perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user xx BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Daun Benalu (Dendrophtoe pentandra L. Miq.)
D. pentandra merupakan jenis benalu yang masuk dalam suku Loranthaceae. D. pentandra ditemukan di daerah hutan hujan atau di hutan yang terbuka, di
perkebunan, di taman-taman kota, hingga di sekitar pemukiman penduduk. Penyebarannya terjadi melalui burung-burung pemakan bijinya. Kemampuan benalu ini tidak hanya menyerang jenis tumbuhan inang tertentu melainkan dapat memarasit berbagai jenis tumbuhan inang, baik berupa semak ataupun pohon, selama beberapa tahun. D. pentandra dapat hidup pada jenis-jenis tumbuhan yang beragam serta rentang sebaran ekologis yang cukup luas. Sebagai jenis tumbuhan parasit keberadaan benalu D. pentandra sering mengindikasikan terjadinya
gangguan ataupun kerusakan tumbuh-tumbuhan inangnya, apalagi bila
keberadaannya dalam jumlah yang banyak (Sunaryo, 2008). Menurut National
Center for Biotechnology Information/NCBI (2014) klasifikasi D. pentandra L.
Miq adalah sebagai berikut:
Superkingdom : Eukaryota
Kingdom : Viridiplantae
Filum : Streptophyta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Ordo : Santales
Famili : Loranthaceae
Genus : Dendrophthoe
Spesies : Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.
Benalu D. pentandra dideskripsikan sebagai berikut: berupa tumbuhan perdu, bersifat hemiparasit, agak tegak, bercabang banyak, tinggi 0,5–1,5 m. Daun seperti terlihat pada Gambar 1 letaknya tersebar atau sedikit berhadapan, menjorong, panjang 6–13 cm dan lebar 1,5–8 cm, pangkal menirus–membaji, ujung tumpul–
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxi
runcing, panjang tangkai daun 5–20 mm. Perbungaan tandan dengan 6–12 bunga, panjang sumbu perbungaan 10–35 mm. Bunga dengan 1 braktea di pangkal, biseksual, diklamid, kelopak mereduksi; mahkota bunga terdiri atas 5 cuping, di bagian bawah saling berpautan, agak menggembung, panjang 13–26 mm, menyempit membentuk leher, bagian ujung mengganda, mula-mula hijau kemudian hijau kekuningan sampai kuning jingga atau merah jingga, panjang tabung 6–12 mm dan menggenta; benang sari 5, panjang kepala sari 2–5 mm dan tumpul serta melekat pada bagian pangkal (basifik); putik dengan kepala putik membintul. Buah berbentuk bulat telur, panjang mencapai 10 mm dengan lebar 6 mm, bila masak kuning jingga. Berbiji 1, biji ditutupi lapisan lengket (Sunaryo, 2008).
Gambar 1. Ilustrasi D. pentandra (Linnaeus) Miquel; (1) cabang berbunga dan terdapat berdaun, (2) kuncup bunga, (3) bunga, (4) braktea, (5) buah (Sheng, 2004)
Tumbuhan benalu yang selama ini sering dikenal sebagai parasit ternyata memiliki khasiat, yaitu ampuh menghambat laju pertumbuhan penyakit kanker, karena di dalamnya terkandung kuersetin yang merupakan glikosida flavonol yang aglikonnya adalah kuersetin. Kuersetin termasuk dalam turunan flavonoid yang merupakan senyawa golongan fenol senyawa ini merupakan metabolik sekunder yang memiliki efek pengobatan. Penelitian sebelumnya memberikan hasil bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxii
dari hasil ekstrak D. pentandra menggunakan pelarut yang larut dalam air (etil asetat dan metanol) terdeteksi beberapa senyawa metabolit yang bersifat antikanker seperti flavonoid, tanin dan terpenoid. Kandungan kimia lain yang terdapat dalam benalu D. pentandra adalah asam amino, karbohidrat, alkaloid dan saponin (Fajriah dkk., 2007; Ikawati, 2008).
a. Flavonoid - Kuersetin
Kuersetin telah dipelajari secara luas dan ditemukan mampu untuk menghambat pertumbuhan tumor dan memiliki antioksidan. Selain itu, kuersetin telah dilaporkan dapat menghambat timbulnya papiloma dan tumor yang disebabkan oleh 7,12 - dimetilbenzantrasena (DMBA) pada hamster. Beberapa efek anti karsinogenesis dari kuersetin telah diketahui dengan penelitian secara in vivo, termasuk di dalamnya adalah penghambatan azoxymethane (AOM) yang diketahui dengan diinduksikannya neoplasia kolon padtikus betina model CF-1, tikus jantan albino Swiss yang diinduksi fibrosarkoma untuk mengetahui penghambatan 20-methyl cholanthrene (20-MC) yang merupakan agen karsinogenik (oral). Beberapa mekanisme yang mungkin untuk mengetahui aktivitas kuersetin dalam interaksi kemopreventif kanker secara in vivo telah dilakukan, seperti penghambatan peristiwa biokimia tertentu yang berkaitan dengan promosi tumor (misalnya perubahan dalam protein kinase C), penghambatan lipid peroksidase dan sitokrom P-450 (dibarengi dengan peningkatan kadar glutathione S-transferase), dan induksi apoptosis oleh kuersetin. Selain itu, kuersetin ditemukan mampu menurunkan regulasi transduksi sinyal pada sel kanker payudara manusia (Tringali, 2004).
Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder dari golongan senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari 2 cincin karbon benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linear yang terdiri dari 3 atom karbon atau digambarkan sebagai deretan senyawa C
6-C3-C6. Flavonoid
merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar dan merupakan senyawa organik (Ariani dkk., 2008). Struktur kuersetin dapat dilihat pada Gambar 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxiii
Gambar 2. Struktur Kuersetin (Ariani dkk., 2008)
Kuersetin merupakan senyawa yang bersifat mutagen, namun dalam ekstrak etanol kuersetin tidak menunjukkan efek mutagenik pada sel mamalia. Tes yang digunakan untuk mengetahui hal tersebut di antaranya adalah uji Hipoksantin Guanidin Phosphoribosyl Transferase (HGPRT), unschedule DNA Synthesis (sintesis DNA yang tak terjadwal), uji transformasi sel menggunakan sel embrio hamster Suriah, uji bintik rambut tikus, dan uji kelainan kromosom menggunakan sel sumsum tulang hamster Cina (Tracy dan Kingston, 2007).
Purba (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa kuersetin terbukti mampu menghambat sel kanker melalui hambatan protein kinase C (PKC), menekan aktivasi epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase dengan cara menghambat proses fosforilasi, menginduksi dan mengikat reseptor estrogen yang mengakibatkan pertumbuhan sel terhambat. Selain itu kuersetin dapat meningkatkan ekspresi gen p53 dan p21 yang merupakan gen pengaktif terjadinya apoptosis serta menekan cyclin D1, D2, A, E. Kuersetin juga menginduksi apoptosis sel kanker melalui penghambatan sintesis heat shock
protein (HSP), peningkatan ekspresi Fas/Fas ligand (FasL), annexin V laneling,
dan aktivitas caspase-3. Manggau dkk (2007) juga menjelaskan bahwa kuersetin mampu menghambat siklooksigenase berkaitan dengan aktivitas antiradikal bebasnya.
b. Alkaloid
Potensi senyawa alkaloid sebagai antikanker diduga melalui tahapan awal menghambat enzim DNA Topoismerase II, dengan dihambatnya aktivitas enzim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxiv
DNA topoisomerase, maka proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker semakin lama, sehingga akan terbentuk Protein Linked DNA Breaks (PLDB), akibatnya terjadi fragmentasi atau kerusakan DNA sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses replikasi sel kanker. Selanjutnya gen p53 sebagai gen supresor tumor akan terakumulasi, menghentikan replikasi DNA pada check point dan memberi kesempatan kepada DNA untuk memperbaiki diri. Bila proses perbaikan gagal, p53 akan merangsang mitokondria mengeluarkan sitokrom c ke sitosol, dan dalam hal ini akan dihalangi oleh anti-apoptosis member yaitu gen Bcl-2. Sitosol sitokrom c bersama dengan Apoptosis Protease Activating Factor-1 (Apaf-1) dan pro-caspase 9 membentuk pro-caspase 9, komplek ini disebut apoptosome. Terbentuk caspase 9 sebagai caspase awal akan mengaktifkan caspase eksekusioner, yaitu caspase 3, 6 dan 7 sehingga dapat menyebabkan kematian sel secara apoptosis (Sukardiman dkk., 2006).
c. Tanin
Tanin memiliki sifat antioksidan yang lebih tinggi daripada vitamin E dan C, serta lebih stabil. Sifat tanin yang demikian membuat tanin menjadi senyawa yang mampu mencegah penyakit degeneratif, salah satunya adalah kanker (Suarni & Subagio, 2013). Potensi tanin sebagai antikanker adalah berperan sebagai antiproliferatif sel kanker yang bekerja pada tingkat sel dengan memblokade fase “S” dari siklus sel. Tanin dapat menginduksi apoptosis dan menghambat proses angiogenesis (Mustafida dkk., 2014).
d. Terpenoid
Potensi senyawa terpenoid dalam fungsinya sebagai antikanker adalah dapat memblok siklus sel pada fase G2/M dengan menstabilkan benang-benang
spindle pada fase mitosis sehingga menyebabkan proses mitosis terhambat. Pada
tahap selanjutnya, akan terjadi penghambatan proliferasi sel dan pemacuan apoptosis. Senyawa terpenoid juga mampu menghambat enzim topoisomerase pada sel mamalia. Enzim topoisomerase adalah enzim di dalam inti sel yang mampu memodifikasi topologi DNA dan berperan pada replikasi, transkripsi, dan rekombinasi yang sangat penting dalam pembentukan striktur kromosom, kondensasi/dekondensasi serta segregasi kromosom. Enzim ini ditemukan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxv
jumlah yang berlebihan pada sel kanker dibandingkan sel sehat/normal. Ada dua kelas enzim topoisomerase pada sel mamalia, tipe I yang memotong dan memecah untai tunggal dari DNA dan tipe II yang memotong dan memecah DNA untai ganda. Inhibitor enzim topoisomerase akan menstabilkan kompleks topoisomerase dan DNA terpotong, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan DNA. Adanya kerusakan DNA dapat menyebabkan terekspresinya protein proapoptosis sehingga dapat memacu terjadinya apoptosis (Setiawati dkk., 2007; Windarti, 2013).
e. Saponin
Senyawa saponin telah diketahui dapat menghambat pembentukan Bcl-2 yang diekspresikan terlalu tinggi, menginduksi protein caspase-3 (protein eksekutor terjadinya apoptosis) yang diekspresikan terlalu rendah, meningkatkan ekspresi p53, dan dapat pula memicu G1 cell cycle arrest (Fitria dkk., 2011).
2. Karsinoma Nasofaring
Karsinoma atau kanker merupakan penyakit yang melibatkan faktor genetik dalam proses patogenesisnya, proses pembelahan sel menjadi tidak terkontrol karena gen yang mengatur pertumbuhan sel telah dirusak. Peningkatan ketahanan hidup sel sebagai akibat perubahan genetik yang mencegah terjadinya apoptosis misalnya aktivasi Bcl-2 atau inaktivasi p53 menyebabkan tumor bertambah besar (Marleen dkk., 2008).
