• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 Melalui Mekanisme Yudisial dan Non-Yudisial T2 322014005 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 Melalui Mekanisme Yudisial dan Non-Yudisial T2 322014005 BAB I"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

“The struggle of man against power

is the struggle of memory against forgetting”

--- Milan Kundera---,

(The Book of Laughter and Forgetting)

Krisis politik pasca Gestapu (Gerakan 30 September 1965)

yang belakangan peristiwa tersebut yang oleh Pemerintah Orde Baru

disebut dengan G30S/PKI.1 Penyebutan G30 S/PKI oleh orde baru sebagai justifikasi bahwa tragedi politik 1965 yang mengakibatkan

terbunuhnya 6 jenderal di daerah Halim Perdanakusuma didalangi oleh

Partai Komunis Indonesia (PKI). Selanjutnya peristiwa 30 September

1965 tersebut berimplikasinya terhadap lahirnya dua keputusan penting

yaitu :

Pertama; lahirnya Komando Pemilihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibentuk setelah terjadinya peristiwa

G30S, tepatnya pada 10 Oktober 1965.2 Meskipun menurut Baskara,

1

Sulistyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu : Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) : Jakarta, 2011. Hal. 2.

2

(2)

status hukum Kopkamtib tidak jelas, namun kuat. Lembaga Kopkamtib

yang berdiri sejak 3 Oktober 1965 dan kemudian diresmikan melalui

deklarasi pada 10 Oktober 1965 dengan berbagai bentuk kegiatannya

yang seringkali mengabaikan hukum, hak asasi manusia.3

Kedua; pada tanggal 13 Maret 1966, dimana pemerintah

mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor :

XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,

Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara

Indonesia bagi PKI dan Larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan

atau Mengembangkan Faham atau Ajaran

Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Dua keputusan itu menurut Aswi Warman Adam, memunculkan

epilog gerakan 30 september serta serangkaian peristiwa (1) peristiwa

satu malam pada tanggal 30 September 1965, (2) penangkapan,

penahanan, perburuan, pembunuhan missal yang memakan korban

minimal setengah juta jiwa 1965/1966, (3) pencabutan paspor

mahasiswa Indonesia di luar negeri sehingga mereka menjadi orang

terbuang atau manusia eksil, (4) pembuangan paksa lebih dari 10.000

3

(3)

orang ke Pulau Buru (1960-1979), (5) stigma dan diskriminasi terhadap

jutaan keluarga korban 1965.4

Sedangkan Baskoro T Wardaya5, melihat bahwa pasca peristiwa 30 September 1965, ditandai dengan dimunculkannya histeria

anti-komunis berupa penangkapan, penyiksaan, pembunuhan serta

pembuangan jutaan orang yang dituduh berideologi kiri.

Pendapat senada datang dari John Rosa, yang mensinyalir

Suharto dengan rezim “Orde Baru” menuduh Partai Komunis Indonesia

(PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun rencana

pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu.6 Masih menurut Rosa, dalam salah satu pertumpahan darah terburuk di abad

kedua puluh, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang

berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali,

dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966. Bahkan laporan dari jurnalis

asing yang melakukan liputan di Indonesia, menyebutkan beberapa angka

fantastik tentang pembantaian PKI7. Wartawan pertama yang melakukan

4

Marwan Adam, Asvi, Melawan Lupa, Menepis Stigma setelah Prahara 1965,‟ PT. Kompas Media Nusantara, 2015. Hal viii.

5

Wardaya T, Opcit. Hal 61.

6

Rosa, John, Dalih Pembunuhan Massal, Kudeta 30 Septeember dan Kudeta Suharto,Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. Hal. 5

7

(4)

penyelidikan, Gambaran serupa juga diungkapkan Cribb8, tentara bersama-sama dengan beberapa organisasi Muslim dan lain-lain

meluncurkan pembantaian komunis dan pendukung organisasi massa

mereka, dengan perkiraan orang mati berkisar antara 300.000 dan 1 juta.

