PERAN MEDITASIMINDFULNESSTERHADAP PEMAKNAAN KEBAHAGIAAN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh: Mario Febryan Heimbach
NIM : 089114094
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii SKRIPSI
PERAN MEDITASIMINDFULNESSTERHADAP PEMAKNAAN KEBAHAGIAAN
Oleh:
Mario Febryan Heimbach NIM: 089114094
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Skripsi,
iii SKRIPSI
PERAN MEDITASIMINDFULNESSTERHADAP PEMAKNAAN KEBAHAGIAAN
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Mario Febryan Heimbach NIM: 089114094
Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji
pada tanggal: .. Maret 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji:
Nama Lengkap Tanda Tangan
Penguji 1 C. Siswa Widyatmoko S.Psi., M.Psi. ………
Penguji 2 ………
Penguji 3 ………
Yogyakarta, Maret 2013
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Your vision will become clear only when you can look into your own heart.
Who looks outside, dreams; who looks inside, awakes”
(Carl Gustav Jung)
Terima kasih kepada segala bentuk kehidupan,
yang dalam ketidakkekalannya
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 10 April 2013
Penulis,
vi
PERAN MEDITASIMINDFULNESSTERHADAP PEMAKNAAN KEBAHAGIAAN
Mario Febryan Heimbach
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran meditasi mindfulness terhadap pemaknaan kebahagiaan. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana peran meditasi
mindfulnessterhadap pemaknaan kebahagiaan. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekataninterpretative phenomenological analysis. Penelitian ini melibatkan tiga orang responden. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur. Proses validasi yang dilalui adalah validasi komunikatif, di mana data dapat dipakai jika responden merasa data yang didapat peneliti dapat menggambarkan pengalaman responden; dan validasi argumentatif, di mana hasil penelitian dapat dibuktikan dengan melihat data mentah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik meditasimindfulnessyang dijalani dapat menggeser pemaknaan kebahagiaan, yang dahulu berorientasi pada mengejar dan mempertahankan sesuatu menjadi penerimaan pada realitas saat ini, sebagaimana adanya. Perubahan tersebut dapat terjadi karena melaui meditasi
mindfulness, para meditator belajar untuk tidak melekat pada pikiran melalui pengamatan terhadap pikiran yang terus mengalir, memfokuskan perhatian pada kualitas napas, serta menerima diri dan momen saat ini seutuhnya.
vii
THE ROLE OF MINDFULNESS MEDITATION TOWARDS THE MEANING OF HAPPINESS
Mario Febryan Heimbach
ABSTRACT
This research aimed to explore the role of mindfulness meditation towards the meaning of happiness. The research question was how mindfulness meditation can affect the meaning of happiness. This was a qualitative research that applied interpretative phenomenological analysis as an approach. Three respondents were involved during this reseach. The data was collected by using semi-structured interview. Credibilty in this research was built by communicative and argumentative validation. Communicative validation was applied when the data can portray the respondents’ experience correctly. While argumentative validation was applied when the research’s result can be confirmed by looking at the raw data. The result suggested that by practicing mindfulness meditation, the meaning of happiness was shifted. Previously, the meditators defined happiness as a state that can be achieved by pursuing and holding on to something. After practicing mindfulness meditation, the meditators defined happiness as a state when people can accept reality in the present moment, as the way it is. This shifting meaning of happiness can be achieved because by practicing mindfulness meditation, the meditators learned to not getting attached to any thoughts through observing the stream of thoughts, focusing on the quality of breath, and fully accepting the occuring present moment as well as themselves.
viii
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata
Dharma
NAMA : MARIO FEBRYAN HEIMBACH
NIM : 089114094
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Peran Meditasi Mindfulness
terhadap Pemaknaan Kebahagiaan
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya
memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk
menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 10 April 2013
Yang menyatakan,
ix
KATA PENGANTAR
Ada banyak cara untuk melihat esensi sebuah tugas akhir dari suatu proses
perkuliahan. Jika dilihat dari sudut pandang akademis formal, tugas akhir yang
berupa tulisan ini adalah salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana psikologi
(S.Psi) dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Namun,
dari sudut pandang personal penulis, tulisan ini merupakan sebuah langkah awal
dari penjelajahan panjang yang baru saja dimulai.
Perwujudan tulisan ini dapat terlaksana karena adanya pengetahuan dari
individu-individu lain, dari masyarakat luas. Oleh karena itu, tulisan ini juga
diharapkan dapat kembali memberi kontribusi (berupa inspirasi, referensi teori,
atau apapun) kepada khalayak luas. Biarlah pengetahuan yang mampir dalam rupa
huruf-huruf ini memberi sumbangsih kepada siapa saja yang memerlukannya.
Akhirnya, penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya terhadap mereka yang berjasa baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap terwujudnya tulisan ini. Ucapan terima kasih penulis
persembahkan kepada:
1. Ibu Dr. C. Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma. Terima kasih atas dedikasinya dalam menjalankan roda
fakultas.
2. Bapak Siswa Widyatmoko S.Psi., M.Psi. dan Mbak Haksi selaku
pembimbing skripsi. Terima kasih atas pengetahuan yang telah
x
3. Ibu Agnes Indar Etikawati., M.Si., Psi. selaku dosen pembimbing
akademik. Terima kasih atas saran-saran dan tanda tangan yang
dibubuhkan selama beberapa semester panjang yang terasa singkat ini.
4. Semua staf Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Bu
Nanik, dan Pak Gie. Terima kasih atas dedikasinya yang luar biasa.
5. Orangtua penulis, yang selalu berusaha menyediakan layar dan perahu
terbaik agar penulis dapat berlayar ke samudera seberang tanpa kurang
suatu apapun.
6. Ketiga responden dalam penelitian ini, R, A, dan N. Terima kasih atas
kesediaan untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan kebijaksanaan
yang tertuang dalam penelitian ini.
7. Semua orang di Chan Indonesia, khususnya Bapak Agus Santoso, yang
telah memberi kesempatan agar penulis dapat menemukan dan
menyalakan lentera di dalam diri.
8. Teman-teman di kampus yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Terima kasih atas warna-warni yang sudah kalian tumpahkan dalam
kehidupan. Interaksi dengan kalian merupakan momen yang sangat
mendewasakan.
9. Teman-teman, murid-murid, rekan-rekan guru dan staf di Sekolah
Bahasa Realia. Terima kasih atas segala cerita, ilmu, dan wawasan
tentang betapa luasnya dunia. Diskusi dan obrolan dengan kalian adalah
jendela bagi luasnya pengetahuan di dunia yang menanti untuk
xi
10. Segala entitas yang (tentu saja) tidak bisa disebutkan satu per satu.
Terima kasih atas kesalingterhubungan yang mencerahkan.
Demikian kata pengantar yang dapat disampaikan. Penulis selalu
membuka mata hati dan pikiran terhadap kritik dan saran yang terkait dengan
tulisan ini. Sekali lagi, terima kasih.