Kanker nasofaring adalah kanker yang dimulai di bagian nasofaring, bagian atas tenggorokan di belakang hidung dan dekat pangkal tengkorak. Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di belakang hidung. Bagian ini tampak sebagai ruang yang berbentuk seperti kotak dengan ukuran sekitar 1 ½ inci di setiap sisinya. Nasofaring seperti terlihat pada Gambar 3 terletak tepat di atas bagian lunak atap mulut (soft palate) dan tepat di belakang dari bagian hidung (American Cancer Society, 2013).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxvi
Gambar 3. Nasofaring (American Cancer Society, 2013) Stadium Kanker Nasofaring menurut American Cancer Society (2013) a. Stadium 0:
Kanker dalam keadaan in situ. Sel-sel kanker hanya pada lapisan permukaan nasofaring tetapi belum tumbuh menjadi lapisan yang lebih dalam. Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya atau tempat yang jauh.
b. Stadium I:
Tumor di nasofaring dan mungkin telah menyebar ke jaringan lunak rongga hidung dan atau orofaring tetapi belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh.
c. Stadium II:
Tumor telah tumbuh ke dalam jaringan dari sisi kiri atau kanan dari bagian atas tenggorokan tetapi belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh. Tumor mungkin masih terbatas pada nasofaring, atau mungkin telah menyebar ke jaringan lunak rongga hidung atau orofaring, atau sisi kiri atau kanan dari bagian atas tenggorokan. Kanker telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening di dekatnya (kelenjar getah bening leher atau di sisi lain kelenjar getah bening di belakang tenggorokan (kelenjar getah bening retropharyngeal), dengan ukuran tidak lebih besar dari 6 cm (sekitar 2 ½ inci). Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxvii
d. Stadium III:
Tumor telah menyebar ke sinus atau tulang dekat nasofaring dan kemungkinan telah menyebar ke kelenjar getah bening di leher atau di belakang tenggorokan, namun ukuran kelenjar getah bening tidak lebih besar dari 6 cm. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh, atau tumor mungkin masih terbatas pada nasofaring, atau mungkin telah tumbuh menjadi jaringan lunak rongga hidung atau orofaring, di sisi kiri atau kanan dari bagian atas tenggorokan. Tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening di leher terdekat di kedua sisi, ukuran kelenjar getah bening tidak lebih besar dari 6 cm. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh.
e. Stadium IVA:
Tumor telah tumbuh dan menyebar ke dalam tengkorak dan atau saraf kranial, hipofaring (bagian bawah tenggorokan), mata, atau pada jaringan di sekitarnya. Diperkirakan kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekat leher, ukuran kelenjar getah bening tidak lebih besar dari 6 cm. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh.
f. Stadium IVB:
Tumor mungkin diperkirakan telah meluas ke jaringan lunak di dekatnya atau ke tulang. Tumor juga telah menyebar ke kelenjar getah bening yang ukurannya lebih besar dari 6 cm dan atau berlokasi di daerah bahu di atas tulang selangka. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh (American Cancer
Society, 2013).
Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada laki–laki dan urutan ke 8 pada perempuan. Karsinoma nasofaring paling sering di fossa Rosenmuller yang merupakan daerah transisional epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Gejala dan tanda karsinoma nasofaring yang sering berupa benjolan di leher (78%), obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%) dan diplopia. Gejala lain termasuk adenopati leher, epistaksis, otitis media efusi, gangguan pendengaran unilateral atau bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus kranial, retrosphenoidal syndrome of Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan rahang), retroparotidian syndrome of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxviii
Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah dan leher), nyeri telinga yang
menjalar (Ariwibowo, 2013).
Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas terbanyak di daerah kepala dan leher. Kebanyakan penderita KNF datang berobat di klinik sudah stadium lanjut. Metode pengobatan kanker yang banyak digunakan saat ini adalah metode kemoterapi, radiasi, dan operasi. Metode-metode tersebut bertujuan untuk mengangkat jaringan kanker atau mematikan sel kanker, akan tetapi metode-metode tersebut belum maksimal, bahkan memberikan efek samping pada sel normal yang berada di sekitar kanker atau organ lain. Operasi akan berhasil pada beberapa tumor yang telah berkembang, tetapi sulit mengobati pada stadium awal metastasis. Pengobatan dengan radiasi mampu membunuh tumor lokal namun radiasi juga dapat menimbulkan resistensi kanker, sehingga senyawa kanker tersebut tidak sensitif. Terapi KNF dengan radioterapi konvensional seperti ini seringkali hasilnya kurang memuaskan. Kegagalan radioterapi konvensional (2
dimensional radiation therapy / 2 DRT) dalam memberantas (eradikasi) sel kanker
di nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar leher (loco-regional failure) cukup tinggi, mencapai angka 40%-80%. Selain itu, pasca radioterapi seringkali dijumpai metastasis jauh (15%-57%) (Kentjono, 2003; Multiawati, 2013).
Salah satu faktor resiko mayor terjadinya karsinoma nasofaring adalah virus Epstein Barr (Ariwibowo, 2013). Hampir semua sel kanker nasofaring mengandung bagian dari virus Epstein-Barr (EBV), dan kebanyakan orang dengan kanker nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini dalam darah mereka. Infeksi EBV sangat umum di seluruh dunia, sering terjadi pada masa kanak-kanak (American
Cancer Society, 2013).
3. Epstein-Barr virus
Epstein-Barr Virus (EBV) termasuk dalam genus Lymphocryptovirus,
subfamili Gamma-herpesvirinae, dan dari famili Herpesviridae. EBV merupakan virus komplek yang diselubungi envelope dan berkembang biak di dalam inti sel inang. EBV mampu menginfeksi limfosit-B yang dalam kondisi istirahat dan sel epitel, kemudian bermultiplikasi dan menetap sebagai infeksi laten dalam limfosit-B. Orang yang terinfeksi dapat menghasilkan virion, membawa CTLs (Cytotoxic T
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxix
Lymphocytes) virus yang spesifik, menghasilkan antibodi spesifik EBV, dan
kemudian berlabuh secara laten di limfosit-B yang terinfeksi (WHO, 2013).
