• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMALISASI BLOCKING DALAM MEMBANGUN DRAMATISASI PADA DRAMA TELEVISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMALISASI BLOCKING DALAM MEMBANGUN DRAMATISASI PADA DRAMA TELEVISI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI BLOCKING DALAM MEMBANGUN DRAMATISASI PADA DRAMA TELEVISI Haryo Windratno

Program Studi Penyiaran Akademi Komunikasi BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No. 2, Pemuda, Rawamangun Jakarta Timur

haryo.hwo@bsi.ac.id

Abstract

The director is an artist who led the course of a production, a person who is responsible for the final result of a work. Blocking is the placement of an object, place the object in a certain position to have the de-sired meaning and motivation. Blocking is a player who is placed in front of the camera in the foreground and background to create dimension or depth images. Dramatization is something exaggerated, both pleasure and sadness. Drama requires dramatization to raise a conflict with the appropriate placement of players blocking between foreground and background, so that the resulting visual unimpressed flats or flat, yet dynamic and has a depth image.

Key words : blocking, drama, , dramatization Abstraksi

Sutradara merupakan pekerja seni yang memimpin jalannya sebuah produksi, seseorang yang bertanggung jawab pada hasil akhir sebuah karya. Blocking merupakan penempatan sebuah benda, menempatkan benda pada posisi tertentu untuk memiliki arti dan motivasi yang diinginkan. Block-ing yang dimaksud ialah blockBlock-ing pemain yang diletakkan di depan kamera di antara latar depan dan la-tar belakang untuk menciptakan dimensi atau kedalaman gambar. Dramatisasi ialah sesuatu yang dilebih-kan, baik kesenangan maupun kesedihan. Drama membutuhkan dramatisasi untuk mengangkat sebuah kon-flik dengan penempatan blocking pemain yang sesuai diantara latar depan dan latar belakang, se-hingga visual yang dihasilkan tidak terkesan datar, namun dinamis dan memiliki kedalaman gambar. Kata kunci : bloking, drama, dramatisasi

I. PENDAHULUAN

Televisi mengalami banyak sekali perubahan-perubahan secara signifikan. Dunia televisi menga-lami revolusi-revolusi penting sejak hadirnya tekno kapitalis abad ini, yaitu multikanal (multi channel) televisi. Program-program televisi ditopang oleh in-dustri teknologi langsung jadi, tidak perlu proses di laboratorium seperti perekaman film lewat seluloid.

Sejalan dengan itu, revolusi dalam bidang drama televisi juga terjadi. Pertama pada aspek este-tika dan sains, melahirkan budaya untuk mengeksplo-rasi teknologi terus menerus, melahirkan penemuan tata cahaya, tata gerak, adegan hingga komposisi-komposisi baru. Eksplorasi ini memunculkan format produksi yang beragam pula pada drama televisi, seperti: drama studio, fragmen, sinema elektronik (sinetron) seri, dan juga sinetron lepas, yang karena pendekatan estetiknya menyerupai film maka ser-ing juga disebut film televisi (FTV). FTV kini men-jadi program unggulan beberapa stasiun televisi

nasional saat ini. Salah satunya SCTV yang mer-upakan salah satu stasiun televisi yang produk-tif dalam memproduksi program FTV drama.

Drama dapat dianggap sebagai interpretasi kehidupan. Hal ini sejalan dengan yang diungkap-kan oleh Waluyo (2006: 32) bahwa drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan, berusaha me-motret kehidupan secara riil. Jadi sebagai interpre-tasi terhadap kehidupan, drama mempunyai keka-yaan batin yang tiada tara. Kehidupan yang ditiru oleh penulis drama dalam lakon diberi aksentuasi-aksentuasi sesuai dengan sisi kehidupan mana yang akan ditonjolkan oleh penulis. Hal yang ditunjuk-kan itu aditunjuk-kan menentuditunjuk-kan konflik yang dibangun. Saptaria (2006: 5), seorang sutradara harus mampu meramu efek-efek dramatis seperti yang dika-takan sutradara harus mampu meramu sejumlah besar efek-efek dramatik yang artistik untuk menggam-barkan berbagai perasaan dengan cara yang natural.

