• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANITIA PERAYAAN HUT 56 GKPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANITIA PERAYAAN HUT 56 GKPI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Nomor : ISTIMEWA Jakarta, 13 Agustus 2020 Hal : Permohonan Sebagai Narasumber

Kepada Yth,

Bapak Pdt. (Em.) Prof. Jan Sihar Aritonang, Ph.D di Tempat.

Salam dalam kasih Kristus,

Terpujilah Allah Bapa yang senantiasa memberkati dan memelihara gereja GKPI sehingga dapat memasuki usiaanya yang ke 56 tahun di tahun 2o2o ini. Dengan dasar pengucapan syukur atas segala pemeliharaan Tuhan bagi GKPI, maka para pendeta GKPI sewilayah XI bersepakat untuk menyelenggarakan Perayaan Syukur HUT 56 GKPI Sewilayah secara DARING, yang akan dilaksanakan dalam 2 bagian, yaitu:

1. Sabtu, 29 Agustus 2020/pkl 10.00-13.00 WIB : Diskusi Teologis, dengan tema: “IMAMAT AM ORANG PERCAYA DAN ARAH MENGGEREJA (EKLESIOLOGI) GKPI” 2. Minggu, 30 Agustus 2020/pkl 16.00-19.00 WIB : Ibadah dan Refleksi, dengan tema:

“KEPEMIMPINAN GKPI YANG TRANSFORMATIF DAN BERSAHABAT”

Sehubungan dengan kegiatan pada point pertama (Diskusi Teologis), kami memohonkan kepada Bapak agar berkenan menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut, yang akan dilakukan melalui/via online (zoom meating).

Demikian surat permohonan ini kami sampaikan. Kiranya Bapak berkenan mendukung kegiatan ini sepenuh hati. Atas perhatian dan kerjasama yang baik ini kami ucapkan terimakasih.

Teriring Salam dan Hormat kami, TIM PERAYAAN HUT GKPI WILAYAH XI

PANITIA PERAYAAN HUT 56 GKPI

Wilayah XI

JAWA – KALIMANTAN

Jl. Belanak VI No. 26-B, Jakarta 13220 – Indonesia

(3)

GEREJA KRISTEN PROTESTAN INDONESIA (GKPI)

THE CHRISTIAN PROTESTANT CHURCH IN INDONESIA

Koordinasi Wilayah XI Jabodetabek – Jawa – Kalimantan

======================================================

S E R T I F I K A T

No: 025/KW.XI/GKPI/IX/2020

Diberikan Kepada :

Pdt. (Em.) Prof. Jan Sihar Aritonang, Ph.D

Sebagai Narasumber Webinar DISKUSI TEOLOGIS :

“Imamat Am Orang Percaya dan

Arah Menggereja (Eklesiologi) GKPI”

Jakarta, 29 Agustus 2020

Pembicara I : Pembicara II :

Pdt. (Em.) Prof. Jan Sihar Aritonang, Ph.D. Pnt. Ir. Lambok A. Siahaan, MBA.

Moderator :

Pdt. Teddi Paul Sihombing, M.Th, M.M.

(4)
(5)

1

GKPI 56 TAHUN: SUDAHKAH MENGGEREJA SESUAI IMAMAT AM ORANG PERCAYA?1 Bagian dari Topik Besar: IMAMAT AM ORANG PERCAYA DAN ARAH MENGGEREJA

(EKLESIOLOGI) GKPI

Disampaikan oleh: Prof. Jan S. Aritonang – Guru Besar STFT Jakarta Pengantar

Bila kepada kita ditanyakan: “apa dan bagaimana gambaran GKPI setelah berusia 56 tahun?”, apa kira-kira jawab kita? Saya duga ada berbagai jawaban, mulai dari yang sangat positif dan penuh kebanggaan (maju, hebat, sabas, dsb.) sampai yang cukup negatif (tidak ada kemajuan, bahkan mundur, dsb.). Jawaban masing-masing adalah sah, sesuai dengan perspektif dan alat ukur yang digunakan. Karena itu kita tak perlu berdebat, apalagi ber-cekcok dan bertengkar, menyangkut jawaban-jawaban yang kita atau kawan lain beri.

