Malya, Irine Y. 2014
PENGARUH EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO PRAIMPLANTASI MENCIT (Mus musculus) SWISS WEBSTER Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini termasuk ke dalam jenis penelitian eksperimental.
Pada kelompok eksperimen, dilakukan sebuah perlakuan terhadap subjek penelitian atau
variabel yang hendak diteliti (variabel terikat) kehadirannya sengaja ditimbulkan
dengan memanipulasi suatu perlakuan sesuai dengan kebutuhan. Data yang diperoleh
berasal dari hasil perlakuan terhadap subjek penelitian dan dibandingkan terhadap
kontrol yang tidak diberi perlakuan (Nazir, 1988; Jaenud, 2011). Subjek penelitian pada
penelitian ini adalah kelompok perlakuan yang diberi ekstrak rimpang temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan kelompok kontrol yang tidak diberi ekstrak rimpang
temulawak. Objek yang akan diteliti adalah perkembangan embrio praimplantasi mencit
betina dara (Mus musculus) Swiss Webster.
B. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Desain ini biasa digunakan pada percobaan yang bersifat homogen dan terdapat
perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol (Nazir, 1988). Desain penelitian ini
digunakan untuk mengelompokan mencit yang akan digunakan ke dalam empat
kelompok, yaitu satu kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Ketiga kelompok
perlakuan diberi tiga dosis yang berbeda selama tiga hari kebuntingan, yaitu 140 mg/kg
BB, 280 mg/kg BB dan 700 mg/kg BB.
Berdasarkan rumus Federer (1963), mencit betina yang digunakan sebanyak 24
ekor, berikut adalah perhitungannya:
(n-1) (t-1)≥15
(n-1) (4-1) ≥15
3n-3≥15
Keterangan: t=jumlah perlakuan n=jumlah pengulangan
Setelah itu, dilakukan randomisasi untuk pengelompokkan. Pengelompokkan
dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bias. Pengelompokkan dilakukan dengan
memberi kode 1-24 pada mencit yang akan menempati kandang yang telah diberi kode
A-D sebagai kode setiap dosis. Hasil pengelompokkan terdapat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Hasil Randomisasi Mencit 1 3C 2 16B 3 24D 4 8B 5 5A 6 11B 7 10B 8 9C 9 4D 10 13A 11 12D 12 2A 13 23D 14 7A 15 19B 16 21A 17 17A 18 22C 19 20D 20 18B 21 1C 22 14C 23 15D 24 6C Keterangan:
A : dosis 0 mg/kg BB (kontrol)
B : dosis 140 mg/kg BB
C : dosis 280 mg/kg BB
D : dosis 700 mg/kg BB
1,2,3 dst...: nomor mencit
Berdasarkan hasil randomisasi mencit, maka didapatkan penempatan mencit
pada setiap kandangnya yang dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Penempatan Mencit Berdasarkan Hasil Randomisasi
Kandang Dosis Kode Mencit
A 0 mg/kg BB (kontrol) 5 13 2 7 21 17
B 140 mg/kg BB 16 8 11 10 19 18
D 700 mg/kg BB 24 4 12 23 15 20
C. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah mencit betina dara (Mus musculus) Swiss
Webster. Sedangkan sampel pada penelitian ini adalah mencit betina dara sebanyak 24
ekor. Mencit yang digunakan adalah mencit betina yang siap kawin, yaitu mencit betina
yang berumur sekitar 8-12 minggu. Mencit betina yang dipakai adalah mencit betina
yang memiliki bobot konstan 25-30 gr lalu diamati perkembangan embrio praimplantasi
setelah diberi ekstrak rimpang temulawak secara oral dengan jarum gavage selama 3
hari usia kebuntingan. Embrio praimplantasi didapatkan dari mencit betina yang telah
diberi perlakuan pemberian ekstrak rimpang temulawak dengan cara flushing. Embrio
praimplantasi ini dianalisis jumlah dan persentase setiap tahapan perkembangan, embrio
abnormal dan ukuran diameter embrio praimplantasi yang telah mencapai tahap
blastokista.
D. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September 2014.
Pelaksanaan penelitian bertempat di Laboratorium Struktur Hewan, Fakultas Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Rumah Hewan, Kebun Botani,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Pemeliharaan mencit dilakukan di Rumah
Hewan, sedangkan pengamatan embrio praimplantasi dilakukan di Laboratorium
Struktur Hewan.