Yogyakarta, 10 April 2013
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………... ii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……… iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
ABSTRAK... vi
ABSTRACT... vii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat teoretis ... 8
2. Manfaat praktis ... 9
BAB II. LANDASAN TEORI ... 10
A.Subjective Well-Being ... 10
xiii
2. Jenis-jenis kebahagiaan ... 11
3. Kebahagiaan dan momen saat ini……… 12
B. Meditasi……… 12
1. Meditasi konsentrasi……… 14
2. Meditasimindfulness……… 14
3. Meditasiloving-kindness……….. 14
C. MeditasiMindfulness………. 15
1. Definisimindfulness……… 15
2.MindfulnessdalamBuddhist Psychological Model……. 17
3.Mindfulnessdan konsephere and now……….... 21
D. Hubugan antaramindfulnessdansubjective well-being…….. 22
BAB III. METODE PENELITIAN ... 26
A. Jenis Penelitian ... 27
B. Fokus Penelitian ... 27
C. Responden Penelitian... 27
D. Metode Pengumpulan Data ... 28
E. Prosedur Pengumpulan Data... 32
F. Metode Analisis Data ... 37
G. Kredibilitas Penelitian ... 41
BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 42
A. Profil Responden ... 42
xiv
C. Pembahasan ... 81
1. Kondisi sebelum mempraktikkan meditasimindfulness... 81
2. Hal yang dilakukan saat mempraktikkan meditasi Mindfulness... 83
3. Perubahan yang berangsur terjadi sesudah mempraktikkan meditasimindfulness... 85
BAB V. PENUTUP……… 91
A. Kesimpulan………. 91
B. Kekuatan Penelitian……… 92
C. Keterbatasan Penelitian ... 92
D. Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Persiapan Wawancara………. 29
Tabel 2 Pedoman Wawancara……….... 31
Tabel 3 Pelaksanaan Wawancara……… 34
Tabel 4 Pengelolaan Wawancara dengan Triangulasi Peneliti ... 39
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam eksistensinya, semua manusia tidak bisa lepas dari beberapa hal
deterministik seperti bertambah tua, terserang penyakit, dan menjumpai
kematian. Untuk mempertahankan eksistensinya tersebut, manusia sering kali
berupaya untuk memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya dengan harapan
bahwa ketika semua kebutuhannya terpenuhi, maka akan tercapai kondisi
“bahagia”.
Beberapa manusia melakukan usaha yang tidak biasa sebagai bentuk
usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya dan untuk mengejar kebahagiaan.
Khususnya di masyarakat Indonesia, ada beberapa laku atau cara untuk
mengejar hal tersebut, antara lain dengan berpuasa (seperti puasa di bulan
Ramadhan, mutih, ngrowot, dll), bertapa dengan berbagai jenisnya,
menggunakan mantra serta susuk, dan masih banyak lagi (Endraswara, 2010).
Berbagai orang yang melakukan cara-cara tersebut juga menyertakan
permohonan, seperti ingin lulus ujian atau ingin memenangkan undian dengan
hadiah uang (Sartono, 2012). Meskipun pada kenyataannya, uang atau
kekayaan tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan seseorang
(Baumgardner & Crothers, 2009).
Fenomena-fenomena di atas adalah representasi dari berbagai tantangan
atas sebenarnya tidak berasal dari eksistensi manusia itu sendiri, tetapi berasal
dari respons yang maladaptif (Olendzki, dalam Didonna, 2009). Respons
tersebut nampak dalam pengejaran kenikmatan dan penghindaran
ketidaknikmatan tanpa henti sebagai bentuk usaha mengejar kebahagiaan. Oleh
karena itu, perlu dipelajari esensi kebahagiaan dan langkah-langkah adaptif
yang dapat dijalani sebagai jalur menuju kebahagiaan (Leyden, Goldberg,
Michelbach, 2011).
Sejak dahulu, mulai dari era Yunani kuno sampai era fisafat modern,
sudah banyak para pemikir dan cendekiawan yang mempertanyakan esensi
atau makna kebahagiaan (Eid & Larsen, 2008). Kebahagiaan (happiness) atau
dalam terminologi psikologi sering disebut sebagai subjective well-being
merupakan kombinasi dari kepuasan hidup, adanya afek positif, dan tidak
adanya afek negatif (Baumgardner & Crothers, 2009). Kepuasan hidup
merupakan faktor kognitif mengenai tingkat kepuasan seseorang atas hidupnya.
Afek positif adalah faktor emosional yang menunjukkan frekuensi dan
intensitas emosi yang menyenangkan, seperti kesenangan dan keceriaan. Di sisi
lain, afek negatif merupakan faktor emosional yang menunjukkan frekuensi
dan intensitas emosi yang tidak menyenangkan, seperti kesedihan dan
kekhawatiran.
Menurut Keyes (dalam Lopez, 2008), komponen-komponen dalam
subjective well-being merupakan komponen dalam menentukan kesehatan
mental seseorang. Orang yang memiliki tingkat subjective well-being yang
(Davidson. Mostofsky, & Whang, dalam Leyden et al., 2011). Melalui mental
yang sehat, manusia dapat memperjuangkan tingkat pertumbuhan yang lebih
maju agar dapat merealisasikan segala potensinya dan mengaktualisasikan diri
sepenuhnya (Schultz, 1991). Dalam kesehariannya, mereka pada akhirnya akan
memiliki lebih banyak emosi positif dan dapat berfungsi secara optimal dalam
berbagai aspek. Pada aspek psikologis dan sosial, individu yang sehat mental
dapat memiliki tujuan hidup dan kedekatan dengan sahabat dan keluarga.
Mereka juga dapat beraktivitas lebih optimal, khususnya dalam performa kerja
dan kehidupan sehari-hari (Lopez, 2008).
Subjective well-being adalah rumusan yang relevan untuk
mengeksplorasi kualitas hidup seseorang dari perspektif mereka sendiri
(Keyes, et al. dalam Lopez 2008). Hal ini disebabkan karena setiap individu
memiliki nilai-nilai, tujuan hidup, dan daya yang berbeda (Diener et al., dalam
Lopez, 2008). Oleh karena itu, hasil subjektif yang mendalam dapat didapat
dengan memberikan kesempatan kepada individu untuk mengeksplorasi
hidupnya berdasarkan penilaian, nilai-nilai, dan tujuan hidupnya sendiri.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, kebahagiaan atau
subjective well-being nampak berhubungan dengan beberapa hal. Menurut
Worsch, Amir, dan Miller (2011), Subjective well-being dipengaruhi oleh
kapasitas individu untuk menyesuaikan tujuan-tujuannya (goal adjustment
capacities) dan strategi individu dalam menanggulangi stres. Individu yang
tidak terikat pada tujuan yang gagal tercapai serta dapat memiliki tujuan lain
juga berhubungan dengan gejala-gejala depresif (Kim, Ann, & Kim, 2011).
Semakin tinggi tingkat kebahagiaan individu, maka gejala-gejala depresif
individu tersebut akan semakin rendah. Peristiwa-peristiwa dalam hidup juga
mempengaruhi subjective well-being seseorang (Luhman, Hoffman, Eid, &
Lucas, 2012). Setiap peristiwa hidup yang berbeda memiliki pengaruh yang
berbeda terhadap subjective well-being. Menurut Shier dan Graham (2011),
subjective well-being juga dipengaruhi oleh tingkat mindfulness seseorang.
Semakin mindful seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat subjective
well-beingorang tersebut.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan kebahagiaan atau subjective
well-being. Padash, Dehnavi, dan Botlani (2012) menyebutkan bahwa terapi
kognitif adalah pendekatan yang efektif untuk meningkatkan subjective
well-being seseorang. Salah satu modifikasi dari terapi kognitif, yaitu
mindfulness-based cognitive therapy (terapi kognitif yang berdasar pada pendekatan
mindfulness) juga berpengaruh positif pada subjective well-being (Collard,
Avny, & Boniwell, 2008). Meditasi mindfulness adalah salah satu pendekatan
yang juga berpengaruh terhadap well-being secara umum dan psychological
functioning seseorang (Lykins & Baer, 2009), di mana psychological
functioning merupakan salah satu bagian dari subjective well-being (Keyes, et
al. dalam Lopez, 2008).
Meskipun sudah berulang kali terbukti secara empiris,
penelitian-penelitian tentang terapi yang dapat meningkatkansubjective well-beingadalah
tingkat kebahagiaan seseorang. Dengan demikian, perlu dilakukan suatu
penelitian yang dapat menjelaskan apa sebenarnya esensi atau makna dari
kebahagiaan sehingga makna kebahagiaan yang diperoleh dapat berperan
terhadap terapi mindfulness yang diberikan (Mogilner, Kamvar, & Aaker,
2011). Sebagai contoh, jika individu memaknai kebahagiaan sebagai
penerimaan, maka terapi mindfulness yang diberikan sebaiknya juga
menekankan aspek penerimaan.