Yang perlu kita lakukan dalam diskusi yang terbatas ini dan selanjutnya adalah meng-evaluasi gereja kita ini sobjektif mungkin (walaupun unsur subjektivitas tak terhindarkan), sesuai tema diskusi kita ini, dan arahan yang dikemukakan pada Kerangka Acuan acara ini. Tentu kita juga tak boleh lupa bersyukur atas pemeliharaan Tuhan atas gereja-Nya ini, karena acara ini kita selenggarakan dalam rangka HUT ke-56 GKPI. Sesuai dengan arahan Panitia, saya akan lebih banyak menyampaikan kajian dari perspektif akademis.

Beberapa Data dan Indikator Kuantitatif

Pada Almanak GKPI 2020, 358, a.l. terlihat beberapa data statistik berikut: Tahun Jumlah Jemaat

& Warga

Jumlah Res. & Jem. Kh.

Jumlah Pendeta & Calon (Vikaris) Jumlah Penatua 2015 1.102/257.305 160 + 61 = 221 260 / 26 7.368 2016 1.106/260.867 161 + 66 = 227 272 / 27 7.419 2017 1.105/262.002 167 + 67 = 234 264 / 47 7.431 2018 1.113/262.894 168 + 75 = 243 270 / 43 7.526 2019 1.113/262.8942 168 + 86 = 254 283 / 24 7.526 Dari data ini terlihat, dalam kurun waktu ± 5 tahun ini ada sedikit perkembangan atau peningkatan secara kuantitatif, kendati tidak signifikan. Tentu data statistik-kuantitatif dari sebuah gereja sangat perlu. Tetapi apakah itu memadai untuk mengukur keberadaan dan kemajuan sebuah gereja?

Bila kita mengikuti berita-berita di Suara GKPI dalam kurun waktu yang k.l. sama maka kita melihat bahwa yang sangat banyak menyita halamannya adalah berita-berita

1Disampaikan pada Diskusi Teologis/Webinar, Sabtu 29 Agustus 2020 di GKPI Rayon Jabodetabek. 2Pada Buku Almanak Kristen Indonesia (BAKI) 2018 (terbitan PGI) jumlah warga GKPI 360.000 jiwa.

Bagaimana bisa terlihat perbedaan yang mencolok tentang jumlah warga GKPI, baiklah Pimpinan Sinode GKPI yang menjelaskan. Di masa lalu data statistik dari jemaat sering ‘dikorting’, a.l. untuk mengurangi kewajiban setoran dana ke Kantor Pusat/Kantor Sinode. Semoga hal itu tidak terjadi lagi sekarang.

(6)

2

tentang kegiatan pada aras Jemaat, Resort, Wilayah, hingga Sinode, yang mengarah ke dalam (peresmian ini-itu, perayaan HUT, retret, wisata rohani, penahbisan pendeta dan penatua, penyerahan bantuan/bingkisan, dsb.). Di situ tercakup juga pembangunan sarana fisik (terutama gedung gereja, yang di banyak jemaat kian megah), pengadaan sarana penunjang para pelayan (mobil, dsb.) dan peningkatan jumlah gaji dan tunjangan pelayan.

Tentu kegiatan yang bersifat internal itu penting, terutama dalam rangka pembinaan persekutuan (koinonia). Tetapi apakah itu memadai untuk memperlihatkan pemenuhan panggilan dan tanggung jawab Gereja di muka bumi ini? Apakah koinonia bisa dilepaskan dari marturia (apostolat) dan diakonia? Apakah diakonia GKPI sudah cukup banyak dituju-kan ke berbagai kalangan di luar GKPI, atau masih lebih banyak terarah ke dalam? Apakah kehadiran GKPI pada aras Jemaat hingga Sinode sudah dirasakan manfaatnya oleh masya-rakat luas, atau GKPI masih lebih banyak hadir untuk melayani/memuaskan diri sendiri?