Masih menurut Cribb, dalam Asvi M Adam, bahwa Kopkamtib dalam

salah satu laporannya menyebut angka 1 juta jiwa (800.000 di Jawa

Tengah dan Jawa Timur serta masing-masing 100.000,- di Bali dan

Sumatera.9

Disisi lain Rezim baru itupun memulai dengan penangkapan 10

menteri dalam Kabinet Presidium Soekarno pada 12 Maret 1966 atas

perintah Soeharto. Kemudian penangkapan dan pencopotan sekitar 250

anggota DPRS yang disusul pula dengan pembubaran dan pelarangan

semua lembaga dan barisan pendukung politik Soekarno.10

Gerakan penahanan dan pembantaian terhadap orang-orang PKI

tahun 1965 tanpa proses pengadilan ataupun pembuktian bersalah

sebagaimana dijelaskan diatas, yang kemudian oleh peneliti dimaknai

sebagai extra judicial killings 1965. Extrajudicial killing adalah tindakan

penundaan. PKI juga menyerukan petani untuk mulai melaksanakan reformasi tanah mereka sendiri. Di daerah-daerah seperti Jawa Timur dan bagian dari Bali reformasi tanah adalah penyebab utama konflik. (Dr Katharine & Mc Gregor. The Indonesian Killings of 1965-1966. Tahun 2009)

8

Cribb,Robert & Audrey Kahin. Historical Dictionary of Indonesia. (Seconds Edition). (USA : Scarecrow Press Inc. 2004). Hal. Xxiv.

9

Marwan Adam, Asvi. Op.Cit. Hal. 33.

10

(5)

pembunuhan yang dilakukan diluar Pengadilan, artinya tidak ada proses

hukum terlebih dahulu yang memberikan justifikasi hukum bahwa

orang-orang PKI itu bersalah.

Apapun dalihnya tindakan extrajudicial killings terhadap

simpatisan, anggota serta pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI)

pasca peristiwa politik 30 September 1965, merupakan tindakan yang

bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia., sebagaimana

disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam

Preambule UUD 1945 secara filosofis, memuat makna bagaimana negara

ini 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan

kehidupan bangsa; dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, Perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam konteks lain, penghukuman yang dilakukan tanpa proses

pengadilan merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan

yang terkandung dalam Pasal 1 Ayat (3), Undang-Undang Dasar 1945.

Konsep negara hukum sebagaimana Plato (429-347 SM) kemukakan

terkait dengan “nomoi”, dimana dalam suatu Negara Hukum semua

(6)

Penguasa atau raja harus dicegah agar mereka tidak bertindak

sewenang-wenang.11

Apa yang dilakukan negara terhadap tindakan extrajudicial

killings adalah diluar apa yang Plato, Aristoteles serta Juergens

Habermas inginkan. Negara justru bertindak diluar hukum yang

disepakati bersama dengan masyarakat sebagaimana Habermas

kemukakan. Secara lebih jauh negara yang seharusnya hadir untuk

melindungan terhadap warga negaranya, justru negara lewat kekuasaan

yang telah diselewengkan menjadi bagian dari pelaku extrajudicial

killings itu sendiri.

Dalam Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social

and Cultural Rights, Maastricht, January 22-26, 1997, negara

berkewajiban melindungi hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya, dengan memberlakukan tiga jenis kewajiban pada

Negara, yaitu: kewajiban untuk menghormati, melindungi dan

memenuhi. Sehingga kegagalan untuk melakukan salah satu dari tiga

kewajiban tersebut merupakan pelanggaran hak yang dilakukan oleh

negara.

Maka terhadap pembantaian orang-orang PKI, itu terjadi karena

adanya tindakan langsung dari Negara (act commission) atau pembiaran

11

(7)

dari Negara (act of ommission). Jika dilihat dalam perspektif Mastrich

Guidelines, pelanggaran terhadap kemanusiaan, yaitu :

a) Acts of Commission (tindakan untuk melakukan) oleh pihak

negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara.

b) Acts of ommission (tindakan pembiaran) oleh negara,

termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang tidak diproses secara hukum.12

Ada banyak peraturan perundang-undangan yang dilanggar

dalam hal Extra judicial killings terhadap orang-orang PKI.

Termasukjuga terjadi penyimpangan terhadap asas Presumption of

innocence (praduga tak bersalah), di mana seseorang dinyatakan tidak

bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah.

Apalagi menurut Cesare Beccaria(1764) “No man may be called

guilty before the judge has reached his verdict”13. Kemudian Beccaria dalam Marquis Beccaria14, melanjutkan, bahwa :

“What right, then, but that of power, can authorise the

Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, 2012 SETARA Institute,17 Desember2012. Hlm. 2-3

13

Beccaria, Cesare,‟On Crimes and Punishments' and Other Writings,” Cambridge Texts in the History of Political Thought. 1995. Hal. 39.

14

(8)

unnecessary. If he be not guilty, you torture the innocent; for, in the eye of the law, every man is innocent, whose crime has not been proved”.

