• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 039

Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan

Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung,

Bali

I Nyoman Widya Paramadhyaksa

paramadhy aksa@y ahoo.co.jp

Lab. Buday a, Program Studi A rsitektur, F akultas Teknik, U niv ersitas U day ana.

Abstrak

Dalam budaya Bali dikenal adanya tradisi pementasan drama tari Calonarang yang berintikan kisah pertarungan penganut ilmu kebajikan dan ilmu kejahatan. Pementasan ini berlangsung di suatu desa, dari petang hingga dini hari. Ada beberapa area yang lazim dijadikan sebagai seting lokasi pementasan, yaitu pempatan agung di pusat desa, area jaba sisi Pura Dalem, dan kuburan desa. Desa Getakan, Kabupaten Klungkung secara rutin mementaskan ritual pementasan Calonarang di pusat desa setiap tahunnya. Drama tari Calonarang di sini menjadi terkenal ke seluruh pelosok Bali mengingat dalam pementasannya terdapat segmen yang sangat langka, berupa kematian real seorang aktor yang jenazahnya diupacarai dan diperlakukan selayaknya jenazah. Penelitian ini merupakan kajian tentang tata ruang dan seting pementasan drama tari Calonarang di Desa Getakan. Kajian disusun berdasarkan observasi dan wawancara dengan beberapa pihak yang berperan dalam pementasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertunjukan drama tari Calonarang ini merupakan wujud simbolis persembahan dan bakti tertinggi kepada Tuhan.

Kata-kunci : Calonarang, Getakan, intisari, magis, tradisi

Pendahuluan

Dalam budaya tradisional Bali dikenal adanya sebuah tradisi pementasan drama tari sakral Calonarang yang berintikan pada kisah pertarungan antara penganut ajaran ilmu kebajikan (white magic) dan ilmu kejahatan (black magic). Pementasan ini lazimnya berlangsung di suatu area dalam suatu wilayah desa, dari petang hingga melewati dini hari. Ada beberapa area yang lazim dijadikan sebagai seting lokasi beberapa segmen pementasan drama tari ini, yaitu area pempatan agung di pusat desa, area jaba sisi Pura Dalem, dan setra adat (kuburan desa). Drama ini ditarikan oleh sekelompok penari dan pelawak tradisional yang diiringi dengan alunan tabuh gamelan gong tradisional Bali. Cerita yang ditampilkan dipetik dari cerita Calonarang, Balian Basur, atau Ni Rimbit yang semuanya berintikan tentang cerita pertarungan antara para penyihir berilmu hitam (Bali: pangiwa) dan para pendeta beraliran ilmu putih (Bali: panengen) (Dwipayana dan Putra, 2004: 85). Ada berbagai pola tradisi dalam pementasan drama tari ini di berbagai desa di Bali. Hal ini sangat berkaitan dengan karakter tata ruang desa, kesiapan tim seniman, alokasi waktu, dan tentunya tema cerita yang dipentaskan. Berkenaan dengan topik ini, tersebutlah Desa Getakan di wilayah Kabupaten Klungkung yang secara rutin mementaskan ritual pementasan Calonarang di pusat desa setiap tahunnya. Drama tari Calonarang di desa ini menjadi demikian terkenal ke seluruh pelosok Bali mengingat dalam pementasannya terdapat suatu segmen klimaks yang sangat langka, yaitu berupa kematian real seorang aktor yang jenazahnya kemudian diupacarai dan diperlakukan selayaknya mayat orang mati sesungguhnya. Jenazah tersebut selanjutnya dibawa o leh masyarakat setempat ke setra adat menjelang tengah malam untuk benar-benar dikuburkan. Tradisi di Getakan

(2)

C 040 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

ini memang terasa sangat unik jika dibandingkan dengan pola pementasan Calonarang di desa-desa lain di Bali yang pada umumnya tidak dilengkapi dengan segmen kematian real salah satu aktornya. Fenomena ini selanjutnya mendorong adanya keinginan untuk melakukan suatu penelitian tentang aspek keruangan dan budaya tradisi dalam drama tari bercorak magis di Getakan ini. Penelitian yang telah dilakukan adalah berupa kajian tentang muatan makna filosofis dalam tradisi dan seting pementasan drama tari Calonarang di Desa Getakan. Kajian disusun berdasarkan observasi langsung dan wawancara dengan beberapa pihak yang berperan dalam pementasan itu. Penelitian ini diawali dengan studi pustaka berkenaan dengan cerita dan tradisi drama tari Calonarang yang ada di Bali. Metode Penelitian