Gereja dan Menggereja

Sejak Gereja hadir di dunia ini (sejak berdiri pertama kali di Yerusalem pada hari Pentakosta, ± th. 28 ZB) sudah banyak gambaran, pemahaman dan pemikiran tentang apa dan bagaimana gereja. Di dalam Alkitab (terutama PB, walaupun akarnya banyak di PL) ada berbagai gambaran dan penjelasan tentang Gereja, baik pada aras lokal maupun uni-versal. Tetapi di Alkitab tidak ada rumusan atau definisi baku tentang apa itu Gereja, karena Gereja bersama dunia yang menjadi konteks kehadirannya terus berkembang dengan segala permasalahannya. Pemahaman Gereja atas dirinya bukanlah sesuatu yang baku, sekali dirumuskan lalu berlaku selamanya, melainkan harus terus-menerus dikaji-ulang dan diperbarui. Studi sistematis tentang seluk beluk Gereja juga berkembang dari waktu ke waktu, dan menjadi salah satu sub-disiplin Teologi, yang disebut Eklesiologi.

Ketika GKPI berdiri 56 tahun y.l., ia tidak segera merumuskan pemahaman eklesiolo-gisnya. Barulah pada tahun 1993 GKPI merumuskan dan menerbitkan Pokok-pokok

Pema-haman Iman (P3I) GKPI, untuk memenuhi amanat pada Tata Gereja GKPI 1966 tentang

pentingnya memiliki Konfesi. Di dalamnya (terutama di bab VI dan VII) dirumuskan pema-haman eklesiologisnya. Rumusan itu banyak menyalin atau mengacu pada Pemapema-haman Bersama Iman Kristen (PBIK), salah satu dari Dokumen Keesaan yang dirumuskan PGI bersama gereja-gereja anggotanya.

Rumusan pada P3I GKPI itu sangat normatif; di dalamnya hampir tidak terbaca pemahaman GKPI atas konteks keberadaannya di dunia ini (pada aras nasional, Indonesia, hingga global); yang paling banyak dikemukakan adalah acuan terhadap nas atau ayat-ayat di Alkitab. Begitu juga dengan Buku Katekisasi Sidi di GKPI (edisi lengkap/revisi 2013); pada Pelajaran 23: Gereja dan Tri Tugas Panggilan Gereja (hl. 105-111) dikemukakan banyak hal tentang seluk-beluk Gereja, tetapi hampir tidak berkata apa-apa tentang

(7)

3

konteks kehadiran dan pelaksanaan tugas panggilannya, terutama di Indonesia.3Begitu juga di dalam rumusan Visi & Misi GKPI 2030 dan Road Map GKPI Periode 2015-2020 (Almanak GKPI 2015-2020, 8-11), nyaris tidak disinggung pelaksanaan tugas panggilan GKPI di tengah konteksnya yang konkret, khususnya di Indonesia.

Dalam rangka meninjau dan mengevaluasi wawasan dan rumusan eklesiologis GKPI, baik kita perhatikan pandangan dari sejumlah pengamat dan pakar di bidang eklesiologi, terutama yang dikemukakan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Berikut ini beberapa contoh yang mengulas eklesiologi dari tataran yang konseptual-teoritis hingga praktis.4

John D. Zizioulas (mewakili Gereja Ortodoks) berpendapat bahwa di dalam gereja hadir juga misteri Allah; misteri gereja sangat terikat pada keberadaan manusia, dunia, dan terutama Allah. Keberadaan gereja sangat terikat pada keberadaan Allah Tritunggal, dan di dalam keberadaan gereja manusia merefleksikan gambar Allah. Untuk mencapai model keberadaan Allah, manusia harus hidup sebagaimana Allah menyatakan gambar-Nya, baik dalam bentuk struktur, maupun pelayanan, termasuk oleh dan di dalam gereja yang hadir dan berkiprah di dunia (Zizioulas 1997, 15).

