• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Mamalia

Mamalia berasal dari kata mammilae yang berarti hewan menyusui, suatu kelas vertebrata (hewan bertulang belakang) dengan ciri seperti adanya bulu di badan dan adanya kelenjar susu pada betina. Mamalia terdiri dari monotremata (hewan berkloaka atau mamalia petelur), marsupialia (hewan berkantung atau hewan dengan kantung tempat anaknya tinggal beberapa waktu sesudah lahir) dan mamalia placental disebut juga placentalia (hewan yang memberi makan pada janin melalui placenta sejati) (Van Hoeve 1992).

Van Hoeve (1992) juga menyatakan bahwa mamalia merupakan kelompok tertinggi taksonominya dalam dunia hewan. Secara umum mamalia memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Tubuh biasanya ditutupi rambut yang lepas secara periodik, kulit banyak mengandung kelenjar keringat dan kelenjar susu.

2. Berjalan tegak, memiliki empat anggota kaki (kecuali anjing laut dan singa laut tidak memiliki kaki belakang), masing-masing kaki memiliki kurang lebih lima jari yang bermacam-macam bentuknya disesuaikan dengan fungsinya. Tungkai tubuh ada di bawah badan.

3. Heterodontia (beranekaragaman jenis gigi dengan bermacam fungsi) 4. Pernafasan dengan paru-paru, hasil ekresi berupa cairan urine.

5. Homoiothermia (hewan berdarah panas). Suhu tubuh tidak dipengaruhi suhu lingkungan.

6. Hewan jantan memiliki alat kopulasi berupa penis, fertilisasi terjadi di dalam tubuh hewan betina.

Ukuran tubuh mamalia bermacam-macam, yang terkecil kurang lebih 5 cm (tikus kecil), yang besar adalah gajah dan yang paling besar adalah ikan paus biru atau blue whale (Balanophora musculus) yang bisa mencapai panjang 8 m dan berat 115 ton (Jasin 1992 dalam Lamin 1997).

Mamalia umumnya dibagi dalam dua kelompok besar yaitu mamalia besar dan kecil. Mamalia kecil adalah mamalia yang berat badan dewasanya antara 2 gram hingga 5 kg. Jenis-jenis ini antara lain adalah kelelawar (Chiroptera), bajing

(2)

dan tikus (Rodentia), tupai (Scandentia) dan banyak jenis lainnya. Sedangkan mamalia besar adalah mamalia yang beratnya diatas 5 kg (Jasin 1992 dalam Lamin 1997).

2.2 Habitat Mamalia

Satwaliar dapat mengubah keperluannya terhadap pelindung melalui pengaturan baik secara anatomis, fisiologis ataupun adaptasi perilaku. Setiap jenis satwaliar memerlukan pelindung yang berbeda-beda. Pada umumnya mamalia dapat menggunakan tempat bersarang yang sama pada lubang pohon atau pada lantai hutan.

Lekagul dan McNeely (1977) dalam Solichin (1997) menyatakan bahwa ruang dimana satwaliar hidup adalah habitat alaminya yang mungkin dapat berupa hutan evergreen, sungai, hutan deciduous, gua kapur, hutan mangrove, sawah, kota ataupun lainnya. Beberapa jenis mungkin dapat ditemukan dalam kisaran yang cukup luas dari berbagai macam tipe habitat dan lainnya mungkin dapat ditemukan dalam habitat mikro yang spesifik. Jenis mamalia mungkin bersifat teristerial, arboreal, aerial, caverniculous (hidup di gua-gua), fossorial (di terowongan-terowongan), aquatik atau gabungan dari berbagai tipe di atas.

Mamalia hidup di berbagai habitat, mulai dari kutub sampai daerah equator. Beberapa jenis mamalia kebanyakan ditemukan di dataran rendah, lainnya kebanyakan ditemukan di daerah pegunungan serta beberapa jenis di pegunungan tinggi. Habitat yang sesuai bagi suatu jenis satwa belum tentu sesuai untuk jenis lainnya. Hal ini disebabkan karena setiap individu menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra 2002).

2.3 Penyebaran Mamalia

Penyebaran mamalia memiliki kecenderungan untuk dibatasi oleh penghalang-penghalang fisik (sungai, tebing dan gunung) serta penghalang ekologis (batas tipe hutan dan adanya spesies saingan). Adanya penghalang-penghalang tersebut menyebabkan mamalia menyesuaikan diri secara optimum dengan habitatnya. Hal ini juga yang menyebabkan adanya satwa endemis pada habitat tertentu.