Oleh karena itu, sejalan dengan, Beccaria, bahwa penyiksaan

kejam dan biadab dan melanggar prinsip bahwa tidak ada yang harus

dihukum sampai terbukti bersalah di pengadilan; dengan kata lain itu

adalah hak penguasa, maka tidak boleh terjadi. Extrajudicial killings bisa

dikatakan tindakan yang melawan hukum itu sendiri.

Serentetan extrajudicial killings 1965 yang telah meruntuhkan

nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa lagi dikesampingkan atau dibiarkan

berhenti begitu saja. Apalagi kejahatan-kejahatan tersebut tidak

mengenal daluarsa (non-statutory limiitation), sehingga tidak ada batas

waktu dalam penuntutannya.15 Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 46 : “Untuk

pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai

kadaluarsa”.

Oleh karena itu atas peristiwa extrajudicial killings 1965 perlu

alternatif penyelesaian hukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan dimasa

lalu. Upaya penyelesaian terhadap extrajudicial killings 1965 itu sangat

penting untuk mengungkap tabir gelap tentang kebenaran sejarah, disamping

upaya mewujudkan rasa keadilan bagi korban maupun keluarga korban.

15

(9)

Dari alasandiatas, penulis mencoba mengajukan “Alternatif

Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 melalui Mekanisme

Yudisial atau Non-yudisial. Pemilihan terhadap alternatif penyelesaian

jalur Penal (judicial proceedings), dilakukan melalui :

1) Pengadilan HAM Ad Hoc, dasar hukumnya adalah UU No.

26 Tahun 2000, (Hukum Nasional) tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia, dimana Pasal 7, bahwa : “Pelanggaran hak asasi manusia

yang berat, meliputi : a) Kejahatan Genosida; b) Kejahatan terhadap

kemanusiaan”.Berdasarkan data-data diatas, maka extra judicial killings

1965 terhadap orang-orang PKI, menurut penulis termasuk kategori

kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dijelaskan dalam UU No.

26 Tahun 2000, Pasal 9, mengenai Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Maka, tentu saja bagi siapapun yang melanggar Pasal 9, harus diperiksa

dan diputuskan dalam Pengadilan Ham sebagaimana UU No. 26 Tahun

2000, Bab VII Pengadilan Ad Hoc, Pasal 43, ayat (1) Pelanggaran hak

asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya

Undang-Undang ini, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM ad hoc.

2) Hybrid Tribunal (Pengadilan campuran) atau

(internationalized domestic tribunal) yang mengacu pada perpaduan

hukum lokal (indonesia) dan hukum internasional, yang dilakukan

(10)

Sebelumnya Hukum Internasional telah mengatur penyelesaian

kejahatanterhadap kemanusiaan, melalui jalur pengadilan. Dan itu dapat

dilihat dalam Pengadilan Pidana Internasional ad hoc, untuk kejahatan

Nazi (International Military Tribunal for Nurnberg/IMTN) dan kejahatan

perang Jepang (International Military Tribunal for Tokyo/IMTT),

kejahatan Genosida bisa dilihat dalam International Criminal Tribunal

for Yugoslavia/ICTY) di Yugoslavia dan International Criminal.

Kemudian dewasa ini telah ada mekanisme pengadilan campuran atau

Hybrid Tribunal”, sebagai penyelesaian kasus hak asasi manusia, seperti

yang telah dilakukan dibeberapa negara; 1) Timor Leste (the serious

crimes panels of the district court of Dili)) melalui Resolusi PBB Nomor:

1272 tahun 1999, yang diawali dengan pembentukan The United Nations

Transitional Administration in East Timor (UNTAET), berdasarkan

Regulasi UNTAET 2000. 2) Kosovo (the Regulation 64 Panels in the

courts of Kosovo) tahun 1999, dengan Resolusi PBB Nomor : 1244, 3)

Sierra Leone (the special court for Sierra Leone) tahun 2000, melalui

Resolusi PBB Nomor : 1315 tentang pembentukan Pengadilan Campuran

(hybrid); 4) Kamboja (the extraordinary chambers in the Courts of

Cambodia), tahun 2003, yang dibentuk antara Pemerintah Kamboja dan

(11)

Umum PBB A/RES/57/228 B, yang berisi tentang pembentukan

Extraordinary Chamber in the court of cambodia (ECCC)16.

