• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antroponimi dalam Obituari keturunan Tionghoa: Sebuah Tinjauan Deskriptif Sariah Balai Bahasa Badung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Antroponimi dalam Obituari keturunan Tionghoa: Sebuah Tinjauan Deskriptif Sariah Balai Bahasa Badung"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Antroponimi dalam Obituari keturunan Tionghoa: Sebuah Tinjauan Deskriptif Sariah

Balai Bahasa Badung

Abstrak: Berdasarkan peraturan pemerintah 127/U/Kep/12/1966, warga keturunan Tionghoa diimbau untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan banyak orang Tionghoa mengubah namanya (nama keluarga/she) menjadi nama Indonesia. Dalam obituari (berita duka cita) masyarakat Tionghoa masih banyak mencantumkan nama Indonesia dengan nama Tionghoa dalam tanda kurung. Realitas ini menggerakan hati penulis untuk melihat sejauhmana antroponimi keturunan Tionghoa digunakan dalam obituari/berita duka cita di harian Kompas Jakarta dan Pikiran Rakyat Bandung. Dengan menggunakan metode deskriptif analisis, hasil telaah diperoleh bahwa antroponimi Tionghoa rata-rata memiliki tiga unsur, yaitu nama keluarga/marga, status marga, dan nama utama. Penyesuaian nama Tionghoa menjadi nama Indoesia dengan mempertahankan salah satu unsur tersebut. Nama yang bernuansa daerah, khususnya Jawa mendominasi data, dikuti nama Sunda, dan nama asing. Ada perubahan paradigma pada keluarga muda warga keturunan Tionghoa yang sudah mulai meninggalkan pakem tradisi Tionghoa dalam pemberian nama putra-putrinya.

Kata kunci: antroponimi, nama Tionghoa, nama Indonesia, obituari, Latar Belakang

Pemberian nama umumnya tidak dilakukan sembarang. Nama Sugiharto, misalnya, diharapkan kelak ia kaya raya sesuai dengan makna namanya. Apa pun alasannya, pemilihan sebuah nama pasti tidak sembarang sebagaimana juga penggantian nama. Cukup banyak artis mengganti atau diminta mengganti namanya agar sesuai dengan dunia keartisan, seperti Roy Wicaksono menjadi Roy Martin, Cucu Suryaningsih menjadi Evie Tamala, Marjolein Tambayong menjadi Rima Melati, Sudarwati menjadi Titik Puspa, Wahyu Setyaning Budi menjadi Yuni Shara (Sotyati 2002: 1). Dalam hal ini bukan makna nama yang menjadi pertimbangan utama, melainkan wujud fisik nama tersebut. Selain alasan komersial, ada pula alasan ketidakcocokan antara nama dan penyandangnya yang menimbulkan hal-hal buruk. Oleh karena itu, nama kadang harus diganti.

Dalam tradisi Tionghoa, ada sebuah buku yang memberikan petunjuk bagaimana menghitung dan membuat nama bayi. Buku yang berjudul Xing Ming Xue atau Xing Ming Yu Ming Yun yang berarti nama baik dan nasib baik ini memberikan cara-cara dan petunjuk perhitungan pemberian nama bayi, misalnya saja dari berat badan bayi ketika lahir. Jika bayi dengan berat badan ringan, jangan diberi nama yang berat hitungan goresan huruf kanjinya. Di samping itu, pemberian nama dapat menggunakan cara Zuo Chou. Bayi diminta memilih barang-barang yang diletakkan di hadapannya. Biasanya, para orang tua akan meletakkan beberapa barang, seperti sempoa, harmonika atau seruling, kuas. Jika memilih sempoa, bisa diramalkan bayi tersebut kelak akan pandai dalam ilmu dagang. Mereka juga, sebagaimana tradisi Tionghoa, selalu menggunakan nama-nama keluarga pemberian kakeknya, seperti Liem, Lie, Kwee, Tjan, Boen, Nyoo, Jo, Tan, Oei, dan seterusnya (Susanti, 2007).