Seperti virus herpes lainnya, EBV adalah virus DNA dengan protein inti berbentuk toroid yang dibungkus dengan DNA, sebuah nukleokapsid dengan 162 capsomers, disusun oleh protein tegument antara nukleokapsid dan amplop, dan amplop luar dengan eksternal virus yang dikodekan glikoprotein yang berbentuk runcing seperti ditunjukkan pada Gambar 4 (IARC, 1997).
Gambar 4. Virus Epstein-Barr (Cullen, 2010)
EBV dapat menginfeksi sel limfosit-β dan menyebabkan keganasan pada sel tersebut. Sel yang terinfeksi EBV akan mengekpresikan protein yang menjadikan sel resisten terhadap apoptosis. Salah satu model sel limfosit-β yang terinfeksi oleh
Eipstein-Barr Virus (EBV) yang biasanya digunakan untuk penelitian adalah sel
Raji (Diastuti dkk., 2009).
4. Infeksi Epstein-Barr virus (EBV) pada Karsinoma Nasofaring
Infeksi EBV yang laten dan persisten pada KNF menunjukkan pola laten yang salah satunya ditandai dengan ekspresi latent membrane protein-1 (LMP-1). LMP-1 merupakan onkogen virus yang mirip reseptor permukaan sel yang dapat mencegah sel yang terinfeksi EBV dari apoptosis dengan menginduksi protein anti-apoptotik seperti BCL-2. LMP-1 juga terlibat dalam jalur pensinyalan yang mengatur proliferasi sel dan apoptosis yaitu memicu progresifitas dan proliferasi sel melalui siklus sel (fase G1/S) dan inhibisi apoptosis. EBV dapat mengikat protein p53 normal dan menghilangkan fungsi protektifnya. Gen p53 merupakan salah satu dari gen supresor tumor. Gen ini mendeteksi kerusakan DNA, membantu perbaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxx
DNA melalui penghentian fase G1 dari siklus sel dan memicu gen yang memperbaiki DNA. Apabila terjadi kehilangan p53 secara homozigot, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi pada sel yang membelah sehingga sel akan mengalami transformasi keganasan (Yenita, 2012).
EBV menginfeksi sel-sel B di sirkulasi yang melalui orofaring, menghasilkan infeksi laten. EBV akan memicu limfosit B untuk berproliferasi, yang mana hal ini akan diekspresikan oleh spesific growth-promoting genes, yang mempunyai kemampuan untuk menjadi tumor. Ada beberapa jalur sinyal yang diindikasikan sebagai fungsi dari LMP 1 yaitu Nuclear Factor - NF-ĸB, JNK (c-Jun N Terminal Kinase)/AP-1 (Activator Protein-1), MAPK (Mitogen-activated Protein Kinase) dan Phosphoinositide 3-kinase (PI3K)-Akt:
a. LMP1 mengaktivasi NF-КB melalui TRAF1, TRAF2 dan TRAF3, yang juga menginduksi PI3K yang akan mengaktivasi Akt (protein kinase B). NF-КB aktif menginduksi immortalisasi sel dengan menghambat apoptosis sel melaui peningkatan regulasi aktivitas survivin, survivin merupakan anggota prtotein penghambat apoptosis yang menurunkan regulasi dari gen P21, hal ini menyebabkan kerja cyclin-dependent kinase 4 (CDK4) dalam mempromosikan progresi siklus sel melalui transisi G1/S.
b. JNK (c-Jun N Terminal Kinase) juga dikenal sebagai protein kinase yang aktif karena stress yang terlibat dalam kelangsungan hidup sel dan kematian sel. Biasanya, akibat dari aktivasi berkepanjangan dari JNK dapat menyebabkan apoptosis sel sedangkan aktivasi sementara menyebabkan kelangsungan hidup dan proliferasi seluler (aktivasi dari cycle 2/cyclin B (CDC2/cyclin B)) dengan cara menginhibisi gen penekan tumor p53.
c. Mitogen-activated protein kinase (MAPK) merupakan jalur sinyal yang memainkan peran kunci dalam regulasi ekspresi gen, pertumbuhan sel, dan survival sel. Keadaan abnormal pada sinyal MAPK dapat menyebabkan peningkatan atau tidak terkendalinya proliferasi sel dan ketahanan sel terhadap apoptosis. Anggota MAPK diantaranya adalah molekul sinyal Ras, Raf, MEK, dan ERK. Pada sel normal, faktor pertumbuhan ekstraseluler mengikat dan mengaktifkan reseptor tirosin kinase, hal ini menyebabkan penurunan sinyal pada ke bagian selanjutnya. Aktivasi dari ERK yang terus menerus dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxi
menginkativasi gen p27 yang merupakan protein pengatur regulasi siklus sel, inaktivasi dari gen p27 mengaktifkan kompleks CDK2/cyclin E yang menyebabkan sel memasuki fase S.
d. Phosphoinositide 3-kinase (PI3K) adalah kelompok enzim yang terlibat dalam fungsi sel yang beragam termasuk pertumbuhan sel, proliferasi, diferensiasi, motilitas, survival, dan pengedaran intraseluler. Aktivasi dari PI3K memicu terjadinya fosforilasi dan aktivasi serin / treonin kinase protein B (Akt), hal ini menyebabkan terjadinya degradasi dari cycli-dependent inhibitor p27 (Astuty, 2010; Tulalamba, 2012).