Hybrid Tribunal, dimaksudkan jika tidak dimungkinkan negara

dimana pelaku kejahatan kemanusiaan melakukan proses penyelesaian,

sehingga tidak ada upaya lain kecuali, dengan menggunakan Hybrid

Tribunal. Pengadilan campuran ini, dilaksanakan tetap menghormati

yuridiksi negara yang bersangkutan, karena pelaksanaannya berada di

negara tersebut.Menurut Tolib Efendi, ciri khas utama Hybrid tribunal

adalah adanya komposisi campuran antara elemen-elemen domistik dan

internasional.17

Contoh pendekatan yudisial yang hampir sama pernah dilakukan

pada kasus “Relokasi dan Internment Penduduk Sipil” warga AS

keturunan Jepang. Hampir 120.000 orang Jepang-Amerika diinternir

(dipaksa pindah dan dibatasi) oleh militer AS menyusul serangan Jepang

di Pearl Harbor 1941. Melalui the Civil Liberties Act, 10 Agustus 1988,

yang menyatakan permintaan AS atas pelanggaran HAM masa lalu

terhadap warga negara AS keturunan Jepang dan sekaligus mengakui hak

mereka untuk mengajukan gugatan.18

16

Effendi, Tolib, Hukum Pidana Internaasional, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2014. Hal. 46.

17

Effendi, Tolib, Ibid. Hal. 218.

18

(12)

Bahwa the Civil Liberties Act, 1988, menunjukkan kebesaran dari negara yang telah mengakui kesalahannya, kemudian meminta maaf

dan memberikan ganti rugi. Disitu juga ada tanggungjawab negara

terhadap persoalan HAM masa lalu.

Selanjutnya proses penyelesaian extra judicial killingadalah

melalui Jalur Non Penal atau diluar Pengadilan. Proses ini sesungguhnya

juga disebut dengan Proses (restorative justice) yang dilakukan melalui

kebijakan (diskresi) dan diversi, ---- pengalihan dari proses penal menuju

non penal--- Bagaimanapun pendekatan restorative justice lebih memfokuskan pada terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku

maupun korban.

Adapun Penyelesaian melalui Non Penal atau diluar pengadilan

atau restorative justice adalah dengan menggunakan :

1) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi / KKR (Truth and Reconciliation

Commission). Dasar hukum Komisi kebenaran dan rekonsiliasi adalah

UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 47, ayat (1) dan (2), yang berbunyi :

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenanran dan Rekonsiliasi.

(2) Komisi Kebenanaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and

(13)

ditempuh di beberapa negara dunia ketiga, yang intinya untuk

menggapai keadilan transisional. Disamping itu keberadaan Komisi

Kebenaran atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah sebuah

komisi yang ditugasi untuk menemukan dan mengungkapkan

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada masa lampau oleh

suatu pemerintahan, dengan harapan menyelesaikan konflik yang

tertinggal dari masa lalu19.

Konsep tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR) juga sudah dilaksanakan dibeberapa negara

seperti Afrika Selatan, KKR dibentuk oleh Presiden Nelson

Mandela setelah berakhirnya apartheid. Di Afrika Selatan, KKR

dibentuk melalui 3 Komite, yaitu :

 Komite Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia yang meneliti

pelanggaran HAM yang terjadi antara 1960 dan 1994.

 Komite Ganti Rugi dan Rehabilitasi yang bertugas memulihkan

harga diri si korban dan merumuskan proposal untuk membantu

dengan rehabilitasi.

 Komite Amnesti mempertimbangkan permohonan amnesti yang

diajukan sesuai dengan isi Undang-undang No. 35/1995.

19

(14)

Sedangkan di Argentina, upaya penyelesaian kejahatan

terhadap kemanusiaan dilakukan dengan pembentukan Comision

Nacional sobre de la Desaparicion de Personas(Komisi Nasional

untuk Penghilangan Paksa) pada tahun 1983, yang bertujuan

menyelidiki hilangnya 9.000 penduduk sipil, selama rezim militer

berkuasa pada 1976 hingga 1983. Di Peru dibentuk Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi (Comisión de la Verdad y Reconciliación), pada

tanggal13 Juli 2001, yang bertujuan untuk menyelidiki kejahatan

terhadap kemanusian dengan 30.000 orang mati dan 6.000 orang

hilang, yang terjadi pada 3 rezim pemerintahan sebelumnya.

2) Komisi Islah dan Rehabilitasi

Komisi ini sesungguhnya merupakan upaya penyelesaian

kejahatan kemanusiaan dengan cara “cultural” atau disebut

penyelesaian ala indonesia. Sebagaimana digelarnya simposium

bertajuk "membedah tragedi 1965”, pada 18-19 April 2016. Acara

yang diprakarsai oleh Menko Polhukam dengan menghadirkan

sejumlah narasumber, baik tokoh TNI yang terlibat dalam

penumpasan PKI, keluarga PKI, akademisi, dan sejumlah aktivis

HAM. Acara yang diselenggarakan bertujuan mencari format

rekonsialiasi korban dan pelaku kekerasan yang terjadi 1965.

