ABSTRAK
PENGUKURAN NILAI ROTASI OPTIK SPESIFIK LARUTAN GALAKTOSA, LAKTOSA DAN FRUKTOSA
Telah dilakukan pengukuran nilai rotasi optik spesifik larutan galaktosa, laktosa, dan fruktosa. Pengukuran acuan dan larutan sampel dilakukan secara bersamaan. Berkas laser HeNe dipecah menggunakan beam splitter. Analisator diputar oleh motor listrik. Data direkam secara kontinyu oleh komputer selama analisator diputar. Data dianalisa dengan menggunakan dua metode. Metode yang pertama dengan fitting data berdasar hukum Malus. Metode kedua dengan grafik intensitas cahaya pengukuran sampel terhadap intensitas cahaya acuan. Metode pertama, untuk konsentrasi 1 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm larutan galaktosa, laktosa, dan fruktosa secara berturut-turut memutar bidang getar cahaya terpolarisasi sebesar (80 8), (515), dan (89 13). Metode kedua, untuk konsentrasi 1 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm larutan galaktosa, laktosa, dan fruktosa secara berturut-turut memutar bidang getar cahaya terpolarisasi sebesar (80 5), (52 6), dan (86 9). Hasil menunjukkan bahwa besarnya perputaran bidang getar cahaya terpolarisasi tergantung jenis larutan.
ABSTRACT
SPECIFIC OPTICAL ROTATION MEASUREMENT OF GALACTOSE, LACTOSE AND FRUCTOSE SOLUTION
The specific optical rotation measurement of galactose, lactose, and fructose solution has been done. Measurement of reference and sample solution are performed simultaneously. HeNe laser was separated using a beam splitter. The analyzer was rotated by an electric motor. Data are recorded continuously by computer while analyzer rotating. The data are analyzed using two methods. The first method is the light intensity applied into Malus law. The second method is a graph of light intensity of sample measurement versus light intensity of reference. The first method, for concentration of 1 g ml-1 and length of 1 dm galactose, lactose, and fructose solution turned (80 8), (51 5), and (89 13) respectively. The second method, for concentration of 1 g ml-1and length of 1 dm galactose, lactose, and fructose solution turned (80 5), (52 6), and (86 9) respectively. The results showed that the magnitude of the optical rotation depends on the type of solution.
PENGUKURAN ROTASI OPTIK SPESIFIK
LARUTAN GALAKTOSA, FRUKTOSA, DAN LAKTOSA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
Oleh:
Elisabeth Dian Atmajati
NIM : 101424011
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PENGUKURAN ROTASI OPTIK SPESIFIK
LARUTAN GALAKTOSA, FRUKTOSA, DAN LAKTOSA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
Oleh:
Elisabeth Dian Atmajati
NIM : 101424011
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Usaha, karya, kelulusanku
Kupersembahkan dengan bangga kepada:
Bapak Agustinus Sunarto
Ibuku tercinta Winarni
Mbak Ta, Mas Awa
Thomas Indarto Wibowo
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atas bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 10 Agusutus 2014
Penulis
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Elisabeth Dian Atmajati
NIM : 101424011
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan karya ilmiah saya yang berjudul:
PENGUKURAN ROTASI OPTIK SPESIFIK
LARUTAN GALAKTOSA, FRUKTOSA DAN LAKTOSA
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas,
dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 10 Agustus 2014
Yang menyatakan
vii ABSTRAK
PENGUKURAN NILAI ROTASI OPTIK SPESIFIK LARUTAN GALAKTOSA, LAKTOSA DAN FRUKTOSA
Telah dilakukan pengukuran nilai rotasi optik spesifik larutan galaktosa, laktosa, dan fruktosa. Pengukuran acuan dan larutan sampel dilakukan secara bersamaan. Berkas laser HeNe dipecah menggunakan beam splitter. Analisator diputar oleh motor listrik. Data direkam secara kontinyu oleh komputer selama analisator diputar. Data dianalisa dengan menggunakan dua metode. Metode yang pertama dengan fitting data berdasar hukum Malus. Metode kedua dengan grafik intensitas cahaya pengukuran sampel terhadap intensitas cahaya acuan. Metode pertama, untuk konsentrasi 1 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm larutan galaktosa, laktosa, dan fruktosa secara berturut-turut memutar bidang getar cahaya terpolarisasi sebesar (80 8), (51 5), dan (89 13). Metode kedua, untuk konsentrasi 1 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm larutan galaktosa, laktosa, dan fruktosa secara berturut-turut memutar bidang getar cahaya terpolarisasi sebesar (80 5), (52 6), dan (86 9). Hasil menunjukkan bahwa besarnya perputaran bidang getar cahaya terpolarisasi tergantung jenis larutan.
viii ABSTRACT
SPECIFIC OPTICAL ROTATION MEASUREMENT OF GALACTOSE, LACTOSE AND FRUCTOSE SOLUTION
The specific optical rotation measurement of galactose, lactose, and fructose solution has been done. Measurement of reference and sample solution are performed simultaneously. HeNe laser was separated using a beam splitter. The analyzer was rotated by an electric motor. Data are recorded continuously by computer while analyzer rotating. The data are analyzed using two methods. The first method is the light intensity applied into Malus law. The second method is a graph of light intensity of sample measurement versus light intensity of reference. The first method, for concentration of 1 gr ml-1 and length of 1 dm galactose, lactose, and fructose solution turned (80 8), (51 5), and (89 13) respectively. The second method, for concentration of 1 gr ml-1 and length of 1 dm galactose, lactose, and fructose solution turned (80 5), (52 6), and (86 9) respectively. The results showed that the magnitude of the optical rotation depends on the type of solution.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberikan kasih yang luar biasa. Berkat kasih dan kuasaNya, penyusunan
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Karya ini penulis beri judul
“Pengukuran Rotasi Optik Spesifik Larutan Galaktosa, Fruktosa, dan Laktosa”.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
Penyusunan skripsi ini penuh dengan tantangan. Maka penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam menangani setiap rintangan yang penulis hadapi. Mereka adalah:
1. Bapak Dr. Ig. Edi Santosa, M.S. selaku dosen pembimbing dan Kaprodi
Pendidikan Fisika, yang telah membimbing dan memberi pengarahan dalam
penyusunan skripsi dari awal hingga akhir.
2. Ibu Sri Agustini, M.Si. selaku dosen mata kuliah Optika yang telah
membimbing saya memahami teori pokok dalam skripsi.
3. Bapak Petrus Ngadiono selaku laboran Laboratorium Pendidikan Fisika yang
telah membantu menyiapkan alat-alat eksperimen.
4. Bapak Otto dan Bapak Kayat selaku laboran Laboratorium Fakultas Farmasi
yang telah membantu menyiapkan bahan-bahan eksperimen.
5. Keluarga di Cawas, Ibu, Mbak Ta, dan Mas Awa yang selalu mendoakan dan
x
6. Thomas Indarto Wibowo yang selalu sabar menjadi tempat menumpahkan
segala perasaan, baik senang maupun susah, dan semua doa serta dukungan
dan nasihat serta kesabarannya.
7. Teman-teman bimbingan skripsi, Bekti, Nino, Sherly, El, Mba Ayas, Mba
Willy, Mba Ari, Mba Osri, Mba Galuh yang menjadi penyemangat dan
penginspirasi.
8. Para Mondhol Kristin, Yuli, Gita, Ruth, Rita, Hesti dan sahabatku Rinda yang
selalu menjadi penyemangat dan pencetus ide-ide refreshing.
9. Seluruh mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2010 yang telah berjuang dan
berdinamika bersama.
