• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KESTABILAN FREKUENSI DAN TEGANGAN SISTEM TENAGA LISTRIK PT. ANEKA TAMBANG (PERSERO) TBK UBPN SULAWESI TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KESTABILAN FREKUENSI DAN TEGANGAN SISTEM TENAGA LISTRIK PT. ANEKA TAMBANG (PERSERO) TBK UBPN SULAWESI TENGGARA"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS KESTABILAN FREKUENSI DAN TEGANGAN SISTEM TENAGA LISTRIK PT. ANEKA TAMBANG (PERSERO)

TBK UBPN SULAWESI TENGGARA

TUGAS AKHIR

Disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Strata Satu Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik

Universitas Hasanuddin Makassar

Oleh:

MUHAMMAD ARIFAI MUHAMMAD HADI SATRIA D411 12 006 D411 13 311

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS KESTABILAN FREKUENSI DAN TEGANGAN SISTEM TENAGA LISTRIK PT. ANEKA TAMBANG (PERSERO)

TBK UBPN SULAWESI TENGGARA

Disusun Oleh:

MUHAMMAD ARIFAI D411 12 006 MUHAMMAD HADI SATRIA D411 13 311

Disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Strata Satu Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik

Universitas Hasanuddin Makassar

Disahkan Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Muh. Bachtiar Nappu, ST., MT., M.Phil., Ph.D. Ardiaty Arief, ST., MTM., Ph.D. NIP. 19760406 200312 1 002 NIP. 19780424 200112 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknik Elektro

Prof. Dr. Ir. H. Salama Manjang, MT. NIP. 19621231 199003 1 024

(3)

iii ABSTRAK

Suatu sistem tenaga listrik harus memiliki kualitas yang baik, diantaranya frekuensi dan tegangan yang berada dalam batas toleransi. Frekuensi sistem harus diperhatikan dalam batas toleransi + 1%, sedangkan tegangan diperhatikan dalam batas toleransi + 5%. Dengan nilai frekuensi dan tegangan yang berada dalam batas kestabilan, maka kualitas suplai daya dalam sistem tenaga listrik akan lebih optimal. Skripsi ini membahas mengenai analisis kestabilan frekuensi dan tegangan di PT Aneka Tambang Tbk Pomalaa, di PT. PLN Kolaka maupun jika PT. Antam Tbk terinterkoneksi dengan PT. PLN Kolaka. Proses analisis kestabilan sistem disimulasikan dengan menggunakan software ETAP 12.6. Simulasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu hubung singkat pada bus tertentu, hilangnya beban, hilangnya pembangkit, lepas sinkron antara unit pembangkt, maupun gangguan lainnya yang memungkinkan terjadi pada sistem tenaga listrik. Hal yang diteliti pada skripsi ini dibatasi kestabilan frekuensi dan tegangan. Dari simulasi yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa sistem tenaga listirik PT. Antam dan PT. PLN Kolaka memiliki kemampuan untuk mempertahankan kestabilannya. Pada saat sebelum terjadinya interkoneksi, kestabilan frekuensi dan tegangan pada sistem PT. Antam mampu kembali pada kondisi normal untuk beberapa kondisi gangguan besar. Begitupula pada saat setelah interkoneksi, frekuensi maupun tegangan cenderung stabil namun timbul harmonisa.

Kata kunci: transient stability, kestabilan tegangan, kestabilan frekuensi, PT. Antam, PT. PLN Kolaka

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Analisis Kestabilan Frekuensi dan Tegangan Sistem Tenaga Listrik PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk Ubpn Sulawesi Tenggara”.

Tugas akhir ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada program Sarjana S-1 di Departemen Teknik Elektro Universitas Hasanuddin Makassar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini terdapat berbagai kendala teknis maupun non teknis yang dihadapi, atas berkat dan pertolongan Allah SWT., serta bantuan moril dari berbagai pihak, sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ambo Jollo Dg. Patunru dan Kumalang, Anshar Dahlan dan A. Jusniati, saudara dan seluruh keluarga atas dukungan, doa, bantuan, nasehat, dan motivasinya.

2. Bapak Muh. Bachtiar Nappu, ST., MT., M.Phil., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, dan saran selama kami menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Ibu Ardiaty Arief, ST., MTM., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing II yang telah mendampingi dan mengarahkan kami dalam penyelesaian tugas akhir ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Salama Manjang, MT., selaku Ketua Departemen Elektro Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar, serta pegawai Departemen Teknik Elektro atas segala ilmu, bantuan, dan kemudahan yang diberikan selama kami menempuh proses perkuliahan.

(5)

v

6. Bapak Ashfanda selaku Assistant Manager Energy Management Department PT Aneka Tambang (Persero) Tbk UBPN Sultra serta seluruh staf dan karyawan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, terkhusus electrical team, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis selama proses pengambilan data tugas akhir ini.

7. Bapak Kamran, ST., selaku Asisten Manajer Operasi Sistem PT. PLN (Persero) UPB Sistem Sulsel Unit Kendari, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis selama proses pengambilan data tugas akhir ini.

8. Seluruh teman-teman Teknik Elektro UNHAS angkatan 2012 dan 2013 yang telah memberikan semangat dan motivasi.

9. Seluruh Corps Asisten Laboratorium Teknik Energi Listrik Departemen Elektro UNHAS dan Corps Asisten Laboratorium Fisika Dasar Fakultas Teknik UNHAS yang telah memberikan saran dan dukungannya.

10. Orang-orang terdekat penulis terkhusus kepada Chaerul Anwar, Fajar, Sry Handayani, Auliati Nisa, Rosaria Ashari Rasyid, Asnovita Sari Duhri, Mutia Khanza, Musdalifah S. Muhammadong, Anggriani Sultan, Sri Devi Nilawardani, yang sudah dianggap adik sendiri yang selalu memotivasi penulis dikala terpuruk.

11. Teman penulis yang sudah seperti saudara sendiri kak Yusriadi, Darmaji Asrun, Tryana Putri Jumianti, Hidayat Sarjum, dan Ruli Adi Lestari yang senantiasa menasihati penulis dalam penyelesaian masalah.

12. Orang terdekat penulis Iin Noer Aswyad, Resita Wati, Virgiawan Rachman, dan Muh. Irfan M.Z. yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

13. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.

(6)

vi

Demikian ungkapan terima kasih dan doa kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan tesis ini, dengan harapan dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan dan jika ada kekurangan, penulis dengan senang hati menerima segala kritikan dan saran guna kesempurnaan hasil penelitian.

Makassar, November 2017

(7)

vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... i LEMBAR PENGESAHAN ... ii ABSTRAK ...iii KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Rumusan Masalah ... 2

I.3 Tujuan Penelitian ... 3

I.4 Batasan Masalah... 3

I.5 Metode Penelitian... 3

I.6 Sistematika Penulisan... 4

BAB II LANDASAN TEORI ... 6

II.1 Sistem Tenaga Listrik ... 6

II.1.1 Pembangkit Tenaga Listrik ... 8

II.1.2 Saluran Transmisi [1] ... 11

II.1.3 Jaringan Distribusi [1] ... 13

II.2 Bentuk Jaringan Sistem Tenaga Listrik ... 18

II.2.1 Sistem Radial Terbuka [2] ... 18

II.2.2 Sistem Radial Paralel [2] ... 19

II.2.3 Sistem Rangkaian Tertutup (Loop Circuit) [2] ... 21

(8)

viii

II.2.5 Sistem Interkoneksi ... 23

II.3 Kestabilan Sistem Tenaga Listrik [3] ... 25

II.3.1 Kestabilan Tegangan [3] ... 28

II.3.2 Kestabilan Frekuensi [4] ... 30

II.4 Pelepasan Beban [5]... 35

II.4.1 Akibat Beban Lebih Pada Sistem Tenaga Listrik [5]... 35

II.4.2 Pelepasan Beban Akibat Penurunan Frekuensi [5] ... 36

II.4.3 Syarat Pelepasan Beban [5] ... 37

II.5 Gangguan Sistem Tenaga Listrik [6] ... 38

II.6 ETAP (Electrical Transient Analyzer Program) [7] ... 39

II.6.1 Analisa Kestabilan Transien [7] ... 39

BAB III METODE PENELITIAN... 41

III.1 Lokasi Penelitian ... 41

III.2 Waktu Penelitian ... 41

III.3 Pengambilan Data ... 41

III.4 Diagram Alir Penelitian ... 42

III.5 Langkah-langkah Menggunakan Software ETAP ... 44

III.5.1 Analisis Kestabilan Transien (Transient Stability) ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