Gagasan Komisi “Islah” dan Rehabilitasi, menurut penulis

(15)

tribunals serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang

banyak mendapatkan tentangan. Meskipun Komisi “Islah” dan

Rehabilitasi hampir sama dengan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi,

tetapi, “Islah” yang diambil dalam bahasa arab atau artinya

“Perdamaian”, menurut tradisi masyarakat islam indonesia lebih

ramah dan islami, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan.

Sebagaimana “islah” digunakan untuk menyelesaikan konflik

“agama”, organisasi keagamaan, serta organisasi politik berbasis

islam. Begitu juuga dengan ruang lingkup islah yang cukup luas,

yaitu mencakup aspek-aspek segi kehidupan manusia baik pribadi

maupun sosial.Oleh karena itu Islah adalah proses mendamaikan

pihak-pihak yang bertikai dengan menghilangkan segala bentuk

pertikaian dan permusuhan atau dendam yang berkepanjangan yang

dapat merugikan semua pihak. Dalam konteks extra judicial killings

1965, setidaknya telah memunculkan pertikaian, permusuhan dan

dendam berkepanjangan, sehingga apapun model penyelesaiannya

tanpa dilandasi semangat islah justru akan menimbulkan permusuhan

baru.

Meskipun demikian, perlunya “komisi islah dan rehabilitasi”

merupakan upaya meminimalisir munculnya permusuhan baru dalam

proses penyelesaian extrajudicial killings 1965 dengan menggunakan

(16)

Pada prinsipnya upaya penyelesaian extrajudicial killings 1965

baik menurut mekanisme yudisial maupun non yudisial, penulis

menekankan pada pentingnya tanggung jawab negara (state 0f liability)

terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Bagaimanapun tindakan

extrajudicial killings 1965 merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia

berat, dimana sudah menjadi kewajiban semua negara yang harus

bertanggungjawab dan wajib melindungi warga negaranya yang

berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasarnya yaitu hak hidup, hak

kebebasan, hak untuk mendapat perlindungan, dll. Sebagaimana

pendapat Sujatmoko, secara hukum negara merupakan pihak yang

berkewajiban untuk melindungi (protect), menjamin (ensure) dan

memenuhi (fulfil) Hak Asasi Manusia.20

Pelanggaran Hak Asasi Manusia telah dengan jelas mengatur

mengenai siapa yang harus bertanggungjawab. Negara disebut sebagai

state actor, karena. hak asasi manusia merupakan tanggungjawab negara.

Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik

dengan perbuatannya sendiri (acts of commision) maupun oleh karena

kelalaiannya sendiri (acts of ommission).21 Kewenangan negara untuk bertanggungjawab tentu didasarkan pada negara sebagai subyek hukum

20

Sujatmoko, Andrey, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta : Rajawali Pers. 2005.. Hal. 59.

21

(17)

internasional sekaligus sebagai subyek hak asasi manusia. Negara

sebagai aktor atau pemangku kewajiban untuk bertangungjawab

melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, bagi warga

negaranya, sebagaimana kontrak sosial dan politik negara dengan

rakyatnya.

Dalam hukum kebiasaan internasional sebuah negara dianggap

melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of

human rights) jika; 1) negara tidak berupaya melindungi atau justru

meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-derogable

rights22; atau 2) negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau

justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak kejahatan internasional

(international crimes) atau kejahatan serius (serious crimes) yaitu

22

Article 4 of the ICCPR sets out the following rights in the ICCPR from which states can never derogate, even in times of public emergency that threatens the life of the nation: Right to life (art 6); Prohibition of torture, cruel, inhuman and degrading treatment (art 7); Prohibition of medical or scientific experimentation without consent (art 7); Prohibition of slavery, slave trade and servitude (art 8); Prohibition of imprisonment because of inability to fulfil contractual obligation (art 11); Principle of legality in criminal law i.e. the requirement that criminal liability and punishment is limited to clear and precise provisions in the law, that was in force at the time the act or omission took place, except in cases where a later law imposes a lighter penalty (art 15); Recognition everywhere as a person before the law (art 16); Freedom of thought, conscience and religion (art 18).

(18)

kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan

perang.23

Oleh karena itu, dalam upaya penyelesaian extrajudicial killings

1965, dengan model alternatif penyelesaian baik Mekanisme Yudisial

dan Non Yudisial, hal itu penulis maksudkan tidak terlepas dari

tanggungjawab negara. Peran tanggungjawab negara menjadi bagian tak

terpisahkan dari upaya alternatif penyelesaian pelanggaran HAM masa

lalu yaitu extra judicial killings 1965.