Makalah ini merupakan sebuah ringkasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan secara mandiri dalam dua tahun belakangan ini. Penelitian tersebut bertujuan menemukan landasan filosofis dari tradisi, pola aktivitas, dan tata ruang seting drama tari Calonarang yang dipentaskan di Desa Getakan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Kungkung, Propinsi Bali. Metode penelitian yang diterapkan secara garis besar terdiri atas dua macam metode utama, yaitu (1) metode pengumpulan data yang menerapkan metode observasi lapangan dan sebagai penonton partisipan, wawancara terhadap para narasumber terkait, serta studi pustaka tentang tradisi pement asan Calonarang itu sendiri; serta (2) metode analisis hasil yang secara umum menitikberatkan pada teknik analisis yang menerapkan metode hermeneutik atau penafsiran makna suatu wujud fenomena atau properti budaya. Dalam melakukan analisis dalam penelitian ini, ada beberapa macam pendekatan yang diterapkan, yaitu pendekatan filosofis, arsitektural, agama dan kepercayaan, mitos, dan seni. Deskripsi Umum tentang Drama Tari Calonarang di Bali

Drama tari Calonarang merupakan salah satu drama tari tradisional sakral bercorak Hindu yang dikenal dalam budaya Bali. Drama tari ini memuat cerita tentang pertempuran antara dharma (kebaikan) dan adharma (keburukan). Dalam pementasannya, Calonarang lazimnya menampilkan berbagai segmen peristiwa yang unik tetapi menegangkan, mengingat adegan demi adegan itu memang memuat berbagai unsur magis yang menjadikan drama tari ini menjadi demikian menarik dan berkarisma di mata para penontonnya. Kisah Calonarang sesungguhnya dipetik dari sebuah legenda yang berkembang sejak abad IX, ketika Raja Airlangga berkuasa di Kerajaan Kediri, Jawa Timur (Shastri, 1963: 50). Cerita ini demikian terkenal dan menjadi ilham berbagai karya seni di Bali. Calonarang sendiri adalah nama seorang wanita sihir mahasakti yang telah lama menjanda. Dia dikenal juga dengan julukan Walu Nateng Dirah ('janda yang berkuasa di Dirah'). Sang janda memiliki seorang putri cantik yang telah lama melajang. Tidak ada seorang pemuda pun yang berani mempersuntingnya. Kekejaman ilmu hitam sang janda agaknya menjadi pemicu banyak pemuda berpikir ulang untuk melamar putri tunggal Calonarang itu. Kekecewaan yang terus menerus pada akhirnya mengobarkan api kemurkaan di hati Sang Walu Nateng Dirah. Bersama ketujuh murid ilmu hitamnya, dia pun memimpin ritual pemujaan kepada Bhatari Durga, memohon restu untuk dapat menjalankan ilmu hitam pengleakan berupa kematian masal dan wabah penyakit (Bali: grubug) bagi rakyat Kerajaan Kediri. Permohonan tersebut mendapat restu dari Ida Bhatari Durga, dalam sekejap rakyat pun menjadi banyak mati secara mendadak tanpa sebab musabab yang jelas atas ulah Calonarang bersama para pengikutnya. Seluruh pelosok Kerajaan Kediri diliputi perasaan was-was dan mencekam. Rakyat semakin ketakutan melihat wabah mematikan yang terus memakan korban setiap harinya. Kondisi ini selanjutnya mendorong patih kerajaan, Patih Taskara Maguna, menghadap dan melaporkan masalah besar yang sedang dihadapi kerajaan kepada Raja. Atas perintah Prabu Airlangga yang berkuasa kala itu, maka diutuslah Patih Taskara Maguna bersama dua orang punakawannya menuju wilayah Dirah (Bandem dan Murgianto, 1996: 46).

Dalam seting cerita di wilayah Dirah ini, sang patih dilukiskan menaik ke rumah menara (trajang) tempat hunian Sang Walu Nateng Dirah. Calonarang berhasil ditarik keluar untuk selanjutnya turun ke medan laga dalam wujud rangda. Pada bagian lain, Patih Taskara Maguna selanjutnya juga

