• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTIVITAS YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA KONSUMSI PAKAN TARSIUS (Tarsius bancanus) DI PENANGKARAN PADA MALAM HARI SKRIPSI NANIK SUMIYARNI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKTIVITAS YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA KONSUMSI PAKAN TARSIUS (Tarsius bancanus) DI PENANGKARAN PADA MALAM HARI SKRIPSI NANIK SUMIYARNI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA

KONSUMSI PAKAN TARSIUS (Tarsius bancanus)

DI PENANGKARAN PADA MALAM HARI

SKRIPSI NANIK SUMIYARNI

PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(2)

RINGKASAN

NANIK SUMIYARNI. D24101047. 2005. Aktivitas yang Berhubungan dengan Pola Konsumsi Pakan Tarsius (Tarsiusbancanus) di Penangkaran Pada Malam Hari. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Anita Sardiana Tjakradidjaja, MRur. Sc. Pembimbing Anggota I : Ir. Wirdateti, M. Si.

Pembimbing Anggota II : Ir. Didid Diapari, MS.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan flora dan fauna. Namun, pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebih telah merusak habitat satwa yang ada di dalamnya, yang mengakibatkan beberapa satwa hampir punah dari permukaan bumi, salah satunya Tarsius bancanus. Tarsius merupakan hewan nocturnal, yaitu aktif di malam hari. Salah satu usaha untuk mencegah kepunahan satwa tersebut adalah dengan melakukan penangkaran. Informasi mengenai aktivitas makan Tarsius

bancanus masih sangat terbatas, terutama di penangkaran. Padahal salah satu aspek

biologi yang perlu diketahui adalah aktivitas. Aktivitas makan mempengaruhi pakan yang dikonsumsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mempelajari aktivitas dan pola makan Tarsius bancanus di penangkaran pada malam hari.

Penelitian dilakukan selama 2 bulan yaitu dari tanggal 3 Juli sampai 4 September 2004 di Penangkaran Mamalia Kecil Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. Hewan penelitian yang digunakan yaitu dua ekor Tarsius bancanus. Pakan yang diberikan adalah jangkrik dan belalang. Pengambilan data aktivitas dilakukan tiga kali dalam seminggu dengan menggunakan metode One Zero yaitu mencatat berdasarkan pada setiap aktivitas yang terjadi. Angka satu apabila ada aktivitas dan nol bila tidak ada aktivitas. Data dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif. Selain itu data konsumsi pakan dan produksi feses juga dikumpulkan dan dihitung berdasarkan analisa proksimat.

Besarnya aktivitas makan, minum, urinasi, defekasi, lokomosi, grooming dan istirahat pada malam hari berturut–turut adalah 18,98%, 1,20%, 11,95%, 4,53%, 34,48%, 20,49% dan 8,35%. Persentase aktivitas makan tertinggi terjadi pada pukul 18.00 – 19.00 WIB, yaitu sebesar 3,54%. Aktivitas makan terendah terjadi pada pukul 00.00 – 01.00 WIB dan pukul 03.00 – 04.00 WIB, yaitu sebesar 0,88%. Konsumsi pakan rata-rata perhari adalah 4,93 gram BK. Dari dua jenis pakan yang diberikan ternyata jangkrik lebih disukai daripada belalang. Konsumsi jangkrik rata-rata per hari adalah 2,39 gram BK, sedangkan untuk belalang adalah 2,54 gram BK. Produksi feses rata-rata per hari adalah 0,65 gram BK. Konsumsi protein jangkrik dan belalang rata-rata dalam sehari adalah 1,53 gram dan 1,70 gram. Konsumsi serat kasar jangkrik dan belalang rata-rata dalam sehari adalah 0,19 gram dan 0,50 gram. Konsumsi energi jangkrik dan belalang rata-rata dalam sehari adalah 15,695 kkal dan 12,738 kkal.Tingginya aktivitas makan pada pukul 18.00 – 19.00 WIB dapat dijadikan pedoman untuk waktu pemberian pakan yang efektif bagi Tarsius

bancanus di penangkaran.

