• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPETENSI PTUN DALAM MENILAI UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPETENSI PTUN DALAM MENILAI UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

75

KOMPETENSI PTUN DALAM MENILAI UNSUR PENYALAHGUNAAN

WEWENANG

Yogo Pamungkas Dosen Tetap FH Universitas Trisakti

yogo.p@trisakti.ac.id

ABSTRAK

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan memberi konsekuensi meluasnya kompetensi PTUN dalam memeriksa sengketa administrasi negara. Salah satu kompetensi baru yang diberikan kepada PTUN adalah wewenang menilai unsur penyalahgunaan wewenang. permohonan ini ditujukan untuk menilai apakah hasil pengawasan yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan atau tidak. Permasalahan yang diajukan adalah apakah Apakah penentuan kewenangan PTUN untuk menilai pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang yang hanya dilakukan oleh Aparat pengawas intern pemerintah (APIP) saja sudah tepat dan bagaimana peran ideal PTUN dalam menilai tindakan penyalahgunaan wewenang? hasil kajian dari masalah yang timbul adalah bahwa penentuan APIP sebagai lembaga yang dapat dimohonkan penilaiannya ke PTUN kurang luas karena lembaga pengawasan lain tidak mendapatkan control dari PTUN, sementara lembaga penagwas eksternal tersebut dalam melakukan fungsinya berpotensi menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, selain dari hal tersebut dengan dimasukkanya lembaga eksternal sebagai obyek control yuridis PTUN maka akan sinkron dengan Pasal 87 angka 2 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

Kata kunci: Kopetensi PTUN, Penyalahgunaan Wewenang

A. PENDAHULUAN

Diterbitkannya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberi konsekuensi logis terhadap perluasan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). kompetensi absolut yang sebelumnya adalah memeriksa dan memutus perkara yang terkait dengan Keputusan Tata Usaha Negara dan Keputusan Fiktif Negatif saja diperluas sehingga memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa yang berhubungan dengan Keputusan Administrasi, Tindakan Administrasi, Keputusan melalui upaya Administrasi, Keputusan Fiktif Positif dan Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.

Keputusan Administrasi, sebagaimana Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Administrasi pemerintahan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. dikaitkan dengan definisi keputusan tata usaha negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang PTUN yang memiliki perbedaan yang cukup besar maka untuk tujuan harmonisasi dan perluasan, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Pasal 87 memberikan ketentuan bahwa keputusan Tata usaha negara tersebut harus dimaknai sebagai:

1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;

2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, danpenyelenggara negara lainnya;

3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; 4. bersifat final dalam arti lebih luas;

5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau 6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Tindakan Administrasi Pemerintahan menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Administrasi pemerintahan adalah perbuatan PejabatPemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatankonkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. dibandingkan dengan keputusan administrasi

(2)

76

sesungguhnya tidak ada perbedaaan yang signifikan. Hal ini terkait dengan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang mengatur bahwa keputusan administrasi yang berbentuk penetapan tertulis itu juga mencakup tindakan faktual, sementara tindakan administrasi merupakan perbuatan faktual yang tidak tertulis.artinya keduanya masuk dalam perbuatan factual dengan pembedaan berbentuk tertulis dan berupa perbuatan konkrit.tentang hal ini Philipus M Hadjon menjelaskan bahwa “Menjadi tanda Tanya besar bahwa penetapan tertulis juga mencakup tindakan faktual. (Philipus M. Hadjon, 2014) Apakah hal tersebut bukan merupakan Contradictio in termino? (bandingkan: yang dimaksud kambing juga mencakup kucing)”.

Posisi yang seperti itu, menurut penulis segala tindakan pemerintah yang menyangkut perbuatan hukum (rechts handelingen) dikategorikan dengan penetapan administrasi dan segala bentuk yang terkait dengan perbuatan konkrit (Feitelijk Handelingen) dikategorikan sebagai tindakan administrasi.pemisahan yang seperti ini selain menghilangkan makna yang membingungkan juga tidak berpengaruh terhadap hukum acaranya karena kedua-duanya menggunakan hukum acara sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang PTUN.