E. Prosedur Penelitian
1. Tahap Pra-Penelitian
a. Penyiapan Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat dan bahan
untuk proses pemeliharaan hewan percobaan, pembuatan ekstrak rimpang
temulawak, pemberian ekstrak rimpang temulawak pada hewan percobaan
betina dara yang telah diberi ekstrak temulawak. Pada proses pemeliharan
dibutuhkan kandang mencit berukuran 30 x 20 x 12 cm beserta tutupnya.
Kandang yang dibutuhkan sebanyak enam kandang berisi satu hingga empa
mencit betina. Total mencit yang dibutuhkan adalah 24 ekor mencit betina.
Selain itu, dibutuhkan juga sekitar enam ekor mencit jantan untuk dipakai
dalam proses mengawinkan.
Pembuatan ekstrak dibutuhkan satu kilogram rimpang temulawak yang
digiling oleh penggilingan atau blender. Pemberian ekstrak temulawak
menggunakan jarum gavage dan syringe 1 ml. Ekstrak temulawak yang telah
ditimbang menggunakan timbangan Dial-O-Gram dilarutkan dalam 0,3 ml
aquades pada setiap dosisnya.
Analisis pengaruh ekstrak temulawak terhadap perkembangan embrio
praimplantasi membutuhkan syringe 1 ml dengan jarum 26 G untuk melakukan
flushing uterus. Pelaksanaan flushing ini menggunakan larutan PBS (phosphate
buffered saline) (komposisi pada Lampiran 8) yang ditampung di kaca arloji.
Analisis pengaruh ekstrak temulawak terhadap perkembangan embrio
menggunakan Mikroskop Listrik Binokuler.
Alat dan bahan pada penelitian ini dapat dilihat secara lengkap pada
Lampiran 7.
b. Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak
Temulawak yang dipakai adalah galur Roxb. Dengan usia 11-12 bulan
(Rahardjo, 2001; Setyawan, 2003). Rimpang temulawak diperoleh dari Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) Lembang. Pembuatan
ekstrak temulawak menggunakan metode aqueous extract atau ekstraksi air
berdasarkan penelitian yang dilakukan Halim (2012) yang dimodifikasi. Hal ini
dilakukan sebagai adaptasi konsumsi temulawak dengan pelarut air yang biasa
dilakukan masyarakat luas. Selain itu, temulawak yang diekstraksi air
dinyatakan memiliki potensi anti fertilitas (Chattopadhyay, 2004). Alasan lain
dilakukan Yadav dan Jain (2010 dan 2011) yang mengekstraksi Curcuma longa
dengan metode ekstraksi air yang diindikasi memiliki efek anti implantasi.
Langkah pembuatan ekstrak diawali dengan proses pembuatan serbuk
rimpang temulawak. Satu kilogram rimpang temulawak yang masih segar
dicuci bersih. Setelah itu, rimpang temulawak dirajang hingga menjadi
potongan kecil dengan ketebalan kurang lebih 1-2 mm. Selanjutnya, hasil
rajangan dihilangkan kandungan airnya secara tradisional, yaitu dengan
menjemur hasil rajangan di bawah sinar matahari hingga kering (Cahyono et al.,
2011). Rajangan rimpang temulawak yang telah kering digiling menggunakan
blender hingga halus. Untuk mendapatkan serbuk yang halus, hasil gilingan
diayak menggunakan ayakan dapur. Setelah proses pengayakan, hasil serbuk
rimpang temulawak diekstrak menggunakan air.
Ekstraksi air serbuk temulawak dilakukan menggunakan metode Halim
(2012) dengan beberapa modifikasi. Proses awal ekstraksi adalah dengan
mencampurkan air panas (60oC) dan serbuk temulawak dengan perbandingan
air (ml) dan serbuk (gr) 16:1. Proses pencampuran dilakukan selama 30 menit
dan dilakukan pengadukan agar tidak terjadi pengendapan. Setelah itu,
dilakukan penyaringan menggunakan kain. Penggunaan kain sebagai penyaring
dengan alasan kain memiliki ukuran pori-pori yang kecil, sehingga serbuk dapat
tertahan dan menghasilkan filtrat yang halus. Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga
kali pengulangan. Hasil ekstraksi disatukan dan diendapkan dengan cara
didedahkan pada udara. Endapan kental yang terbentuk dikeringkan lalu
dihancurkan menggunakan blender hingga mendapatkan serbuk halus. Serbuk
dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan di kulkas dan siap digunakan.