(2)

Permainan mekanis cenderung menggunakan pola-pola yang sudah halus dalam menjiwai peran dan tidak berakibat pada gaya over-acting atau permainan yang dibuat-buat. Tapi drama juga tidak dapat dipi-sahkan dengan unsur dramatisasi

Menurut Waluyo (2006: 39) klasifikasi drama didasarkan atas jenis storeotip dan tanggapan manu-sia terhadap hidup dan kehidupan. Seorang pengarang drama dapat menghadapi kehidupan ini dari dua sisi yang menggembirakan dan sebaliknya dapat juga dari sisi yang menyedihkan. Dapat juga seseorang mem-berikan variasi antara sedih dan gembira, mencam-purkan dua sikap itu karena dalam kehidupan nyata manusia tidak selalu sedih dan tidak selalu gembira.

Pada hal ini, memaksimalkan blocking men-jadi salah satu aspek yang menentukan segi drama-tisasi sebuah adegan dalam drama. Peran sutradara dapat mengatur blocking pemainnya secara tepat di antara latar depan atau foreground dengan latar be-lakang atau background. Kreatif interpretatif ter-hadap kedalaman suatu objek nantinya dapat digu-nakan untuk mendukung pemaksimalan karakter objek dalam gambar sehingga akan membangun sebuah dramatisasi tanpa mengurangi nilai estetis Mengatur blocking pemain membutuhkan pemikiran yang matang dari seorang sutradara, ka-rena blocking erat hubungannya dengan penempatan kamera dalam menciptakan shot dan juga peralatan teknis lainnya, adanya perbedaan blocking dan shot juga dapat menimbulkan arti yang berbeda dalam kaitannya dengan penggambaran segi dramatisasi kesedihan maupun kebahagiaan atau kegembiraan. II. PEMBAHASAN

2.1. Drama

Drama menurut Kamus Besar Bahasa Indo-nesia (2005: 275) adalah cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau emosi. Drama juga pat diartikan mode spesifik dari representatif fiksi da-lam pertujukan. Dada-lam bahasa Yunani klasik drama berarti “aksi” yang berasal dari kata “melakukan’. Drama ditampilkan dalam berbagai macam media seperti: teater, film dan televisi.

Menurut. Harymawan (1993: 1) drama dibagi membagi tiga arti, pertama: drama adalah kualitas komunikasi, situasi, action, (segala apa yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting), dan ketegangan pada pendengar atau penonton.

Drama juga dipahami sebagai “hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action).

Jika buku roman menggerakkan fantasi pembaca, maka dalam drama, penonton diajak melihat kehidu-pan manusia yang diekspresikan secara langsung di muka kita sendiri. Masih dalam arti kedua Mathews dalam Harymawan (1993) drama dipahami sebagai Konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama. Sedangkan Brunetierre dalam Harymawan (1993) mengartikan drama sebagai sesuatu yang harus melahirkan kehendak manusia dengan action. Sementara Verhagen dalam Harymawan (1993) men-gartikan drama sebagai kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak.

Bagian drama identik dengan program ber-nuansa fiktif seperti sinetron, film, telenovela dan sebagainya. Penggarapan program drama cukup sulit karena menyangkut seni peran. Program Acara drama berupa sinetron sampai saat ini masih menjadi pri-madona hampir di semua stasiun televisi, meskipun sedikit mulai tergeser dengan program-program va-riety show non-drama berupa hiburan musik, konser dan lain-lain (Setyobudi, 2006: 45).

