tinggi, TNFRII mengikat TNF-α pada konsentrasi rendah,
commit to user
kemudian TNF-α dilepaskan kepada molekul TNFRI, sehingga TNF-α dapat menjalankan efeknya pada konsentrasi yang lebih rendah (Distler et al., 2008).
Tumor necrosis factor-alpha menginduksi sedikitnya lima tipe sinyal berbeda yang mencakup aktivasi NF-κB, jalur apoptosis, extracellular signal-regulated kinase (ERK), p38 mitogen-activated protein kinase (p38MAPK), dan c-Jun N-terminal kinase (JNK) Ketika TNF-α berikatan dengan TNFR1, akan merekrut sebuah protein TNFR- associated death domain (TRADD) yang akan mengundang Fas-associated protein with death domain (FADD) selanjutnya mengaktifkan caspase-8 dan caspase-3, dan memicu apoptosis. Selain itu, TNF-α dapat mengaktifkan mitokondria untuk pelepasan ROS, sitokrom C, dan Bax, menyebabkan aktivasi caspase-9 dan caspase-3 sehingga terjadi apoptosis.
Aktivasi NF-κB oleh TNF-α dimediasi melalui perekruitan TNFR1, TRADD, TNFR-associated factor (TRAF) 2/5, receptor interacting protein (RIP), TGFβ-activated kinase (TAK) I, IκB kinase (IKK), dan fosfolirasi, ubikuitinasi, dan degradasi dari inhibitor factor nuclear- κBα (IκBα), serta translokasi nuklear dari p50 dan p65 dan ikatan DNA.Efek proinflamatorik dari TNF-α dimediasi melalui protein regulator NF- κB seperti IL-6, IL-8, IL-18, kemokin, inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS), siklooksigenase- 2 (COX-2), dan 5-lipoksigenase (5-LOX), semua mediator mayor dari inflamasi. Selain itu, faktanya, TNF-α dapat melepaskan TNF-α sendiri melalui aktivasi NF-κB. TNF-α dapat menginduksi proliferasi seluler melalui aktivasi faktor transkripsi yaitu activator protein (AP)-1 (Aggarwal et al., 2011).
Overekspresi TNF-α dapat memicu fibrosis yang disebabkan oleh infiltrasi neutrofil, makrofag, dan limfosit ke dalam jaringan. Setelah itu, TGF-β dan miofibroblast muncul sehingga proses fibrosis berlanjut. Efek profibrotik dari TNF-α ini dijumpai pada kasus model tikus fibrosis paru dan gagal jantung kongestif. Akumulasi leukosit polimorfonuklear menstimulasi fibroblas dan deposisi dari kolagen (Distler et al., 2008).
commit to user
6. p38
Setidaknya terdapat 3 jenis grup MAPK yang telah diidentifikasi, yaitu extracellular signal-regulated kinase, c-Jun N-terminal kinase, dan p38MAPK (Kokubo et al., 2012). Jalur p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) adalah jalur transduksi sinyal intraseluler yang terlibat dalam produksi mediator proinflamasi, profibrotik, dan patogenesis fibrosis dengan sintesis matriks ekstraseluler. p38 MAPK yang terfosforilasi, menghasilkan fosforilasi sekuensial dan aktivasi kinase. p38 MAPK adalah mediator transduksi sinyal yang terdiri atas empat isoform (α, β, γ, dan δ), di sini isoform α, β, dan δ dominan di ginjal (Lee et al., 2019).
Fosforilasi p38α menghasilkan translokasi ke nukleus dan aktivasi faktor transkripsi yang terlibat dalam produksi mediator proinflamasi, termasuk monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1, juga dikenal sebagai CCL2) dan juga untuk transduksi sinyal reseptor kemokin seperti CCR2, yang merupakan cognate receptor untuk CCL2 dan protein matriks ekstraseluler. Aktivasi p38 MAPK telah dibuktikan pada fibrosis di berbagai organ, termasuk fibrosis paru, fibrosis ginjal, fibrosis membran peritoneal, dan fibrosis jantung. Blokade p38 MAPK telah terbukti menghambat ekspresi kolagen yang diinduksi TGF-β1 pada fibroblas, sel hati, dan sel mesangial (Kokubo et al., 2012; Lee et al., 2019).
