• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warlinson Girsang Staf Pengajar Kopertis Wilayah I DPK USI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Warlinson Girsang Staf Pengajar Kopertis Wilayah I DPK USI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TINGKAT DOSIS HERBISIDA Isopropilamina glifosat DAN

SELANG WAKTU TERJADINYA PENCUCIAN SETELAH APLIKASI

TERHADAP EFEKTIVITAS PENGENDALIAN GULMA PADA

PERKEBUNAN KARET (Hevea brasiliensis) TBM

Warlinson Girsang

Staf Pengajar Kopertis Wilayah I DPK USI ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas herbisida Isopropilamina glifosat dan pengaruh selang waktu pencucian setelah aplikasi untuk mengendalikan gulma pada lahan karet TBM. Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT), perlakuan terdiri atas 2 faktor yaitu tingkat dosis herbisida sebagai petak utama dan waktu terjadinya pencucian setelah aplikasi herbisida sebagai anak petak. Tingkat dosis yang diuji terdiri atas 4 taraf berturut-turut 1,5; 2,0; 2,5; dan 3,0 l/ha. Sedangkan selang waktu terjadinya pencucian diuji 3 taraf perlakuan, berturut-turut pencucian terjadi setelah 2, 4, dan 6 jam setelah aplikasi herbisida. Hasil penelitian menunjukkan Isopropilamina glifosat efektif mengendalikan gulma Cyrtococcum acrescens dan Imperata cylindrica, tetapi tidak efektif untuk mengendalikan gulma jenis Nephrolepis biserrata (paku-pakuan). Tingkat dosis aplikasi yang rendah (1,5 l/ha) memperlihatkan kemampuan mengendalikan gulma yang menyamai aplikasi dosis tinggi (3,0 l/ha). Pencucian oleh air hujan selang waktu 2 jam setelah aplikasi herbisida, tidak mengurangi efektivitas daya bunuh herbisida. Tidak terlihat pengaruh interaksi perlakuan tingkat dosis dan selang waktu terjadinya pencucian untuk menekan pertumbuhan gulma.

Kata kunci: Isopropilamina glifosat, Pencucian, Gulma, Karet

PENDAHULUAN

Pengendalian gulma di perkebunan karet merupakan keharusan, sebab gulma merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha perkebunan karet. Jika gulma dibiarkan tumbuh bersamaan dengan tanaman karet, akan menimbulkan kerugian. Kehadiran gulma menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan, terutama tanaman karet di pembibitan dan tanaman belum menghasilkan (TBM).

32

Masalah yang ditimbulkan gulma pada masa pertumbuhan karet periode kritis (umur 1 – 4 tahun) nyata mempengaruhi pertumbuhan karet. Nasution (1986) melaporkan pengaruh negatif gulma pada karet TBM, antara lain menyebabkan usia matang sadap menjadi terhambat dan jumlah pohon yang dapat disadap berkurang, serta mutu sadapan menurun. Hal ini disebabkan ukuran lingkar

batang yang tidak berkembang sebagaimana mestinya. Selain itu diketahui pertumbuhan dan produksi lateks

selama enam tahun pertama semenjak penyadapan sangat nyata tertekan akibat persaingan pada areal yang ditumbuhi gulma. Fakta ini terjadi karena gulma menyaingi tanaman dalam penyerapan unsur hara, air, cahaya matahari, dan ruang tempat tumbuh. Selain itu beberapa jenis gulma mengeluarkan zat allelopat melalui akar dan daun yang berpengaruh buruk menghambat pertumbuhan tanaman. Gulma juga mempersulit pekerjaan pemeliharaan tanaman, bahkan adakalanya menjadi tempat perlindungan hama dan penyakit tanaman. Melihat akibat yang ditimbulkan gulma, maka perlu dilakukan tindakan pengendalian yang teratur dan terencana.