Gambar Allah Trinitas yang digagas Zizioulas dapat menjadi bahan pertimbangan bagi gereja mana pun (termasuk GKPI). Gereja seharusnya adalah satu persekutuan, yang di dalamnya semua orang setara, baik yang berada pada posisi pemegang kursi pelayanan maupun warga awam. Gereja yang merefleksikan gambar Allah Trinitas adalah gereja yang egaliter. Zizioulas, berpandangan bahwa persekutuan seharusnya dipandang secara relasi-onal. Selain itu, kesadaran kita sebagai gambar Allah membawa kita pada konsekuensi bahwa tidak ada hal yang menjadikan individu memiliki kekhususan secara mandiri. Menjadi pribadi berarti menyadari bahwa kita disatukan dalam Sang Ilahi, dan dipanggil ke dalam relasi dengan yang lain, sekalipun kita berbeda. Identitas kita ditentukan oleh hubungan dengan yang lain. Otentisitas pribadi bukanlah kebebasan dari yang lain, tetapi kebebasan untuk yang lain. Kebebasan identik dengan kasih. Allah adalah kasih karena Ia adalah Trinitas. Kita hanya bisa mengasihi jika kita adalah pribadi yang mengizinkan orang lain untuk sungguh-sungguh menjadi pribadi yang lain dan berada dalam persekutuan dengan-Nya. Jika kita mengasihi yang lain, kasih itu bukan karena ia berbeda dengan kita, tetapi karena kita hidup dalam kebebasan karena kasih, dan hidup di dalam kasih karena kebebasan (Zizioulas 1994, 7). Ini nanti kita hubungkan dengan imamat am orang percaya.

Calvin, salah seorang reformator gereja, membuat pembedaan antara gereja universal (universal church) dan gereja lokal (local church). Gereja universal terdiri dari semua orang yang percaya kepada Kristus. Gereja itu disebut universal karena adalah satu dalam iman

3Di Tata Gereja GKPI 2013, bagian Mukadimah, a.l. dikatakan: GKPI adalah Badan Gerejawi di

Indonesia; lalu di beberapa pasal (misalnya Pasal IV ayat (3): Pelaksanaan Tugas Panggilan) disebut salah satu tugasnya: memelihara kerukunan di NKRI dan di antara bangsa-bangsa; tetapi sangat terbatas.

4Untuk ini saya banyak meminjam informasi yang direkam dalam disertasi Alpius Pasulu, yang juga

(8)

4

kepada Kristus, satu pengharapan, satu cinta, dan dihidupkan oleh Roh yang sama, yaitu Roh Kudus. Sementara gereja lokal adalah gereja yang tampak, berada pada daerah terten-tu, misalnya gereja di Jenewa (Haight 2005, 103). Dengan demikian, bagi Calvin, gereja terutama hadir dan tampak pada aras lokal, bukan pada Sinode (himpunan jemaat). Gereja lokal (Jemaat) berdaulat, tidak perlu terlalu banyak diatur Sinode.

Leo Koffeman, ahli Hukum Gereja dari Belanda, dalam salah satu bukunya (2014, 17) mengaitkan hakikat dan tugas panggilan gereja dengan penataannya; penataan gereja terhubung dengan eklesiologi, baik secara implisit maupun eksplisit, sebab setiap tata gereja didasarkan pada wawasan eklesiologi yang telah dipilih gerejanya. Contoh: gagasan tentang pelayanan dan peran kaum awam, kuasa manusia dan Roh Kudus, manifestasi lokal maupun supra-lokal gereja, dan hubungan gereja dan pemerintah. Semua pokok peraturan itu bersumber dari gagasan eklesiologi. Koffeman sangat yakin bahwa akan bermanfaat bagi penataan gereja jika hal itu dihubungkan dengan eklesiologi, dan keduanya harus dibawa ke dalam diskusi mutual dan dialogis. Namun hubungan antara eklesiologi dan penataan gereja tidak boleh berlebihan, dalam arti fondasi eklesiologi digunakan sewajarnya dan tidak harus sama porsinya pada semua peraturan gereja.5 Koffeman (2014, 4) juga menegaskan pentingnya isu kontekstualitas dalam teori penataan gereja. Argumentasi itu didasarkan pada fakta bahwa gereja-gereja lahir di berbagai konteks, sehingga situasi yang ia hadapi tidak sama. Konteks yang dimaksud bermacam-macam, mencakup konteks negara, konteks masa modern dan postmodern, bahkan konteks sosial-budaya dari sebuah gereja.

Kita beralih kepada J.B. Banawiratma, teolog GKR yang banyak menggumuli panggil-an gereja di Indonesia. Menurutnya basis keluarga mempanggil-ang penting dalam penghayatpanggil-an iman. Keluarga bahkan disebut ecclesiola, gereja kecil. Namun harus diingat bahwa pergu-mulan dan tantangan yang dihadapi gereja jauh lebih besar dari yang dapat dijawab oleh keluarga. Karena itulah diperlukan jaringan-jaringan yang lebih luas dan lebih kuat. Yesus sendiri membongkar persekutuan dan persaudaraan yang hanya berdasar pada hubungan darah. Dan kita harus memilah dan menentukan persekutuan apakah yang lebih mendasar dan menentukan dalam mewujudkan hidup menggereja dalam konteks (Banawiratma 2000, 194). Ini penting diperhatikan GKPI yang sering juga menonjolkan hubungan darah.