(3)

ABSTRACT

Activities Related to Feed Intake Pattern of Tarsius (Tarsius bancanus) in Captivity at Night.

N. Sumiyarni, A. S. Tjakradidjaja, Wirdateti, and D. Diapari

Indonesia is known as a country which has various spesies of flora and fauna. Many of them are becoming extinct these animal are very useful as an object of experiment and also as pet animals. Nowadays wild animals in Indonesia are facing serious problem by increasing in rate of extinction due to evolution and human unwise management of nature. Therefore, preventing the extinction of wild animals can be done by conservation and protection of wild animals in captivity. Tarsius bancanus is one of distinct animal that should be protected. Tarsius bancanus is a nocturnal animal that distributes in Kalimantan, Bangka, Natuna and Sumatera island. Information of feeding activity of Tarsius bancanus is limited, especially in captivity. Feeding activity is an important factor that can influence feed intake. This exsperiment is aimed at studying feeding activity and pattern of feed intake of

Tarsius bancanus in captivity at night. Two tarsius from Sumatera, were used in this

experiment. Data of activity were recorded which included feeding, drinking, urination, defecation, locomotion, grooming and resting avtivities. In addition, the amount of feed intake and fecal production were also recorded. Data were analized quantitatively and descriptively. The results show that feeding, drinking, urination, defecation, locomotion, grooming and resting activities are 18.98%, 1.20%, 11.95%, 4.53%, 34.48 %, 20.49% and 8.35 %. The highest feeding activity (3.54%) occurs at 18 – 19 p.m. with feed intake is 0.92 gram dry matter (DM). The lowest feeding activity (0.88%) occurs at 0 – 1 a.m. and 3 – 4 a.m with feed intakes 0.23 gram DM. The average daily feed intake is 4.93 gram DM, with the average of cricket intake is 2.54 gram DM and grasshoper intake is 2.39 gram DM. The average daily fecal production is 0.65 gram DM. The average daily protein intake of cricket and grasshoper are 1.53 gram and 1.70 gram. The average daily crude fiber intake of cricket and grasshoper are 0.19 gram and 0.51 gram. The average daily energy intake of cricket and grasshoper are 15.695 ccal and 12.738 ccal. Feeding activity at 18 – 19 p.m. are the highest activity that occurred, this time can be used as a guideline for effective feeding program of Tarsius bancanus in captivity.

(4)

AKTIVITAS YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA

KONSUMSI PAKAN TARSIUS (Tarsius bancanus)

DI PENANGKARAN PADA MALAM HARI

NANIK SUMIYARNI D24101047

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

AKTIVITAS YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA

KONSUMSI PAKAN TARSIUS (Tarsius bancanus)

DI PENANGKARAN PADA MALAM HARI

Oleh

NANIK SUMIYARNI D24101047

Skripsi ini telah disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Oktober 2005

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota I Pembimbing Anggota II

Ir. Anita S. T, MRur. Sc. Ir. Wirdateti, M. Si. Ir. Didid Diapari, MS. NIP. 131 624 189 NIP. 320 005 299 NIP. 131 878 940

Mengetahui

Dekan Fakultas Peternakan

Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur. Sc NIP. 131 624 188

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 11 April 1982 di Karanganyar, Solo, Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ayah Siswo Suprapto dan Ibu Kartini. Pendidikan Penulis dimulai pada tahun 1985 yaitu di TK Dharma Wanita Karaganyar. Tahun 1988 Penulis masuk sekolah dasar di SDN I Bulurejo, Karanganyar dan lulus pada tahun 1995. Sekolah lanjutan tingkat pertama diselesaikan Penulis pada tahun 1998 di SLTPN I Gondangejo, Karanganyar. Tahun 2001 Penulis lulus dari sekolah menengah atas yaitu di SMU Batik I Surakarta, Jawa Tengah. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2001.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas yang Berhubungan dengan Pola Konsumsi Pakan Tarsius

bancanus di Penangkaran Pada Malam Hari” ditulis berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan Penulis mulai bulan Juli–September 2004 di Penangkaran Mamalia Kecil Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.