Pada masa Orde Baru Tahun 1966 dan berdasarkan Kepetusan Pemerintah Nomor 127/U/Kep/12/1966, orang-orang keturunan Tionghoa diimbau untuk mengganti namanya agar terdengar seperti nama Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan banyak orang-orang dari etnis ini kemudian mengubah nama keluarga (she)nya agar terdengar lebih Indonesia. Kebanyakan nama keluarga itu terdengar seperti nama-nama Jawa, ada yang menggabungkan suku kata nama Tionghoanya supaya lebih berkesan Indonesia. Nama keluarga tetap digunakan dan dipadukannya dengan nama Indonesia, seperti nama keluarga Ong atau Wong menjadi Ongko, Ongkojoyo, Wongso, Wongsojoyo.Nama keluarga Li, Lie menjadi nama Indonesia Lijanto, Liedarto, dan sebagainya. Nama-nama keluarga Tionghoa masih banyak jumlahnya, seperti Thio, Tjan, Oei/Oey, Law/Lau, Liem/Lim, Go, Nyoo/Jo, Yongky/Yohan/Yoso, Tan, Liok, Loe/Lu, Te/The, Kho/Khow, Souw/Sho, Oen/Boen/Woen (Susanti, 2007).

Antroponimi keturunan Tionghoa dalam obituari atau berita lelayu akan dipaparkan dengan melihat penggunaan nama Indonesia, pemakaian nama Tionghoa, dan pemakaian nama keduanya. Data diambil dari dua surat kabar, yaitu Kompas dan Pikiran Rakyat dari bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2011. Data diambil secara acak. Penggunaan dua surat kabar tersebut disebabkan dua surat kabar itu yang tersedia dan mewakili surat kabar nasional dan surat kabar lokal. Masalah

Berdasarkan paparan pada latar belakang di atas, masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

(1) Bagaimana antroponimi keturunan Tionghoa digunakan dalam obituari (antroponimi bernuansa Tionghoa dan Indonesia)?

(2) Sejauhmana antroponimi keturunan Tionghoa melebur dalam budaya masyarakat setempat (Jawa, Sunda, dan sebagainya)?

(2)

Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

(1) memaparkan pemakaian antroponimi Indonesia, nama Tionghoa, dan nama gabungan keduanya dalam obituari; (2) mengungkap antroponimi keturunan Tionghoa yang melebur dalam budaya setempat (Jawa, Sunda, dan

sebagainya);

(3) mengungkap antropinmi keturunan Tionghoa apakah masih dipertahankan hingga sekarang. Metode

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris ada dalam pemakaian nama masyarakat Tionghoa. Dengan demikian, hasil yang diperoleh adalah pemerian nama masyarakat Tionghoa dalam berita lelayu secara apa adanya (Sudaryanto, 1988:62). Penelitian ini menggunakan prosedur yang disarankan Sudaryanto, yaitu pengumpulan data, penganalisisan data, dan pemaparan hasil. Di samping itu, penelitian ini menggunakan metode pustaka. Metode pustaka adalah metode penjaringan data dengan menggunakan sumber-sumber tertulis. Sumber tertulis yang dimaksud adalah mencatat pemakaian nama Tionghoa yang terdapat dalam artikel atau karya ilmiah lain.

Kerangka Teori

Bahasa menurut Duranti (1997:1) dipandang sebagai sistem sosial, modus berpikir, dan praktik budaya. Dengan demikian, bahasa memiliki dua fungsi utama: pertama, memadukan sistem pengetahuan dan kepercayaan sebagai dasar tingkah laku budaya; dan kedua, menjadi sarana transmisi dan transformasi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di samping itu, kepercayaan dan nilai budaya sering bersifat lokal dan terungkap secara khas pada bahasa setempat, seperti pemakaian nama (antroponimi) Tionghoa dalam obituari.

Banyak para ahli bahasa yang mendefinisikan perihal nama di antaranya adalah Sibarani (1993:8). Nama menurutnya adalah suatu kata atau kelompok kata yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menyebut orang, hewan, benda, dan tempat. Nama diri adalah kata yang digunakan untuk menyebut diri seseorang. Nama diri itu berfungsi sebagai penanda identitas seseorang. Dilihat dari ilmu bahasa nama diri merupakan sebutan lingual yang dapat disebut sebagai tanda (Sibarani, 1993).