(3)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| C 041 bersalin rupa menjadi banaspati raja atau sebagai sosok barong yang dikenal dalam seni pentas tari tradisional Bali saat ini. Keduanya pun terlibat pertempuran sengit yang sama kuat. Rangda sebagai simbolisasi kekuatan negatif (black magic) berhadapan dengan barong yang tidak lain adalah simbolisasi kekuatan positif (white magic). Pertarungan dua sosok dari dia kutub yang bertolak belakang ini adalah suatu gambaran fenomena universal yang berlaku di dunia. Kebaikan dan kejahatan akan selalu saling berdampingan dan saling berseteru sepanjang masa. Keduanya ada berbagai tingkatan alam semesta, di jagat raya, di berbagai lingkungan binaan, lingkungan sosial, hingga dalam diri masing-masing individu manusia juga. Dalam pementasan drama tari Calonarang, akhir cerita lazimnya akan menampilkan segmen pertarungan barong dan rangda yang tidak terselesaikan. Gambaran ini sedikit berbeda dengan cerita asli Walu Nateng Dirah yang berending pada kematian sang janda yang akhirnya diruwat oleh iparnya, seorang pendeta yang beraliran Siwa Buddha bernama Mpu Baradah (Suastika, 1997: 310). Dalam konteks pementasan, segmen akhir cerita memang sengaja agak dimodifikasi sedemikian rupa atas dasar tradisi dan tujuan tertentu yang bermuatan filosofis, agama, dan budaya.

Ditinjau dari aspek tata ruang dan seting pementasan, drama tari Calonarang lazimnya dipentaskan di beberapa area "panggung" pementasan, seperti di pusat desa (pempatan agung); di ruang terbuka di depan pura utama desa (umumnya Pura Dalem); serta di area sekitar pekuburan desa (setra) (Dibia, 1999: 39). Masing-masing area "panggung" ditata sedemikian rupa sesuai segmen cerita yang sedang digambarkan. Ada kalanya masing-masing segmen cerita dipentaskan secara terpisah di beberapa tempat sehingga menyebabkan para penonton pun iku t berpindah-pindah mengikuti alur cerita drama tari magis ini. Stage pentas utama lazimnya mudah dikenal dengan adanya sebentuk menara dari bahan bambu dan kayu yang bernama trajang. Pada area stage juga terdapat beberapa elemen seting populer untuk stage Calonarang seperti beberapa batang pohon pepaya, sanggah cucuk, dan gundukan-gundukan tanah sebagai gambaran tiruan area pekuburan. Drama tari Calonarang dapat dipentaskan oleh masing-masing desa adat di Bali yang setidaknya memiliki properti pemujaan sakral berupa topeng rangda atau barong. Kedua benda yang disucikan warga desa ini lazimnya distanakan di suatu pura sebagai simbolisasi spirit positif penjaga desa yang bersangkutan. Ada berbagai prosesi ritual yang dilakukan masyarakat desa terhadap properti-properti sakral pada saat prapementasan hingga pascapementasan. Pascapementasan properti-properti topeng-topeng sakral yang ditarikan itu pun akan kembali distanakan dalam bilik suci yang ada dalam sebuah pura utama di desa yang bersangkutan.

Pertunjukan drama tari Calonarang ada kalanya dilakukan setiap tahun di suatu wilayah desa. Ada kalanya pun dipentaskan pada hari khusus atas dasar adanya petunjuk dari alam niskala (gaib) yang diterima oleh pemuka agama di desa itu. Pertunjukan melibatkan banyak seniman tabuh, penari, pelawak, serta satu atau beberapa orang yang telah menyatakan bersedia berperan sebagai mayat (Bali: bangke-bangkean atau sawa) pada saat segmen peristiwa banyaknya warga mati terkena wabah di Kediri itu (Dibia, 1999: 38). Segmen ini merupakan segmen yang paling menarik sekaligus mendebarkan. Dalam beberapa pementasan Calonarang di Bali, pernah pula terjadi suatu peristiwa fatal berupa kematian, sakit mendadak yang dialami oleh para penari, utamanya si pemeran jenazah. Para penonton pun ada yang mengalami trance pada saat pertunjukan ini berlangsung. Pada masa sekarang, dikenal adanya dua tipe tema cerita yang dikenal dalam seni peme ntasan drama tari sakral ini. Tipe pertama dikenal dengan sebutan pementasan drama tari Calonarang, ada pun tipe yang kedua dikenal dengan nama pementasan drama tari Penyalonarangan. Kedua tipe pertunjukkan ini sama-sama bertemakan tentang pertarungan antara ilmu putih (kebajikan) dan ilmu hitam (kebatilan). Letak perbedaannya terdapat pada topik cerita yang diangkat sebagai sentral cerita. Drama tari Calonarang mengambil topik cerita dari penggalan cerita legenda tokoh Calonarang, sang Walu Nateng Dirah. Adapun Drama tari Penyalonarangan adalah drama tari yang berkembang belakangan. Seni pentas ini mengambil materi utama cerita yang bersumber dari cerita-cerita yang bertema pertarungan ilmu putih dan ilmu hitam lainnya yang berkembang di Bali, seperti cerita Balian Batur, Basur, Dayu Datu, dan Ni Rimbit. Cerita-cerita ini sama sekali tidak berhubungan langsung dengan tokoh Calonarang dari Dirah yang terkenal itu.