IV.1 Perencanaan Simulasi ... 55

IV.2 Data Penelitian ... 56

IV.3 Hasil Simulasi ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

V.1 Kesimpulan ... 116

(9)

ix

DAFTAR PUSTAKA ... 118

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik [1] ... 6

Gambar 2.2 Pembagian Level Tegangan [1]... 7

Gambar 2. 3 Komponen Pokok Pembangkit [1] ... 9

Gambar 2.4 Skema PLTU [1] ... 9

Gambar 2.5 PLTD [1] ... 10

Gambar 2.6 Jaringan Distribusi [1] ... 14

Gambar 2.7 Skema Jaringan Distribusi [1] ... 15

Gambar 2.8 Konfigurasi Jaringan Radial [1] ... 17

Gambar 2.9 Konfigurasi Sistem Loop [1] ... 18

Gambar 2.10 Sistem Jaringan Radial Terbuka [2] ... 19

Gambar 2.11 Sistem Jaringan Radial Paralel [2] ... 20

Gambar 2.12 Sistem Jaringan Tertutup [2] ... 21

Gambar 2.13 Sistem Jaringan Network/Mesh [2] ... 23

Gambar 2.14 Sistem Jaringan Interkoneksi [2] ... 25

Gambar 2.15 Klasifikasi Kestabilan Sistem Tenaga Listrik [3] ... 28

Gambar 2.16 Ilustrasi Kestabilan Frekuensi [4] ... 31

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian ... 43

Gambar 3.2 Icon Etap ... 44

Gambar 3.3 Tampilan awal ETAP 12.6 ... 44

Gambar 3.4 Tampilan memilih new project ... 45

Gambar 3.5 Tampilan kotak dialog new project ... 45

Gambar 3.6 Tampilan utama ETAP 12.6 ... 46

Gambar 3.7 Single Line Diagram ETAP 12.6 ... 46

Gambar 3.8 Tampilan Data Generator pada ETAP 12.6 ... 47

Gambar 3.9 Tampilan Data Transformator pada ETAP 12.6 ... 48

Gambar 3.10 Tampilan Data Beban Static pada ETAP 12.6 ... 49

Gambar 3.11 Tampilan Data Lumped Load pada ETAP 12.6 ... 50

Gambar 3.12 Tampilan Data Bus pada ETAP 12.6 ... 51

Gambar 3.13 Tampilan Data Circuit Breaker pada ETAP 12.6 ... 52

(11)

xi

Gambar 4.1 Tampilan Letak Skenario Hubung Singkat 3 Fasa ... 60

Gambar 4.2 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTD ... 61

Gambar 4.3 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTU ... 61

Gambar 4.4 Perubahan Frekuensi Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 62

Gambar 4.5 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Beban ... 62

Gambar 4.6 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTD ... 63

Gambar 4.7 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTU ... 64

Gambar 4.8 Perubahan Tegangan Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 65

Gambar 4.9 Perubahan Tegangan Busbar Pada Beban ... 66

Gambar 4.10 Tampilan Letak Skenario Hilangnya Beban ... 67

Gambar 4.11 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTD ... 68

Gambar 4.12 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTU ... 69

Gambar 4.13 Perubahan Frekuensi Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 69

Gambar 4.14 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Beban ... 70

Gambar 4.15 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTD ... 71

Gambar 4.16 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTU ... 71

Gambar 4.17 Perubahan Tegangan Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 72

Gambar 4.18 Perubahan Tegangan Busbar Pada Beban ... 72

Gambar 4.19 Tampilan Letak Skenario Putusnya Interkoneksi... 74

Gambar 4.20 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTD, 30 kV Switchgear Backbone, dan beban PLTD ... 75

Gambar 4.21 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTU dan beban PLTU ... 76

Gambar 4.22 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTD, 30 kV Switchgear Backbone, dan beban PLTD ... 77

Gambar 4.23 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTU dan beban PLTU ... 78

Gambar 4.24 Tampilan Letak Skenario Hilangnya Beban ... 79

Gambar 4.25 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit Pembangkit ... 80

Gambar 4.26 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit Beban ... 81

Gambar 4.27 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit Pembangkit ... 82

Gambar 4.28 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit Beban ... 83

(12)

xii

Gambar 4.30 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit Pembangkit ... 85

Gambar 4.31 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit Beban ... 86

Gambar 4.32 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit Pembangkit ... 87

Gambar 4.33 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit Beban ... 87

Gambar 4.34 Tampilan Letak Skenario Open Koneksi ... 89

Gambar 4.35 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTD ... 90

Gambar 4.36 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTU ... 91

Gambar 4.37 Perubahan Frekuensi Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 91

Gambar 4.38 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Beban ... 92

Gambar 4.39 Perubahan Frekuensi Busbar GH Antam ... 93

Gambar 4.40 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit Pembangkit ... 93

Gambar 4.41 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit Beban ... 94

Gambar 4.42 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTD ... 95

Gambar 4.43 Grafik Tagangan Busbar Pada Unit PLTU ... 96

Gambar 4.44 Perubahan Tegangan Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 96

Gambar 4.45 Perubahan Tegangan Busbar Pada Beban ... 97

Gambar 4.46 Perubahan Tegangan Busbar GH Antam ... 98

Gambar 4.47 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit Pembangkit ... 99

Gambar 4.48 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit Beban ... 100

Gambar 4.49 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTD ... 101

Gambar 4.50 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTU ... 102

Gambar 4.51 Perubahan Frekuensi Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 102

Gambar 4.52 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Beban ... 103

Gambar 4.53 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTD ... 104

Gambar 4.54 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTU ... 104

Gambar 4.55 Perubahan Tegangan Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 105

Gambar 4.56 Perubahan Tegangan Busbar Pada Beban ... 105

Gambar 4.57 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTD ... 106

Gambar 4.58 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTU ... 107

Gambar 4.59 Perubahan Frekuensi Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 107

(13)

xiii

Gambar 4.61 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTD ... 109

Gambar 4.62 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTU ... 109

Gambar 4.63 Perubahan Tegangan Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 110

Gambar 4.64 Perubahan Tegangan Busbar Pada Beban ... 110

Gambar 4.65 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTD ... 111

Gambar 4.66 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Unit PLTU ... 111

Gambar 4.67 Perubahan Frekuensi Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 112

Gambar 4.68 Perubahan Frekuensi Busbar Pada Beban ... 112

Gambar 4.69 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTD ... 113

Gambar 4.70 Perubahan Tegangan Busbar Pada Unit PLTU ... 113

Gambar 4.71 Perubahan Tegangan Busbar Pada 30 kV Switchgear Backbone ... 114

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data Pembangkit PT. Antam ... 56

Tabel 4.2 Data Beban PT. Antam ... 57

Tabel 4.3 Data Pembangkit PT. PLN Kolaka ... 58

Tabel 4.4 Data Beban Sistem PT. PLN Kolaka ... 59

Tabel 4.5 Skenario kejadian dan aksi simulasi gangguan 3 fasa pada busbar 30 kV Switchgear Backbone tepatnya pada bus inc. C ... 59

Tabel 4.6 Skenario kejadian dan aksi simulasi hilangnya beban Feni 4 ... 67

Tabel 4.7 Skenario kejadian dan aksi simulasi putusnya interkoneksi beban yang terhubung pada unit PLTD dengan beban yang terhubung pada unit ... 74

Tabel 4.8 Skenario kejadian dan aksi simulasi hilangnya beban Feeder Wundulako ... 79

Tabel 4.9 Skenario kejadian dan aksi simulasi hilangnya beban Feeder Wundulako ... 84

Tabel 4.10 Skenario kejadian dan aksi simulasi lepasnya interkoneksi antara PT. Antam dengan PLN Kolaka ... 89

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Single Line Diagram PT. Antam ... 119 LAMPIRAN 2 Single Line Diagram PLN Kolaka ... 121

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk Pomalaa, Sulawesi Tenggara Tbk adalah salah satu perusahaan milik negara penghasil tambang berupa nikel, yang berada di Sulawesi Tenggara dan merupakan penggabungan dari 7 perusahaan negara. Energi listrik di PT. Antam tidak disuplai oleh PLN tetapi dipasok pembangkit listrik sendiri berupa PLTD yang merupakan milik dari PT. Wartsila yang telah memiliki kontrak dengan PT. Antam untuk pengadaan pembangkit ini, dengan kontrak awal pengadaan 6 unit generator dengan kapasitas masing-masing sebesar 17 MW yang juga dioperasikan oleh Wartsila sendiri. Hingga saat ini jumlah unit generator yang ada pada PLTD adalah sebanyak 8 buah.

Seiring dengan perkembangan zaman, maka dilakukanlah penambahan beban berupa smelter yang di PT. Antam sendiri diberi nama FENI. Hal ini dilakukan guna untuk peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi aneka tambang yang ada di PT. Antam khususnya nikel. Dengan adanya penambahan beban ini, maka kebutuhan akan listrik pun meningkat untuk mengimbangi penambahan beban tersebut. Maka dari itu, dibangunlah PLTU yang diinterkoneksikan melalui jaringan 11 kV. Namun, dengan alasan keamanan, jaringan 30 kV dibangun. Sehingga saat ini, jaringan interkoneksi 30 kV menjadi jalur utama antara PLTD dengan PLTU (unit pembangkit baru), sementara jaringan interkoneksi 11 kV menjadi backup. Alasan lain yang mendasari pembangunan PLTU adalah melakukan penghematan biaya bahan bakar jika PLTU sudah sepenuhnya beroperasi.