7. p50
p50 adalah regulator utama respon imun dan inflamasi, mengontrol ekspresi dari gen yang mengkode sitokin, kemokin, molekul adhesi, dan regulator siklus sel dan apoptosis. Famili NF-κB merupakan faktor transkripsi dimerik yang dibentuk dari kombinasi Rel (c-Rel), p65 (RelA), RelB, p50/p105 (NF-κB1), dan p52/p100 (NF-κB2) yang semuanya berisi sebuah domain homolog Rel yang berevolusi. Prototipe dari NF-κB terdiri atas dimer p50 dan p65 dan umumnya memiliki kompleks inhibitorik dengan IκBα. Sebagai respon dari stimulasi, IκBα difosfolirasi via aktivasi kompleks inhibitory κB kinase (IKK) dan terubikuinasi secara bertahap dan ditargetkan untuk degradasi oleh proteasome 26S. Hal ini menyebabkan
commit to user
pelepasan dimer p50/p65 bertranslokasi ke nukleus untuk aktivasi transkripsi gen yang disebut κB-binding site (Morinelli, 2016; Jagirgar et al., 2019).
Jalur klasik diaktifkan oleh sitokin (IL-1, TNF-α) atau produk bakterial lipopolisakarida (LPS), yang mengaktifkan IKK, kemudian jalur ini akan berlanjut seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Jalur alternatif dipicu oleh CD40 dan limfotoksin yang mengaktifkan IKKα melalui NF- κB inducing kinase (NIK). Fosfolirasi p100 oleh IKKα menyebabkan degradasi parsial dari p100 oleh proteasom untuk pelepasan ReIB:p52 aktif yang bertranslokasi ke nukleus untuk memodulasi ekspresi gen (Jagirdar, 2019).
p50 merupakan protein aktif dan membentuk dimer dengan dirinya sendiri dan subunit NF-κB lain yang dapat mengikat DNA. Mekanisme bagaimana p50 dibentuk masih kontroversial. Tetapi, sudah jelas bahwa baik mekanisme co-translational dan post-translational meregulasi produksi dan pembentukan homodimer p50 dalam sel. Mekanisme co-translational dari p50 dari gen NF-κB1 dimediasi oleh proteasome 26S dan membentuk p50 dari sebuah mRNA tunggal. Homodimer p50 atau (p50)2 berperan sebagai regulator transkripsi pada gen yang berlokasi di kromatin yang terekspresi secara transkripsional dan juga pada lokasi gen yang kromatinnya aktif secara transkripsional. Selain itu, studi menunjukkan bahwa (p50)2 predominan mengikat DNA sel yang belum aktif dengan serine 65. Nucleus factor - κB pada sel yang tidak “terstimulasi”
mengandung homodimer p50, di sini (p50)2 dapat merepresi transkripsi gen yang bergantung pada NF-κB. Selain sebagai repressor transkripsi gen, (p50)2 dapat juga berperan sebagai aktivator transkripsional dengan ko- aktivator yaitu Bcl-3 (Morinelli, 2016; Jagirgar, 2019).