5. Cell Line Raji
Sel raji merupakan derivat cell line Burkitt’s lymphoma pada penderita kanker getah bening yang banyak ditemukan pada penderita kanker sebagai penyebab kematian. Sel ini melayang-layang pada medium sehingga tidak membutuhkan tripsin pada saat pengkulturan. Medium RPMI 1640 digunakan sebagai medium kultur yang banyak mengandung nutrisi yang baik untuk pertumbuhan sel. Sel Raji dipilih pada penelitian karena sel raji merupakan salah satu cell line yang aman digunakan pada uji sitotoksisitas, mudah dalam pengkulturan dan perlakuan (Wahyudi dan Djajanegara, 2008).
Salimi dan Zakaria (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa sel Raji berasal dari kultur sel lymphoblastoid yang diturunkan dari lymphoma Burkitt. Burkitt merupakan sejenis kanker yang terdapat pada sistem limpa khususnya pada limfosit B. Sel ini termasuk sel limfoblast yang secara morfologi berbentuk bulat dan tumbuh dalam suspensi tanpa melekat di permukaan. Sel Raji merupakan sel limfosit-β yang terinfeksi oleh EBV. Sel yang terinfeksi EBV akan mengekpresikan protein yang menjadikan sel resisten terhadap apoptosis (Komano et al., 1998
dalam Diastuti et al., 2009).
6. Siklus Sel
Siklus sel pada sel eukariotik merupakan suatu tahapan kompleks meliputi penggandaan materi genetik, pengaturan waktu pembelahan sel, dan interaksi antara protein dan enzim. Siklus sel pada sel eukaryotik dapat dibagi menjadi 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxii
tahap, yaitu: G1 (Gap 1), S (Sintesis), G2 (Gap 2), dan M (Mitosis). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 dimana tahap G1 merupakan selang antara tahapan M dengan S. Pada tahap ini sel terus tumbuh dan melakukan persiapan untuk sintesis DNA. Sel akan melakukan sintesis DNA dan terjadi proses replikasi kromosom pada saat berada di tahap S. Tahap G2, sel yang telah mereplikasi kromosom akan menduplikasi keseluruhan komponen seluler lainnya. Selain itu terjadi pula sintesis mRNA dan beberapa protein tertentu. Secara umum tahap G0, G1, S, dan G2 disebut juga sebagai tahap interfase. Tahap M terjadi mitosis/pembelahan sel, pergerakan kromosom bisa diikuti dari tengah ke tepi, akan menjadi sitokinesis (1 sel menjadi 2 sel), tahap ini terdiri dari empat sub tahapan, yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Kondisi tertentu, sel-sel yang tidak membelah, karena tidak berdiferensiasi, meninggalkan tahap G1 dan pindah ke dalam tahap G0. Sel-sel yang berada dalam tahap G0 sering disebut sedang beristirahat/ diam (quiescent) (Murti dkk., 2007; Albert et al., 2008).
Gambar 5. Siklus Sel (Reece et al., 2010).
G0 (quiscent) merupakan fase dimana sel berada pada fase G1 terlalu lama, pada fase ini, sel tetap menjalankan fungsi metabolisnya dengan aktif, tetapi tidak lagi melakukan proliferasi secara aktif. Sebuah sel yang berada pada fase G0 dapat memasuki siklus sel kembali, atau tetap pada fase tersebut hingga terjadi apoptosis (Sarmoko dan Larasati, 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxiii
7. Proliferasi
Proliferasi sel adalah pembelahan sel (cell division) dan pertumbuhan sel (cell
growth), yang mendasari mekanisme dan pengaturan proliferasi sel adalah siklus
sel. Proliferasi sel distimulasi oleh faktor pertumbuhan intrinsik, jejas, kematian dan kerusakan sel, mediator biokimiawi dari lingkungan. Kelebihan stimulus atau kekurangan inhibitor akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tak terkontrol atau terjadinya kanker. Penginduksian pertumbuhan sel dihubungkan dengan pemendekan siklus sel pada fase G0 sampai sel memasuki siklus sel, pada fase G0 sampai memasuki siklus sel terdapat penghambatan fisiologis untuk terjadinya proliferasi sel. Pertumbuhan sel dapat dicapai dengan memperpendek atau memperpanjang siklus sel (Hartono, 2009).
Proliferasi sel merupakan siklus pembelahan sel, dimana sel tersebut tumbuh, mereplikasi DNA-nya, dan kemudian membagi menjadi dua sel anak. Pada jaringan dewasa, ukuran proliferasi sel ditentukan oleh kecepatan proliferasi, diferensiasi, dan kematian oleh apoptosis. Mekanisme pertumbuhan yang paling penting adalah perubahan sel-sel yang dalam keadaan istirahat atau quiescent cells ke sel yang berproliferasi dengan membuat sel tersebut memasuki siklus sel (Laksmini, 2013).
Salah satu parameter utama dalam mengukur sifat proliferatif sel adalah cell
cycle progression. Proses ini diatur oleh regulator positif (onkogen) dan regulator
negatif (Tumor supressor gene) (Budiyastomo, 2010). Proliferasi siklus sel pada kondisi normal melalui tahapan sebagai berikut:
a. Faktor pertumbuhan terikat pada reseptor spesifik membran sel
b. Aktivasi reseptor faktor pertumbuhan yang bersifat sementara dan terbatas, kemudian akan mengaktivasi beberapa protein transduksi sinyal pada bagian membran plasma
c. Transmisi sinyal transduksi melintasi sitosol menuju inti second messenger d. Induksi dan aktivasi faktor pengendali pada inti yang menhinisiasi transkripsi
DNA
e. Sel kemudian memasuki siklus sel, menghasilkan pembelahan sel (Contrans 1999 dalam Budiyastomo, 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxiv
8. Apoptosis
Apoptosis merupakan proses kematian sel secara terprogram (programmed
cell death). Senyawa antitumor yang baik adalah senyawa yang dapat menginduksi
terjadinya apoptosis. Gen yang sangat berperan dalam peristiwa apoptosis adalah gen p53. Gen p53 juga berperan sebagai supresor tumor. Gen p53 merupakan salah satu gen penekan terjadinya tumor. Gen p53 merupakan “penjaga gawang” stabilitas genomik yang berperan dalam siklus regulasi DNA, apoptosis dan kontrol proliferasi sel (Nursid dkk., 2006).
