• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat: Sarana Berpikir pada Manusia Philosophy: Means of Thinking in Humans

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Filsafat: Sarana Berpikir pada Manusia Philosophy: Means of Thinking in Humans"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020 42 Asri Rahmatillah

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia

[email protected] Abstrak

Kegiatan berpikir merupakan salah satu keseharian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena kehadirannya mampu mempengaruhi manusia terhadap berbagai aspek kehidupannya. Tujuan dalam penulisan artikel ini ialah untuk mengetahui serta memahami bagimana peran filsafat sebagai sarana berpikir manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, teknik pengumpulan data menggunakan teknik purposive sampling dan teknik analisis data menggunakan analisis data interaktif yang dimulai dengan reduksi data, tabulasi data, klasifikasi data, interpretasi data, dan kesimpulan. Berdasarkan hasil paparan serta analisis menunjukkan, bahwa filsafat merupakan bagian penting dari sarana berpikir manusia, dimana proses berpikir filsafat yaitu berpikir secara mendalam, dari berbagai sudut pandang, serta menyeluruh, sehingga kebenaran yang pasti bisa ditemukan. Mengingat peran penting filsafat tersebut, maka tentunya hal ini sangat dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa.

Kata Kunci: Berpikir, Filsafat & Manusia Abstract

Thinking is one of the daily activities that cannot be separated from human life, because its presence is able to influence humans on various aspects of their life. The purpose of writing this article is to know and understand the role of philosophy as a means of human thinking. The research method used is qualitative methods, data collection techniques using purposive sampling technique and data analysis techniques using interactive data analysis starting with data reduction, data tabulation, data classification, data interpretation, and conclusions. Based on the results of the exposure and analysis, it shows that philosophy is an important part of the means of human thinking, where the process of philosophical thinking is thinking deeply, from various points of view, and thoroughly, so that definite truth can be found. Given the important role of this philosophy, then of course this is very much needed by humans throughout the ages.

(2)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

43 I. PENDAHULUAN

Berkenaan dengan filsafat, banyak orang memberi cap terhadap filsafat dan seluruh kajian mengenai filsafat sesuatu yang rumit, sulit, bahkan ada beberapa orang yang berpandangan bahwa kajian filsafat merupakan suatu kajian yang berbahaya karena bisa menghilangkan iman dalam diri seseorang. Satu hal yang menarik adalah latar belakang atau hal yang menyebabkan mereka memiliki pandangan tersebut, rata-rata karena melihat produk atau hasil dari filsafat, bukan karena mereka telah menelaah atau belajar mengenai filsafat itu sendiri. Tentunya pandangan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sebuah tolak ukur yang sah dalam menilai filsafat.

Pada hakikatnya manusia dan filsafat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Karena secara sederhana filsafat merupakan kegiatan berpikir, dan berpikir merupakan satu bagian penting yang harus selalu ada dalam diri manusia, agar manusia terus maju dan berkembang. Berbicara

mengenai berpikir, dalam pandangan islam sendiri berpikir merupakan suatu sarana agar manusia bisa disebut sebagai makhluk yang berakal. cara berpikir yang benar dalam islam dikenal dengan istilah tafakkur.

Tujuan dari kegiatan berpikir itu sendiri, adalah untuk mengetahui kebenaran. Adapun kebenaran yang dimaksud ialah kebenaran yang mampu mengendalikan diri agar tidak terjerumus ke dalam lubang kesesatan. Tujuan terebut tentunya selaras dengan tujuan filsafat, yaitu mencari kebenaran.

Terkait dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk menulis artikel dengan judul Filsafat Sebagai Sarana Berfikir Manusia.

II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah untuk mendapatkan data yang mendalam tentang suatu makna (Sugiyono, 2017).

(3)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

44 Sumber data penelitian ini

berupa 10 artikel atau jurnal ilmiah dan 5 buah buku cetak. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik yang pemilihan sumber datanya bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan tertentu yang dipegang oleh peneliti (Sugiyono, 2017).

Purposive sampling digunakan karena tidak mungkin semua populasi diteliti atau dianalisis. Pengambilan sampel ini didasarkan pada berbagai pertimbangan tertentu dan digunakan untuk mewakili informasi yang dibutuhkan peneliti yaitu mengenai gaya selingkung dua artikel jurnal terbitan perguruan tinggi di Indonesia.