Benveniste (dalam Bromberger, 1982:105) menyatakan bahwa antroponimi (nama diri) merupakan tanda konvensional dalam hal pengidentifikasian sosial yang merujuk secara tetap pada satu individu. Namun, dalam suatu masyarakat sebuah antroponimi tidak selalu hanya merujuk pada satu orang. Kajian mengenai antroponimi Prancis kuno memperlihatkan bahwa pada 1760 terdapat 128 kepala keluarga di Haute-Provence (Prancis) memiliki 29 nama keluarga (patronimi). Ada empat nama kecil yang dimiliki oleh dua pertiga dari jumlah tersebut. Kajian ini menitikberatkan pada nama sebagai identias, termasuk antroponimi Tionghoa dalam obituari

Hasil dan Pembahasan

Pemakaian nama Indonesia dan nama Tionghoa dalam obituari atau berita duka cita memberi kesan bahwa masyarakat Tionghoa sangat kuat memegang tradisi warisan leluhurnya. Nama adalah bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat Tionghoa sehingga pemberian nama memerlukan pembicaraan khusus dengan keluarga besar supaya nama yang diberikan kepada keturunannya membawa keberkahan dalam kehidupan. Dalam paparan ini akan diungkap bagaimana nama Indonesia dan nama Tionghoa atau gabungan keduanya digunakan dalam obituari. Dari data juga dapat dilihat persentase pemakaian nama Indonesia, nama Tionghoa, dan gabungan nama Indonesia dan nama Tionghoa. Selain itu, dari data dapat diungkapkan hal-hal lain yang menarik.

Nama Indonesia

Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang masing-masing memiliki sistem antroponimi sendiri. Di samping antroponimi yang berciri kedaerahan, ada antroponim yang dapat dianggap berciri Indonesia, tanpa ciri etnik tertentu. Antroponim tersebut sering diambil dari kata biasa yang mengacu pada benda atau hal, misalnya indah, cahaya, mustika, intan, mutiara, hening, ratna, guruh, guntur, bayu, topan, fajar, dan surya. Tidak ada peraturan secara umum mengenai antroponim bagi masyarakat Indonesia. Cukup banyak orang yang memberi nama kepada anak-anak mereka sesuai dengan yang mereka inginkan, termasuk antroponim asing, seperti Yuriko, Deryl, Natalia, Nikita, Robin, Nefertiti, Ricy, Natasha, Andre, Albert, dan Marilin. Masyarakat Tionghoa keturunan ada yang memakai nama Indonesia tanpa menambahkan nama asing. Apalagi, cucu dan cicit mereka telah menggunakan nama asing dan nama baptis sehingga nama Indonesia sulit dilacak. Telaah ini hanya berfokus pada nama keturunan Tionghoa yang sudah meninggal meskipun penulis mendata semua nama yang tertera dalam berita lelayu.

(3)

Tionghoa yang meninggal hanya 26 orang yang mengunakan nama Indonesia atau 11,77% saja (bukan satu-satunya indikator menjadi Indonesia).

Data juga menunjukkan pemakaian nama asing (nama baptis/nama Eropa). Jika penulis melihat data secara keseluruhan (nama yang tercantum dalam berita lelayu: suami/istri, anak, cucu, cicit), pemakaian nama asing (baptis dan Eropa) mendominasi cucu dan cicit warga keturunan Tionghoa, seperti Paulus Subrata, Robertus Subrata, Yohanes Ediwan, Antonius Susanto, Joseph William Susanto, Gregorius Joko Wihardjo, Grace Dewi Wihardjo, Johanes Darmawan Wihardjo, Patricia Wendy Tjokro, Nicholas Budiawan Tjokro.Tampaknya, selain agama Buddha, Agama Kristen menjadi pilihan utama keturunan Tionghoa (tampak dalam pemakaian nama baptis).

Nama Tionghoa

Dalam masyarakat Tionghoa, pemilihan nama memperhatikan tiga hal penting, yaitu (a) delapan aksara penanda waktu kelahiran (antara lain tahun, bulan, tanggal, dan jam); (b) lima unsur: logam, kayu, air, api, dan tanah; dan (c) prinsip keseimbangan antara yin dan yang yang diwujudkan melalui guratan (aksara Cina). Namun, ada tabu untuk memilih nama yang sama dengan nama hari, bulan, penyakit, wilayah, gunung, atau sungai (Patadungan, 1993: 22, 29). Hal sebaliknya terjadi pada masyarakat Jawa seperti nama Legiyem dan Wagiman yang diambil dari nama hari pasaran legi dan wage.