Pengendalian gulma secara kimiawi merupakan salah satu alternatif dari cara-cara pengendalian yang ada. Dengan cara ini, pekerjaan dalam skala yang luas dapat lebih cepat diselesaikan, serta pada situasi dan kondisi tertentu relatif lebih menghemat biaya. Dewasa ini, pengendalian gulma pada lahan perkebunan lebih condong menggunakan Penggunaan EM-4 dalam Pengomposan Limbah Teh Padat (Murni Sari Rahayu dan Nurhayati)

(2)

cara kimia yaitu dengan mengaplikasikan herbisida.

Untuk mengendalikan gulma di perkebunan karet, cukup banyak jenis herbisida yang ditawarkan beredar di pasaran, tetapi belum tentu semua efektif untuk mengendalikan gulma yang ada. Salah satu di antara jenis herbisida yang direkomendasikan Komisi Pestisida Departemen Pertanian ialah herbisida berbahan aktif Isopropilamina glifosat.

Glifosat termasuk herbisida purna

tumbuh yang berspektrum luas, bersifat tidak selektif, dan sangat efektif untuk mengendalikan rumput tahunan, gulma berdaun lebar dan gulma yang memiliki perakaran dalam (Sutikno, 1992; Sumintapura, 1980). Tipe formulasi herbisida ini adalah aqua solution yang berbentuk pekatan berwarna kuning kecoklatan yang larut dalam air. Cara kerja herbisida

Isopropilamina glifosat bersifat sistemik,

sehingga dapat mematikan seluruh bagian gulma termasuk akar dan bagian vegetatif di dalam tanah. Hal ini terjadi, karena partikel herbisida yang bersifat racun ditranslokasikan dari daun sampai ke bagian akar di dalam tanah.

Penggunaan herbisida memberikan harapan baik, tetapi mutlak diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang teknik pengendalian gulma secara kimiawi. Termasuk di antaranya penentuan jenis herbisida, cara pemakaian, ketepatan dosis, dan waktu aplikasi.

Tingkat dosis aplikasi menentukan efektivitas penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma, sekaligus mempengaruhi efisiensi pengendalian secara ekonomi. Penggunaan dosis aplikasi yang terlalu rendah, menyebabkan tujuan pengendalian tidak berhasil. Sebaliknya dosis yang terlalu tinggi, di samping terjadi pemborosan, juga akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.

33 Waktu aplikasi herbisida juga

mempengaruhi efektivitas pengendalian gulma. Penyemprotan yang segera diikuti oleh hujan akan mengakibatkan herbisida tercuci, sehingga efikasi berkurang sebab partikel herbisida belum sempat berpenetrasi ke dalam kutikula daun (Djojosumarto, 2000). Apabila hal ini terjadi, akan mengakibatkan gulma tetap bertahan hidup atau hanya mematikan

sebagian gulma yang pada akhirnya gulma dapat tumbuh kembali. Waktu melakukan penyemprotan sebaiknya didukung oleh faktor cuaca yang menguntungkan, sehingga tidak terjadi pencucian herbisida. Untuk keberhasilan penyemprotan, selang waktu turunnya hujan setelah aplikasi menjadi faktor yang penting diperhatikan. Pada petunjuk teknis pemakaian herbisida, sebagian mencantumkan tenggang waktu minimal turunnya hujan setelah aplikasi, tetapi petunjuk tersebut masih perlu diuji kebenarannya.

Atas dasar uraian di atas, maka penulis melakukan penelitian yang bertujuan mengetahui efektivitas herbisida

Isopropilamina glifosat dan pengaruh

selang waktu pencucian untuk mengendalikan gulma pada lahan karet (Hevea brasiliensis) TBM.