Uji validitas data dalam penelitian ini adalah menggunakan triangulasi data. Triangulasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kepercayaan terhadap data atau informasi yang ditemukan. Triangulasi data berarti peneliti wajib

menggunakan sumber data yang berbeda-beda untuk suatu data atau informasi yang sama (Sugiyono, 2017).

Analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif. Model analisis data interaktif adalah analisis data telah dilaksanakan bersamaan dengan proses pengumpulan data dengan melakukan perbandingan antara data yang diperoleh dengan data lainnya (Sugiyono, 2017).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Berkenalan dengan Filsafat Filsafat bisa kita ibaratkan sebagai sebuah poros. Dimana ia menjadi titik perputaran atau titik utama terkait ilmu sampai dengan makna dari kehidupan manusia itu sendiri. Sekalipun kajian filsafat tidak pernah terlepas dari berbagai pandangan negatif, hal tersebut tidak mampu mengubah realita yang ada bahwa kajian filsafat merupakan kajian yang amat penting bagi kehidupan manusia. 3 pilar utama dalam seluruh kajian filsafat, yaitu ontologi, epistimologi serta aksiologi.

Secara etimologis kata „filsafat berasal dari bahasa

(4)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

45 Yunani philosophia dari kata

“philos” berarti cinta atau “philia” (persahabatan, tertarik kepada) dan “sophos” yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman. praktis, intelegensi) (Bagus, 1996). Dalam bahasa Inggris adalah philosophy. Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam atau cinta dengan kebijaksanaan.

Secara harfiah, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus menerus harus mengejarnya. Filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio yang menembus dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia (Widyawati, 2013).

Muhammad Syukri dan Rizki Muhammad Haris di dalam bukunya memaparkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki sesuatu yang

ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukannya mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena akan tetapi mencari hakikat dari fenomena tersebut (Nasution & Haris, 2017).

Sedangkan menurut Zaprulkhan (2019), filsafat adalah sebuah kegiatan pencarian dan petualangan tanpa henti mengenai makna kebijaksanaan dan kebenaran dalam pentas kehidupan, baik tentang Tuhan Sang Pencipta, eksistensi dan tujuan hidup manusia, maupun realitas alam semesta. Zaprulkhan (2019) juga menambahkan bahwa kegiatan pencarian itu tidak pernah final, tidak pernah membuahkan pencapaian kebijaksanaan dan kebenaran secara komprehensif, maka setiap orang yang berfilsafat harus bertindak rendah hati. Masih ada semesta makna kearifan dan kebenaran tak terpahami, masih ada kebijaksanaan yang tersisa, masih ada jejak makna yang belum kita mengerti. Sehingga filsafat menjadi undangan tak

(5)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

46 berkesudahan terhadap

kebijaksanaan (Zaprulkhan, 2019).

Sejalan dengan pendapat Zaprulkhan (2019), Jujun juga berpendapat bahwa berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui. Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya saya ketahui dalam kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan di batas manakah dia berhenti ? kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu? (mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk lebih terlanjur mencintaimu). Menurut Jujun, sederhanaya seseorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ngarai dan lembah dibawahnya. Dia ingin

menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya (Suriasumantri, 2010).

Filsafat secara sederhana terbagi menjadi tiga macam yang menjadi lahan kerja filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga dari lahan garapan filsafat tersebut termuat dalam tiga pertanyaan dimana dalam ontologi bertanya tentang apa. Pertanyaan apa tersebut merupakan pertanyaan dasar dari sesuatu. Sedangkan dalam epistemologi, mengenalinya dengan menggunakan pertanyaan mengapa. Sedangkan untuk aksiologi merupakan kelanjutan dari epistemologi dengan menggunakan pertanyaan bagaimana. Pertanyaan bagaimana tersebut merupakan kelanjutan dari setelah mengetahui dan cara mengetahuinya diteruskan dengan bagaimanakah sikap kita selanjutnya (Malian, 2010). B. Penyebab Lahirnya Filsafat

Sebenarnya apa yang menjadi penyebab munculnya filsafat? Tentunya ada banyak hal yang menjadi sebab atas munculnya filsafat atau bahasa mudahnya

(6)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

47 yang memotivasi manusia untuk

berfilsafat.