Sitoplasma sel tidak keluar pada peristiwa apoptosis sehingga berbagai respon radang tidak terjadi. Apoptosis merupakan proses aktif yang memerlukan energi karena prosesnya terjadi oleh sel sendiri hingga mengakibatkan kematian sel. Sel yang apoptosis akan mengalami perubahan morfologi seperti: sel mengecil, terjadi kondensasi kromatin dan fragmentasi inti. Apoptosis memiliki peran dalam proses fisiologis autodestruksi seluler yang penting bagi perkembangan, pemeliharaan homeostasis dan pertahanan hospes organisme multiseluler. Apoptosis merupakan bagian dari perkembangan fisiologis tubuh normal selama masa perkembangan serta sebagai mekanisme homeostasis jaringan dan mekanisme pertahanan tubuh (Hadi, 2011).
Proses apoptosis ini diatur melalui 2 jalur yaitu jalur ekstrinsik (sitoplasma) melalui aktifitas Fas death receptor dengan mengaktivasi interaksi Fas-Fas ligand (FasL) dan jalur intrinsik (mitokondria) yang memacu pelepasan sitokrom C yang tergantung pada pengaturan protein Bcl-2 (B cell lymphoma) sebagai protein anti-apoptosis dan Bax sebagai protein pro-anti-apoptosis. Protein penekan tumor p53 terlibat pada proses pemacuan apoptosis dengan menginduksi ekspresi dari protein proapoptosis (Cahyanti, 2008; Meiyanto, 2006).
Menurut Hermawan (2012) selama proses apoptosis terjadi perubahan morfologi sel yang dapat dibagi dalam tiga fase yang ditunjukkan pada Gambar 5, yaitu:
a. Fase inisiasi atau induksi heterogen yang bergantung pada stimulus, sel menerima stimulus yang menginduksi kematian, kehilangan faktor-faktor yang menunjang ketahanan hidup, kekurangan suplai untuk metabolisme dan terjadi pengikatan reseptor yang meneruskan sinyal kematian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxv
b. Fase efektor, pada fase ini reaksi metabolik dengan pola yang lebih teratur, dan sel mengambil keputusan atau komitmen untuk “bunuh diri”.
c. Fase degradasi atau eksekusi saat sel-sel yang bersangkutan memperlihatkan gambaran biokimia dan morfologi apoptosis. Terjadi peningkatan berbagai aktivitas, termasuk peningkatan aktivasi enzim-enzim katabolik dan produksi
reactive oxygen species (ROS). Pada fase ini perubahan morfologi dan biokimia
sel, di antaranya fragmentasi DNA, degradasi berbagai jenis protein dan lain-lain menjadi lebih jelas. Semua sel mengalami apoptosis menurut pola tertentu dan menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengekspresikan semua komponen protein yang diperlukan untuk mengeksekusi kematian sel.
8. Uji Sitotoksik
Evaluasi preklinik merupakan salah satu hal yang penting untuk mengetahui potensi aktivitas neoplastiknya dalam pengembangan obat antikanker baru sebagai agen-agen kemoterapi kanker. Evaluasi ini tidak hanya digunakan untuk obat-obat
Gambar 6. Perubahan morfologi sel pada Apoptosis; 1.fase inisiasi, 2.fase efektor, 3. fase degradasi (Hermawan, 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxvi
antikanker, tetapi juga untuk obat-obat lainnya, kosmetik, zat tambahan makanan, pestisida dan lainnya. Evaluasi yang telah terstandarisasi untuk menentukan apakah suatu material mengandung bahan yang berbahaya (toksik) secara biologis disebut uji sitotoksisitas. Syarat yang harus dipenuhi untuk sistem uji sitotoksisitas di antaranya adalah sistem pengujian harus dapat menghasilkan kurva dosis-respon yang reprodusibel dengan variabilitas yang rendah, kriteria respon harus menunjukan hubungan linier dengan jumlah sel serta informasi yang didapat dari kurva dosis-respon harus sejalan dengan efek yang muncul pada in vivo. Salah satu metode yang umum digunakan untuk menetapkan jumlah sel adalah metode MTT (CCRC, 2012).
Uji MTT (Methylthiazol Tetrazolium) adalah uji sensitif, kuantitatif dan terpercaya. Reaksi MTT merupakan reaksi reduksi seluler yang didasarkan pada pemecahan garam tetrazolium MTT berwarna kuning menjadi kristal formazan berwarna biru keunguan. Metode perubahan warna tersebut digunakan untuk mendeteksi adanya proliferasi sel. Sel yang mengalami proliferasi, mitokondria akan menyerap MTT sehingga sel-sel tersebut akan berwarna ungu akibat terbentuknya kristal tetrazolium (formazan) (ATCC, 2011). Penambahan reagen
stopper (bersifat detergenik) akan melarutkan kristal berwarna formazan yang
kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader. Intensitas warna ungu yang terbentuk proporsional dengan jumlah sel hidup. Sehingga jika intensitas warna ungu semakin besar, maka berarti jumlah sel hidup semakin banyak (CCRC, 2012).
MTT merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menetapkan jumlah sel. Prinsip dari metode MTT adalah terjadinya reduksi garam kuning tetrazolium MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromid) oleh sistem reduktase. Suksinat tetrazolium yang termasuk dalam rantai respirasi dalam mitokondria sel-sel yang hidup membentuk kristal formazan berwarna ungu dan tidak larut air (CCRC, 2012). Enzim suksinat dehidrogenase pada mitokondria sel hidup mampu memecah MTT menjadi kristal formazan. Reaksi tersebut melibatkan piridin nukleotida kofaktor NADH dan NADPH yang hanya dikatalisis oleh sel hidup, sehingga jumlah formazan yang terbentuk sebanding dengan jumlah sel yang hidup. Semakin banyak sel yang hidup, semakin banyak kristal formazan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxvii
terbentuk (Biranti dkk., 2009). Penambahan reagen stopper/ SDS 10% (bersifat detergenik) pada proses akhir uji sitotoksik akan melarutkan kristal berwarna ini yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader (CCRC, 2012).