Sebagai pendekatan yang berpengaruh terhadap kebahagiaan,
mindfulness pada dasarnya merupakan jantung atau inti dari meditasi dalam
Buddhisme (Thera, dalam Kabat-Zinn, 2003). Untuk mengembangkan
ketrampilan mindfulness, Kabat-Zinn (2003) menyebutkan bahwa praktik
meditasi merupakan landasan yang utama. Dalam praktikmindfulness, individu
mengamati bagaimana kesadaran (persepsi, kognisi, emosi, atau sensasi)
bekerja dengan tidak menghakimi segala yang muncul dan terjadi di sana
(Baer, 2003). Mindfulnes bukan aktivitas mistis atau spiritual, juga bukan
jawaban dari semua masalah. Namun, dengan praktik mindfulness, semua
permasalahan dalam hidup dapat dilihat dengan lebih jelas melalui pikiran
yang jernih (Kabat Zinn, 1990).
Mindfulness memiliki beberapa pengaruh terhadap subjective
well-being. Dengan pendekatan mindfulness, afek negatif dapat berkurang secara
signifikan dan kepuasan hidup dapat meningkat (Collard, Avny, & Boniwell,
2008). Brown dan Ryan (dalam Collard, et al., 2008) juga menyatakan bahwa
Sampai saat ini, pendekatan berbasis mindfulness mulai banyak
diterapkan dalam berbagai konteks. Dalam konteks klinis, mindfulness
diterapkan dalam beberapa intervensi seperti mindfulness-based stress
reduction atau MBSR dan mindfulness-based cognitive therapy atau MBCT
(Baer, 2003). MBSR merupakan latihan ketrampilan meditasi mindfulness,
tidak hanya dalam meditasi duduk, namun juga dalam aktivitas sehari-hari
seperti berjalan, berdiri, dan makan. Dalam MBSR, partisipan juga mendapat
kesempatan untuk berdiskusi, khususnya tentang stres dan penanggulangannya.
MBCT merupakan intervensi yang berdasarkan pada MBSR. Dalam MBCT,
partisipan dilatih untuk mengamati pikiran dan perasaannya tanpa menghakimi.
Pada akhirnya, partisipan diharapkan dapat melihat pikiran dan perasaannya
sebagai peristiwa mental yang selalu berlalu dan tidak lekat terhadapnya.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa intervensi berbasis
mindfulness terbukti memiliki pengaruh positif terhadap banyak hal.
Kabat-Zinn (1982) dan Gardner-Nix (dalam Didonna, 2009) menyatakan bahwa
intervensi mindfulnessberpengaruh positif terhadap penanggulangan rasa sakit
kronis. Proses penyembuhan psoriasis mengalami peningkatan setelah
intervensi mindfulness, khususnya MBSR (Kabat-Zinn, 2003). Dengan
ketrampilan yang diajarkan dalam intervensimindfulness, gangguan kecemasan
yang dialami individu dapat berkurang (Kabat-Zinn et al., 1992; Greeson &
Brantley, dalam Didonna, 2009). Intervensi mindfulness juga berpengaruh
positif terhadap gangguan makan, seperti anoreksia nervosa, bullimia nervosa,
Teasdale et al. (2000) serta Barnhofer dan Crane (dalam Didonna, 2009),
gangguan depresi mengalami penurunan setelah intervensi mindfulness.
Pengaruh positif dari intervensi berbasis mindfulness juga nampak pada
gangguan obsesif-kompulsif, borderline personality disorder, perilaku adiktif,
trauma dan post-traumatic stress disorder, attention-deficit hyperactivity
disorder, &psychosis(Didonna, Rizvi et al., Bien, Follette & Vijay, Zylowska
et al., Pinto, dalam Didonna, 2009).
Hasil penelitian-penelitian menunjukkan bahwa praktik mindfulness
memang memiliki pengaruh positif dan terbukti efektif menangani kondisi
psikologis dan fisik. Namun, karena adanya kesulitan dalam operasionalisasi
mindfulness, proses yang mendasari praktik mindfulness masih belum dapat
dipahami dengan baik (Chambers, Lo, & Allen, 2007). Oleh karena itu,
Shapiro (2005) menyatakan bahwa penelitian-penelitian selanjutnya perlu
mengeksplorasi bagaimana mindfulness bekerja. Grabovac, Lau, dan Willett
(2011) dalam Buddhist Psychological Model sudah mencoba menjelaskan
mekanismemindfulnessberdasarkan teks di dalam Buddhisme. Namun, karena
penelitian ini ditujukan untuk mengkaji mindfulness dalam konteks psikologi
sebagai ilmu, mekanisme tersebut masih perlu dieksplorasi melalui pendekatan
empiris yang sistematis, khususnya dalam konteks klinis saat ini sehingga
diharapkan akan didapat data yang sesuai dengan pengalaman, kondisi mental,
dan kondisi pikiran individu. Dengan demikian, pada akhirnya data yang
mindfulness terhadap individu secara umum dan pemaknaan kebahagiaan
secara khusus.
Berdasarkan keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian mindfulness
sebelumnya, peneliti ingin mengeksplorasi peran mindfulness terhadap
pemaknaan kebahagiaan atau subjective well-being. Dengan mengeksplorasi
peran mindfulness, mekanisme yang terselubung di dalamnya dapat terungkap,
khususnya dalam kaitannya dengan pemaknaan kebahagiaan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan pertanyaan yang menjadi permasalahan penelitian: Bagaimana
peran meditasimindfulnessterhadap pemaknaan kebahagiaan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran meditasi
mindfulnessterhadap pemaknaan kebahagiaan.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber literatur
mengenai psikologi positif secara umum dan meditasimindfulness sebagai
2. Manfaat praktis
Hasil eksplorasi dari penelitian ini diharapkan dapat menawarkan
salah satu cara yang terbukti empiris dan therapeutic untuk meraih
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A.SUBJECTIVE WELL-BEING
1. Pengertiansubjective well-being
Subjective well being (SWB) adalah evaluasi subjektif individu
terhadap hidupnya, baik secara kognitif maupun afektif (Diener, dalam
Baumgardner & Crothers, 2009). Individu yang memiliki tingkat SWB
tinggi adalah individu yang mengalami banyak emosi positif dan sedikit
emosi negatif, mengalami lebih banyak kenikmatan daripada penderitaan,
dan mengalami kepuasan terhadap hidupnya. Dalam bahasa yang lebih
umum, istilah SWB sering kali diterjemahkan menjadi kebahagiaan
(Baumgardner & Crothers, 2009; Lopez, 2008).
SWB atau kebahagiaan terdiri dari tiga komponen, yaitu kepuasan
hidup, afek positif, dan afek negatif. Kepuasan hidup merupakan faktor
kognitif mengenai tingkat kepuasan seseorang atas hidupnya. Afek positif
adalah faktor emosional yang menunjukkan frekuensi dan intensitas emosi
yang menyenangkan, seperti kesenangan dan keceriaan. Di sisi lain, afek
negatif merupakan faktor emosional yang menunjukkan frekuensi dan
intensitas emosi yang tidak menyenangkan, seperti kesedihan dan
kekhawatiran (Baumgardner & Crothers, 2009).
Menurut Keyes (dalam Lopez, 2008), komponen-komponen dalam
kesehatan mental seseorang. Kesehatan mental merupakan hal penting,
karena melalui mental yang sehat, manusia dapat memperjuangkan tingkat
pertumbuhan yang lebih maju supaya dapat merealisasikan semua
potensinya dan mengaktualisasikan diri sepenuhnya (Schultz, 1991).
2. Jenis-jenis kebahagiaan
Kebahagiaan dibagi menjadi dua, yaitu kebahagiaan hedonis dan
kebahagiaan eudaimonis. Baumgardner dan Crothers (2009) menyebutkan
bahwa kebahagiaan hedonis adalah kesenangan-kesenangan dan
kenikmatan-kenikmatan dalam hidup. Berdasarkan perspektif ini, tujuan
dari kehidupan seseorang adalah untuk mengejar kebahagiaan dan
kenikmatan. Sedangkan, kebahagiaan eudaimonis adalah realisasi diri,
pengekspresian, dan pemenuhan segala potensi dalam diri. Perspektif ini
melihat bahwa sumber kebahagiaan adalah usaha menuju aktualisasi diri,
ketika talenta, kebutuhan, dan nilai-nilai dapat diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari. Waterman (dalam Baumgardner & Crothers, 2009)
menyebutkan bahwa individu dapat mencapai kebahagiaan eudaimonis
ketika ia dapat terlibat ke dalam aktivitas yang sesuai dengan nilai-nilai
yang dianutnya dan sesuai dengan persepsi dirinya.