Sementara itu, menurut teolog kontekstual Asia, Aloysius Pieris dari Srilanka, situasi kemiskinan di Asia sangat parah. Karena itu kemiskinan merupakan salah satu agenda besar yang mendesak untuk digumuli Gereja. Gerrit Singgih mengafirmasi pandangan Pieris itu dan menawarkan suatu pandangan bahwa, bila gereja berkomitmen berjuang dalam menggumuli masalah kemiskinan, gereja harus pertama-tama mengubah paradig-ma; masalah kemiskinan harus diakui sebagai konteks kita dan kita tidak boleh merasa malu atau menabukannya untuk dibicarakan (Singgih 2000, 202). Bagaimana dengan

5Ini penting diperhatikan GKPI, karena GKPI sering berdebat, bahkan bertengkar, dalam menyusun

(9)

5

GKPI: apakah sudah berkontribusi mengatasi kemiskinan di negeri ini, lebih dari sekadar menjalankan diakonia karitatif (yg didasarkan belas-kasihan), atau malah berlomba kaya?

John Campbell-Nelson memberi pandangan yang lebih aplikatif. Menurutnya suatu eklesiologi seharusnya tidak ditetapkan sebagai norma umum yang harus berlaku bagi semua gereja. Realitas gereja sangat kaya dengan kemajemukan dan setiap gereja juga adalah unik. Jika eklesiologi suatu gereja tidak berkait dengan realitas konkret di masa dan tempat tertentu, eklesiologinya menjadi bagaikan layang-layang putus (Campbell-Nelson 1994, 55–6). Pandangan ini juga perlu diperhatikan GKPI, karena GKPI juga hadir di tengah konteks yang majemuk dan beranekaragam, termasuk dalam hal agama dan kondisi sosial.

Untuk mewujudkan kehidupan gereja dan menggereja sesuai dengan panggilan Tuhan atasnya, Jan Hendriks, pakar Pembangunan Jemaat (Gemeente Opbouw) dari GKR di Belanda, dalam bukunya yang terkenal: Jemaat Vital dan Menarik – Membangun Jemaat

dengan Menggunakan Metode Lima Faktor, menjelaskan kelima faktor itu (1) Iklim yang

positif; (2) Kepemimpinan yang menggairahkan; (3) Struktur, yang mencakup relasi antarindividu dan relasi antarkelompok yang komposisinya menggairahkan; (4) Tujuan yang menggairahkan; dan (5) Konsep Identitas yang menggairahkan. Lebih lanjut ia meng-usulkan sejumlah jalan untuk mewujudkan lima faktor itu. GKPI sangat perlu mempelajari dan menerapkan gagasan Hendriks ini, agar jemaat-jemaatnya menarik & menggairahkan.

Imamat Am Orang Percaya

Salah satu semboyan dan cita-cita GKPI sejak awal berdirinya, bahkan mendorong pembentukan GKPI, adalah “imamat am orang percaya” (Aritonang 2014, 195). Itulah sebabnya di dalam setiap rumusan Tata Gereja dan PRT sejak 1966 hingga 2013, sembo-yan ini tak pernah terlupa. Bahkan di dalam P3I GKPI Imamat Am orang Percaya (dikaitkan dengan Jabatan Gerejawi) menjadi bab tersendiri (bab IX, hl. 25-27). Di situ a.l. dikatakan:

8. Seluruh warga gereja terpanggil menjadi pelayan, sesuai dengan talenta dan karunia yang diterima masing-masing dari Tuhan, dan sesuai dengan asas imamat am orang percaya. Di antara warga gereja ada yang dipanggil menjadi pelayan/pejabat khusus. Pengadaan, pengangkatan, dan pengukuhan pejabat khusus adalah untuk melayani dan menuntun jemaat dalam persekutuan, pembinaan, dan pelayanan di tengah dunia.