Pertama, ketakjuban. Banyak filsuf mengatakan bahwa yang menajdi awal kelahiran filsafat ialah thaumasia (kekaguman, keheranan, ketakjuban). Dalam karyanya yang berjudul Metafisika, Aristoteles mengatakan bahwa karena ketakjuban manusia mulai berfilsafat. Begitu pula dalam perspektif Driyarkara, keheranan, ketakjuban, atau perasaan ingin tahu dalam diri seseorang merupakan motif awal bagi timbulnya filsafat. Menurutnya, apabila kita sungguh-sungguh hidup dengan sadar di dunia ini, kita tentu akan berhadapan dengan berbagai pertanyaan dan persoalan. Hasrat akan mengerti itu menyatakan diri dalam macam-macam pertanyaan, yang sungguh-sungguh tidak mudah dijawab sekaligus. Yang dapat bertanya demikian itu hanya manusia saja, hewan tidak bertanya, tidak mempersoalkan apa yang dialaminya itu. Berbeda dengan manusia, sejak waktu ia menyadari dunia, orang lain, dan dirinya sendiri, maka heran lah ia,

tercengang-cengang. Artinya, ia insyaf bahwa ada hal-hal yang tidak dimengertinya, tetapi ingin dan sanggup, ia mengertinya. Simpulan sederhananya adalah pada mulanya manusia takjub memandang benda-benda aneh yang ada disekitarnya, lantas setelah itu ketakjubannya semakin terarah pada hal-hal yang lebih luas dan besar (Zaprulkhan, 2019).

Kedua, Ketidakpuasan. Ketidakpuasan akan membuat manusia melepaskan segala sesuatu yang tak dapat memuaskannya, lalu ia akan berupaya menemukan apa yang dapat memuaskannya. Manusia yang tidak puas dan terus-menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti itu lambat-laun mulai berpikir secara rasional. Akibatnya, akal budi semakin berperan. Berbagai mitos dan mite yang diwariskan oleh tradisi turun-temurun semakin tersisih dari perannya semua yang begitu besar. Ketika rasio berhasil menurunkan mitos-mitos dan mite-mite dari singgasananya, lahirlah filsafat, yang pada masa itu mencakup

(7)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

48 seluruh ilmu pengetahuan yang

ada dan yang telah dikenal. Ketiga, Hasrat Bertanya. Ketakjuban manusia telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, dan ketidakpuasan manusia membuat pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung habis. Pertanyaan tak boleh dianggap sepele, karena pertanyaan lah yang membuat kehidupan serta pengetahuan manusia berkembang dan maju. Pertanyaanlah yang membuat manusia melakukan pengamatan, penelitian, dan penyelidikan. Dan ketiga hal litulah yang menghasilkan penemua-penemuan baru yang semakin memperkaya manusia dengan pengetahuan yang terus bertambah. Hasrat bertanya

membuat manusia

mempertanyakan segalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu tidak sekedar terarah pada wujud sesuatu, melainkan juga terarah pada dasar dan hakikatnya. Inilah yang menjadi salah satu ciri khas filsafat. Filsafat selalu mempertanyakan sesuatu dengan cara berpikir

radikal, sampai ke akar-akarnya, tetapi juga bersifat universal.

Keempat, Keraguan. Manusia selaku penanya mempertanyakan sesuatu dengan maksud untuk memperoleh kejelasan dan keterangan mengenai sesuatu yang dipertanyakannya itu. Tentu saja hal itu berarti bahwa apa yang dipertanyakannya itu tidak jelas atau belum terang. Pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh kejelasan dan keterangan yang pasti pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan tentang adanya aporia (keraguan atau ketidakpastian dan kebingungan) di pihak manusia yang bertanya. Setiap pertanyaan yang diajukan oleh seseorang sesungguhnya senantiasa bertolah dari apa yang telah diketahui oleh si penanya lebih dahulu. Akan tetapi, karena apa yang diketahui oleh si penanya baru merupakan gambaran yang samar, maka ia bertanya. Ia bertanya karena masih meragukan kejelasan dan kebenaran dari apa yang telah diketahuinya. Jadi, jelas terlihat bahwa keraguanlah yang turut merangsang manusia untuk

(8)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

49 bertanya dan terus bertanya, yang

kemudian menggiring manusia berfilsafat (Wahana, 2016).

