• Tidak ada hasil yang ditemukan

STI 2 Fikih Ibadah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STI 2 Fikih Ibadah"

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Studi Islam II

Fikih Ibadah

STUDI ISLAM I

Fikih Ibadah

Dr. Akhmad Alim. MA

Pusat Kajian Islam

(3)

Studi Islam II

Fikih Ibadah

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ALIM, Akhmad

STUDI ISLAM I: Fikih Ibadah, Penulis, Dr. Akhmad Alim, M.A; Penyunting, Bahrum Subagia, --Cet. 1-Bogor: Pusat Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun, 2012. 253 hlm.; 25,7 cm.

ISBN : 978-979-1324-14-4

STUDI ISLAM II: Fikih Ibadah Penulis:

Dr. Akhmad Alim, M.A Penyunting: Bahrum Subagia Penata Letak: Irfan Habibie Desain Sampul: Fathurrohman Saifuddin Penerbit:

Pusat Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun Jl. K.H. Sholeh Iskandar Km. 2 Kedung Badak Bogor Telp./Fax. (0251) 8356884

Cetakan Pertama, Shafar 1435 H- Januari 2014 M

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Ketentuan Pidana

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara palling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)

i |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

KATA PENGANTAR

للهاب ذٛعْٚ ،٘ٝيإ بٛتْٚ ،ٙسؿػتطْٚ ،٘ٓٝعتطْٚ ،ٙدُنح ،لله دُلحا ٕإ

َٔٚ آطؿْأ زٚسغ َٔ

للها ٫إ ٘يإ ٫ ٕأ دٗغأٚ ،٘ي ٟداٖ ٬ؾ ًٌكٜ َٔٚ ،٘ي ٌكَ ٬ؾ للها ٙدٜٗ َٔ ،آياُعأ تا٦ٝض

ٙسٗعٝي للحا ٜٔدٚ ٣دلهاب لىاعت للها ً٘ضزأ ،٘يٛضزٚ ٙدبع ٟادُمح ٕأ دٗغأٚ ،٘ي وٜسغ ٫ ٙدسٚ

دٖادٚ ،١َ٭ا ضؿْٚ ،١ْاَ٭ا ٣دأٚ ،١ياضسيا ؼ٤ًبؾ ،ً٘ن ٜٔديا ٢ًع

ىستٚ ،ٙداٗد لس للها في

٘يآ ٢ًعٚ ً٘ٝع َ٘٬ضٚ للها تاًٛؿؾ ،وياٖ ٫إ اٗٓع ؼٜصٜ ٫ اٖزاٗٓن اًٗٝي ٤اكٝب ١ذمح ٢ًع ٘تَأ

دعب اَأ .ٜٔديا ّٜٛ لىإ ٕاطسإب ِٗعبت َٔٚ ،٘باشؾأٚ

:

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

ًَُُِٕٛٔطَٗ ُِتْأَٚ ٤٫إ ُٖٔتَُُٛت ٜ٫َٚ ٔ٘ٔتاٜكُت ٖلَس ٜللها اٛٝكٖتا اََُٛٓاَ٤ َٜٔٔر٤يا ٜاٜٗٗأاَٜ

“Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali-Imran: 102)

اََُُِٗٓٔ ٖحَبَٚ اََٗدَِٚش اََِٗٓٔ َلًَٜػَٚ ٕ٠َدٔساَٚ ٣ظٞؿَْ َِٔٚ ِٝهٜكًَٜػ ٟٔر٤يا ُِٝهٖبَز اٛٝكٖتا ُعآٖيا اَٜٗٗأاَٜ

ٟ٫اَد٢ز

ٜن ٜللها ٖٕإ َّاَسِز٭ٞاَٚ ٔ٘ٔب َٕٛٝيَ٤آَطَت ٟٔر٤يا ٜللها اٛٝكٖتاَٚ ّ٤آَطَْٔٚ اّيرٔجٜن

اّبٝٔقَز ِِٝهًَِٜٝع َٕا

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)

(5)

ii |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

ُُْذ ِِٝهٜي ِسٔؿِػََٜٚ ِِٝهٜياَُِعأ ِِٝهٜي ِضًِٔؿُٜ ظاّدٜٔدَض ٟ٫ِٜٛق اٛٝيٛٝقَٚ ٜللها اٛٝكٖتا اََُٛٓاَ٤ َٜٔٔر٤يا اَٜٗٗأاَٜ

٢عُٜٔٛ َََٔٚ ِِٝهَبٛ

اُّٝٔعَع اّشِٜٛؾ َشاٜؾ ِدٜكٜؾ ُٜ٘يُٛضَزَٚ ٜللها

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.” (QS. Al-Ahzab: 70-71)

Manusia modern cenderung melepaskan diri dari keterikatan dengan Tuhan (al-I‟radh), untuk selanjutnya membangun tatanan yang berpusat pada manusia (al-qadariyah). Akibatnya, kehidupan manusia terdominasi oleh hipnotis atmosfer modernitas, yang pada gilirannya akan membuat manusia lengah dan tidak menyadari bahwa dimensi spiritualnya terdistorsi, sehingga tidak mengherankan jika akar spiritualtas tercabut dari panggung kehidupan global.

Munculnya problem spiritual yang menimpa manusia modern bermula dari hilangnya visi keilahiyan (uluhiyah) yang disebabkan oleh ulahnya sendiri, yakni bergerak menjauh dari tuntunan Allah dalam mengatur kehidupan. Menurut Ibn Jauzi penyebab utama krisis keruhaniyan tersebut, berawal dari dua hal pokok, yaitu menjauh dari Allah (al-i‟radh), dan menuhankan hawa nafsu (ittiba al-hawa) atau dalam istilah lain dikenal dengan istilah ―memperturutkan syahwat‖(Ittiba‟

al-syahawat). Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam (QS. Thaha:

124) dan (QS. Maryam: 19), berikut ini:

٢َُِعٜأ ٔ١ََاَٝٔكٞيا ََِّٜٛ ُُٙسُػِشََْٚ اٟهَِٓق ٟ١َػٝٔعََ ُٜ٘ي ٖٕ٢إٜؾ ٟ٢سٞنٔذ َِٔع َضَسِعٜأ َََِٔٚ

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada harikiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)

َفَِٛطٜؾ ٔتاََٖٛٗػيا اُٛعَبٖتاَٚ ٜ٠اًٜٖؿيا اُٛعاَقٜأ ْـًَٞػ ِِٖٔٔدِعَب َِٔٔ َـًَٜؼٜؾ

اٜ٘ٝغ َِٕٜٛكًَٜٞ

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.‖ (QS. Maryam: 19)

(6)

iii |

Studi Islam II

Fikih Ibadah Dari penafsiran ayat tersebut, Ibn Jauzi melihat bahwa ada dua penyebab pokok, yang membuat rusaknya mental spiritual manusia, sehingga menyebabkannya terjatuh dalam jurang kehancuran (ghayya), yaitu (1) berpaling dari Allah (al-i‟radh), dalam hal ini menyia-nyiakan shalat; karena orang yang meremehkan shalat berarti tanda orang yang berpaling dari jalinan vertikal yaitu hablumminallah, dan (2) memperturutkan hawa nafsu (Ittiba‟ al-syahawat), yaitu dengan melampiaskan segala kesenangan, yang melampaui batas syari‘at, seperti zina, khamr, dan sejenisnya yang menghalangi seseorang dari jalan ketaatan kepada Allah.

Untuk itu, tidak ada solusi lain kecuali manusia harus kembali ke pusat eksistensi tersebut, yaitu kembali kepada Allah (fafirru ilallah) dan mengendalikan kembali hawa nafsu (dzam al-hawa). Dalam usaha mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) melalui ibadah kepada Allah. Karena dengan usaha inilah jiwa akan terbebas dari hal-hal yang mengotorinya dan kembali pada fitrahnya. Menurut Ali Abduh, ibadah seperti shalat, zakat, membaca Al-Qur‘an, berdzikir, dan ibadah lainnya, adalah sarana paling efektif untuk menyucian jiwa seseorang.

Penulisan buku “Studi Islam 2: Fikih Ibadah” ini diharapkan dapat menjawab problematika krisis spiritual tersebut, sehingga dapat memberikan solusi yang memadai. Wallahu A‟lam Bisshawab.