10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang secara langsung
dan tidak langsung telah membantu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis dengan rendah hati menerima kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Yogyakarta, 10 Agustus 2014
xi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……….…
xii
1. Hasil Pengukuran Larutan Galaktosa………...…
2. Hasil Pengukuran Larutan Laktosa……….…
3. Hasil Pengukuran Larutan Fruktosa………..…
B. Pembahasan………...…
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………
B. Saran ………..…
DAFTAR PUSTAKA………..…
LAMPIRAN………...…….
23 31 38 43
xiii
DAFTAR TABEL
TABEL 4.1 Hubungan intensitas berkas cahaya satu dan intensitas berkas
cahaya dua terhadap sudut putaran analisator. Konsentrasi
larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang larutan 1
dm…... 24
TABEL 4.2 Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan
galaktosa sepanjang 1 dm……… 27
TABEL 4.3 Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan
galaktosa sepanjang 1 dm……….... 30
TABEL 4.4 Hubungan intensitas berkas cahaya satu dan intensitas berkas
cahaya dua terhadap sudut putaran analisator. Konsentrasi
larutan laktosa 0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1
dm... 31
TABEL 4.5 Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan
laktosa sepanjang 1 dm………... 34
TABEL 4.6 Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan
laktosa sepanjang 1 dm... 36
TABEL 4.7 Hubungan intensitas berkas cahaya satu dan intensitas berkas
cahaya dua terhadap sudut putaran analisator. Konsentrasi
larutan fruktosa 0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1
dm………...………... 38
TABEL 4.8 Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan
fruktosa sepanjang 1 dm………...……….. 40
TABEL 4.9 Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan
fruktosa sepanjang 1 dm………... 42
TABEL 4.10 Tabel hasil pengukuran nilai rotasi optik spesifik hasil analisa
Hukum Malus, grafik elips dan acuan [Blitz, Grosch, Scieberle,
xiv
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2.1 Peristiwa polarisasi cahaya oleh polarisator kemudian
cahaya melewati analisator [Young, 2003]...……... 9
GAMBAR 2.2 Grafik hubungan intensitas cahaya melewati analisator
terhadap sudut putaran analisator mengikuti persamaan
(2.1)... 11
GAMBAR 2.3 Berkas cahaya terpolarisasi melewati larutan yang
bersifat optis aktif ………... 12
GAMBAR 2.4 Grafik intensitas cahaya yang tidak melewati larutan
optis aktif (biru) dan intensitas cahaya yang melewati
larutan bersifat optis aktif (merah) terhadap sudut
putaran analisator... 14
GAMBAR 2.5 Grafik intensitas cahaya satu terhadap intensitas cahaya
dua………... 15
GAMBAR 3.1 Susunan alat eksperimen………... 18
GAMBAR 4.1 Grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut
putaran analisator. Intensitas berkas cahaya satu
(intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan
intensitas berkas cahaya dua (intensitas cahaya yang
rendah) sebagai berkas cahaya yang melewati larutan.
Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang
larutan 1 dm………... 25
GAMBAR 4.2 Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap
sudut putaran analisator. ………... 26
GAMBAR 4.3 Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap
sudut putaran analisator. Konsentrasi larutan galaktosa
0,2 gr ml-1dan panjang larutan 1 dm……….... 26
GAMBAR 4.4 Grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi
larutan galaktosa sepanjang 1 dm ………... 28
xv
intensitas cahaya dua. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2
gr ml-1dan panjang larutan 1 dm…...… 29
GAMBAR 4.6 Grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi
larutan galaktosa sepanjang 1 dm ……….... 30
GAMBAR 4.7 Grafik hubungan intensitas cahaya acuan terhadap sudut
putaran analisator. Intensitas berkas cahaya satu
(intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan
intensitas berkas cahaya dua (intensitas cahaya yang
rendah) sebagai berkas cahaya yang melewati larutan.
Konsentrasi larutan laktosa 0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm………... 32
GAMBAR 4.8 Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap
sudut putaran analisator. ………... 33
GAMBAR 4.9 Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap
sudut putaran analisator. Konsentrasi larutan laktosa
0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm...………. 33
GAMBAR 4.10 Grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi
larutan laktosa sepanjang 1 dm ……… 35
GAMBAR 4.11 Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap
intensitas berkas cahaya dua. Konsentrasi larutan
laktosa 0,541 gr ml-1dan panjang larutan 1 dm……...…. 36
GAMBAR 4.12 Grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi
larutan laktosa sepanjang 1 dm ………... 37
GAMBAR 4.13 Grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut
putaran analisator. Intensitas berkas cahaya satu
(intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan
intensitas cahaya dua (intensitas cahaya yang rendah)
sebagai berkas cahaya yang melewati larutan.
Konsentrasi larutan fruktosa 0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm………... 39
xvi
sudut putaran analisator.……… 39
GAMBAR 4.15 Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap
sudut putaran analisator. Konsentrasi larutan fruktosa
0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm………. 40
GAMBAR 4.16 Grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi
larutan fruktosa sepanjang larutan 1 dm……... 41
GAMBAR 4.17 Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap
intensitas berkas cahaya dua. Konsentrasi larutan
fruktosa 0,38 gr ml-1dan panjang larutan 1 dm………... 42
GAMBAR 4.18 Grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cahaya terpolarisasi melewati larutan yang bersifat optis aktif maka
arah polarisasi cahaya akan berputar. Peristiwa ini disebut rotasi optik.
Peristiwa rotasi optik dijumpai salah satunya pada gula. Pengukuran rotasi
optik dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan yaitu untuk menganalisis
spesifikasi bahan obat dan produk obat [WHO, 2005]. Selain itu, pengukuran
rotasi optik dalam bidang kimia digunakan untuk memeriksa kualitas minyak
atsiri [Koensoemardiyah, 2010].
Rotasi optik dapat diukur salah satunya dengan polarimeter.
Polarimeter mulai dikenalkan pada tahun 1840 [Newmark, 2000]. Polarimeter
ini bekerja berdasar prinsip polarisasi cahaya. Berkas cahaya alami dilewatkan
polarisator menjadi cahaya terpolarisasi linier. Kemudian cahaya ini
dilewatkan pada analisator. Bila analisator diputar maka intensitas cahaya
yang keluar dari analisator berubah. Perubahan ini tergantung posisi sumbu
polarisasi analisator. Bila sumbu polarisasi analisator sejajar sumbu polarisasi
polarisator maka intensitas cahaya yang keluar analisator maksimal.
Sebaliknya jika sumbu polarisasi polarisator tegak lurus sumbu polarisasi
analisator maka intensitas cahaya yang keluar analisator minimal. Oleh karena
itu arah polarisasi cahaya ditentukan dengan memutar analisator sampai
Berdasarkan cara kerja polarimeter tersebut, maka polarimeter dapat
digunakan untuk menentukan sudut rotasi optik. Untuk dapat menentukan
sudut rotasi optik, arah polarisasi cahaya harus ditentukan terlebih dahulu
sebagai acuan. Setelah acuan ditentukan, diantara polarisator dan analisator
diletakkan larutan yang bersifat optis aktif. Intensitas cahaya yang keluar dari
analisator teramati mengalami penurunan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
arah polarisasi cahaya berubah. Arah polarisasi cahaya ini berubah karena
diputar oleh larutan yang bersifat optis aktif. Peristiwa berputarnya arah
polarisasi cahaya ini disebut rotasi optik. Untuk mengetahui besarnya sudut
rotasi optik, analisator kemudian diputar sampai ditemukan intensitas cahaya
maksimum. Besar sudut putaran analisator terhadap acuan merupakan sudut
rotasi optik. Pengukuran sudut rotasi optik menggunakan polarimeter ini
dilakukan secara visual sehingga sulit dilakukan karena kemampuan mata
terbatas.