Pemanfaatan sumberdaya alam dan perambahan hutan yang berlebih telah merusak habitat satwa yang ada di dalamnya, yang mengakibatkan beberapa satwa hampir punah dari permukaan bumi, salah satunya Tarsius bancanus. Tarsius merupakan hewan nokturnal, yaitu aktif di malam hari. Tarsius bancanus tersebar di pulau Kalimantan, Bangka, Natuna dan Sumatra. Salah satu usaha untuk mencegah kepunahan satwa tersebut adalah dengan melakukan penangkaran. Informasi mengenai aktivitas makan Tarsius bancanus masih sangat terbatas, terutama di penangkaran. Padahal salah satu aspek biologi yang perlu diketahui adalah aktivitas. Aktivitas makan akan mempengaruhi pakan yang dikonsumsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari aktivitas dan pola konsumsi pakan Tarsius bancanus di penangkaran pada malam hari.

Pengamatan atau pengambilan data aktivitas dilakukan tiga kali dalam seminggu dengan metode one–zero. Sebelum pengamatan dilakukan, kandang harus dalam keadaan bersih, agar dapat mempermudah dalam pengamatan. Pemberian pakan dilakukan sore hari sebelum pengamatan. Dalam penelitian ini dihitung juga konsumsi pakan dan produksi feses, sehingga dengan mengetahui aktivitas dan pola konsumsi pakan dapat memberikan menejemen yang baik dalam pemberian pakan bagi Tarsius bancanus di penangkaran.

Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi peternakan maupun penangkaran. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

Bogor, Oktober 2005 Penulis

(8)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT... ii RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Satwa Primata ... 3

Morfologi Tarsius bancanus... 3

Habitat dan Penyebarannya ... 4

Pakan Tarsius... 5

Tingkah Laku... 6

Tingkah Laku Umum Tarsius bancanus... 8

Penangkaran... 11

Status Konservasi... 12

Konsumsi Pakan... 12

METODE... 14

Waktu dan Tempat ... 14

Materi ... 14 Hewan Penelitian ... 14 Kandang ... 14 Bahan Pakan ... 15 Peralatan... 15 Metode... 16 Cara Kerja... 16 Peubah... 17 Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN... 18

Kondisi Umum... 18

Pengamatan Aktivitas... 20

Aktivitas yang Berhubungan Langsung dengan Pola Konsumsi Pakan 22 Aktivitas Makan ... 22

(9)

Konsumsi Pakan ... 23

Pemilihan Pakan ... 24

Konsumsi Zat Makanan... 25

Konsumsi Energi ... 27

Cara Makan... 27

Aktivitas Minum... 29

Aktivitas Urinasi... 30

Aktivitas Defekasi... 30

Aktivitas yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pakan... 32

Aktivitas Lokomosi... 32

Aktivitas Grooming... 33

Aktivitas Istirahat... 34

KESIMPULAN DAN SARAN... 36

Kesimpulan... 36

Saran... 36

UCAPAN TERIMA KASIH... 37

DAFTAR PUSTAKA... 38

LAMPIRAN... 41

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rataan Suhu (0C) dan Kelembaban (%) Kandang di Penangkaran ... 19 2. Kandungan Zat Makanan Jangkrik dan Belalang Berdasarkan % BK 25

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bahan Pakan dan Minum Tarsius bancanus... 15

2. Kandang Tarsius bancanus di Penangkaran LIPI Cibinong ... 20

3. Persentase Aktivitas Tarsius bancanus di Penangkaran dari Pukul 18.00 WIB sampai Pukul 06.00 WIB ... 20

4. Alokasi Waktu Aktivitas yang Berhubungan Langsung dengan Pola Konsumsi Pakan Tarsius bancanus... 22

5. Konsumsi Pakan Tarsius bancanus Berdasarkan Bahan Kering (g) .. 23

6. Konsumsi Protein Bahan pakan (g) ... 26

7. Konsumsi Serat Kasar Bahan Pakan (g) ... 26

8. Konsumsi Energi Bahan Pakan (kal/gBK)... 27

9. Produksi Feses Tarsius bancanus Berdasarkan Bahan Kering (g)... 31

10. Feses Tarsius bancanus... 31

11. Alokasi Waktu Aktivitas yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pakan Tarsius bancanus... 32

12. Tarsius bancanus... 35

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Rataan Persentase Aktivitas Tarsius (Tarsius bancanus) ... 42 2. Rataan Konsumsi Pakan (g) Tarsius (Tarsius bancanus) Berdasarkan