Hipotesis yang diajukan: ada tingkat dosis Isopropilamina glifosat yang efektif untuk mengendalikan gulma pada lahan pertanaman karet TBM, ada pengaruh selang waktu terjadinya pencucian terhadap efektivitas Isopropilamina glifosat untuk mengendalikan gulma pada lahan pertanaman karet TBM, dan ada interaksi tingkat dosis Isopropilamina glifosat dan selang waktu pencucian terhadap efektivitas pengendalian gulma pada lahan pertanaman karet TBM.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di kebun karet rakyat TBM (umur 2 tahun) Nagori Bukitbayu Jawa Maraja Kabupaten Simalungun pada bulan Maret - Mei 2003. Bahan penelitian terdiri dari herbisida Tamaris 240 AS (bahan aktif Isopropilamina glifosat), air pencampur, dan vegetasi gulma yang tumbuh pada lahan pertanaman karet. Alat yang digunakan antara lain knapsack sprayer, ember, meteran, tali, gelas ukur, dan gembor.

Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT) dengan pola percobaan acak kelompok. Perlakuan terdiri atas 2 faktor yaitu tingkat dosis herbisida sebagai petak utama, dan selang waktu terjadinya pencucian sebagai anak petak. Tingkat dosis yang diuji terdiri atas 4 taraf berturut-turut 1,5; 2,0; 2,5; dan 3,0 l/ha. Sedangkan selang waktu terjadinya

(3)

Pengaruh Tingkat Dosis Herbisida Isopropilamina glifosat dan Selang Waktu Terjadinya Pencucian Setelah Aplikasi terhadap Efektivitas Pengendalian Gulma pada Perkebunan Karet (Hevea brasiliensis)

TBM (Warlinson Girsang) 34

pencucian diuji 3 taraf perlakuan, berturut-turut pencucian terjadi setelah 2, 4, dan 6 jam setelah aplikasi herbisida dilakukan.

Perlakuan pencucian setelah aplikasi herbisida, dilakukan dengan menyiramkan air bersih secara merata sebanyak 7,5 l/plot, dengan alat gembor pada

ketinggian 50 cm dari permukaan vegetasi gulma.

Peubah yang diamati ialah persentase kematian dan pertumbuhan kembali gulma (regrowth). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah

yang diamati, Tabel 1. Nilai Summed Dominansi Ratio (%) Spesies Gulma Sebelum Aplikasi Herbisida

No Latin Lokal Nama Gulma Family SDR % R

1 Cyrtococcum acrescens

Kretekan Gramineae 57,09 1

2 Imperata cylindrica Lalang Gramineae 21,72 2 3 Mimosa invisa Putri malu Mimosaceae 11,04 3

4 Mimosa pudica Putri malu Mimosaceae 5,48 4 5 Nephrolepis biserrata Paku

harupat Densteadtiaceae 4,66 5

Total 100 -

Jenis Spesies 5 -

Rerata SDR 20 -

Keterangan: SDR = Summed Dominansi Ratio R= Ranking (tingkat dominansi) dilakukan pengujian statistik dengan

menyusun daftar sidik ragam (DSR). Perlakuan yang menunjukkan pengaruh nyata dilanjutkan pengujian beda rataan dengan uji jarak Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Gulma

Hasil identifikasi gulma yang tumbuh pada lahan penelitian beserta tingkat dominasinya sebelum aplikasi herbisida terlihat pada Tabel 1.

Spesies gulma yang tumbuh dominan dengan nilai SDR di atas rata-rata, ialah jenis gulma Cyrtococcum acrescens (Graminae) dan Imperata cylindrica (Graminae). Spesies gulma lainnya memiliki nilai rata-rata SDR di bawah rata-rata, sehingga tidak dianalisis sebab keberadaannya tidak mendominasi lahan penelitian.

Efektivitas Herbisida Isopropilamina glifosat Mengendalikan Gulma Cyrtococcum

acrescens

Hasil analisis sidik ragam data pengamatan pada 20, 40, dan 60 hari setelah aplikasi (HSA) menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan perbedaan tingkat dosis Isopropilamina glifosat dan

perbedaan selang waktu terjadinya pencucian, tidak memperlihatkan

perbedaan yang nyata terhadap kemampuan mematikan gulma. Interaksi kedua faktor yang diteliti juga tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata untuk menekan pertumbuhan gulma

Cyrtococcum acrescens.