II. Rumusan Masalah

Agar peneliti ini dapat memperoleh kajian lengkap “Alternatif

Penyelesaian Extra Judicial Killings 1965, melalui Mekanis Yudisial dan

Non Yudisial”. maka peneliti mengajukan rumusan masalah, meliputi :

Pertama :Bagaimana penyelesaian terhadap extra judicial killings

1965 melalui Mekanisme Yudisial?

Kedua; Bagaimana Alternatif Penyelesaian extra Judicial Killings 1965, melalui Mekanisme Non Yudisial?

III. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian tesis ini, meliputi :

23

(19)

1. Untuk mengetahui konstruksi bagaimana penyelesaian extrajudicial

killings 1965 melalui mekanisme yudisial

2. Untuk mengetahui konstruksi bagaimana alternatif penyelesaian

extrajudicial killings 1965 melalui mekanisme non yudisial.

IV. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, akan dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Manfaat Teroritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum serta memberikan

alternatif penyelesaian pelanggaran terhadap kemanusiaan yang

terjadi dimasa lalu.

2. Manfaat Praktis.

Penelitian ini secara praktis diharapkan memberikan

masukan kepada :

a. Universitas atau dunia ilmiah sehingga penelitian ini mampu

memberikan kontribusi dalam pengembangan keilmuan

terutama yang berkaitan langsung dengan penyelesaian hak

asasi manusia atau kajian ilmu hukum pidana Internasional.

b. Pemerintah Indonesia, sehingga penelitian ini memberikan

(20)

mengkaji kembali beberapa persoalan yang berkaitan dengan

pelanggaran terhadap kemanusiaan dimasa lalu.

c. Organisasi yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia untuk

melakukan kajian bersama yang hasilnya dapat merumuskan

konsep-konsep perlindungan dan penegakan hukum.

V. Landasan Teori

a. Teori tentang Hak Asasi

Gagasan menegenai hak asasi, tentu tidak dari tokoh

sekaliber John Locke, Jean Jacques Rousseau dan Thomas Hobbes.

Bahkan John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias

Politica Montesquieu. Ketiganya Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau,

John Locke termasuk tokoh yang mengembangkan teori perjanjian

masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah

kontrak sosial (contract social). Thomas Hobbes sendiri juga melihat

bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi

keadaan yang disebutnya “homo homini lupus, bellum omnium

contra omnes”. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya

bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut

„Leviathan‟.

Keadaaan seperti itu dalam pandangan Thomas Hobbes perlu

(21)

sehingga mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat yang

intinya rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Tapi

pandangan Hobbes ini dianggap sebagai biangnya monarki absolute.

Beda Hobbes, beda pula John Locke, yang lebih mementingkan

adanya keseimbangan hak individu masyarakat, sehingga

hak-hak individu masyarakat masyarakat tidak sepenuhnya dikuasai oleh

penguasa. Dan hanya hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian

negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada

masing-masing individu.

Lantas, John Locke24dalam bukunya “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration

mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu

dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan

kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat

dicabut atau dipreteli oleh negara.Locke kemudian mendefinisikan

kekuasaan politik sebagai sebagai hak untuk membuat

undang-undang untuk melindungi dan regulasi kepemilikan. Dalam

pandangannya, hukum-hukum ini hanya bekerja karena orang-orang

24

(22)

menerima mereka dan karena mereka adalah untuk kebaikan

publik25.

“Defines political power as the right to make laws for the

protection and regulation of property. In his view, these laws only work because the people accept them and because they

are for the public good”.

Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut

dalam dua macam, yang disebutnya sebagai “Second Treaties of

Civil Goverment”. The first treaty atau disebut “Pactum Unionis”

yang oleh John Locke sendiri dimaksudkan sebagai “Men by nature

are all free, equal, and independent, no one can be put out of this

estate, and subjected to the political power another, without his own

consent, which other men to join and unite into a community for

their comfortable, stafe and peaceable, living one amongs

another”26. merupakan perjanjian diantara masyarakat sendiri, ini kemudian membentuk masyarakat politik dan negara.

Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai

Pactum Subjectionis”, Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap

persetujuan antarindividu (pactum unionis) terbentuk atas dasar

suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak

25

John Locke. (1634–1704), Two Treatises of Government. http://www.sparknotes.com/philosophy/johnlocke/section2.rhtml

26

(23)

yang tak tertanggalkan, yakni life, liberty serta estate, maka adalah

logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada

masing-masing individu. Oleh karena itu Locke selalu beranggapan

bahwa kebebasan manusia secara alami untuk bebas dari kekuatan

superior di bumi, dan manusia tidak berada di bawah kehendak atau

kekuasaan legislatif, tetapi hanya memiliki hukum alam pada

kekuasaannya. Kebebasan manusia dalam masyarakat adalah untuk

berada di bawah kekuasaan legislatif lain tetapi yang ditetapkan oleh

persetujuan dalam persemakmuran, atau di bawah kekuasaan apapun

akan, atau menahan diri dari hukum, tapi apa yang akan

memberlakukan legislatif sesuai dengan menempatkan

kepercayaandi dalamnya.

The natural liberty of man is to be free from any superior power on earth, and not to be under the will or legislative authority of man, but to have only the law of Nature for his rule. The liberty of man in society is to be under no other legislative power but that established by consent in the commonwealth, nor under the dominion of any will, or restraint of any law, but what that legislative shall enact according to the trust putin it.27

Bahkan secara lebih lanjut Locke mengatakan, The state of

nature is governed by a law that creates obligations for everyone.

27

(24)

And reason, which is that law, teaches anyone who takes the trouble

to consult it, that because we are all equal and independent, no-one

ought toharm anyone else in his life, health, liberty, or

possessions”.28

“Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian hari

dijadikan landasan bagi pengakuan HAM. Sebagaimana yang

kemudian terlihat dalam Declaration of Independence AS yang pada

4 Juli 1776 telah disetujui Congress yang mewakili 13 negara baru

yang bersatu. Kalimat kedua dari Declaration of Independence

tersebut membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke:

We hold these truth to be self evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty, and the persuit of happiness. That, to secure these rights, government are instituted among men, deriving their just

powers from the concent of the governed”.29

Maka dari itu hak asasi manusia merupakan suatu konsep

etika dalam politik modern yang didalamnya berisi pokok

penghargaan dan penghormatan yang tinggi terhadap nilai-nilai

kemanusiaan. Sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia 1948, Pasal 1, :

28

John, Locke.Ibid. Hal. 4

29

(25)

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”30.

Spesifikasi hak-hak yang berikut, terus dalam bentuk dan isi

tradisi diresmikan oleh para wakil rakyat dari Virginia yang dalam

deklarasi mereka 12 Juni 1776 menegaskan bahwa:

All men are by nature equally free and independent, and have certain inherent rights, of which when they enter into a state of society, they cannot by any compact deprive or divest their posterity; namely, the enjoyment of life and liberty, with the means of acquiring and possessing property, and pursuing and obtaining happiness and safety.

Betapa agung dan pentingnya hak asasi manusia, sebagai

potret tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan,

sehingga dalam Undang-Undang Dasar 1945, juga disebutkan dalam

Pasal 28A, :

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Hak sendiri sangat berimpitan dengan moralitas dan politk,

karena Moralitas politik memberikan prinsip-prinsip yang harus

mengatur aksi politik. Ketika itu termasuk prinsip hak-hak individu

itu pada dasarnya berkaitan dengan individu, diambil satu per satu,

30

(26)

bukan dengan masyarakat secara keseluruhan. ebagaimana

dijelaskan oleh Attracta Ingram31, yaitu :

“What is distinctive about rights, on this approach, is that they are explained in terms of a principle, or complex set of principles, of autonomy. That gives rights a content which fits them to play a leading role in the background morality of liberal democratic politics. The democratic principle of political equality can be specified by autonomy based rights in a way that respects the heterogeneity of ends and ideals to be found among the citizens of modern pluralist democracies.”

Berangkat dari hal tersebut diatas pada dasarnya teori hak

adalah memberikan kesempatan pada setiap orang untuk

memperoleh kebebasan dan mengakses sumber-sumber ekonomi

yang berarti setiap orang berhak hidup layak berdasarkan

sumber-sumber ekonomi yang ada, politik serta hak untuk memperoleh

keadilan.

b. Teori Keadilan Hukum

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal

secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau

orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat

kepentingan yang besar32. Keadilan” dalam bahasa Inggris adalah

31

Attracta Ingram, A Political Theory of Rights. New York : Published by Oxford University Press Inc., New York. 1994. Hal. 9

32

(27)

justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice

memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif

berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2)

sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan

yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman

(sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang

berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara dibawa ke

pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).33

Keadilan menurut Friedmen, juga dipahami secara metafisis

keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super manusia,

yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya

ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar

pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan

tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau

keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga.34Adapun konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan

paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls

menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas,

“bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak

untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya

33

http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 24 Maret 2015.