Bogor, 01 Maret 2012 Dr. Akhmad Alim, M.A

(7)

iv |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... v

Bab IIbadah Dan Ruang Lingkupnya ... 1

Bab IIFikih Shalat ... 24

Bab IIIFikih Zakat... 45

Bab IVFikih Puasa ... 73

Bab VIbadah Haji, Umrah Dan Ziarah ... 97

Bab VIFikih Jenazah ... 117

Bab VIIDzikir, Istighfar, Selawat, & Do’a ... 139

Bab VIIIQiyamullail Dan Tadabur Al-Qur’an ... 190

Bab IXPanduan Shalat Sunnah ... 207

Bab X Khilafiyah Dalam Ibadah... 223

Daftar Pustaka. ... 247

(8)

1 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

BAB I

IBADAH DAN RUANG LINGKUPNYA

1. Ibadah Sebagai Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia

Allah Subhanahu wa Ta‟ala tidak menciptakan jin dan manusia sebagai suatu yang sia-sia. Tetapi, ada tujuan dibalik penciptaan mereka, yang tidak lain adalah tujuan ubudiyah. Dalam arti menyembah Allah

Subhanahu wa Ta‟ala, mengesakan, mengagungkan, membesarkan, dan

mentaati-Nya, dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta‟ala:

ُتكًَٜػ اَََٚ

ٱ

ٖٔٔلج

َٚ

ٱ

َظْ٢لإ

ا٤ي٢إ

٢ُٕٚدُبعَٝٔي

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Dari Mu'azd bin Jabal Radhiyallahu „anhu, ia berkata, "Saya membonceng Nabi Salallahu „Alaihi wa Sallam di atas keledai yang dinamakan 'afir, lalu 'Beliau Salallahu „Alaihi wa Sallam bersabda, 'Wahai Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah Subhanahu wa Ta‟ala terhadap hamba dan apa hak hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala? Saya menjawab. 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau bersabda,: 'Sesungguhnya hak Allah Subhanahu wa Ta‟ala terhadap hamba adalah bahwa mereka menyembah Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan hak hamba terhadap Allah

Subhanahu wa Ta‟ala adalah bahwa Dia Subhanahu wa Ta‟ala tidak akan

menyiksa orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Saya bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehlah saya memberitahukan kepada manusia?' Beliau menjawab, 'Jangan engkau beritakan kepada mereka,

maka mereka menjadi enggan beramal.‖ (HR.Muttafaqun 'alaih).1

1 Muttafaqun 'alaih. HR. al-Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30, lafadz hadits ini dari riwayat Muslim.

(9)

2 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

2. Definisi Ibadah

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara‘ (terminologi), ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa

Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang

bathin.2

Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri berkata :

Yang berhak disembah hanya Allah Subhanahu wa Ta‟ala semata, dan ibadah digunakan atas dua hal; Pertama: menyembah, yaitu merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya karena rasa cinta dan mengagungkan-larangan-Nya. Kedua: Yang disembah dengannya, yaitu meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhahi oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala berupa perkataan dan perbuatan, yang nampak dan tersembunyi seperti, doa, zikir, shalat, cinta, dan yang semisalnya. Maka melakukan shalat misalnya adalah merupakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa

Ta‟ala. Maka kita hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta‟ala

semata dengan merendahkan diri kepada-Nya, karena cinta dan mengagungkan-Nya, dan kita tidak menyembahnya kecuali dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya.3

Dari pengertian di atas dapat dirinci bahwa ibadah mencakup ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja‘ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.4

2Ibn Taimiyah,Al ‘Ubudiyah, Maktabah Darul Balagh, hlm. 6

3 - Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Pustaka Islamhouse,hlm.17 4- Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Bogor : Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3

(10)

3 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

3. Rukun Ibadah

Setiap ibadah yang dikerjakan oleh setiap hamba, harus menenuhi tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja‘ (harapan). Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja‘. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

َُْ٘ٛٗبٔشَُٜٚ ُِِٗٗبٔشُٜ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”

(QS.Al-Maa-idah: 54)

ٔ٘٤ًٓٔي ا٘بُس ٗدَغٜأ اََُٛٓآ َٜٔٔر٤ياَٚ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” (QS.Al-Baqarah: 165)

َينٔعٔغاَػ آَٜي اُْٛاٜنَٚ اّبََٖزَٚ اّبٜغَز آََُْٛعِدََٜٚ ٔتاَسَِٝؼٞيا ٞٔؾ َُٕٛع٢زاَطُٜ اُْٛاٜن ُِِْٖٗ٢إ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo‟a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu‟ kepada Kami.” (QS.

Al-Anbiya’: 90)

Mengenai tiga pilar ini, sebagian ulama salaf berkata , ―Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq,5

siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja‘ saja, maka ia adalah murji‘.6 Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf,

5. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.

6. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.

(11)

4 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah maka ia adalah haruriy.7 Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya

dengan hubb, khauf, dan raja‘, maka ia adalah mukmin muwahhid.‖8

4. Syarat diterimanya ibadah

Melakukan amalan ibadah merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim; karena tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah. Demikian itu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ‗azza wa jalla dalam Al-Qur‘an (QS. Adz Dzariyat : 56).

ُٕٚدُبِعَٝٔي ٜٓ٫٢إ َظْ٢لإاَٚ َٓٔٔذٞيا ُتٞكًَٜػ اَََٚ

“Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk beribadah hanya kepadaKu.‖ (QS. Adz Dzariyat : 56)

Agar amalan ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah, maka harus mengikuti dua syarat, berikut ini:

a. Al-Ikhlash, yaitu berniat ikhlas kepada Allah „Azza wa Jalla.

b. Al-Ittiba‟, yaitu mengikuti syariat Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi

wa Sallam.9

Dua syarat ini sebagaimana dijelaskan oleh oleh Allah dalam Al-Qur‘an (QS. Al Kahfi: 110),

اّدَسٜأ ٔ٘ٚبَز ٔ٠َداَبٔعٔب ٝى٢سِػُٜٜ٫َٚ اّشٔياَؾ ٟ٬ََُع ٌَُِِعًَٜٝٞؾ ٔ٘ٚبَز َ٤آٜكٔي اُٛدِسَٜ َٕاٜن َُِٜٔؾ

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya.” (QS. Al Kahfi: 110)

Di dalam ayat ini, Ibnu Katsir menafsirkan, bahwa maksud dari

firman Allah: ( ) adalah amal ibadah yang shaleh

merupakan bekal bagi siapa saja yang ingin berjumpa dengan Allah.

7.Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.

8. Ibn Taimiyah, ‘Ubuudiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid Halaby al-Atsar, Maktabah Darul Ashaalah 1416 H, hlm.161-162

9. Ibnu Rajab, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi Arabia: Mu’assassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 12.

(12)

5 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah Amal ibadah tersebut tidak akan pernah diterima, kecuali sesuai dengan syariat Allah, yaitu dengan mengikuti petunjuk Rasulallah Shalallahu

„Alaihi wa Sallam. Sementara maksud dari firman Allah: (

) adalah selalu ikhlas dalam beramal, yaitu hanya mencari ridha Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Kemudian Ibn Katsir menegaskan, ―Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam‖.10

Pendapat Ibn Katsir tersebut, dikuatkan dengan atsar sahabat Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas‘ud, Hasan, Sa‘id bin Zubair, dan sahabat yang lainnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Sufyan Ats Tsaury berikut ini:

ٜ٫َٚ ، ٕ١َٓٝٔٓٔب ٜٓ٫٢إ ٌُْعٚ ٍْٛق ُِِٝٔكَتِطَٜ ٜ٫َٚ ، ٣ٌَُعٔب ٜٓ٫٢إ ٍْٜٛق ُِِٝٔكَتِطَٜ ٜ٫ ٪َٕٛٝيٛٝكَٜ ُ٤اٗكؿيا ٕان

َُٓٓٓطيا ٔ١كؾاَُُٛٔب ٜٓ٫٢إ ٠١ْٝٚ ٌُْعٚ ٍْٛق ُِِٝٔكَتِطَٜ

ٔ١

"

Artinya: ―Para ulama berkata: „Tidak akan lurus perkataan kecuali

dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam”.11

Dalam menyikapi dua syarat diterimanya amalan ibadah tersebut, manusia dibagi menjadi empat golongan. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin (1/95-97), yang kesimpulannya adalah sebagai berikut:

1. Kelompok Muwahid, yaitu orang yang dalam amalannya menyempurnakan kedua syarat di atas, yakni ikhlas dan mutaba‘ah, secara terintegrasi. Mereka adalah orang-orang menyembah kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Karena mereka mengikhlaskan amalan mereka hanya kepada Allah, dengan mengikuti syari‘at Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam. Mereka tidak beramal untuk

10Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Maktabah Darus Salam, Volume III, hlm. 120-121

11Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi Arabia: Mu’assassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9, Al-Baghdadi, Iqtidha’ Al-Ilm Al-Amal, Beirut: Maktab Al-Islami, 1397H. , hlm. 29, Ibn Bathah Al-Ukbari, Al-Ibanah, Vol. 2, hlm. 803

(13)

6 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah manusia, karena mereka mengetahui bahwa pujian manusia sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat, sebagaimana cercaan mereka sama sekali tidak bisa mendatangkan kejelekan. Akan tetapi mereka mengikhlaskan ibadah secara zhahir dan batin untuk Allah, serta mereka jujur dalam mengikuti sunah Nabi Muhammad

Shalallahu „Alaihi wa Sallam.