Tetapi dalam kenyataannya, sudah sejak 1980-an terasa bahwa semboyan, bahkan prinsip bergereja, itu kian redup. Semakin banyak urusan bergereja (termasuk kepemim-pinan di aras Pusat/Sinode) ditangani oleh para pejabat tahbisan, terutama pendeta, sementara warga gereja lebih banyak sekadar menjadi pembantu atau pendamping. Itulah a.l. sebabnya, sejak akhir 1980-an imamat am orang percaya ini kembali dibahas dengan intensif, agar tidak hanya menjadi slogan kosong. Hasilnya sampai sekarang belum cukup nyata6; karena itulah kita perlu mempercakapkannya kembali saat ini.

6Pada periode 2015-2020 ini, di antara 18 fungsionaris purnawaktu di Kantor Sinode GKPI, 8 orang

adalah pendeta. Jabatan-jabatan yang dulunya – atau dapat – diampu oleh warga gereja bukan pendeta (a.l. Kepala Biro Umum/Organisasi, Direktur LPPM, dan Pemimpin Redaksi Suara GKPI) juga diampu pendeta.

(10)

6

Agar kita lebih memahami seluk-beluk imamat am orang percaya secara konseptual maupun operasional, perlu kita melihat sejenak beberapa pengertian dan wawasan. Kita mulai dengan Alkitab. Di Perjanjian Lama jelas bahwa yang menjadi imam adalah kalangan tertentu dari bangsa Israel, yaitu [sebagian dari] suku Lewi. Ada beberapa kategori imam di PL, tapi tak perlu kita bahas. Di Perjanjian Baru, selain masih adanya praktik imamat menurut PL di tengah masyarakat beragama Yahudi, ditegaskan bahwa Imam Besar adalah Yesus Kristus (lihat a.l. dlm surat Ibrani). Ditegaskan pula bahwa hakikat dan fungsi utama imamat yang diperlihatkan Tuhan Yesus adalah menjadi pelayan. Fungsi pelayanan ini kemudian dipercayakan kepada umat yang beriman kepada Kristus sebagai Tuhan dan Imam itu. Itulah yang a.l. dinyatakan di 1 Petrus 2:5 dan 9, dan dari situlah muncul ungkap-an “imamat am orungkap-ang percaya”. Di dalam PB belum ada pemisahungkap-an yungkap-ang ketat ungkap-antara peja-bat tahbisan (klerus, imam “profesional”) dan warga jemaat. Masing-masing menjalankan tugas panggilan dan pelayanannya menurut talenta dan karunia yang diterimanya dari Tuhan, dan belum ada penetapan jabatan gereja secara permanen (seumur hidup) ataupun secara berkala (periodik). Juga belum ada tata gereja (apalagi PRT) yang baku dan rinci.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejak abad ke-2 ZB – sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi Gereja – kehidupan gereja semakin ditata; ditetapkan sejumlah fungsi dan jabatan yang permanen, dan kian nyatalah pemisahan klerus-awam. Ini berlangsung berabad-abad, hingga pada awal abad ke-16 Martin Luther tampil sebagai salah seorang tokoh Reformasi Gereja; Luther mengingatkan kembali para pemimpin (terutama Paus) GKR, bahwa semua warga gereja adalah imam. Di dalam beberapa tulis-annya Luther memakai istilah imamat am orang percaya (priesthood of all believers) ini. Tetapi sejak abad ke-17 gereja-gereja Reformatoris/Protestan pun banyak yang kembali pada pembedaan dan pemisahan klerus-awam ini. Bahkan HKBP – sebagai pewaris teologi (termasuk eklesiologi) Protestan-Jerman – ikut mempraktikkannya. Itulah a.l. yang digugat para pelopor (kemudian menjadi pemimpin dan fungsionaris) GKPI.

Untuk mengkaji kembali semboyan dan prinsip bergereja in, perlu kita melihat

pandangan beberapa teolog, sambil menghubungkannya dengan sejumlah pandangan yang sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Kita mulai dari Veli-Matti Kärkäinen, teolog Lutheran/Karismatik dari Finlandia. Menurutnya, anggota gereja adalah orang-orang yang mengakui imannya kepada Kristus dan menunjukkannya dalam hidup, mempraktikkan sakramen, serta mengakui Allah yang sama dan Kristus yang sama (Kärkkäinen 2002, 50-1). Sejalan dengan itu, Faith and Order WCC (2013, 28-9) menegaskan, keputusan di gereja mestilah diambil bersama-sama di bawah tuntunan Roh Kudus, yaitu dengan sungguh-sungguh mendengar Firman Allah dan saling mendengarkan satu dengan yang lain.