Tabel 2. Hasil Uji Beda Rataan Kematian Gulma Cyrtococcum acrescens Akibat Perlakuan Tingkat Dosis Herbisida Isopropilamina glifosat dan Selang Waktu Terjadinya Pencucian

Perlakuan 20 HSA Kematian Gulma (%) 40 HSA 60 HSA

Dosis Aplikasi 1,5 l/ha 32,75 a 57,66 a 93,65 a 2,0 l/ha 33,76 a 57,61 a 94,25 a 2,5 l/ha 32,66 a 58,35 a 95,39 a 3,0 l/ha 32,76 a 57,19 a 97,18 a Waktu Pencucian 2 jam setelah aplikasi 33,12 a 58,66 a 94,71 a 4 jam setelah aplikasi 33,26 a 57,20 a 95,39 a 6 jam setelah aplikasi 32,58 a 57,80 a 95,24 a

Keterangan: Angka dalam kolom yang sama pada kelompok perlakuan yang

(4)

sama, yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase kematian gulma Cyrtococcum

acrescens mengalami kenaikan seiring

pertambahan hari setelah aplikasi. Pada 20 HSA persentase kematian gulma untuk semua perlakuan masih di bawah 50 persen, dan pada 40 HSA persentase kematian meningkat di atas 50 persen. Tingkat persentase kematian gulma

Cyrtococcum acrescens tertinggi adalah

pada pengamatan 60 HSA. Pada waktu pengamatan ini terlihat pengaruh tingkat dosis dan waktu pencucian menyebabkan persentase kematian gulma yang cukup tinggi (lebih besar dari 90 persen). Dalam hal ini skala persentese kematian gulma 70 – 90 persen, jenis herbisida tersebut dianggap memiliki daya berantas yang baik.

Herbisida Isopropilamina glifosat bekerja melalui penetrasi lewat daun, pelepah yang masih muda dan sebagian melalui batang. Herbisida bekerja lewat kutikula melalui sistem symplast, dan lebih mudah masuk ke dalam sel yang hidup dalam keadaan jenuh air (Ashton, et.al., 1980).

Cyrtococcum acrescens termasuk ke

dalam kelas monokotil, mempunyai pertumbuhan meristem lateral dan memiliki banyak titik tumbuh, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mematikannya (Nasution, 1986). Ditinjau dari marfologi, gulma Cyrtococcum

acrescens mempunyai daun yang

ditumbuhi bulu-bulu halus sehingga herbisida mengalami hambatan untuk masuk ke dalam jaringan gulma. Namun dalam kurun waktu dua bulan (60 HSA), herbisida yang diaplikasikan telah ditranslokasikan ke seluruh jaringan tubuh gulma, termasuk ke bagian akar sehingga menyebabkan gulma mati dan terkendali.

Histogram peningkatan persentase kematian gulma Cyrtococcun acrescens pada pengamatan 20, 40, dan 60 HSA dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Histogram Kematian Gulma

Cyrtococcum acrescens

Akibat Perlakuan Tingkat

Dosis Herbisida

Isopropilamina glifosat

Efektivitas Herbisida Isopropilamina glifosat Mengendalikan Gulma Imperata cylindrica

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan tingkat dosis

Isopropilamina glifosat pada 20 HSA tidak

memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap kemampuan mematikan gulma. Sedangkan perlakuan waktu terjadinya pencucian setelah aplikasi mempengaruhi persentase kematian gulma. Pada 40 HSA perbedaan tingkat dosis herbisida mempengaruhi kemampuan menekan pertumbuhan gulma, tetapi perlakuan selang waktu pencucian tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata. Pada pengamatan 60 HSA baik perlakuan tingkat dosis maupun perbedaan selang waktu pencucian, tidak mempengaruhi kemampuan herbisida mematikan gulma.