2. Kelompok Zindiq, yaitu orang yang kehilangan ikhlas dan Ittiba‘ dalam amalannya. Dengan demikian, kelompok ini melakukan amalan hanya karena makhluk dan kepentingan duniawi, sehingga mereka tidak lagi mementingkan Ittiba‘ sunah Rasulallah Shalallahu

„Alaihi wa Sallam dalam amalannya tersebut.

3. Kelompok Mubtadi‟ah, yaitu orang yang beramal dengan ikhlas, tapi tanpa Ittiba‘. Hal ini berawal dari kejahilan dalam mengamalkan syari‘at, sehingga beribadah tanpa berdasarkan ilmu. Akibatnya, kebanyakan dari mereka terjatuh dalam kebid‘ahan, yaitu amalan-amalan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulallah Shalallahu

„Alaihi wa Sallam. Hasilnya, amalan yang mereka lakukan tidak

menambah dekat dengan Allah, tetapi amalan tersebut akan semakin membuat mereka jauh dari Allah.

4. Kelompok Munafik, yaitu orang yang melakukan Ittiba‘ dalam amalannya, tetapi meninggalkan keikhlasan. Hal ini disebabkan karena riya‘ dan mencari tujuan duniawi yang sifatnya fana, sehingga amalan ibadahnya mengharapkan pujian manusia, dan kedudukan di sisi mereka. Hasilnya, amalan-amalan tersebut adalah sia-sia di sisi Allah.12

Dua syarat diterima suatu amalan ibadah tersebut, akan dijelaskan dalam uraian berikut ini:

1. Al-Ikhlas

a. Pengertian (Ta‟rif)

Ikhlas secara bahasa (lughah) memiliki beberapa makna, di antaranya adalah sebagai berikut:

12 Ibnu Qayyim, Bada’i Al-Fawaid, Mekah: Maktabah Nizar Musthafa, 1416H. , Vol. 4, hlm. 952, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Vol. I, hlm. 95-97

(14)

7 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah 1) Al-Tashfiyah, Al-tanqiyah, Al-Tahdzib, yaitu memurnikan sesuatu dari

segala macam campuran. 2) Al-Tauhid, yaitu mengesakan. 3) Al-Takhshish, yaitu mengkhususkan. 4) Al-Najah, yaitu selamat dari sesuatu.

5) Al-Ihsan, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan.13

Adapun secara istilah, para ulama berbeda redaksi (ibarah) dalam menggambarkanya, tetapi pada intinya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah menyelamatkan ibadah dari pamer (riya‘) kepada makhluk. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mensucikan amal dari sifat ujub, dan segala macam penyakit hati (afat al-qulub).14

Al Harawi mengatakan: ―Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda. ―Ulama yang lain berkata, ‗Seorang yang ikhlas ialah seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi (dzarrah)‖.15 Sementara Fudhail bin ‗Iyadh berkata: ―Meninggalkan

amal karena manusia adalah riya‘. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya‖.16 Sa‘id bin Zubair mengatakan: ―ikhlas adalah mensucikan

diri dalam melakukan amal dari segala sifat riya, dan menjadikan amalan ibadah hanya karena Allah‖.17 Al-Qurthubi berkata:‖ikhlas adalah

memurnikan amalan ibadah dari campuran kepentingan duniawi‖.18 Ibn

Hajar Al-Ashqalani berkata: ―ikhlas bermakna ihsan, yaitu seseorang

13Muhammad Ibn Abi Bakar Razi, Mukhtar Shihah, Madinah Munawarah: Dar Al-thaibah, 1987, hlm. 184, Ibn Faris, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Libanon: Dar Al-Fikr, 1415 H. , hlm. 327, hlm. 6, Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H. , Vol. 10, hlm. 589

14Abdul Lathif, Al-Ikhlash Wa Al-Syirk Al-Ashghar, Darul Wathan, 1412 H. , www. alabdullatif. islamlight. net, hlm. 5, Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah, 1420 H. , Vol. 4, hlm. 502

15Ibid

16Ibn Qayyim, Madarijus Salikin, Kairo: Darul Hadits, Vol. 2, hlm. 95-96

17Al-Marwazi, Ta’dzim Al-Shalat, Madinah Munawarah: Maktabah Al-Dar, 1406 H. , Vol. 2, hlm. 566

18Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo: Dar Al-Hadist, 1414 H. , Vol. 2, hlm. 151

(15)

8 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah melakukan amal ibadah, seakan-akan Ia melihat Allah, atau merasa bahwa dirinya selalu dilihat oleh Allah‖.19

Dari uraian singkat pendapat para ulama di atas, dapat dikatakan bahwa ikhlas adalah seseorang berniat dengan amal ibadahnya, hanya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah semata, bukan karena mencari pujian manusia, atau mencari kepentingan duniawi. Dengan demikian, seseorang akan selalu memperbaiki amalannya, dengan cara mentauhidkannya dan tidak mensyirikkan amalan tersebut kepada selain Allah.

b. Dalil-Dalil tentang Ikhlas

Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya ikhlas dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam Al-Qur‘an dan Al-Sunah.

Dalil-dalil dari Al-Qur‘an tentang ikhlas adalah sebagai berikut:

اّدَسٜأ ٔ٘ٚبَز ٔ٠َداَبٔعٔب ٝى٢سِػُٜٜ٫َٚ اّشٔياَؾ ٟ٬ََُع ٌَُِِعًَٜٝٞؾ ٔ٘ٚبَز َ٤آٜكٔي اُٛدِسَٜ َٕاٜن َُِٜٔؾ

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya.” (QS. Al Kahfi: 110)

٤اٜؿَُٓس َٜٔٚديا ُٜ٘ي َينٔؿًِٔؼَُ َ٘٤ًيا اُٚدُبِعَٝٔي ا٤ي٢إ اُٚسَٔٝأ اَََٚ

ٜؤيَذَٚ ٜ٠اٜنٖصيا اُٛتِ٪َُٜٚ ٜ٠اًٜٖؿيا اُُٛٝٔكَُٜٚ

ٔ١َُٜٚٝكٞيا ُٜٔٔد

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (QS. Al-Bayyinah: 5)

ٓٔديا ُٜ٘ٓي اّؿًِٔؼَُ ًَٜ٘ٓيا َدُبِعٜأ ِٕٜأ ُتِسَٔٝأ ْٞٓٔ٢إ ٌِٝق

َٜٔ

19Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H. , Vol. 10, hlm. 589

(16)

9 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah “Katakanlah: „Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.‘‖

(QS. Al-Zumar: 11)

٢ًِٜعٜأٞيا ٔ٘ٚبَز ِٔ٘دَٚ ٤اَػٔتِبا ا٤يإ ٣َصِذُت ٕ١َُِعْٚ َٔٔ َُٙدٓٔع ٕدَسٜأٔي اَََٚ

“Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi.‖ (QS. Al-Lail: 19 – 20)

َد ِِٝهَٓٔ ُدٜ٢سُْ اٜي ٔ٘٤ًيا ِٔ٘دَٛٔي ِِٝهُُٔعُْٞٛ اَُْٖإ

اّزٛٝهُغ اٜيَٚ ٤اَص

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 9)