Pengukuran rotasi optik secara visual sulit dilakukan, untuk
mengatasinya digunakan bantuan sensor cahaya dan komputer [Nugroho,
2009]. Sensor cahaya yang terhubung dengan komputer digunakan untuk
mendeteksi intensitas cahaya yang keluar dari analisator. Susunan alat pada
penelitian ini adalah berkas cahaya laser dilewatkan polarisator kemudian
melewati analisator. Berkas cahaya yang keluar dari analisator ditangkap oleh
sensor cahaya yang terhubung dengan komputer. Analisator kemudian diputar
secara manual dan sudut putaran analisator diinputkan ke komputer. Komputer
yang dicatat pada keadaan ini digunakan sebagai acuan. Setelah acuan
ditentukan, diantara polarisator dan analisator diletakkan larutan bersifat optis
aktif. Kemudian analisator diputar secara manual dan sudut putaran analisator
diinput ke komputer lalu komputer mencatat intensitas cahaya yang keluar
dari analisator. Data ini kemudian disebut sampel.
Komputer pada penelitian ini selain digunakan untuk mencatat
intensitas cahaya, juga digunakan untuk menganalisa data. Komputer
menampilkan hasil pencatatan dalam bentuk grafik hubungan intensitas
cahaya terhadap sudut putaran analisator. Grafik acuan dan sampel terhadap
sudut putaran analisator ditampilkan pada satu bidang. Rotasi optik diperoleh
dari selisih sudut lembah acuan dan lembah sampel yang berdekatan.
Penelitian ini dapat mengatasi keterbatasan mata dalam mengamati
intensitas cahaya, tetapi acuan dan sampel diperoleh tidak bersamaan. Sumber
cahaya yang digunakan pada penelitian ini adalah laser HeNe. Laser HeNe
intensitasnya terkadang tidak stabil yang disebabkan oleh perubahan panjang
resonator akibat pemuaian tabung [Santosa, 2011]. Oleh karena itu, intensitas
cahaya saat menentukan acuan mungkin berbeda dengan intensitas cahaya saat
menentukan sampel. Intensitas laser yang tidak konstan ini juga dapat
menyebabkan lembah grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut
putaran analisator tidak tepat satu titik. Hal ini menyulitkan peneliti untuk
menentukan sudut rotasi optik.
Acuan dan sampel dapat ditentukan dalam waktu bersamaan. Untuk
cahaya yang sama. Dua berkas cahaya yang sama dapat diperoleh dari satu
sumber cahaya yang dipecah menggunakan beam splitter, seperti pada
percobaan interferometer Michelson. Beam splitter memecah berkas cahaya
dengan memantulkan sebagian berkas dan meneruskan sebagian berkas
[Santosa, 2014]. Salah satu berkas cahaya langsung menuju analisator dan
berkas cahaya yang lain melewati larutan yang bersifat optis aktif kemudian
menuju analisator. Dengan demikian acuan dan sampel ditentukan secara
bersamaan [Kraftmakher, 2009].
Penelitian berbasis komputer sudah banyak dilakukan, antara lain
pengukuran konstanta pendinginan Newton dengan menggunakan sensor suhu
dan analisa data dengan menggunakan software LoggerPro [Suryani dan
Santosa, 2014] dan penentuan konstanta redaman dengan menggunakan
bantuan software LoggerPro [Limiansih dan Santosa, 2013; Sriraharjo dan
Santosa, 2014]. Pengukuran rotasi optik spesifik dapat pula dilakukan dengan
bantuan komputer. Software yang digunakan untuk menampilkan dan
menganalisa data adalah DataStudio [Kraftmakher, 2009].
Komputer dalam penelitian sebelumnya digunakan untuk menentukan
sudut rotasi optik tetapi cukup sulit dilakukan bila lembah grafik hubungan
intensitas cahaya terhadap sudut putaran analisator tidak hanya satu titik.
Sudut rotasi optik dapat ditentukan menggunakan fitting data dengan hukum
Malus. Software yang memiliki fasilitas fitting data seperti LoggerPro dapat
data dengan Hukum Malus, sudut rotasi optik dapat ditentukan dari grafik
hubungan acuan terhadap sampel [Kraftmakher, 2009].
Komputer dalam eksperimen di laboratorium belum banyak
digunakan. Komputer merupakan media yang sudah tidak asing bagi siswa.
Komputer membantu siswa sehingga eksperimen menjadi lebih mudah.
Eksperimen berbasis komputer ini dapat digunakan oleh siswa pada tingkat
universitas atau sekolah menengah.
Salah satu larutan yang mampu memutar bidang getar cahaya
terpolarisasi adalah larutan sukrosa [Nugroho, 2009]. Sukrosa merupakan
salah satu jenis karbohidrat. Masih ada banyak jenis karbohidrat yang lain
yaitu glukosa, galaktosa, fruktosa, laktosa, maltosa [Riswiyanto, 2009].
Jenis-jenis karbohidrat ini memiliki kemampuan yang berbeda dalam memutar
cahaya terpolarisasi linier yang melewatinya. Kemampuan bahan untuk
memutar cahaya terpolarisasi disebut rotasi optik spesifik. Nilai rotasi optik
spesifik dapat digunakan untuk menentukan kualitas larutan yang bersifat
optis aktif. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran pada beberapa jenis
larutan karbohidrat yang bersifat optis aktif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan
yang akan dikaji adalah:
2. Bagaimana penggunaan komputer dalam menentukan rotasi optik spesifik?
3. Berapa nilai rotasi optik spesifik dari beberapa jenis karbohidrat yang diperoleh dari fitting data dengan Hukum Malus dan grafik hubungan
acuan terhadap sampel?
C. Batasan Masalah
Permasalahan yang diteliti pada penelitian ini, dibatasi pada:
1. Sumber cahaya yang digunakan adalah laser HeNe.
2. Suhu larutan sesuai dengan suhu ruangan yaitu 27C.
3. Software yang digunakan untuk menampilkan dan menganalisa data
adalah LoggerPro.
4. Larutan yang diteliti adalah galaktosa, fruktosa, dan laktosa.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui metode eksperimen untuk menentukan rotasi optik spesifik
dengan menentukan acuan dan sampel secara bersamaan.
2. Mengetahui metode menganalisa data menggunakan software LoggerPro
untuk menentukan rotasi optik spesifik.
3. Mengetahui nilai rotasi optik spesifik dari larutan galaktosa, fruktosa dan
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat menggunakan komputer yang terinstal LoggerPro untuk
menentukan perputaran bidang getar cahaya terpolarisasi.
2. Dapat mengetahui bahan-bahan yang bersifat optis aktif.
F. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab I menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II Dasar Teori
Bab II berisi teori-teori mengenai polarisasi cahaya, rotasi optik, dan
pengenceran larutan.
BAB III Metode Eksperimen
Bab III menguraikan mengenai alat, bahan, prosedur eksperimen, cara
menganalisa data
BAB IV Hasil dan Pembahasan
Bab IV berisi hasil pengolahan data dan pembahasan dari hasil
eksperimen yang diperoleh.
BAB V Penutup
8
BAB II
DASAR TEORI
A. Polarisasi Cahaya
Polarisasi adalah karakteristik semua gelombang transversal.
Gelombang transversal adalah gelombang yang arah getarannya tegak lurus
arah perambatannya. Salah satu contoh gelombang transversal adalah
gelombang tali. Seutas tali pada arah sumbu x kemudian digetarkan searah
sumbu y, tali tersebut membentuk gelombang transversal pada bidang xy. Bila
tali digetarkan searah sumbu z, maka tali tersebut membentuk gelombang
transversal pada bidang xz. Bila getaran sebuah gelombang hanya searah
sumbu y, maka gelombang tersebut dikatakan terpolarisasi linier dalam arah y.
Bila getaran sebuah gelombang hanya searah sumbu z, maka gelombang
tersebut dikatakan terpolarisasi linier dalam arah z.
Gelombang elektromagnetik juga merupakan gelombang transversal.