Upaya Administratif menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Administrasi pemerintahan adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan.Ketika upaya administrasi diperiksa dan diputus dalam bentuk surat keputusan (beschikking) oleh pejabat atau instansi pemeriksa maka keputusan dari pejabat pemeriksa yang menjadi obyek perkara.

Keputusan Fiktif Positif adalah kebalikan dari keputusan fiktif negative sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PTUN. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang-Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/ataumelakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. selanjutnya ayat )3) menyatakan bahwa apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.

Tentang penilaian unsur penyalahgunaan wewenang bertolak dari larangan badan atau pejabat pemerinatahan menyalahgunakan wewenang yang meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang.

Akibat dari perluasan obyek sengketa ini juga memberi dampak pada kebutuhan akan hukum acara dari masing-masing obyek itu. Hal ini disebabkan oleh karena pada saat Undang-Undang Administrasi pemerintahan diberlakukan, hukum acara PTUN belum mampu untuk menangani seluruh jenis obyek sengketa tersebut. Hukum acara PTUN hanya mampu menangani obyek sengketa sebagaimana yang diatur dalam undang-Undang PTUN dan perubahannya.

Tentu saja PTUN tidak menunggu untuk memeriksa seluruh jenis sengketa Tata Usaha Negara dengan alasan Undang-Undang PTUN belum mengatur hukum acaranya, oleh karena itu beberapa Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung sudah diberlakukan dalam rangka untuk mengisi kekosongan hukum acara Tata Usaha Negara pada jenis sengketa Tata Usaha Negara tertentu.

Terkait dengan hukum acara penilaian unsur penyalahgunaan wewenang undang-undang PTUN tidak mengaturnya. Selain belum pernah terjadi perubahan atau pergantian sejak diterbitkannya perubahan terakhir Undang-Undang PTUN, obyek perkara ini juga muncul bersamaan dengan Undang-Undang-Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Dalam proses penilaian penyalahgunaan wewenang Undang-Undang ini mengatur hukum acaran yang terdapat dalam Pasal 21, namun oleh karena melibatkan PTUN maka hukum acacara dalam Undang-Undang tersebut dirasa masih sangat kurang sehingga terbitlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2014.

Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh Aparat pengawas intern pemerintah (APIP) sementara pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2015 mengatur bahwa pengadilan baru berwenang menerima, memeriksa dan memutus penilaian permohonan setelah ada hasil pengawasan dari APIP.

B. POKOK PERMASALAHAN

1. Apakah penentuan kewenangan PTUN untuk menilai pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang yang hanya dilakukan oleh Aparat pengawas intern pemerintah (APIP) saja sudah tepat?

2. Bagaimana peran ideal PTUN dalam menilai tindakan penyalahgunaan wewenang?

(3)

77

Landasan berpikir adanya penilaian tindakan penyalahgunaan wewenang pada dasarnya merupakan ujung dari penerapan asas managemen yang dimulai dari perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan pengawasan. Dalam pengelolaan pemerintahan pengawasan menjadi hal yang sangat penting oleh karena berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan tidak hanya berakibat negative pada sebagian kecil pihak terkait akan tetapi dapat menyangkut masyarakat secara keseluruhan.

Menurut Prayudi, pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang di jalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan. (Prayudi Admosudirjo, 1981:80) Menurut Manullang, pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana-rencana semula.(Mannulang M. 1995:18)

Schermerhorn mendifinisikan pengawasan merupakan sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dalam pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkan tersebut. (Schermerhorn dalam Ernie dan Saefulloh Ernie, 2015: 317) Menurut Harahap pengawasan adalah keseluruhan sistem, teknik, cara yang mungkin dapat digunakan oleh seorang atasan untuk menjamin agar segala aktivitas yang dilakukan oleh dan dalam organisasi benar-benar menerapkan prinsip efisiensi dan mengarah pada upaya mencapai keseluruhan tujuan organisasi.

Suyamto membagi pengawasan dalam bentuk pengawasan ekstern (external control) dan intern. Pengawasan esktern atau pengawasan dari luar, yakni pengawasan yang menjadi subyek pengawas adalah pihak luar dari organisasi obyek yang diawasi, misalnya, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah perangkat pengawasan ekstern terhadap Pemerintah, karena ia berada di luar susunan organisasi Pemerintah (dalam arti yang sempit). Ia tidak mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Pemerintah (Presiden) tetapi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. (Suyamto,1986:81-82)

Tentang pengawasan ini Tentang pengawasan ini Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 79 ayat (2) mengatur bahwa pembinaan dan pengembangan Administrasi Pemerintahan dilakukan dengan:

1. melakukan supervisi pelaksanaan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. 2. mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

3. mengembangkan konsep Administrasi Pemerintahan. 4. memajukan tata pemerintahan yang baik.