2.2. Sutradara

Menurut RMA. Harymawan (1993: 63) sutra-dara adalah karyawan yang mengkoordinasikan sega-la unsur teater dengan paham, kecakapan, serta daya khayal yang intelegen sehingga mencapai suatu per-tunjukkan yang berhasil. Marselli Sumarno (1996: 34) mengartikan sutradara adalah menduduki posisi tert-inggi dari segi artistik, Ia memimpin pembuatan film tentang bagaimana yang harus tampak oleh penonton. Sementara pengertian sutradara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah orang yang memberi penge-tahuan dan bertanggung jawab atas masalah artistik dan teknis dalam pementasan drama, pembuatan film (2005: 1112).

Dalam pemahaman Harymawan tersebut sutradara memiliki pengertian bahwa ia juga memi-liki tugas pokok untuk membina kinerjanya dalam merancang sebuah blocking, salah satunya adalah me-nyusun scene (baca: mis ong sen). mise-en-scene dipahami segala perubahan yang terjadi pada daerah permainan yang disebabkan oleh perpindahan pemain atau peralatan.

Pengertian lain mise-en-scene menurut Pratis-ta (2008: 61) ialah segala hal yang terlePratis-tak di depan kamera yang akan diambil gambarnya dalam sebuah produksi film. Mise-en-scene berasal dari kata Peran-cis yang memiliki arti “putting in the scene” mise-en-scene adalah unsur sinematik yang paling mu-dah kita kenali karena hampir seluruh gambar yang kita lihat dalam film adalah bagian dari unsur ini.

(3)

Menurut Harymawan (1993: 68) mis-en-scene memiliki struktur visual dalam lakon dengan kompo-sisi pentas. Pemberian bentuk ini bisa tercapai dengan 14 macam cara yaitu: sikap pemain, pengelompokan, pembagian tempat kedudukan pelaku, penempatan saat masuk dan keluar, penempatan perabot, posisi dua pemain yang berhadapan, komposisi dengan menggunakan garis dalam penempatan pelaku, ek-spresi kontras dalam warna pakaian, efek tata sinar, memperhatikan ruang disekitar pemain, menguat-kan/meluangkan kedudukan peranan, memperhati-kan latar belamemperhati-kang, keseimbangan dalam komposisi dan dekorasi. Sedangkan asek mise-en-scene masih menurut Pratista (2008) untuk membangun kekuatan film meliputi:

a. Setting (latar)

Setting adalah seluruh latar bersama segala propertinya. Properti dalam hal ini adalah semua benda tidak bergerak seperti, jendela, perabot, pintu, kursi, lampu, pohon dan sebagainya. Set-ting yang digunakan dalam sebuah film umum-nya dibuat seumum-nyata mungkin dengan konteks cer-itanya. Fungsi setting adalah untuk menunjukan ruang dan wilayah, petunjuk waktu, petunjuk status sosial, pembangun mood, petunjuk motif tertentu dan pendukung aktif adegan.

b. Kostum dan tata rias wajah

Kostum adalah segala hal yang dikenakan pe-main bersama seluruh asesorisnya. Asesoris kos-tum termasuk diantaranya, topi, perhiasan, jam. Dalam sebuah film busana tidak hanya seka-dar sebagai penutup tubuh semata namun juga memiliki beberapa fungsi sesuai dengan konteks naratifnya. Tata rias dan wajah secara umum memiliki dua fungsi, yakni untuk menunjukan usia dan untuk menggambarkan wajah nonma-nusia.