Medan listrik dan medan magnetik berosilasi saling tegak lurus. Medan listrik
dan medan magnetik berosilasi tegak lurus terhadap arah rambatannya. Arah
polarisasi gelombang elektromagnetik didefinisikan sebagai arah dari vektor
medan listrik E. Salah satu contoh gelombang elektromagnetik adalah cahaya. Cahaya dari lampu pijar menyebar ke segala arah. Cahaya yang dipancarkan
lampu pijar adalah campuran acak gelombang terpolarisasi linier dalam semua
arah transversal yang mungkin. Cahaya ini adalah cahaya tak terpolarisasi atau
Alat yang digunakan untuk membuat cahaya alami menjadi
terpolarisasi linier disebut polarisator (Halliday, 1986; Tipler 2001; Young,
2003).
Gambar 2.1. peristiwa polarisasi cahaya oleh polarisator kemudian cahaya melewati analisator (Young, 2003)
Gambar 2.1 menunjukkan peristiwa polarisasi cahaya oleh polarisator
kemudian cahaya melewati analisator. Cahaya alami yang memiliki komponen
E ke segala arah melewati polarisator. Polarisator kemudian mentransmisikan hanya komponen E yang paralel terhadap sumbu polarisasi polarisator. Cahaya ini kemudian disebut cahaya terpolarisasi linier.
Sumbu polarisasi polarisator membentuk sudut terhadap sumbu
polarisasi analisator. Setelah melewati polarisator, medan listrik cahaya
terpolarisasi linier ini diuraikan menjadi komponen yang paralel terhadap
sumbu polarisasi analisator dan tegak lurus sumbu polarisasi analisator.
Kemudian cahaya yang terpolarisasi linier melewati analisator. Komponen Sumbu polarisasi
polarisator
yang ditransmisikan analisator adalah komponen yang paralel sumbu
polarisasi analisator sebesar E cos .
Intensitas gelombang elektromagnetik sebanding dengan kuadrat
amplitudo dari gelombang itu. Gelombang cahaya yang ditrasmisikan oleh
analisator amplitudonya sebesar E cos . Jadi intensitas cahaya yang
ditransmisikan analisator adalah:
�1 = � cos2 (2.1)
I1 = Intensitas cahaya yang diteruskan analisator pada posisi sumbu polarisasi
polarisator yang membentuk sudut terhadap sumbu polarisasi
analisator.
Imaks = intensitas maksimum dari cahaya yang diteruskan analisator pada saat
=0
= sudut antara sumbu polarisasi polarisator dengan sumbu polarisasi
analisator.
Persamaan (2.1) dikenal juga dengan Hukum Malus. Hukum Malus
hanya berlaku jika cahaya yang masuk analisator itu sudah cahaya
terpolarisasi linear [Young, 2003]. Jika analisator diputar maka intensitas
cahaya yang ditransmisikan analisator akan mengikuti persamaan (2.1) dan
Gambar 2.2. Grafik hubungan intensitas cahaya melewati analisator terhadap sudut putaran analisator mengikuti persamaan (2.1)
B. Rotasi Optik
Gelombang cahaya terpolarisasi linier melewati larutan bersifat optis
aktif. Arah getaran cahaya berputar sejauh terhadap arah getaran gelombang
cahaya sebelum melewati larutan bersifat optis aktif. Fenomena ini disebut
rotasi optik [Pedrotti dan Pedrotti, 1962; Sarojo, 2011]. Fenomena rotasi optik
ditunjukkan oleh gambar 2.3.
Gambar 2.3. berkas cahaya terpolarisasi melewati larutan yang bersifat optis aktif.
Sudut rotasi optik bergantung pada panjang bahan (l) dalam
desimeter dan konsentrasi bahan (c) dalam gram per mililiter, mengikuti
persamaan (2.2)
�= � (2.2)
α adalah nilai rotasi optik spesifik. Nilai rotasi optik spesifik
menunjukkan kemampuan bahan untuk memutar bidang getar cahaya
terpolarisasi setiap konsentrasi larutan 1 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm
[Kraftmakher, 2009].
Menurut persamaan (2.2) sudut rotasi optik dipengaruhi oleh jenis
larutan, panjang larutan dan konsentrasi larutan. Bila panjang larutan tetap,
maka nilai rotasi optik spesifik larutan dapat ditentukan dengan memvariasi
konsentrasi larutannya. Variasi konsentrasi larutan menghasilkan sudut rotasi
optik yang mengikuti persamaan (2.2). Untuk mendapatkan nilai rotasi optik
spesifik larutan dibuat grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap
konsentrasi larutan c ini berupa grafik linier. Nilai spesifik rotasi optik
diperoleh dari gradien grafik.
Intensitas cahaya terpolarisasi yang keluar dari analisator akan
mengikuti persamaan (2.1). Bila sebelum melewati analisator, cahaya ini
melewati larutan yang bersifat optis aktif, maka arah polarisasi cahaya
berputar sejauh . Sehingga jika pada awalnya sumbu polarisasi polarisator
dan sumbu polarisasi analisator sudah membentuk sudut sebesar , maka
setelah melewati larutan yang bersifat optis aktif arah cahaya terpolarisasi
menjadi bertambah sebesar . Sehingga intensitas cahaya yang keluar dari
analisator mengikuti persamaan (2.3):
�2 =�0cos2 �+� (2.3)
I2 = intensitas cahaya yang diteruskan analisator setelah berkas cahaya
melewati larutan bersifat optis aktif
= sudut rotasi optik
Grafik hubungan intensitas cahaya yang tidak melewati larutan bersifat
optis aktif terhadap sudut putaran analisator bila disatukan dalam satu bidang
dengan grafik hubungan intensitas cahaya yang melewati larutan bersifat optis
aktif terhadap sudut putaran analisator akan membentuk grafik seperti yang
Gambar 2.4 grafik intensitas cahaya yang tidak melewati larutan optis aktif (biru) dan intensitas cahaya yang melewati larutan bersifat optis aktif (merah) terhadap sudut putaran
analisator
Gambar 2.4 memperlihatkan bahwa kedua grafik tidak berimpit. Hal ini terjadi
karena diantara keduanya terdapat beda fase. Beda fase antara kedua grafik
disebabkan oleh peristiwa rotasi optik. Gambar 2.4 menunjukkan beda fase
kedua grafik sebagai jarak antara lembah dari kedua grafik yang berdekatan.
Besar sudut diperoleh dari selisih fase grafik hubungan intensitas cahaya
satu terhadap sudut putaran analisator dan grafik hubungan intensitas cahaya
dua terhadap sudut putaran analisator.
Besar sudut juga dapat ditentukan dengan grafik hubungan intensitas
cahaya yang tidak melewati larutan bersifat optis aktif (I2) terhadap intensitas
cahaya melewati larutan bersifat optis aktif (I2) [Kraftmakher, 2009]. Grafik I1
terhadap I2 ditunjukkan pada gambar 2.5.
0 45 90 135 180 225 270 315 360
Sudut Putaran Analisator ()
Gambar 2.5. grafik intensitas cahaya satu terhadap intensitas dua
Sudut rotasi optik ditentukan dari persamaan (2.4) [Kraftmakher, 2009].
sin� = = (2.4)
C. Pengenceran Larutan
Penentuan nilai rotasi optik spesifik ditentukan dengan membuat
grafik rotasi optik terhadap konsentrasi c, oleh karena itu dibutuhkan larutan
bersifat optis aktif dengan berbagai konsentrasi. Variasi konsentrasi larutan
dilakukan dengan mengencerkan larutan. Larutan diencerkan berdasarkan
persamaan (2.5) [Rosenberg, 1989].