commit to user
Gambar 2.11 Translasi dan Proses Signaling dari NF-κB1 (Pereira, 2008)
Keterangan: Model translasi p50 yang saat ini berkembang adalah melalui mekanisme co-translational dan post- translational. (A) Co- translational; baik p105 dan p50 dapat dibentuk dari mRNA tunggal pada keadaan dependen proteasome. (B) Post-translational; p105 secara utuh ditranlasikan, tetapi produknya kemudian diproses lebih lanjut untuk membentuk p50. (C) Splicing alternatif dari mRNA NF-κB1 membentuk IκBγdan hanya terjadi di jaringan limfoid (Pereira, 2008)
8. Transforming growth factor- beta (TGF-β)
Transforming growth factor-beta adalah protein yang mengendalikan proliferasi, diferensiasi selular, dan fungsi lain di sebagian commit to user
besar sel, memainkan peran dalam imunitas, kanker, penyakit jantung, diabetes, dan sindrom Marfan. Beberapa sel mensekresi TGF-β, dan juga memiliki reseptor untuk TGF-β. Keadaan ini dikenal sebagai mekanisme autokrin. Sel-sel kanker meningkatkan produksi TGF-β, yang bekerja pada sel-sel di sekitarnya. Ada tiga jenis yaitu TGF-β1, TGF-β2, dan TGF- β3 (Jennifer et al., 2009). Transforming growth factor-beta adalah anggota keluarga polipeptida dimer faktor pertumbuhan yang mencakup Bone Morphogenic Proteins (BMP) dan aktivin. Semua faktor pertumbuhan ini terbagi sekelompok residu sistein yang membentuk struktur simpul sistein secara umum bersama ikatan disulfida intramolekul. Hampir setiap sel dalam tubuh, termasuk epitel, endotel, sel hematopoietik, sel saraf, dan sel jaringan ikat, menghasilkan TGF-β dan memiliki reseptor TGF-β tersebut.
TGF-β mengatur proliferasi dan diferensiasi sel, perkembangan embrio, penyembuhan luka, dan angiogenesis (Morinelli, 2016).
Transforming growth factor-beta - β1 pertama kali diidentifikasi pada trombosit manusia sebagai protein dengan berat molekul 25 kD dengan peran potensial dalam penyembuhan luka. Peran penting TGF-β1 adalah dalam mengontrol sistem imun dan menunjukkan aktivitas yang berbeda baik pada berbagai jenis sel atau pada tahapan perkembangan sel yang berbeda. Sebagian besar sel-sel imunokompeten mengekspresikan TGF-β1. Struktur peptida dari ketiga anggota keluarga TGF-β sangat mirip.
Semua disandikan sebagai prekursor protein yang besar. Kandungan asam amino TGF-β1 sebanyak 390 asam amino, TGF-β2 dan TGF-β3 masing- masing mengandung 412 asam amino. Masing-masing memiliki sinyal peptida ujung-N 20-30 asam amino yang dibutuhkan untuk sekresi dari sel.
TGF-β mempunyai sembilan residu sistein, delapan ikatan disulfida dalam molekulnya yang membentuk sebuah struktur sistein yang merupakan ciri khas dari superfamili TGF-β, sementara kesembilan sistein membentuk sebuah ikatan dengan kesembilan sistein molekul TGF-β lainnya sehingga menghasilkan bentuk dimer (Lan, 2011).
commit to user
Tiga jenis TGF-β, yaitu TGF-β1, TGF-β2, dan TGF-β 3. Tiap-tiap bentuk tersebut dikode oleh gen yang berbeda, mRNA TGF-β1 diekspresikan makrofag, endotel, sel hematopoietik dan sel-sel histiosit, mRNA TGF-β2 di sel-sel saraf dan epitel,sedangkan mRNA TGF-β3 utamanya diekspresikan pada sel-sel mesenkimal. Ketiga bentuk TGF-β berbeda afinitas ikatannya pada reseptor TGF- β (Yoshimura et al., 2010).
Transforming growth factor-beta mengatur proses selular dengan cara mengikat tiga reseptor permukaan sel yang dikenal sebagai reseptor tipe I, II, dan III dengan afinitas yang tinggi. Dalam ruang ekstraselular TGF-β terikat oleh reseptor TGF-β tipe III (RIII), yang akan dipresentasikan pada reseptor tipe II (RII), atau secara langsung terikat pada RII yang berada pada permukaan membran sel. Pengikatan TGF-β pada RII, kemudian akan menyebabkan pengikatan reseptor tipe I (RI) untuk menjadi suatu kompleks dan terjadi fosforilasi. Fosforilasi ini akan mengaktivasi kinase protein RI, yang kemudian akan memfosforilasi faktor transkripsi Smad2 atau Smad3.
Smad2 atau Smad3 yang difosforilasi akan terikat pada Smad4 membentuk kompleks Smad, yang akan bergerak dari sitoplasma menuju nukleus.