(4)

C 042 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Para penonton drama tari ini lazimnya berlatar berbagai usia dan gender. Mereka diwajibkan menonton secara tertib dengan mengenakan busana adat Bali. Para wanita yang sedang datang bulan (menstruasi) tidak diperkenankan untuk hadir dan ikut menonton drama tari sakral ini.

Karakteristik Tata Ruang Desa Getakan

Sebelum memahami gambaran pertunjukan drama tari Calonarang di Desa Getakan, ada baiknya dipaparkan dahulu gambaran ringkas tentang Desa Getakan dan tata ruangnya. Desa Getakan adalah nama sebuah desa tradisional Bali yang berdiri pada tahun 1856. Desa yang berlokasi di dalam wilayah Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung ini dikenal juga dengan nama Desa Pakraman Getakan. Desa pakraman ini merupakan sebuah desa bercorak kultur Hindu Bali yang mayoritas penduduknya adalah penganut agama Hindu yang taat. Dalam tradisi budaya di Getakan dikenal ada banyak macam ritual keagamaan dan adat yang tetap dijalankan secara turun temurun.

Dalam wilayah Desa Getakan terdapat beberapa elemen keruangan dan bangunan khas milik desa-desa tradisional Bali seperti adanya Pura Kahyangan Tiga yang terdiri atas Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem; Pura Mrajapati; Pura Subak; setra adat; pempatan agung (Cathus Patha); wantilan; dan bale banjar. Selain dari pada itu, di zona utama desa juga masih dapat dijumpai elemen tata ruang langka berupa empat batang pohon beringin besar yang dengan sengaja telah ditanam di utara, timur, selatan, dan tengah-tengah zona inti desa pada masa-masa awal berdirinya desa ini. Berkenaan dengan keberadaan empat pohon beringin ini, sesungguhnya masih ada sebatang lagi pohon beringin yang tumbuh di bagian barat desa sesuai dengan Konsepsi Panca Bingin (‘lima pohon beringin’). Akan tetapi akibat termakan usia (±150 thn), pohon beringin di barat desa itu telah lama mati karena tumbang dengan sendirinya. (Susana, 2016) (lihat gambar 2).

Berdasarkan data-data awal yang telah terangkum dapat dipaparkan bahwa Desa Pakraman Getakan dipastikan memiliki kaitan sejarah yang kuat dengan Kerajaan Gelgel yang merupakan kerajaan utama di Pulau Bali yang beribu kota di wilayah Kabupaten Klungkung ini. Hal ini setidaknya dapat ditelusuri berkat adanya artifak berupa sebuah topeng rangda sakral yang distanakan di Pura Dalem desa ini. Topeng rangda yang dikenal juga dengan nama Ida Sesuhunan Tapakan Ratu Mas Klungkung ini merupakan salah satu topeng rangda sakral yang dihadiahkan oleh pihak kerajaan kepada salah satu desa pakraman di wilayah Klungkung itu. Desa-desa lain yang juga memperoleh hadiah topeng rangda sakral dari pihak kerajaan itu adalah Desa Gelgel, Desa Kamasan, dan Desa Penasan (Susana, 2017). Pada hari tertentu, topeng rangda Ida Sesuhunan Tapakan Ratu Mas Klungkung ini diupacarai dalam perannya sebagai spirit penjaga desa ini. Salah satu ritual dijalankan berkenaan dengan pemuliaan topeng sakral ini adalah pada pementasan drama tari Calonarang yang dilakukan setiap tahun di desa ini. Topeng rangda sakral di Bali lazimnya diyakini telah disemayami kekuatan supranatural tinggi dan dimaknai sebagai simbol pemersatu umat (Sagara, 2000: 47). Drama Tari Calonarang di Desa Getakan

Pementasan Calonarang ini memang dilakukan berdasarkan adanya petunjuk gaib (Bali: pawisik) yang diterima oleh pemuka agama setempat beberapa kali sejak tahun 2005 hingga tahun 2016. Petunjuk gaib tersebut pada intinya menitahkan agar Desa Getakan mengadakan pertunjukkan drama tari Calonarang setiap tahun. Dalam pementasan drama tari ini diwajibkan memuat segmen