�1 1 =�2 2 (2.5)
Keterangan:
V1 : volume larutan sebelum diencerkan
c1 : konsentrasi larutan sebelum diencerkan
V2 : volume larutan setelah diencerkan
c2 : konsentrasi larutan setelah diencerkan
A B
I2
I1 a
16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai rotasi optik spesifik dari
larutan galaktosa, laktosa dan fruktosa. Untuk menentukan nilai rotasi optik
spesifik ada beberapa tahapan. Tahapan yang pertama adalah persiapan alat.
Tahapan yang kedua adalah persiapan bahan. Tahapan ketiga pengambilan data.
A. Persiapan Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari beberapa
komponen. Alat-alat yang digunakan antara lain:
1. Laser HeNe
Laser HeNe memiliki panjang gelombang 632,8 nm. Laser ini
digunakan sebagai sumber cahaya.
2. Beam splitter
Beam splitter digunakan untuk memecah berkas. Beam splitter
mampu meneruskan sebagian berkas cahaya dan memantulkan sebagian
lainnya.
3. Cermin datar
Cermin datar digunakan untuk memantulkan berkas cahaya yang
4. Polarisator
Polarisator adalah alat untuk membuat cahaya tak terpolarisasi
menjadi terpolarisasi linier setelah cahaya tersebut keluar dari polarisator.
5. Analisator
Analisator adalah polarisator yang digunakan untuk menganalisa.
Analisator ini diletakkan dibelakang polarisator untuk melihat arah
polarisasi cahaya yang keluar dari polarisator.
6. Cuvette
Cuvette digunakan untuk tempat larutan. Cuvette yang digunakan
dalam penelitian ini terbuat dari akrilik. Bahan akrilik dipilih karena
transparan sehingga berkas cahaya dapat menembus cuvette. Cuvette yang
digunakan panjangnya 1 dm.
7. Sensor cahaya
Sensor cahaya berfungsi sebagai pendeteksi intensitas cahaya yang
keluar dari analisator.
8. Komputer
Komputer digunakan untuk merekam, menampilkan dan
menganalisa data. Komputer dilengkapi dengan software LoggerPro.
9. Interface
Interface merupakan alat yang digunakan untuk menghubungkan
sensor cahaya dengan komputer. Interface yang digunakan pada penelitian
10.Motor listrik
Motor listrik digunakan untuk memutar analisator.
11.Diafragma
Diafragma digunakan untuk mengurangi penyebaran berkas
cahaya.
Alat-alat kemudian dirangkai seperti pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Susunan alat eksperimen
Keterangan gambar
berkas cahaya laser menjadi dua, sebagian berkas dipantulkan dan sebagian
diteruskan. Berkas cahaya yang dipantulkan kemudian diarahkan ke cermin
datar kemudian dipantulkan ke polarisator. Setelah melewati polarisator,
berkas cahaya ini langsung menuju analisator. Setelah melewati analisator,
berkas cahaya ini melewati diafragma lalu ditangkap oleh sensor cahaya yang
terhubung dengan komputer melalui interface LabPro. Berkas cahaya yang
setelah melewati polarisator langsung menuju analisator kemudian disebut
berkas cahaya satu. Intensitas berkas cahaya satu (I1) mengikuti persamaan
(2.1).
Berkas cahaya yang diteruskan beam splitter menuju polarisator.
Kemudian berkas cahaya ini melewati larutan bersifat optis aktif dan
analisator. Berkas cahaya ini kemudian melewati diafragma lalu ditangkap
oleh sensor cahaya. Berkas cahaya yang melewati larutan bersifat optis aktif
ini kemudian disebut berkas cahaya dua. Intensitas berkas cahaya dua (I2)
mengikuti persamaan (2.3).
Susunan alat eksperimen ini dapat memberi perlakuan terhadap
intensitas berkas cahaya satu dan berkas cahaya dua secara bersamaan.
Sehingga dapat digunakan untuk menentukan acuan dan berkas cahaya yang
melewati larutan bersifat optis aktif secara bersamaan. Keadaan berkas cahaya
yang digunakan untuk menentukan acuan dan berkas cahaya yang melewati
larutan bersifat optis aktif sama.
B. Persiapan Bahan
Bahan yang yang diteliti adalah fruktosa, galaktosa, laktosa. Larutan
pertama yang dibuat adalah laktosa. Bubuk laktosa 72,8 gram dilarutkan
dengan aquades 100 ml sehinga diperoleh konsentrasi larutan 0,728 gr ml-1.
Larutan kedua yang dibuat adalah larutan galaktosa. Larutan galaktosa dibuat
dengan cara yang sama seperti membuat larutan laktosa dan diperoleh
Fruktosa ini berbentuk cair dan sangat pekat. Fruktosa cair ini tidak dapat
dilewati laser sehingga perlu diencerkan. Fruktosa diencerkan dengan
menambahkan aquades sampai diperoleh konsentrasi larutan 0,46 gr ml-1.
Fruktosa pada konsentrasi ini sudah dapat ditembus laser. Larutan-larutan ini
kemudian digunakan sebagai larutan stok.
Nilai rotasi optik spesifik dapat diperoleh dengan memvariasi
konsentrasi larutan stok. Konsentrasi larutan divariasi dengan mengencerkan
larutan. Larutan diencerkan dengan menambahkan aquades. Volume aquades
yang ditambahkan ke larutan stok dihitung berdasar persamaan (2.5).
C. Pengambilan Data
Setelah alat dan bahan siap, kemudian larutan dituang pada cuvette.
Cuvette diletakkan diantara polarisator dan analisator dan diatur agar posisinya
lurus. Analisator kemudian diputar. Selama analisator berputar, komputer
mencatat intensitas cahaya. Data yang diperoleh berupa intensitas berkas
cahaya sebagai fungsi sudut. Setelah satu konsentrasi selesai, kemudian
larutan dengan konsentrasi berbeda dituang ke cuvette dan diberi perlakuan
sama.
D. Analisa Data
Data yang direkam oleh komputer kemudian dianalisa dengan bantuan
software LoggerPro. Terdapat dua cara untuk menentukan sudut rotasi optik,
1. Analisa dengan Hukum Malus
Data yang direkam oleh komputer kemudian ditampilkan dalam
bentuk grafik hubungan intensitas cahaya satu terhadap sudut putaran
analisator dan grafik hubungan intensitas cahaya dua terhadap sudut
putaran analisator. Masing-masing grafik difit menggunakan persamaan
(2.3). Hasil fitting data menunjukkan nilai fase dari masing-masing grafik.
Kemudian ditentukan selisih fase dari kedua grafik. Selisih fase ini
merupakan sudut rotasi optik () oleh larutan untuk satu konsentrasi.
Setelah sudut rotasi optik untuk satu konsentrasi larutan diperoleh,
kemudian dilakukan perhitungan dengan cara yang sama untuk konsentrasi
larutan yang lain. Sehingga diperoleh sudut rotasi optik dari beberapa
konsentrasi larutan. Kemudian dibuat grafik hubungan sudut rotasi optik
terhadap konsentrasi larutan. Menurut persamaan (2.2), nilai rotasi optik
spesifik (α) ditentukan dari gradien grafik hubungan sudut rotasi optik
terhadap konsentrasi larutan.
2. Analisa dengan Grafik Hubungan Intensitas Cahaya Satu (I1) terhadap
Intensitas Cahaya Dua (I2)
Data yang diperoleh dari pencatatan komputer dapat ditampilkan
dalam bentuk grafik hubungan intensitas cahaya satu (I1) terhadap
intensitas cahaya dua (I2). Grafik ini berbentuk elips seperti gambar 2.5.
Nilai B dan b pada persamaan (2.4) ditentukan dengan software
Besar sudut dari konsentrasi larutan yang lain ditentukan dengan
cara yang sama sehingga diperoleh beberapa nilai dari beberapa
konsentrasi larutan. Nilai rotasi optik spesifik (α) ditentukan dengan
membuat grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan.