Dalam nukleus, kompleks Smad berinteraksi secara spesifik dengan berbagai faktor transkripsi untuk mengatur transkripsi gen TGF-β dan memediatori efeknya yang beragam pada tingkat selular (Kokubo et al., 2014).
Bertambah atau berkurangnya produksi TGF-β1 berkaitan dengan sejumlah keadaan penyakit, termasuk aterosklerosis dan glomerulosklerosis dan interstisial fibrosis pada ginjal, hati dan paru-paru, karena TGF-β1 ini merupakan fibrogenik yang kuat, hasil dari stimulasi sintesis matriks dan penghambatan degradasi matriks (Tomino, 2012)
Tomino mendemonstrasikan adanya angiotensin II lokal pada human peritoneal mesothelial cells (HPMC). Hal itu menunjukkan bahwa HPMC mengekspresikan mRNA yang mengkode angiotensinogen, ACE, dan AT1. HPMC juga mempunyai kemampuan menghasilkan angiotensin II. Pembentukan Ang II lokal dipercaya memicu pertumbuhan sel dan matriks ekstraselular, khususnya selama penyembuhan luka. Tampaknya commit to user
terdapat hubungan antara Ang II lokal dan TGF-β.
Pasien diabetes melitus dengan kadar glukosa yang tinggi akan terjadi peningkatan Advanced Glycosylation End Product (AGEP) dan Advance Lipo Oxydation End Product (ALOEP). AGEP merangsang endotel sehingga endotel mengekspresikan endotelin. Endotelin menyebabkan vasokonstriksi dan hipoksia pada Apparatus Jucta Glomerularis. Apparatus Glomerularis akan mengekspresikan renin dan akhirnya meningkatkan ekspresi angiotensin II. Angiotensin II merangsang makrofag untuk memproduksi TGF-β1, TGF-β1 selanjutnya akan merangsang fibroblas dan sel otot polos mengekspresikan kolagen tipe-I sehingga terjadi fibrosis interstisial (Kariya et al., 2017).
9. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
Vascular Endothelial Growth Factor adalah subfamili dari platelet derived growth family, memiliki peranan penting sebagai sinyal protein dalam proses vaskulogenesis dan angiogenesis. Keterlibatan VEGF dalam fibrosis dan angiogenesis membran peritoneum, melalui jalur TGF-β- VEGF dalam sel mesothelial dan fibroblast. Penghambatan VEGF dapat memperbaiki angiogenesis patologis. Tingkat VEGF pasien dengan CAPD dilaporkan berkorelasi dengan rasio dialysate-to-plasmakreatinin. Kadar VEGF mRNA di jaringan peritoneal berkorelasi dengan jumlah pembuluh darah dan ketebalan peritoneal pada pasien gagal UF (Lia et al., 2019).
Blokade VEGF tidak hanya menghambat angiogenesis melalui penurunan VEGF dan ekspresi angiopoietin-1 dan -2, tetapi juga dapat menekan perkembangan fibrosis peritoneal (Tomino, 2012).
commit to user
Gambar 2.12 Jalur TGF-1-VEGF-A dalam kerusakan membran peritoneum akibat dialisis peritoneal (Kariya et al., 2017) Keterangan: Vascular Endothelial Growth Factor-A sebagai salah satu faktor angiogenik utama, dilaporkan berkorelasi dengan permeabilitas peritoneal pada PD. Produksi VEGF-A oleh sel mesothelial, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan makrofag.
Beberapa jenis senyawa, seperti antagonis reseptor mineralokortikoid dan endostatin, dapat menekan fibrosis peritoneal dan neoangiogenesis dengan menekan TGF-1 dan VEGF-A. Efek respon variabel dari stimulasi produksi VEGF-A oleh TGF-1 berkontribusi untuk lebih meningkatkan permeabilitas peritoneal, stimuli proinflamasi, seperti LPS, IL-1, dan hipoksia, menginduksi produksi VEGF-A. Paparan larutan PD, termasuk glukosa, produk akhir glikasi lanjutan (AGE), produk degradasi glukosa (PDB), inflamasi, hipoksia, dan peritonitis terlibat dalam induksi TGF-1 di membran peritoneal. TGF-1 secara langsung menginduksi produksi VEGF-A oleh sel mesothelial peritoneal dan fibroblas (Kariya et al., 2017).
