• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT

DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

RINGKASAN DISERTASI

Disusun Guna Memenuhi Syarat

untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum

Oleh:

ACHMAD IRWAN HAMZANI NIM 1101011500001

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

(2)

ii

TIM PEMBIMBING DISERTASI

Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum Promotor

(3)

iii

SUSUNAN MAJELIS PENGUJI

PADA SIDANG UJIAN PROMOSI DOKTOR

Ketua : Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH, MH, CN. Sekretaris : Prof. Dr. Rahayu, SH, M.Hum

Anggota :

1. Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum (Promotor) 2. Dr. Rohidin, M.Ag (Co Promotor)

3. Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA (Penguji Eksternal) 4. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH (Penguji)

5. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH (Penguji) 6. Dr. R.B. Sularto, SH, M.Hum (Penguji)

(4)

iv

KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur ke hadiran Allah Swt. penulis panjatkan, shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Atas pertolongan Yang Maha Menolong-lah penulisan disertasi ini dapat selesai dengan berbagai kesulitan dan rintangan tentunya.

(5)

v

Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan menurut korban. Model pemidanaan demikian perlu untuk dikaji kembali. Sebab untuk tindak pidana terhadap nyawa, keadilan tidak dapat terwujud tanpa memperhatikan korban atau keluarganya, dan harmoni dalam masyarakat tidak dapat dikembalikan. Penyelesaian perkara pidana yang lebih adil adalah dengan cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana tersebut. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh) dan mirip dengan pendekatan restorative justice yang saat ini menjadi wacana global untuk diterapkan dalam menyelesaikan perkara pidana.

Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena ini, dengan kerendahan dan ketulusan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

(6)

vi

2. Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI yang telah memberikan hibah/ beasiswa disertasi kepada penulis.

3. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mendapatkan Beasiswa BPPS.

4. Rektor Universitas Diponegoro, Direktur Program Pascasarjana Universitas Dipoengoro, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. 5. Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas

Diponegoro, Prof. Dr. Fx. Adji Samekto, SH, M.Hum, dan segenap pengelola yang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi dan memberikan layanan akademik dan administrasi dengan baik.

(7)

vii

7. Tim Penguji Disertasi; Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH, MH, CN., Prof. Dr. Rahayu, SH, M.Hum, Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH, Dr. R.B. Sularto, SH, M.Hum, Dr. Pujiyono, SH, M.Hum, yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk penyempurnaan disertasi ini.

8. Semua dosen di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang telah memberikan ilmunya dan pencerahan kepada penulis.

9. Rektor Universitas Pancasakti, Prof. Dr. Wahyono, SH, M.Hum, dan mantan Rektor, Prof. Dr. Tri Jaka Kartana, M.Si, yang telah memberikan tugas belajar kepada penulis. 10. Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti, Nuridin,

SH, MH, dan mantan Dekan, Dr. Hamidah Abdurrachman, SH, M.Hum, dan Mukhidin, SH, MH, yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis.

11. Para imforman yang tidak dapat disebutkan satu persatu 12. Semua pihak yang ikut membantu khususnya Dr. Ahwan

(8)

viii

sebagai bahan penulisan disertasi, M. Abdul Kholiq, SH, MH, yang telah berkenan meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan masukan pada penulis, dan juga rekan-rekan yang telah membantu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam disertasi ini.

13. Keluarga; isteri penulis, Nur Khasanah, dan putra-putri; Haidar M. Nijad, Nabila A. Manahil, yang selalu menjadi penyemangat, dan juga kedua orang tua dan mertua yang selalu memberikan dorongan doa pada penulis.

Semoga bantuan yang diberikan dapat menjadi amal shaleh danmendapatkan balasan yang berlipat dari Allah Swt., dengan iringan doa jazakumullah ahsanal jaza wa jazakumullah khairan katsira.

Penulis menyadari, disertasi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan dan saran untuk perbaikan disertasi ini menjadi karya yang lebih baik lagi. Namun demikian, penulis juga berharap agar disertasi ini dapat memberi manfaat.

Semarang, Juli 2015 Penulis,

(9)

ix DAFTAR ISI

Hal

Halaman Judul ... i

Halaman Tim Pembimbing ... ii

Halaman Majelis Penguji ... iii

Halaman Kata Pengantar dan Ucapan Terima Kasih ... iv

Halaman Daftar Isi ... ix

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 3

C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian ... 4

D. Proses Penelitian ... 5

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 7

1. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional ... 7

2. Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam terhadap Pembangunan Hukum Pidana Nasional ... 16

(10)

x

F. Penutup ... 49

1. Simpulan ... 49

2. Saran ... 51

3. Implikasi Studi ... 52

(11)

1 A. Latar Belakang

Sejak merdeka, bangsa Indonesia mempunyai keinginan untuk memiliki produk hukum pidana sendiri mengganti hukum peninggalan Belanda. Berbagai kegiatan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna merumuskan pembentukan hukum nasional sering dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga pendidikan tinggi. Para pakar hukum pun banyak yang telah mengusulkan tentang profil hukum pidana nasional ke depan.

(12)

2

(13)

3

(14)

4 B. Permasalahan

Permasalahan dalam disertasi ini adalah:

1. Bagaimanakah posisi hukum pidana Islam dalam pembangunan hukum pidana nasional?

2. Bagaimanakah kontribusi ketentuan qişâş-diyat terhadap pembangunan hukum pidana nasional?

3. Bagaimanakan konstruksi pendekatan restorative justice dalam pembangunan hukum pidana nasional berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam?

Tiga permasalahan tersebut memiliki lingkup pembahasan dan analisis yang saling terkait secara hirarkhis.

C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripkan posisi hukum pidana Islam dalam pembangunan hukum pidana nasional.

(15)

5

3. Untuk mendeskripsikan konstruksi pendekatan restorative justice dalam pembangunan hukum pidana nasional berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam.

Penelitian ini signifikan dan dapat memberikan kontribusi secara praktis dan teoritis.

1. Kontribusi praktis

a. Memberikan dorongan kepada pemerintah, legislatif, pakar hukum, pakar hukum Islam,

akademisi fakultas hukum dan fakultas syari‟ah

tentang pentingnya mempercepat realisasi pembentukan hukum pidana nasional.

b. Memberikan masukan kepada pemerintah khususnya tim perumus RUU KUHP tentang perlunya pendekatan restorative justice berbasis ketentuan qişâş-diyat dirumuskan dalam hukum pidana nasional ke depan.