5. meningkatkan akuntabilitas kinerja pemerintahan.

6. melindungi hak individu atau Warga Masyarakat dari penyimpangan administrasi ataupun penyalahgunaan Wewenang oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

7. mencegah penyalahgunaan Wewenang dalam proses pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan.

Mengingat bahwa keputusan tata usaha negara oleh Undang-Undang Administrasi Pemerintahan sudah diperluas demikian juga dengan subyeknya yang meliputi para pembuatan keputusan tata usaha negara dari lembaga negara di luar lembaga eksekutif maka menjadi wajar bahwa pembinaan dan pengembangan pengawasan juga diperluas sampai ke lembaga-lembaga tersebut sepanjang kegiatan pengawasan dan penilaian yang dibuat masih dalam ruang lingkup sebagai keputusan yang merupakan obyek sengketa dari Pengadilan Tata Usaha Negara.

Apabila di terapkan dalam ketentuan tentang penilaian unsur penyalahgunaan wewenang, maka ada semacam pembedaan antara pengawasan yang dilakukan oleh APIP dan pengawasan oleh lembaga lain, sementara dari aspek obyek pengawasan sangat sering memiliki sasaran yang sama, oleh karena itu muncul pertanyaan mengapa yang dapat diajukan permohonan terhadap penilaian hanya APIP saja sedangkan lembaga lain tidak? Padahal lembaga-lembaga tersebut juga memiliki potensi melakukan kesalahan. Dalam hal melakukan tindak administrasi lembaga negara di luar lembaga eksekutif ini memang sudah dapat diawasi oleh PTUN setelah Keputusan Tata Usaha Negara diperluas oleh Undang-Undang Administrasi Pemerintahan namun ketika lembaga tersebut melakukan pengawasan yang terkait dengan penilaian penyalahgunaan wewenang, yang masih dapat diaktegorikan sebagai tindak administrasi, justru luput dari pengawasan PTUN.

Dilihat dari segi tipe, Makmur membagi dalam tiga tipe pengawasan sebagai berikut:

a. pengawasan pendahuluan (steering control), pengawasan ini direncanakan untuk mengatasi masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dari standar atau tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu kegiatan tertentu diselesaikan

(4)

78

b. pengawasan yang dilakukan bersama dengan pelaksanaan kegiatan (concurrent control). pengawasan ini

dilakukan selama suatu kegiatan berlangsung. tipe pengawasan ini merupakan proses di mana aspek tertentu harus dipenuhi duhulu sebelum kegiatan-kegiatan bisa dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan “double

check” yang lebih menjamin ketetapan pelaksanaan suatu kegiatan.

c. pengawasan umpan balik yaitu pengawasan yang mengukur hasil-hasil dari kegiatan tertentu yang telah diselesaikan. (

Makmur, 2011:176)

Dari aspek pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintah, agar dapat berjalan dengan baik setidaknya dapat pula diterapkan pendapat Lawrence M Friedman tentang sistem hukum. Dia berpendapat bahwa yang menjadi inti dari sistem adalah caranya mengubah input menjadi output. Struktur sistem hukum mirip dengan program computer yang besar, yang dimuati kode untuk menangani jutaan problem yang diumpankan setiap hari ke dalam mesin.Peraturan peraturan organiasi, jurusdiksi dan prosedur adalah bagian dari pengkodeannya. yang juga penting adalah peraturan hukum materiil. mereka adalah output dari sistem, yang berlaku untuk membentuk sosok output yang akan datang. (

Lawrence M Friedman. 2013:14)

berdasar pendapat ini kualitas pengawasan juga ditentukan oleh materi hukum yang mengatur tentang pengawasan. Pengadilan tidak akan mampu memberikan pengawasan secara yuridis secara optimal jika hanya disodorkan materi hukum yang minimal. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental ketentuan utama yang menjadi hukum positif adalah peraturan yang tertulis. kekuranglengkapan ketentuan yang tertulis mengakibatkan muncul banyak kekosongan hukum. Akibatnya hakim akan kesulitan untuk melakukan pengawasan secara yuridis. Dalam kondisi seperti itu maka yang siring dilakukan oleh hakim adalah melakukan rechtvinding. Idealnya penemuan hukum akan jarang dilakukan oleh hakim seiring dengan lengkapnya materi hukum begitu juga sebaliknya. Lengkapnya materi hukum juga akan memberikan kepastian dalam pelaksanaan pengawasan.