Interaksi kedua faktor yang diteliti, baik pada 20, 40, dan 60 HSA tidak mempengaruhi efektivitas hebisida

Isopropilamina glifosat untuk menekan

pertumbuhan gulma.

Tabel 3. Hasil Uji Beda Rataan Kematian Gulma Imperata cylindrica Akibat Perlakuan Tingkat Dosis Herbisida

Isopropilamina glifosat dan Selang

Waktu Terjadinya Pencucian

35 Perlakuan 20 HSA Kematian Gulma (%) 40 HSA 60 HSA Dosis Aplikasi 1,5 l/ha 25,47 a 48,05 a 85,97 a 2,0 l/ha 27,16 a 0,03ab 83,60 a 2,5 l/ha 28,12 a 0,07ab 89,12 a 3,0 l/ha 28,00 a 53,80 b 92,25 a Waktu Pencucian 2 jam setelah aplikasi 2,04ab 58,99 a 85,35 a 4 jam 24,41 a 59,93 a 89,79 a

(5)

Pengaruh Tingkat Dosis Herbisida Isopropilamina glifosat dan Selang Waktu Terjadinya Pencucian Setelah Aplikasi terhadap Efektivitas Pengendalian Gulma pada Perkebunan Karet (Hevea brasiliensis)

TBM (Warlinson Girsang) 36

Perlakuan 20 HSA Kematian Gulma (%) 40 HSA 60 HSA aplikasi

6 jam setelah

aplikasi 22,85 b 55,63 a 88,83 a Keterangan: Angka dalam kolom yang sama

pada kelompok perlakuan yang sama, yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan.

Tabel 3 menunjukkan bahwa herbisida

Isopropilamina glifosat efektif dalam

mengendalikan gulma Imperata cylindrica di mana populasi gulma yang mati 2 bulan setelah aplikasi lebih besar dari 80 persen. Dengan tingkat dosis yang rendahpun (1,5 liter/ha) herbisida Isopropilamina glifosat ternyata mampu mematikan gulma

Imperata cylindrica dengan baik, dan hasil

pengendalian tidak berbeda nyata dengan dosis aplikasi yang tinggi.

Histogram kematian gulma Imperata

cylindrica pada pengamatan 20, 40, dan

60 HSA dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram Kematian Gulma

Imperata cylindrica Akibat

Perlakuan Tingkat Dosis Herbisida

Isopropilamina glifosat

Herbisida yang efektif membunuh

Imperata cylindrica ialah herbisida yang

bersifat sistemik yang dapat ditranslokasikan ke seluruh bagian tubuh gulma. Beberapa diantaranya seperti

glifosat, glifosinat-ammonium, dan dalapon (Hill, 1977). Imperata cylindrica

adalah tumbuhan yang tangguh, toleran terhadap kekeringan dan panas, sehingga tidak mati walaupun daun di atas permukaan tanah telah terbakar. Gulma

Imperata cylindrica berbiak dengan rhizoma dan biji, rhizoma terdapat dalam

tanah 0-20 cm dan dapat mencapai kedalaman 40 cm. Morfologi yang demikian membuat tidak seluruh jenis

herbisida efektif mematikan gulma

Imperata cylindrica. Herbisida kontak

misalnya, tidak efektif mengendalikan

Imperata cylindrica. Sebab efek racun

tidak sampai ke bagian rhizoma yang berada di dalam tanah (Ashton, et.al., 1980).

Hill (1977) menyatakan bahwa racun herbisida sistemik akan masuk ke dalam jaringan tanaman melalui daun dan ditranslokasikan sampai pada akar. Karenanya, herbisida sistemik sangat efektif untuk mengendalikan gulma yang memiliki

rhizoma dan stolon. Selanjutnya dijelaskan

bahwa waktu yang dibutuhkan herbisida sistemik untuk mematikan gulma biasanya lebih lama. Herbisida sistemik bekerja dari dalam jaringan tumbuhan setelah molekulnya terdifusikan ke dalam kutikula daun, masuk ke dalam xylem dan floem yang akhirnya masuk ke sel (Sumintapura dan Iskandar, 1980). Proses transportasi molekul herbisida mengikuti aliran massa sel, sehingga daya meracunnya akan terlihat setelah beberapa hari setelah aplikasi.