2. Kontribusi teoritis

(16)

6

b. Dapat menambah khasanah keilmuan di bidang

ilmu hukum dan hukum Islam.

D. Proses Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia1. Paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme yang operasionalnya menggunakan cara pandang relativisme dan realitas dilihat sebagai konstruksi sosial2. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis sehingga penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian hukum sosiologis3. Spesifikasinya termasuk deskriptif-analitis yaitu untuk membuat pencandraan tentang siatuasi atau kejadian4 yang disajikan secara naratif. Data dalam penelitian dikelompokkan sebagai data primer (yang diperoleh dari pengamatan dan wawancara) dan sekunder

1

Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 4.

2Norman K. Denzim dan Yvonna S. Lincoln, Hanbook of Qualitative

Research, Terjemaha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 134-135.

3

Zamroni, Pengembangan Pengantar Teori Sosial, Yogyakarta: Tiara Yoga, 1992, hlm. 80-81.

4Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta: Andi Offset,

(17)

7

(yang diperoleh melalui penelaahan bahan-bahan pustaka). Metode analisis5 yang digunakan adalah induksi-interpretasi-konseptualisasi yaitu dengan melakukan penyusunan, pengkategorian dalam tema, validasi, rekonstruksi dan analisis secara induktif kualitatif.

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional

Pembangunan secara sederhana mengandung pengertian upaya melakukan perbaikan dari kondisi yang kurang baik menuju ke arah yang lebih baik. Menurut pengertian ini pembangunan semakna dengan pembaharuan (reform)6. Sedangkan hukum pidana nasional merupakan bagian sistem hukum nasional yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan

5Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif,

Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 22.

6Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana;

(18)

8

hukuman berupa siksa badan7. Hukum pidana nasional adalah hukum yang didasarkan pada landasan ideologi dan konstitusi negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945)8 yang berlaku secara nasional. Pembangunan hukum pidana merupakan suatu proses memperbarui hukum positif yang saat ini berlaku. Prosesnya hingga saat ini masih berlangsung yang dikemas melalui legislasi.

Memiliki hukum pidana produk sendiri bagi bangsa Indonesia merupakan upaya menampakkan jati diri bangsa sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan. Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila. Hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan tujuan politik hukum di Indonesia9.

Teori prasarat fungsional (imperatif-fungsional) Talcott Parsons dan pengembangannya oleh pemikir lain dapat menjelaskan tentang urgensi pembangunan hukum

7P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:

Sinar Baru, 1999, hlm. 2.

8M. Sularno, “Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di

Indonesia”, dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVI, 2006, hlm. 215.

9Qodri Abdillah Azizy, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta:

(19)

9

serta tujuannya yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia. Parsons merumuskan bahwa masyarakat mencakup sebuah sistem yang luas dan elemen-elemennya mengisi empat fungsi dasarnya yaitu adaptasi (Adaptation), melanjutkan tujuan (Goal), integrasi (Integration) dan memelihara norma-norma (Laten Pattern Maintenance) atau pendekatan AGIL. AGIL yang dikembangkan Parsons merupakan nomoteknis dalam mempertimbangkan fungsi-fungsi sistem sosial. Masing-masing fungsi-fungsi ini terkait dengan sebuah sub sistem. Sub sistem ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi; sub sistem politik bertanggung jawab memberi definisi tujuan akhir; sub sistem kultural (agama dan sekolah) bertugas untuk mendefinisikan dan memelihara norma-norma dan nilai; sub sistem sosial (termasuk hukum) bertugas sebagai integrasi sosial10. Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem dalam sub-sistem sosial yang lebih besar. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the game).

Harry C. Bredemeier mengembangkan teori yang dirumuskan Parsons tersebut. Hukum menurut Bredemeier

10Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, Homewood

(20)

10

dapat digunakan sebagai pengintegrasi sosial di dalam masyarakat. Keserasian antara warga masyarakat dengan norma yang mengaturnya menciptakan suatu keserasian dalam hubungan di dalam masyarakat yang bersangkutan11. Menjadi hal yang tidak logis apabila hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang tidak sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai yang yang dianut bangsa Indonesia. KUHP yang merupakan peninggalan Belanda banyak yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya yang dianut bangsa Indonesia. Apabila hal ini terus dipaksakan berarti terjadi ketidakserasian dalam hubungan bermasyarakat. Diperlukan hukum baru yang sesuai dengan nilai yang dianut bangsa Indonesia yang dapat disebut hukum Pancasila yang di dalamnya mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari agama.

Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia perlu diimplementasikan khususnya postulat moral kalimat

”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap usaha

pembangunan perundang-undangan nasional. Demikian halnya dalam pembangunan hukum pidana nasional yang mendasarkan pada filsafat Pancasila, dalam

11Bernard T. Tanya, dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas

(21)

11

pengejawantahannya harus dijiwai nilai-nilai Pancasila termasuk keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dapat digali dari hukum-hukum agama. Perlu dilakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum agama yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hukum-hukum dari agama dapat dijadikan sumber dalam pembangunan hukum pidana nasional.

Hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam, dan sebagai salah satu dari tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, di samping hukum adat dan hukum Barat, mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam pembangunan hukum pidana nasional. Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya sebagai hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional mempunyai dua fungsi; 1) Sebagai hukum positif yang berlaku hanya bagi pemeluk Islam saja. 2) Sebagai ekspresi nilai-nilai yang akan berlaku bagi semua warga negara12.

12Muhammad Julijanto, “Implementasi Hukum Islam di Indon

esia;

(22)

12

Dari sisi pelaksanaannya, hukum Islam dapat digolongkan tiga macam; 1) Dapat dilaksanakan oleh individu secara langsung tanpa bantuan Negara, seperti hukum-hukum di bidang peribadatan ritual. 2) Pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara dalam kerangka administratif atau pelayanan, seperti hukum keluarga. 3) Tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak ada campur tangan negara, seperti hukum pidana13.

Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia yang tidak boleh dilakukan (terlarang) dan yang harus dilakukan, ancaman pidananya, dan pertanggungjawabannya. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana menurut hukum pidana Islam dapat berbeda penggolongan dan cara peninjauannya. Dilihat dari segi berat-ringannya ancaman pidana, tindak pidana dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang diancam pidana had (jarimah hudud), tindak pidana yang diancam pidana qişâş-diyat (jarimah qişâş-diyat) dan tindak pidana yang diancam pidana ta‟zir (jarimah ta‟zir).

13 Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM.