Bahan Kering... 42 3. Rataan Produksi Feses (g) Tarsius (Tarsius bancanus) Berdasarkan

Bahan Kering... 43 4. Rataan Konsumsi Protein (g) Bahan Pakan Tarsius (Tarsius bancanus) 43 5. Rataan Konsumsi Serat Kasar (g) Bahan Pakan Tarsius

(Tarsius bancanus)... 44 6. Rataan Konsumsi Energi (kal) Bahan Pakan Tarsius (Tarsius bancanus) 44

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan flora dan fauna. Salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia adalah satwa endemik dan langka yang dapat dimanfaatkan sebagai hewan peliharaan maupun hewan penelitian. Namun, pemanfaatan sumberdaya alam dan perambahan hutan yang berlebihan telah mengakibatkan rusaknya habitat satwa yang ada di dalamnya. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya penurunan populasi secara drastis yang menuju kepunahan. Kehidupan satwa dapat lestari apabila memiliki habitat yang sesuai untuk tempat tinggal, mencari makan, minum, berlindung, maupun untuk berkembangbiak, selain itu perlu campur tangan manusia dalam usaha mencegah penurunan populasi satwa. Salah satu campur tangan manusia adalah melakukan usaha konservasi ex-situ (penangkaran) yaitu suatu proses menuju domestikasi yang prinsipnya adalah pemeliharaan dan perkembangbiakan sejumlah satwa liar yang sampai batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi untuk selanjutnya pengembangan hanya diperkenankan diambil dari keturunan–keturunan yang berhasil ditangkarkan. Salah satu fauna Indonesia yang perlu mendapat perhatian untuk diamati perkembangbiakannya adalah hewan tarsius.

Tarsius adalah salah satu famili Tarsiidae yang termasuk dalam ordo primata (Young, 1981). Hewan ini merupakan satwa primata kecil dan berekor panjang, melompat dari pohon ke pohon dan hanya memakan binatang kecil. Warna tubuh abu - abu kekuningan sampai coklat kehitaman, ekor telanjang kecuali seberkas rambut pada ujungnya, kukunya relatif runcing. Tarsius merupakan hewan nocturnal, yaitu aktif di malam hari (Yasuma dan Alikodra, 1990). Menurut Niemitz dan Verlag (1984), Tarsius bancanus tersebar di pulau Kalimantan, Bangka, Natuna dan Sumatera.

Hewan Tarsius termasuk salah satu satwa endemik Indonesia dan merupakan salah satu sumberdaya alam hayati yang keberadaannya senantiasa berhubungan erat dengan kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya sebagai objek wisata, pendidikan dan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Melihat fenomena selama ini, maka disamping usaha perlindungan melalui Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah, diperlukan pula perhatian

(14)

yang lebih seksama terhadap upaya berdasarkan asas kelestarian jenis satwa langka tersebut.

Perumusan Masalah

Satwa langka merupakan barang yang bernilai ekonomis tinggi, maka untuk menjaga kelestarian hewan tarsius perlu dilakukan kajian serta penelitian ilmiah sebagai langkah awal untuk mencari dan menggali informasi dari beberapa aspek biologis. Salah satu sifat biologis satwa yang perlu diketahui adalah aktivitas menunjang teknologi penangkaran. Informasi mengenai aktivitas makan Tarsius

bancanus masih sangat terbatas terutama di penangkaran. Padahal salah satu aktivitas

hewan yang penting adalah aktivitas makan (Fraser, 1974). Aktivitas makan mempengaruhi pakan yang dikonsumsi dan penggunaan zat makanan oleh tarsius sehingga kesehatan, kesejahteraan dan kelestarian hewan dapat lebih terjaga. Oleh karena itu penguasaan aktivitas terutama yang berkaitan dengan pola makan atau konsumsi dan aspek–aspek biologis lainnya perlu diketahui sehingga kelestarianya dapat dipertahankan terutama di penangkaran.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari aktivitas dan pola konsumsi pakan Tarsius bancanus di penangkaran pada malam hari.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Satwa Primata