Penambahan unit PLTU ini akan mempengaruhi tingkat kestabilan pada sistem tenaga listrik di PT. Antam ini. Untuk itu, perlu dilakukanlah uji coba analisis gangguan, pelepasan beban ataupun pembangkit dari unit PLTU, untuk mengevaluasi respon dari PLTD. Hal ini dilakukan untuk melihat keandalan dari PLTD jikalau pada saat operasi penuh dari PLTU, terjadi gangguan ataupun suplai dari PLTU hilang secara tiba-tiba.

(17)

2

Di samping itu, dengan persediaan daya yang dimiliki PT. Antam, selain cukup untuk memenuhi kebutuhan bebannya sendiri, dan juga dapat digunakan PLN untuk memenuhi kebutuhan beban yang ada di sekitar PT. Antam. Sehingga, sangat bisa interkoneksi antara PT. Antam dengan PLN. Dengan interkoneksi ini, tentu saja, akan mempengaruhi kestabilan pada sistem tenaga listrik, baik di PT. Antam sendiri, maupun pada sistem PLN.

Oleh karena itu, kami melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kestabilan Frekuensi Dan Tegangan Sistem Tenaga Listrik PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk Ubpn Sulawesi Tenggara”. Pada penelitian ini, analisis kestabilan frekuensi maupun tegangan dari PLTD pada saat terjadi pelepasan unit PLTU akan disimulasikan dengan menggunakan software ETAP (Electrical Transient and Analysis Program) 12.6. Kestabilan sistem juga akan dievaluasi dengan melakukan beberapa scenario event seperti putusnya CB yang terhubung langsung dari PLTU, maupun lepasnya beban besar dari sistem tenaga listrik di PT. Antam itu sendiri. Selain itu, kestabilan sistem juga dianalisis jika beberapa generator dari unit PLTD terputus dikarenakan terjadi gangguan. Selain itu, dilakukan penelitian ini juga menganalisis kestabilan sistem, baik pada PT. Antam, sistem PLN, maupun sistem interkoneksi antara PT. Antam dengan PLN.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana menganalisis kestabilan tegangan maupun frekuensi unit PLTD akibat hilangnya beban maupun adanya gangguan di PT. Antam?

2. Bagaimana menganalisis kestabilan tegangan maupun frekuensi unit pembangkit akibat hilangnya beban maupun adanya gangguan di PLN Kolaka? 3. Bagaimana menganalisis kestabilan tegangan maupun frekuensi unit PLTD PT.

Antam pada saat unit PLN Kolaka lepas sinkron dari sistem PT. Antam dan berbagai gangguan yang bisa terjadi pada sistem tenaga listrik PT. Antam?

(18)

3 I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin kami capai di penelitian ini:

1. Menganalisis kestabilan tegangan maupun frekuensi unit PLTD akibat hilangnya beban maupun adanya gangguan di PT. Antam.

2. Menganalisis kestabilan tegangan maupun frekuensi unit pembangkit akibat hilangnya beban maupun adanya gangguan di PLN Kolaka.

3. Menganalisis kestabilan tegangan maupun frekuensi unit PLTD PT. Antam pada saat unit PLN Kolaka lepas sinkron dari sistem PT. Antam dan berbagai gangguan yang bisa terjadi pada sistem tenaga listrik PT. Antam.

I.4 Batasan Masalah

Agar penulisan tugas akhir lebih terarah, maka penulis memberikan beberapa batasan masalah sebagai berikut:

1. Simulasi dilakukan dengan menggunakan software ETAP (Electrical and Transient Analysis Program) 12.6.

2. Nilai maksimal iterasi adalah 99

3. Simulasi dilakukan dengan memilih CB yang di-tripkan.

4. Simulasi dilakukan dengan memilih bus yang akan diberi gangguan. 5. Analisis kestabilan difokuskan pada kestabilan tegangan dan frekuensi.

I.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada tugas akhir ini adalah:

1. Studi literatur

Studi literatur dilakukan dengan cara mengadakan studi dari buku, internet, dan sumber bahan pustaka, atau informasi lainnya yang dapat menunjang penelitian. 2. Pengamatan di lapangan

Dilakukan dengan meninjau langsung ke lapangan untuk melakukan pengamatan secara langsung.

3. Pengambilan data

(19)

4 4. Pengelompokan data, yang bertujuan untuk:

a. Mengumpulkan dan mengelompokkan data agar lebih mudah dianalisis. b. Mengetahui kekurangan data sehingga kerja menjadi efisien.

5. Pengolahan data

Dikerjakan dengan menerapkan dan melakukan simulasi aplikasi ETAP 12.6 serta melakukan beberapa perhitungan dan penggambaran, yang selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik.

6. Analisa hasil pengolahan data

Dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh simpulan sementara. Selanjutnya simpulan sementara ini akan diolah lebih lanjut pada bab pembahasan.

7. Simpulan

Diperoleh setelah dilakukan korelasi antara hasil pengolahan dengan permasalahan yang diteliti. Simpulan ini merupakan hasil akhir dari semua masalah yang dibahas.

I.6 Sistematika Penulisan

Penyusunan tugas akhir ini memiliki sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini berisi teori penunjang dan literatur/referensi lain terkait analisis kestabilan transien pada sistem kelistrikan dan pengenalan software ETAP 12.6.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

(20)

5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan dibahas tentang penelitian dan pembahasan kestabilan tegangan dan frekuensi pada sistem tenaga listrik di PT. Antam, PT. PLN Kolaka, maupun interkoneksi antara PT. Antam dengan PT. PLN Kolaka.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari pembahasan permasalahan dan saran-saran untuk perbaikan dan penyempurnaan tugas akhir ini.

(21)

6 BAB II

LANDASAN TEORI II.1 Sistem Tenaga Listrik

Sistem tenaga listrik adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen berupa pembangkitan, transmisi, distribusi dan beban yang saling berhubungan dan berkerja sama untuk melayani kebutuhan tenaga listrik bagi pelanggan sesuai kebutuhan. Secara garis besar sistem tenaga listrik dapat digambarkan dengan skema seperti pada Gambar 2.1 berikut [1].

Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik [1]

Fungsi masing-masing komponen secara garis besar adalah sebagai berikut [1]:

1. Pembangkitan merupakan komponen yang berfungsi membangkitkan tenaga listrik, yaitu mengubah energi yang berasal dari sumber energi lain misalnya: air, batu bara, panas bumi, minyak bumi dan lain-lain menjadi energi listrik.

2. Transmisi merupakan komponen yang berfungsi menyalurkan daya atau energi dari pusat pembangkitan ke pusat beban.

3. Distribusi merupakan komponen yang berfungsi mendistribusikan energi listrik ke lokasi konsumen energi listrik.

(22)

7

4. Beban adalah peralatan listrik di lokasi konsumen yang memanfaatkan energi listrik dari sistem tersebut.

Pada suatu sistem tenaga listrik, tegangan yang digunakan pada masing-masing komponen dapat berbeda beda sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, setiap komponen pada sistem tenaga listrik mempunyai level tegangan yang berbeda-beda. Pembagian level tegangan dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2 Pembagian Level Tegangan [1]

Pada sistem pembangkitan, level tegangan disesuaikan dengan spesifikasi generator pembangkit yang digunakan, biasanya berkisar antara 11 s/d 24 kV. Untuk pembangkit yang berkapasitas lebih besar biasanya menggunakan level tegangan yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan agar arus yang mengalir tidak terlalu besar. Karena untuk kapasitas daya tertentu, besar arus yang mengalir berbanding terbalik dengan tegangannya. Level tegangan pada pembangkit biasanya tidak tinggi, karena semakin tinggi level tegangan generator, jumlah lilitan generator harus lebih banyak lagi. Dengan lilitan yang lebih banyak mengakibatkan generator menjadi lebih besar dan lebih berat sehingga dinilai tidak efisien.

Pada sistem saluran transmisi biasanya digunakan level tegangan yang lebih tinggi. Hal ini karena fungsi pokok saluran transmisi adalah menyalurkan daya, sehingga yang dipentingkan adalah sistem mampu menyalurkan daya dengan efisiensi yang tinggi atau rugi-rugi daya dan turun tegangannya kecil. Upaya yang dilakukan adalah mempertinggi level tegangan agar arus yang mengalir pada jaringan transmisi

70-500kV 220-20.000 V Sesuai keperluan 11-24 kV Penyaluran Distribusi Pengguna Pembangkitan

(23)

8

lebih kecil. Level tegangan saluran transmisi lebih tinggi dari tegangan yang dihasilkan generator pembangkit. Tegangan saluran transmisi umumnya berkisar antara 70 s/d 500 kV. Untuk menaikkan tegangan dari level pembangkit ke level tegangan saluran transmisi diperlukan transformator penaik tegangan.