(23)

13

Ditinjau berdasarkan karakter khusus tindak pidana, dapat dibagi menjadi tindak pidana masyarakat (jaraim al-jama‟ah), tindak pidana perseorangan (jaraim al-afrad), tindak pidana biasa (jaraim „adiyah) dan tindak pidana politik (jaraim siyasah)14.

Hukum pidana Islam pernah diterapkan secara formal di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan Islam, hingga akhirnya dianulir oleh penjajah Belanda. Sepanjang abad ke-19 di kalangan ahli hukum Hindia Belanda berkembang pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam seperti dikemukakan oleh Salomon Keyzer (1823-1868) dan dikuatkan oleh Lodewijk Williem Christian van den Berg (1845-1927). Menurut Berg, hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika telah memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya15. Orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhan bidangnya sebagai satu kesatuan atau receptio in complexu.

14 Abd al-Qâdir Audah, al-Tasyrî‟i al-Jinâ‟î al-Islâmî; Muqâranân bi

al-Qânun al-Wadh‟î, Jilid I, Beirut: Muasasah al-Risâlah Litibâah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟î, 1992, hlm. 79-99.

15Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

(24)

14

Hukum pidana Islam sangat penting untuk diperhitungkan dalam pembangunan hukum pidana nasional sebagai sumber. Karena hukum pidana di Indonesia menganut unifikasi, yakni hanya satu hukum, maka hukum pidana Islam posisinya sebagai sumber materiil atau bahan yang disandingkan dengan sumber atau bahan lain. Berbeda dengan hukum perdata khususnya hukum keluarga yang menganut pluralisme hukum, hukum Islam di bidang perdata dapat menjadi sumber formil. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang belum memiliki bentuk tertentu atau masih berupa bahan sehingga belum bisa diterapkan. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang telah memiliki bentuk tertentu sehingga bisa langsung diterapkan16.

Sebagai sumber materiil, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum pidana Islam dapat diserap meskipun tidak semuanya, dapat deliknya, pidananya, atau untuk bagian tertentu keduanya. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa, dapat diserap deliknya maupun pidananya. Pidana ganti rugi (diyat) untuk tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan, lebih diterima

16Moh. Mahfud MD., “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari‟ah”,

(25)

15

masyarakat Indonesia dibanding pidana penjara. Secara metodologis hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, merupakan corak hukum Islam yang menekankan pada aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ada sebuah kaidah

dalam uşl fiqh; ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya)17. Apabila hukum pidana Islam tidak dapat menjadi sumber formil, maka menjadi sumber materiil merupakan posisi yang dapat diterima.

Namun demikian, posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, akan menemui problem internal maupun eksternal. Problem internalnya adalah apabila posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil bersamaan dengan sumber-sumber lain, hukum pidana tersebut bukan lagi sebagai hukum pidana Islam. Posisi ini tentu akan sulit diterima oleh umat Islam yang menghendaki hukum pidana Islam sebagai sumber formiil dan diterapkan secara total. Tidak ada keterikatan teologis bagi orang untuk tunduk terhadap hukum tersebut. Sedangkan problem eksternalnya adalah memungkinkan

17Muhammad Khayr Haykal, Jihâd wa Qitâl fi Siyâsah

(26)

16

adanya anggapan akan menjadikan hukum pidana Islam sebagai hukum positif, dan masalah pergumulan antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat dalam wacana akademik di kalangan pakar hukum, maupun dalam pergumulan sejarah eksistensinya. Tidak sedikit pandangan pakar hukum yang tidak mengetahui eksistensi hukum pidana Islam, dan ada pula yang memandangnya sebagai subsistem dari hukum adat sehingga harus disesuaikan dengan hukum adat.

2. Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam terhadap Pembangunan Hukum Pidana Nasional

(27)

17

masih berhak menjatuhkan pidana ta‟zir kepada pelaku. Tindak pidana qişâş-diyat bersifat perseorangan dan lebih banyak menyentuh kehidupan serta fisik korban daripada menyentuh kehidupan masyarakat, sehingga penentuan pidananya menjadi hak korban18.

Untuk mempermudah penjelasan tentang pidana qişâş-diyat dan jenis pidananya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1

Tindak Pidana Qişâş-Diyat dan Sanksi Pidananya

18 Audah, Jilid I, op.cit., hlm. 613.

No Tindak Pidana

Sanksi Pidana Hak Pidana Pokok Pengganti Tambahan

(28)

18

Proses penentuan pidana qişâş-diyat melibatkan pelaku, pihak ketiga dan korban atau ahli warisnya melalui proses şulh (perdamaian). Dari perdamaian akan diketahui sikap korban atau keluarganya atas sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku, apakah qişâş ataukah dimaafkan. Penegak hukum hanyalah sebagai legitimator dan pelaksana saja dari sanksi yang telah ditentukan melalui proses perdamaian.

(29)

19

20 tahun penjara. Tentu saja keluarga korban akan kecewa karena tidak pernah diajak bicara. Bahkan yang lebih sengsara lagi, dia kehilangan hak nafkahnya. Secara psikologis, dendam keluarga korban juga tidak akan hilang dengan penjara 15 tahun.

Penjatuhan pidana qişâş-diyat lebih manusiawi dan lebih adil. Esensi dari pidana qişâş ialah memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang merugikannya dengan kadar yang seimbang (setara). Esensi diyat adalah sebagai social security (perlindungan social) bagi keluarga korban. Sedangkan esensi melalui perdamaian (şulh) adalah untuk menghilangkan dendam dan potensi korban selanjutnya. Ketentuan qişâş-diyat sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat yang lebih mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan perkara.

(30)

20

karena mengetahui bahwa pembunuhan atau pelukaan hanya didorong oleh motif perseorangan seperti dendam pribadi.

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yang terbaru konsep 2014/2015 terdiri atas 2 ( dua) Buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum, terbagi dalam VI Bab terdiri atas 219 Pasal, dan Buku II tentang Tindak Pidana, terbagi dalam XXXIX Bab terdiri atas 786 Pasal. Beberapa pasal dalam RUU KUHP tersebut mencantumkan pedoman pemidanaan, hak korban dan keluarganya, tentang pembayaran ganti kerugian, dan pengampunan oleh hakim. Hal ini merupakan terobosan baru dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ke depan, karena sebelumnya tidak ada ketentuan tersebut.