ُٜ٘ي ِد٢صَْ ٔ٠َسٔػآٞيا َخِسَس ُدٜ٢سُٜ َٕاٜن ََٔ

اَََٚ اََِٗٓٔ ٔ٘ٔت٪ُْ اَِْٝٗديا َخِسَس ُدٜ٢سُٜ َٕاٜن َََٔٚ ٔ٘ٔثِسَس ٞٔؾ

بٝٔؿْٖ َٔٔ ٔ٠َسٔػآٞيا ٞٔؾ ُٜ٘ي

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.‖ (QS. Asy-Syuuraa: 20)

ُدٜ٢سُٜ َٕاٜن ََٔ

ٱ

َٜٛٝلح

ٰ

ٜ٠

ٱ

َِعٜأ ِ٢ٜٗٝي٢إ ٚفَُْٛ اََٗتَٜٓ٢شَٚ اَْٝٗدي

ٰ

َُٕٛطَؼبُٜ اٜي اَٗٝٔؾ َُِٖٚ اَٗٝٔؾ ُِٜٗي

ٍَِٚٝأ

ٰ

ٜؤ٥

ٱ٤ي

ٞٔؾ ُِٜٗي َظٜٝي َٜٔٔر

ٱ

ا٤ي٢إ ٔ٠َسٔػ٭

ٱ

َبَٚ اَٗٝٔؾ ٞاُٛعََٓؾ اََ ٜطٔبَسَٚ ُزآٖي

ٰ

اَٖ ٌٔط

ًََُٕٛٝعَٜ ٞاُْٛاٜن

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu.‖ (QS.

(17)

10 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah Dalil-dalil dari Al-Sunah tentang ikhlas adalah sebagai berikut: Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam seraya berkata, ‖Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?‖ Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa

Sallam menjawab, ‖Dia tidak mendapatkan apa-apa. ‖ Orang itu

mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:

ُُِ٘ٗدَٚ ٔ٘ٔب َٞٔػُتِبا َٚ ٟاؿٔياَػ ُٜ٘ي َٕاٜن اََ ٤٫٢إ ٢ٌََُعيا ََٔٔ ٌَُبٞكَٜ ٜ٫ ٜللها ٖٕ٢إ

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah.‖20

Dari Amirul Mu‘minin, Abi Hafs Umar bin Al Khathab, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda:

ٔ٘ٔيُِٛضَزَٚ ٔللها ٢ٜي٢إ ُُ٘تَسِذٖٔ ِتَْاٜن َُِٜٔؾ .٣ََْٛ اََ ٣٨٢سَِا ٌٚٝهٔي اَُْٖ٢إَٚ ٔتاٖٝٚٓيأب ٍُاَُِعٜ٭ٞا اَُْٖ٢إ

َزَٚ ٔللها ٢ٜي٢إ ُُ٘تَسِذ٢ٜٗؾ

ُُ٘تَسِذ٢ٜٗؾ اَُٗشٔهَِٜٓ ٕ٠ٜأَسَِا ِٜٚأ اَُٗبِٝٔؿُٜ اَُِْٝدٔي ُُ٘تَسِذٖٔ ِتَْاٜن َََِٔٚ ،ٔ٘ٔيُِٛض

ِٜٔ٘ٝي٢إ َسَداَٖ اََ ٢ٜي٢إ

“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”21

20HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8.

(18)

11 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah Di dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulallah saw bersabda, Allah berfirman (hadits qudsi):

َسَت ٟ٢سِٜٝغ ٞٔعََ ِٔ٘ٝٔؾ ٜىَسِغٜأ ٟ٬ََُع ٌََُٔع ََٔ ظٔىِسٚػيا ٢َٔع ٔ٤اٜنَسٗػيا ٢َٓٞغٜأ اَْٜأ

ُٜ٘نِسٔغَٚ ُُ٘تٞن

Aku tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amal ibadah yang ia menyekutukan selain-ku bersama-Ku, niscaya Aku meninggalkannya dan sekutunya.22

2. Al-Ittiba’

a. Pengertian (Ta‘rif)

Al-Ittiba‘ secara bahasa bersumber dari mashdar ittaba‟a, yang bermakna al-talwu, al-qafwu, al-i‟timam, yaitu mengikuti sesuatu. Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh. Dikatakan Ittiba‟ kepada Al-Qur‘an, bermakna mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan

Ittiba‟ kepada Rasul Shalallahu „Alaihi wa Sallam, bermakna meneladani,

mencontoh dan mengikuti sunah-sunahnya.23

Adapun secara istilah syar‘i, Al-Ittiba‟ adalah mengikuti petunjuk Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa Sallam, dalam melaksanakan amalan ibadah, baik dalam keyakinan (i‟tiqad), perkataan (qauliyah), perbuatan (fi‟liyah) dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan.24

Ittiba‟ kepada Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa Sallam, dalam

keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa Sallam. Ittiba‟ kepada Rasulallah Shalallahu

„Alaihi wa Sallam, dalam perkataan, akan terwujud dengan melaksanakan

kandungan dan makna-makna dari sabda Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa

Sallam,. Ittiba‘ kepada Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa Sallam, dalam

perbuatan akan terwujud dengan meneladani semua apa yang telah dilakukan Rasulullah dalam bentuk sunah fi‟liyah.

22HR. Muslim, no. 29985

23Ibn Faris, Maqayis Al-Lughah, Vol. I, hlm. 362

(19)

12 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah Jadi, Ittiba‘ merupakan konsekuensi syahadat yang kedua yaitu Muhammad Rasulallah, persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sebuah ikrar yang di dalamnya terdapat pengakuan atas kerasulan Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, syahadat tersebut mengandung maksud bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam adalah benar, sehingga harus diimani dan diamalkan. Oleh karena itu, wajib bagi seorang muslim untuk ittiba‟ kepada Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa Sallam, dengan taat terhadap apa yang diperintahkannya dan membenarkan apa yang diberitakannya serta menjauhi apa yang dilarang dan diancamnya. Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. b. Dalil-Dalil tentang Al-Ittiba‟

Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya

Ittiba‟ dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam

Al-Qur‘an dan Al-Sunah.

Dalil-dalil dari Al-Qur‘an,

٤ًيا ُِٝهِبٔبِشُٜ ُْٞٔٛعٔبٖتاٜؾ َ٘٤ًيا َٕٛٗبٔشُت ُِِتِٓٝن ِٕ٢إ ٌِٝق

ِْٝٔسَز ْزٛٝؿٜغ ُ٘٤ًياَٚ ِِٝهَبُُْٛذ ِِٝهٜي ِسٔؿِػََٜٚ ُ٘

“Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

ٜوٚبَزَٚ اًٜٜؾ

اّدَسَس ِِ٢ٗٔطٝؿِْٜأ ٞٔؾ اُٚدٔذَٜ اٜي ُِٖث ََُِِِٗٓٝب َسَذَغ اَُٝٔؾ ٜىُُِّٛهَشُٜ ٢ٖتَس ََُِٕٛٓٔ٪ُٜ اٜي

اًُِّٝٔطَت اًَُُِّٛطَُٜٚ َتَِٝكٜق أَُٖ

“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.‖ (QS. An-Nisa`: 65)

أَُي ِِٝناَعَد اَذ٢إ ٢ٍُٛضٖسًٔيَٚ ٔ٘٤ًٔي اُٛبٝٔذَتِضا اََُٛٓآ َٜٔٔر٤يا اَٜٜٗٗأ اَٜ

ِِٝهِٝٔٝشُٜ

(20)

13 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah engkau penuhi panggilan Allah dan RasulNya, apabila Dia memanggil kepada apa-apa yang menghidupkan kamu.” (Al-Anfaal: 24)

ٝكَٓتاَٚ اَُٛٗتِْاٜؾ َُِ٘ٓع ِِٝناََْٗ اَََٚ ُُٙٚرُؼٜؾ ٍُُٛضَٓسيا ُِٝناَتٜآ اَََٚ

ٔباٜكٔعٞيا ُدٜٔدَغ ًَٜ٘ٓيا َٕٓ٢إ ًَٜ٘ٓيا اٛ

“Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarang kepada kalian darinya maka jauhilah dan bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

َٜٔٔدٖٔاٖػيا َعََ آِبُتٞناٜؾ ٍَُٛضٖسيا آَِعَبٖتاَٚ َتٞيَصِْٜأ أُب آََٖآ آٖبَز

“Ya Allah, kami beriman dengan apa yang telah engkau turunkan, dan kami telah mengikuti (Ittiba‟) Rasul, maka catatlah kami dalam golongan orang yang bersaksi. (QS. Ali Imran: 53)

Dalil-dalil dari Al-Sunah,

ًٜ٘ٓيا ٢َؿَع ِدٜكٜؾ ٢ْٔاَؿَع َََِٔٚ ، ًَٜ٘ٓيا َعاٜطٜأ ِدٜكٜؾ ٢َٔٓعاٜطٜأ ََِٔ

“Siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan siapa yang durhaka kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah.‖ (HR.