Pada jaringan distribusi biasanya menggunakan tegangan yang lebih rendah dari tegangan saluran transmisi. Hal ini karena daya yang didistribusikan oleh masing-masing jaringan distribusi biasanya relatif kecil dibanding dengan daya yang disalurkan saluran transmisi, dan juga menyesuaikan dengan tegangan pelanggan atau pengguna energi listrik. Level tegangan jaringan distribusi yang sering digunakan ada dua macam, yaitu 20 kV untuk jaringan tegangan menengah (JTM) dan 220 V untuk jaringan tegangan rendah (JTR). Dengan demikian diperlukan gardu induk yang berisi trafo penurun tegangan untuk menurunkan tegangan dari saluran transmisi ke tegangan distribusi 20 kV. Diperlukan juga trafo distribusi untuk menurunkan tegangan dari 20 kV ke 220 V sesuai tegangan pelanggan.

Level tegangan beban pelanggan menyesuaikan dengan jenis bebannya, misalnya beban industri yang biasanya memerlukan daya yang relatif besar biasanya menggunakan tegangan menengah 20 kV, sedang beban rumah tangga dengan daya yang relatif kecil, biasanya menggunakan tegangan rendah 220 V [1].

II.1.1 Pembangkit Tenaga Listrik

Pembangkit tenaga listrik merupakan bagian dari sistem tenaga listrik yang berfungsi membangkitkan energi listrik dengan mengubah sumber energi lain menjadi energi listrik. Sumber energi tersbut dapat berupa energi air, bahan bakar minyak, batu bara, angin, surya dan lain-lain. Masing-masing pembangkit mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda-beda, sehingga penggunaannya disesuaikan dengan kepentingannya. Pembangkit tenaga listrik biasanya digolongkan menurut prinsip kerja dan sumber energi yang digunakan. Gambar 2.3 memperlihatkan komponen pokok suatu pembangkit listrik [1].

(24)

9

Suatu unit pembangkit paling biasanya terdiri dari tiga komponen, yaitu:

1. Penggerak mula berfungsi menghasilkan energi gerak berupa putaran poros yang selanjutnya digunakan untuk memutar generator.

2. Generator berfungsi untuk mengubah energi gerak menjadi energi listrik yang siap dikirimkan ke pusat beban.

3. Gardu induk berfungsi untuk mengatur pengiriman energi dan juga untuk menyesuaikan level tegangan agar sesuai dengan level tegangan pengiriman.

Gambar 2. 3 Komponen Pokok Pembangkit [1] II.1.1.1 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) [1]

Gambar 2.4 Skema PLTU [1]

Gambar 2.4 menunjukkan skema pembangkitan dari PLTU. Adapun prinsip kerja dari PLTU adalah sebagai berikut [1]:

1. Air dipanaskan dalam ketel uap (boiler) hingga menjadi uap yang bersuhu tinggi dan mempunyai tekanan yang cukup tinggi.

2. Uap tersebut kemudian dialirkan ke turbin uap untuk memutar turbin.

3. Uap yang keluar dari turbin yang tekanannya sudah relative rendah dialirkan ke dalam pendingin (kondensator) agar mengembun kembali lagi menjadi air. 4. Air yang dihasilkan dikembalikan lagi ke boiler untuk diuapkan kembali.

Penggerak

Mula Generator

Gardu Induk

(25)

10

Demikian seterusnya, sehingga siklus akan berlangsung selama pemanasan masih dilakukan. Pemanasan air pada boiler dapat dilakukan dengan membakar bahan bakar seperti bahan bakar minyak, batu bara atau bahan bakar lainnya. Sedangkan pendinginan atau pemgembunan biasanya menggunakan air laut yang disirkulasikan ke ruang pengembunan.

Lokasi pembangunan PLTU dapat lebih fleksibel didekatkan dengan pusat beban, asalkan masih di lokasi pantai untuk memudahkan sirkulasi air laut untuk proses pengembunan uap. Pembangkit jenis ini tidak memerlukan lahan seluas PLTA.

Adapun karakteristik PLTU:

➢ Biaya operasi relatif tinggi, sesuai bahan bakarnya ➢ Biaya investasi lebih murah dibanding PLTA ➢ Pembangunan bisa lebih cepat

➢ Letaknya dapat didekatkan dengan pusat beban ➢ Sebaiknya dibangun di pantai

II.1.1.2 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) [1]

Berbeda dengan jenis pembangkit yang dibahas sebelumnya, pada PLTD energi mekanik yang digunakan untuk memutar generator bukan berasal dari turbin, akan tetapi berasal dari mesin diesel. Dengan demikian prinsip kerja PLTD nampak lebih sederhana, akan tetapi karena efisiensinya yang relatif kecil, maka PLTD hanya digunakan untuk pembangkit dengan kapasitas daya yang relatif kecil. Gambar 2.5 menunjukkan prinsip kerja dari PLTD [1].

Gambar 2.5 PLTD [1] Karakteristik PLTD adalah sebagai berikut:

➢ Biaya operasi sangat tinggi (menggunakan BBM)

BBM

(26)

11 ➢ Biaya pembangunan relatif ringan

➢ Pembangunannya cepat

➢ Letaknya dapat didekatkan pusat beban ➢ Biasanya untuk daya relatif kecil

➢ Untuk melayani beban puncak atau terpencil ➢ Segera bisa digunakan setelah start

II.1.2 Saluran Transmisi [1]

Saluran transmisi merupakan bagian dari sistem tenaga listrik yang berupa sejumlah konduktor yang dipasang membentang sepanjang jarak antara pusat pembangkit sampai pusat beban. Fungsinya yaitu untuk mengirimkan energi listrik dari pusat pembangkit ke pusat beban.

Macam-macam saluran transmisi:

➢ Saluran udara: Kawat atau kondutor telanjang (tanpa isolasi) yang digantung dengan ketinggian tertentu pada tower dengan menggunakan isolator.

➢ Saluran bawah tanah: kabel atau konduktor berisolasi yang ditanam dalam tanah dengan kedalaman tertentu.

➢ Saluran bawah laut: kabel atau konduktor berisolasi yang diletakkan di dasar laut. Saluran transmisi biasanya digunakan untuk mengirimkan daya listrik untuk jarak yang relatif jauh. Dari ketiga jenis saluran transmisi, paling banyak digunakan adalah saluran udara, karena lebih ekonomis. Biaya pembangunan saluran udara relatif lebih ringan dibandingkan dengan jenis yang lain, karena menggunakan penghantar yang telanjang atau tidak berisolasi, sedang jenis yang lain harus menggunakan penghantar berisolasi. Penghantar merupakan komponen pokok dari saluran transmisi, sehingga biaya pembangunannya sangat dipengaruhi oleh jenis penghantar yang digunakan. Saluran bawah tanah dan saluran bawah laut hanya digunakan jika saluran udara tidak lagi bisa digunakan, misalnya untuk menyalurkan daya antar pulau.

Pada saluran bawah tanah dan saluran bawah laut, kekuatan fisik maupun elektris isolasi penghantar merupakan hal yang sangat penting, karena bila terjadi kerusakan atau kebocoran akan sangat membahayakan lingkungan di sekitranya. Sedangkan pada

(27)

12

saluran udara, yang penting adalah memenuhi batas ketinggian saluran minimum, sehingga induksi elektromagnetik dan pengaruh medan magnet yang ditimbulkan tidak membahayakan penghuni atau tanaman yang ada di bawah saluran tersebut.

Macam-macam tegangan saluran transmisi: ➢ Saluran Transmisi AC:

✓ lebih mudah ketika menaikkan dan menurunkan tegangan, cukup dengan transformator.

✓ ada efek induktansi dan kapasitansi saluran ➢ Saluran Transmisi DC:

✓ tidak ada efek induktansi dan kapasitansi saluran

✓ perlu peralatan tambahan ketika menaikkan dan menurunkan tegangan

Dari pertimbangan ekonomis, saluran transmisi tegangan bolak-balik atau AC menjadi pilihan utama, karena pada sistem tenaga listrik AC level tegangan dapat dinaikkan atau diturunkan dengan lebih mudah, yaitu cukup menggunakan trafo. Hal ini tidak mudah dilakukan pada sistem listrik arus searah atau DC. Pada sistem DC, untuk menaikkan atau menurunkan tegangan, tegangan DC harus terlebih dahulu diubah menjadi AC, barulah dimasukkan ke trafo, kemudian keluarannya dikembalikan lagi ke DC.

Sebagai contoh pada gardu pembangkit, setelah trafo penaik tegangan, diperlukan penyearah sebelum dimasukkan ke saluran transmisi. Setelah sampai di Gardu induk, diperlukan inverter untuk mengubah menjadi AC, baru kemudian dimasukkan ke trafo penurun tegangan. Hal ini mengakibatkan saluran transmisi DC memerlukan biaya pembangunan yang relatif tinggi dibanding saluran transmisi AC.