Lebih lanjut Faith and Order menegaskan, para pelayan yang diurapi memang tepat untuk disebut imam (priest), sebab mereka melakukan tugas keimaman dengan memper-kuat dan membangun persekutuan orang percaya sebagai imamat yang rajani dan rasuli (1Ptr. 2:9) lewat pemberitaan Firman, sakramen, doa, dan pelayanan pastoral (2013, 26).

(11)

7

Namun demikian, perlu diingat, yang ikut menerima baptisan dan terpanggil menjalankan fungsi imamat adalah seluruh warga gereja. Baptisan air dalam nama Allah Tritunggal (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) menjadi jalan bagi semua orang Kristen untuk disatukan di dalam gereja pada setiap waktu dan tempat. Baptisan adalah permulaan dan perayaan kehidupan baru di dalam Kristus dan wujud partisipasi seseorang di dalam baptisan-Nya, hidup-Nya, kematian-Nya, dan kebangkitan-Nya (Mat. 3:13-17; Rm. 6:3-5). Air adalah tanda kelahiran kembali dan pembaharuan oleh Roh Kudus (Tit. 3:5), yang menyatukan setiap orang percaya menjadi satu tubuh Kristus dan memampukannya untuk berbagi dalam Kerajaan Allah dan kehidupan yang akan datang (Ef. 2:6). Baptisan juga merupakan pengakuan dosa, perubahan hati, penyesalan, pembersihan, dan pengudusan. Baptisan menahbiskan orang percaya sebagai anggota bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, dan umat milik-Nya (1Ptr. 2:9) (2013, 24-5). Itu jugalah yang ditekankan Hendrik Kraemer, teolog awam itu, dalam bukunya, Theologia Kaum Awam, dan Andar Ismail dalam bukunya, Awam & Pendeta – Mitra Membina Gereja.

Penutup

Dalam berbagai kesempatan bercakap-cakap dengan sejumlah gereja (di aras Jemaat hingga Sinode), di dalam maupun di luar negeri, salah satu pertanyaan dan pernyataan yang sering saya lontarkan adalah: Apa makna dan manfaat kehadiran gereja ini bagi dunia (terutama bagi bangsa dan masyarakat di mana ia hadir)? Kalau tidak ada, sebaiknya ditutup saja! Dalih “lebih dulu kita benahi ke dalam, barulah kita beraksi ke luar” adalah dalih yang using dan basi, karena masalah internal takkan habis-habisnya. Justru kiprah dan pelayanan ke luar akan banyak menolong gereja mengatasi masalah internalnya.

Di Indonesia (yang pada tahun 2020 ini penduduknya ± 271 juta) hadir > 400 organi-sasi gereja dengan jumlah warga (umat Kristen Indonesia) ± 25 juta (9%). Di antara sekian banyak itu tidak banyak yang secara serius berupaya memberi kontribusi bagi peningkat-an kualitas kehiduppeningkat-an bpeningkat-angsa ini, kebpeningkat-anyakpeningkat-an hpeningkat-anya hadir untuk memuaskpeningkat-an kebutuhpeningkat-an jiwa warganya (dan peningkatan income pelayannya).

Namun demikian, dapat disebut beberapa gereja yang berupaya secara konkret, a.l. Gereja Katolik Roma (yang terbesar di dunia maupun di Indonesia), Gereja Kristen Indone-sia (GKI), Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK), dan Gereja Methodist IndoneIndone-sia (GMI) yang banyak berkiprah di bidang pendidikan (PAUD/TK hingga perguruan tinggi), kesehatan (hingga menyelenggarakan rumah sakit), dsb. Bahkan Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB), yang warganya hanya ± 11.000 jiwa (± 1/25 GKPI), dengan “teologi mangga”-nya menyelenggarakan tujuh panti asuhan, pusat latihan pertanian dan pariwisata, dan sebuah universitas. Juga Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK) yang warganya < 5.000 jiwa, punya banyak sekolah yang bagus, a.l. di P. Siantar dan Medan. Apakah GKPI tidak terpang-gil untuk juga berkontribusi lebih besar lagi, atau sudah berpuas diri dengan apa yang ada dan dikerjakan sekarang, sambil terus memelihara moto “sabas mar-GKPI”?