Meskipun kebahagiaan hedonis dan eudaimonis tampak berbeda
secara konseptual, pengukuran kebahagaain hedonis dan eudaimonis
menunjukkan adanya korelasi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa individu
bermakna (secara eudaimonis). Jadi, meskipun sebuah penelitian meneliti
kebahagiaan hedonis maupun eudaimonis, kedua bentuk kebahagiaan
tersebut akan terlihat dalam hasil penelitian (Baumgardner & Crothers,
2009).
3. Kebahagiaan dan momen saat ini
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mogilner, Kamvar, dan
Aaker (2011), pemaknaan kebahagiaan dipengaruhi oleh usia. Individu
yang berasal dari kelompok usia muda (sekitar 20 tahun) memaknai
kebahagiaan sebagai kegembiraan (excitement). Pada kelompok usia yang
lebih tua, individu yang berusia sekitar 50 tahun memaknai kebahagiaan
sebagai ketenteraman (peacefulness) yang berfokus pada momen saat ini.
Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya usia,
individu mengalami pergeseran makna kebahagiaan. Pergeseran ini terjadi
karena adanya pergeseran fokus dan orientasi kehidupan dari masa depan
ke momen saat ini seiring bertambahnya usia.
B. MEDITASI
Meditasi telah menjadi bagian dari budaya manusia sejak ribuan tahun
yang lalu. Meditasi mindfulness khususnya dapat ditemukan dalam ajaran
Siddharta Gautama (Gunaratna, Hanh, Nanamoli & Bodhi, dalam Kabat-Zinn,
2003). Ajaran yang kemudian dikenal sebagai Buddhisme tersebut mulai
Thera menyatakan bahwa meditasi mindfulness seringkali disebut sebagai
jantung dari meditasi dalam Buddhisme (Kabat-Zinn, 2003).
Ada beberapa alasan mengapa meditasi menjadi salah satu pendekatan
yang populer. Kabat-Zinn (2003) menyatakan bahwa ketrampilan dalam
meditasi (khususnya mindfulness) dapat dipraktikkan oleh orang-orang atau
budaya yang enggan menerapkan Buddhisme, tetapi membutuhkan teknik
untuk mengurangi stres dan hidup lebih sehat. Baik terapis maupun peneliti
telah membawa praktik meditasi tanpa nuansa tradisi dan agama (Linehan,
Kabat-Zinn et al, dalam Appel & Kim-Appel, 2009). Pendekatan dalam
meditasi sejatinya bernuansa psikologis, bermetode empiris, dan bertujuan
therapeutic(Didonna, 2009).
Meditasi melatih individu untuk menyadari pikiran-pikiran yang
mengalir dalam kesadaran. Hal ini merupakan hal yang utama karena pada
dasarnya pikiran-pikiran akan senantiasa mengalir dalam kesadaran, satu demi
satu maupun sekaligus, dalam rangkaian tanpa akhir. Fenomena ini adalah sifat
dasar pikiran (nature of the mind). Oleh karena itu, meditasi tidak bertujuan
untuk menghilangkan pikiran-pikiran, namun meditasi bertujuan untuk tidak
mengidentifikasi diri dengan pikiran-pikiran – not being your own thoughts
(Didonna, 2009). Dengan tidak mengidentifikasi diri dengan pikiran, individu
menjadi lebih dapat mengamati dan menerima, tanpa niat untuk mengubah
Secara umum, meditasi dibagi menjadi tiga jenis.
1. Meditasi konsentrasi.
Meditasi jenis ini menggunakan suatu objek untuk memusatkan
pikiran, seperti mantra atau nafas. Dalam teknik ini, praktisi memusatkan
kembali pikirannya pada objek konsentrasi setiap kali pikirannya
berkelana sehingga pada akhirnya akan tercipta ketenangan. Bahasa Pali
yang tepat untuk menyebut meditasi konsentrasi ini adalah samatha
bhavana.
2. Meditasimindfulness.
Meditasi mindfulness tidak memiliki suatu objek untuk
memusatkan pikiran. Alih-alih memusatkan pikiran, meditasi ini melatih
individu untuk mengamati segala yang terjadi dalam pikiran, menerima
semua buah pikir yang timbul-tenggelam, mengamati aliran kesadaran
(stream of consciousness). Dalam bahasa Pali, meditasi mindfulness
disebut sebagai vipassana bhavana. Namun, istilah spesifik untuk kata
mindfulness dalam bahasa Pali disebut sebagai sati, yang berarti “alat”
untuk mengamati segala yang terjadi dalam pikiran dari waktu ke waktu.
3. Meditasiloving-kindness
Dalam bahasa Pali, loving-kindness dapat diterjemahkan sebagai
meta. Saat praktik meditasi jenis ini, individu mengucapkan kalimat
seperti “semoga semua makhluk berbahagia”. Teknik ini membuat niat
pada akhirnya dapat membantu praktisi dalam merespons segala buah
pikir yang muncul dalam pikiran.
Ketrampilan dalam ketiga jenis meditasi tersebut saling berhubungan.
Saat ketrampilan sati (mindfulness) sudah terlatih dengan baik, individu dapat
memilih antara meditasi meta (loving-kindness), meditasi samatha
(konsentrasi), atau meditasi vipassana (mindfulness) sesuai keperluan. Dalam
konteks psikologis secara umum, individu dapat memusatkan perhatiannya
pada nafas, suara-suara, atau apapun (samatha) saat sedang diliputi stressor.
Individu juga dapat menerapkanloving-kindness(meta) untuk membuat pikiran
menjadi lebih tenang dan dipenuhi emosi positif. Ketika memori buruk muncul,
ketika emosi dan pikiran negatif menguasai pikiran, individu dapat mengamati
dan menerima semua hal yang terjadi tersebut (vipassana). Jadi, ketiga jenis
meditasi di atas pada dasarnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
untuk mengurangi penderitaan dan mencapai kebahagiaan (Siegel, Germer, dan
Olendzki, dalam Didonna, 2009).
C. MEDITASIMINDFULNESS
1. Definisimindfulness
Beberapa ahli memiliki definisi yang berbeda-beda terhadap
mindfulness. Baer (2003) menyebutkan bahwa mindfulness adalah
pengamatan terhadap munculnya stimulus-stimulus internal dan eksternal
seperti apa adanya dan tanpa menghakimi. Menurut Kabat-Zinn (2003),
saat ini, secara tanpa menghakimi dari waktu ke waktu. Germer (dalam
Didonna, 2009) menyatakan bahwa mindfulness adalah kemampuan untuk
menyadari dan menerima pengalaman saat ini. Definisi-definisi tersebut
menunjukkan bahwamindfulnessbicara tentang kesadaran, penerimaan, dan
momen saat ini.
Meditasi mindfulness bekerja dengan cara yang tidak sama dengan
teknik-teknik meditasi lain (seperti meditasi samatha dan meta, atau
meditasi yang menggunakan visualisasi). Seperti meditasi lain, mindfulness
melatih individu untuk menempatkan dan menjaga perhatian pada suatu
objek. Tidak seperti meditasi lain, objek dari meditasi mindfulness adalah
keseluruhan pikiran yang terus-menerus berubah dan mengalir. Ketrampilan
dalam mindfulness bukan untuk menginvestigasi suatu objek khusus,
melainkan untuk menginvestigasi suatu proses. Meditasi mindfulness
sebenarnya juga memerlukan konsentrasi untuk mengendalikan dan
memfokuskan perhatian, tetapi, pikiran yang sudah terkonsentrasi tersebut
kemudian diarahkan pada objek yang bergerak, yaitu aliran kesadaran (the
stream of consciousness). Alih-alih mengarahkan kesadaran pada suatu
objek tunggal, individu dilatih untuk melihat bagaimana kesadarannya
termanifestasi.