c. Pencahayaan

Tanpa cahaya, sebuah benda tidak akan memi-liki wujud. Tanpa cahaya sebuah film tidak akan terwujud. Seluruh gambar yang ada da-lam film bisa dikatakan merupakan hasil ma-nipulasi cahaya. Cahaya membentuk sebuah benda serta dimensi ruang. Tata cahaya da-lam film secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat unsur, yakni, kualitas, arah, sumber serta warna cahaya. Keempat un-sur ini sangat mempengaruhi tata cahaya dalam membentuk suasana serta mood sebuah film. d. Para pemain dan pergerakannya Seorang sineas juga harus mengontrol pemain dan pergerakannya. Seperti kita ketahui karak

ter merupakan pelaku cerita yang memotivasi naratif dan selalu bergerak dalam melakukan sebuah aksi. Hal yang perlu dicatat adalah pelaku cerita yang dapat memiliki wujud fisik yang beragam dan tidak selalu berwujud manusia. Adapun pelaku cerita juga dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis sesuai tuntu-tan dan fungsinya dalam sebuah film. Terakhir yang merupakan salah satu kunci utama untuk menentukan keberhasilan film adalah performa seorang pemain.

Selanjutnya yang harus disiapkan ialah floor plan. Dalam hal ini Naratama (2004: 113) berpenda-pat bahwa floor plan adalah deskripsi lokasi syuting yang dibuat dari arah atas (top angle) jawabannya. Lalu floor plan tadi sesuai dengan sudut posisi kam-era, termasuk dengan camera movement dan obyek apa saja yang bisa diambil. Semuanya digambarkan secara sketsa dan hanya di atas kertas. Dari floor plan inilah blocking bisa dibuat, yang nantinya untuk un-tuk ruang gerak penyanyi, figuran, dan juga penata kamera. Gambar yang dibuat tidak perlu bagus, tetapi bisa menjelaskan seluruh kemauan sutradara. Untuk itu, anda juga harus membiasakan diri menggunakan floor plan, agar ide anda dapat dijelaskan dengan mu-dah.

2.3. Blocking

Pengertian blocking menurut Livingston (1969: 54) ialah penempatan pemain dipanggung, diusahakan antara pemain yang satu dengan pemain yang lainnya tidak saling menutupi sehingga penon-ton tidak dapat melihat pemain yang ditutupi. Ben-tuk blocking akan berpengaruh pada sebuah kompo-sisi dalam bingkai atau frame, dimana penempatan obyek dalam frame akan membentuk sebuah kompo-sisi. Komposisi adalah penempatan benbenda da-lam bingkai pemotretan dan ingat ada peraturan yang harus dituruti.

Menurut Proferes (2006: 34) penentuan blocking dapat dibuat terlebih dahulu dengan meng-gunakan floor plan atau overhead. Floor plan sama juga dengan pemandangan luas dari lokasi. Meskipun beberapa lokasi tidak dapat sama persis dengan floor plan namun akan membantu sutradara dalam menem-patkan pemainnya. Floor plan dapat digunaka sebagai “choreograph” sebelum adegan diambil mengguna-kan kamera. Hal ini memungkinmengguna-kan sutradara untuk mengarahkan pemainnya dengan memperhitungkan sebuah tindakan karakter pemain dan juga semua plot cerita dalam adegan yang diinginkan. Beberapa con-toh floor plan atau overhead untuk menempatkan pe-main dalam adegan adalah sebagai berikut :

(4)

Gambar 1 : Floor plan Sumber : Proferes, 2005

Blocking yang menghasilkan kompisisi yang baik serta dinamis, akan membentuk sebuah adegan yang memiliki nilai dramatis atau dilebihkan namun tetap natural. Seperti yang diungkapkan Nicholah T. Pro-feres (2006: 32) dalam menjelaskan sebuah perger-akkan pemain untuk menghasilkan efek dramatisasi ketika adanya pergerakkan yang dinamis antara ka-rakter, kurangnya pergerakan yang dinamis serta karakter yang statis akan menjadi tidak dramatis.