34

(28)

memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan

memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi

mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.35

Pentingnya keadilan dalam peristiwa extra judicial killings

1965, karena ini menyangkut tentang perampasan hak hidup

manusia, dimana mereka dibunuh tanpa ada proses keadilan. Oleh

karena itu pentingnya keadilan transisional dalam peristiwa tersebut.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah

kemanusiaan yang secara prinsip merupakan masalah universal.

Keadilan transisional dalam peristiwa extrajudicial killings 1965

sangat tepat, karena adanya perubahan sebuah rezim dari otoriter ke

demokrasi. Itu artinya perlu ada perubahan terhadap perikehidupan

dalam berbangsa dan bernegara. Keadilan transisional terhadap

kasus extrajudicial killings 1965 diharapkan menjadi jembatan

penanganan HAM masa lalu yang menimbulkan dendam

berkepanjangan terhadap rezim otoriter. Transisional justice

menurut Ruti G Teitel36, menawarkan metode interpretatif, historis, dan komparatif untuk menarik konklusi sistetik berkenaan dengan

apa yang dikedepankan oleh praktik-praktik ini tentang konsepsi

35

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), Hal 20.

36

(29)

keadilan pada masa seperti itu. Masih menurut Ruti apa yang

mencuat adalah suatu penyeimbangan pragmatik tentang keadilan

ideal dengan realisme politik yang mencontohkan kedaulatan hukum

simbolis yang mampu mengkonstruksikan perubahan yang

liberalisasi. Transisi adalah perubahan normatif transisi itu sendiri,

praktik-praktik hukum menjembatani suatu perjuangan yang

persisten di antara dua titik : dukungan terhadap konvensi yang

mapan dan transformasional yang radikal. Utamanya, suatu posisi

yang dipengaruhi secara dialektis kemudian muncul. Dalam konteks

perubahan radikal politik, jurisprudensi transisional mendamaikan

konsepsi parsial dan non-ideal tentang keadilan : bentuk-bentuk

sementara dan terbatas dari konstitusi, sanksi, reparasi, pemurnian

(pemulihan nama baik), dan sejarah.37

VI. Sistematika

Secara teoritis penulisan tesis yang berjudul: “Alternatif

Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 melalui

Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial”, ini dibagi menjadi beberapa

bab, yakni :

37

(30)

Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan

sistematika penulisan.

Bab II Metode Penelitian, berisi tentang Tipe Penelitian,

Pendekatan, Bahan Hukum, Prosedur pengumpulan bahan dan Analisa

bahan hukum.

Bab IIIPenyelesaian Extra Judicial Killings 1965 melalui

Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial:berisi tentang Penyelesaian

HAM melalui UU No. 26 Tahun 2000, Penyelesaian melalui Hybrid

Tribunal (Pengadilan campuran), penyelesaian melalui Komisi

Kebenaran dan Rekonsisliasi serta melalui Komisi Islah dan Rehabilitasi.

Bab IV Penutup, berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang

dilakukanserta saran-saran terkait dengan permasalahan yang penulis

Referensi

Dokumen terkait

Sementara tindakan kolektif dapat dimaknai dengan: (1) menjaga hubungan baik secara timbal-balik dengan orang-orang PNG yang berkunjung ke Indonesia, dan ketika

Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah analisis regresi linear berganda, uji t, dan uji F, selain itu juga dilakukan perhitungan Sumbangan Relatif

perpustakaan UNM, yang berisi: Penerapan fungsi teknologi informasi di perpustakaan Universitas Negeri Makassar, hubungan teknologi informasi terhadap layanan

At the same time, Bank Indonesia shared that it may maintain the benchmark rate at 7.5%, this would trigger more selling activity as market will start to

Selain itu, putusan hakim yang menjatuhkan putusan bagi terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika

Simplifikasi simbolik dalam hal ini dapat dilihat dari contoh yang diberikan oleh Teungku Seumeubeut terhadap pengikut Wahabi dengan mengatakan bahwa yang tidak

a) Puskesmas yang menjadi tinjauan fasilitas sejenis, rata-rata sama memiliki pelayanan medis seperti, UGD, poli umum, poli gigi, poli KIA/KB, dan poli

Upaya memperoleh prestasi yang optimal dalam setiap cabang olahraga merupakan suatu bentuk usaha yang senantiasa dilakukan oleh berbagai pihak terkait terutama