Ada beberapa hal baru dalam RUU KUHP sebagai hasil pembaharuan yang akomodatif terkait dengan tujuan pemidanaan yang disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian Pertama Pemidanaan, Tujuan Pemidanaan, Pasal 55 ayat (1) dan (2), yaitu:

(1) Pemidanaan bertujuan:

(31)

21

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk

menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Konsep tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP mengesankan prinsip tentang syarat dapat dipidananya seseorang yang bertolak dari pilar paling fundamental dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas” sebagai asas

kemasyarakatan dan “asas culpabilitas/kesalahan” yang

merupakan asas kemanusiaan perorangan19. Secara substantif juga mencerminkan diikutinya teori utilitarianisme yang menetapkan target-target pemidanaan. Orientasi pemidanaan menurut teori utilitarianisme adalah kemanfaatan bagi korban kejahatan yang bersifat individual (korban langsung), korban yang bersifat sosial/masyarakat (korban tidak langsung) maupun bagi pelaku pidana.

(32)

22

RUU KUHP juga memuat adanya ketentuan tentang pedoman pemidanaan yang akan sangat membantu dan memudahkan hakim dalam menetapkan ukuran pemidanaan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, di antaranya pemaafan dari korban/keluarganya. Disebutkan dalam Buku I, Paragraf 2, Pedoman Pemidanaan, Pasal 56 ayat (1) huruf … j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya. Pasal (2) Perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Terkait dengan sanksi pidana, dalam RUU KUHP memperlihatkan perubahan yang signifikan dibanding dengan KUHP lama. Disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian Kedua, Pidana, Paragraf 1, Jenis Pidana sebagai berikut:

Pasal 66

(1) Pidana pokok terdiri atas: 1. Pidana penjara;

(33)

23

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.

Pasal 67

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 68

(1) Pidana tambahan terdiri atas: a. Pencabutan hak tertentu;

b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. Pengumuman putusan hakim;

d. Pembayaran ganti kerugian; dan

e. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

(2) …

Bab III Bagian Kedua Paragraf 2 Pidana Penjara,

Pasal 72:

Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 55 dan Pasal 56 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut :

d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;

Bab III Paragraf 12 Pidana Tambahan Pasal 101:

(34)

24

(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti pidana denda.

Bab III Bagian kelima, faktor-faktor yang memperingan dan memperberat Pidana, Pasal 139:

Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi: … e.

Pembertian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan. … h. Faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.

Bab IV Gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana, bagian kesatu, gugurnya kewenangan penuntutan, Pasal 153 huruf d, kewenangan penuntutan

gugur, jika: “… penyelesaian di luar proses ...”.

Buku II tentang Tindak Pidana Bab XXIII Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 584:

(1) Setiap orang yang merampas nyawa seorang lain, dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) …

Pasal 585

(35)

25

pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Bab XXIV Tindak Pidana Penganiayaan, Bagian Kesatu, Penganiayaan terhadap Badan, Pasal 594:

(1) Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun paling banyak Kategori II.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 7 (tujuh) tahun. (4) …

Bab XXV Tindak Pidana yang Mengakibatkan Mati atau Luka karena Kealpaan, Pasal 604:

Pasal 604

(1) Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan jabatan, profesi, atau mata pencaharian selama waktu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.

(36)

26

Delik pembunuhan dan pelukanaan secara prinsip ada kesamaan antara hukum pidana Islam dengan RUU KUHP karena merupakan kejahatan yang universal. Sedangkan sanksinya berbeda, KUHP yang ada dan RUU KUHP menentukan pidana penjara, sedangkan dalam hukum pidana Islam menentukan pidana qişâş-diyat.

Ketentuan qişâş-diyat yang esensinya memberikan perhatian dan perlindungan hukum kepada keluarga korban, mewujudkan keadilan, kebaikan dan kemaslahatan. Secara umum korban atau keluarga korban pembunuhan, penganiayaan atau pelukaan, menghendaki agar pelaku dihukum yang setimpal dengan perbuatannya, meskipun sebagai ungkapan spontan. Sanksi dengan pidana

(37)

27

Tiga kasus yang dijadikan obyek penelitian ini dapat menjadi fakta, yaitu kasus; 1) Tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di Demak. 2) Kasus tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di Semarang. 3) Kasus mobil Suzuki Cary menabrak sepeda motor yang mengakibatkan pengendara sepeda motor meninggal dunia, di Pekalongan. Ketiga kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan dengan berdamai dan pemberian ganti kerugian. Penyelesaian perkara tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain melalui musyawarah mirip dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana Islam sedikit banyak telah menjadi hukum yang hidup (the living law).

(38)

28

yang dihasilkan juga memberikan manfaat dan maslahat seperti halnya tujuan utama dari hukum Islam.

Apabila disandingkan dengan hukum pidana Islam, sanksi pidana dalam RUU KUHP ada kemiripan. Misalnya tentang orientasi tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan sanksi pidana, dan ganti rugi. Apabila tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP mencakup pandangan-pandangan yang menggabungkan kepentingan semuanya, dalam konsep Islam juga sama20. Hanya saja, dalam hubungannya dengan aspek utilitas (kemanfaatan) pemidanaan khususnya yang dapat dirasakan oleh korban kejahatan secara individu (individual victim), hukum pidana Islam memiliki komitmen yang lebih kuat dibandingkan RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan qişâş-diyat yang merupakan hak korban atau ahli warisnya. Konsep ini sangat viktimologis seperti yang dikembangkan sebagai ilmu bantu hukum pidana dewasa ini, dan ternyata telah ada dan menjadi perhatian dalam hukum pidana Islam. Begitu juga

20Menurut Muladi rumusan dalam RUU KUHP tentang tujuan

(39)

29

aspek kemanfaatan, hukum pidana Islam jauh lebih terdepan dalam menekankan bahkan hukum harus memberi manfaat.

Hukum “Islam” diadakan untuk menciptakan

kemaslahatan manusia selaku individu maupun masyarakat. Maşlahat berarti menarik manfaat dan menolak madharat. Maşlahat merupakan unsur utama

bangunan hukum “Islam” yang mengikat unsur-unsur lain. Bahkan maşlahat merupakan inti dan substansi dari hukum Islam21. Menurut al-Syathibi, hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum (maslalah al-„ammah) dengan cara menjadikan aturan hukum yang paling utama dan sekaligus shalih li kuli zaman wa makan (kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya) untuk sebuah kehidupan manusia yang adil, bermartabat, dan bermanfaat. Al-Syathibi memberikan rambu-rambu untuk mencapai tujuan-tujuan syari‟at yang bersifat dharuriyyah, hajjiyyah, dan tahsiniyyah, dan berisikan lima asas hukum

syara‟22

. Teori maşlahat yang diperkenalkan al-Syathibi

21Abû Hamid al-Ghâzali, Al-Muştaşfa min „Ilm al

-Uşul, Beirut: Dâr al-Ihya al-Turats al-Arabi, Jilid I, t.th., hlm. 281-282.