2.4 Dramatisasi

Dramatisasi menurut Nicholas T. Proferes (2006: 33) seperti halnya sebuah paragraf dalam pro-sa, ini mencakup salah satu ide dramatis yang dilebi-hkan. Menjaga ide dramatisasi akan memberikan be-berapa gebrakan dan kekuatan, serta dapat membuat penonton merasa puas. Dalam prosa, ketika kita akan memikirkan ide lainnya kita akan membuat paragraf baru, untuk menjelaskan kepada pembaca lebih lanjut, atau dalam dramatisasi film menjelaskan tentang nar-rative atau pergantian dramatisasi. Adanya beberapa dramatisasi yang berubah yang diberikan kepada pe-nonton merupakan momen yang paling diutamakan.

Dramatisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indo-nesia memilki arti ialah penyesuaian cerita untuk per-tunjukan sandiwara, pendramaan, hal membuat suatu peristiwa menjadi mengesankan atau mengharukan (2005: 276). Pada prinsipnya, dramatisasi cerita adalah memahami dan mengeksplorasi naskah secara sung-guh-sungguh, kemudian membuat rencana untuk me-mentaskan naskah tersebut bersama seluruh pemain.

Blocking pemain yang dinamis sangat berpen-garuh pada visual yang dramatik, dimana jika seorang pemain yang diletakkan didepan kamera secara statis maka kedinamisan gambar tentunya tidak tercapai, lain halnya jika blocking pemain bergerak sesuai a-degan dalam naskah serta dukungan dari pergerakkan shot yang diambil oleh kamera akan menimbulkan suatu gambar yang dinamis dan memiliki arti drama-tisasi.

Himawan Pratista (2008:114) menjelaskan se-cara singkat tentang penempatan obyek pada bingkai-untuk menghasilkan komposisi yang seimbang antara obyek dan kamera yakni ketika kamera mengambil gambar sebuah obyek, sutradara dapat memilih po-sisi obyek tersebut dalam bingkainya sesuai tuntutan naratif serta estetik. Sineas bebas meletakkan sebuah obyek dimana pun di dalam bingkai kamera, di ten-gah, di pinggir, di atas, di bawah, sejauh komposisinya masih seimbang dan menyatu secara visual. Sebuah obyek tidak harus selalu berada di tengah bingkai kamera untuk mencapai komposisi yang seimbang. Obyek lain di sekitar obyek utama juga mampu mem-pengaruhi komposisi, dan sangat bergantung dari po-sisi dan pergerakkan obyek itu. Sineas harus selalu memperhitungkan komposisi frame secara menyelu-ruh terlebih jika obyeknya bergerak serta komposisi kamera berpindah.

Penataan blocking selain dapat menimbulkan efek dramatisasi dan dapat juga memberikan kesan gambar yang dinamis, estetis atau artistik serta memi-liki kedalaman gambar antar latar depan dan latar belakang serta tidak membosankan karena pemain dan kamera selalu bergerak. Sebuah kerjasama antara sutradara dalam menentukan blocking pemain dengan seorang kamerawan dalam menentukan shot menjadi hal yang penting untuk menimbulkan efek gambar yang dramatis.

Perencanaan blocking dapat berawal dari pembuatan story board berdasarkan adegan dalam naskah. Dari story board kemudian dapat dikembang menjadi floor plan denah lokasi produksi, sehingga penempatan cahaya dan kamera dapat direncanakan untuk menghasilkan visual yang diinginkan. Bloking tidak bisa begitu saja dibuat tanpa adanya perenca-naan yang optimal. Baik buruknya hasil visualisasi sangat dipengaruhi oleh perencanaan blocking. Guna mendapatkan perencanaan blocking yang baik, tidak hanya diperlukan survei lokasi tapi daya imajinasi juga dibutuhkan dan bisa menambah unsur dramatisir pada produksi drama. Semua perangkat yang digunakan dalam produksi juga harus diperhi-tungkan sebab bisa mempengaruhi pergerakan obyek .