Level tegangan saluran transmisi:

➢ Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) berkisar antara 70 s/d 150 kV ➢ Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di atas 150 kV s/d 750 kV ➢ Saluran Udara Tegangan Ultra Tinggi (SUTUT) di atas 750 kV

Saluran transmisi berfungsi untuk mengirimkan energi listrik dari pusat pembangkit ke pusat beban. Pemilihan jenis saluran transmisi sangat ditentukan oleh

(28)

13

jumlah energi yang akan disalurkan dan jarak atau panjang saluran transmisinya. Pada saluran transmisi, untuk menyalurkan energi dengan jumlah tertentu atau daya tertentu, semakin tinggi level tegangan yang digunakan, maka arus yang mengalir akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya, sesuai dengan rumus:

P = V x I (2.1) Dimana: P: daya yang dikirimkan

V: tegangan saluran

I: Arus yang mengalir pada saluran

Dengan menaikkan level tegangan, maka arus yang mengalir pada saluran menjadi lebih kecil. Selanjutnya drop tegangan pada saluran transmisi menjadi semakin kecil, sesuai rumus:

V = I x Z (2.2) dimana Z adalah impedansi saluran kawat penghantar.

Demikian juga dengan semakin kecil arus yang mengalir pada saluran, diharapkan rugi-rugi daya pada saluran semakin kecil, sesuai rumus:

P = I2 x R (2.3)

dimana R adalah resistansi saluran.

Semakin tinggi level tegangan saluran transmisi tentunya biaya pembangunannya lebih mahal, karena harus menggunakan tower yang lebih tinggi dan kekuatan isolasinya juga lebih besar. Demikian juga peralatan-peralatan yang harus digunakan pada gardu induknya.

Dengan pertimbangan di atas, saluran transmisi dengan level tegangan yang lebih tinggi lebih layak digunakan untuk menyalurkan daya yang relatif lebih besar dan jarak yang relatif jauh, sehingga kenaikan biaya pembangunan bisa terimbangi dengan berkurangnya turun tegangan dan rugi-rugi daya yang terjadi pada saluran.

II.1.3 Jaringan Distribusi [1]

Jaringan distribusi merupakan bagian dari sistem tenaga listrik yang berupa jaringan penghantar yang menghubungkan antara gardu induk pusat beban ke

(29)

14

pelanggan. Fungsinya yaitu mendistribusikan energi listrik ke pelanggan sesuai kebutuhan. Gambar 2.6 merupakan salah satu contoh jaringan distribusi yang ada.

Gambar 2.6 Jaringan Distribusi [1]

Jaringan distribusi dalam operasinya tidak bisa dipisahkan dengan gardu induk distribusi. Gardu induk distribusi ada yang berada di ujung saluran transmisi, yang berfungsi mengatur distribusi daya yang diterima dari saluran transmisi sekaligus menurunkan tegangan dari level saluran transmisi ke level jaringan distribusi. Gardu induk juga ada yang berada di antara jaringan distribusi yang berfungsi untuk membagi aliran daya dan menurunkan tegangan distribusi ke tegangan rendah.

Level tegangan jaringan distribusi:

➢ Saluran Tegangan Menengah (TM: 20 kV) ✓ Antar gardu induk

✓ Antara gardu induk dengan pelanggan TM ✓ Antara gardu induk dengan trafo TR ➢ Saluran Tegangan Rendah (TR: 220 V)

✓ Antara trafo tegangan ke pelanggan

Jaringan distribusi tegangan menengah biasanya mengunakan jaringan 3 fase 4 kawat dengan tegangan antara fasa dengan tanah (netral) 20 kV. Jaringan distribusi merupakan penghubung antar gardu induk tegangan menengah atau yang

(30)

15

menghubungkan gardu induk tegangan menengah dengan trafo distribusi tegangan rendah.

Jaringan tegangan rendah ada yang menggunakan jaringan 3 fase 4 kawat untuk beban-beban yang relatif besar. Untuk beban yang relatif kecil termasuk beban rumah tangga lebih banyak menggunakan satu fase 2 kawat dengan tegangan 220 volt dari fasa ke netral. Dalam prakteknya, trafo tegangan yang digunakan mempunyai tiga terminal output, yaitu satu netral yang juga dihubungkan ke tanah dan dua terminal fasa yang mempunyai tegangan sama 220 volt.

Bila jaringan tegangan rendah dan jaringan tegangan menengah menggunakan tiang yang sama maka kawat penghantar yang digunakan cukup satu saja, sebagai kawat netral kedua sistem tersebut. Adapun skema jaringan distribusi dapat dilihat pada Gambar 2.7 berikut ini:

Gambar 2.7 Skema Jaringan Distribusi [1]

Untuk pelanggan yang menggunakan cukup besar, misalnya industri, rumah sakit atau kampus biasanya berlangganan dengan tegangan menengah 20 kV. Untuk kepentingan menurunkan tegangan dan pendistribusiannya pihak pelanggan mengelola gardu induk sendiri.

Pelanggan beban yang relatif kecil yang menggunakan tegangan rendah dilayani dengan jaringan transmisi tegangan rendah yang menghubungkan pelanggan dengan trafo distribusi tegangan rendah.

GARDU INDUK 150/20 kV PELANGGAN INDUSTRI 20 kV TRAFO DIST 20 kV/220 V TRAFO DISTR 20 kV/220 V PELANGGAN 220 V PELANGGAN 220 V PELANGGAN 220 V PELANGGAN 220 V

(31)

16 Macam jaringan distribusi:

➢ Saluran Udara (kawat telanjang): ✓ Lebih murah

✓ Mengganggu pemandangan

➢ Saluran Bawah Tanah (kabel berisolasi): ✓ Aman dan estetis

✓ Umumnya di kota-kota besar

Jaringan distribusi umumnya menggunakan saluran udara dengan kawat telanjang yang dipasang pada tiang dengan isolator, karena dari sisi biaya pembangunannya lebih murah dan perawatannya lebih sederhana. Hanya saja jenis jaringan ini dapat mengganggu pemandangan, karena banyak bentangan kawat yang melintas di sepanjang jaringan. Kelemahan yang kain dari sistem ini adalah kurang aman terhadap gangguan cuaca dan dan teganggu oleh pepohonan yang tumbuh di sekitar jaringan.

Berbeda dengan jaringan bawah tanah, yang mempunyai kelebihan tidak mengganggu pemandangan dan lebih aman terhadap gangguan cuaca. Hanya saja bila terjadi kerusakan, penanganannya lebih rumit. Jaringan bawah tanah harus menggunakan penghantar berisolasi, sehingga biaya pembangunannya lebih mahal. Jaringan bawah tanah biasanya digunakan pada daerah yang menuntut estetika yang tinggi dan jarak yang relatif pendek.

Sistem jaringan distribusi: ➢ Sistem Ring

✓ Lebih rumit

✓ Keandalannya lebih tinggi ➢ Sistem Radial

✓ Lebih sederhana ✓ Keandalannya kurang

(32)

17

Gambar 2.8 Konfigurasi Jaringan Radial [1]

Pada jaringan distribusi sistem radial (Gambar 2.8), suatu gardu induk digunakan untuk melayani beban gardu induk yang lain yang kapasitasnya lebih kecil. Sedangkan masing dari gardu induk tersebut tidak saling berhubungan. Kemudian masing-masing gardu induk melayani beberapa beban. Pada sistem ini biaya pembangunannya juga relatif murah dan pengelolaannya lebih sederhana, karena aliran dayanya hanya satu arah dan jumlah jaringannya relatif sedikit. Kelemahan sistem ini adalah apabila terjadi gangguan pada suatu gardu induk atau jaringan yang mengakibatkan kerusakan, maka semua beban yang melalui jaringan atau gardu induk tersebut akan terputus.

Kelemahan yang ada pada sistem di atas diselesaikan dengan menggunakan sistem ring atau loop (Gambar 2.9), yaitu diupayakan ada interkoneksi antar gardu induk yang ada melalui jaringan distribusi. Bila terjadi gangguan pada salah satu gardu induk, beban dapat dilayani oleh gardu induk yang lain. melalui jaringan distribusi yang berbeda. Demikian pula jika gangguan terjadi pada suatu saluran distribusi. Pengelolaan sistem ini tentunya lebih rumit dan biaya pembangunannya lebih mahal, tetapi tingkat pelayanan tenaga listrik ke pelanggan mejadi lebih baik.

(33)

18

Gambar 2.9 Konfigurasi Sistem Loop [1] II.2 Bentuk Jaringan Sistem Tenaga Listrik

II.2.1 Sistem Radial Terbuka [2] Keuntungannya:

a. Konstruksinya lebih sederhana

b. Material yang digunakan lebih sedikit, sehingga lebih murah c. Sistem pemeliharaannya lebih murah

d. Untuk penyaluran jarak pendek akan lebih murah

Kelemahannya:

a. Keterandalan sistem ini lebih rendah b. Faktor penggunaan konduktor 100 %

c. Makin panjang jaringan (dari Gardu Induk atau Gardu Hubung) kondisi tegangan tidak dapat diandalkan

d. Rugi-rugi tegangan lebih besar e. Kapasitas pelayanan terbatas

f. Bila terjadi gangguan penyaluran daya terhenti.