Bukti menunjukkan bahwa VEGF memainkan peran penting dalam commit to user
transportasi peritoneal. Tingkat VEGF dalam limbah PD berkorelasi dengan mass transfer area coefficient (MTAC) nilai kreatinin dan nilai penyerapan glukosa dan berkorelasi negatif dengan ultrafiltrasi transkapiler. Dalam studi cross-sectional pada pasien PD, plasma dan konsentrasi VEGF pada cairan dialisat meningkat pada pasien dengan high average and high transporters dibandingkan dengan low average transporters (Hao et al., 2019).
10. Kolagen
Kolagen adalah protein fibrosa utama dalam matriks ekstraseluler dan jaringan ikat. Terdapat sekurang-kurangnya 16 tipe kolagen, tetapi 80- 90% kolagen dalam tubuh manusia terdiri atas kolagen tipe I, II, dan III (Tabel 2.3). Kolagen dibentuk oleh fibroblast dan sel epitel. Kolagen tipe I, II, dan III terjalin bersama dan membentuk fibril yang tipis dan panjang dengan struktur molekul yang serupa. Di sisi lain, kolagen tipe IV, membentuk retikulum dua dimensi, saling menghubungkan antarkolagen dan antar komponen matriks ekstraseluler (Boin, 2014 ).
Kemampuan kolagen berbeda-beda. Kolagen tipe II yang ditemukan di kartilago memiliki makromolekul yang rigid sehingga dapat menahan atau menyerap benturan. Pada berbagai jaringan ikat, kolagen tipe VI terikat oleh fibril tipe I dan dapat membentuk jaringan serat kolagen yang lebih tebal. Kolagen tipe VI ini unik karena molekulnya terdiri atas regio triple helix yang relatif pendek. Fibril kolagen tipe VI memberikan kesan serupa senar. Selain itu komponen matriks ekstraseluler dapat membentuk lamina basalis seperti yang dibentuk oleh kolagen tipe IV di seluruh lamina basalis. Banyaknya jenis dan fungsi dari kolagen menyebabkan keunikan dan kebutuhan spesifik untuk pembentukannya, dan menjadikan kolagen sangat rentan terhadap mutasi terutama pada residu glisin (Castejon et al., 2011; Boin, 2014).
Tabel 2.3 Molekul Kolagen (Sumber: Castejon et al., 2011) commit to user
Tipe Komposisi Molekul Ciri Khas Struktural
Contoh Jaringan Kolagen Fibrillar
I [α1(I)]2[α2(I)] Panjang fibril 300- nm
Kulit, tendon, tulang, ligament, dentin, jaringan interstitial.
II [α1(II)]3 Panjang fibril 300-
nm
Kartilago, vitreous humor III [α1(III)]3 Panjang fibril 300-
nm sering dengan tipe I
Kulit, otot, pembuluh darah
V [α1(V)]3 Panjang fibril 390-
nm dengan domain globular N-
terminal dengan tipe I
Seperti tipe I;
juga sering pada jaringan fetus
Kolagen Terkait Fibril
VI [α1(VI)][α2(VI)] Hubungan lateral dengan tipeI;
domain globular periodik
Sebagian besar jaringan interstitia
IX [α1(IX)][α2(IX)][α3(IX)] Hubungan lateral dengan tipeII;
domain globular N-terminal; terikat glycosaminoglycan
Kartilago, vitreous humor
Kolagen Sheet-Forming
IV [α1(IV)]2[α2(IV)] Jalinan
kolagenduadimensi
Semua lamina basalis
Kolagen tipe I merupakan kolagen terbanyak dan paling mudah untuk diamati. Kolagen ini memiliki struktur fundamental panjang 300nm dan tipis (diameter 1,5nm) yang tersusun dari tiga subunit yang saling bertautan: dua rantai α1 (I) dan satu rantai α2 (I). Setiap rantai terdiri atas 1050 asam amino dan membentuk ciri khas yaitu triple helix. Struktur helix triple dari kolagen terbentuk dari tiga asam amino: glisin, prolin, dan hidroksiprolin. Semua asam amino ini membentuk karakteristik pengulangan motif Gly-Pro-X, di sini X dapat berupa asam amino apa saja.