c. Penentuan Dosis
Terdapat tiga dosis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu 140 mg/kg
BB, 280 mg/kg BB dan 700 mg/kg BB. Penentuan dosis ini didasarkan pada
penelitian Yadav dan Jain (2010 dan 2011) yang bertujuan untuk melihat profil
biokimia yang mempengaruhi proses implantasi pada uterus dan efek anti
penelitian ini, hewan percobaan yang digunakan adalah mencit betina dara (Mus
musculus) Swiss Webster, maka dilakukan perhitungan konversi dosis dengan
nilai konversi 0,14 untuk tikus putih 200 gr ke mencit 20 gr. Nilai konversi
berdasarkan tabel konversi Laurence & Bacharach (1964) (dalam Daud, 2012)
(Lampiran 6). Perhitungan konversi dapat dilihat di Lampiran 6.
d. Persiapan Mencit dan Aklimatisasi
Mencit yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari PAU ITB.
Mencit dipelihara di Rumah Hewan Botani UPI. Rumah hewan memiliki suhu
minimum 25oC dan suhu maksimum 29oC dengan suhu rata-rata 26,57oC.
Kelembaban relatif ruangan mencapai titik minimum 76 % dan titik maksimum
92 % dengan kelembaban relatif rata-rata 82,86 %. Mencit betina yang dipakai
berumur 8-12 minggu (Haryono, 1996; Sumarmin, 1999; Priyandoko, 2004),
sedangkan mencit jantan yang digunakan berumur 8-14 minggu. Mencit betina
yang dipakai memiliki bobot konstan 25-30 gr (Sumarmin, 1999).
Mencit betina yang memasuki umur reproduksi ditempatkan di kandang
baru dengan sekam yang bersih. Penempatan mencit betina di dalam kandang
menggunakan desain RAL. Kandang yang digunakan berukuran 30 x 20 x 12
cm, terbuat dari plastik dan bening. Kandang ditutup dengan kawat penutup.
Dasar kandang diberikan sekam dan diganti seminggu seminggu sekali.
Mencit betina dan jantan yang digunakan diaklimatisasi selama 7 hari
dalam kandang yang terpisah. Mencit diberi makan berupa pakan standar untuk
anak babi CP 551, produksi PT Charoen Pokphand Indonesia secara ad libitum,
begitu pula dengan pemberian minum (Rugh, 1967; Priyandoko, 2004). Setelah
7 hari aklimatisasi, mencit betina yang memiliki bobot yang konstan dipisahkan.
Setiap mencit betina dikawinkan dengan mencit jantan. Jika keesokan harinya
terjadi perkwinan maka dilanjutkan pada tahap perlakuan.
2. Tahap Penelitian
a. Mengawinkan Mencit
Setelah tujuh hari lamanya aklimatisasi, tahap selanjutnya adalah
hormon dengan komposisi perbandingan jantan dan betina 1:4 untuk setiap
dosisnya (Samah dan Almahdy, 1992). Keesokan harinya setiap betina
diperiksa sumbat vagina (vaginal plug) yang menandakan telah terjadinya
proses perkawin oleh jantan dan ditetapkan sebagai usia kebuntingan ke-0 hari
(Rugh, 1967; Taylor, 1987 dalam Haryono, 1996; Sumarmin et al., 1999;
Priyandoko, 2004; Schwiebert, 2007). Mencit betina yang terdapat sumbat
vagina dipisahkan ke dalam kandang baru, lalu perlakuan dimulai. Perlakuan
tidak dilakukan secara serentak hanya mencit betina yang terdapat sumbat
vagina saja yang dimulai perlakuannya. Perlakuan dilakukan pada kurang lebih
1-3 ekor yang ditemukan sumbat vagina pada setiap harinya. Jika belum terjadi
perkawinan dan tidak ditemukan sumbat vagian maka dilakukan proses
pengawinan kembali.
b. Perlakuan Terhadap Mencit
Setelah proses perkawinan berhasil, mencit betina mulai diberi ekstrak
rimpang temulawak sesuai dosis pada setiap pagi mulai usia kebuntingan ke-0
hari sampai ke-3 (Haryono, 1996; Sumarmin, 1999). Masing-masing dosis yang
diberikan adalah dosis 0 mg/bb, 140 mg/kg BB, 280 mg/kg BB dan 700 mg/kg
BB. Setiap dosis ditimbang menggunakan timbangan Dial-O-Gram, lalu
dilarutkan dalam aquades sebanyak 0,3 ml. Ekstrak diberikan pada mencit
betina dengan metode oral dengan menggunakan syringe 1 ml dan jarum
gavage setiap pagi (Gambar 3.1) (Priyandoko, 2004). Untuk dosis 0 mg/bb
dikelompokkan sebagai kontrol. Maka perlakuannya diberi aquades 0,3 ml
tanpa ekstrak rimpang temulawak.