Secara sederhana ketakjuban, ketidakpuasan, Hasrat bertanya, dan keraguan, menjadi titik awal terkait lahirnya kajian filsafat. Bagaimana dengan perasaan takjub yang membawa kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang tentunya membutuhkan sebuah jawaban yang rasional. Lantas ketidakpuasan yang mampu membawa manusia melalui sebuah proses berpikir demi memenuhi setiap celah ketidakpuasan yang hadir dalam diri kita. juga hasrat bertanya yang menjadikan manusia dan peradabannya menjadi lebih maju dan terus berkembang, karena hasrat pertanyaan yang diajukan dalam berfilsafat begitu dalam bagai akar-akar pohon tua yang terkubur puluhan meter di bawah tanah. Pun dengan munculnya keraguan dalam diri manusia yang berhasil memancing manusia untuk mencari suatu kebenaran yang pasti dan mutlak. Keempat proses di atas sejatinya membawa manusia melalui

sebuah proses berpikir, baik secara disadari maupun tidak. C. Objek Filsafat

Bidang telaah filsafat meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Rene Descartes mengatakan filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya mengenai Tuhan, alam, dan manusia. Objek filsafat dibagi menjadi dua, yakni objek material dan objek forma. Objek materia meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam, hakikat manusia. Sedangkan objek forma adalah usaha mencari keterangan yang radikal tentang objek material (Biyanto, 2018). Secara tidak langsung, apa yang dipaparkan oleh Rene Descrates mengenai objek filsafat adalah menjadi bukti bahwa filsafat merupakan salah satu poros atau pusat terhadap lahirnya ilmu-ilmu yang lain.

D. Karakteristik Pemikiran Filsafat

Karakteristik dasar filsafat oleh Jan Hendrik Rapar diungkapkan setidaknya ada lima hal, yaitu berpikir radikal,

(9)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

50 mencari asas, memburu

kebenaran, mencari kejelasan dan berpikir rasional.

1. Berpikir Radikal, berpikir secara radikal adalah karakter utama filsafat, karena filosuf berpikir secara radikal, maka ia tidak akan pernah terpaku hanya pada fenomena suatu entitas tertentu. Ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan berpikirnya itu akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan, termasuk realitas pribadinya. Berpikir rabikal yaitu berpikir secara mendalam, untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan.

2. Mencari Asas, karakter filsafat berikutnya adalah mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas, yaitu berupaya menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu realitas, maka akan diketahui dengan pasti dan menjadi jelas keadaan realitas tersebut, oleh karena itu, mencari asas adalah salah satu

sifat dasar atau karakteristik filsafat.

3. Memburu Kebenaran, berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran yang tidak meragukan, oleh sebab itu ia selalu terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih hakiki. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ini pun masih bersifat terbuka untuk diuji dan dikaji lagi sampai menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan. Dengan demikian, terlihat bahwa salah satu karakteristik filsafat adalah senantiasa memburu kebenaran.

4. Mencari Kejelasan, berfilsafat berarti berupaya mendapatkan kejelasan mengenai seluruh realitas. Geisler dan Feinberg mengatakan bahwa ciri khas

(10)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

51 penelitian filsafat ialah adanya

usaha keras demi meraih kejelasan intelektual. Mengejar kejelasan berarti harus berjuang dengan gigih untuk mengeliminasi segala sesuatu yang tidak jelas, yang kabur dan yang gelap, bahkan juga yang serba rahasia dan berupa teka-teki.

5. Berpikir Rasional, berpikir secara radikal, mencari asas, memburu kebenaran, dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa berpikir secara rasional. Berpikir secara rasional berarti berpikir logis, sistematis dan kritis. Berpikir logis itu bukan hanya sekedar mengapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan. Berpikir logis juga menuntut pemikiran yang sistematis, di mana rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis. Tanpa

berpikir yang logis-sistematis dan koheren, maka satu hal yang tak mungkin dicapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Berpikir kritis ialah terus menerus mengegevaluasi dan memverifikasi

argumenargumen yang mengklaim diri benar. berpikir logissistematis-kritis adalah ciri utama berpikir rasional, dan berpikir rasional adalah salah satu karakteristik filsafat.

Di samping berpikir radikal, mencari asas, memburu kebenaran, mencari kejelasan dan berpikir rasional. Masih ada lagi beberapa hal yang menjadi karakteristik atau ciri khas filsafat, yaitu sebagai berikut (Ritaudin, 2015):

1. Memikirkan Sifat-Sifat Umum, sebagai diketahui, bahwa ojek kajian filsafat selalu memilih hal-hal yang umum.

2. Hidup Dalam Kesadaran, meminjam istilah Rene Descartes, ‘cogito ergo sum’ saya berpikir maka saya ada. Kalimat ini menegaskan bahwa filsfat itu memiliki ciri

(11)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

52 selalu hidup dalam kesadaran.