Sistem radial pada jaringan distribusi merupakan sistem terbuka, dimana tenaga listrik yang disalurkan secara radial melalui gardu induk ke konsumen-konsumen dilakukan secara terpisah satu sama lainnya. Sistem ini merupakan sistem yang paling sederhana diantara sistem yang lain dan paling murah, sebab sesuai konstruksinya

(34)

19

sistem ini menghendaki sedikit sekali penggunaan material listrik, apalagi jika jarak penyaluran antara gardu induk ke konsumen tidak terlalu jauh. Sistem jaringan radial terbuka ditunjukkan pada Gambar 2.10 di bawah ini:

Gambar 2.10 Sistem Jaringan Radial Terbuka [2]

Sistem radial terbuka ini paling tidak dapat diandalkan, karena penyaluran tenaga kistrik hanya dilakukan dengan menggunakan satu saluran saja. Jaringan model ini sewaktu mendapat gangguan akan menghentikan penyaluran tenaga listrik cukup lama sebelum gangguan tersebut diperbaiki kembali. Oleh sebab itu kontinuitas pelayanan pada sistem radial terbuka ini kurang bisa diandalkan. Selain itu makin panjang jarak saluran dari gardu induk ke konsumen, kondisi tegangan makin tidak bisa diandalkan, justru bertambah buruk karena rugi-rugi tegangan akan lebih besar. Berarti kapasitas pelayanan untuk sistem radial terbuka ini sangat terbatas.

II.2.2 Sistem Radial Paralel [2] Keuntungannya:

a. Kontinuitas pelayanan lebih terjamin, karena menggunakan dua sumber b. Kapasitas pelayanan lebih baik dan dapat melayani beban maksimum c. Kedua saluran dapat melayani titik beban secara bersama

d. Bila salah satu saluran mengalami gangguan, maka saluran yang satu lagi dapat menggantikannya, sehingga pemadaman tak perlu terjadi.

(35)

20 Kelemahannya:

a. Peralatan yang digunakan lebih banyak terutama peralatan proteksi b. Biaya pembangunan lebih mahal

Gambar 2.11 Sistem Jaringan Radial Paralel [2]

Untuk memperbaiki kekurangan dari sistem radial terbuka diatas maka dipakai konfigurasi sistem radial parallel (Gambar 2.11), yang menyalurkan tenaga listrik melalui dua saluran yang diparalelkan. Pada sistem ini titik beban dilayani oleh dua saluran, sehingga bila salah satu saluran mengalami gangguan, maka saluran yang satu lagi dapat menggantikan melayani, dengan demikian pemadaman tak perlu terjadi. Kontinuitas pelayanan sistem radial paralel ini lebih terjamin dan kapasitas pelayanan bisa lebih besar dan sanggup melayani beban maksimum (peak load) dalam batas yang diinginkan. Kedua saluran dapat dikerjakan untuk melayani titik beban bersama-sama. Biasanya titik beban hanya dilayani oleh salah satu saluran saja. Hal ini dilakukan untuk menjaga kontinuitas pelayanan pada konsumen.

(36)

21

II.2.3 Sistem Rangkaian Tertutup (Loop Circuit) [2] Keuntungannya:

a. Dapat menyalurkan daya listrik melalui satu atau dua saluran feeder yang saling berhubungan

b. Menguntungkan dari segi ekonomis

c. Bila terjadi gangguan pada salauran maka saluran yang lain dapat menggantikan untuk menyalurkan daya listrik

d. Konstinuitas penyaluran daya listrik lebih terjamin

e. Bila digunakan dua sumber pembangkit, kapasitas tegangan lebih baik dan regulasi tegangan cenderung kecil

f. Dalam kondisi normal beroperasi, pemutus beban dalam keadaan terbuka g. Biaya konstruksi lebih murah

h. Faktor penggunaan konduktor lebih rendah, yaitu 50 % i. Keandalan relatif lebih baik

Kelemahannya:

a. Keterandalan sistem ini lebih rendah b. Drop tegangan makin besar

c. Bila beban yang dilayani bertambah, maka kapasitas pelayanan akan lebih jelek

Pada Gambar 2.12 menunjukkan sistem jaringan tertutup.

(37)

22

Sistem rangkaian tertutup pada jaringan distribusi merupakan suatu sistem penyaluran melalui dua atau lebih saluran feeder yang saling berhubungan membentuk rangkaian berbentuk cincin.

Sistem ini secara ekonomis menguntungkan, karena gangguan pada jaringan terbatas hanya pada saluran yang terganggu saja. Sedangkan pada saluran yang lain masih dapat menyalurkan tenaga listrik dari sumber lain dalam rangkaian yang tidak terganggu. Sehingga kontinuitas pelayanan sumber tenaga listrik dapat terjamin dengan baik.

Yang perlu diperhatikan pada sistem ini apabila beban yang dilayani bertambah, maka kapasitas pelayanan untuk sistem rangkaian tertutup ini kondisinya akan lebih jelek. Tetapi jika digunakan titik sumber (pembangkit tenaga listrik) lebih dari satu di dalam sistem jaringan ini maka sistem ini akan benyak dipakai, dan akan menghasilkan kualitas tegangan lebih baik, serta regulasi tegangannya cenderung kecil.

II.2.4 Sistem Network/Mesh [2]

Sistem network/mesh ini merupakan sistem penyaluran tenaga listrik yang dilakukan secara terus-menerus oleh dua atau lebih feeder pada gardu-gardu induk dari beberapa pusat pembangkit tenaga listrik yang bekerja secara paralel. Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem-sistem yang terdahulu dan merupakan sistem yang paling baik serta dapat diandalkan, mengingat sistem ini dilayani oleh dua atau lebih sumber tenaga listrik. Selain itu junlah cabang lebih banyak dari jumlah titik feeder. Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 2.13.

Keuntungannya:

a. Penyaluran tenaga listrik dapat dilakukan secara terus-menerus (selama 24 jam) dengan menggunakan dua atau lebih feeder

b. Merupakan pengembangan dari sistem-sistem yang terdahulu c. Tingkat keterandalannya lebih tinggi

d. Jumlah cabang lebih banyak dari jumlah titik feeder

e. Dapat digunakan pada daerah-daerah yang memiliki tingkat kepadatan yang tinggi

(38)

23

f. Memiliki kapasitas dan kontinuitas pelayanan sangat baik

g. Gangguan yang terjadi pada salah satu saluran tidak akan mengganggu kontinuitas pelayanan

Kelemahannya:

a. Biaya konstruksi dan pembangunan lebih tinggi b. Setting alat proteksi lebih sukar

Gambar 2.13 Sistem Jaringan Network/Mesh [2]

Sistem ini dapat digunakan pada daerah-daerah yang memiliki kepadatan tinggi dan mempunyai kapasitas dan kontinuitas pelayanan yang sangat baik. Gangguan yang terjadi pada salah satu saluran tidak akan mengganggu kontinuitas pelayanan. Sebab semua titik beban terhubung paralel dengan beberapa sumber tenaga listrik.

II.2.5 Sistem Interkoneksi

II.2.5.1 Interkoneksi Jaringan [2] Keuntungannya:

a. Merupakan pengembangan sistem network/mesh

b. Dapat menyalurkan tenaga listrik dari beberapa pusat pembangkit tenaga listrik c. Penyaluran tenaga listrik dapat berlangsung terus-menerus (tanpa putus),

walaupun daerah kepadatan beban cukup tinggi dan luas d. Memiliki keterandalan dan kualitas sistem yang tinggi

(39)

24

e. Apabila salah satu pembangkit mengalami kerusakan, maka penyaluran tenaga listrik dapat dialihkan ke pusat pembangkit lainnya.

f. Bagi pusat pembangkit yang memiliki kapasitas lebih kecil, dapat dipergunakan sebagai cadangan atau pembantu bagi pusat pembangkit utama (yang memiliki kapasitas tenaga listrik yang lebih besar)

g. Ongkos pembangkitan dapat diperkecil

h. Sistem ini dapat bekerja secara bergantian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

i. Dapat memperpanjang umur pusat pembangkit j. Dapat menjaga kestabilan sistem Pembangkitan k. Keandalannya lebih baik

l. Dapat dicapai penghematan-penghematan di dalam investasi

Kelemahannya:

a. Memerlukan biaya yang cukup mahal

b. Memerlukan perencanaan yang lebih matang

c. Saat terjadi gangguan hubung singkat pada penghantar jaringan, maka semua pusat pembangkit akan tergabung di dalam sistem dan akan ikut menyumbang arus hubung singkat ke tempat gangguan tersebut.

d. Jika terjadi unit-unit mesin pada pusat pembangkit terganggu, maka akan mengakibatkan jatuhnya sebagian atau seluruh sistem.

e. Perlu menjaga keseimbangan antara produksi dengan pemakaian f. Merepotkan saat terjadi gangguan petir

Sistem interkoneksi ini merupakan perkembangan dari sistem network/mesh. Sistem ini menyalurkan tenaga listrik dari beberapa pusat pembangkit tenaga listrik yang dikehendaki bekerja secara paralel. Sehingga penyaluran tenaga listrik dapat berlangsung terus menerus (tak terputus), walaupun daerah kepadatan beban cukup tinggi dan luas. Hanya saja sistem ini memerlukan biaya yang cukup mahal dan perencanaan yang cukup matang. Untuk perkembangan dikemudian hari, sistem interkoneksi ini sangat baik, bisa diandalkan dan merupakan sistem yang mempunyai kualitas yang cukup tinggi. Sistem interkoneksi sistem tenaga listrik, dapat dilihat pada Gambar 2.14.