Indonesia merupakan surga bagi primata, kurang lebih ada 5 suku, 8 marga, dan 32 jenis, di Jawa ada 3 suku, 5 marga, dan 5 jenis. Bangsa primata dicirikan jari sudah pentadactyla artinya masing–masing kaki sudah memiliki lima buah jari. Sudah memiliki kuku yang tumbuh mendatar tidak melengkung ke bawah dan runcing seperti cakar. Mata sudah terletak di depan. Umumnya viscerocranium (bagian tengkorak yang mendukung mulut dan wajah) relatif lebih kecil daripada

neurocranium (bagian tengkorak yang mendukung ke otak) dibandingkan kerabatnya

yang lain. Gigi seri hanya dua pasang. Berjalan di atas telapak (plantigrade), sedangkan jari pertama pada masing–masing kaki opposable (dapat dipertemukan dengan jari lain sehingga bisa berfungsi memegang benda), hanya pada tarsius dan anggota suku callitrichidae yang ibu jarinya mengecil. Ciri primata lain yang penting ialah geraham mempunyai tonjolan tumpul dan mahkota rendah (Suyanto, 2002). Penelitian satwa primata telah banyak dilakukan, baik untuk keperluan medis maupun untuk konservasi. hal ini mengingat begitu banyak fungsi yang penting berguna bagi kehidupan manusia. Salah satu satwa primata Indonesia yang perlu diperhatikan untuk diteliti adalah dari famili Tarsiidae yaitu tarsius. Tarsius merupakan primata primitif dan endemik di Indonesia. Ada dua jenis tarsius di Indonesia, yaitu Tarsius bancanus (Kalimantan dan Sumatera) dan Tarsius spectrum (Sulawesi). Penelitian satwa liar sangat diperlukan untuk mendukung berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu perilaku, reproduksi, nutrisi dan genetik (Thohari, 1987).

Morfologi Tarsius bancanus

Tarsius memiliki keistimewaan pada mata karena dapat melihat pada malam hari lebih tajam dan organ mata terbesar dari organ kepala lainnya. Kepala dapat berputar sampai dengan 180o dan mengeluarkan suara yang khas sebagai alat

komunikasi antar spesiesnya. Tarsius bancanus memiliki tubuh agak kecil dari T.

syrichta, namun ukurannya sama dengan T. spectrum kecuali dari subspesies T.

spectrum pumilus. Tarsius bancanus betina memiliki mata lebih besar dan telinga

lebih kecil dibandingkan jantannya. Ekor berbentuk V; jari dan tungkai kaki lebih panjang dari tubuhnya. Warna tangan, kaki dan ekor lebih gelap dari T. syrichta.

(16)

Bobot tubuh jantan sekitar 128 gram, betina dara 117 gram dan betina bunting dapat mencapai 150 gram (Niemitz dan Verlag,1984).

Bagian bawah jari–jari tangan dan kaki tarsius terdapat tonjolan atau bantalan yang memungkinkan untuk melekat pada berbagai permukaan saat melompat di tempat yang licin. Tarsius memiliki kaki belakang yang panjangnya dua kali lipat panjang badan dan kepala, untuk memberikan kekuatan untuk melompat. Sebagian besar gerakan tarsius adalah melompat secara vertikal (Wharton, 1974). Tarsius juga memiliki telinga dan mata yang besar, tetapi bola mata tidak bisa digerakkan (Sussman, 1999).