Aristoteles menengarai bahwa keheranan adalah sumber yang melahirkan filsafat.

3. Bersifat Toleran, orang yang hidup tanpa kesadaran (berpikir filosofis), yang selalu sibuk dengan aktivitas rutin dan disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, ia tidak punya waktu untuk berpikir secara filosofis. Pemikiran filosofis menerima kritikan dari luar, bahkan secara internal melakukan self critic, kritik internal. Maka menjadi ciri khas pemikiran filsafat adalah bersifat terbuka dan toleran terhadap perbedaan pandangan atau pemikiran yang berbeda.

4. Bersifat Subjektif, pemikiran filsafat itu menjadi milik filosuf itu sendiri. Berpikir manusia pasti bersifat subjektif. Perbedaan ini lumrah terjadi dalam menjawab teka-teki yang tidak habis-habisnya karena bersifat metafisis. Walaupun jawabannya saling berlawanan, namun dengan

pengalaman apa pun tidak dapat memvonis mana yang benar dan mana yang salah. Karena konsepsi filsafat benar-benar asli tidak bisa digugat. Konsepsi itu bisa diserang dengan konsepsi lain, tetapi tidak dapat dikalahkan. Kesimpulannya adalah karakteristik atau ciri khas dari pemikiran filsafat ada empat, yaitu: Pertama, berpikir radikal dimana pemikiran filsafat tidak hanya menilai atau menariks suatu permasalahan dari satu sudut pandang saja, tetapi dari berbagai sudut pandang dengan analisis yang tajam, dalam dan menyeluruh. Kedua yaitu mencari asas, maksudnya ialah pemikiran filsafat selalu mencari asas yang paling hakiki atau mencari asas yang paling jelas dari keseluruhan yang diteliti. Ketiga yaitu memburu kebenaran, selama kebenaran yang dimaksud belum jelas kebenarannya, maka filsafat akan terus mencari sampai menemukan kebenaran yang lebih pasti. Pasti atau tidaknya sebuah kebenaran tentunya melalui sebuah pengujian,

(12)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

53 sehingga kebenaran tersebut

bersifat terbuka. Inilah alasan mengapa filsafat terus bergerak dan berkembang, karena bisa saja seiring berjalannya waktu aka nada banyak lagi kemungkinan atau temuan-temuan lain yang jauh lebih pasti. Keempat yaitu mencari kejelasan, ciri khas lain dari pemikiran filsafat yaitu berusaha keras untuk mencari kejelasan terhadap hakikat yang diteliti. Filsafat akan mengeleminasi setiap kemungkinan-kemungkinan yang tidak jelas, sehingga yang tersisa hanya temuan-temuan yang sifatnya jelas. Keelima yaitu berpikir rasional, ibarat meja berkaki tiga, berpikir rasional merupakan hal utama untuk memapu melakukan berpikir radikal, mencari asas, memburu kebenaran dan mencari kejelasan. Mengapa? Karena berpikir rasional berarti berpikir secara logis, sistematis, dan kritis. E. Urgensi Filsafat dalam

Kehidupan

Filsafat secara esensial sangat penting artinya bagi kehidupan manusia, khususnya dalam menyelesaikan berbagai

persoalan kemanusiaan. Filsafat secara umum adalah berpikir secara menyeluruh, mendalam, radikal dan rasional, tentang sesuatu. Menurut Syamsuddin Arif dan Dinar Dewi Kania dalam Adian Husaini, filsafat itu mencari kebenaran. Dengan bertanya secara terus menerus tentang segala hal, dari persoalan gajah sampai persoalan semut, dari soal hukum, dan politik hingga soal moral dan metafisika dan sebagainya. Yusuf (2016) juga mengemukakan bahwa filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Sedangkan kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi. Secara tidak langsung berdasarkan hasil paparan terkait referensi di atas, penulis mampu menyimpulkan bagaimana besarnya peran filsafat dalam kehidupan manusia, dimana filsafat menjadi sentral atau pusat terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan

(13)

persoalan-Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

54 persoalan manusia. Mengapa

filsafat bisa menjadi sentral atau poros, karena kegiatan berfilsafat selalu berkaitan dengan kegiatan berpikir, dimana kegiatan berpikir sendiri ibarat sebuah roda dalam diri manusia, sehingga satu dan lainnya tidak bisa terpisahkan, sederhananya kegiatan berpikir dengan manusia merupakan satu kesatuan yang mustahil untuk dipisahkan. F. Berkenalan dengan Berpikir

Berbicara mengenai berpikir, menurut Mansur (2019), manusia sebagai makhluk berpikir menginginkan selalu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannnya baik kebutuhan jasmaniah atau rohaniah. Pemenuhan kebutuhan bermula dari tahap bawah kebutuhan fisiologis hingga tahap tertinggi kebutuhan aktualisasi diri. Kebenaran dan kebaikan merupakan nilai kerohanian yang selalu diperlukan manusia sebagai komsumsi rohaninya.

Berpikir adalah memberikan gambaran adanya sesuatu yang ada pada diri seseorang. Sesuatu yang merupakan tenaga yang di bangun oleh unsur-unsur dalam

diri seseorang untuk melakukan aktivitas. Pengertian berpikir secara umum adalah aktivitas mental atau intelektual yang melibatkan kesadaran dan subjektivitas individu. Hal ini dapat mengarah pada sesuatu yang berupa tindakan atau ide-ide atau pengaturan ide. Berpikir juga mendasari segala tindakan manusia dan interaksinya (Sunaryo, 2011).

Supriadi dkk (2015) berpendapat bahwa berpikir adalah proses kognitif yang digunakan untuk memahami lingkungan di sekitarnya, mempertanyakan asumsi sehari-hari mengarahkan pada solusi baru yang positif dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka. Sedangkan menurut Carson, berpikir sebenarnya merupakan penggabungan antara teori dan praktek, abstrak dan konkret, konsep dan fakta.

Artinya manusia senantiasa melakukan proses berpikir setiap hari. Dari mulai berpikir mengenai hal-hal yang sifatnya ringan, juga berpikir mengenai hal-hal yang sifatnya cukup dalam. Bagaimana apabila

(14)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

55 kegiatan berpikir tersebut tidak

dilakukan oleh manusia itu sendiri? Keadaan manusia tersebut akan persis seperti dalam lorong tanpa cahaya. Kenapa? Karena berpikir juga merupakan bagian dari aktivitas penting yang menggiring kita menuju pengetahuan. Kegiatan berpikir yang masuk dalam kategori berfilsafat ialah berpikir secara mendalam.

Secara sekilas, berpikir pada umumnya dengan berpikir secara mendalam terlihat sama, yaitu sama-sama berpikir. Padahal, apabila dikaji lebih lanjut, keduanya memiliki perbedaan. Berpikir secara mendalam apabila dipaparkan secara sederhana yaitu proses berpikir yang memiliki makna, tujuan serta mampu memberi manfaat bagi banyak hal. Sehingga cukup mudah untuk merealisasikannya. Sedangkan berpikir pada umumnya tidak bisa dikatakan dengan berfilsafat, karena mungkin apa yang dipikirkan hanya sekedar khayalan semata.

Kegiatan berpikir juga memberikan konstribusi besar

dalam dunia pendidikan, menurut Haviz (2009), berpikir dalam pendidikan, secara filosofis bisa diimplementasikan ke dalam bentuk berpikir kritis. Pengamatan yang dilakukan secara kritis terhadap setiap masalah, merupakan bentuk sikap dan tanggapan yang efektif dalam pendidikan. Tindakan ini harus dilakukan oleh setiap unsur pendidikan, sehingga tujuan pendidikan bisa tercapai. Khususnya, untuk membantu seseorang untuk berpikir secara baik dalam membuat suatu kesimpulan. Karena, penerapan sebuah kesimpulan yang lahir dari pemikiran tersebut, sangat menentukan keberhasilan dalam mengatasi masalah pendidikan yang ditemukan. Berpikir merupakan bagian dari pendidikan metakognitif. Sebagai bagian dari pendidikan metakognitif, berpikir kritis akan menghasilkan outcomes yang lebih berkualitas. Contoh sederhana adalah, proses belajar yang melibatkan dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi merupakan salah satu proses yang

(15)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

56 tepat untuk membentuk pola

berpikir kritis.