22Abî Ishâq Ibrâhim bin Musâ al-Syathibî, al-Muwâfaqât fî Uşûl

(40)

30

dalam konsep maqashid al-syari‟yah ini tampaknya relevan untuk menjawab persoalan hukum di masa depan.

Hukum menurut Savigny bukan hanya sekadar ungkapan yang terdiri atas sekumpulan peraturan (judicial precedent). Ada suasana dialogis antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat yang ada23. Berbicara tentang hukum, harus membicarakan tentang masyarakat, karena tidak mungkin hukum tersebut terlepas dari masyarakat.

Savigny menyatakan “Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat24. Memandang hukum, berarti memandang masyarakat yang bersangkutan. Apabila hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, maka hukum pidana Islam yang berasal dari ajaran agama Islam juga bagian dari masyarakat. Apalagi di Indonesia, praktek penyelesaian perkara pidana dengan musyawarah untuk berdamai yang sejalan dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam membentuk kesadaran hukum masyarakat.

23

Roger Cotterrell, The Sociologi of Law an Introduction, London: Butterwoths, 1984, hlm. 2.

24Darji Darmodiharjo dan B. Arief Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat

(41)

31

Ketentuan qişâş-diyat menjanjikan maşlahat bagi korban dan keluarganya, dan juga masyarakat bersifat riil. Dengan diserapnya ketentuan qişâş-diyat aspek kemaslahatan dapat terpenuhi dalam pemidanaan, meskipun sebagai sumber materiil simbolnya tidak lagi menyebut hukum pidana Islam. Kebijakan hukum yang memberikan hak penuh kepada korban kejahatan untuk menentukan ada tidaknya proses hukum terhadap pelaku kejahatan, merupakan perhatian dan perlindungan kepada korban. Apabila korban atau ahli warisnya mengambil sikap memaafkan pelaku kejahatan, maka proses penyelesaian perkara secara hukum tidak boleh diteruskan. Sebaliknya, apabila korban atau walinya menghendaki proses penyelesaian perkara secara hukum, maka institusi peradilan tidak boleh mengupayakan cara lain yang tidak menjadi kehendak korban/keluarga korban.

(42)

32

tersebut agar proporsional/tidak berlebihan melalui hukuman yang setimpal. Apabila korban dapat memahami penderitaan akibat suatu kejahatan melalui nasehat-nasehat keagamaan sehingga akhirnya lebih menempuh sikap yang bijak, yakni dengan memaafkan pelaku, maka institusi peradilan tidak dibenarkan memaksakan proses hukum yang dapat berujung pada pemidanaan.

3. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional Berbasis Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam

Restorative justice telah menjadi wacana global dan dipandang sebagai filosofi pemidanaan baru yang sifatnya berbeda dari pidana konvensional yang menempatkan pelaku melawan negara. Kejahatan tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran undang-undang negara, melainkan pelanggaran orang terhadap orang. Pendekatan restorative justice prinsipnya untuk membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu tindak pidana untuk mencapai win-win solutions serta implikasinya ke masa depan. Setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang

(43)

33

Treatment of Offenders”. Kongres PBB ke-12 di Brasil, 12-19 April 2010, merekomendasikan untuk mengevaluasi dan mengadakan pembaharuan kebijakan peradilan pidana dengan pengembangan strategi komprehensif termasuk restorative justice25.

Masyarakat Indonesia juga sudah familier dengan pendekatan yang mirip restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana menghilangkan nyawa dengan bermusyawarah. Bahkan di dalam Pancasila sebagai core philosopy bangsa Indonesia, restorative justice juga dapat diurai. Sila ke-4 Pancasila menyebutkan

“Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan

dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila ini dapat

menjadi panduan dalam menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah dan mengutamakannya dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kebersamaan sehingga jika dibreakdown menjadi kata kunci dalam restorative justice26.

25

Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan dan Indonesia

(Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Conreto)”, dalam

Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 3, September 2012, hlm. 423.

(44)

34

Menurut perkembangan hukum Barat modern, termasuk di Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah negara, oleh karena itu pelaku tindak pidana berhadapan dengan negara. Akibat korban tidak dilibatkan untuk menentukan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku, banyak menimbulkan masalah bagi korban atau keluarganya karena kerugian yang diderita tidak diganti. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain atau yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, pelukaan atau penganiayaan, proses hukum tanpa melibatkan korban atau keluarganya tidak akan memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya. Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan menurut korban. Fokus perhatian pemidanaan hanya pada upaya bagaimana agar pelaku menjadi orang baik, pelaku menjadi orang yang berguna kembali di masyarakat setelah menjalani hukuman, dan sedapat mungkin dipidana seringan-ringannya. Sedangkan pihak korban atau keluarganya yang dirugikan dan terganggu keharmonisannya tidak mendapatkan perhatian.

(45)

35

pidana. Proses penyelesainnya harus dengan cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana. Proses ini akan jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang berhubungan dengan tindak pidana secara bersama-sama mencari alternatif pemecahannya. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh).

(46)

36

kedua belah pihak. Şulh mengandung dimensi pemberdayaan diri oleh para pihak melalui upaya dialog, negosiasi, dan rekonsiliasi sehingga dimensi hubungan dapat mengalami proses pemulihan.

Perkara pidana pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi). Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Secara teori, ada tiga hal yang hendak dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yaitu; keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum27. Meskipun demikian, dalam praktek sangat sulit ketiganya dapat terpenuhi sekaligus. Hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaiannya dikenal dengan istilah win lose solution, yaitu akan ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah.

Penegakan hukum pidana yang tersedia di Indonesia dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh Undang-undang. Pelaksanaan kewenangan dan kekuasaannya dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya

27Sudikno Mertokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:

(47)

37

sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi), serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) yang pada

hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”28

.

Sistem peradilan pidana di Indonesia identik dengan penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dilaksanakan oleh 4 (empat) sub sistem yaitu: a. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga kepolisian. b. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum

atau kejaksaan.

c. Kekuasaan mengadili oleh badan peradilan atau hakim.

28Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

(48)

38

d. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi (jaksa dan lembaga pemasyarakatan)29.

Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan proses peradilan pidana adalah dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis perkara (one for all mechanism). Selain itu, dalam sistem peradilan pidana posisi korban dan keluarga korban tidak mendapat perhatian. Hal ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tidak adanya perlindungan hukum bagi korban, dan putusan hakim tidak akan memenuhi rasa keadilan bagi korban30. Kenyataan ini pula yang mendorong sejumlah pakar hukum untuk mencari alternatif penyelesaian perkara hukum di luar mekanisme peradilan.

Salah satu instrumen restorative justice adalah mediasi yang untuk perkara pidana diistilahkan dengan

29Keempat subsistem itu sebagai satu kesatuan sistem penegakan hukum

pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. M. Hatta, “Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi); Kapita

Selecta”, Yogyakarta: Galang Press, 2008, hlm: 47.

30Angkasa, dkk., “Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam Sistem

Peradilan Pidana (Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan

(49)

39

mediasi penal, yang dikenal dengan istilah victim offender mediation (mediasi antara korban dan pelaku). Mark Umbreit, salah seorang pakar mediasi penal memakai istilah humanistic mediation (pendekatan mediasi yang manusiasi)31. Dikenal pula istilah victim offender meeting dan victim offender conferencing. Istilah penal mediation (mediasi penal) juga dipakai karena mediasi digunakan untuk mendamaikan perekara pidana, bukan perkara perdata yang biasanya menjadi fungsi mediasi. Mediasi penal di Belanda diistilahkan strafbemiddeling dan di Prancis diistilahkan dengan de mediation penale32.

Penelitian yang dilakukan oleh Umbreit menemukan bahwa mediasi penal memberikan tingkat kepuasan yang

31Mark Umbreit, “Humanistic Mediation; A Transformative Journey of

Peacemaking”, dalam Mark Umbreit, (Ed.), In the Handbook of Victim Offender Mediation; An Essential Guide to Practice and Research, San Fransisco, 2001, hlm. 9.

32Mediasi penal pertama kali dikenalkan di Kitchener-Ontario, Kanada

(50)

40

tinggi dan adil bagi para pihak dan menghasilkan lebih dari 90% kesepakatan yang sukses diraih untuk mengompensasi korban. Penelitian lain yang dilakukan oleh Umbreit dan Armour mencatat tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu 40%-60% di mana para pihak mengikuti proses mediasi penal33.

Mediasi penal memberikan manfaat yang besar bagi kedua belah pihak, yaitu korban dan pelaku yang dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 2

Manfaat Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Pidana34

No. Bagi Korban Bagi Pelaku

1 Mengenali dan

mempelajari pelaku

Mengenali korban atau keluarga korban

2 Mencurahkan perasaan dan kebutuhan akibat kejahatan

Mengetahui akibat

perbuatannya dan kerugian yang diderita korban atau keluarganya

3 Menerima atau menolak permintaan maaf, dan ganti rugi

Meminta maaf, menawarkan ganti rugi

4 Menyelesaikan konflik Introspeksi 5 Melupakan kejahatan di

masa yang akan datang

Tidak akan mengulangi perbuatan

33

Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practive, New York: Springer Publishing, 2010, hlm. 129.

(51)

41

Sebagai sebuah menakisme penyelesaian tindak pidana, mediasi penal juga memiliki kelemehan-kelemahan. Seperti disebutkan oleh Umbreit dan Coates dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor kelemahan mediasi penal yang membuat pihak korban mengalami kekecewaan, yaitu:

a. Kurangnya tindak lanjut pelaku terhadap kesepakatan yang telah dibuat.

b. Penundaan antara perbuatan kriminal yang telah dilakukan dan solusinya karena proses mediasi penal. c. Banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk

berpartisipasi dalam proses mediasi penal, apabila menggunakan shuttle mediation (mediator bertemu kedua belah pihak di tempat yang terpisah) atau indirect mediation (mediasi tidak langsung).

d. Sering kali pelaku yang melakukan tindak kriminal karena miskin tidak mampu membayar ganti rugi yang diajukan oleh korban yang mengakibatkan gagal tercapainya kesepakatan.

(52)

42

pidana, setelah tercapainya kesepakatan perdamaian, mereka tidak mau melaksanakannya35.

Potensi pendekatan restorative justice melalui pelembagaan mediasi penal ke depan sudah termuat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) seperti disebutkan dalam Buku I Bab IV Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, Bagian Kesatu, Gugurnya Kewenangan Penuntutan Pasal 153 hurup d. bahwa kewenangan penuntutan gugur

jika … penyelesaian di luar proses ….36

. Namun ketentuan tersebut perlu dipertegas atau diperjelas untuk jenis tindak pidana apa dan di luar proses yang seperti apa, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak dan aparat penegak hukum.

Sesuai dengan perkembangan internasional, dengan syarat-syarat tertentu asas restorative justice (peacefully solution) dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dari retributive justice. Hal ini (diversi) sudah diwajibkan dalam Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang

35 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, op.cit., hlm. 83-89.

36

(53)

43

Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dapat dikembangkan dalam RUU KUHAP yang sudah termuat yaitu keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat.

Dengan memperjelas “penyelesaian di luar proses”,

maka mediasi penal dalam sistem peradilan pidana ke depan menjadi terlembagakan dan memiliki payung hukum. Maksud “penyelesaian di luar proses” dapat diperjelas dengan menyerap ketentuan perdamaian yang ada dalam hukum pidana Islam.

(54)

44

dan dikehendaki korban37. Proses penyelesaian perkara pidana melalui şulh dimaksudkan agar dapat lebih fleksibel. Hasil dari proses şuhl dapat berbeda tergantung dari tingkat kejahatannya, kerusakan yang disebabkan, yaitu dapat berupa pemaafan dengan ganti kerugian dan pemaafan tanpa ganti kerugian. Bagi korban atau keluarganya dapat menghasilkan kebesaran hati untuk memaafkan dan menerima ganti kerugian38.

Seandainya korban atau keluarganya tetap tidak mau memaafkan, dapat membuat pelaku merasakan apa yang dirasakannya. Hal yang seperti ini dinamakan dengan qişâş atau yang biasa disebut dengan pembalasan sistematis. Namun qişâş sedapat mungkin dihindari seperti disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 178: “… maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang

37Seperti disebutkan oleh ND yang lebih memilih menyelesaikan perkara

pidana terhadap nyawa melalui musyawarah di Pekalongan, dengan salah satu pertimbangan lebih baik biaya yang akan dikeluarkan oleh TMD (pelaku yang menabrak isterinya ND hingga meninggal) jika menempuh jalur hukum, disumbangkan untuk perawatan jenazah, mitoni dan uang duka. Hasil wawancara tanggal 30 Nopember 2013.