(3)

Menurut Alikodra (2002), wilayah penyebaran dari banyak spesies mamalia masih sedikit yang diketahui dan hampir semua koleksi mamalia baru yang ditemukan khususnya di Asia Tenggara menunjukkan adanya batas penyebaran yang baru. Perubahan yang dilakukan manusia terhadap habitat telah mengubah penyebaran banyak spesies mamalia.

Beberapa ordo penyebarannya tidak mencapai fauna Orientalis, seperti ordo Macroscelidea, Edentata, Hyracoidea dan Tubudentata. Sedangkan ordo Marsupialia dan Monotremata penyebarannya hanya di wilayah Australis dan sebagian mencapai Indonesia bagian timur. Ordo Demoptera dan suku Hylobatidae merupakan fauna endemik daerah Orientalis.

Fauna Sumatera sangat erat hubungannya dengan fauna yang terdapat di Semenanjung Malaysia dengan relatif sedikit mamalia endemik, misalnya kelinci Sumatera (Nesolagus netsheri). Sesuai dengan kondisi biogeografisnya, Pulau Kalimantan (Mamalia endemik sebanyak 18 jenis) memiliki jenis-jenis satwaliar endemik yang lebih tinggi daripada Pulau Sumatera (Mamalia endemik sebanyak 10 jenis) (Whitten et al 1987 dalam Alikodra 2002).

Mamalia di wilayah Sunda Besar (Sumatera, Kalimantan dan Jawa) berkerabat dekat dengan fauna Benua Asia meskipun banyak perbedaan antara ketiga pulau utama tersebut. Tetapi terdapat perbedaan menarik antara pulau-pulau tersebut seperti badak (Rhinoceros sp) dan harimau Sumatera (Panthera tigris Sumaterae) yang terdapat di Sumatera dan Jawa tetapi tidak terdapat di Kalimantan. Beruang madu (Helarctos malayanus), macan dahan (Neofelis nebulosa) dan gajah Sumatera (Elephas maximus Sumateranus) yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan dan tapir (Tapirus indicus) di Sumatera (Zon 1979 dalam Solichin 1997).

2.4 Keanekaragaman Jenis Mamalia

Keanekaragaman mamalia tergolong tinggi. Saat ini, di dunia tercatat 26 ordo, 136 famili, 1135 genera, dan 4.629 spesies. Hasil penelitian ahli mamalia dunia perwakilan South-East Asian Mammal Databank, Gianluca Catullo, selama 2001-2004, tercatat 5.743 spesies.

(4)

Di Indonesia tercatat 700 jenis mamalia yakni 12 % dari total mamalia di dunia. Dari 700 jenis mamalia yang tercatat, 200 di antaranya kelompok rodentia (binatang pengerat) dan 210 jenis kelelawar. Sekitar 70 spesies merupakan satwa dilindungi (Purnama 2006).

Di Sumatera terdapat tidak kurang 180 jenis mamalia yang tersebar di berbagai tipe habitat, baik areal bervegetasi alam atau areal budidaya (Van Strein 1986 dalam Kartono et al 2000). Dari keseluruhan jenis mamalia tersebut, umumnya penyebarannya akan mengikuti atau sesuai dengan pola lingkungan fisiknya.

2.4.1 Areal Bervegetasi Alam

Alikodra (2002) menyatakan bahwa kebanyakan satwaliar tergantung pada areal berhutan terutama untuk memenuhi kebutuhan makanan dan berlindung. Tiap tipe hutan memiliki vegetasi khas yang beda-beda dan jenis-jenis mamalia yang mendiami tipe hutan tersebut juga berbeda. Hutan hujan tropis Sumatera merupakan rumah bagi berbagai makhluk hidup. Banyak di antaranya yang merupakan jenis hewan yang terancam punah, seperti orangutan Sumatera (Pongo pygmeus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae), kelinci Sumatera (Nesolagus netsheri), tapir (Tapirus indicus) dan badak Sumatera (Dicerorhinus Sumaterae). Di hutan hujan tropis juga tumbuh berbagai tumbuhan endemik, seperti kantong semar, bunga terbesar di dunia Rafflesia, dan bunga tertinggi Amorphophallus (Tigerbear 2007).

Pada areal hutan gambut, tumbuhan bawah tidak berkembang sehingga kurang disenangi herbivora. Satwaliar sangat terbatas. Hutan gambut di sekitar Danau Pulau Besar dan Danau Bawah (Riau) yang diteliti Alikodra (1985) dalam Alikodra (2002) menemukan beberapa jenis primata seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trachypithecus auratus), beruk (Macaca nemestrina) dan siamang (Hylobates syndactilus), kucing hutan (Felis bengalensis) dan babi hutan (Sus scrofa), serta pada beberapa tempat dapat ditemukan beruang (Herlarctos malayanus).

Umumnya mamalia yang ditemukan di hutan rawa adalah jenis-jenis yang tinggal di atas pohon, terutama primata (Macaca fascicularis) dan mamalia

(5)

Sciuridae. Jenis mamalia yang ditemukan pada hutan pantai juga sangat terbatas. Umumnya primata seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung (Trachypithecus auratus) yang sering turun ke pantai untuk mencari makan serta mamalia Sciuridae. Hutan mangrove digunakan sebagai tempat bersembunyi kucing hutan (Felis marmorata) serta tempat tidur dan mencari makan berbagai jenis primata. Di Resort Way Kanan, TN. Way Kambas, Lampung ditemukan juga berang-berang dan linsang.

Kartono et al (2000) yang meneliti beberapa tipe habitat di Muara Bungo Jambi, menemukan jumlah jenis mamalia selain tikus dan kelelawar berbeda-beda tiap tipe habitat. Pada hutan primer ditemukan 7 jenis mamalia, pada hutan bekas tebangan dan hutan karet alam ditemukan 9 jenis mamalia dan pada areal hutan tanaman industri ditemukan 3 jenis mamalia.

2.4.2 Areal Budidaya (Pertanian, Pemukiman dan Perkebunan)

Selain di areal yang berhutan, satwaliar juga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat di luar kawasan hutan atau areal yang tak berhutan, seperti : areal pertanian, pekarangan atau areal perkebunan (Alikodra 2002).

1. Areal Pertanian

Jenis mamalia yang sering ditemukan pada areal pertanian adalah mamalia rodentia, terutama mamalia famili Muridae (tikus-tikusan). Mamalia Rodensia merupakan mamalia pengerat dan biasanya mengasah gigi serinya dengan cara mengkrikit benda-benda keras di sekitarnya. Oleh sebab itu, mamalia rodensia berperan sebagai hama baik di daerah pertanian maupun perkotaan. Suyanto (1979) mengungkapkan pada percobaan dalam rumah kaca, seekor tikus dapat merusak 103 batang padi hanya dalam waktu sehari.

2. Areal Pemukiman

Pekarangan merupakan sebidang lahan milik perseorangan, sehingga pemilik memiliki kebebasan menanami atau tidak menanami sama sekali pekarangan yang dimilikinya. Jika pekarangan ditanami dengan tanaman jenis buah-buahan akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan burung, serangga, kalong dan juga bajing. Bajing, kalong dan kukang datang untuk

(6)

mencari buah-buahan di pekarangan. Disamping untuk mencari makan, sering kali pohon-pohon pekarangan juga dijadikan sebagai tempat tidur dan bersarang (Alikodra 2002).

3. Areal Perkebunan Kelapa Sawit

Di Indonesia, areal kelapa sawit pada saat ini mencapai areal seluas lebih dari 5 juta hektar yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, pantai timur Sumatera (Sumatera Selatan dan Riau), Jambi, Bengkulu, Kalimantan, Jawa serta mulai di kembangkan di Sulawesi, dan Papua.

Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi. Selain tanaman utama, biasanya pada areal perkebunan ada areal khusus untuk pemukiman dan perkantoran, areal perlindungan setempat, kebun masyarakat (tanamannya sama dan ada yang tidak sama dengan tanaman perkebunan setempat), bahkan areal lain yang berbatasan atau berada di dalam kebun (semak belukar dan hutan produksi).

Menurut kajian Bharian (2007), di kawasan kebun sawit Serawak terdapat lebih 268 spesis flora dan fauna termasuk serangga, reptilia, ikan dan mamalia. Kebun kelapa sawit tidak memberikan peluang yang banyak bagi satwa. Beberapa jenis tikus dan ular ditemukan pada areal ini. Namun, keanekaragaman jenis burung yang ada sangat rendah.