Secara umum, meditasi mindfulness memiliki beberapa pengaruh.
Coffey dan Hartman (2008) menemukan bahwa kemampuan untuk
mengamati aliran kesadaran tanpa menghakimi dalam meditasimindfulness
sehingga emosi negatif dapat dikelola secara adaptif. Dalam mindfulness,
emosi-emosi yang muncul dapat diregulasi dengan menggunakan fungsi
kognitif. Meningkatnya mindfulness juga berhubungan dengan
berkurangnya kelekatan dan perenungan. Ketika individu betul-betul berada
pada momen saat ini, kecenderungan untuk mencari hal-hal di luar
pengalaman kekiniannya tersebut berkurang. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Greeson (2009), kemampuan dalam mindfulness dapat
meningkatkan ketenangan (equanimity) dan kemampuan untuk tidak
merespons stimulus secara reaktif (nonreactivity). Selain hal-hal di atas,
mindfulnessjuga terbukti dapat mengurangi stress dengan memberikan efek
relaksasi, meningkatkan kemampuan untuk menerima, dan mengubah fungsi
kognitif menjadi lebih adaptif (Baer, 2003). Alih-alih menganggap pikiran
sebagai realitas, individu dapat mepersepsikan pikiran atau buah pikir yang
muncul sebagai “hanya pikiran”.
2.MindfulnessdalamBuddhist Psychological Model
Grabovac, Lau, dan Willett (2011) mencoba menjelaskan mekanisme
mindfulness berdasarkan Buddhist Psychological Model (BPM).
Konsep-konsep dalam BPM diambil dari Abhidamma Pitaka, sehingga dapat
dikatakan bahwa hal-hal yang dijelaskan di dalamnya merupakan hasil dari
tinjauan literatur yang masih memerlukan validitas empiris.
Menurut BPM, aktivitas mental terjadi dalam beberapa komponen.
memasuki persepsi dan mengalami kontak dengan indera atau ketika objek
kognisi (pemikiran, memori, emosi) muncul di pikiran. Kesadaran ini hadir
dalam waktu singkat dan kemudian segera berlalu.
Dengan munculnya kesadaran akan suatu objek, secara bersamaan
juga muncul perasaan (feeling tone) yang mengikuti: menyenangkan, tidak
menyenangkan, dan netral. Dalam konteks ini, “perasaan” di sini tidak sama
dengan konteks emosi seperti ketakutan, amarah, dll, melainkan merupakan
pengalaman afektif yang muncul secara spontan. Karena sifatnya yang
selalu berubah, tidak kekal, serta datang dan pergi dengan cepat,
perasaan-perasaan ini sering kali tidak disadari sehingga dapat memicu reaksi
pemikiran-pemikiran (termasuk emosi) dan tindakan yang menimbulkan
penderitaan atausuffering.
Kebiasaan manusia adalah mengejar hal yang menyenangkan dan
menjauhi hal yang tidak menyenangkan. Dalam Buddhisme, hal tersebut
dikenal sebagai kelekatan (attachment) dan aversi (aversion). Kebiasaan ini
muncul dalam segala hal atau peristiwa yang terjadi di pikiran. Secara
umum, masyarakat menganggap bahwa individu mengejar atau menjauhi
suatu objek yang muncul di kesadaran. Namun, BPM melihat bahwa
kelekatan dan aversi muncul dalam perasaan yang ditimbulkan suatu objek.
Hal-hal dan segala peristiwa yang terjadi di dalam pikiran (mental
events) yang memicu munculnya perasaan juga berasosiasi dengan perasaan
lain. Adanya kelekatan dan aversi yang muncul bersamaan dengan suatu
ini disebut sebagai proliferasi mental. Menurut BPM, ketika individu tidak
memiliki kesadaran atas pola kelekatan dan aversi yang menyebabkan
proliferasi mental, ia akan membuat proses tersebut menjadi kebiasaan
maladaptif.
BPM memiliki tiga karakteristik yang menjadi fokus utama.
Pertama, impresi sensoris (kesan-kesan yang ditangkap oleh indera) dan
segala hal yang terjadi di pikiran bersifat sementara. Hal-hal tersebut selalu
datang dan pergi. Hal ini dikenal sebagai ketidakkekalan atau
impermanence. Kedua, reaksi-reaksi yang dipicu oleh kelekatan dan aversi
adalah penyebab penderitaan atau suffering. Ketiga, impresi sensoris dan
segala hal yang terjadi di pikiran bukanlah bagian dari diri. Hal ini dikenal
sebagai bukan-diri atau not-self. Segala bentuk sensasi inderawi maupun
hal-hal yang terjadi di pikiran memiliki tiga karakteristik tersebut. Terlebih
lagi, penderitaan dalam konteks umum dan konteks klinis merupakan akibat
dari reaksi kelekatan/ aversi terhadap perasaan-perasaan dan proliferasi
mental di dalamnya. Dalam BPM, peningkatan well-being terjadi ketika
sensasi inderawi dan segala hal di pikiran dibiarkan datang dan pergi secara
alami, tanpa proses kognitif yang mengarah ke kelekatan maupun aversi,
meskipun masih terasa menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral.
Ketika tidak ada kelekatan dan aversi, maka tidak ada proliferasi mental,
sehingga tidak ada penderitaan yang ditimbulkan.
Menurut BPM, praktik mindfulness dilandasi oleh beberapa hal.
tidak beraturan difokuskan pada kualitas napas. Setiap napas yang dihirup
dan dihembuskan dapat memberikan pemahaman tentang ketidakkekalan
(impermanence), penderitaan (suffering), dan not-self, yang merupakan tiga
karakteristik segala fenomena dalam pikiran (mental events). Ketika
perhatian difokuskan pada napas, meditator dapat menyadari bahwa tidak
ada kualitas napas yang sama (ketidakkekalan). Meditator juga dapat
melihat bahwa mereka akan mengejar gaya bernapas tertentu (pelan atau
cepat), kemudian menyadari adanya kelekatan pada gaya bernapas tersebut
sehingga menyebabkan munculnya penderitaan sebagai usaha pengejaran
kelekatan. Meskipun tidak dikejar dan tidak disadari, napas akan tetap
terjadi tanpa intevensi diri (not-self). Dalam memfokuskan perhatian,
meditator juga mengonsentrasikan pikirannya. Praktikmindfulness memang
lazim digabungkan dengan praktik konsentrasi, khususnya untuk
memfokuskan dan menenangkan pikiran, tidak semata-mata untuk
berkonsentrasi pada suatu objek spesifik.
BPM menyebutkan bahwa salah satu tujuan individu untuk
mempraktikkan meditasi mindfulness adalah untuk mengalami transformasi
batin. Hal ini juga sering dikenal sebagai pencerahan atau enlightenment.
Transformasi batin dalam BPM dijelaskan sebagai perubahan permanen
dan radikal dalam persepsi yang dapat menghentikan proses identifikasi
terhadap hal-hal di pikiran. Dalam perjalanan menuju transformasi batin,
para meditator lambat laun akan menyadari bahwa mengejar kenikmatan
Transformasi batin yang didapat dari pemahaman terhadap tiga karakter
(impermanence, suffering, not-self) dapat mengembangkan kesadaran yang
seimbang. Keseimbangan ini tercapai ketika individu mempersepsikan suatu
objek tanpa adanya kelekatan maupun aversi.
Praktik mindfulness yang dijelaskan dalam BPM juga mencakup
latihan untuk menerima diri. Ketika individu berlatih untuk menerima diri
saat bermeditasi, sensasi-sensasi serta segala hal yang terjadi dalam pikiran
menjadi lebih mudah untuk disadari karena kondisi pikiran yang bebas dari
ketegangan. Kesadaran yang terhanyut dalam aliran pikiran juga dapat
kembali diarahkan kepada objek meditasi (misalnya napas) tanpa reaksi
negatif sehingga kemunculan pemikiran-pemikiran negatif dapat dicegah.
Latihan regulasi atensi dan penerimaan diri yang dijalani dalam praktik
mindfulness dapat meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan diri
(behavioral self-regulation).