(12)

8

Avery Dulles (juga dari GKR), dalam bukunya Model-model Gereja, memetakan model-model menggereja yang ada: Gereja sebagai Institusi, Gereja sebagai Persekutuan Mistis, Gereja sebagai Sakramen, Gereja sebagai Pewarta, Gereja sebagai Hamba, Gereja sebagai Persekutuan Murid. Bercermin pada analisis Dulles ini, GKPI kelihatannya lebih cenderung pada Gereja sebagai Institusi (sangat menekankan peraturan dan jabatan, bahkan sering berebut dan bersengketa untuk itu) dan perlu lebih banyak belajar agar lebih mengarah pada model Gereja sebagai Hamba dan Gereja sebagai Persekutuan Murid.

Tidak cukup waktu kita pada kesempatan ini untuk mendiskusikan hal-hal yang dike-mukakan di atas. Namun demikian, kiranya hal-hal itu berguna bagi kita untuk mengevalu-asi lebih lanjut keberadaan GKPI, serta mengambil langkah-langkah ke depan untuk [lebih] meningkatkan kiprah dan kualitasnya, sehingga kehadiran gereja kita ini kian bermakna, dan kata “Indonesia” pada namanya bukan sekadar pepesan kosong.

Daftar Acuan Almanak GKPI 2020. Pematangsiantar: Kolportase Sinode GKPI.

Aritonang, Jan S. 2014. Yubileum 50 Tahun GKPI – Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke Depan. Pematangsiantar: Kolportase GKPI.

Banawiratma, J.B. 2000. Hidup menggereja yang terbuka: Jaringan dari berbagai macam komunitas basis kontekstual. Dalam gereja Indonesia, quo vadis?: Hidup menggereja kontekstual, ed. J.B. Banawiratma, dkk., 181-95. Yogyakarta: Kanisius.

Buku Katekisasi Sidi di GKPI. 2013. Pematangsiantar: Kolportase GKPI.

Campbell-Nelson, John. 1994. Sumber-sumber identitas gereja: Bahan baku eklesiologi kontekstual. Dalam Seputar teologi operatif. ed. B.A. Abednego, 53-5. Yogyakarta: Kanisius.

Dulles, Avery. 1990. Model-model Gereja (terj.). Ende: Nusa Indah.

Faith and Order WCC. 2013. The Church: Towards a common vision. Geneva: WCC Publications (terj. Indon. oleh Joas Adiprasetya, Gereja – Menuju Sebuah Visi Bersama, Jakarta: BPK GM, 2019). Haight, Roger. 2005. Christian community in history, volume 2: Comparative ecclesiology. New York

& London: The Continuum International.

Hendriks, Jan. 2002. Jemaat vital dan menarik - Membangun jemaat dengan menggunakan metode

lima faktor (terj.). Yogyakarta: Kanisius.

Ismail, Andar. 1999. Awam & Pendeta – Mitra Membina Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Kärkkäinen, Veli-Matti. 2002. An introduction to ecclesiology: Ecumenical, historical and global

perspective. Downers Grove, Ill.: InterVarsity Press.

Koffeman, Leo J. 2014. In Order to serve: An ecumenical introduction to church polity. Zürich: LIT Verlag.

Kraemer, H. 1974. Theologia Kaum Awam. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Pasulu, Alpius. 2019. Rekonstruksi Eklesiologi Gereja Toraja: Pendekatan Eklesiologi Kontekstual Model Sintetik (disertasi S3 di STFT Jakarta).

Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI. 1993. Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI.

Singgih, E. G. 2000. Berteologi dalam konteks. Yogyakarta: Kanisius.

SUARA GKPI (sejumlah edisi, terutama pada periode 2015-2020).

Zizioulas, John D. 2010. The one and the many: Studies on God, man, the church, and the world today. Alhambra, California: Sebastian Press.

Referensi

Dokumen terkait