(5)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| C 043 adegan bangke-bangkean yang berisikan peristiwa kematian real seorang suka relawan yang juga sudah ditetapkan melalui petunjuk gaib. Adegan ini pada dasarnya menggambarkan penggalan peristiwa kematian warga oleh wabah yang disebarkan Calonarang bersama murid-muridnya. Dalam pementasan drama tari Calonarang sebelumnya di Getakan, segmen adegan bangke-bangkean tidak berisikan adegan kematian real. Pemeran bangke-bangkean (jenazah si mati) lazimnya bukan berasal dari desa setempat dan hanya berperan pura-pura menjadi mayat di area sekitar stage pementasan. Setelah keluar dari wilayah stage pemeran mayat yang dibayar khusus itu akan bangun kembali dan turun dari keranda yang diusung warga. Model adegan segmen bangke-bangkean dalam drama tari Calonarang semacam ini sudah lazim berlaku di banyak tempat di Bali. Alasan keamanan dan keselamatan sang pemeran menjadi pertimbangan utama segmen adegan ini sengaja dijalankan tidak realistis. Para pemeran bangke-bangkean pun tentunya juga akan berpikir panjang sebelum menerima tawaran yang penuh resiko seperti ini.

Dalam pewisik yang diterima di Getakan, segmen adegan bangke-bangkean harus dilakoni oleh seorang warga setempat yang dikenal sebagai Dewa Aji Tapakan, yang terpilih sebanyak sebelas kali (2005-2016) (Nusa Bali edisi 16 Oktober 2016). Sang pemeran akan mengalami kematian sesungguhnya pascamelakukan ritual khusus di sebuah tempat suci bernama Pura Puser Sari pada awal pementasan. Jenazah selanjutnya akan diarak warga dan masuk ke dalam area stage. Di tempat ini, jenazah itu akan dimandikan dan diupacarai secara adat Hindu Bali se layaknya jenazah orang mati pada umumnya. Pascadimandikan, jenazah tersebut akan dibungkus dengan tikar pandan tradisional dan diikat erat dengan tali bambu. Jenazah selanjutnya dimasukkan dalam keranda dan diarak oleh warga menuju area pekuburan desa (setra). Di area setra ini, jenazah tersebut selanjutnya ditempatkan di atas tanah dan ditinggalkan hingga mendekati akhir pementasan drama tari itu. Model prosesi adegan bangke-bangkean seperti ini telah dilakukan sebanyak sepuluh kali dari tahun 2005 hingga 2015.

Dalam prapementasan kesebelas, diterima pawisik bahwa bangke-bangkean harus dikubur (Bali; mapendem) di setra selama beberapa lama hingga sesi akhir pementasan. Petunjuk gaib ini tentunya membuat warga semula menjadi was-was, bingung, dan ragu. Akan tetapi berlandaskan pada kepatuhan, keikhlasan, dan keyakinan yang tinggi pada Ida Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Mahaesa maka melalui pertemuan khusus selama berkali-kali akhirnya diputuskanlah bahwa pementasan drama tari Calonarang kesebelas ini tetap akan digelar di sekitar area Cathus Patha Banjar Getakan, sehari setelah pelaksanaan ritual Mamasar dan Mamungel, yaitu pada hari Rahina Buda Kliwon Pahang atau Rabu, tanggal 12 Oktober 2016. Pementasan dilakukan sekitar pukul 19:00-04:30 WITA dini hari. Drama tari Calonarang yang berjudul Geseng Waringin (‘Membakar Beringin’) kali ini dipastikan sangat menarik perhatian masyarakat seluruh Bali berkat adanya segmen adegan bangke-bangkean sesungguhnya yang akan dikubur di area setra adat setempat. Peristiwa langka berupa adegan tubuh pemeran bangke-bangkean yang dalam kondisi meninggal sesungguhnya dikubur selama sekitar empat jam di area setra adat benar-benar menjadi peristiwa yang sangat langka, berani, dan bersejarah. Tidak diragukan lagi, pada hari pementasan yang ditunggu-tunggu itu, wilayah Desa Getakan menjadi area yang dipenuhi warga Bali dari berbagai pelosok, termasuk penulis sendiri bersama timnya. Rasa penasaran, takut, dan takjub menjadi alasan kuat kedatangan mereka menonton langsung drama tari Calonarang “edisi spesial” kali ini. Dalam pementasan drama tari Calonarang tahun 2016 ini telah dipersiapkan juga sebuah peti mati yang nantinya akan dipergunakan sebagai peti jenazah bangke-bangkean yang akan dikubur di dalam area setraadat pada tengah malam selama sekitar 4 jam. Peti jenazah itu memiliki ukuran panjang 2 meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi 1,2 meter (lihat gambar 4).