Ningsih (2011) menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mengetahui LC50 suatu
ekstrak uji terhadap sel uji dapat digunakan uji sitotosik metode MTT.
Gambar 7. Reaksi reduksi MTT menjadi formazan oleh enzim reduktase (Biranti dkk., 2009)
LC50 (Lethal Concentration) adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk
mematikan setengah populasi (50%) yang ada. Nilai LC50 tidak konstan, artinya
nilainya berbeda antar spesies yang satu dengan spesies yang lain karena adanya
variasi antar spesies. Nilai LC50 merupakan bentuk statistika yang didesain untuk
menggambarkan respon yang mematikan komponen dalam beberapa populasi dari suatu percobaan. Faktor yang berpengaruh di dalamnya antara lain: umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur (Finney, 1971 dalam Setiarto, 2009).
Tingkat toksisitas dari ekstrak tumbuhan dapat ditentukan dengan melihat
harga LC50-nya. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di
bawah 30 μg/ml, dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 30-1000 μg/ml, dan
dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 μg/ml. Tingkat toksisitas tersebut
memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil
harga LC50 semakin toksik suatu senyawa dan semakin berpotensi sebagai senyawa
antitumor. Sedangkan dilihat dari kemurniannya, suatu senyawa murni dianggap
memiliki aktivitas biologis terhadap sel kanker/toksik apabila nilai LC50<200 μg/ml
dan ekstrak dianggap memiliki aktivitas biologis apabila nilai LC50<1000 μg/ml
(Meyer et al,. 1982; Anderson, 1991 dalam Aprelia & Suyatno, 2013).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxviii
Uji sitotoksik selain digunakan untuk menentukan parameter nilai LC50 juga
dapat digunakan untuk menentukan nilai IC50-24 jam. Nilai IC50-24 menunjukkan
nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi sel sebesar 50% dan nilai ini merupakan patokan untuk melakukan uji pengamatan kinetika proliferasi sel (Ernawati, 2010).
Pelarut ekstrak yang digunakan pada uji sitotoksik adalah dimetil sulfoksida (DMSO). DMSO dipilih sebagai pelarut karena telah dilaporkan bahwa penggunaan DMSO tidak berpengaruh pada proliferasi sel. Penggunaan DMSO dilaporkan relatif tidak berpengaruh terhadap proliferasi sel (Maryati, 2007).
9. Skrining Fitokimia dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Skrining fitokimia merupakan uji kualitatif kandungan senyawa kimia dalam bagian tumbuhan, terutama kandungan metabolit sekunder yang di antaranya adalah alkaloid, antrakuinon, flavonoid, glikosida jantung, kumarin, saponin (steroid dan triterpenoid), tanin (polifenolat), minyak atsiri (terpenoid), dan sebagainya. Tujuan pendekatan skrining fitokimia adalah mengetahui kandungan bioaktif atau kandungan yang berguna untuk pengobatan dalam tumbuhan. Metode yang digunakan untuk melakukan skrining fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain sederhana, cepat, dapat dilakukan dengan peralatan minimal, bersifat semikuantitatif yaitu memiliki batas kepekaan untuk senyawa yang bersangkutan, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari, dan dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya senyawa tertentu dalam dari golongan senyawa yang dipelajari (Septyaningsih, 2010).
Prosedur uji dengan KLT dilakukan untuk lebih menegaskan hasil yang didapat dari skrining fitokimia. Karena berfungsi sebagai penegasan, maka uji KLT hanya dilakukan untuk golongan-golongan senyawa yang menunjukkan hasil positif pada skrining fitokimia seperti flavonoid. Uji KLT pada tanin dan polifenol tidak dilakukan karena tidak ditemukan prosedur yang tepat (Harborne, 1996 dalam Marliana et al., 2005).
Identifikasi senyawa hasil ekstraksi dilakukan dengan menginjeksikan larutan standar (dalam penelitian ini adalah kuersetin), larutan yang mengandung hasil ekstraksi pada plat kromatografi lapis tipis (KLT) dengan elusidasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xxxix
menggunakan fase gerak campuran n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan perbandingan (4:1:5), sehingga didapat nilai Rf (Retardation factor), bercak dan wama yang sama dari dari masing-masing larutan kemudian dibandingkan dengan nilai Rf bercak serta warna dari standar kuersetin. Hasil deteksi dengan menggunakan lampu UV pada panjang gelombang 366 nm (Koirewoa dkk., 2012). Data yang diperoleh dari hasil KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal, oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0 (Alegantina dan Isnawati, 2010).
B. Kerangka Pemikiran
Sel Raji merupakan „continous cell line’ yang diturunkan dari sel ß-Limfoma (kanker nasopharing) pada manusia (Lonza, 2011). Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas terbanyak di daerah kepala dan leher. Terapi KNF dengan radioterapi konvensional seperti ini seringkali hasilnya kurang memuaskan. Kegagalan radioterapi konvensional cukup tinggi (40%-80%), paska radioterapi seringkali dijumpai metastasis jauh (15%-57%) (Kentjono, 2003). Selain itu walaupun pengobatan dengan radiasi mampu membunuh tumor lokal namun radiasi juga dapat membunuh sel normal di sekitarnya (Lockshin et al., 2007 dalam Multiawati, 2013), dengan alasan tersebut maka diperlukan penelitian bahan alam yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan kanker nasofaring secara aman.