Setiap asam amino memiliki fungsi tertentu. Rantai samping dari glisin, yaitu sebuah atom H, adalah satu-satunya yang dapat menempati ruang dalam pusat helix triple-stranded ini. Ikatan hidrogen menghubungkan commit to user
ikatan peptida NH dari residu glisin dengan kelompok peptida karbonil (C=O) pada polipeptida dan menjaga tiga rantai tetap bersama. Sudut yang dibentuk dari ikatan peptidyl-hydroxyproline atau C – N peptidyl-proline dapat membuat tiap rantai polipeptida terikat ke dalam sebuah helix dengan geometri yang tersusun helix tiga rantai (three-stranded helix) (Castejon et al., 2011).
11. Interleukin 1ß (IL-1β)
Sitokin – sitokin proinflamasi terutama dihasilkan oleh makrofag yang teraktivasi dan terlibat dalam reaksi inflamasi. Interleukin -1β (IL-1β) merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang kuat dan sangat berperan dalam respon pertahanan host terhadap infeksi dan injuri. Interleukin - 1β ini diproduksi dan disekresikan oleh berbagai tipe sel. Berbagai macam penelitian lebih banyak memusatkan perhatian pada produksinya di dalam innate immune system seperti monosit dan makrofag. Akan tetapi, beberapa sel nonimun juga ikut dalam produksi IL-1β ini di antaranya fibroblast dan sel endotel. Produksiya dipicu oleh beberapa keadaan seperti injuri, infeksi, dan inflamasi. Interleukin-1β diproduksi dalam bentuk pro-IL-1β yang merupakan prekursor inaktif berukuran 31kDa. Pro IL-1β ini berespon terhadap molekul- molekul dari patogen yang dinamakan Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMPs) yang didahului dengan proses pengenalan PAMPs oleh pro-IL-1β melewati Pattern Recognition Receptors (PRR’s) yang terdapat pada makrofag yang selanjutnya menginduksi suatu proses sekresi IL-1β aktif (Scheller et al., 2011; Zhang et al., 2017).
12. Interleukin 6 (IL-6)
Interleukin-6 merupakan sitokin proinflamasi yang tidak hanya terlibat pada proses inflamasi dan infeksi namun juga terlibat pada proses - proses metabolik, regenerasi dan proses neural. Interleukin -6 ini mempunyai sifat pleiotropik yang unik sebagai proinflamasi tetapi juga sebagai antiinflamasi. Sifat unik dari IL-6 sebagai proinflamasi dan sebagai commit to user
antiinflamasi ini tergantung pada tipe sel targetnya (Reiss et al., 2017)
Tabel 2.4 Efek Pleiotropik IL-6 sebagai Proinflamasi dan Antiinflamasi (Dikutip dari : Reiss et al., 2017)
PRO INFLAMASI ANTI INFLAMASI
Kemotaksis neutrofil & makrofag Menghambat produksi TNF-α yang diinduksi LPS Menghambat produksi IL- 1
Aktivasi sel endotel Menginduksi reseptor antagonis IL-1
Menginduksi kemokin &
produksi molekul adesi
Menginduksi soluble TNF reseptor tipe 1 (p55)
Menginduksi proliferasi
sel T diferensiasi sel T sitotoksik promosi produksi VEGF
Menginduksi respon fase akut
Secara prinsip, IL-6 menginduksi sintesis protein fase akut melalui stimulasi terhadap hepatosit yang dapat menimbulkan konsekuensi berupa demam dan anemia. Protein fase akut yang diinduksi oleh IL-6 meliputi C- reaktif protein (CRP), β2-fibrinogen, protein amyloid, haptoglobin, dan hemopexin. Peningkatan amiloid dan CRP berhubungan dengan terjadinya aterosklerosis. Interleukin 6 juga berperan sebagai antiinflamasi dengan jalan menghambat Tumor Necrosis Factor (TNF)-α dan produksi IL- 1dengan jalan menginduksi antagonis reseptor IL-1 dan reseptor p55 TNF- α (Reiss et al., 2017)
Aktivitas IL-6 terjadi apabila berikatan dengan reseptor . Reseptor ini mempunyai dua komponen membran glikoprotein yaitu: komponen berat molekul 80 kDa yang mengikat IL-6 dengan afinitas yang lemah (IL-6R) dan komponen dengan berat molekul 130 kDa yang mengikat IL-6 melalui suatu kompleks dengan afinitas tinggi (Scheller et al., 2011).