Dalam drama tari Calonarang tersebut, bangke-bangkean atau watangan akan diupacarai secara tradisional layaknya orang meninggal sesungguhnya. Jenazah selanjutnya diarak warga dari area stage di depan wantilan Banjar Getakan ke arah selatan, tepatnya ke setra desa Getakan yang berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi stage. Di area setra ini, jenazah akan dikubur dalam peti mati selama 4 jam. Lewat dini hari, tepatnya pada hari Wraspati Umanis Pahang atau hari Kamis, tanggal 13 Oktober 2016. Ida Sesuhunan Tapakan Ratu Mas Klungkung dalam wujud real sebagai

(6)

C 044 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

sebentuk topeng rangda yang dikenakan seorang pendeta utama akan berangkat ke setra adat untuk menjalankan prosesi menghidupkan kembali bangke-bangkean tersebut.

Secara garis besarnya dapat dipaparkan tentang urutan segmen-segmen adegan yang berlangsung dalam pementasan drama tari Calonarang ini berdasarkan waktu dan lokasinya sejak awal hingga akhir pementasan (19:00-04:30 WITA). Ada empat lokasi utama pementasan, yaitu Pura Puser Sari, bangunan wantilan Banjar Getakan, stage pementasan, dan setra adat Getakan.

Satu wujud elemen seting pementasan Calonarang di Desa Getakan yang juga langka adalah elemen tragtag atau trajang yang merupakan bangunan menara tempat hunian Calonarang. Bangunan menara ini wajib ada dalam setiap pementasan drama tari Calonarang. Dalam menara ini akan ditempatkan artifak topeng rangda sakral yang akan mulai dikenakan oleh penari pada saat “kediaman” Sang Walu Nateng Dirah diusik Patih Taskara Maguna. Ada tradisi bahwa tragtag yang dibangun dalam pementasan Calonarang di Desa Getakan merupakan tragtag tertinggi di Bali. Tragtag di Getakan lazimnya dibangun berketinggian sekitar 11 meter (lihat gambar 5). Tragtag di Bali pada umumnya dibangun hanya berketinggian sekitar 3 meteran. Tragtag tertinggi di Bali ini dibangun sedemikian rupa berdasarkan tingkat sakralitas topeng rangda yang akan ditempatkan di dalamnya. Tragtag yang dibangun kurang tinggi, konon pernah menyebabkan masalah pada saat prosesi bangke-bangkean dihidupkan kembali di setra adat oleh Ida Sasuhunan Ratu Mas Klungkung. Aspek Tangible dan Intangible Drama Tari Calonarang di Desa Getakan

Pada bagian berikut ini dipapartkan tentang gambaran aspek-aspek tangible dan intangible yang termuat dalam seni drama tari Calonarang di Desa Getakan.

Tabel 1. Segmen Peristiwa dalam Drama Tari Pementasan Calonarang di Desa Getakan

No. Waktu Mulai Segmen Lokasi

1. 20:00 Tari Pembukaan oleh tujuh penari wanita Stage

2. 20:30 Dialog humor para punakawan Stage

3. 21:45 Tarian Para pengikut Calonarang Stage

4. 22:00 Calonarang menari dan murka Stage

5. 23:00 Para pengikut Calonarang menyebar wabah di

kerajaan Stage

6. 23:15 Pemeran bangke-bangkean “meninggal” Pura Puser Sari

7. 23:45 Jenazah bangke-bangkean dimandikan Stage

8. 00:00 Jenazah diarak ke setra dan dikebumikan Setra adat 9. 00:15 Patih Taskara Maguna menyerang kediaman