Dikaitkan dengan pengawasan maka semakin lengkap materi hukum tentang pengawasan maka akan semakin mudah pelaksanaan dari pengawasan itu. Mengambil pendapat Suyamto sebagaimana tersebut di atas bahwa pengawasan dapat dilakuakn secara internal dan eksternal, maka semestinya dalam mengukur kualitas pengawasan sekaligus mengukur obyektifitas dari badan pengawasan baik yang eksternal maupun yang internal harus dapat dilakukan oleh lembaga tertentu. Lembaga yang ideal tersebut adalah pengadilan.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada Pasal 1 angka 3 memaknai pengawasan intern sebagai seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.

Makna pengawasan tersebut menentukan bahwa kegiatan pengawasan itu meliputi audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan dan kegiatan pengawasan lain. kata “kegiatan pengawasan lainnya” memberi makna bahwa pengawasan dapat dilakukan dalam bentuk yang sangat beragam sehingga pengawasan itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan hampir tidak ada batasannya dan bahkan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh lembaga eksternalpun dapat juga dilakukan oleh APIP sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dilihat dari subyek pengawasnya maka kegiatan internal ini dilakukan oleh Aparat pengawas internal pemerintah (APIP) yang terdiri dari BPK, Inspektorat jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern, Inspektorat provinsi dan Inspektorat Kabupaten atau kota (Pasal 49 PP Nomor 60 Tahun 2008)dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan APIP itu hanya empat lembaga saja sedangkan lembaga lain dianggap sebagai pengawas eksternal baik dalam ruang lingkup lembaga eksekutif (Presiden sebagai kepala pemerintahan dan jajarannya) maupun di luar lembaga eksekutif.

Jika dihubungan dengan Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2015 maka yang dimaksud dengan APIP adalah empat lembaga tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa pengawasan oleh atasan langsung tidak masuk dalam kategori APIP sedangkan lembaga di luar instansi langsung yaitu BPKP justru digolongkan dalam APIP? Demikian juga dengan hasil pengawasan lembaga pengawasan eksternal seperti ombudsman yang hasil pengawasannya berupa rekomendasi kepada atasan dari pejabat yang yang dianggap telah melakukan maladministras tidak dapat dikategorikan sebagai obyek dari penilaian tindakan penyahgunaan wewenang demikian juga dengan lembaga lainnya.

Undang Undang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa larangan

penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui Wewenang;

b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang.

(5)

79

Isi dari rekomendasi ombudsman salah satunya adalah ditemukannya praktik maladministrasi oleh pejabat administrasi sedangkan salah satu tindakan atau keputusan yang tergolong maladministrasi tersebut adalah adalah melampaui wewenang dan menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 17 ayat (2) tersebut di atas.

Padahal apabila PP nomor 60 Tahun 2008 konsekuen maka BPKP tidak masuk dalam APIP karena lembaga ini di luar instansi yang bersangkutan meskipun diberi tugas sebagai pengawas internal dan bertanggung jawab kepada kepada Presiden.

Apabila hanya hasil penilaian APIP saja yang dapat dimohonkan untuk dinilai oleh PTUN ditambah lagi yang dimaksud APIP itu adalah empat lembaga sebagaimana yang disebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 maka instansi atasan atau instansi lain yang berwenang untuk melakukan pengawasan tidak dapat dimohonkan penilaian atas hasil pengawasannya, namun jika hasi pengawasan tersebut berbentuk keputusan atau tindakan dapat juga dilakukan upaya berupa upaya administrasi maupun gugatan ke PTUN. Hanya saja pertanyaan yang kemudian muncul lagi adalah mengapa dalam hal aktifitas yang sama lembaga pengawas yang dikategorikan sebagai APIP dan non APIP diberi ketentuan yang berbeda?