Alikodra dan Santosa (1987) dalam Alikodra (2002) meneliti daerah perbatasan antara hutan produksi yang dapat dikonversi dengan daerah perkebunan kelapa sawit Koto Kampar dan Kalianta (Kabupaten Kampar) menjumpai 20 jenis mamalia penting, 12 jenis diantaranya adalah jenis mamalia yang dilindungi, yakni tapir (Tapirus indicus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae), landak (Hystrix bractyura), gajah (Elephas maximus), sambar (Cervus unicolor), napu (Tragulus napu), kijang (Muntiacus mutjak), linsang (Prionodon linsang), kancil (Tragulus javanicus), beruang madu (Helarctos malayanus), kucing hutan (Felis sp) dan siamang (Hylobates syndactilus).

Satwaliar juga banyak yang menggunakan areal kebun sawit sebagai habitat, sehingga beberapa hal sering menjadi hama tanaman. Adanya satwaliar pada perkebunan sawit sering menimbulkan permasalahan. Gajah (Elephas maximus),

(7)

babi hutan (Sus scrofa), dan rusa (Cervus unicolor) mempunyai potensi untuk merusak tanaman muda. Babi hutan sering masuk ke kebun kelapa sawit yang berdekatan dengan hutan. Beberapa jenis mamalia kecil, seperti tikus juga merupakan masalah bagi buah kelapa sawit (Anonymous 1978; Anwar dkk. 1984; Wrigley 1985 dalam Alikodra 2002).

2.5 Dampak Perkebunan Sawit Terhadap Keanekaragaman Jenis Mamalia Untuk beberapa jenis satwaliar, adanya kegiatan penebangan hutan untuk alih fungsi lahan menyebabkan terancamnya kelestarian jenis satwa. Kegiatan alih fungsi lahan menyebabkan hilangnya beberapa jenis satwa terutama satwa yang tergolong langka. Beberapa jenis satwaliar (terutama satwaliar penghuni hutan hujan tropik yang beradaptasi dengan kehidupan arboreal) tidak dapat menyesuaikan diri terhadap gangguan struktur hutan. Tampaknya pilihan yang menentukan adalah antara punah dan migrasi. (Lumme 1994 dalam Solichin 1997).

Daerah-daerah perkebunan yang sekarang dibangun terutama untuk perkebunan sawit di Sumatera, semula merupakan hutan produksi yang dapat dikonversi. Pada kenyataannya hampir semua hutan di Sumatera merupakan habitat satwaliar yang dilindungi seperti Gajah (Elephas maximus), Tapir (Tapirus indicus) dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae). Sehingga pembukaan hutan mempersempit ruang gerak satwa-satwa tersebut, akibatnya tanaman kebun sawit menjadi objek makanan maupun gangguan satwaliar (Alikodra 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi terhadap parameter bobot segar konsumsi tanaman antara konsentrasi biourine dan dosis nitrogen (Tabel

Permasalahan desain pada proyek ini, yaitu menciptakan desain yang sesuai dengan kebutuhan dan sirkulasi yang aksesibel bagi para siswa khususnya yang penyandang

91 ناونعلا رصعلا ءاملع دنع جاتنلإا ةيرظن : ى ايفاو هلعيج ام تاحلاصلااو تلايدعتلا نم هيف انلخدأو هانشتفو ثحبلا اذه انعلاط دقو ماعلا

Data simpanan merupakan simpanan dari data yang dapat berupa suatu file atau database pada sistem komputer, simpanan data dapat disimbolkan dengan garis horizontal

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak lamun yang berasal dari Pulau Bonebatang dan Pulau Laeae memiliki daya hambat terhadap jamur uji Candida albicans dan

menggunakan punggung kaki siswa Sekolah Sepakbola Bhineka Indonesia Kota Batu dalam melakukan teknik dasar shooting yang benar. Peningkatan

Gunamengat asihalt er sebut ,makaDeput iBi dang Pencegahan BNN RI memf asi l i t asi dengan pembent ukanRel awanAnt iNar koba.Kehadi r an Rel awanAnt iNar kobadi har apkandapatmenj

Dodge (dalam Leary, 2001) menyatakan bahwa perspektif atribusional menjadi salah satu hal yang berperan dalam munculnya agresi, tokoh lainnya yaitu Krahe (2005)