(40)

25

Pada sistem interkoneksi ini apabila salah satu pusat pembangkit tenaga listrik mengalami kerusakan, maka penyaluran tenaga listrik dapat dialihkan ke pusat pembangkit lain. Untuk pusat pembangkit yang mem-punyai kapasitas kecil dapat dipergunakan sebagai pembantu dari pusat pembangkit utama (yang mempunyai kapasitas tenaga listrik yang besar). Apabila beban normal sehari-hari dapat diberikan oleh pusat pembangkit tenaga listrik tersebut, sehingga ongkos pembangkitan dapat diperkecil. Pada sistem interkoneksi ini pusat pembangkit tenaga listrik bekerja bergantian secara teratur sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Sehingga tidak ada pusat pembangkit yang bekerja terus-menerus. Cara ini akan dapat memperpanjang umur pusat pembangkit dan dapat menjaga kestabilan sistem pembangkitan.

Gambar 2.14 Sistem Jaringan Interkoneksi [2] II.3 Kestabilan Sistem Tenaga Listrik [3]

Suatu sistem tenaga listrik yang baik harus memenuhi beberapa syarat, seperti ”Reliability, Quality dan Stability”.

✓ Reliability adalah ”kemampuan suatu sistem untuk menyalurkan daya atau energi secara terus menerus”.

✓ Quality adalah ”kemampuan sistem tenaga listrik untuk menghasilkan besaran-besaran standar yang ditetapkan untuk tegangan dan frekuensi”.

✓ Stability adalah ”kemampuan dari sistem untuk kembali bekerja secara normal setelah mengalami suatu gangguan”.

(41)

26

Dalam sistem tenaga listrik yang baik maka ketiga syarat tersebut harus dipenuhi yaitu sistem harus mampu memberi pasokan listrik secara terus menerus dengan standar besaran untuk tegangan dan frekuensi sesuai dengan aturan yang berlaku dan harus segera kembali normal bila sistem terkena gangguan.

Untuk jaringan yang sangat komplek dimana beberapa pembangkit saling terkoneksi satu sama lain maka keluaran daya elektris berupa besaran seperti tegangan dan frekuensi haruslah diperhatikan agar tidak ada pembangkit yang kelebihan beban dan pembangkit yang lain bebannya kecil.

Sistem tenaga listrik mempunyai variasi beban yang sangat dinamis dimana setiap detik akan berubah-ubah, dengan adanya perubahan ini pasokan daya listrik tetap dan harus dipasok dengan besaran daya yang sesuai, bila pada saat tertentu terjadi lonjakan atau penurunan beban yang tidak terduga maka perubahan ini sudah dapat dikategorikan ke dalam gangguan pada sistem tenaga listrik yakni kondisi tidak seimbang antara pasokan listrik dan permintaan energi listrik akibat adanya gangguan baik pada pembangkit ataupun pada sistem transmisi sehingga mengakibatkan kerja dari pembangkit yang lain menjadi lebih berat. Untuk itu diperlukan satu penelaahan kestabilan agar pembangkit yang terganggu tidak terlepas dari sistem.

Analisis kestabilan biasanya digolongkan kedalam tiga jenis, tergantung pada sifat dan besarnya gangguan yaitu [3]:

1. Kestabilan Keadaan Tetap (Steady State Stability)

Kestabilan keadaan tetap adalah: “Kemampuan sistem tenaga listrik untuk menerima gangguan kecil yang bersifat gradual, yang terjadi disekitar titik keseimbangan pada kondisi tetap”. Kestabilan ini tergantung pada karakteristik komponen yang terdapat pada sistem tenaga listrik antara lain: pembangkit, beban, jaringan transmisi, dan kontrol sistem itu sendiri. Model pembangkit yang digunakan adalah pembangkit yang sederhana (sumber tegangan konstan) karena hanya menyangkut gangguan kecil disekitar titik keseimbangan.

2. Kestabilan Dinamis (Dynamic Stability)

Kestabilan dinamis adalah: ”Kemampuan sistem tenaga listrik untuk kembali ke titik keseimbangan setelah timbul gangguan yang relatif kecil secara tiba-tiba

(42)

27

dalam waktu yang lama”. Analisa kekestabilan dinamis lebih komplek karena juga memasukkan komponen kontrol otomatis dalam perhitungannya.

3. Kestabilan Peralihan (Transient Stability)

Kekestabilan peralihan adalah: ”Kemampuan sistem untuk mencapai titik keseimbangan/sinkronisasi setelah mengalami gangguan yang besar sehingga sistem kehilangan kestabilan karena gangguan terjadi diatas kemampuan sistem”. Analisis kestabilan peralihan merupakan analisis yang utama untuk menelaah perilaku sistem daya misalnya gangguan yang berupa:

a. Perubahan beban yang mendadak karena terputusnya unit pembangkit.

b. Perubahan pada jaringan transmisi misalnya gangguan hubung singkat atau pemutusan saklar (switching).

Sistem daya listrik masa kini jauh lebih luas, ditambah interkoneksi antar sistem yang rumit dan melibatkan beratus-ratus mesin yang secara dinamis saling mempengaruhi melalui perantara jala-jala tegangan ekstra tinggi, mesin-mesin ini mempunyai sistem penguatan yang berhubungan.

Kisaran masalah yang dianalisis banyak menyangkut gangguan yang besar dan tidak lagi memungkinkan menggunakan proses kelinearan. Masalah kestabilan peralihan dapat lebih lanjut dibagi kedalam ”Kestabilan ayunan pertama (first swing) dan ayunan majemuk (multi swing).

Kestabilan ayunan pertama didasarkan pada model generator yang cukup sederhana tanpa memasukkan sistem pengaturannya, biasanya periode waktu yang diselidiki adalah detik pertama setelah timbulnya gangguan pada sistem. Bila pada sistem, mesin dijumpai tetap berada dalam keadaan serempak sebelum berakhirnya detik pertama, ini dikatagorikan sistem masih stabil.

Kestabilan sistem tenaga listrik diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal di bawah ini [3]:

a. Sifat alami dari ketidakstabilan yang dihasilkan terkait dengan parameter sistem utama dimana ketidakstabilan bisa diamati.

b. Ukuran gangguan dianggap menunjukkan metode perhitungan dan prediksi ketidakstabilan yang paling sesuai.

(43)

28

c. Divais, proses, dan rentang waktu yang harus diambil untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan kestabilan

Gambar 2.15 Klasifikasi Kestabilan Sistem Tenaga Listrik [3]

Gambar 2.15 menunjukkan sebuah kemungkinan klasifikasi kestabilan sistem tenaga listrik ke dalam tiga bagian, yaitu kestabilan sudut rotor, kestabilan frekuensi, dan kestabilan tegangan.

II.3.1 Kestabilan Tegangan [3]

Kestabilan tegangan berkaitan dengan kemampuan suatu sistem daya untuk menjaga tegangan tetap stabil pada semua bus dalam sistem pada kondisi operasi normal dan setelah terjadi gangguan. Ketidakstabilan yang terjadi akan mengakibatkan tegangan turun atau tegangan naik pada beberapa bus. Akibat yang mungkin timbul dari ketidakstabilan tegangan adalah hilangnya beban di daerah dimana tegangan mencapai nilai rendah yang tidak dapat diterima atau hilangnya integritas sistem daya. Faktor utama yang menyebabkan ketidakstabilan tegangan biasanya jatuh tegangan yang terjadi ketika aliran daya aktif dan reaktif melalui reaktansi induktif yang terkait dengan jaringan transmisi, dimana hal ini membatasi kemampuan jaringan transmisi untuk mentransfer daya.

Stabilitas Sistem Tenaga Stabilitas Sudut Rotor Stabilitas Frekuensi Stabilitas Sudut Akibat Gangguan Kecil Stabilitas Tegangan Stabilitas Transien Stabilitas Tegangan Akibat Gangguan Kecil Stabilitas Tegangan Akibat Gangguan Luas

(44)

29

Masalah kestabilan tegangan biasanya terjadi pada sistem dengan pembebanan yang besar. Ketidakstabilan tegangan dapat menginisiasi terjadinya runtuh tegangan. Gangguan yang menyebabkan runtuh tegangan dapat dipicu oleh beberapa hal, seperti naiknya beban atau gangguan besar yang muncul secara tiba-tiba. Masalah yang paling mendasar adalah lemahnya sistem tenaga listrik. Di samping kekuatan jaringan transmisi dan kemampuan transfer daya, faktor-faktor yang berkontribusi dalam fenomena runtuh tegangan (voltage collapse), antara lain batas kendali tegangan / daya reaktif generator, karakteristik beban, karakteristik kompensator daya reaktif, dan aksi dari divais kendali tegangan seperti transformator on-load tap changer.