3.Mindfulnessdan konsephere and now
Seperti yang diungkapkan oleh Germer (dalam Didonna, 2009) dan
Kabat-Zinn (2003), mindfulness menekankan pada pentingnya menyadari
momen saat ini. Perls (dalam Schultz, 1991) menyatakan bahwa momen di
sini dan kini (here and now) adalah satu-satunya kenyataan yang ada. Masa
lampau dan masa depan adalah sesuatu yang tidak riil. Orang-orang yang
melekat pada masa lampau ataupun masa depan memiliki kepribadian yang
depan, individu tersebut menjadi tidak dapat menerima diri sepenuhnya
karena adanya realitas yang dihindari. Oleh karena itu, ketika individu dapat
menerima realitas secara penuh, maka ia dapat memanfaatkan seluruh
potensinya untuk menjadi individu yang fleksibel. Dengan demikian,
kelekatan terhadap masa lampau ataupun masa depan adalah kecenderungan
yang maladaptif terhadap perkembangan manusia yang penuh.
D. HUBUNGAN ANTARA MINDFULNES DAN SUBJECTIVE WELL-BEING
Intervensi berbasis mindfulness memiliki pengaruh positif terhadap
banyak hal. Kabat-Zinn (1982) dan Gardner-Nix (dalam Didonna, 2009)
menyatakan bahwa intervensi mindfulness berpengaruh positif terhadap
penanggulangan rasa sakit kronis. Proses penyembuhan psoriasis mengalami
peningkatan setelah intervensi mindfulness, khususnya MBSR (Kabat-Zinn,
2003). Dengan ketrampilan yang diajarkan dalam intervensi mindfulness,
gangguan kecemasan yang dialami individu dapat berkurang (Kabat-Zinn,
1992; Greeson & Brantley, dalam Didonna, 2009). Intervensi mindfulnessjuga
berpengaruh positif terhadap gangguan makan, seperti anoreksia nervosa,
bullimia nervosa, danbinge eating disorder (Wolever & Best, dalam Didonna,
2009). Menurut Teasdale et al. (2000) dan Barnhofer dan Crane (dalam
Didonna, 2009), gangguan depresi mengalami penurunan setelah intervensi
mindfulness. Pengaruh positif dari intervensi berbasismindfulnessjuga nampak
adiktif, trauma & post-traumatic stress disorder,attention-deficit hyperactivity
disorder, &psychosis(Didonna, Rizvi et al., Bien, Follette & Vijay, Zylowska
et al., Pinto, dalam Didonna, 2009).
Beberapa penelitian terbukti menunjukkan hubungan yang signifikan
antara mindfulness dengan subjective well-being. Penelitian yang dilakukan
oleh Collard, Avny, dan Boniwell (2008) menunjukkan bahwa
mindfulness-based cognitif therapy (terapi kognitif yang berdasar pada pendekatan
mindfulness) memiliki pengaruh positif terhadap SWB. Pada penelitian
tersebut, afek positif dari partisipan tidak mengalami peningkatan, sedangkan
afek negatif partisipan terbukti berkurang secara signifikan. Tingkat kepuasan
hidup terbukti mengalami peningkatan, tetapi nampak tidak cukup signifikan.
Lykins dan Baer (2009) menemukan bahwa meditasi mindfulness berpengaruh
positif terhadap psychological functioning, di mana psychological functioning
merupakan salah satu bagian dari SWB (Keyes, et al. dalam Lopez, 2008).
Menurut Keyes (dalam Lopez, 2008), SWB dan
komponen-komponennya merupakan komponen dalam menentukan kesehatan mental
seseorang. Orang yang memiliki tingkat SWB yang tinggi (dengan kata lain,
orang yang bahagia) adalah orang yang lebih sehat (Davidson. Mostofsky, &
Whang, dalam Leyden et al., 2011). Melalui mental yang sehat, manusia dapat
memperjuangkan tingkat pertumbuhan yang lebih maju supaya dapat
merealisasikan semua potensinya dan mengaktualisasikan diri sepenuhnya
Penelitian-penelitian di atas adalah beberapa contoh dari banyak
penelitian lainnya yang hanya berfokus pada tingkat kebahagiaan seseorang.
Dengan demikian, perlu dilakukan suatu penelitian yang dapat menjelaskan apa
sebenarnya esensi atau makna dari kebahagiaan tersebut (Mogilner, Kamvar, &
Aaker, 2011).
Eksplorasi mengenai bagaimana mindfulness dapat memberikan
pengaruh positif seperti yang sudah disebutkan sebelumnya merupakan hal
yang penting. Meskipun mindfulness terbukti berpengaruh positif dan efektif
dalam menangani kondisi psikologis dan fisik, Chambers, Lo, dan Allen (2007)
berpendapat bahwa intervensi berbasis mindfulness belum dapat dipahami
dengan baik karena adanya kesulitan dalam operasionalisasi mindfulness. Oleh
karena itu, Shapiro (2005) menyarankan kepada penelitian-penelitian
selanjutnya untuk mengeksplorasi bagaimanamindfulnessbekerja.
Penelitian ini berharap untuk dapat mengisi kekosongan yang
dikemukakan oleh Chambers, Lo, Allen (2007), dan Shapiro (2005) tersebut,
khususnya dalam kaitannya dengan kebahagiaan atau SWB seperti yang
diungkapkan oleh Mogilner, Kamvar, dan Aaker, (2011). Untuk dapat
mengeksplorasi proses yang mendasari mindfulness dan pemaknaan
kebahagiaan, metode penelitian yang digunakan adalah interpretative
phenomenological analysis (IPA). IPA dapat digunakan untuk mengeksplorasi
secara mendetail mengenai bagaimana individu mempersepsikan situasi atau
kondisi tertentu dalam hidupnya, serta bagaimana individu memaknai hidupnya
mengeksplorasi suatu proses yang kompleks seperti yang terjadi pada
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan eksplorasi mendalam pada
peran mindfulness terhadap pemaknaan kebahagiaan. Melalui penelitian ini
akan didapatkan suatu informasi berupa proses mendetail mengenai bagaimana
meditasimindfulnessberpengaruh terhadap pemaknaan kebahagiaan individu.
Berdasarkan tujuan penelitian, maka jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
interpretative phenomenological analysis (IPA). IPA dapat digunakan untuk
mengeksplorasi secara mendetail mengenai bagaimana individu
mempersepsikan situasi atau kondisi tertentu dalam hidupnya, serta bagaimana
individu memaknai hidupnya (Smith, 2008).
Penelitian yang menggunakan metode IPA memiliki dua tahapan
utama. Pertama, responden yang dilibatkan dalam penelitian ini berusaha untuk
memikirkan kembali dan memaknai pengalaman-pengalaman mereka. Kedua,
peneliti kemudian berusaha untuk memaknai bagaimana responden penelitian
memikirkan kembali dan memaknai pengalaman-pengalaman mereka. Proses
kedua ini merupakan suatu proses interpretasi yang bertujuan untuk
mengeksplorasi dunia personal responden, sesuai dengan persepsi dan
Penelitian ini memiliki suatu nilai lebih dari metode IPA yang
digunakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Heeren, Van Broeck,
dan Philipot (2009), intervensi berbasis mindfulness (dalam hal ini, MBCT)
terbukti dapat meningkatkan memori autobiografis. Kondisi ini memungkinkan
individu untuk mengingat pengalaman masa lalu mereka secara spesifik.
Dengan mempertimbangkan hasil dari penelitian tersebut, dapat diasumsikan
bahwa pengalaman-pengalaman yang diutarakan oleh responden-responden
dalam penelitian ini lebih bisa dipertanggungjawabkan.
B. FOKUS PENELITIAN
Penelitian ini berfokus pada mekanisme yang terjadi di dalam meditasi
mindfulness sampai pada tingkat di mana meditasi mindfulness dapat berperan
terhadap pemaknaan kebahagiaan. Peneliti berharap dapat menemukan benang
merah pada fokus-fokus penelitian.
C. RESPONDEN PENELITIAN
Responden dalam penelitian ini dipilih berdasarkan beberapa
pertimbangan. Pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan kriteria
tertentu (Patton, dalam Poerwandari 2005), yaitu para meditator yang secara
khusus melakukan meditasi mindfulness selama paling sedikit satu tahun.