Menurut persamaan (2.2) nilai rotasi optik spesifik diperoleh dari gradien
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Bahan yang diteliti pada penelitian ini yaitu galaktosa, laktosa dan
fruktosa. Ketiga bahan diteliti dengan metode yang sama untuk menentukan
sudut rotasi optiknya. Data hasil penelitian disajikan sebagai berikut.
1. Hasil Pengukuran Larutan Galaktosa
Kedudukan sumbu polarisasi analisator berubah seiring
berputarnya analisator, akibatnya intensitas cahaya yang melewati
analisator ikut berubah. Selama analisator berputar, komputer mencatat
intensitas cahaya yang keluar dari analisator. Oleh karena itu komputer
mencatat intensitas cahaya sebagai fungsi waktu. Menurut persamaan
(2.1), intensitas cahaya merupakan fungsi sudut. Sehingga perlu dilakukan
perhitungan untuk mendapatkan intensitas sebagai fungsi sudut, contoh
perhitungan pada lampiran 2. Komputer mencatat intensitas cahaya setiap
0,05 detik selama 30 detik sehingga data yang diperoleh sangat banyak.
Tabel 4.1. Hubungan intensitas berkas cahaya satu dan intensitas berkas cahaya dua terhadap sudut putaran analisator. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
No. Sudut (rad) Intensitas berkas cahaya satu (lux)
berdasar hukum Malus dan dengan grafik hubungan intensitas berkas
cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua.
a. Analisa dengan Hukum Malus
Data yang ditampilkan pada tabel 4.1 kemudian disajikan dalam
bentuk grafik hubungan intensitas berkas cahaya terhadap sudut putaran
analisator. Data disajikan dalam bentuk grafik agar dapat difit dengan
Gambar 4.1. Grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut putaran analisator. Intensitas berkas cahaya satu (intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan intensitas berkas cahaya dua (intensitas cahaya yang rendah) sebagai berkas cahaya yang melewati
larutan. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Gambar 4.1 menampilkan grafik yang sesuai dengan hukum Malus
yang dinyatakan pada persamaan (2.1). Kedua grafik tidak membentuk
grafik yang sesuai dengan hukum Malus dengan sempurna, terkadang
bergerser ke kiri atau kanan. Pergeseran ke kiri atau ke kanan ini dialami
oleh kedua grafik secara bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan
kedua berkas cahaya sama.
Grafik yang ditunjukkan gambar 4.1 memperlihatkan bahwa
lembah grafik intensitas cahaya dua berada di sebelah kiri dari lembah
grafik intensitas cahaya satu. Perbedaan disebabkan oleh peristiwa rotasi
optik. Larutan galaktosa memutar bidang getar polarisasi berkas cahaya
yang melewatinya. Besar sudut rotasi optik dapat ditentukan dari
persamaan (2.3).
Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap sudut
intensitas berkas cahaya satu terhadap sudut putaran analisator yang
ditampilkan pada gambar 4.3 masing-masing difit menggunakan
persamaan (2.3), dengan fasilitas fitting data dari software LoggerPro.
Gambar 4.2. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap sudut putaran analisator
Gambar 4.3. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap sudut putaran analisator. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Gambar 4.2 dan gambar 4.3 memperlihatkan grafik yang difit dengan
persamaan (2.3). Garis yang mengikuti titik data pada gambar 4.2 dan 4.3
menunjukkan nilai fase grafik. Fase grafik hubungan intensitas berkas
cahaya satu terhadap sudut putaran analisator sebesar 3,11±0,05 rad dan
fase grafik intensitas berkas cahaya dua terhadap sudut putaran analisator
sebesar 3,38±0,05 rad. Selisih fase kedua grafik merupakan sudut rotasi
optik oleh larutan galaktosa. Untuk larutan galaktosa dengan konsentrasi
0,2 gr ml-1 diperoleh nilai perputaran bidang polarisasi sebesar 0,27±0,07
rad atau 16±4. Ralat yang dihasilkan dari fitting data cukup besar. Hal ini
terjadi karena bentuk grafik yang tidak baik.
Larutan galaktosa divariasi konsentrasinya kemudian ditentukan
sudut rotasi optik untuk masing-masing konsentrasi larutan. Sudut rotasi
optik untuk masing-masing larutan ditampilkan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa sepanjang 1 dm.
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi larutan
galaktosa maka sudut rotasi optik juga semakin besar. Untuk menentukan
nilai rotasi optik spesifik larutan galaktosa menurut persamaan (2.2) dibuat
grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa
Gambar 4.4. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa sepanjang 1 dm.
Gambar 4.4 merupakan grafik hubungan sudut rotasi optik
terhadap konsentrasi larutan galaktosa. Sesuai dengan persamaan (2.2),
nilai rotasi optik spesifik ditentukan dari nilai gradien grafik. Bila panjang
larutan galaktosa satu desimeter maka nilai rotasi optik spesifik larutan
galaktosa sebesar (80 ± 8) derajat ml gr-1 dm-1.
b. Analisa dengan Grafik Hubungan Intensitas Berkas Cahaya Satu terhadap
Intensitas Berkas Cahaya Dua
Cara lain untuk menentukan sudut rotasi optik dengan membuat
grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas
cahaya dua. Dari grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap
intensitas berkas cahaya dua dapat ditentukan besar sudut rotasi optik
Gambar 4.5. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Titik-titik data yang ditunjukkan gambar 4.5 berbentuk elips.
Untuk satu kali putaran analisator tebentuk grafik elips yang baik, namun
pengukuran dilakukan beberapa kali putaran analisator agar lebih akurat.
Sudut rotasi optik ditentukan menggunakan persamaan (2.4) berbantuan
software LoggerPro. Mengacu pada gambar 2.5, dari gambar 4.5 diperoleh
nilai B sebesar 360,5 lux dan nilai b sebesar 108,5 lux. Menurut
persamaan (2.4) diperoleh sudut rotasi optik sebesar 18±3.
Setelah sudut rotasi optik untuk konsentrasi 0,2 gr ml-1 ditentukan,
sudut rotasi optik untuk nilai konsentrasi larutan lainnya ditentukan
dengan cara yang sama. Sudut rotasi optik dari beberapa konsentrasi
Tabel 4.3. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa sepanjang 1 dm.
No. Konsentrasi (gr ml-1) Sudut rotasi optik ()
1 0,2 18±3
2 0,25 22±3
3 0,305 26±2
4 0,344 28±3
5 0,367 33±4
6 0,44 36±5
Tabel 4.3 menunjukkan gejala semakin besar konsentrasi larutan
galaktosa maka sudut rotasi optik juga semakin besar. Untuk menentukan
nilai rotasi optik spesifik larutan galaktosa dibuat grafik hubungan sudut
rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa yang ditunjukkan
gambar 4.6.
Gambar 4.6. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa sepanjang 1 dm.
Sesuai dengan persamaan (2.2) maka gradien grafik 4.6 merupakan nilai
2. Hasil Pengukuran Larutan Laktosa
Penelitian dilakukan pula pada larutan laktosa. Larutan laktosa
diberi perlakuan sama dengan larutan galaktosa. Data yang diperoleh
untuk larutan laktosa ditampilkan pada tabel 4.4. Tidak semua data yang
diperoleh ditampilkan pada tabel 4.4.
a. Analisa dengan Hukum Malus
Gambar 4.7 Grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut putaran analisator. Intensitas berkas cahaya satu (intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan intensitas berkas cahaya dua (intensitas cahaya yang rendah) sebagai berkas cahaya yang melewati
larutan. Konsentrasi larutan laktosa 0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Gambar 4.7 menunjukkan bahwa lembah grafik intensitas berkas
cahaya dua berada di sebelah kiri lembah grafik intensitas berkas cahaya
satu. Grafik intensitas berkas cahaya satu dan grafik intensitas berkas
Gambar 4.8. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap sudut putaran analisator
Gambar 4.9. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap sudut putaran analisator. Konsentrasi larutan laktosa 0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Fase grafik intensitas berkas cahaya satu sebesar 3,15±0,04 rad dan fase
grafik intensitas berkas cahaya dua sebesar 3,50±0,04 rad. Selisih fase
kedua grafik merupakan sudut rotasi optik. Untuk larutan laktosa dengan
konsentrasi 0,541 gr ml-1 diperoleh sudut rotasi optik sebesar 0,35±0,06
Setelah sudut rotasi optik untuk satu konsentrasi larutan diperoleh,
kemudian sudut rotasi optik untuk konsentrasi lain dihitung dengan cara
yang sama. Sudut rotasi optik untuk masing-masing konsentrasi
ditampilkan pada tabel 4.5.