Dewasa ini formulasi herbisida banyak yang dicampur dengan bahan perekat untuk mengurangi pencucian oleh air hujan. Banyak juga pestisida yang pada label penggunaannya mengiklankan tidak tercuci oleh air hujan yang turun satu jam sesudah aplikasi. Akan tetapi untuk amannya sebaiknya tidak terjadi pencucian satu hingga dua jam setelah aplikasi, (Djojosumarto, 2000).

Pertumbuhan Kembali Gulma (Regrowth) Hasil penelitian menunjukan bahwa pada 75 HSA herbisida, terdapat gulma yang tumbuh kembali dan ada gulma yang kebal terhadap herbisida

Isopropilamina glifosat. Jenis dan jumlah

gulma yang tumbuh kembali dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Jenis dan Jumlah Gulma yang Tumbuh

Kembali (Regrowth)

No

Nama Jenis Gulma % Populasi Gulma

Latin Family Sebelum aplikasi

herbisida Regrowth pada 75 HSA 1 Cyrtococcum acrescens Graminae 61,27 5,01 2 Imperata cylindrical Graminae 23,19 5,50

(6)

37 4 Mimosa pudica Mimosaceae 1,45 0 5 Nephrolepis biserrata Densteadtiaceae 1,22 100 Total 100,00 -

Dari Tabel 4 terlihat bahwa persentase gulma Cyrtococcum acrescens dan

Imperata cylindrica yang semula

mendominasi areal penelitian dengan nilai

summed dominance ratio (SDR) di atas

rata-rata, pada pengamatan 75 HSA persentase gulma yang tumbuh kembali cukup rendah, masing-masing hanya 5,01 dan 5,50 persen. Fakta ini menambah keyakinan bahwa herbisida Isopropilamina

glifosat memang efektif mengendaliakn

gulma golongan gramineae, seperti yang direkomendasikan. Sebab hingga 75 HSA pengaruh herbisida masih mampu menekan pertumbuhan kedua jenis gulma. Tetapi sebaliknya, gulma Nephrolepis

biserrata (pakisan) hanya mengalami

kematian sebagian dari tubuhnya, sebagian daun mengering dan menguning dan selanjutnya bertumbuh kembali walaupun titik tumbuh mengalami pertumbuhan lambat.

Hasil ini mengindikasikan bahwa herbisida Isopropilamina glifosat tidak efektif untuk mengendalikan gulma

Nephrolepis biserrata. Kemampuan

meracuni tumbuhan dipengaruhi oleh sifat morfologi dan anatomi tubuh gulma.

Nephrolepis biserrata merupakan

tumbuhan pakis-pakisan yang banyak mengandung air dan seluruh permukaan tubuhnya ditumbuhi buluh halus yang berperan sebagai protektor. Sukman dan Yakup (1995), menyatakan bahwa

Nephrolepis biserrata adalah gulma yang

banyak mengandung air, sehingga dibutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk pengendaliannya.

Pertumbuhan kembali gulma pada 75 hari setelah aplikasi diperlihatkan pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Histogram Persentase Gulma Awal dan Gulma yang Tumbuh Kembali (Regrowth) pada 75 HSA Akibat Perlakuan Tingkat Dosis Herbisida Isopropilamina

glifosat

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan:

1. Herbisida Isopropilamina glifosat efektif mengendalikan gulma Cyrtococcum

acrescens dan Imperata cylindrica

yang tumbuh pada lahan karet TBM, tetapi tidak efektif untuk mengendalikan gulma jenis Nephrolepis

biserrata (golongan Paku-pakuan).