Istilah-istilah yang terkait dengan kestabilan tegangan dapat didefinisikan sebagai berikut [3]:

a. Kestabilan tegangan (voltage stability) adalah kemampuan dari sistem tenaga listrik untuk mempertahankan tegangan pada seluruh bus dalam sistem agar tetap berada dalam batas toleransi tegangan, baik pada saat kondisi normal maupun setelah terkena gangguan.

b. Runtuh tegangan (voltage collapse) adalah proses dimana ketidakstabilan tegangan berakhir pada nilai tegangan yang sangat rendah pada bagian penting dari sistem tenaga listrik.

c. Keamanan tegangan (voltage security) adalah kemampuan dari sistem tenaga listrik, tidak hanya untuk beroperasi stabil, tetapi juga tetap stabil (selama sistem proteksi tetap bekerja untuk mempertahankan tegangan) setelah terjadi gangguan atau perubahan keadaan sistem yang signifikan.

Ketidakstabilan tegangan dan proses runtuh tegangan dapat terjadi dalam selang waktu beberapa detik hingga beberapa menit. Sejumlah komponen dan kendali sistem tenaga listrik memainkan peran dalam kestabilan tegangan. Karakteristik sistem dan gangguan akan menentukan fenomena yang penting bagi suatu sistem tenaga listrik.

Berdasarkan rentang waktu terjadinya, kestabilan tegangan dibagi menjadi kestabilan tegangan transien (transient voltage stability) dan kestabilan tegangan jangka panjang (longer-term stability).

(45)

30

Setiap komponen dalam sistem tenaga listrik memberikan pengaruh terhadap kestabilan tegangan sistem tersebut, termasuk sistem pembangkitan, sistem transmisi, karakteristik beban, dan kompensator daya reaktif.

II.3.2 Kestabilan Frekuensi [4]

Pada sistem tenaga listrik, frekuensi merupakan indikator dari keseimbangan antara daya yang dibangkitkan dengan total beban sistem. Frekuensi sistem akan turun bila terjadi kekurangan pembangkitan atau kelebihan beban. Penurunan frekuensi yang besar dapat mengakibatkan kegagalan-kegagalan unit-unit pembangkitan secara beruntun yang menyebabkan kegagalan sistem secara total. Pelepasan sebagian beban secara otomatis dengan menggunakan rele frekuensi (under frequency relay) dapat mencegah penurunan frekuensi dan mengembalikannya ke kondisi frekuensi yang normal. Dengan semakin berkembangnya sistem tenaga listrik dan dengan adanya pembangkit-pembangkit baru yang masuk dalam sistem interkoneksi, maka penyetelan rele frekuensi sudah perlu ditinjau kembali.

Salah satu karakteristik pada sistem tenaga listrik yang sangat penting untuk dijaga kestabilannya adalah frekuensi. Pentingnya menjaga frekuensi berkaitan erat dengan upaya untuk menyediakan sumber energi yang berkualitas bagi konsumen. Pasokan energi dengan frekuensi yang berkualitas baik akan menhindarkan peralatan konsumen dari kerusakan (umumnya alat hanya dirancang untuk dapat bekerja secara optimal pada batasan frekuensi tertentu saja 50 s.d 60 Hz).

Pengendalian frekuensi tidak semata untuk memuaskan pelanggan semata, tindakan ini juga bertujuan untuk menjaga kestabilan sistem.

Pertama kita lihat hubungan antara torsi mekanik (Tm), torsi elektrik (Te),

jumlah total moment inersia dari rotor (J), dan percepatan angular dari rotor 𝑑2𝜃𝑚

𝑑𝑡2 𝐽𝑑2𝜃𝑚

𝑑𝑡2 = 𝑇𝑎 = 𝑇𝑚 − 𝑇𝑒 (2.4) Dari rumus diatas terlihat bahwa ketika [4]:

a. Torsi mekanik = torsi elektrik maka Ta = 0 yang berarti pula tidak ada percepatan yang dialami oleh rotor. Karena tidak ada percepatan, maka rotor berputar pada

(46)

31

kecepatan yang tetap sehingga mengahasilkan tegangan dengan frekuensi yang konstan. Keadaan ini terjadi ketika tercapai keseimbangan antara jumlah energi yang dibangkitkan dengan energi yang diserap beban.

b. Tm > Te maka tercipta kelebihan torsi sebesar Ta yang menyebabkan timbulnya percepatan 𝑑2𝜃𝑚

𝑑𝑡2 rotor sebesar sehingga frekuensi tegangan yang dibangkitkan naik sampai tercapai nilai tertentu dan tercipta keseimbangan baru antara Tm dan Te. c. Tm < Te maka tercipta kekurangan torsi sebesar Ta yang menyebabkan timbulnya

perlambatan 𝑑2𝜃𝑚

𝑑𝑡2 rotor sebesar sehingga frekuensi tegangan yang dibangkitkan turun sampai tercapai nilai tertentu di titik B dan tercipta keseimbangan baru antara Tm dan Te.

`

Gambar 2.16 Ilustrasi Kestabilan Frekuensi [4]

Ilustrasi gambar diatas menunjukan bahwa ketidakseimbangan antara pembangkitan dan beban akan menyebabkan frekuensi bergeser dari nilai normalnya. Dalam hal ini ketika pembangkitan > beban maka frekuensi sistem akan > 50 Hz, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu perlu selalu dijaga keadaan yang seimbang antara pembangkitan dan beban agar tercipta frekuensi sitem yang normal 50 Hz.

Penanganan ketika terjadi keadaan dimana frekuensi < 50 Hz dapat dilakukan dengan cara [4]:

1. Menambahkan jumlah total energi yang di suplai ke sistem melalui cara menambah unit pembangkit yang bekerja.

(47)

32

2. Memanfaatkan fasilitas LFC (Load Frequency Control)/AGC yang mengendalikan putaran generator sesuai dengan fluktuasi beban. Ketika beban besar makan AGC akan memberikan bahan bakar lebih banyak agar unit pembangkit dapat membangkitkan energi sesuai yang dibutuhkab oleh beban.

3. Apabila unit pembangkit sudah beroperasi maksimal, maka dengan terpaksa harus dilakukan pengurangan beban melalui manual load shedding (pembuangan beban) ataupun melaui relai UFR yang bekerja ketika frekuensi sistem berada dibawah nilai settingnya.

II.3.2.1 Menjaga Kestabilan Frekuensi pada Sisi Generator [4]

Pasokan listrik ke beban dimulai dengan menghidupkan satu generator, kemudian secara sedikit demi sedikit beban dimasukkan sampai dengan kemampuan generator tersebut, selanjutnya menghidupkan lagi generator berikutnya dan memparalelkan dengan generator pertama untuk memikul beban yang lebih besar lagi. Saat generator kedua diparalelkan dengan generator pertama yang sudah memikul beban diharapkan terjadinya pembagian beban yang semula ditanggung generator pertama, sehingga terjadi kerjasama yang meringankan sebelum beban-beban selanjutnya dimasukkan.

Seberapa besar pembagian beban yang ditanggung oleh masing-masing generator yang bekerja paralel akan tergantung jumlah masukan bahan bakar dan udara untuk pembakaran mesin diesel, bila mesin penggerak utamanya diesel atau bila mesin-mesin penggeraknya lain maka tergantung dari jumlah (debit) air ke turbin air, jumlah (entalpi) uap/gas ke turbin uap/gas atau debit aliran udara ke mesin baling-baling.

Jumlah masukan bahan bakar/ udara, uap air/ gas atau aliran udara ini diatur oleh peralatan atau katup yang digerakkan governor yang menerima sinyal dari perubahan frekuensi listrik yang stabil pada 50 Hz, yang ekivalen dengan perubahan putaran (rpm) mesin penggerak utama generator listrik. Bila beban listrik naik maka frekuensi akan turun, sehingga governor harus memperbesar masukan (bahan bakar/udara, air, uap/gas atau aliran udara) ke mesin penggerak utama untuk menaikkan frekuensinya sampai dengan frekuensi listrik kembali ke normalnya. Sebaliknya bila beban turun, governor mesin-mesin pembangkit harus mengurangi masukan bahan bakar/udara, air, uap air/gas atau aliran udara ke mesin-mesin penggerak sehingga putarannya turun sampai

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik [1]
Gambar 2.8 Konfigurasi Jaringan Radial [1]
Gambar 2.9 Konfigurasi Sistem Loop [1]
Gambar 2.11 Sistem Jaringan Radial Paralel [2]
+7

Referensi

Dokumen terkait