Sel Raji merupakan sel limfosit-β yang terinfeksi oleh Eipstein-Barr Virus
(EBV). Sel yang terinfeksi EBV akan mengekpresikan protein yang menjadikan sel
resisten terhadap apoptosis (Komano et al., 1998 dalam Diastuti et al., 2009). Infeksi EBV yang laten ditandai dengan ekspresi latent membrane protein-1 (LMP-1). LMP-1 merupakan onkogen virus yang mirip reseptor permukaan sel yang terlibat dalam jalur pensinyalan yang mengatur proliferasi sel dan apoptosis yaitu memicu progresifitas dan proliferasi sel melalui siklus sel (fase G1/S) dan inhibisi apoptosis. Virus Epstein-Barr dapat mengikat protein p53 normal dan menghilangkan fungsi protektifnya. Gen p53 merupakan salah satu dari gen supresor tumor (Yenita, 2012).
Virus Epstein Barr menginfeksi sel-sel B di sirkulasi yang melalui orofaring, menghasilkan infeksi laten. Virus Epstein Barr akan memicu limfosit B untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xl
berproliferasi, yang mana hal ini akan diekspresikan oleh spesific growth-promoting
genes, yang mempunyai kemampuan untuk menjadi tumor. Beberapa jalur sinyal yang
diindikasikan sebagai fungsi dari LMP 1 yaitu Nuclear Factor - NF-ĸB, JNK (c-Jun N Terminal Kinase)/AP-1 (Activator Protein-1), MAPK (Mitogen-activated Protein
Kinase) dan Phosphoinositide 3-kinase (PI3K)-Akt. NF-КB aktif menginduksi
immortalisasi sel dengan menghambat apoptosis sel melaui peningkatan regulasi aktivitas survivin, survivin merupakan anggota prtotein penghambat apoptosis yang menurunkan regulasi dari gen P21, hal ini menyebabkan kerja cyclin-dependent kinase 4 (CDK4) dalam mempromosikan progresi siklus sel melalui transisi G1/S. JNK (c-Jun N Terminal Kinase) dapat menyebabkan apoptosis sel sedangkan aktivasi sementara menyebabkan kelangsungan hidup dan proliferasi seluler (aktivasi dari cycle 2/cyclin B (CDC2/cyclin B)) dengan cara menginhibisi gen penekan tumor p53. Keadaan abnormal pada sinyal MAPK dapat menyebabkan peningkatan atau tidak terkendalinya proliferasi sel. Anggota MAPK diantaranya adalah molekul sinyal Ras, Raf, MEK, dan ERK. Aktivasi dari ERK yang terus menerus dapat menginkativasi gen p27 yang merupakan protein pengatur regulasi siklus sel, inaktivasi dari gen p27 mengaktifkan kompleks CDK2/cyclin E yang menyebabkan sel memasuki fase S. Aktivasi dari PI3K memicu terjadinya fosforilasi dan aktivasi serin / treonin kinase protein B (Akt), hal ini menyebabkan terjadinya degradasi dari cycli-dependent inhibitor p27 (Astuty, 2010; Tulalamba, 2012).
Tumbuhan benalu yang selama ini sering dikenal sebagai parasit ternyata memiliki khasiat, yaitu mampu menghambat laju pertumbuhan penyakit kanker, karena di dalamnya terkandung kuersetin (Sudaryono, 2011). Kuersetin berperan dalam megaktifkan/meningkatkan ekspresi protein p53 (Lamson et al., 2000; Saifillah, 2011). Protein p53 mampu menginduksi protein p21 yang menginaktifkan CDK2 dan CDK4 (fosforilasi Rb (Retinoblastoma) terhambat dan pelepasan faktor transkripsi E2F terhenti, DNA mempunyai kesempatan memperbaiki diri sebelum masuk ke tahap pembelahan selanjutnya (dari fase G1 ke fase S), jika kerusakan DNA berat dan tidak dapat diperbaiki maka sel akan memasuki jalur apoptosis (Budiyastomo, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xli
Selain kuersetin (flavonoid) di dalam daun D. pentandra L. Miq menggunakan pelarut polar tekandung beberapa senyawa metabolit yang bersifat antikanker seperti terpenoid, tanin saponin dan alkaloid (Fajriah, 2007; Ikawati, 2008). Alkaloid dan terpenoid dapat mengaktifkan gen p53 dengan mekanisme penghambatan kerja DNA Topoisomerase II yang menyebabkan kerusakan DNA sel tumor (Sukardiman dkk, 2006; Setiawati dkk, 2007). Saponin dapat menghambat pembentukan Bcl-2 yang diekspresikan terlalu tinggi, Bcl2 merupakan anggota famili protein anti apoptotik Senyawa saponin telah diketahui dapat meningkatkan ekspresi p53, dan dapat pula memicu G1 cell cycle arrest (Fitria et al., 2011). Tanin yang merupakan senyawa polifenol dapat meningkatkan protein p27 yang menghambat siklus sel (Nam et al. 2001 dalam Sahid et al. 2013). Protein p27 adalah protein yang mengikat siklin dan cdk
Gambar 8. Bagan alur kerangka pemikiran EBV
SEL
sebelum diberi ekstrak setelah diberi ekstrak Keterangan:
meningkatkan
menurunkan/menghambat mempengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xlii
sehingga terjadi hambatan menuju fase S (Wuryanto, 2004). Keberadaan metabolit sekunder yang bersifat antikanker yang terkandung di dalam ekstrak daun D. pentandra L. Miq diharapkan mampu menghambat proliferasi sel Raji.
C. Hipotesis
1. Ekstrak etanol daun benalu kersen (D. pentandra L. Miq) mengandung senyawa metabolit sekunder yang dapat dideteksi secara kualiatif
2. Pemberian ekstrak etanol daun benalu kersen (Dendrophthoe pentandra L. Miq) dapat menghambat proliferasi sel Raji secara invitro