Menurut Suki, nama dalam bahasa Mandarin sebetulnya penting karena di situ tertera marga, status marga yang berarti dia keturunan keberapa, barulah nama dari orang itu sendiri. Bahkan, nama marga ini menentukan apakah seseorang bisa menikah dengan marga lainnya (Susanti, 2007). Di samping itu, nama Tionghoa mempunyai makna dan dikaitkan dengan tiga hal, yaitu (a) keyakinan bahwa nama dapat menentukan nasib dan bahwa nama yang tepat dapat mengubah nasib buruk yang menjadi takdir seseorang; (b) nama adalah harga diri, seseorang dapat bangga terhadap namanya karena mempunyai arti yang baik; dan (c) nama memberi pengaruh psikologis kepada penyandangnya, sifat dan emosinya dibentuk oleh makna namanya (Sutanto, 2005).

Dalam kajian ini keberadaan nama Tionghoa tidak ditinjau berdasarkan makna atau fungsinya dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Paparan di atas hanya memberikan penjelasan bahwa dalam tradisi Tionghoa nama adalah harga diri dan keberuntungan. Dalam data, obituari yang mencantumkan nama Tionghoa berjumlah 58 dari 221 buah nama atau sebesar 26,24%. Ternyata, imbaun pemerintah Orba tahun 1966 tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh warga keturunan Tionghoa. Ada sebagian kecil yang tetap mempertahankan nama Tionghoanya tanpa menggunakan nama Indonesia. Di samping itu, pemakaian aksara Latin dan Hanzi dalam data antroponimi Tionghoa menunjukkan kesadaran baru untuk mempertahankan kekayaan budaya Tionghoa. Kecenderungan baru tersebut terdapat dalam obituari harian Pikiran Rakyat Jawa Barat. Pada harian Kompas, kecenderungan baru tersebut belum terlihat. Dari 58 data obituari 24 data menggunakan akasara Latin dan aksara Hanzi.

Gabungan (Nama Indonesia dan Nama Tionghoa)

Keturunan Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia dikejutkan oleh keputusan pemerintah Nomor 127/U/Kep/12/1966 yang dikeluarkan oleh Ketua Presidium Kabinet. Peraturan tersebut mengenai penggantian nama Tionghoa yang terdiri atas tiga suku terpisah menjadi nama bercirikan Indonesia. Peraturan itu ditaati oleh hampir semua WNI keturunan Tionghoa, tetapi ada yang tetap mempertahankan nama Tionghoanya, misalnya Kwik Kian Gie dan Yap Thiam Hien, dua orang yang cukup dikenal di Indonesia. Keputusan Presidium Kabinet tersebut tidak memuat sanksi apabila seorang WNI keturunan Tionghoa tidak menaati peraturan itu. Oleh karena itu, peraturan tersebut dapat dianggap sebagai suatu imbauan (Sutanto, 2005).

Daftar berikut adalah nama Indonesia dan nama Tionghoa yang terdapat dalam obituari. Kelihatannya, penulisan nama Indonesia didahulukan setelah itu nama Tionghoa ditulis di dalam kurung. Namun, dalam data sebagian ada nama yang didahului dengan nama Tionghoa dan menyusul nama Indonesianya. Penulisan ini (nama Indonesia dahulu dan nama Tionghoa di dalam kurung) apakah disengaja untuk menunjukkan keberpihakan terhadap cinta bahasa Indonesia (menunjukkan nasionalisme) atau memang nama Indonesianya yang lebih dikenal. Sejauh ini penulis belum mengetahui pasti apakah alasan mendahulukan nama Indonesia dibanding nama Tionghoanya.

Terdapat 104 buah nama yang menggunakan nama Indonesia dan nama Tionghoa dari 221 data. Berarti warga keturunan Tionghoa banyak yang mengapresiasi imbaun peraturan Orde Baru tersebut. Jika dipersentasekan, pemakaian nama gabungan (nama Indonesia dan nama Tionghoa) mencapai 47,26%. Artinya, warga keturunan Tionghoa memakai nama Indonesia dan tetap mempertahankan identitasnya sebagai etnis Tionghoa. Di bawah ini dapat dilihat pemakaian nama Indonesia dan nama Tionghoa (data tidak dicantumkan semua).