38

Mumtaz M. Qafisheh, “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A

(55)

45

baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula) ”39

. Disebutkan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ashab al-Sunnah: “Setiap perkara yang dilaporkan kepada Rasulullah yang berkaitan dengan hukuman qişâş, Rasulullah Saw. selalu memerintahkan pemaafan”40

. Sedangkan pelaku mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf secara langsung pada korban atau ahli warisnya, mengungkapkan penyesalan, dan bertanggung jawab dengan mengganti kerugian.

Konstruksi restorative justice berbasis qişâş-diyat adalah sebagai pengganti proses peradilan pidana di mana perkara dialihkan (diverted) ke proses mediasi. Kesepakatan yang berhasil diraih akan disahkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan sebagai legitimator saja atas kesapakatan damai setelah ganti rugi dibayar oleh pelaku, atau atas jaminan ganti rugi akan segera dibayar. Hal ini

39

Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an, dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma‟ al-Malik Fadh li Thiba‟at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H., hlm. 43.

(56)

46

sesuai dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam, dan juga pengembangan yang sudah termuat dalam RUU KUHP tentang penyelesaian di luar proses. Konstruksi ini juga merujuk pada praktek masyarakat dalam menyelesaikan tindak pidana, dan juga dalam rangka menguruangi beban sistem peradilan pidana. Peran mediator menjadi sangat penting, sehingga perlu dibentuk komisi atau lembaga pemaafan (al-işlah wa al-afwun) atau dengan istilah lain yang bertindak sebagai mediator sangat diperlukan yang ada di setiap kabupaten-kota.

Agar mengikat dan menjadi sistem dalam penyelesaian perkarana pidana ke depan, maka harus termuat di dalam KUHP dengan mengubah rumusan Pasal 153 bahwa kewenangan penuntutan gugur jika … d. penyelesaian di luar proses melalui lembaga perdamaian atau pemaafan.

Rumusan pasal-pasal dalam Buku II tentang Tindak Pidana khususnya Bab XXIII Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 585 juga diubah seperti contoh berikut:

(57)

47

berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup.

(2) Pidana mati atau pidana seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat gugur jika ahli waris korban memaafkan.

(3) Jika ahli waris korban memaafkan, pidana mati atau pidana seumur hidup diganti dengan pidana ganti rugi yang diberikan kepada ahli waris korban yang besarannya disepakati antara ahli waris korban dengan pelaku dengan prinsip kebaikan, perhatian dan perlindungan.

(4) Proses pemaafan dan penentuan jumlah ganti rugi dilakukan melalui lembaga pemaafan yang hasilnya akan dilegitimasi oleh pengadilan sebagai jaminan bahwa kesapakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan dilaksanakan.

(58)

48

Ragaan

Konstruksi Pendekatan Restorative Justice Berbasis Qişâş-Diyat

Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian bisa tercapai dan nilai ganti kerugian disepakati dengan prinsip bi al-ma‟ruf (kebaikan) dan menghindari tuntutan ganti rugi yang melampaui batas atau komersialisasi ganti rugi. Sedangkan legitimasi pengadilan diperlukan sebagai jaminan bahwa pelaku telah memberikan ganti kerugian

PELAKU LAPORAN/TANPA

LAPORAN KORBAN

LEMBAGA PEMAAFAN PENYIDIK POLISI

JAKSA PENUNTUT UMUM

PROSES PERDAMAIAN

LEGITIMASI PENGADILAN

(59)

49

kepada korban atau ahli warisnya atau ada jaminan bahwa ganti kerugian akan terbayar. Legitimasi pengadilan juga sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan perhatian dan perlindungan terhadap pihak-pihak.

F. Penutup 1. Simpulan

(60)

50

(61)

51 2. Saran

Setelah dilakukan pembahasan menyeluruh, peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Hukum pidana Islam dijadikan sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana nasional, karena telah menjadi hukum yang hidup dan membentuk kesadaran hukum masyarakat. Hukum pidana Islam juga pernah diterapkan di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan Islam.

2. Ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam dikontribusikan dalam pembangunan hukum pidana nasional dengan menyempurnakan ketentuan yang sudah diatur dalam RUU KUHP.

(62)

52 3. Implikasi Studi

Hasil studi ini dapat memberikan implikasi teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil studi ini sebagai sumbangan teori bagi tersusunnya hukum pidana nasional yang memuat nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat. Hukum pidana Islam telah menjadi hukum yang hidup di masyarakat, karena dalam sejarahnya pernah diterapkan secara formal di kesultanan yang ada di Nusantara. Dengan studi ini, dapat memberikan warna dalam studi ilmu hukum khususnya hukum pidana, dan ke depan hukum pidana Islam mendapat tempat yang proporsional dalam kajian teoritis ilmu hukum di hadapan hukum Barat dan hukum adat.

(63)

53

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghâzali, Abû Hamid, Al-Muştaşfa min „Ilm al-Uşul, Beirut: Dâr al-Ihya al-Turats al-Arabi, Jilid I, t.th..

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-11, 2004.

Al-Syathibî, Abî Ishâq Ibrâhim bin Musâ, al-Muwâfaqât fî Uşûl al-Ahkâm, Jilid II, Beirut: al-Maktabah al-„Aşiriyah, 2011.

Angkasa, dkk., “Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam

Sistem Peradilan Pidana (Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan Peranan

Korban)” dalam Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum, Vol. 12 Nomor 2, Agustus 2007.

Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM. Books, 2007.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2010.

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001.

Audah, Abd al-Qâdir, al-Tasyrî‟i al-Jinâ‟î al-Islâmî; Muqâranân bi al-Qânun al-Wadh‟î, Jilid I, Beirut: Muasasah al-Risâlah Litibâah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟î, 1992.

(64)

54

Cotterrell, Roger, The Sociologi of Law an Introduction, London: Butterwoths, 1984.

Darmodiharjo, Darji, dan B. Arief Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2008. Denzim, Norman K., dan Yvonna S. Lincoln, Hanbook of

Qualitative Research, Terjemaha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Dewi, DS., dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak, Depok: Indie Publishing, 2011.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta: Andi Offset, 1995.