Menurut Young (1981), tarsius memiliki klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Pylum : Chordata Klas ` : Mamalia Subklas : Theria Infraklas : Eutheria Ordo : Primata Subordo : Prosimii Infraordo : Tarsiiformes Family : Tarsiidae Genus : Tarsius

Spesies : Tarsius bancanus Tarsius syrichta Tarsius spectrum Tarsius dianae

Habitat dan Penyebarannya

Menurut Napier dan Napier (1986), habitat tarsius berada pada berbagai tipe hutan yaitu hutan hujan tropis, semak duri, hutan bakau (mangrove) dan ladang penduduk. Selain itu tarsius juga mendiami hutan primer yang didominasi oleh famili

Dipterocarpaceae, bahkan dapat juga hidup di perkebunan karet (Niemitz dan

(17)

Tarsius bancanus dibagi atas dua anak jenis (sub spesies) yaitu Tarsius

bancanus bancanus dan Tarsius bancanus borneanus. Penyebaran Tarsius bancanus

bancanus adalah di Bangka, Palembang, Lampung, Bengkulu, Pulau Belitung, Pulau

Karimata dan Serasen (termasuk Pulau Natuna). Tarsius bancanus borneanus tersebar di pulau Kalimantan, yaitu di daerah dataran rendah dan bukit–bukit yang rendah di daerah Sarawak, Brunai, Sabah dan Kalimantan Barat serta Kutai dekat Balikpapan. Tarsius bancanus memiliki banyak nama di daerah penyebarannya, seperti Ingkat (di daerah Iban), Rinukut (di daerah Kadazan dan Sungai), Singapuar (Sumatera), Mentiling (Bangka), Ingkir, Simpalili (Kalimantan). Di Indonesia umumnya tarsius lebih dikenal dengan nama binatang hantu (Niemitz dan Verlag, 1984).

Pakan Tarsius

Menurut Niemitz dan Verlag (1984), tarsius tidak akan memakan makanan yang berasal dari tumbuh – tumbuhan seperti gandum, wortel, timun, pisang dan lain sebagainya. Sesekali tarsius menggigit dedaunan, tetapi tidak benar–benar memakannya. Dalam kandungan perutnya sering ditemui sejumlah kecil jaringan tumbuhan tetapi diduga berasal dari isi perut serangga atau binatang yang dimakannya. Tarsius sp. merupakan hewan insektivora dan karnivora. Ngengat, kupu–kupu dan jangkrik merupakan sumber makanan penting bagi T. bancanus dan

T. spectrum di alam. Begitu pula dengan semut merupakan makanan favorit untuk

anak Tarsius bancanus karena semut mengandung vitamin A yang cukup banyak.

Tarsius bancanus juga memakan vertebrata seperti jenis kadal dan ular kecil.

Komposisi pakannya 35 % jenis kumbang, 21 % semut, 16 % belalang, 10 % tonggeret, 8 % kecoak, 10 % binatang bertulang belakang seperti burung, ular dan kelelawar. Beberapa peneliti menyatakan bahwa Tarsius bancanus juga memakan laba–laba, burung raja udang dan ular yang berbisa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Ada yang menyebutkan kalau tarsius juga memakan kadal jenis tertentu seperti kadal

Draco volans yang berada di sekitar tempat mereka tinggal. Sementara jenis kadal

lainnya, mereka kurang begitu menyukainya. Kadangkala tarsius juga berusaha menjadikan ular tertentu sebagai makanannya, walaupun untuk menangkap ular seringkali berisiko pada keselamatan jiwa (Prastiti, 2000). Tarsius akan makan sebanyak 10 % per hari dari berat tubuhnya atau sekitar 10 – 14 gram makanan yang

(18)

dimakannya. Selain pakan air juga suatu komponen yang penting. Air yang dibutuhkan oleh tarsius biasanya diperoleh dari air yang menetes di dedaunan dan pohon–pohon berlubang serta aliran–aliran air yang terdapat di wilayah tempat tinggalnya (Niemitz dan Verlag, 1984).

Tingkah Laku

Alikodra (1990), menyatakan bahwa tingkah laku dapat diartikan sebagai gerak–gerik organisme untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari lingkungannya. Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), perilaku hewan adalah tindak–tanduk hewan yang terlihat dan yang saling berkaitan baik secara individual maupun secara bersama–sama atau kolektif. Perilaku merupakan pula cara hewan itu berinteraksi secara dinamik dengan lingkungannya, baik dengan makhluk hidup maupun dengan benda–benda di sekitarnya. Ethologi merupakan suatu studi yang mempelajari tentang perilaku hewan di dalam lingkungan alamiahnya atau dimana hewan itu biasa hidup. Ethologi mengakui perilaku hewan berdasarkan motivasi. Perilaku demikian mengandung arti bahwa hewan mempunyai emosi. Banyak jenis emosi dan perasaan ini bisa dikenal, seperti sakit, lapar, takut dan marah.