Tingkat dosis aplikasi rendah (1,5 l/ha)

memperlihatkan kemampuan mengendalikan gulma menyamai

aplikasi dosis tinggi (3,0 l/ha).

2. Pencucian oleh air hujan 2 jam setelah aplikasi herbisida terhadap gulma, tidak mengurangi efektivitas daya bunuh herbisida Isopropilamina glifosat. 3. Tidak ada pengaruh interaksi perlakuan

tingkat dosis dan selang waktu terjadinya pencucian, terhadap efektivitas Isopropilamina glifosat untuk menekan pertumbuhan gulma pada lahan tanaman karet belum menghasilkan.

Saran:

1. Penggunaan herbisida Isopropilamina

glifosat untuk mengendalikan gulma

khususnya golongan gramineae disarankan menggunakan dosis 1,5 l/ha, dan dilakukan pada saat cuaca yang mendukung, minimal 2 jam setelah aplikasi tidak terjadi pencucian. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan

dengan bahan yang sama, tetapi dengan komposisi jenis gulma yang

(7)

Pengaruh Tingkat Dosis Herbisida Isopropilamina glifosat dan Selang Waktu Terjadinya Pencucian Setelah Aplikasi terhadap Efektivitas Pengendalian Gulma pada Perkebunan Karet (Hevea brasiliensis)

TBM (Warlinson Girsang) 38

DAFTAR PUSTAKA

Ashton, F.M. dan A.S. Craft, 1980. Mode of

Action of Herbicides. 2nd Edition.

Wiley, New York.

Djojosumarto, P., 2000. Teknik Aplikasi

Pestisida Pertanian. Kanisius

Yogyakarta

Hill, T.A., 1977. The Biology of Weed. Edward Arnold, London.

Jodi Moenandir, 1989. Fisiologi Herbisida. Rajawali Press, Jakarta.

Nasution, U., 1986. Gulma dan

Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh.

Puslitbang Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM).

Sumintapura, H.A., 1980. Pengantar

Herbisida. Karya Nusantara, Jakarta.

Sutikno S., 1992. Pestisida Dasar-Dasar dan

Dampak Penggunaannya.

Gambar

Tabel 2. Hasil Uji Beda Rataan Kematian  Gulma  Cyrtococcum acrescens  Akibat Perlakuan Tingkat Dosis  Herbisida  Isopropilamina glifosat   dan  Selang Waktu Terjadinya  Pencucian
Tabel 2 menunjukkan bahwa  persentase kematian gulma Cyrtococcum  acrescens mengalami kenaikan seiring  pertambahan hari setelah aplikasi
Gambar 3. Histogram Persentase Gulma  Awal dan Gulma yang Tumbuh  Kembali (Regrowth) pada 75  HSA Akibat Perlakuan Tingkat  Dosis Herbisida Isopropilamina  glifosat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang (1) perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan yang dilakukan oleh kepala madrasah; (2)

Danandjaja (2005:3-4)) dalam bukunya Folklor Indonesia mengemukakan ciri-ciri folklor sebagai berikut: (1) penyebaran atau pewarisan biasanya dilakukan secara lisan, yaitu

Selanjutnya apabila dipandang perlu, terhadap kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi di dalam wilayah kabupaten/kota dapat disusun rencana tata ruang

Kalau para politikus tersandung oleh Yesus Kristus karena masalah takhta, maka para pemimpin rohani tersandung karena Yesus mengatakan bahwa “Aku adalah Anak Allah.” Mereka adalah

Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi linear berganda dan diolah menggunakan Statistical Product and Service Solutions (SPSS). Hasil dari penelitian dapat

SDIT AL uswah Surabaya is one unified Islamic elementary school that has problems ranging from frequent mistake inputting data, loss of data that has been collected, the data is not

Kesimpulan : tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas dapat dilakukan dengan pemberian inhalasi

Sistem stratiikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang, dan kelas sedang..