Hatta, M., “Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi); Kapita Selecta”, Yogyakarta: Galang Press, 2008.

Haykal, Muhammad Khayr, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah al-Syar‟iyyah, Juz I, Beirut: Dâr al-Bayariq, Cet. II, 1996.

Julijanto, Muhammad, “Implementasi Hukum Islam di Indonesia; Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”,

dalam Makalah “Conference Procedings Annual

International Conference on Islamic Studies”, Mataram,

September 2013.

Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1999.

(65)

55

Mertokusumo, Sudikno, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1997.

Miles, Mattew B., dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992.

Moeleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Prayitno, Kuat Puji, “Restorative Justice untuk Peradilan dan

Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan

Hukum In Conreto)”, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 3, September 2012..

Qafisheh, Mumtaz M., “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A Contribution to the Global System”, dalam

International Journal of Criminal Justice Sciences, Volume 7, Issue 1, January – June 2012.

Sularno, M., “Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum

Positif di Indonesia”, dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVI, 2006.

Tanya, Bernard T., dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an, dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma‟ al-Malik Fadh li

Thiba‟at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H.

Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois: The Dorsey Press, 1975.

(66)

56

Umbreit, Mark, dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practive, New York: Springer Publishing, 2010.

(67)

57

BIODATA PENULIS Identitas Diri

Nama Lengkap Achmad Irwan Hamzani

Jenis Kelamin Laki-laki

Tempat dan Tanggal Lahir

Pemalang, 15 Juni 1976

Pekerjaan Dosen Tetap Fakultas Hukum

Universitas Pancasakti

Nomor HP 0816647283 / 08122564208

E-Mail [email protected]

Nama Isteri Nur Khasanah

Nama Anak Haidar Mahdi Niejad

Nabila Afrah Manahil

Pengalaman Pekerjaan/Aktivitas Lain

Jabatan/Pekerjaan Tahun

Dosen Tidak Tetap Universitas Pekalongan, STMIK Himsya Semarang, STIT Pemalang

2005-2013

Ketua Gugus Penjamin Mutu Fakultas Hukum Universitas Pancasakti

2011-2013

Pengurus Bidang Dakwah Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Insani Al-Ummah Kota Pekalongan

2012-Sekarang

Tim Seleksi Calon Anggota KPU Kota Pekalongan

2013

Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pekalongan 2015

(68)

58 Riwayat Pendidikan Tinggi

Jenjang Fakultas/Progdi Perguruan Tinggi Tahun S1 Fakultas

Syari‟ah/Siyasah

Jinayah

IAIN Walisongo 1999-2003

S2 Program

Magister/Hukum Islam

IAIN Walisongo 2003-2005

S3 Doktor Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro

2011-2015

Pengalaman Organisasi

No. Organisasi Tahun

1 BEM Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo 2002

2 HMI Cabang Semarang 1999-2003

3 Ikatan Da‟i Indonesia Jawa Tengah 2007-2011

4 Presidium KAHMI Pekalongan 2015-2018

Buku

No. Judul

(69)

59

Publikasi dalam Jurnal Ilmiah 5 Tahun Terakhir No. Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/

Nomor/Tahun

3 Kontekstualitas Hukum Islam di Indonesia; Studi

6 Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar

(70)

60

Pengalaman Penelitian 5 Tahun Terakhir

No. Judul Penelitian Sumber

Dana

Tahun

1

Pengembangan Model Perlindungan Hukum terhadap Aset Publik Berbasis Kearifan Lokal (Kajian Sosio Yuridis terhadap Pengadministrasian Harta Benda Wakaf di Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan)

Dikti 2015

2

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap Nasab Anak Luar Kawin

Hibah / Beasiswa Disertasi LPDP

Kementerian Keuangan

2013-2015

4

Kontekstualitas Hukum Islam di Indonesia; Studi terhadap Hukum Wakaf

Universitas Pancasakti

2012

5

Persepsi Masyarakat terhadap Efektivitas Menyalakan Lampu Sepeda Motor di Siang Hari untuk Mengurangi Resiko Kecelakaan di Kota Tegal

Universitas Pancasakti

2012

6

Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan menurut Undang-undang RI Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Tinjauan Hukum Islam

Universitas Pancasakti

2011

7

Pembangian Peran Suami Isteri dalam Keluarga Islam di Indonesia; Kajian Normatif dan Sosiologis

Universitas Pancasakti

2011

8

Kajian Gender terhadap Hak-hak Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam

Departemen Agama RI

(71)

61

Pengalaman Pengabdian Masyarakat 5 Tahun Terakhir

No. Judul Pengabdian Sumber

Dana

Tahun

1 Pendampingan Pendaftaran Etiket Merek bagi Pengusaha Batik Tegalan

Universitas Pancasakti

2012

2 Pelatihan Pembuatan Etiket Merek bagi Pengusaha Batik Tegalan

Universitas Pancasakti

2011

3 Membangun Budaya Tertib Huum di Masyarakat

Universitas Pancasakti

2010

Pemakalah Seminar (Oral Presentation) 5 Tahun Terakhir

No. Nama Pertemuan Ilmiah/Seminar

Judul Artikel Waktu dan

Tempat

(72)

Gambar

Tabel 2 Manfaat Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan sila satu Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mengandung pengertian bahwa hukum Tuhan yang dipercaya oleh agama-agama yang ada di Indonesia

“Hakikat Restorative justice dalam penegakan hukum pidana melalui pendekatan kearifan local bahwa Pada hakikatnya Restorative jus- tice dalam penegakan hukum pidana

Seiring dengan dasar pertimbangan tersebut dalam Tesisi ini dengan Tema Kedudukan Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Nasional, maka sebagai permasalahan yang

Artinya, kebijakan hukum pidana ((khususnya substansi hukum pidana mengenai delik-delik agama) sebagai bagian dari kebijakan kriminal yang seharusnya menurut Sudarto sebagai

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa hukum pidana saat ini yang digunakan dalam upaya penanggulangan delik agama adalah Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)

Eksistensi NKRI dan Pancasila sebagai manifestasi dari nilai-nilai agama termasuk nilai-nilai hukum Islam memiliki nilai derajat hukum sebagai ketentuan hukum yang

Dalam konteks kebinekaan beragama di Indonesia, terutama yang menyangkut tentang pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa pada Sila Pertama dalam Pancasila, menurut

Segi lain dari politik hukum adalah mengenai nilai- nilai, penentuan, pengembangan, dan pemberian bentuknya.6 Sedangkan Mahfud MD memberikan pengertian secara sederhana bahwa politik