Tabel 4.5. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa sepanjang 1 dm.
No. Konsentrasi (gr ml-1) Sudut rotasi optik ()
1 0,541 20±3
2 0,565 22±2
3 0,592 24±3
4 0,622 23±4
5 0,654 25±2
6 0,691 28±4
7 0,728 30±4
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi larutan
laktosa maka sudut rotasi optik juga semakin besar. Nilai rotasi optik
spesifik larutan laktosa ditentukan dengan membuat grafik hubungan sudut
rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa. Grafik hubungan sudut
rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa ditunjukkan oleh gambar
Gambar 4.10. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa sepanjang 1 dm
Gradien grafik 4.10 menunjukkan besarnya nilai rotasi optik spesifik
larutan laktosa yaitu sebesar (51 ± 5) derajat ml gr-1 dm-1.
b. Analisa dengan Grafik Hubungan Intensitas Berkas Cahaya Satu terhadap
Intensitas Berkas Cahaya Dua
Metode lain untuk menentukan nilai spesifik rotasi optik dari
larutan laktosa adalah dengan grafik hubungan intensitas berkas cahaya
satu terhadap intensitas berkas cahaya dua yang ditunjukkan pada gambar
Gambar 4.11. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua. Konsentrasi larutan laktosa 0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Grafik 4.11 dianalisa dengan cara yang sama dengan yang dilakukan pada
larutan galaktosa menggunakan persamaan (2.4). Mengacu pada gambar
2.5, dari gambar 4.11 diperoleh nilai B sebesar 284,5 lux dan nilai b
sebesar 120 lux, sehingga diperoleh sudut perputaran optik 21±6.
Konsentrasi larutan laktosa kemudian divariasi. Masing-masing
konsentrasi ditentukan sudut rotasi optiknya. Hubungan sudut rotasi optik
terhadap konsentrasi larutan laktosa disajikan pada tabel 4.6.
Tabel 4.6. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa sepanjang 1 dm.
No. Konsentrasi (gr ml-1) Sudut rotasi optik ()
1 0,541 21±6
2 0,565 22±4
3 0,592 23±5
4 0,622 23±5
5 0,654 25±4
6 0,691 28±4
Gambar 4.12. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa sepanjang 1 dm.
Nilai rotasi optik spesifik larutan laktosa diperoleh dari gradien grafik
hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa sepanjang
1 dm. Nilai spesifik rotasi optik larutan laktosa dari gambar 4.12 sebesar
3. Hasil Pengukuran Larutan Fruktosa
Fruktosa diperlakukan dengan cara yang sama yang dengan larutan
galaktosa dan laktosa diperoleh data sebagai berikut.
a. Analisa dengan Hukum Malus
Gambar 4.13. Grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut putaran analisator. Intensitas berkas cahaya satu (intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan intensitas berkas cahaya dua (intensitas cahaya yang rendah) sebagai berkas cahaya yang melewati
larutan. Konsentrasi larutan fruktosa 0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Cara menentukan sudut rotasi optik untuk larutan fruktosa ini sama
dengan larutan galaktosa dan laktosa. Grafik 4.14 dan grafik 4.15 difit
dengan persamaan (2.3).
Gambar 4.15. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap sudut putaran analisator. Konsentrasi larutan fruktosa 0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Fase grafik intensitas berkas cahaya satu sebesar 1,59±0,04 rad dan fase
grafik intensitas berkas cahaya dua sebesar 1,37±0,04 rad. Selisih fase
kedua grafik merupakan sudut rotasi optik. Untuk larutan fruktosa dengan
konsentrasi 0,38 gr ml-1 diperoleh nilai rotasi optik sebesar 0,22±0,06 rad
atau 12±3.
Konsentrasi larutan fruktosa kemudian divariasi. Sudut rotasi optik
diperoleh dengan cara yang sama kemudian ditampilkan pada tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan fruktosa sepanjang 1 dm.
No. Konsentrasi (gr ml-1) Sudut rotasi optik ()
1 0,38 12±3
2 0,4 13±3
3 0,42 14±4
4 0,44 18±3
Gambar 4.16. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan fruktosa sepanjang 1 dm.
Dari grafik 4.16 dapat diketahui besarnya nilai rotasi optik spesifik larutan
fruktosa yaitu sebesar (89 ± 13) derajat ml gr-1 dm-1.
b. Analisa dengan Grafik Hubungan Intensitas Berkas Cahaya Satu terhadap
Intensitas Berkas Cahaya Dua
Metode lain untuk menentukan sudut rotasi optik dari larutan
fruktosa adalah dengan grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu
Gambar 4.17. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua. Konsentrasi larutan fruktosa 0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Dari grafik 4.17 berdasarkan gambar 2.5 dipeoleh nilai B sebesar 71,5 lux
dan nilai b sebesar 18 lux sehingga diperoleh sudut rotasi optik 15±4.
Demikian pula untuk konsentrasi larutan fruktosa yang lain, sehingga
diperoleh tabel 4.12.
Tabel 4.9. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan fruktosa sepanjang 1 dm.
No. Konsentrasi (gr ml-1) Sudut rotasi optik ()
1 0,38 15±4
2 0,4 17±1
3 0,42 18±5
4 0,44 21±3
Gambar 4.18. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan fruktosa sepanjang 1 dm.
Dari grafik 4.18 dapat diketahui besarnya nilai rotasi optik spesifik larutan
fruktosa yaitu sebesar (86 ± 9) derajat ml gr-1 dm-1.
B. Pembahasan
Cahaya terpolarisasi melewati larutan yang bersifat optis aktif akan
diputar bidang getarnya. Peristiwa ini disebut rotasi optik. Rotasi optik
dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, panjang larutan, dan jenis larutan yang
dilewati. Penelitian ini meneliti beberapa jenis larutan yang bersifat optis aktif
untuk mengetahui nilai rotasi optik spesifiknya.
Sudut rotasi optik dapat ditentukan bila acuan sudah ditentukan
terlebih dahulu. Pada penelitian sebelumnya acuan dan berkas cahaya yang
melewati larutan bersifat optis aktif ditentukan secara terpisah, padahal
sumber cahaya yang digunakan dapat menghasilkan intensitas cahaya yang
melewati larutan bersifat optis aktif diukur secara bersamaan. Untuk dapat
mengukur acuan dan berkas cahaya yang melewati larutan bersifat optis aktif
secara bersamaan digunakan beam splitter sebagai pemecah berkas cahaya
laser. Berkas cahaya acuan kemudian disebut berkas cahaya satu dan berkas
cahaya yang melewati larutan bersifat optis aktif disebut berkas cahaya dua.
Kemudian masing-masing berkas cahaya ditangkap oleh sensor cahaya yang
terhubung ke komputer melalui interface LabPro.
Sebelum melakukan pengukuran, dilakukan eksperimen pendahuuan.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini diatur posisinya. Sensor cahaya
diatur agar tegak lurus terhadap arah datangnya berkas cahaya. Analisator
diberi pelumas agar dapat berputar dengan lancar. Posisi cuvette diatur agar
tidak miring terhadap jalannya berkas cahaya.
Setelah posisi alat diatur, sumber cahaya kemudian dinyalakan.
Sumber cahaya yang digunakan pada penelitian ini adalah laser HeNe. Laser
HeNe memiliki karakteristik yaitu intensitas cahaya tidak stabil akibat
perubahan panjang resonator, terutama pada awal pemakaian [Santosa, 2011].
Oleh karena itu, sebelum digunakan laser dinyalakan terlebih dahulu selama
kurang lebih 1 jam.
Setelah diamati, berkas cahaya yang sampai di sensor cahaya
menyebar. Intensitas berkas cahaya yang terbaca terkadang bukan bagian
tengah dari penyebaran berkas tersebut sehingga intensitasnya tidak konstan.
bagian tengah berkas cahaya laser yang sampai di sensor cahaya. Diafragma
diletakkan diantara analisator dan sensor cahaya.
Data yang ditampilkan pada gambar 4.1, 4.7, dan 4.13 masih terdapat
riak-riak kecil yang terlihat terutama pada puncak-puncak grafik. Riak-riak
kecil ini diakibatkan oleh adanya getaran. Sumber getaran antara lain
komputer dan motor listrik. Sumber getaran ini menggetarkan diafragma
karena sumber getaran ini berada pada meja yang sama dengan diafragma.
Untuk mengurangi getaran ini kemudian komputer sebagai sumber getaran
dipindahkan ke meja yang lain. Getaran dari motor listik masih menggetarkan
diafragma karena motor listrik terhubung dengan analisator yang berada pada
meja yang sama sehingga terkadang bukan pusat berkas cahaya yang sampai
di sensor cahaya.
Setelah pengaturan alat menghasilkan data yang baik, kemudian
larutan yang diteliti dituang ke cuvette. Analisator kemudian diputar oleh
motor listrik. Selama analisator berputar, intensitas cahaya dicatat oleh
komputer. Data yang dicatat komputer adalah tabel hubungan intensitas berkas
cahaya terhadap waktu. Tabel ini kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik
hubungan intensitas berkas cahaya terhadap waktu. Menurut persamaan (2.1),
intensitas berkas cahaya merupakan fungsi sudut. Kemudian dilakukan
perhitungan terhadap waktu sehingga diperoleh intensitas berkas cahaya
sebagai fungsi sudut.
Grafik intensitas berkas cahaya satu dan grafik intensitas berkas
Malus. Cara pertama untuk menentukan sudut rotasi optik dengan fitting data
hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua.
Grafik ini berbentuk elips karena antara sumbu horisontal dan sumbu vertikal
memiliki perbedaan fase. Sudut rotasi optik ditentukan menggunakan
persamaan (2.4).
Analisa dengan Hukum Malus cocok digunakan untuk keadaan
eksperimen dengan putaran analisator konstan. Bila putaran analisator konstan
maka grafik intensitas cahaya terhadap sudut putaran analistor dapat terbentuk
dengan baik. Meskipun analisator tidak berputar dengan konstan metode ini
masih dapat digunakan karena fasilitas fitting data pada software LoggerPro
dapat menampilkan hasil fitting yang paling mendekati persamaan grafik yang
tepat. Fitting data ini menggunakan semua titik data yang dihasilkan untuk
menentukan persamaan grafiknya. Sedangkan analisa dengan grafik hubungan
intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua tidak
memerlukan perhitungan terhadap waktu untuk mendapatkan hubungan
intensitas terhadap sudut. Analisator tidak harus diputar konstan, karena cara
Fitting data menggunakan hukum Malus dan grafik hubungan
intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua digunakan
untuk menentukan sudut rotasi optik untuk satu konsentrasi larutan. Nilai
rotasi optik spesifik ditentukan dari grafik sudut rotasi optik terhadap
konsentrasi larutan. Semakin besar konsentrasi larutan maka semakin besar
pula sudut rotasi optik. Konsentrasi larutan yang semakin tinggi menunjukkan
bahwa bahan yang mampu memutar bidang getar cahaya terpolarisasi di
dalam zat pelarut semakin banyak, sehingga perputarannya semakin jauh.
Gradien dari grafik ini merupakan nilai rotasi optik spesifik larutan yang
diteliti.
Hasil pengkuran secara keseluruhan disajikan dalam tabel 4.10 berikut.
Tabel 4.10 Tabel hasil pengukuran nilai rotasi optik spesifik dari analisa Hukum Malus, grafik Elips, dan Acuan [Belitz, Grosch, Scieberle, 2009]
No. Jenis Gula
Nilai rotasi optik spesifik (derajat ml g-1 dm-1)
Hukum Malus Grafik Elips Acuan 1 Galaktosa 80 ± 8 80 ± 5 80,2 2 Laktosa 51 ± 5 52 ± 6 53,6 3 Fruktosa 89 ± 13 86 ± 9 92
Nilai rotasi optik spesifik yang dihasilkan dari analisa dengan Hukum
Malus menghasilkan ralat yang cukup besar. Ralat yang cukup besar ini
dikarenakan masih ada getaran dari motor listrik yang menggetarkan
diafragma dan putaran analisator yang tidak konstan. Hal ini terlihat dari garis
fitting data yang tidak tepat mengikuti titik-titik data. Terdapat pergeseran
antara titik data dengan garis fitting data. Sedangkan untuk analisa dengan
cahaya dua juga menghasilkan ralat yang cukup besar karena grafik yang
dihasilkan tidak membentuk elips dengan baik.
Ralat pada larutan fruktosa bila dibanding dengan ralat dari larutan
galaktosa dan laktosa merupakan ralat yang terbesar. Ralat dari larutan
fruktosa ini besar karena fruktosa memiliki karakteristik yang berbeda dengan
galaktosa dan laktosa. Galaktosa dan laktosa berbentuk bubuk kemudian
dilarutan dengan aquades sehingga terbentuk larutan laktosa dan galaktosa.
Larutan laktosa dan galaktosa ini berwarna putih kekuningan sehingga lebih
mudah dilewati berkas cahaya. Fruktosa berbentuk cair dan berwarna coklat
pekat. Fruktosa cair ini kemudian diencerkan agar dapat dilewati berkas
cahaya. Berkas cahaya yang melewati larutan ini menyebar. Penyebaran
berkas cahaya ini lebih luas dibanding dengan penyebaran berkas cahaya yang
melewati larutan laktosa dan galaktosa. Hal ini menyebabkan pembacaan
intensitas berkas cahaya semakin tidak baik sehingga ralatnya pun besar.
Nilai rotasi optik spesifik yang diperoleh dengan menggunakan metode
analisa dengan Hukum Malus dan grafik hubungan intensitas berkas cahaya
satu terhadap intensitas berkas cahaya dua hampir sama. Namun bila hasil ini
dibandingkan dengan hasil pengukuran yang pernah dilakukan, yang
ditampilkan pada tabel 4.10, terlihat bahwa nilainya hampir sama.
Ketidaksamaan terjadi karena nilai rotasi optik spesifik pada pengukuran yang
pernah dilakukan menggunakan sodium D-line dengan panjang gelombang
589 nm sebagai sumber cahaya dan diteliti pada suhu 20C-25C [Belitz,
HeNe dengan panjang gelombang 632,8 nm sebagai sumber cahaya dan suhu
ruangan 27C.
Pengamatan intensitas berkas cahaya terpolarisasi berbantuan
komputer ini relatif lebih mudah digunakan. Komputer merupakan media yang
sudah tidak asing lagi. Metode eksperimen ini dapat pula digunakan dalam
pembelajaran pada praktikum gelombang dan optika. Komputer dapat
membantu siswa untuk mengamati intensitas cahaya terpolarisasi yang
melewati analisator. Dengan bantuan komputer siswa tidak perlu mengamati