Calonarang Tragtag dan Stage

10. 02:00 Pertarungan rangda dan barong Stage

11. 02:30 Pertarungan Calonarang dan Mpu Baradah Stage 12. 03:30 Calonarang berhasil dikalahkan oleh Mpu Baradah Setra adat 13. 04:00 Pemeran bangke-bangkean dihidupkan kembali Stage 14. 04:00 Pemeran bangke-bangkean bersama rangda kembali Stage 15. 04:30 Pementasan Drama Tari Calonarang berakhir Stage

sumber: observasi, 2016

(7)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| C 045

1. Lokasi Pementasan di Zona Pusat Desa sebagai Lokasi Sumbu Kosmis Desa

Pementasan drama tari Calonarang dipusatkan di sebuah stage yang berlokasi di pusat desa, yaitu di area pempatan agung Desa Getakan. Di lokasi ini terdapat sebuah perempatan jalan utama desa dan sebatang pohon beringin tua yang disakralkan. Pempatan agung atau Cathus Patha dalam tatanan pengetahuan arsitektur tradisional Bali dimaknai sebagai titik pusat desa yang juga disetarakan dengan titik posisi sumbu kosmik desa, penghubung alam seluruh tingkatan alam semesta, baik itu alam bawah (sapta patala) maupun alam atas (sapta loka) (Bagus, 1986: 26). Dalam tradisi Hindu Bali, zona Pempatan Agung desa lazimnya dijadikan sebagai lokasi berbagai kegiatan ritual penyucian alam tingkat desa seperti pada Hari Raya Pangrupukan yang te rjadi sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Keberadaan lima pohon beringin (panca bingin) di empat penjuru dan pusat desa juga dimaknai sebagai elemen tempat bersemayamnya berbagai spirit positif penjaga kesucian dan keamanan desa ini (Susana, 2016).

Dalam pementasan drama tari Calonarang di Desa Getakan juga termuat berbagai prosesi ritual kurban suci untuk penyucian dan keseimbangan alam yang ditujukan kepada bhuta kala (‘ruang’ dan ‘waktu’). Ritual kurban suci (Bali: pecaruan) ini dilakukan di titik pusat desa (pempatan agung) itu (Rupawan, 2008: 80) (lihat gambar 8). Ruang-ruang pementasan dan segmen peristiwa tersebar, dan mudah terlarut sebagai bidang-bidang tidak berwujud pasti. Gambaran area pementasan seperti ini sejalan dengan karakter ruang abstrak yang dikemukakan oleh Ronald (2008: 261).

2. Makna tentang Kekuatan Pengorbanan dan Tebalnya Keyakinan Warga

Di samping mengandung muatan hiburan bagi masyarakat, pertunjukan drama tari Calonarang di Desa Getakan dengan segmen khusus berupa adegan pemeran bangke-bangkean yang benar-benar meninggal dan dikebumikan di setra adat desa juga memuat makna tentang pengorbanan suci yang didasarkan pada keyakinan yang tebal pada kemahakuasaan Tuhan Yang Mahaesa. Pengorbanan suci berupa kematian seorang tokoh manusia terpilih adalah bukti kuat bahwa masyarakat Desa Getakan memiliki keyakinan yang tinggi untuk memenuhi “ujian” pada kesetiaan dan keteguhan iman kepada Ida Sasuhunan sebagai spirit utama penjaga desa. Tanpa dasar keyakinan yang tinggi, segmen pengorbanan manusia “sementara” dalam drama tari ini tentunya tidak akan berani dilakukan meski mendapat petunjuk pewisik seperti itu (Aksara, 2016).

3. Makna tentang Upaya Penyeimbangan dan Penyucian Alam

Pementasan drama tari Calonarang juga memuat pesan fundamental yang kompleks, yaitu:

a. Hormanisasi hubungan antarumat manusia dalam hal ini antara warga dan penonton umum, melalui pementasan seni hiburan tradisional bagi masyarakat umum.

b. Harmonisasi hubungan manusia dan penyucian alam melalui ritual kurban di zona pusat desa. c. Harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan Yang Mahaesa dalam manifestasiNya sebagai

spirit penjaga desa, melalui adanya prosesi pengobanan manusia “sementara” sebagai bukti adanya keyakinan yang tinggi terhadap eksistensi kemahakuasaanNya.

Gambar 6.

(8)

C 046 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Ketiga komponen ini sesungguhnya sangat sejalan ajaran Tri Hita Karana yang merupakan salah satu konsepsi fundamental yang telah terwarisi secara turun temurun di Bali.