Dilihat dari aspek obyek perkara Tata Usaha Negara, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Pasal 87 angka 2 memberikan ketentuan bahwa keputusan Tata usaha negara tersebut harus dimaknai sebagai

Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Ketentuan ini menarik seluruh tindakan administrasi oleh seluruh lembaga penyelenggara negara. ketika ketentuan lain, penetapkan bahwa produk administrasi terkait dengan penilaian penyalahgunaan wewenang hanya dapat dinilai oleh keputusan yang dikeluarkan oleh APIP saja, maka baik secara langsung ataupun tidak langsung menjadi tidak harmonis dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Pasal 87.

Dari pemikiran itu maka perlu dipertimbangan bahwa permohonan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang oleh PTUN harus didahului dengan pengawasan yang tidak hanya dilakukan oleh APIP namun juga lembaga pengawas eksternal dengan catatan hasil pengawasan tersebut merupakan keputusan dan atau tindakan administrasi negara sehingga termasuk juga dalam jangkauan definisi dari keputusan tata usaha negara sebagai obyek dari PTUN.

Pada sisi lain APIP sendiri semestinya merupakan aparat yang benar-benar dari kalangan internal dari instansi yang bersangkutan yang mempunyai tugas dan wewenang untuk mengawasi tindakan pejabat internal pemerintahan sehingga lembaga yang termasuk dalam APIP adalah inspektorat dari kabupaten dan kota sampai dengan inspektorat jenderal ditambah dengan atasan dari pejabat administrasi negara.

Dengan demikian upaya control oleh PTUN terhadap lembaga pengawasan pemerintahan tidak hanya sebatas pada aparat pengawas internal saja namun juga meliputi aparat pengawas eksternal dalam lembaga eksekutif maupun pada lembaga dan penyelenggara negara lainnya sepanjang bentuk pengawasan berupa keputusan atau tindak administrasi.

D. KESIMPULAN

1. Penentuan bahwa hanya APIP saja yang dapat dimohonkan penilaian kepada PTUN atas hasil pengawasan unsur penyalahgunaan wewenang kurang tepat, karena lembaga pengawas pemerintah lainnya yang melakukan fungsi yang sama tidak dapat dimohonkan ke PTUN untuk dinilai keputusannya.

2. Idealnya PTUN memiliki wewenang untuk menilai hasil pengawasan atas unsure penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seluruh lembagta pengawasan baik intern maupun ekstern sepanjang hasil dari pengawasan tersebut memenuhi syarat sebagai keputusan tata usaha negara atau keputusan administrasi.

E. SARAN

perlu ada sinkronisasi antara pasal Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh Aparat pengawas intern pemerintah (APIP) sedangkan Pasal 87 angka 2 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberikan ketentuan bahwa keputusan Tata usaha negara tersebut harus dimaknai sebagai Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, danpenyelenggara negara lainnya;

(6)

80

DAFTAR PUSTAKA

Ernie dan Saefulloh Ernie, S. T., & Saefullah, K. 2005. Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana.

Lawrence M Friedman, 2013, Sistem Hukum,Perspektif Ilmu Sosial, The Legal system A Social science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim Bandung: Nusa Media

Makmur, 2011, Efektifitas kebijakan lembaga pengawasan, Bandung: Refika Aditama Prayudi Admosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Philipus M. Hadjon, 2014, Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang No. 30 Th. 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Jurnal Hukum dan Peradilan,Volume 3 Nopember 2014 (on line),tersedia di:

www.jurnalhukumdanperadilan.org

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tnetang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

dan juga corong undang-undang, akan tetapi dalam menentukan penyalahgunaan wewenang tersebut bukanlah domain dari Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),

Pasal 3 Undang-Undang PTPK, misalnya dalam putusan Nomor 6/Pid.Sus/2014/PN.Plg dengan terdakwa Suhrawardy, majelis hakim memaknai penyalahgunaan wewenang sebagai menggunakan

2 Memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam kepada instansi pemerintahan, 3 Kewenangan lain oleh atau berdasar undang – undang, 4 Kewenangan Pengadilan Tinggi

Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.1 Dalam Pasal 47 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986