Terjadinya tingkah laku makan disebabkan oleh adanya makanan (rangsangan dari luar) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam). Demikian juga terjadinya perilaku kawin, disebabkan oleh adanya rangsangan dari dalam, kemudian baru terjadi perkawinan jika ada rangsangan dari lawan jenisnya. Fungsi utama tingkah laku adalah untuk memungkinkan seekor hewan menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam. Tingkah laku umumnya dijumpai pada satwa liar terutama dalam upaya untuk memanfaatkan sumberdaya habitatnya, mengenali tanda – tanda bahaya dan berusaha melepaskan diri dari serangan mangsa. Tingkah laku ini berkembang sesuai dengan perkembangan dari proses belajar mereka. Satwa liar mempunyai tingkah laku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan–kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan makanan, perlindungan, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra, 1990).

(19)

Tingkah laku didorong oleh naluri (insting) serta dorongan – dorongan yang dipengaruhi oleh faktor–faktor situasional dan internal dari satwa tersebut. Fungsi utama tingkah laku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan baik dari luar maupun dalam. Sebagian besar satwa mempunyai berbagai pola tingkah laku yang dapat dicobakan untuk suatu situasi, dengan demikian mereka belajar menerapkan salah satu pola yang menghasilkan suatu penyesuaian terbaik (Alikodra, 1990).

Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh macam yaitu :

1. Tingkah laku makan, minum, dan kegiatan lain yang berhubungan dengan hal tersebut (ingestif)

2. Tingkah laku pencarian tempat berteduh (shelter seeking) 3. Tingkah laku penyidikan (investigatory)

4. Tingkah laku kecenderungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah laku yang sama pada satu waktu tertentu (allelomimetic)

5. Tingkah laku berselisih, bertengkar, menghindar (agonistic) 6. Tingkah laku membuang kotoran, kencing (eliminasi)

7. Tingkah laku memberi perhatian dari induk ke anak (epimiletic atau care giving)

8. Tingkah laku minta perhatian dari anak ke induk (epimeletic atau care soliciting)

9. Tingkah laku seksual atau reproduksi (sexual or reproductive) 10.Tingkah laku bermain (play).

Sedangkan menurut Linburgh (1980), aktivitas primata (monyet) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Makan, yaitu aktivitas pengambilan makanan, mulai dari mengumpulkan, sampai mengunyah yang dilakukan pada pohon yang sama.

2. berpindah, merupakan semua pergerakan dari suatu tempat ke tempat yang lain.

3. Istirahat, yaitu aktivitas selain kedua aktivitas di atas dan kadang – kadang terdapat perilaku berkutu–kutuan (grooming)

(20)

4. Berkelahi (agressive), yaitu aktivitas yang ditandai dengan ancaman dan mimik muka atau gerakan badan, menyerang dan memburunya serta baku hantam diakhiri dengan kekalahan lawannya.

5. Menyelisik (grooming), merupakan aktivitas mencari kotoran atau ektoparasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya

6. Kawin (reproduksi), yaitu aktivitas yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah kopulasi 7. Bermain, yaitu aktivitas yang meliputi aktivitas berayun, berkejar–kejaran,

berguling, dan latihan baku hantam terhadap individu lain, terutama pada anak–anak.