Pada usia kebuntingan ke-3,5 hari mencit betina dibunuh dengan cara
dislokasi leher (dislocatio cervicalis) lalu dibedah (Haryono, 1996; Sumarmin;
1999; Priyandoko, 2004; Batan et al., 2007, Helmita et al., 2007). Setelah
mencit dibedah, isolasi oviduk dan uterus dilakukan. Setelah itu, tahap
penelitian dilanjutkan ke tahap koleksi embrio untuk analisis perkembangan
Gambar 3.1 Gavage (Sumber:Schwiebert, 2007)
c. Koleksi Embrio
Setelah pembedahan mencit, oviduk dan uterus diisolasi. Lalu dibersihkan
dari darah dan lemak di dalam larutan NaCl 0,96% (larutan fisiologis) yang
ditempatkan di cawan Petri. Embrio diambil dengan metode flushing
menggunakan cairan Phosphate Buffered Saline (PBS ) pH 7,2. Flushing
menggunakan syringe 1 ml dengan jarum ukuran 26 G. Flushing dilakukan di
atas kaca arloji yang telah dibersihkan menggunakan alkohol (Hogan, 1987;
Dye, 1993). Proses flushing embrio dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Metode Flushing; a) Cara Memasukkan Jarum ke Ujung Oviduk, b) Flushing Embrio di Atas Kaca Arloji (Sumber: Dye, 1993; Priyandoko, 2004).
d. Pengamatan dan Analisis Embrio Praimplantasi
Setelah koleksi embrio didapatkan, lalu dilakukan analisis tahap-tahap
embrio praimplantasi. Tahap-tahap praimplantasi dilakukan dengan melihat
morfologi embrio. Embrio dikelompokkan berdasarkan tahapannya, yaitu
embrio yang mengalami kelambatan perkembangan atau belum mencapai tahap
blastokista, embrio yang tidak mengalami kelambatan perkembangan dan
a) b) pinset
Jarum 26 G yang dipasang pada syringe 1 ml berisi medium PBS
Cawan arloji berisi embrio dan medium PBS
embrio abnormal. Embrio yang mengalami kelambatan perkembangan adalah
embrio tahap pembelahan (1-8 sel), morula tidak mampat dan morula mampat.
Sedangkan, embrio yang tidak mengalami kelambatan perkembangan, yaitu
blastokista saja (Sumarmin et al., 1999; Priyandoko, 2004). Selain itu, jumlah
setiap tahapan embrio dihitung. Setelah dihitung jumlah tahapannya,
blastokista yang didapatkan dipisahkan ke cawan Petri lain, lalu dihitung
diameter horizontal dan vertikal menggunakan lensa objective micrometer yang
telah dikalibrasi menggunakan oculer micrometer. Tujuan penghitungan
diameter adalah untuk mengetahui rata-rata diameter blastokista setiap dosis.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop listrik
binokuler.
3. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara
kualitatif dilakukan dengan cara melihat morfologi untuk menentukan tahapan
embrio praimplantasi. Selain menentukan tahapan, analisis morfologi dilakukan
untuk menentukan abnormalitas embrio. Analisis kuantitatif dilakukan dengan
cara menghitung jumlah, rata-rata dan persentase embrio praimplantasi baik
setiap tahapan maupun total keseluruhan.
Analisis data kuantitatif pun dilakukan dengan pengujian hipotesis.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan softwarer SPSS 16. Pengujian hipotesis
dilakukan menggunakan One way ANOVA jika data terdistribusi normal
(parametrik). Pengujian hipotesis akan dilakukan menggunakan uji statistik
Wilcoxon’s rank sum test, jika data tidak terdistribusi normal (non parametrik). Pengujian secara statistik ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh ekstrak temulawak terhadap embrio praimplantasi mencit secara
4. Alur Penelitian
TAHAP PRA PENELITIAN
Pembuatan ekstrak temulawak Aklimatsasi mencit selama tujuh hari
Proses pengawinan mencit yang siap kawin
Pengamatan sumbat vagina
Jika ada:
Perlakuan dengan memberi ekstrak temulawak secara gavage selama 3,5 hari kebuntingan
Jika tidak ada:
Pengawinan kembali
Analisis tahapan embrio dan perhitungan jumlah embrio praimplantasi
Pengukuran diameter blastokista
Analisis data
Penysunan Skripsi
Gambar 3.3 Alur Penelitian
Pembedahan dan isolasi oviduk danuterus Pembuatan Proposal
Persiapan Alat dan Bahan