(4)

Tabel 1

Nama Indonesia dan Nama Tionghoa

No. Nama Indonesia Umur Nama Tionghoa Jenis Aksara Latin/Hanzi

1. Djoni Surjadi 61 Kwee Hok Djon Latin

2. Ani Natakurnia 65 Na Kiok Hoa Latin

3. Minajaya 53 Ho Min Kiong Latin

4. Fransiscus Sasmita 74 Tan Giok Tju Latin

5. Wiebowo H. 62 Yan Wei Sing Latin+Hanzi

Sisi lain yang menarik adalah bahwa antroponimi Tionghoa rata-rata memiliki tiga karakter atau tiga unsur. Hal ini penting karena tiga unsur tersebut melibatkan nama marga, status marga (keturunan keberapa dari marga tersebut), dan nama sendiri. Nama Na Kiok Hoa, misalnya, memiliki tiga unsur. Unsur pertama Na menunjukkan marga, Kiok status marganya, dan namanya sendiri Hoa. Setelah disesuaikan, nama tersebut menjadi Ani Natakurnia yang bernuansa Sunda. Contoh lain adalah nama Ho Min Kiong. Ho adalah nama marga, Min adalah status marga, dan Kiong adalah nama sesungguhnya. Ketika disesuaikan, nama menjadi Minajaya yang bernuansa Sunda. Tampaknya, status marga mengalami pemertahanan. Menurut penulis, penggantian nama tersebut kurang baik dilakukan karena menghilangkan esensi dan ciri khas budaya warga keturunan Tionghoa.

Penyesuaian antoponimi warga keturunan Tionghoa umumnya mengandung unsur nama Jawa, sebagian nama Sunda, dan nama asing. Antroponimi Jawa terdapat Wiebowo H. (Yan Wei Sing), Ongko Moelianto (Ong Bun Liong), Arifin Hadisantoso (Kwee Kiong Poen), Handriyanto Yuwono (Yo Huey Han), Budiman Lukito (Lie Yin Luk), dan Akwila Soegiono (Ong Kian Gie). Unsur nama Jawa umumnya menjadi acuan warga keturunan Tionghoa dan data menunjukkan hal tersebut. Unsur nama Sunda terdapat Ani Natakurnia (Na Kiok Hoa), Minajaya (Ho Min Kiong), Budiyana Tanuhadi Supena (Tan Beng Lin), Taufik Hertama (Liem Sin Qwan), Goenawan Nataatmadja (Tjio Hong Gwan), dan Teddy Mihardja (Liem Tjiok Tek Sun). Unsur nama Sunda banyak ditemui karena objek kajian adalah harian Pikiran Rakyat, Jawa Barat. Nama asing ditemukan dalam data, seperti Fransisscus Sasmita (Tan Giok Tju), Maria Sriyanti (Yo Tjin Nio), Abun Yohanes (Lauw Peng Bun), dan Monica Santa Widjaja Listiono (Lie Sien Bwee Nio).

Penulis juga mendata pemakaian nama Tionghoa yang diikuti nama Indonesia atau bernuansa Indonesia, atau yang lainnya. Penulis menduga kemungkinan nama Tionghoanya lebih dikenal daripada nama Indonesianya atau sebaliknya nama Tionghoa lebih diyakini membawa keberuntungan daripada nama Indonesia. Dalam data obituari nama Tionghoa didahulukan dan nama Indonesia berada di dalam kurung. Dari 221 data 33 data menggunakan nama Tionghoa dan nama Indonesia. Jika dipersentasekan, data yang menggunakan nama Tionghoa dan nama Indonesia sebesar 14,93%. Jadi, nama warga keturunan Tionghoa yang menggunakan nama Indonesia dan nama Tionghoa masih lebih tinggi daripada yang menggunakan nama Tionghoa dan nama Indonesia. Jika keduanya digabungkan, jumlahnya lebih besar, yaitu 47,26% ditambah 14,93%= 62,19%. Berikut ini adalah sebagian data yang menggunakan nama Tionghoa dan nama Indonesia.

Hal lain yang perlu ditegaskan adalah pemakaian nama Tionghoa untuk generasi sekarang telah mengalami perubahan. Data nama istri, anak, menantu, cucu, dan cicit tidak menggunakan lagi nama Tionghoa, tetapi lebih banyak menggunakan nama asing (baptis/Eropa). Pilihan agama warga keturunan Tionghoa juga mengalami perubahan. Agama leluhur (Konghucu) dan agama Buddha bukan agama satu-satunya pilihan warga keturunan Tionghoa.. Agama Kristen tampaknya agama yang sesuai dengan generasi sekarang. Hal itu dapat dilihat dari nama cucu dan cicit yang banyak menggunakan nama asing dan nama baptis yang yang terdapat dalam data. Hal itu dapat dilihat pada pemakaian nama William, Raymond, angelique, Silvi, Felicia, , Jimmie, Andrew, Richard, Carol Joyleen, Karina, Leonard, Nicholas, Anne, Cindy, Clarissa, Hansel, Darly, Jacques Blade, Jessica Stephanie, Jeremy Steven, Gregorius Joko Wihardjo, Grace Dewi Wihardjo, Johanes Darmawan Wihardjo, Patricia Wendy Tjokro, Nicholas Budiawan Tjokro, Antonius Susanto, Joseph William Susanto, Paulus Subrata, Robertus Subrata, Susan Subrata, Mariska Audriani, Marina Fitriasti, Arvin Setiawan, Feyona Subrata, Ninessa Subrata, Stanley Subrata, Adya Djoko, Mitzy Djoko