Bukhari)

ََِٔ ٪ٍَاٜق ٢َبٞأَٜ َََِٔٚ ٔ٘٤ًيا ٍَُٛضَز اَٜ ٪اٛٝياٜق .٢َبٜأ ََِٔ ٤٫٢إ ، ٜ١َٖٓذٞيا ًَُٕٛٝػِدَٜ ٢ٔتَٖٝأ ٌٗٝن

.٢َبٜأ ِدٜكٜؾ ٢ْٔاَؿَع َََِٔٚ ، ٜ١َٖٓذٞيا ٌََػَد ٢َٔٓعاٜطٜأ

“Semua umatku akan masuk jannah (surga), kecuali orang-orang yang enggan”. Para shahabat bertanya: Ya Rasulullah siapa orang enggan itu? Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam menjawab: “Barang siapa yang mentaatiku maka dia kan masuk jannah, dan barang siapa yang memaksiatiku maka sungguh dia telah enggan.“ (HR. Bukhari)

(21)

14 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah “Artinya: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari agama kita maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)

ٙدَز َُٜٛٗؾ ٔ٘ٝٔؾ َظِٜٝي اََ اَرَٖ اَْ٢سَِٜأ ٞٔؾ َخَدِسٜأ ََِٔ

“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

ًَِّٞؾٝأ ُُُْٞٔٛتِٜٜأَز اَُٜن اٛ٥ًَؾ

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”25

ٔللها ٣َٛٞكَتٔب ِِٝهِٝٔؾِٚٝأ

٣َسََٝطٜؾ ِِٝهَِٓٔ ِؼٔعَٜ ََِٔ ُْٖ٘٢إٜؾ ظْٞٔػَبَس ْدِبَع ِٕ٢إَٚ ٔ١َعا٤ٛياَٚ ٢عُِٖطياَٚ

اَٗٔب اِٛٝهٖطََُت ظَِٜٔٔدٔغاٖسيا َِٜٔٝٚٔدَُِٗٞيا ٔ٤اٜؿًُٜؼٞيا ٔ١ُٖٓضَٚ ٞٔتُٖٓطٔب ِِٝهًَِٜٝعٜؾ ظاّسِٝٔجٜن اٟؾٜ٬ٔتِػا

ٔرٔداَٖٛٓيأب اًََِٜٗٝع اِٛٗكَعَٚ

“Saya berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar, dan taat (kepada pemerintah) walaupun (pemerintah tersebut) seorang budak Habasyi. Karena sesungguhnya barangsiapa yang tetap hidup di antara kalian, maka dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian (untuk mengikuti) sunnahku dan sunnah khulafa` yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegangteguhlah kalian dengannya serta gigitlah ia dengan gigi geraham kalian”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dan

dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`)

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu „anhuma dari Nabi Shalallahu

„Alaihi wa Sallam beliau bersabda:

(22)

15 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

٢زَُٛٝأٞيا ٗسَغَٚ ٕدَُٖشَُ ٣َدُٖ ٣َدُٗٞيا ُسَِٝػَٚ ٔ٘٤ًيا ُباَتٔن ٔحٜٔدَشٞيا َسَِٝػ ٖٕ٢إٜؾ ُدِعَب اَٖٜأ

ٕ١َعِدٔب ٌٗٝنَٚ ٠١َعِدٔب ٕ١َثَدِشَُ ٌٗٝنَٚ اَُٗتاَثَدِشَُ ٢زَُٛٝأٞيا ٗسَغَٚ٠١ٜياًَٜق ٕ١َعِدٔب ٌٗٝنَٚ اَُٗتاَثَدِشَُ

٢زآٖيا ٞٔؾ ٕ١ٜياًَٜق ٌٗٝنَٚ ٠١ٜياًَٜق

“Amma ba‟du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid‟ah dan setiap bid‟ah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam neraka. (HR.

Muslim dan An-Nasa`i)

c. Kriteria Amalan Yang Mutaba‟ah

Ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan Ittiba‟ kepada Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam dalam ibadah, adalah dengan terwujudnya 6 kriteria, sebagaimana berikut ini:

1) Sebab pelaksanaannya (as-sabab)

Dalam masalah ibadah, sebab pelaksanaannya harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari‘at, maka siapa saja yang beribadah dengan sebab yang tidak sesuai dengan tuntunan syari‘at, maka ibadah tersebut akan berubah menjadi perbuatan bid‘ah. Sebagai contoh, seseorang shalat dua rakaat disebabkan mendengar suara petir, atau menyembelih hewan kurban sebab menyambut datangnya tahun baru Masehi.

2) Jenis (an-nau‟/al-jinsu)

Dalam masalah ibadah, jenis yang dipilih harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari‘at, maka apabila ada yang menyelisihinya, maka dampaknya akan terjadi penyimpangan ibadah. Misalnya dalam masalah udhiyah (hewan kurban), syari‘at telah menentukan jenisnya yaitu harus dari jenis bahimatul an‟am (onta, sapi, domba, dan kambing). Bila ada seseorang yang berkurban (udhiyah) dengan jenis kuda atau ayam, maka ibadah kurbannya tersebut tidak sah, bahkan digolongkan dalam amal bid‘ah.

(23)

16 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah 3) Ukuran (al-qadr)

Dalam masalah ibadah, ukurannya harus sesuai dengan apa yang telah diukur oleh syari‘at, maka apabila ada seseorang yang shalat Zhuhur 6 raka‘at atau shalat magrib 7 raka‘at, maka shalat Zhuhurnya dan Magribnya tersebut, tidak diterima karena menyelisihi syari‘at. 4) Sifat (as-sifat)

Dalam masalah ibadah, sifatnya harus sesuai dengan apa yang telah disifati oleh syari‘at, maka ada orang yang wudhu menyelisihi sifat wudhu Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam seperti mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang yang mengawali shalat dengan salam, dan mengahiri dengan takbiratul

ihram-, maka kedua ibadah seperti ini tidak akan diterima, karena

menyelisihi sunah Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam. 5) Waktu Pelaksanaannya (al-zaman/al-waqtu)

Dalam masalah ibadah, waktu pelaksanaannya harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari‘at, maka apabila ada orang yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat idul Adh-ha, maka tidak dianggap sebagai udhhiyah. Karena waktu disyari‘atkannya udhhiyah (menyembelih) di hari Iedul Adhha adalah setelah shalat Ied, bukan sebelumnya.

6) Tempat Pelaksanaannya (al-makan)

Dalam masalah ibadah, tempat pelaksanaannya harus sesuai dengan apa yang telah tentukan oleh syari‘at, maka apabila ada orang yang beri‘tikaf di kamar rumahnya atau pergi melakukan thawaf kepada Allah di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima, karena i‘tikaf tempat disyariatkannya adalah di masjid. Sedangkan thawaf hanya diperbolehkan di Ka‘bah.26

d. Urgensi Niat dalam Ibadah

Islam sangat memperhatikan masalah niat, karena niat adalah ruh amal ibadah dan inti sarinya (lubb). Perbuatan tanpa niat bagaikan jasad

26Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin, Al-Ibda' fi Kamaalisy-Syar'i wa Khothrul-Ibtida', hm. 21-23

(24)

17 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah tanpa ruh, sehingga dapat dikatakan amalan tanpa niat ikhlas adalah tiada bermakna, dan menghilangkan pahala dari kebaikan yang dilakukan. Bahkan Imam Syafi‘i menegaskan, bahwa niat adalah mencakup sepertiga ilmu agama ini, dan merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih. Lebih dari itu, Ibnu Rajab mengatakan bahwa niat adalah pilar agama, tanpa niat agama ini akan runtuh.27

Oleh karena itu, niat adalah fondasi dasar (asas) dari amalan ibadah, yang dapat membedakan antara sah, dan rusaknya suatu ibadah, atau diterima dan ditolaknya suatu amalan ibadah. Perbuatan bisa dikatakan sah jika niatnya juga sah, begitu juga sebaliknya, jika niatnya rusak, maka amalannya juga dikatakan rusak, tentunya hal ini sangat menentukan kesesuaian dengan balasan yang akan diterima di dunia dan di akhirat.28