Sama seperti halnya manusia dengan proses berpikir yang ibarat sebuah roda, kegiatan berpikir dengan pendidikan juga merupakan satu paket yang saling menguntungkan. Karena tanpa sebuah pendidikan proses berpikir ilmiah itu tidak akan bisa terarah, sedangkan tanpa proses berpikir, pendidikan mustahil ada. Hal ini pula yang sekali lagi mengharuskan manusia untuk senantiasa melakukan proses berpikir agar gerak roda pengetahuan dan kehidupannya terus berkembang. Karena melalui proses berpikir yang kritis atau terarah ini mampu menghasilkan banyak hal baru yang bisa bermanfaat bagi yang lain.

Kegiatan berpikir mendalam inilah yang sering kita kenal dengan berfilsafat. Filsafat sebagai sarana berpikir juga mampu membentuk kerangka berpikir manusia dalam bertindak. Menurut Aulia (2015) dalam paparan jurnalnya, filsafat mengendalikan sikap, sedangkan sikap mengendalikan tindakan.

Hasil dari tindakan adalah mengendalikan gaya hidup. Artinya bagaimana kegiatan berpikir atau kegiatan berfilsafat mampu mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga kehadirannya dituntut untuk terus ada agar kehidupan bisa terus berlangsung dengan baik dan dengan melahirkan berbagai hal-hal yang baru, yang sifatnya mampu membuat kemajuan yang baik dan tepat. IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil paparan serta analisis di atas, penulis menyimpulkan bahwa filsafat merupakan kajian yang mengkaji seluruh aspek kehidupan manusia, dengan tujuan utama yaitu mencari kebenaran, melalui kelima karakteristik pemikirannya. Filsafat juga menjadi bagian penting dari sarana berpikir manusia, dimana proses berpikir filsafat yaitu berpikir secara mendalam, dari berbagai sudut pandang, serta menyeluruh, sehingga kebenaran yang pasti bisa ditemukan.

Lantas pengetahuan yang dimiliki, secara tidak langsung mampu mempengaruhi atau

(16)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

57 bahkan membentuk gerak gerik

tingkah laku atau tindakan seseorang. Karena hal tersebut, orang yang senantiasa berfilsafat akan selalu berhati-hati dalam bersikap, berucap, dan

mengambil atau memutuskan suatu keputusan, atau dengan kata lain, orang yang berfilsafat dengan baik akan memiliki sifat dan sikap yang bijaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Aulia, R. N. (2015). Berfikir Filsafat: Sebagai Pembentukan Kerangka Berfikir Untuk Bertindak. Jurnal Studi Al-Qur’an, 11 (1).

Biyanto. (2018). Filsafat Ilmu Dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haviz, M. (2009). Berfikir Dalam Pendidikan Suatu Tinjauan Filsafat Tentang Pendidikan Untuk Berfikir Kritis. Ta’dib, 12 (1).

Malian, S. (2010). Perkembangan Filsafat Ilmu Serta Kaitannya dengan Teori Hukum. UNISIA, 33 (73).

Mansur, R. (2019). Filsafat Mengajarkan Manusia Berfikir Kritis. ElementerIs: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar Islam, 1 (2).

Nasution, M. S. A & Haris, R. M. (2017). Filsafat Ilmu. Depok: Raja Grafindo Persada.

Ritaudin, S. (2015). Mengenal Filsafat Dan Karakteristiknya. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 9 (1).

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sunaryo, W. (2011). Taksonomi Berpikir. Bandung: Remaja Rosdakarya. Supriadi, D., Mardiyana & Subanti, S. 2015. Analisis Proses Berfikir Siswa

Dalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Langkah Polya Ditinjau Dari Kecerdasan Emosional Siswa Kelas VIII Al-Azhar Syifa Budi Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika, 3 (2).

Suriasumantri, J. S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Penebar Swadaya.

(17)

Manhajuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh Volume 1 Nomor 1 Tahun 2020

58 Wahana, P. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka

Diamond.

Yusuf, H. 2016. Urgensi Filsafat Dalam Kehidupan Masyarakat Kontemporer: Tinjauan Filsafat Islam Terhadap Fungsi Moral Dan Agama. Jurnal Theologia, 27 (1).

Widyawati, S. 2013. Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pendidikan. Gelar: Jurnal Seni Budaya, 11 (1).

Zaprulkhan. 2019. Filsafat Ilmu Sebuah analisis Kontemporer. Depok: Raja Grafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait