• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu

Journal homepage: https://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JIPT

1

p-ISSN: 2303-1956 e-ISSN: 2614-0497

Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur

(Bubalus bubalis Linn.) di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung

Selatan

Infestation Level of Gastrointestinal Helminth in Swamp Buffalo

(Bubalus bubalis Linn.) in Jati Agung District Lampung Selatan Regency

Achmad Barkah1*, Madi Hartono2, Purnama Edy Santosa1, Muhammad Mirandy Pratama Sirat2

1 Study Program of Animal Husbandry, Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture, University of

Lampung. Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia 35145.

2 Study Program of Animal Nutrition and Feed Technology, Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture,

University of Lampung. Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia 35145.

* Corresponding Author. E-mail address: [email protected]

ARTICLE HISTORY: Submitted: 20 May 2020 Accepted: 28 July 2020

KATA KUNCI: Cacing saluran pencernaan Jati Agung

Kerbau Lumpur Tingkat infestasi

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan pada Desember 2019, bertujuan untuk mengetahui tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada Kerbau Lumpur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan data dilakukan dengan cara mengambil semua sampel feses yang berasal dari 80 ekor Kerbau Lumpur di 6 Desa yang terdapat pada Kecamatan Jati Agung yaitu Desa Banjar Agung, Margo Lestari, Karang Anyar, Sumber Jaya, Jatimulyo dan Sinar Rejeki. Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Balai Veteriner Lampung menggunakan uji Mc. Master dan uji sedimentasi. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 80 sampel feses kerbau yang diperiksa, 23 sampel (28,75%) positif terinfestasi cacing saluran pencernaan baik dalam infestasi tunggal maupun multispesies. Infestasi tertinggi terdapat pada Desa Sinar Rejeki sebesar 100% dan infestasi terendah terdapat pada Desa Jatimulyo sebesar 18,51%. Jenis cacing yang ditemukan pada Kerbau Lumpur berasal dari kelas Trematoda (Paramphistomum sp.), kelas Nematoda (Toxocara sp.,

Bunostomum sp., Strongyloides sp., Haemonchus sp.,

Oesophagustomum sp., Trichostrongylus sp., dan Mecistocirrus sp.),

dan kelas Cestoda (Moniezia sp.).

KEYWORDS: Gastrointestinal helminths Infestation levels Jati Agung Mud Bufallo ABSTRACT

The research was conducted at Jati Agung District Lampung Selatan Regency on December 2019, aimed to know infestation levels of gastrointestinal helminths on Mud Bufallo. The research used cencus method. Data collection has been done by taking all faecal samples from 80 Mud Bufallo at 6 village in Jati Agung District. Faecal samples examination checked with Mc. Master and Sendimentation test at Lampung Veterinary Hall. Data were analyzed descriptively. The results showed that of the 80 buffalo faeces samples examined, 23 samples (28.75%) were positively infested with gastrointestinal helminths in both single and multi-species infestations. The highest infestation found in Sinar Rejeki village about 100% and the lowest infestation found in Jatimulyo

(2)

2

© 2021 The Author(s). Published by Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture, University of Lampung in collaboration with Indonesian Society of Animal Science (ISAS).

This is an open access article under the CC BY 4.0 license:

https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/

village about 18,51%. Helmiths species that found in Mud Bufallo are from Trematode class (Paramphistomum sp.) Nematode class (Toxocara sp., Bunostomum sp., Strongyloides sp., Haemonchus sp., Oesophagustomum sp., Trichostrongylus sp., and Mecistocirrus sp.), and Cestode class (Moniezia sp.).

1. Pendahuluan

Populasi Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis Linn.) di Kabupaten Lampung Selatan tersebar pada 13 kecamatan dari total 17 kecamatan yang ada. Kecamatan Jati Agung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan yang memiliki populasi Kerbau Lumpur cukup banyak. Pada tahun 2014 populasi Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung yaitu sebanyak 168 ekor kemudian pada tahun 2017 populasinya berkurang menjadi sebanyak 94 ekor (BPS Lamsel, 2018), sedangkan berdasarkan survei yang telah dilakukan pada 2019 hanya terdapat 80 ekor Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung, yang terdiri dari 34 ekor jantan dan 46 ekor betina dan tersebar di 6 desa yaitu Desa Banjar Agung, Margo Lestari, Karang Anyar, Sumber Jaya, Jatimulyo dan Sinar Rejeki.

Setiap tahun populasi ternak Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung terus berkurang, dikarenakan peningkatan laju pemotongan yang tidak diimbangi dengan perbaikan produktivitas. Menurut Subiyanto (2010), penurunan populasi kerbau juga dapat disebabkan faktor internal yaitu tingkat kematian yang cukup tinggi pada anak kerbau dan faktor eksternal seperti kelangkaan tenaga kerja, keterbatasan lahan penggembalaan dan kurangnya pengetahuan peternak mengenai sistem pemeliharaan yang baik.

Sistem pemeliharaan secara semi intensif dengan waktu penggembalaan yang dimulai dari pagi hingga sore hari membuat kerbau rentan terserang penyakit terutama penyakit cacingan. Menurut Raza et al. (2012) bahwa jenis cacing saluran pencernaan yang sering menginfestasi kerbau berasal dari kelas Trematoda, Cestoda, dan Nematoda. Penyakit yang disebabkan oleh cacing saluran pencernaan dapat mengakibatkan penurunan produktivitas seperti penurunan bobot badan dan pertumbuhan yang lambat, sehingga merugikan peternak.

Penyakit cacingan masih kurang diperhatikan oleh peternak kerbau di Kecamatan Jati Agung dan belum ada data tentang tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada Kerbau Lumpur di kecamatan tersebut, maka penelitian ini dilakukan.

(3)

3

2. Materi dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2019 di Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan dan di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung.

2.1. Materi

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu sampel feses Kerbau Lumpur, es batu, garam jenuh dan methylene blue 1%. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cooling box, plastik penampung feses, kuisioner, alat tulis, sarung tangan, timbangan analitik, Beaker glass, saringan 100 mesh, tabung kerucut, cawan petri, slide

glass, mikroskop, pipet, counter, Mc. Master Plate, plate sedimentasi dan timer.

2.2. Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Data yang digunakan berupa data primer yaitu data tentang manajemen pola pemeliharaan yang diambil dengan menggunakan kuesioner dan hasil pemeriksaan sampel di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung terhadap jumlah cacing saluran pencernaan pada Kerbau Lumpur. Pengambilan sampel ternak dilakukan secara sensus terhadap Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan.

Pengambilan sampel dilakukan dengan mengoleksi feses segar Kerbau Lumpur, masing-masing sebanyak ±10 gram dengan cara palpasi rektal menggunakan tangan yang dilapisi sarung tangan plastik dari dalam rektum kerbau, ternak yang lebih muda dan tidak memungkinkan untuk dilakukan palpasi rektal maka mengambil sampel dari feses yang baru didefekasikan, lalu memasukkan feses ke dalam wadah plastik penampung feses dan memberi label yang berisi keterangan nomor sampel, tanggal dan bulan pengambilan sampel, kode peternak, asal desa, jenis kelamin, dan umur, selanjutnya menyimpan sampel dalam wadah cooller box yang telah berisikan es batu agar kondisi tetap dingin dan mencegah telur menetas, kemudian mengirim sampel yang telah diambil ke Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung untuk pemeriksaan dengan metode uji Mc. Master dan uji sedimentasi mamalia.

(4)

4

2.3. Analisis Data

Data kuisioner dan hasil laboratorium kemudian dibuat tabulasi dan dihitung tingkat infestasi (prevalensi) sesuai rumus yang direkomendasikan Budiharta (2002), yaitu:

Prevalensi =

Keterangan:

F : Jumlah frekuensi dari setiap sampel yang diperiksa dengan hasil positif N : Jumlah dari seluruh sampel yang diperiksa

Data tingkat infestasi yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan histogram kemudian dianalisis secara deskriptif.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Kondisi Peternak Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan pada peternak Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung, diketahui peternak yang memelihara Kerbau Lumpur (11 orang peternak; 80 ekor) yang tersebar pada 6 desa, yaitu Desa Banjar Agung (19 ekor; 23,75%), Desa Sinar Rejeki (1 ekor; 1,25%), Desa Margo Lestari (20 ekor; 25%), Desa Sumber Jaya (4 ekor; 5%), Desa Jati Mulyo (27 ekor; 33,75%) dan Desa Karang Anyar (9 ekor; 11,25%).

Peternak di Kecamatan Jati Agung memelihara Kerbau Lumpur dengan menggunakan 3 sistem pemeliharaan yaitu secara ekstensif (18,18%), semi intensif (54,55%), dan intensif (27,27). Sanitasi kandang tidak dilakukan oleh semua peternak kerbau di Kecamatan Jati Agung. Paling banyak peternak melakukan sanitasi kandang satu kali sehari yaitu sebanyak 5 orang peternak (45,45%), peternak yang melakukan sanitasi kandang satu kali sebulan terdapat 3 orang peternak (27,27%), peternak yang melakukan sanitasi dua kali dalam sebulan terdapat 1 orang peternak (9,09%), dan 2 orang peternak (18,18%) tidak pernah melakukan sanitasi.

Lingkungan kandang peternak yang memiliki kondisi bersih yaitu sebanyak 4 orang peternak (36,36%), sedangkan kondisi lingkungan yang kotor terdapat 7 orang peternak

F X 100% N

(5)

5

(63,64%). Di lokasi kandang dan penggembalaan peternak yang terdapat genangan air yaitu di 5 peternak (45,45%), sedangkan yang tidak terdapat genangan air sebanyak 6 peternak (54,55%). Keberadaan siput tidak ditemukan baik di lingkungan kandang maupun lokasi penggembalaan saat pengamatan. Konsistensi feses ternak yang paling banyak ditemui yaitu konsistensi padat sebanyak 35 ekor ternak (43,75%), konsistensi lembek sebanyak 30 ekor ternak (37,50%), dan konsistensi encer terdapat pada 15 ekor ternak (18,75%).

3.2. Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa tingkat infestasi cacing saluran pencernaan tertinggi berada di Desa Sinar Rejeki, hal ini terjadi dikarenakan populasi kerbau yang sangat sedikit dan hanya terdapat 1 ekor kerbau. Cacing yang menginfestasi Kerbau Lumpur di Desa Sinar Rejeki adalah cacing jenis Oesophagustomum sp. Menurut Levine (1994) bahwa siklus cacing nematoda bersifat langsung dan tidak membutuhkan hospes perantara. Infestasi cacing Oesophagustomum sp. yang terjadi dikarenakan kondisi lingkungan kandang yang kotor, adanya genangan di dalam kandang dan feses dibiarkan menumpuk. Menurut Purwaningsih et al. (2017) bahwa faktor yang mempengaruhi penyebaran cacing nematoda adalah sanitasi dan kebersihan kandang. Kotoran yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang akan mengundang lalat dan juga memungkinkan larva nematoda berkembang di dalamnya.

Sistem pemeliharaan kerbau di Desa Sinar Rejeki dilakukan secara semi intensif yaitu kerbau digembalakan pada pagi hari hingga sore dan malam hari dikandangkan, sedangkan untuk pemberian pakan, kerbau hanya makan ketika berada di lokasi penggembalaan dan ketika sudah di dalam kandang, kerbau hanya disediakan minum tanpa diberi pakan tambahan. Menurut Tantri et al. (2013) kerbau yang dipelihara dengan cara digembalakan dapat meningkatkan risiko terinfestasi cacing karena adanya kemungkinan kerbau memakan larva cacing yang ada di padang penggembalaan, terutama pada pagi hari disaat larva infektif banyak muncul ke permukaan rumput.

(6)

6

Tabel 1. Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan Kerbau Lumpur pada berbagai

desa di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan (The level of mud

buffalo digestive tract worm infestation in various villages in Jati Agung Subdistrict, South Lampung Regency)

No Desa/ Village Jumlah/ Total (ekor/tails) Positif/ Positive (ekor/tails) Tingkat infestasi/ Infestation rate (%)

Jenis telur cacing/ Types of worm eggs

1. Banjar Agung 19 7 36,84 Strongyloides sp., Paramphistomum sp., Bunostomum sp., Toxocara sp., Haemonchus sp., Mecistocirrus sp. 2. Margo Lestari 20 6 30,00 Oesophagustomum sp., Paramphistomum sp., Strongyloides sp., Haemonchus sp., Mecistocirrus sp. 3. Jati Mulyo 27 5 18,51 Paramphistomum sp. Moniezia sp. 4. Karang Anyar 9 3 33,33 Haemonchus sp. Trichostrongylus sp. 5. Sumber Jaya 4 1 25,00 Haemonchus sp. Oesophagustomum sp 6. Sinar Rejeki 1 1 100,00 Oesophagustomum sp.

Keterangan : Hasil Pemeriksaan Sampel Feses di Balai Veteriner Lampung (Results of

Examination of Stool Samples at the Disease Investigation Center Region Lampung)

Berdasarkan data yang diperoleh bahwa tingkat infestasi cacing saluran pencernaan terendah berada di Desa Jatimulyo yaitu sebesar 18,51%. Hal ini terjadi karena sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh para peternak sudah secara intensif dan kerbau dibatasi aktivitasnya dengan padang rumput secara langsung, sehingga semua kebutuhan kerbau telah dicukupi di dalam kandang. Pakan yang diberikan berupa konsentrat dan tidak diberikan hijauan segar sehingga mengurangi kemungkinan kerbau terinfestasi cacingan. Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008), bahwa sistem pemeliharaan secara intensif yaitu ternak sepanjang hari berada di dalam kandang, kemudian diberikan pakan, dilakukan pembersihan kandang, menimbang, mengendalikan penyakit dan sebagainya secara teratur atau rutin.

Rendahnya infestasi cacing pada kerbau di Desa Jati Mulyo juga dipengaruhi oleh ukuran dan kepadatan kandang. Ukuran dan kepadatan kandang yang longgar sangat baik

(7)

7

untuk kesehatan ternak karena dapat memperlancar pertukaran oksigen dan karbondioksida di dalam kandang. Menurut Makin (2011), dengan lancarnya pergantian udara di dalam kandang maka membuat kandang tidak akan pengap, panas, berdebu, berbau dan kotor. Dari 27 sampel feses yang diperiksa, hanya terdapat 5 sampel feses yang terinfestasi cacing. Jenis cacing yang paling banyak menginfestasi kerbau di Desa Jatimulyo adalah jenis Paramphistomum sp. Menurut Raza et al. (2012), paramphistomiasis pada ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur ternak, jenis kelamin, jenis ternak, pendidikan, status ekonomi peternak, dan manajemen ternak serta penggunaan anthelmintik. Peternak kerbau di Desa Jatimulyo sudah melakukan pengobatan cacing dengan pemberian antelmintik pada setiap ternak kerbau yang baru dibeli, tetapi tidak dilakukan pengobatan berulang secara berkala. Menurut Handayani et

al. (2015), program pemberian antelmintik sebaiknya diulang secara berkala setiap 3-4

bulan sekali untuk membasmi cacing secara tuntas.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan yaitu sebesar 28,75%. Penelitian Saha et al. (2013) di Distrik Barisal, Bangladesh tercatat dari 270 sampel kerbau terdapat 39,6% positif terinfestasi cacing saluran pencernaan. Baihaqi

et al. (2015) melaporkan di Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, dari 50

sampel Kerbau Lumpur terdapat 78% positif terinfestasi cacing saluran pencernaan. Hasil penelitian Padondan (2016), di Kabupaten Toraja Utara tercatat hanya 10,7% dari total sampel kerbau yang terinfestasi cacing saluran pencernaan baik dalam infestasi tunggal maupun multispesies. Penelitian Nurhidayah et al. (2019), pada kerbau lumpur di SPR wilayah Provinsi Banten dengan total infestasi cacing saluran pencernaan sebesar 79.41%. Menurut Baihaqi et al. (2015) bahwa perbedaan angka prevalensi di tiap daerah dapat disebabkan oleh pola pemeliharaan, jenis kerbau, umur, dan lingkungan yang berbeda. Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilakukan saat memasuki awal musim penghujan sehingga kondisi hijauan mulai kembali tumbuh subur dan kondisi tanah baik di sekitar kandang maupun area penggembalaan dalam keadaan sedikit becek dan lembab. Menurut Purwantan et al. (2006) daerah yang lembab merupakan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan cacing sehingga sangat memungkinkan berbagai jenis cacing untuk melanjutkan siklus hidupnya.

(8)

8

Tabel 2. Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur di

Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan (Infestation Rate of

Gastrointestinal Worms in Mud Buffaloes in Jati Agung District, South Lampung Regency) No Desa/ Vilage Jumlah Sampel/ Total Samples (ekor/tails) Negatif/ Negative (ekor/tails) Positif/ Positive (ekor/tails) 1. Banjar Agung 19 12 7 2. Margo Lestari 20 14 6 3. Jati Mulyo 27 22 5 4. Karang Anyar 9 6 3 5. Sumber Jaya 4 3 1 6. Sinar Rejeki 1 0 1 Total 80 57 23 Tingkat Infestasi/ Infestation rate (%) 28,75

Keterangan ; Hasil Pemeriksaan Sampel Feses di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Lampung (Results of Examination of Stool Samples at the

Laboratory of Parasitology Disease Investigation Center Region Lampung)

3.3. Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung berdasarkan Sistem Pemeliharaan

Tingkat infestasi cacing saluran pencernaan tertinggi terjadi pada sistem pemeliharaan semi intensif yaitu sebesar 37,50%, diikuti sistem pemeliharaan ekstensif sebesar 30,00%, sedangkan tingkat infestasi cacing saluran pencernaan terendah terjadi sistem pemeliharaan intensif sebesar 22,22% (Gambar 1). Perbedaan tingkat infestasi ini diakibatkan oleh perbedaan sistem pemeliharaan kerbau. Berdasarkan hasil yang didapat diketahui bahwa sistem pemeliharaan secara intensif tingkat infestasinya lebih rendah jika dibandingkan dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Peternak yang memelihara kerbau secara intensif melakukan sanitasi kandang secara rutin, kerbau tidak digembalakan sehingga tidak ada infestasi yang disebabkan oleh padang penggembalaan akibat tercemar larva infektif dan sudah dilakukannnya pengobatan sehingga mengurangi kemungkinan kerbau terinfestasi cacing. Menurut Larasati et al. (2017), penyebaran cacing sangat dipengaruhi oleh musim, keadaan lingkungan, tatalaksana dan pakan.

(9)

9

Gambar 1. Tingkat infestasi berdasarkan sistem pemeliharaan

(Infestation rate based on maintenance system)

Tingkat infestasi pada sistem pemeliharaan secara ektensif lebih rendah jika dibandingkan semi intensif hal ini dikarenakan Kerbau Lumpur yang dipelihara secara ekstensif tidak dimasukkan ke dalam kandang dan selalu dilakukan rotasi padang penggembalaan setiap harinya. Menurut Kumar et al. (2013) bahwa parasitisme akan menurun apabila jumlah lahan bertambah dan lebih sering dilakukan rotasi padang penggembalaan. Tingginya infestasi cacing pada Kerbau Lumpur yang dipelihara secara semi intensif dipengaruhi oleh tidak dilakukannya rotasi padang penggembalaan kemudian kerbau kembali dikandangkan setelah selesai digembalakan dan sanitasi kandang yang tidak dilakukan rutin setiap hari, sehingga menyebabkan tingkat kontaminasi dan persebaran cacing akan semakin tinggi ketika kerbau kembali ke dalam kandang. Menurut Nugraheni et al. (2015) bahwa telur nematoda akan keluar bersama feses, mengkontaminasi hijauan pakan, air minum serta lantai kandang yang tidak bersih.

3.4. Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung berdasarkan Jenis Kelamin

Tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada Kerbau Lumpur betina lebih tinggi yaitu sebesar 30,43%, jika dibandingkan dengan Kerbau Lumpur jantan yaitu sebesar 26,46% (Gambar 2). Berdasarkan jenis kelamin, pada kerbau betina memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap infestasi cacing dibandingkan kerbau jantan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Bhutto et al. (2002), yang menunjukkan bahwa infestasi cacing pada kerbau betina lebih tinggi daripada kerbau jantan. Hal ini bisa disebabkan karena perbedaan tujuan pemeliharaan kerbau jantan dan betina, peternak di lokasi penelitian

22.22% 37.50% 30.00% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 40.00%

(10)

10

memelihara kerbau jantan hingga dewasa kemudian dijual sebagai hewan qurban maupun acara adat atau dijadikan sebagai tabungan keluarga, sedangkan kerbau betina dipelihara sebagai indukan dan terus dipelihara selama masih produktif, sehingga kerbau betina memiliki risiko terjadinya re-infestasi cacing.

Gambar 2. Tingkat infestasi berdasarkan jenis kelamin kerbau

(Infestation rate based on buffalo sex)

3.5. Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung berdasarkan Umur Ternak

Tingkat infestasi cacing saluran pencernaan tertinggi terjadi pada kerbau muda (gudel) berumur 0-6 bulan yaitu sebesar 58,33%, kemudian kerbau berumur 6-24 bulan yaitu sebesar 23,80%, sedangkan tingkat infestasi cacing saluran pencernaan terendah terjadi pada kerbau yang berumur >24 bulan yaitu sebesar 21,27% (Gambar 3). Berdasarkan hasil yang didapat, diketahui bahwa Kerbau Lumpur pada semua kelompok umur dapat terinfestasi oleh cacing, namun kerbau muda yang lebih rentan terinfestasi oleh cacing. Hal ini dapat terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat infestasi cacing semakin menurun seiring dengan pertambahan umur ternak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Karim et al. (2016), menunjukkan bahwa total infestasi cacing pada kelompok umur kurang dari 1 tahun lebih tinggi dari kelompok umur tua. Rendahnya infestasi cacing pada kerbau kelompok umur 6-24 bulan dan semakin rendah ketika kerbau berumur >24 bulan ada hubungannya dengan perkembangan sistem imunitas pada ternak dewasa sehingga lebih resisten terhadap parasit cacing. Menurut Sudrajat (1991), bahwa imunitas hewan terhadap cacing baru terbentuk pada umur 5-8 bulan. 26.46% 30.43% 24.00% 25.00% 26.00% 27.00% 28.00% 29.00% 30.00% 31.00% Jantan Betina

(11)

11

Gambar 3. Tingkat infestasi berdasarkan umur

(Infestation rate based on age)

3.6. Infestasi Cacing Tunggal dan Campuran pada Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan

Berdasarkan pemeriksaan pada 80 sampel feses Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung dengan uji Mc. Master dan uji Sedimentasi, jumlah Kerbau Lumpur yang terinfestasi cacing tunggal sebanyak 17 ekor dan 6 ekor Kerbau Lumpur yang terinfestasi cacing campuran. Infestasi cacing saluran pencernaan yang tertinggi merupakan infestasi cacing tunggal dengan persentase sebesar 73,91%. Berdasarkan pemeriksaan sampel, pada infestasi cacing tunggal terdapat 8 jenis cacing yang menginfestasi Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung. Jenis cacing tersebut adalah Paramphistomum sp., Toxocara

sp., Bunostomum sp., Strongyloides sp., Oesophagostomum sp., Haemonchus sp., Trichostrongylus sp., dan Moniezia sp. Infestasi cacing tunggal pada Kerbau Lumpur di

Kecamatan Jati Agung dapat dilihat pada Gambar 4.

Infestasi cacing tunggal paling tinggi pada pemeriksaan feses Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan berasal dari kelas Trematoda, yaitu cacing berjenis Paramphistomum sp. dimana 6 sampel positif dengan persentase sebesar 35,29%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Kerbau Lumpur yang terinfestasi cacing

Paramphistomum sp. memiliki konsistensi feses yang lembek dan encer, hal ini

disebabkan oleh peradangan mukosa usus akibat infestasi cacing Paramphistomum sp. sehingga pakan tidak dapat dicerna dengan sempurna. Menurut Hartono et al. (2019), tingginya jumlah infestasi cacing Paramphistomum sp. akan menyebabkan perforasi pada lapisan mukosa intestinal sehingga terjadi perdarahan yang ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah.

58.33% 23.80% 21.27% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00%

(12)

12

Gambar 4. Infestasi tunggal cacing saluran pencernaan pada Kerbau Lumpur di

Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan (Single infestation of intestinal worms in Mud Buffalo in

Jati Agung Subdistrict, South Lampung Regency)

Infestasi cacing Paramphistomum sp. di Kecamatan Jati Agung terjadi di 3 desa yaitu Desa Banjar Agung, Margo Lestari dan Jatimulyo. Kelangsungan hidup serta penyebaran

Paramphistomum sp. bergantung pada keberadaan siput (Lymnea rubiginosa) sebagai

hospes perantara, kerbau yang terinfestasi cacing Paramphistomum sp. di Desa Banjar Agung diduga terjadi karena adanya hospes perantara, hal ini dikarenakan kerbau digembalakan di sawah dan terdapat kolam berkubang di dekat kandang, sehingga semakin meningkatkan peluang penyebaran Paramphistomum sp. Menurut Darmin et al. (2016) bahwa siput sebagai hospes perantara yang berhabitat pada lingkungan yang berair dengan vegetasi yang baik seperti di sekitar aliran sungai, danau, sawah, kolam dan daerah berawa.

Infestasi Paramphistomum sp. yang terjadi di Desa Margo Lestari dan Jatimulyo diduga sudah terjadi sebelum pemeliharaan atau saat berada di daerah asal, karena kerbau yang terinfestasi cacing Paramphistomum sp. merupakan kerbau yang baru dibeli oleh peternak kurang dari 6 bulan. Saat ternak pertama kali dibeli sebenarnya sudah diberikan obat cacing oleh peternak, namun obat cacing yang diberikan merupakan obat cacing berspektrum luas yang tidak khusus mengobati cacing Paramphistomum sp. dan dosis yang diberikan tidak di bawah pengawasan dokter hewan serta pengobatan tidak dilakukan secara berkala, sehingga efektivitasnya tidak diketahui. Menurut Taylor et al.

5.88% 5.88% 5.88% 11.76% 17.64% 5.88% 35.29% 11.76% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 40.00%

(13)

13

(2007) bahwa pada kasus infestasi akibat trematoda, obat yang direkomendasikan seperti clorsulon, kemudian pemberian obat ini harus dilakukan setiap 4-5 bulan sekali.

Infestasi cacing tunggal kedua tertinggi ditemukan berasal dari kelas nematoda, hal ini bisa terjadi karena siklus hidup cacing nematoda yang bersifat langsung dan cepat, serta tidak membutuhkan hospes perantara. Infestasi cacing tunggal terbesar selanjutnya adalah disebabkan oleh cacing Oesophagostomum sp. dan Haemonchus sp. yang masing-masing menginfestasi 3 sampel (17,64%) dan 2 sampel (11,76%), sedangkan Infestasi cacing tunggal terendah yaitu infestasi cacing Toxocara sp., Bunostomum sp.,

Strongyloides sp, dan Trichostrongylus sp. yang masing-masing menginfestasi 1 sampel

dengan persentase infestasi masing-masing sebesar 5,88%. Menurut Bassetto et al. (2001), bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh cacing-cacing saluran pencernaan secara umum akan mengganggu sistem pencernaan, menyebabkan diare, enteritis (inflamasi usus), pendarahan, gastritis, anemia akibat pecahnya pembuluh darah pada usus, penurunan berat badan yang drastis, dan dehidrasi. Infestasi cacing ini berbahaya pada ternak terutama bagi gudel.

Menurut Kadarsih dan Sawitri (2004), proses nematodiasis gastrointestinal juga sangat dipengaruhi oleh faktor umur terutama pada ternak lebih muda. Kerbau Lumpur yang terinfestasi cacing Toxocara sp., Bunostomum sp., dan Strongyloides sp., rata-rata merupakan gudel yang berumur 2-8 bulan, sehingga belum memiliki daya tahan tubuh yang kuat untuk melawan parasit yang masuk ke dalam tubuh gudel, sedangkan kerbau yang terinfestasi Oesophagostomum sp., Haemonchus sp. dan Trichostrongylus sp. berumur 4 sampai 5 tahun. Menurut Karim et al. (2016), prevalensi cacing

gastrointestinal pada kerbau paling sering ditemukan pada usia 1 sampai 5 tahun.

Pada kelas Cestoda, ditemukan infestasi cacing Moniezia sp. sebanyak 2 sampel positif, walaupun kerbau yang terinfestasi cacing Moniezia sp. merupakan kerbau yang dipelihara secara intensif dan tidak diberikan pakan hijauan, namun hal ini bisa terjadi dikarenakan sikus hidup Moniezia sp. yang membutuhkan tungau rumput sebagai hospes perantara, sehingga bisa jadi tungau terbang dan menempel di tempat pakan kerbau kemudian ikut termakan. Hospes perantara Moniezia sp. tidak hanya tungau melainkan juga lalat. Menurut Sandjaja (2007) bahwa telur cacing Moniezia sp. bisa dibawa oleh lalat baik secara internal ataupun eksternal menempel di tubuh lalat. Lalat rumah (Musca

(14)

14

domestica) hanya menelan telur yang kecil, selain itu organisme lain seperti kumbang dan

cacing tanah juga kemungkinan bisa membawa telur cacing ini.

Infestasi campuran cacing saluran pencernaan di Kecamatan Jati Agung terbagi menjadi 2 yaitu infestasi campuran 2 jenis cacing, dan infestasi campuran 3 jenis cacing (Gambar 5). Infestasi campuran cacing saluran pencernaan tertinggi adalah infestasi campuran 2 jenis cacing dengan persentase sebesar 17,39%, dan infestasi campuran cacing saluran pencernaan terendah adalah infestasi campuran 3 jenis cacing dengan persentase sebesar 8,69%.

Gambar 5. Infestasi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan pada Kerbau

Lumpur di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan (Single and mixed digestive tract worm infestations in Mud Buffalo

in Jati Agung Subdistrict, South Lampung Regency)

Infestasi cacing tunggal pada Kerbau Lumpur dapat terjadi pada semua sistem pemeliharaan baik secara intensif, semi intensif maupun ekstensif, sedangkan infestasi cacing campuran hanya terjadi pada sistem pemeliharaan semi intensif dan ekstensif, hal ini dapat disebabkan oleh waktu penggembalaan yang terlalu pagi yaitu pukul 06.00 WIB dan selesai pada pukul 17.00 WIB. Penggembalaan yang terlalu pagi serta dilakukan seharian mulai pagi hingga sore hari menyebabkan meningkatnya aktivitas kerbau di padang rumput. Kerbau sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing akan naik ke permukaan rumput yang berembun. Menurut Zalizar (2017), pada pagi hari larva cacing masih berada dibagian atas rumput sehingga apabila digembalakan terlalu pagi maka larva cacing akan ikut termakan. Kerbau akan terinfestasi cacing saat memakan rumput yang terkontaminasi larva infektif di lokasi penggembalaan. Menurut Waller (2003) bahwa Kerbau yang digembalakan juga mempunyai jangkauan

73.91% 17.39% 8.69% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% Infestasi tunggal Infestasi 2 jenis cacing Infestasi 3 jenis cacing

(15)

15

tempat mencari pakan lebih luas di padang rumput, sehingga risikonya untuk terinfestasi cacing lebih besar.

Infestasi campuran 2 jenis cacing terjadi pada 4 ekor kerbau lumpur di Kecamatan Jati Agung, dengan kombinasi cacing yang beragam dimulai dengan kombinasi antara jenis cacing Strongyloides sp. dan Haemonchus sp., kemudian cacing Haemonchus sp. dan Oesophagostomum sp., cacing Strongyloides sp dan Oesophagostomum sp., terakhir yaitu cacing Oesophagostomum sp. dan Mecistocirrus sp., sedangkan infestasi campuran 3 jenis cacing hanya terjadi pada 2 ekor kerbau kumpur dengan kombinasi cacing

Strongyloides sp., Haemonchus sp., dan Mecistocirrus sp., kemudian Strongyloides sp., Haemonchus sp., dan Oesophagustomum sp. kondisi tersebut akan membuat

produktivitas Kerbau Lumpur menurun seiring dengan banyaknya jenis cacing yang menginfestasi. Menurut Hartono et al. (2018) bahwa semakin banyak jumlah infestasi cacing dalam tubuh, maka semakin rendah bobot badan.

Berdasarkan hasil perhitungan jumlah telur per gram feses (egg per gram) pada Tabel 3 dari total 17 ekor Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung yang terinfestasi cacing nematoda dan cestoda baik infestasi tunggal maupun campuran, diketahui 12 ekor kerbau termasuk dalam infestasi ringan dengan rentangan 100-200 butir per gram feses, 2 ekor kerbau termasuk dalam infestasi sedang dengan rentangan 600-4800 butir per gram feses dan 3 ekor kerbau termasuk dalam infestasi berat dengan rentangan 5800-44000 butir per gram feses. Menurut Nofyan et al. (2010), derajat infestasi dapat dibedakan berdasarkan rentang jumlah telur per gram feses yaitu infestasi ringan jika jumlah telur 1-499 butir per gram feses, infestasi sedang jika jumlah telur 500-5.000 butir per gram dan infeksi berat jika jumlah telur >5.000 butir per gram feses ternak.

Kerbau Lumpur dengan infestasi berat diakibatkan oleh adanya infestasi cacing

Strongyloides sp. Menurut Levine (1994) bahwa larva Strongyloides sp. dapat

menyebabkan radang usus apabila terdapat dalam jumlah yang sangat banyak. Berdasarkan hasil tersebut maka perlu diadakan pengendalian dan pengobatan cacing pada Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan. Menurut Keliat et al. (2018) bahwa manajemen kesehatan dan penyakit setiap ternak harus rutin dilakukan, dengan pemberian obat cacing setiap 6 bulan sekali. Obat cacing pada ternak mutlak diperlukan dalam pengendalian cacing parasit.

(16)

16

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada Kerbau Lumpur di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan sebesar 28,75%, dengan infestasi tertinggi terdapat pada Desa Sinar Rejeki sebesar 100% dan infestasi terendah terdapat pada Desa Jatimulyo sebesar 18,51%, dengan jenis cacing yang ditemukan pada Kerbau Lumpur berasal dari kelas Trematoda (Paramphistomum sp.) kelas Nematoda (Toxocara sp., Bunostomum sp., Strongyloides sp., Haemonchus sp.,

Oesophagustomum sp., Trichostrongylus sp., dan Mecistocirrus sp.), dan kelas Cestoda

(Moniezia sp.).

Daftar Pustaka

Astiti, L. G., T. Panjaitan, Irajasadi. 2011. Uji efektifitas preparat anthelmika pada sapi Bali di Lombok Tengah. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 14(2) : 77–83

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan (BPS Lamsel). 2018. Kecamatan Jati Agung dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik. Lampung Selatan

Baihaqi, H. U., I. B. M, Oka, I. M. Dwinata. 2015. Prevalensi dan identifikasi nematoda saluran pencernaan Kerbau Lumpur di Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, NTB.

Indonesia Medicus Veterinus, 4(1) : 1–8

Bassetto, C.C., B.F. Silva, G.F.J. Newlands, W.D. Smith, A.F.T. Amarante. 2001. Protection of calves against Haemonchus placei and Haemonchus contortus after immunization with gut membrane proteins from H. contortus. J. Parasite Immunol., 33(7): 377–381

Bhutto B., M.S. Phullan., R. Rind., A.H Soomro. 2002. Prevalence of gastrointestinal helminths in buffalo calves. J. Biol. Sci. 2(1): 43–45

Budiharta, S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Darmin, S., P. F Yuliza., M. Sirupang. 2016. Prevalensi Paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. JIIP, 2(2):149–161

Handayani, P., P.E. Santosa, Siswanto. 2015. Tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.

J. Ilmiah Peternakan Terpadu, 3: 127–133.

Hartono, M., Elisa., Siswanto., S. Suharyati., P.E Santosa, M.M.P Sirat. 2019. Profil Darah pada Sapi Simmental-Peranakan Ongole Akibat Infestasi Cacing Trematoda di Desa Labuhan Ratu, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner 2019. Universitas Jember, 15-16 Oktober 2019. 213–225

Hartono, M., P.E Santosa, M.M.P Sirat. 2018. Perbandingan bobot badan kambing Peranakan Etawa yang terinfestasi cacing saluran pencernaan. J. Ilmiah Peternakan

(17)

17

Kadarsih dan Sawitri. 2004. Performans sapi Bali berdasarkan ketinggian tempat di daerah transmigrasi Bengkulu: II performans reproduksi. J. Penelitian UNIB, 10(2): 119–126

Karim W.A., A. Farajallah, B. Suryobroto. 2016. Exploration and prevalence of gastrointestinal worm in buffalo from West Java, Central Java, East Java and Lombok, Indonesia. Aceh Journal of Animal Science, 1(1):1-15.

Keliat, B.A.P., Y. Fahrimal, T.R. Ferasyi. 2018. Identifikasi jenis cacing yang menginfestasi Sapi Aceh yang ada di Pusat Pembibitan Sapi Aceh Kabupaten Aceh Besar. Jimvet, 3(1): 05–09

Kumar, N., T.K.S. Rao., A. Varghese., V.S. Rathor. 2013. Internal parasite managemet in grazing livestock. J. Parasitic Diseases, 37(2): 151–157

Larasati, H, M. Hartono, Siswanto. 2016. Prevalensi cacing saluran pencernaan Sapi Perah periode Juni-Juli 2016 pada Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung. J.

Ilmiah Peternakan Terpadu, 1(1): 8–15

Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Dr. Gatot Ashadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Makin, M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta

Nofyan, E. K. Mustaka, R. Indah. 2010. Identitas jenis telur cacing parasit usus ternak sapi (Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp) di Rumah Potong Hewan Palembang. J.

Penelitian Sains, 10:06–11

Nugraheni, N., M.T. Eulis, H.A. Yuli. 2015. Identifikasi cacing endoparasit pada feses sapi potong sebelum dan sesudah proses pembentukan biogas digester fixed-dome.

Student e-Journals, 4 (3): 1˗8

Nurhidayah N., F. Satrija, E.B.R. Retnani. 2019. Gastrointestinal parasitic infection of swamp buffalo in Sentra Peternakan Rakyat (SPR) of Banten Province Indonesia: Prevalence, risk factor and its impact to production performance. Tropical Animal

Science Journal, 41(1): 6–12.

Padondan, A. T. 2016. Infeksi Cacing Nematoda Gastrointestinal pada Kerbau di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Purwaningsih, Noviyanti, P. Sambodo. 2017. Infestasi cacing saluran pencernaan pada kambing Peranakan Ettawa di Kelurahan Amban Kecamatan Manokwari Barat Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. J. Ilmiah Peternakan Terpadu, 5(1): 8–12

Purwantan, N.R.P Ismaya, Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) Kota Makassar. J

Agrisistem, 2(2): 63–69

Raza, M.A., H.A. Bachaya, M.S. Akhtar, H. M. Arshad, S. Murtaza, M.M. Ayaz, M. Najeem, A. Basit. 2012. Point prevalence of gastrointestinal helminthiasis in Buffaloes (Bubalus bubalis) at The Vicinity of Jatoi, Punjab, Pakistan, J. Sci. Int., 24(4): 456–469

Saha, S.S., D.R Bhowmik, M.M.R Chowdhury. 2013. Prevalence of gastrointestinal helminthes in Buffaloes in Barisal District of Bangladesh. Bang. J. Vet. Med, 11(2): 131–135

Sandjaja, B. 2007. Parasitologi Kedokteran: Helmithologi Kedokteran. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta

(18)

18

Subiyanto. 2010. Populasi Ternak Kerbau Semakin Menurun. Publikasi Budidaya Ternak Ruminansia. http://www. Ditjennak.go.id/bulletin/artikel_3pdf. Diakses pada 20 Januari 2020

Sudarmono, A.S. dan Y.B. Sugeng. 2008. Beternak Domba. Penebar Swadaya. Jakarta Sudrajat, S. 1991. Epidemiologi Penyakit Hewan. Cetakan Pertama. Direktorat Bina

Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta Tantri, N., T. R. Setyawati, S. Khotimah. 2013. Prevalensi dan intensitas telur cacing

parasit pada feses sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat. J. Protobiont, 2 (2): 102–106

Taylor, M.A., R.L. Coop, R.L Wall. 2007. Veterinary Parasitology. Blackwell Publishing. United Kingdom

Waller, P.J. 2003. Domestication of ruminant livestock and the impact of nematode parasites: possible implications for the reindeer industry. Rangifer, 25(1):39–50 Zalizar, L. 2017. Helminthiasis saluran cerna pada Sapi Perah. J. Ilmu-Ilmu Peternakan,

Gambar

Gambar 1. Tingkat infestasi berdasarkan sistem pemeliharaan   (Infestation rate based on maintenance system)
Gambar 2. Tingkat infestasi berdasarkan jenis kelamin kerbau   (Infestation rate based on buffalo sex)
Gambar 3. Tingkat infestasi berdasarkan umur   (Infestation rate based on age)
Gambar 4. Infestasi tunggal cacing saluran pencernaan pada Kerbau Lumpur di  Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Nematoda gastrointestinal merupakan sekelompok cacing nematoda yang terdapat pada saluran pencernaan ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi dan mamalia

Nematoda gastrointestinal merupakan sekelompok cacing nematoda yang terdapat pada saluran pencernaan ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi dan mamalia

Kombinasi pangsa pasar perusahaan-perusahaan tersebut membentuk suatu tingkatan konsentrasi dalam pasar (Teguh, 2010). Penelitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka disimpulkan bahwa prevalensi cacing nematoda saluran pencernaan yang menginfeksi kerbau di kecamatan Sambelia, Lombok Timur adalah

Penelitian ini sebaiknya dilakukan lebih komprehensif dengan membandingkan lebih banyak jenis sampah organik sebagai media pertumbuhannya, serta dapat dilakukan

Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Infeksi cacing saluran pencernaan ini dievaluasi pada kambing betina yang dipelihara oleh petani kakao

Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung merupakan wilayah pedesaan yang sebagian besar masyarakatnya memelihara

Selain itu penerapan model faktor-faktor yang mempengaruhi S/C pada sapi perah di Provinsi Lampung yang berasal dari peternak dan ternak dapat dihitung dengan