Peneliti merasa satu tahun adalah waktu yang cukup untuk melihat pengaruh
dari mindfulness, mengingat bahwa penelitian-penelitian sebelumnya dapat
delapan minggu. Agar dapat menghasilkan data dan analisa yang mendalam,
penelitian ini melibatkan tiga orang responden (Smith, 2008).
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara semi-terstruktur. Smith (2008) menyatakan bahwa wawancara
semi-terstruktur adalah metode yang paling tepat digunakan untuk
mengumpulkan data dalam peneltian dengan pendekatan IPA. Dalam
wawancara semi-terstruktur, peneliti menggunakan pedoman wawancara yang
sangat umum, yang mencantumkan topik-topik penting yang harus digali
(Poerwandari, 2005). Urutan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat
disesuaikan dengan respons dari responden sehingga metode wawancara ini
menuntut fleksibilitas dari peneliti dalam mengajukan pertanyaan. Peneliti
bebas untuk menggali topik-topik yang dimunculkan oleh responden. Oleh
karena itu, peneliti diharapkan dapat menciptakan dan membina hubungan
yang baik (rapport) selama proses pengumpulan data.
Dalam mempersiapkan wawancara, ada beberapa langkah yang
dilakukan peneliti. Pertama-tama, peneliti mencari referensi dari skripsi-skripsi
terdahulu yang dapat dijadikan pedoman untuk memberikan gambaran umum.
Dari gambaran umum yang sudah diperoleh, peneliti kemudian membuat
panduan wawancara dengan menjadikan teori-teori yang ada sebagai poin-poin
pemandu. Panduan wawancara tersebut kemudian didiskusikan peneliti dengan
percobaan, peneliti langsung menghubungi salah satu responden yang sejak
awal sudah bersedia untuk terlibat dalam penelitian. Wawancara percobaan
akhirnya dilakukan pada tanggal 27 Juli 2012 dengan responden pertama.
Sesudah wawancara, peneliti langsung membuat verbatim dan menganalisis
data untuk segera didiskusikan. Sesudah mendiskusikan hasil wawancara
percobaan dengan dosen pembimbing, akhirnya diputuskan untuk
menggunakan hasil wawancara percobaan tersebut sebagai data yang terpakai.
Hal ini bisa disepakati bersama karena panduan wawancara yang digunakan
sudah mampu menggali data-data yang diperlukan dalam penelitian.
Berikut ini adalah tabel persiapan wawancara yang dilakukan peneliti.
Tabel 1
Persiapan Wawancara
No Tanggal Kegiatan Waktu Tempat Catatan
Tabel rancangan panduan wawancara yang digunakan oleh peneliti bisa
dilihat di bawah ini.
Tabel 2
Pedoman Wawancara
No Aspek Topik yang digali Pertanyaan
1 Latar belakang
meditasi
Landasan awal
mengenai meditasi yang
dilakukan subjek
Sudah berapa lama
Anda praktik
meditasi?
Mengapa Anda
melakukan meditasi?
Apa yang membuat
Anda terus melakukan
meditasi sampai saat
ini?
2 Afek positif &
negatif
Deskripsi
perasaan-perasaan sebelum
praktik meditasi
mindfulness
Bagaimana Anda
menilai kondisi emosi
Anda sebelum
meditasi? Bisa
sebutkan contohnya di
kehidupan sehari-hari?
Deskripsi
perasaan-perasaan setelah
meditasimindfulness
Bagaimana Anda
menilai kondisi emosi
Anda setelah
meditasi?
Bisa sebutkan
contohnya di
3 Kepuasan hidup
(life
satisfaction)
Deskripsi hidup ideal
sebelum praktik
meditasimindfulness
Sebelum Anda
mengenal dan
melakukan meditasi,
bagaimanakah hidup
yang ideal menurut
Anda?
Deskripsi hidup ideal
setelah praktik meditasi
mindfulness
Setelah Anda
mengenal dan
melakukan meditasi,
bagaimanakah hidup
yang ideal menurut
Anda?
4 Makna
kebahagiaan
Proses meditasi
mindfulnessdalam
mempengaruhi
kehidupan
Meditasi paling
berpengaruh pada hal
apa dalam hidup
Anda?
Makna kebahagiaan
menurut responden
Apa makna
kebahagiaan bagi
Anda?
E. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA
Pola yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah zig-zag
(Creswell, 1998). Creswell (1998) menyatakan bahwa dengan pola ini, peneliti
mengumpulkan data dari lapangan, menganalisisnya, kemudian kembali lagi ke
lapangan jika data yang didapat ternyata belum mencukupi. Hal ini dilakukan
Peneliti melakukan proses pengumpulan data dengan beberapa langkah
berikut:
1. Peneliti menentukan dan mencari responden penelitian sesuai dengan
kriteria yang sudah ditentukan. Semua responden yang terlibat
merupakan anggota komunitas meditasi di Vihara Buddha Prabha,
Yogyakarta. Peneliti secara rutin menghadiri meditasi yang diadakan
oleh komunitas ini sejak Desember 2011.
2. Peneliti melakukan pendekatan secara personal, kemudian
menciptakan dan membina rapport dengan responden-responden
penelitian.
3. Peneliti menyatakan niatnya dan menanyakan kesediaan responden
untuk terlibat dalam penelitian. Sejak awal terlibat dalam komunitas
meditasi ini, peneliti sudah menyatakan niatnya untuk melakukan
penelitian tentang meditasimindfulness. Hal ini mempermudah peneliti
ketika mendatangi dan bertanya kepada responden satu per satu, terkait
dengan kesediaan mereka untuk terlibat dalam penelitian.
4. Setelah responden bersedia, peneliti dan responden kemudian
menentukan waktu dan lokasi wawancara.
5. Saat wawancara pertama, peneliti memberi gambaran penelitian secara
umum kepada responden. Hal-hal yang digali adalah latar belakang
responden secara umum. Dalam melakukan wawancara ini, peneliti
6. Wawancara kedua dilakukan peneliti dengan menggunakan panduan
wawancara. Wawancara ini dilakukan sesudah responden mendapat
gambaran mengenai penelitian yang dilakukan.
7. Sambil mengajukan pertanyaan dan merekam dengan alat perekam
suara digital, peneliti juga menulis catatan-catatan penting yang
digunakan sebagai bantuan dalam mengajukan pertanyaan.
8. Setelah wawancara kedua selesai, peneliti membuat verbatim dan
menganalisis data yang didapat sejauh ini. Jawaban-jawaban
responden yang memerlukan konfirmasi juga dicatat dan dan disiapkan
untuk wawancara selanjutnya.
9. Wawancara ketiga kemudian dilakukan. Selain untuk menggali
kembali jawaban yang belum jelas, wawancara ini juga dilakukan
untuk mengonfirmasikan hasil analisis kepada responden.
10. Langkah nomor 5 sampai 9 juga dilakukan terhadap responden kedua
dan ketiga
Tabel 3
Pelaksanaan Wawancara
No Tanggal Kegiatan Waktu Tempat Catatan
1 20 Juli
2012
Wawancara
pertama
dengan
responden
R
20:15 –
20:45
Vihara
Buddha
Prabha,
Gondomanan,
Yogyakarta
Wawancara
informal; untuk
mengembangkan
rapport dan
memberikan
F. METODE ANALISIS DATA
Analisis dalam pendekatan IPA bertujuan untuk mempelajari dunia
psikologis responden penelitian (Smith, 2008). Berikut ini adalah
langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan IPA:
1. Mencari tema-tema dalam kasus pertama
Pada langkah ini, transkrip verbatim dibaca berulang-ulang. Penulisan
kemudian dibentuk menjadi tiga kolom. Kolom di tengah menjadi
ruang untuk transkrip verbatim. Setelah transkrip verbatim selesai
dibaca, peneliti kemudian menuliskan komentar atau parafrase untuk
setiap hal-hal atau kalimat yang dirasa menarik oleh peneliti. Langkah
ini dilanjutkan sampai seluruh transkrip selesai. Kemudian, peneliti
kembali ke awal transkrip dan menuliskan tema-tema yang muncul di
kolom sebelah kanan. Tema-tema yang ditulis merupakan intisari yang
ditemukan dalam teks. Tema-tema yang ditulis memerlukan daya
abstraksi yang tinggi dan dapat menggunakan istilah psikologis.
2. Menghubungkan tema-tema
Tema-tema yang ditemukan kemudian dituliskan dalam selembar kertas
dan dicari keterkaitannya satu sama lain. Pertama, penulisan dilakukan
secara kronologis, didasarkan pada urutan di dalam transkrip verbatim.
Kedua, tema-tema tersebut dikelompokkan dan diurutkan secara analitis
atau teoritis. Pada langkah ini, tema-tema akan terbagi menjadi
beberapa kelompok yang sesuai dengan ciri-cirinya masing-masing.
Setiap kelompok tema diberi nama atau label yang mewakili
keseluruhan tema dalam kelompok tersebut. Jika ditemukan suatu tema
yang dianggap tidak relevan dengan fokus penelitian, maka tema
tersebut dapat dihilangkan.
3. Melanjutkan analisis ke kasus berikutnya
Tema-tema dari suatu transkrip verbatim yang sudah dibuat dijadikan
peneliti sebagai acuan untuk mengerjakan transkrip verbatim
selanjutnya. Ketika semua transkrip verbatim telah memiliki tabel tema,
tema-tema tersebut kemudian dikelompokkan menjadi sebuah tabel
tema superordinat
4. Mengubah tema menjadi narasi
Pada langkah ini, tema-tema yang sudah dikelompokkan kemudian
diubah menjadi suatu narasi yang dapat menjelaskan dinamika dan
pengalaman responden penelitian.
Dalam menganalisis data, peneliti melibatkan dua orang peneliti lain
yang memiliki ketertarikan yang sama pada tema mindfulness. Hal ini
dilakukan peneliti dalam rangka mewujudkan triangulasi peneliti. Dengan
triangulasi peneliti, adanya perspektif yang berbeda dalam menganalisis data
yang sama akan memperkuat kredibilitas suatu penelitian kualitatif (Patton,
dalam Poerwandari 2005).
Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah bersama-sama
menentukan alur pengalaman responden. Hal ini dilakukan peneliti untuk
menyajikan gambaran pengalaman responden, khususnya kepada peneliti lain
yang tidak terlibat secara langsung dengan responden. Langkah kedua adalah
mencari, menghubungkan, dan mengelompokkan tema-tema responden.
Setelah didapat tabel tema yang menggambarkan pengalaman responden,
analisis dilanjutkan dengan responden-responden selanjutnya. Pada akhirnya,
tabel tema-tema dari ketiga responden disajikan ke dalam satu tabel tema yang
mencakup semua tema-tema dari responden pertama, kedua, dan ketiga.
Tabel 4
Pengolahan Hasil Wawancara dengan Triangulasi Peneliti
No Tanggal Kegiatan Waktu Tempat Catatan
G. KREDIBILITAS PENELITIAN
Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya dalam
mengeksplorasi masalah (Poerwandari, 2005). Deksripsi mendalam yang
menjelaskan kompleksitas dan interaksi dari aspek-aspek yang terkait menjadi
salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.
Dalam rangka mendapatkan kredibilitas penelitian, peneliti melakukan
dua cara. Pertama, peneliti melakukan validasi komunikatif. Pada langkah ini,
peneliti mengkonfirmasi data dan hasil analisis kepada responden penelitian.
Responden penelitian berhak untuk menyetujui atau tidak menyetujui data dan
hasil analisis yang didapat. Langkah kedua adalah validasi argumentatif. Pada
langkah ini, peneliti melihat kembali keterkaitan antara hasil dan kesimpulan
penelitian dengan melihat kembali data mentah yang sudah didapat
sebelumnya. Hal ini dapat tercapai jika hasil dan kesimpulan penelitian
memiliki alur berpikir yang baik serta dapat dibuktikan dengan melihat
42
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. PROFIL RESPONDEN
Berikut ini adalah profil dari ketiga responden yang terlibat dalam
penelitian ini:
1. Responden I
Responden pertama dalam penelitian ini berinisial R, seorang
perempuan berusia 43 tahun. R betubuh relatif gemuk dengan kulit sawo
matang. Kacamata dan potongan rambut pendek menjadi ciri khasnya.
Setiap kali sedang terlibat dalam sesi wawancara, R selalu menunjukkan
sikap yang santai dan sering tertawa. Jawaban R cenderung singkat, padat,
dan ringkas.
Dalam kesehariannya, R hidup melajang. Meskipun hidup melajang, R
tidak tinggal sendirian melainkan tinggal dengan keluarganya. Aktivitas
sehari-hari R dijalaninya sebagai seorang peneliti yang beberapa kali pergi
ke luar kota untuk mengadakan penelitian. Pekerjaannya ini baru saja
dijalaninya karena dahulu R bekerja di bidang periklanan. Kedua pekerjaan
yang diceritakannya tersebut berhubungan dengan latar belakang
pendidikannya, yaitu ilmu komunikasi.
R memutuskan untuk mulai bermeditasi sejak tahun 1989. Hal yang
mendorong R untuk belajar meditasi pada waktu itu ialah kebutuhannya
menjadi tempat pencariannya. Namun, gereja tidak bisa memenuhi hal yang
dicarinya sampai akhirnya ia menemukan meditasi. Meskipun R merasa
gereja bukanlah tempat yang bisa memenuhi kebutuhannya, R
mengidentifikasi diri sebagai seorang Kristen Protestan.
2. Responden II
Inisial dari responden kedua adalah A. A adalah laki-laki berusia 50
tahun dengan postur yang relatif tinggi. Ciri khas dari A adalah rambutnya
yang selalu dicukur sampai habis. Saat diwawancarai, A dapat menceritakan
banyak hal sampai mendetail dan dengan wajah yang selalu nampak
antusias.
Dalam kehidupan sehari-harinya, A bekerja sebagai kontraktor–sejalan
dengan latar belakang pendidikannya, yaitu teknik sipil. Namun, beberapa
tahun belakangan ini A memutuskan untuk menjalani pekerjaannya dengan
gaya hidup pensiunan sambil mementori anak sulungnya yang juga bekerja
sebagai kontraktor. A tinggal serumah dengan istri dan kedua orang
anaknya.
A mulai bermeditasi sejak tahun 1996. Sebelum mulai praktik meditasi,
A banyak membekali diri dengan ilmu-ilmu filsafat, baik yang umum
maupun yang bernuansa meditasi. A pertama kali belajar meditasi secara
intensif di Amerika Serikat karena tidak adanya lembaga atau guru meditasi
yang secara khusus mengajarkan meditasi beraliran Zen. Saat ini, A menjadi
Yogyakarta. A juga aktif di vihara dan komunitas-komunitas umat
beragama Buddha.
3. Responden III
N adalah inisial dari responden ketiga dalam penelitian ini. Laki-laki
berusia 36 tahun ini nampak gemar bercerita. Setiap kali berada dalam sesi
wawancara, N selalu bersemangat dalam menceritakan hal-hal apapun yang
berkaitan dengan meditasi. N memiliki perawakan yang tegap dengan
rambut yang selalu dicukur tipis.
Dalam kesehariannya, sarjana ekonomi ini bekerja sebagai seorang
wiraswastawan. Saat ini N hidup melajang. Selain bekerja, aktivitas N
sehari-hari adalah merawat orangtuanya yang mulai membutuhkan banyak
perhatian darinya.
N mulai bermeditasi sejak tahun 2001. Dengan latar belakang beragama
Buddha, N akrab dengan cerita-cerita dalam Buddhisme. Dari salah satu
cerita itulah N menemukan cerita yang menginspirasinya untuk belajar
meditasi. Selain aktif dalam komunitas meditasi, N juga aktif berlatih yoga
untuk memperkuat praktik meditasinya.
B. ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil analisis terhadap tiga responden yang terlibat, didapat
beberapa tema yang menjelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian. Analisis