13. Asam folat
commit to user
Gambar 2.13 Struktur Asam Folat (Brunton et al., 2012)
Keterangan: Asam folat , N - [p[[ (2-amino – 4 hydroxy – 6 - pteridinyl) methyl] - amino] benzoyl] - L - glutamic acid, merupakan suatu vitamin B kompleks yang mengandung suatu pteridine yang dihubungkan oleh para-aminobenzoic acid bridge bergabung dengan asam glutamate (Brunton et al., 2012).
Asam folat merupakan turunan vitamin B. Sumber asam folat banyak berasal dari sayuran hijau, makanan yang difortifikasi, dan suplemen.
Beberapa penyakit kardiovaskular dan kanker berhubungan dengan defisiensi as folat. Asam folat mempertahankan kadar homosistein dan nitric oxide suatu vasodilator selanjutnya memperbaiki disfungsi endotel melalui penghambatan proses inflamasi. Asam folat mempunyai peranan penting sebagai kofaktor dalam metabolism karbon. Defisiensi folat dapat menimbulkan berbagai macam kelainan baik berupa kelainan degeneratif, kanker, kelainan metabolik maupun psikiatri. Akhir-akhir ini mulai banyak pengetahuan ternyata kelainan–kelainan tersebut berhubungan dengan proses inflamasi baik inflamasi akut maupun kronik. Banyak penelitian yang menghubungkan antara asam folat, homosistein, dan inflamasi.
Inflamasi akan berakibat terjadinya kerusakan sel dan proliferasi sel yang commit to user
berakibat buruk seperti terjadinya karsinogenesis (Abbenhardt et al., 2014).
Asam folat merupakan vitamin yang larut dalam air. Asam folat ini banyak ditemukan di dalam bahan alamiah, dan mempunyai banyak manfaat terutama untuk mencegah kerusakan sel, pada wanita hamil sangat bermanfaat untuk pertumbuhan janin dan mencegah cacat pada bayi. Dosis yang dianjurkan adalah sebesar 400 mikrogram per hari. Bahan makanan yang banyak mengandung asam folat diantaranya asparagus, telur (satu butir telur ukuran besar mengandung 22 mcg asam folat), sayur-sayuran hijau (30 gram bayam mengandung 58,2 mcg asam folat, 90 gram brokoli mengandung57 mcg asam folat), papaya (140 gram papaya mengandung 53 mcg asam folat, alpukat (setengah butir alpukat mengandung 82 mcg asam folat) (Brunton et al., 2012; Canciollo et al., 2017).
commit to user
B. Kerangka Teori Penelitian
PGK 5
PD
pH Cairan Rendah Glukosa Cairan Tinggi
Osmolalitas Tinggi
Asam folat
↑↑Homosistein↓ AGEMyD88
↑↑NADPH ↓ TRAF6 Sel-sel
TAK-1 Mesotel
ROS merusak
↑↑MDA↓ IKB NFKB JNK
c-Jun fibroblast
inflamation
↑↑IL-1↓↑↑ IL-6↓
↑↑ Smad 2,3,4 ↓
↑↑ ECM ↓
Hepatosit ↑↑KOLAGEN ↓
AT1R Disfungsi CRP endotel
kegagalan UF
↑↑p50↓
↑↑ fibrosis peritoneal ↓ p38
↑↑TGF-β ↓
↑↑TNF α↓ ↑↑IL-1↓ ↑↑IL-6↓
↑↑Kebocoran Makromolekul↓
↑↑Angiogenesis permeabilitas
vascular ↓
↑↑VEGF↓
commit to user