Ibn Qayyim mengibaratkan niat yang ikhlas, bagaikan sebatang pohon yang tertanam di dalam hati, yang cabang-cabangnya adalah amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik, maka buah dari niat yang berupa tauhid dan keikhlasan di dunia pun akan tetap mengalir. Adapun syirik, kedustaan, dan riya‘ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim ayat 24-26 berikut ini,29

27Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi Arabia: Mu’assassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9

28 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaq-qi’in, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, Vol. 4, hlm. 250

(25)

18 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

ٞٔؾ اَُٗعِسٜؾَٚ ْتٔباَث اًَِٗٝؾٜأ ٕ١َبٜٓٔٝط ٕ٠َسَذَػٜن ٟ١َبٜٓٔٝط ٟ١ًَُٜٔن ٬َجََ ُ٘٤ًيا َبَسَق َـِٜٝن َسَت ِِٜيٜأ

٢ِٕذ٢إٔب ٣ينٔس ٌٖٝن اًَٜٗٝنٝأ ٞٔتِ٪ُت ٔ٤اَُٖطيا

ٌَُجَََٚ َُٕٚس٤نَرَتَٜ ُِِٗ٤ًَعٜي ٢عآًٖٔي ٍَاَجَِ٭ا ُ٘٤ًيا ُب٢سِكََٜٚ اَٗٓٔبَز

٣زاَسٜق َِٔٔ اَٜٗي اََ ٢ضِز٭ا ٢مِٜٛؾ َِٔٔ ِتٖجُتِدا ٕ١َجٝٔبَػ ٕ٠َسَذَػٜن ٕ١َجٝٔبَػ ٕ١ًَُٜٔن

“Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 24-26)

Pengertian (Ta‟rif) Tentang Niat

Niat secara lughah berasal dari kata an-nawa ( ), yang bermakna

qashdu (bermaksud), iradah (berkeinginan), azimah (bertujuan), al-ibtigha (mencari).30 Adapun niat menurut istilah syar‘i adalah keinginan

melakukan ketaatan kepada Allah, yang diiringi dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.31

Dalam Al-Qur‘an banyak menjelaskan masalah niat dalam beberapa nash dan istilah yang beragam, walaupun niat tidak disebutkan secara langsung, tetapi substansinya berpusat pada niat, tujuan dan keikhlasan. Firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala dalam quran surat al-Bayyinah ayat ke-5 dan Surat al-Zumar ayat 2 dan 11, Surat al-A‘raf ayat 29, Surat al-Ghafir ayat 14 dan 65, dan Surat Luqman ayat 32. Di dalam ayat-ayat tersebut, secara detail menjelaskan tentang urgensi ikhlas sebagai ruh dari sebuah niat. Niat juga diungkapkan dengan menggunakan istilah al-iradah (keinginan). Hal ini dapat dilihat di dalam Al-Quran Surat al-Isra‘ ayat 19, al-Furqan ayat 62, al-Qoshash ayat 19, al-Baqarah ayat 233 dan 228, Surat Hud ayat 88. Di dalam ayat-ayat

30Muhammad Ibn Abi Bakar Razi, Mukhtar Shihah, Madinah Munawarah: Dar Al-thaibah, 1987, hlm. 687, Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, Beirut: Daar Ihya at Turats al-’Arabi, Vol. 14, hlm. 343

(26)

19 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah tersebut al-iradah diungkapkan dalam makna yang berbeda-beda dalam konteks yang beragam pula, tetapi semua iradah (keinginan) tersebut dikembalikan pada niat dan tujuan. Niat juga diungkapkan dengan kata

al-ibtigha‟ (tujuan, sasaran atau target). Misalnya di dalam Al-Qur‘an surat

an-Nisa‘ ayat 94, at-Tahrim ayat 1, al-Qashash ayat 55, dan Ali ‗Imran ayat 5 dan ayat 85, dan di dalam surat al-Ra‘d ayat 22 dan al-Isra‘ ayat 28. Di dalam ayat-ayat tersebut al-ibtigha‟ muncul dalam konteks larangan maupun perintah. Dengan demikian, perbuatan yang diperintahkan membutuhkan niat, perbuatan yang dilarang pun juga membutuhkan niat.

Adapun dalam pandangan Al-Sunah, niat selalu dikaitkan dengan maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan amalan ibadah. Jika tujuannya karena Allah maka hal itu disebut ikhlas, dan jika karena manusia atau kepentingan duniawi, maka niat tersebut berubah menjadi riya‘. Selain itu, Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa Sallam menjadikan niat sebagai salah satu syarat sahnya suatu amalan, sehingga suatu amalan tiada bernilai pahala jika tanpa disertai dengan niat. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist Umar bin Khatthab berikut ini.

ٍَُِٛضَز ُتِعَُٔض ٪ٍَاٜق َُِ٘ٓع ٝللها َٞٔقَز ٔبآَٜٛؼٞيا ٢ِٔب َسَُُع ٣ـٞؿَس ِٞٔبٜأ ََِِٔٝٔٓٔ٪ُُٞيا ٢سَِٜٝٔأ َِٔع

ٔللها ٢ٜي٢إ ُُ٘تَسِذٖٔ ِتَْاٜن َُِٜٔؾ .٣ََْٛ اََ ٣٨٢سَِا ٓ٢ٌٝهٔي آََُْ٢إَٚ ٔتآَٝٓٔٓيأب ٍُاَُِعٜ٭ٞا آََُْ٢إ ٪ٍُِٛٝكَٜ ٔللها

ٜؾ ٔ٘ٔيُِٛضَزَٚ

اَُٗشٔهَِٜٓ ٕ٠ٜأَسَِا ِٜٚأ اَُٗبِٝٔؿُٜ اَُِْٝدٔي ُُ٘تَسِذٖٔ ِتَْاٜن َََِٔٚ ،ٔ٘ٔيُِٛضَزَٚ ٔللها ٢ٜي٢إ ُُ٘تَسِذ٢ٗ

ِٜٔ٘ٝي٢إ َسَداَٖ اََ ٢ٜي٢إ ُُ٘تَسِذ٢ٜٗؾ

“Dari Amir al-Mu‟minīn, Abu Hafsh „Umar bin al-Khaththab ra, dia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap orang pun (akan dibalas) sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang-siapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut.” (HR. Buhari dan Muslim)

(27)

20 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

Fungsi Niat (Fawaid al-Niyah) dalam Ibadah

Fungsi niat dalam amalan ibadah ada dua perkara, yaitu:

1. Pertama: membedakan antara ibadah dengan adat (tamyiz al-„ibadat „an

al-„adat). Misalnya seseorang duduk di masjid untuk istirahat atau

i‘tikaf, hal ini dapat dibedakan dengan niatnya. Demikian juga menyerahkan harta kepada orang lain, apakah akadnya hibah, hadiyah, atau wadi‘ah, atau zakat, sedekah biasa atau sebagai kaffarat. Semua itu, akan dibedakan dengan niatnya.

2. Kedua, membedakan antara peringkat ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya (tamyiz mzrztib zl-„ibadat ba‟dhuha min ba‟dhin). Misalnya macam-macam shalat ada yang fardhu dan ada pula yang sunnah, demikian juga apakah bersifat qadha‘ atau ada‘.32

Waktu Niat dan Tempatnya

Menukil kesepakatan ulama, Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa waktu niat itu di awal melakukan amalan ibadah. Adapun tempat niat adalah di hati, bukan diucapkan dengan lisan,33 kecuali waktu

tertentu yang disunahkan untuk melafazkan niat, seperti ketika haji dan umrah, dengan mengatakan: "Labbaik Allahumma Hajjan" (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji), atau "Labbaik Allahumma 'Umratan" (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah), sehingga apa yang ada dalam hati dikuatkan dengan kata-kata yang dilafazkan. Sebab Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam melafazkan niat haji dan juga melafazkan niat umrah. Maka demikian ini sebagai dalil disyariatkannya melafazkan niat karena mengikuti Nabi Shalallahu „Alaihi wa Sallam. Sebagaimana para sahabat juga melafazkan demikian itu seperti diajarkan oleh Nabi Shalallahu „Alaihi wa Sallam dan mereka mengeraskan suara mereka.34

32Al-Zarkasyi, Al-Mantsur, Kuwait: Wuzarah Al-Auqaf Kuwait, 1405H. , Vol. 2, hlm. 285, IbnU Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi Arabia: Mu’assassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9

33 Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, Vol. 26, hlm. 21-24.

34Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hlm. 80 83

(28)

21 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

 Besar Kecilnya Pahala Amalan Dzahir Tergantung Pada Kualitas

Niatnya

Niat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pahala amalan dzahir yang kita lakukan, semakin niatnya ikhlas, semakin besar pula pahala yang akan kita dapatkan. Demikian juga sebaliknya, niat yang salah akan mempengaruhi rusaknya amalan yang kita lakukan, dan menghapus pahalanya. Oleh karena itu, menata niat sebelum melakukan amal adalah amat penting, sehingga amalan yang dilakukan terjaga pahalanya dan kualitasnya. Lebih jelasnya, kita tadaburi firman Allah berikut ini:

ِِٝهَِٓٔ ٣َٛٞكٖتيا ُ٘ٝيآََٜ ِٔٔهٜيَٚ اَُٖ٩أََد ٫َٚ اََُُٗٛشٝي َ٘٤ًيا ٍَآََٜ ِٜٔي

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”

(QS. Al-Hajj: 37)

Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa amalan dzahir yang berupa penyembelihan hewan kurban, ditentukan oleh kualitas niat dalam hatinya yang terwujud dalam bentuk ketaqwaan, sehingga bentuk dzahir berupa daging dan darah hewan kurban tidak sampai pada Allah, tetapi niatnya itulah yang sampai pada keridhaan Allah. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ُزِدٜق ُسُػِؿََٜٚ اَُٖزِدٜق ُِٝعِعَٜ ٜ٠َسٖٔا٤عيا ٍَاَُِعٜأٞيا ٖٕٜأ

ٔبًِٛٝٝكٞيا ٞٔؾ اَََٚ ،ٔبًِٛٝٝكٞيا في اَبم اَٖ

ٝللها ٤٫٢إ ٢ٕاَُِٜ٢إٞيا ََٔٔ ٔبًِٛٝٝكٞيا ٞٔؾ اََ َسِٜٔداٜكََ ُف٢سِعَٜ ٜ٫ ٌَُقاٜؿَتَٜ

“Sesungguhnya amalan-amalan lahiriah (dzohir) nilainya menjadi besar atau menjadi kecil sesuai dengan apa yang ada di hati, dan apa yang ada di hati bertingkat-tingkat. Tidak ada yang tahu tingkatan-tingkatan keimanan dalam hati-hati manusia kecuali Allah.”

(29)

22 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

٢ًُِٜٔٝدٖسيا ٖٕ٢إَٚ ،٢فٜ٬ِػ٢إٞياَٚ ٢ٕاَُِٜ٢لإا ََٔٔ ٔبًِٛٝٝكٞيا في اََ ٢ٌُقاٜؿَتٔب ٌَُقاٜؿَتَت ٍَاَُِعٜأٞيا ٖٕ٢إٜؾ

٢ضِزٜأٞياَٚ ٤اَُٖطيا ََِٔٝب اَُٜن اَُ٢َِٗٝتٜ٬َؾ ََِٔٝبَٚ اّدٔساَٚ ٚـٖؿيا ٞٔؾ اََُُُٗاٜكََ َِٕٛٝهَٜٝي

“Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh ada dua orang yang berada di satu shaf sholat akan tetapi perbedaan nilai sholat mereka berdua sejauh antara langit dan bumi”.35

Salah satu rahasia kenapa Allah menjadikan sedikit infaq yang dikeluarkan oleh para sahabat Nabi lebih tinggi nilai pahalanya, dari pada beribu-ribu ton emas yang kita sedekahkan. Hal itu dikarenakan, kualitas niat para sahabat sangatlah tinggi, sementara kualitas niat kita tidak sebanding dengan niat mereka. Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi

wa Sallam pernah bersabda,

اٛٗبُطَت اٜي

ُٜ٘ؿٝٔؿَْ اٜيَٚ ِِٖٔٔدَسٜأ ٖدَُ َؼًَٜب اََ اّبََٖذ ٕدُسٝأ ٌَِجَٔ َلٜؿِْٜأ ِِٝنَدَسٜأ ٖٕٜأ ًِٜٜٛؾ ٞٔباَشِؾٜأ

“Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka (kurma atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam tangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Baydhawi mensyarah hadist ini, seraya berkata:

٢ٌِكٜؿٞيا ََٔ اّبََٖذ ٕدُسٝأ ٢ٌِجَٔ ماٜؿِْإٔب ِِٝنُدَسٜأ ٍُآََٜ ٜ٫ ٔحِٜدَشٞيا ٢َِٓعََ

اََ ٢سِدٜ٭اَٚ

ٌََكٞؾٜ٭ا ُٕ٢زاٜكُٜ اََ تُٚاٜؿٖتيا ُبَبَضَٚ ٔ٘ٔؿِٝٔؿَْ ِٜٚأ ٣ّاَعٜط ٚدَُ ماٜؿِْ٢إٔب ُُِِٖدَسٜأ ٍُآََٜ

ٔ١ٖٝٚٓيا ٢مِدٔؾَٚ ٢فٜ٬ِػ٢لإا ٔدِٜ٢صََ َِٔ

“Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia sebagaimana yang diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun

(30)

23 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah hanya menginfakan satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan tersebut adalah karena (mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai dengan keikhlasan yang lebih dan niat yang benar.‖36

Walhasil, niat yang berkualitas akan mempengaruhi kualitas suatu amalan ibadah yang kita amalkan. Dengan demikian, niat adalah bagian yang amat penting dalam struktur amal, sehingga baik tidaknya amal adalah ditentukan pada niat pelakunya.

(31)

24 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

BAB II

FIKIH SHALAT

1. Kedudukan Shalat dalam Islam

Islam telah mengagungkan kedudukan shalat, menempatkannya dalam posisi yang mulia yaitu sebagai rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Dari Ibnu Umar Radhiallahu „anhuma bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, "Islam itu didirikan atas lima pondasi, bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah

Shubhanahu wa Ta‟alLa dan bersaksi bahwa Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam adalah utusan Allah Shubhanahu wa Ta‟alla, mendirikan shalat,

menunaikan zakat , berhaji dan melaksnakan puasa ramadhan‖.

Shalat juga merupakan ibadah pertama yang akan dipertanggung- jawabkan di hadapan Allah Shubhanahu wa Ta‟alla pada hari kiamat. Dari Abdullah bin Qarth Radhiallahu „anhu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu

Alaihi Wa Sallam bersabda, "Amal ibadah yang pertama yang akan

dihisab oleh Allah pada hari kiamat adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya rusak maka rusaklah seluruh amalannya yang lain‖.

Shalat juga sebagai pembeda antara seorang muslim dengan orang yang kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu „anhu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda, "Di antara seseorang dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat‖.

Shalat juga sebagai tameng yang melindungi seseorang dari kemaksiatan. Allah berfirman: "Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu

mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.‖ (QS. Al-Ankabut:

45)

Shalat juga sebagai alat yang dapat menghapuskan dosa. Dari Abi Hurairah Radhiallahu „anhu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa

(32)

25 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah Sallam bersabda: Bagaimanakah pendapat kalian jika ada sebuah sungai

di hadapan pintu salah seorang di antara kalian dan dia mandi padanya lima kali sehari, maka apakah akan ada daki yang tertinggal pada badannya? Para shahabat berkata: Tidak ada daki yang tertinggal pada jasadnya. Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda, "Itulah perumpamaan shalat lima waktu di mana Allah Ta‟ala menghapuskan kesalahan dengannya.‖37

Shalat juga merupakan pesan terakhir, yang diwasiatkan Rasulullah

Shalallahu „Alaihi wa Sallam pada umatnya, saat beliau menghadapi

sakaratul maut adalah: ―Jagalah shalat, jagalah shalat dan budak-budak yang kalian miliki‖.

2. Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat

Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia telah kufur. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal itu berdasarkan dalil berikut ini :

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu „anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda

ٔ٠ٜ٬ٖؿيا ٝىِسَت ٢سٞؿٝهٞياَٚ ٔىِسٚػيا ََِٔٝبَٚ ٢ٌُدٖسيا ََِٔٝب ٖٕ٢إ

Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim).

Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib Radhiallahu „anhu, ia

berkata: aku mendengar Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:

َسٜؿٜن ِدٜكٜؾ اَٜٗنَسَت َُِٜٔؾ ٝ٠ٜ٬ٖؿيا ََُُِِٗٓٝبَٚ آَََِٓٝب ِٟٔر٤يا ُدَِٗعٞيٜا

Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka benar benar iatelah kafir. (HR.Abu Daud,

Turmudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad)

Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam telah berwasiat:

(33)

26 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

َُٜؾ ،اّدَُِع ٜ٠ٜ٬ٖؿيا اٛٝنُسِتَت ٜ٫َٚ ،اّ٦َِٝغ ٔللهأب اِٛٝن٢سِػُت ٜ٫

َزَسَػِدٜكٜؾ اّدَُٚعَتَُ اّدَُِع اَٜٗنَسَت ِٔ

ٔ١٤ًُٔٞيا َََٔ

Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.

Adapun kosekwensi hukum yang berlaku karena kufur (keluar dari Islam), yaitu :

a. Kehilangan haknya sebagai wali, karena syarat perwalian adalah harus Islam dan adil.

b. Kehilangan haknya untuk mewarisi harta kerabatnya. Hal itu berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid

Radhiallahu „anhu, Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:

ًَِِٔطُُٞيا ُسٔؾاٜهٞيا ٜ٫َٚ َسٔؾاٜهٞيا ًُِِٔطُُٞيا ُخ٢سَٜ ٜ٫

Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim. (HR.Bukhari dan Muslim)

c. Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haram. Berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta‟alla:

َُٞيا اُٛبَسٞكَٜ ٬ٜؾ ْظَذَْ َٕٛٝن٢سِػُُٞيا آََُْ٢إ اََُٛٓآ َٜٔٔرٜٓيا اَُٜٜٗٓأ اَٜ

ِِ٢َٗٔاَع َدِعَب َّاَسَشٞيا َدٔذِط

اَرَٖ

“Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini…” (QS. At Taubah: 28)

d. Diharamkan makan hewan sembelihannya. karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim, adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.

(34)

27 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah e. Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan

ampunan dan rahmat untuknya. Berdasarkan firman Allah

Subhaanahu wa Ta‟alla:

ٔ٘ٔيُٛضَزَٚ ًٜٔ٘ٓيأب اُٚسٜؿٜن َُِِْٗٓ٢إ ٔٙ٢سِبٜق ٢ًَٜع ِِٝكَت ٫َٚ اّدَبٜأ َتاََ َُِِِٗٓٔ ٕدَسٜأ ٢ًَٜع ٓ٢ٌَؿُت ٫َٚ

َٕٛٝكٔضاٜؾ َُِِٖٚ اُٛتاَََٚ

“Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At -Taubah: 84)

f. Dilarang menikah dengan wanita muslimah. Karena orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma‘. Allah Subhaanahu wa Ta‟allaberfirman:

َِٔ٪ُُٞيا ُِٝنَ٤اَد اَذ٢إ اََُٛٓآ َٜٔٔرٜٓيا اَُٜٜٗٓأ اَٜ

َٓٔ٢ْٗٔاَيم٢إٔب ًُِِٜعٜأ ًُٜ٘ٓيا َُُٖٓٔٛٓٔشَتَِاٜؾ ٕتاَسٔداََُٗ ُتآَ

ًَٕٛٓٝٔشَٜ ُِِٖ ٫َٚ ُِِٜٗي ٌْٓٔس َُٖٓٔ ٫ ٢زآٜؿٝهٞيا ٢ٜي٢إ َُُٖٓٔٛعٔدِسَت ٬ٜؾ ٕتآََِٔ٪َُ َُُُُٖٓٔٛتًَُِٔع ِٕ٢إٜؾ

َُٜٓٔٗي

“Hai orang-orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka …”

(QS. Al Mumtahanah: 10)

g. Keutamaan shalat berjamaah

 Pahala shalat berjama`ah melebihi pahala shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.

(35)

28 |

Studi Islam II

Fikih Ibadah

ِبا ٢َٔع

ٍَاٜق ًِضٚ ً٘ٝع للها ٢ًؾ ٔللها ٍَُِٛضَز ٖٕأ َسَُُع ٢ٔ

:

ٔ١َعاََُذٞيا ٝ٠٬َؾ

١َدَزَد َِٜٔ٢سِػٔعَٚ ٣عِبَطٔب ٔدِسٜؿٞيا ٔ٠٬َؾ َِٔٔ ٌَُكٞؾأ

“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam

bersabda : Shalat berjama`ah lebih utama daripada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.‖ (HR. Buhari dan Muslim)

 Pahala shalat berjamaah melampui pahala shalat malam

٘٤ًيا ٢٤ًَؾ ٔ٘٤ًيا ٍَُٛضَز ُتِعَُٔض ٪ٍَاٜق ٘ٓع للها ٞقز ٕا٤ؿَع ِٔب ٕاَُِجُع َِٔع

َ٤اَػٔعٞيا ٢٤ًَؾ ََِٔ(( ٪ٍُٛٝكَٜ َِ٤ًَضَٚ ًَِٜٔ٘ٝع

٢ٌِٝ٤ًيا َـِؿْٔ َّاٜق اَُْٖأٜهٜؾ ٕ١َعاََُد ٞٔؾ

ًِطَ ٙاٚز .))ُ٘٤ًٝن ٌَِٝ٤ًيا ٢٤ًَؾ اَُْٖأٜهٜؾ ٕ١َعاََُد ٞٔؾ َضِبٗؿيا ٢٤ًَؾ َََِٔٚ

.

―Dari Utsman bin `Affan Radhiallahu „anhu berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda, ―Barangsiapa yang shalat Isya dengan berjama`ah maka seakan-akan ia

shalat seperdua malam, dan barangsiapa yang shalat Shubuh dengan berjama`ah maka seakan-akan ia shalat sepanjang malam.” (HR.

Muslim)

 Setiap langkah yang diayunkan seorang muslim untuk

menegakkan shalat berjama`ah terhitung disisi Allah sebagai pahala dan ganjaran baginya. Tidaklah setiap ayunan langkahnya melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan satu dosa untuknya. Sebagaimana hadits yang terdapat di dalam shahihain.

َع

ًَِٜٔ٘ٝع ٘٤ًيا ٢٤ًَؾ ٔ٘٤ًيا ٍُُٛضَز ٍَاٜق ٪ ٍَاٜق ٘ٓع للها ٞقز ٜ٠َسَِٜسُٖ ٞٔبأ ِٔ

َِ٤ًَضَٚ

:

ٔ٘ٔقُٛض ٞٔؾَٚ ٔ٘ٔتَِٝب ٞٔؾ ٔ٘ٔت٬َؾ ٢ًَٜع ُـٖعَكُت ٔ١َعاََُذٞيا ٞٔؾ ٢ٌُدٖسيا ٝ٠٬َؾ

Referensi

Dokumen terkait

Solusi Kegiatan nyata untuk mengatasi hal tersebut dilakukan dengan membuka pusat- pusat layanan rehabilitasi korban, memberikan pelatihan khusus kepada pencari kerja tentang

Kondisi ruang kelas yang nyaman akan membantu siswa untuk lebih mudah dalam berkonsentrasi, memeperoleh hasil belajar yang maksimal dan dapat menikmati

Kekasih Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, putri Abu Bakar As-Shiddiq, malaikat telah menampakkan Aisyah kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sebelum Nabi

(2) Setelah dilakukan penginputan dan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) atau berdasarkan hasil penerusan dari Admin Kementerian sebagaimana

Manfaat ekonomi yang dihitung untuk petugas kebersihan adalah jumlah iuran sampah rumah tangga setiap menyetor sampah ke petugas kebersihan dengan frekuensi

ditimbulkan. b) Merencanakan tahapan perawatan penyakit gigi mulut sesuai standar pelayanan yang berlaku. c) Mengidentifikasi temuan, diagnosis, rencana

Lokasi riset adalah beberapa ruas jalan dan ruas sungai di dalam wilayah Kecamatan Sragen, yaitu di 13 ruas jalan (untuk objek jalur hijau) dan 2 ruas sungai

Ketua Tim Pengendali DAK sub bidang KB Provinsi (Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi) dan Ketua Tim Pengendali DAK SKPD KB Provinsi secara berkala melakukan