Penutup

Pemakaian nama Indonesia dan nama Tionghoa adalah ekspresi masyarakat keturunan Tionghoa pada peraturan pemerintah masa Orba. Dari data terungkap bahwa masyarakat keturunan Tionghoa (yang sudah meninggal) ada juga yang menggunakan nama Indonesia dan tidak menyertakan nama Tionghoanya. Jumlah mereka ada 11,77% dari data yang ada. Meskipun ada imbaun pemerintahan Orba untuk menggunakan nama Indonesia, warga keturunan Tionghoa

(5)

karena tiga unsur dari nama Tionghoa menggambarkan nama marga, status marga (keturunan keberapa dari marga tersebut), dan nama utamanya.

Pengaruh budaya setempat atau daerah turut memberikan warna terhadap penggantian nama warga keturunan Tiongho menjadi nama Indonesia. Nama yang bernuansa Jawa umumnya menjadi acuan penggantian nama tersebut. Di samping itu, sebagian menggunakan nama yang bernuansa Sunda dan sebagain kecil menggunakan nama asing (baptisEropa). Pemakaian aksara Hanzi banyak ditemukan pada nama Tionghoa murni selain aksara Latin, sebagaian kecil nama Indonesia, dan gabungan nama Indonesia dan nama Tionghoa. Kecenderungan tersebut terjadi akhir-akhir ini, khususnya bagi warga keturunan Tionghoa yang berada di Bandung, Jawa Barat yang dimuat harian Pikiran Rakyat.

Pemakaian nama asing (baptis/Eropa) mulai dilakukan warga keturunan Tionghoa, terutama pada keluarga-keluarga muda. Mereka memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama yang lebih populer (nama asing). Ada perubahan dalam mempertahankan identitas budaya di kalangan generasi muda warga keturunan Tionghoa. Menjadi Indonesia tidak sepenuhnya dapat diukur dari pemakaian nama, tetapi dapat dilihat dari karya dan pengabdiannya yang terbaik untuk bangsa. Dalam perkembangan selanjutnya, kemungkinan pemakaian nama seseorang tidak dapat menjadi ciri budaya meskipun hal tersebut sangat disayangkan. Kekayaan umat manusia dalam hal pemakaian nama akan sirna jika setiap masyarakat pendukung kebudayaan tersebut mengalami perubahan pandangan atau meninggalkan kebudayaan tersebut.

Daftar Pustaka

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistik Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Patadungan, Chrstine Naomi D. 1993. "Makna dan Fungsi Nama Tionghoa: Suatu Tinjauan Umum mengenai Tradisi Penggunaan Nama di Jakarta dan Sekitarnya". Skripsi Sarjana, Program Studi Cina, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Sibarani, Robert. 1993. Pemberian Nama sebagai Awal Pemunculan Linguistik: Makna Nama dalam Bahasa Nusantara. Bandung: PT Bumi Siliwangi.

Sotyati. 2002. "Nama Lahir, Nama Komersial, Apalah Arti Sebuah Nama”. Suara Pembaruan, 2 Juli 2002. Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik. Yogyakarta: Atma Pustaka.

Susanti, Ika Maya. 2007. “Kelahiran Bayi dalam Masyarakat Tionghoa”. Kamis, 7 Juni 2011, 12.10. http://ikapunyaberita.wordpress.com/2007/09/09/kelahiran-bayi-dalam-masyarakat-tionghoa/

Susanto, Irzanti. 2005. “Ganti Nama di Kalangan Keturunan Tionghoa Peraturan dan kebebasan”. Kamis, 7 Juni 2011 12.20 http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.china.budaya-tionghua/1812

Referensi

Dokumen terkait