4. Makna Khusus Pura Puser Sari dan Setra Adat Getakan

Dalam konteks pementasan dramatari Calonarang ini, masih ada dua area lainnya yang dijadikan sebagai “stage” beberapa peristiwa, yaitu area Pura Puser Sari yang berlokasi di utara desa dan area setra adat (kuburan adat) yang berlokasi di selatan desa. Pura Puser Sari adalah tempat pemeran bangke-bangkean “dimatikan”. Pura ini adalah pura yang disucikan, tempat tumbuhnya beringin utara desa. Arah utara di desa ini memang merupakan arah utama yang paling disucikan. Adapun setra adat adalah tempat bangke-bangkean dikebumikan. Setra dalam budaya tradisional Bali memang lazimnya ditempatkan di area nista, tempat peleburan dan pengembalian elemen-elemen jasad tubuh manusia ke asalnya (Tim Penyusun, 1985: 115). Adapun jiwa si mati akan melalui proses pascakematian sebelum kembali menjalani siklus reinkarnasi.

Simpulan

Berdasarkan hasil observasi langsung di lapangan dan telaah makna fundamental yang termuat di dalamnya, maka tradisi pementasan drama tari Calonarang yang memuat segmen langka berupa kematian real tokoh pemeran bangke-bangkean itu memuat makna-makna filosofis sebagai berikut. 1. Makna penyucian dan keseimbangan seluruh tingkat alam semesta melalui ritual di titik sumbu

kosmis desa, yaitu Pempatan Agung.

2. Makna tentang tingginya tingkatan pengorbanan dan tebalnya keyakinan warga kepada spirit penjaga wilayah desa sebagai suatu kekuatan manifestasi Tuhan Yang Mahaesa.

3. Makna tentang adanya upaya penyeimbangan dan penyucian alam melalui penerapan konsepsi fundamental yang telah lama mentradisi dalam budaya Bali, yaitu Tri Hita Karana.

4. Ketiga stage yang digunakan dapat dimaknai sebagai area penyucian, pusat wilayah, dan peleburan.

Daftar Pustaka

Bandem, I.M. & Sal, M. (1996). Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Bagus, I.G.N. (1986). Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bali: aspek arsitektur, cara pengobatan dan makanan ternak. Denpasar: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirketorat Jenderal Kebudayaan.

Dibia, W. (1999). Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Dwipayana, A. A.G.N. Ari. & Putra, I Nyoman D. (2004). Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. Denpasar:

Pustaka Bali Post.

Nusa Bali. (2016). “Bangkit Setelah Dikubur Selama 4 Jam, Dewa Aji Tapakan Akhiri Ngayah” dalam Harian Nusa Bali edisi 16 Oktober 2016.

Ronald, A. (2008). Kekayaan & Kelenturan Arsitektur. Yogyakarta: Muhammadiyah University Press.

Rupawan, I Ketut. (2008). Saput Poleng dalam Kehidupan Beragama Hindu di Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post. Sagara, Nyoman Y. (2000). Barong & Rangda. Denpasar: Pāramita.

Shastri, Narendra D.P. (1963). Sejarah Bali Dwipa. Jakarta: Bhuvana Saraswati.

Suastika, I Made. (1997). Calon Arang dalam Tradisi Bali: suntingan teks, terjemahan, dan analisis proses pem-Bali-an. Jakarta: Duta Wacana University Press.

Tim Penyusun. (1985). Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Narasumber:

I Wayan Susana, 47 tahun. Banjar Losan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Diwawancarai tanggal 10 Oktober 2016 dan 27 Pebruari 2017.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Desa Getakan Gambar 2. Lokasi  Stage  dan Lima  Pohon Beringin
Tabel 1. Segmen Peristiwa dalam Drama Tari Pementasan Calonarang di Desa Getakan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan kadar malondialdehid (MDA) plasma pada petani yang menggunakan pestisida kimia di Desa Dawuhan dan petani yang

dengan persentase penurunan kadar vitamin C yang paling rendah adalah pada perlakuan penambahan maltodekstrin sebagai thickening agent sedangkan kadar serat kasar dari

rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Analisis Efektivitas, Efisiensi dan Laju Pertumbuhan Pajak Hotel dan Restoran serta Kontribusi Pajak Hotel dan

Dari faktor-faktor di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penambahan asam sulfat sebagai katalis untuk mempercepat kecepatan reaksi karena reaksi antara asam sulfat dengan air

Murid-murid yang dikenal pasti mempunyai masalah pembelajaran khusus akan melalui proses pengenalpastian oleh guru-guru yang dilantik khas dalam bidang disleksia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut model perangkat pembelajaran biologi yang selama ini digunakan di sekolah, khususnya di SMA N 3 Se- marang,

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kualitas fisik rumah terhadap kejadian ISPA pasca bencana erupsi Gunung Sinabung di Puskesmas Kecamatan

memiliki potensi yang cukup tinggi, akan tetapi kedua bahan pakan tersebut. belum dimanfaatkan secara optimal