(5)

Dari gambar story board di atas, sangat jelas adegan yang akan dibuat adalah situasi kelas. Penjela-san shot yang ada didalam storyboard kemudian diper-jelas dengan pembuatan floor plan sehingga perenca-naan tata kamera dan tata cahaya dapat direncanakan dengan baik sebelum pengambilan gambar dilakukan

Dengan story board diatas semakin memper-jelas perencanaan pengambilan gambar yang ber-mula dari coretan story board. Penempatan lam-pu (lighting) dan kamera dari berbagai sudut dapat direncnakan untuk menghasilkan gambar yang diinginkan. Ekspresi pemeran drama harus Gambar 2 : contoh story board

(6)

ditampilkan untuk menimpulkan efek dramatis melalui ekspresi senang atau sedih. Berikut tampilan floor plan yang dibuat berdasar dari story board pada gambar 2.

Gambar 3 : floor plan Sumber : konstruksi penulis

Gambar floor plan diatas semakin memper-jelas perencanaan pengambilan gambar yang bermula dari coretan story board. Penempatan lighting dan kamera dari berbagai angle dapat direncnakan untuk menghasilkan gambar yang diinginkan. Ekspresi pe-meran drama harus di tampilkan untuk menimpulkan efek dramatis melalui ekspresi senang atau sedih.

Proses perencanaan dari story board dan floor plan, kemudian masuk pada tahapan pengam-bilan gambar yang telah direncanakan sebelumnya. Diharapkan pada tahapan ini, semua yang telah direncanakan sebelumnya dapat direalisasikan, se-hingga proses produksi dapat lancar sesuai rencana

Gambar 4 : hasil jadi cuplikan hasil shot Sumber : dokumen penulis

Gambar diatas merupakan salah satu shot yang dihasilkan berdasarkan story board dan floor plan yang telah direncanakan. Shot tersebut juga memiliki moti-vasi dan dramatisasi tentang ekspresi para siswa SD dan tokoh utama yang serius dalam mengikuti pelajaran.

III. PENUTUP

Mewujudkan ide menjadi suatu bentuk karya merupakan sebuah perjalanan panjang dari proses kreatif. Dalam produksinya, drama televisi ini mem-butuhkan proses pemikiran yaitu pencarian ide, ga-gasan atau cerita serta proses teknis yaitu komposisi blocking untuk mewujudkan hal-hal tersebut menjadi sebuah karya yang layak untuk disaksikan. Kerja kolektif dengan diskusi-diskusi panjang baik dengan kru dan pemain menjadikan proses kreatif itu berjalan baik.

Blocking pemain, properti maupun kamera turut menentukan unsur dramatisasi pemain tidak lepas dari konsep-konsep penyutradraan dan arahan seorang sutradara kepada pemainnya untuk berakting didepan kamera. Kesalahan dalam nemempatkan pe-main akan berakibat buruk bagi gambar yang dihasil-kan. Perlunya ketelitian dalam memilih penempatan blocking dirasa sangat penting, karena posisi pemain yang baik dan tepat dapat mempermudah menentu-kan angle kamera sesuai motivasi dan pesan yang in-gin disampaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Harymawan, RMA. 1993. Dramaturgi. Bandung: Rosdakarya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. 2005. Jakarta: Balai Pustaka.

Naratama. 2004. Menjadi Sutradara Televisi dengan Single dan Multi Camera. Jakarta: PT. Gra-sindo.

Pratista, H. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Proferes, N.T. 2005. Film Directing Fundamentals Second Edition : See Your Film Before Shoot-ing. America: Focal Press.

Saptaria, Rikrik El. 2006. Acting Handbook. Ban-dung: Rekayasa Sains.

Setyobudi, C. 2006. Teknologi Broadcasting TV. Yo-gyakarta: Graha Ilmu.

Waluyo, Herman J. 2006. Drama; Naskah, Pemen-tasan, dan Pengajarannya. Surakarta: LPP UNS & UNS Press.

Gambar

Gambar 1 : Floor plan Sumber    : Proferes, 2005
Gambar 3 : floor plan Sumber    : konstruksi penulis

Referensi

Dokumen terkait