Tingkah Laku Umum Tarsius bancanus

Tarsius bancanus bersifat poligami di dalam keluarganya atau seringkali juga

hidup berpasangan atau beserta keluarganya. Umumnya individu muda bersifat soliter atau berpasangan untuk mencari atau membentuk daerah teritorial dimana saja. Sangat sedikit terjadi kontak antara jantan dan betina. Tarsius bancanus aktif pada malam hari (nocturnal), hidup di pohon dan pergerakannya semi menggantung serta meloncat. Mereka tidak dapat menggantung seperti primata tingkat tinggi lainnya. Dapat meloncat seperti katak hingga beberapa meter, khususnya saat menangkap mangsanya atau saat melakukan penjelajahan pada daerah teritorialnya, khususnya bagi jantan. Loncatannya dapat terdiri dari gerakan tunggal atau ganda dan dapat mencapai jarak 3 meter atau lebih, dengan ketinggian di atas 3 meter dari permukaan tanah. Daerah jelajah antara jantan dan betina berbeda. Jantan antara 7 – 11 Ha, sedangkan betina lebih kecil yaitu antara 4 – 9 Ha (Supriatna dan Wahyono, 2000). Menurut Rowe (1996), pergerakan tarsius lebih banyak berupa gerakan vertikal dan melompat.

Setiap mencari makan, pertama tarsius akan mengamati mangsanya dan memastikan secara visual dari atas pohon, kemudian ia melompat ke arah mangsa dan memegang mangsanya dengan tangan dan melumpuhkan mangsa dengan gigitan yang mematikan pada leher dan punggung. Baik seranggga dan vertebrata dimakan mulai dari bagian kepala. Saat melompat, menangkap mangsa kedua kaki atau tangan depan yang lebih dulu digerakkan. Hal ini digunakan untuk memutar badan agar dapat mengarah ke sasarannya dan melompat dengan tangan terbuka. Jika

(21)

mangsanya kecil langsung dapat ditangkap dengan mulutnya, tetapi kedua tangan atau kaki depan tetap melakukan gerakan seperti menangkap di sebelah kiri dan kanan mulutnya. Mangsa yang ditangkap di atas tanah setelah dibunuh atau dilumpuhkan, tarsius akan melompat kembali ke atas pohon membawa mangsanya dengan mulutnya, kemudian setelah di atas pohon baru memakan mangsanya tersebut (Niemitz dan Verlag, 1984). Urutan tingkah laku makan tarsius meliputi mengamati mangsa, menghampiri mangsa, mengambil mangsa, melumpuhkan mangsa, melompat kembali ke tenggeran, memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyah dan minum (Tampubolon, 1999). Tarsius bancanus mengejar dan merebut makanan yang diperoleh dari tarsius lainnya, biasanya Tarsius bancanus akan menggigit ekor lawannya (Niemitz dan Verlag, 1984).

Saat Tarsius sp. melakukan aktivitas minum, tempat yang dipilih biasanya kolam atau aliran air, namun tidak jarang pula minum dari batang pohon atau daun bambu yang menampung air hujan. Biasanya tarsius akan duduk di atas tanah dekat sumber air lalu menjilati air dan kadang – kadang ia duduk di dalam air yang dangkal. Namun jika terjadi hujan mereka akan menjilati air hujan yang tertampung pada batang pohon dan daun bambu (Niemitz dan Verlag, 1984).

Menurut Rowe (1996), bahwa ciri–ciri untuk penandaan pada tarsius biasanya berasal dari urine yang memiliki bau khas sehingga manusiapun akan mudah mendeteksinya. Pada waktu estrus betina akan menggosok–gosokkan alat genitalnya pada batang pohon. Supriatna dan Wahyono (2000), menyatakan bahwa tarsius jantan seringkali membuang air kencing pada saat pindah pohon. Hal ini dimungkinkan sebagai tanda daerah jelajahnya.

Siang hari tarsius tidur di dalam lubang pohon atau pada kerimbunan daun dan tidak membuat sarang. Jantan tidur sendiri terpisah dengan pasangannya, sedangkan betina bersama anaknya (Supriatna dan Wahyono, 2000). Pohon tempat tarsius tidur merupakan pusat kehidupan tarsius dan pada semua teritorial tarsius terdapat paling sedikit satu daerah tertentu tempat tarsius tidur. Biasanya tempat tidur ini berupa semak bambu, tumbuhan merambat ataupun lubang pohon, tetapi yang paling disukainya adalah jalinan akar yang besar (Napier dan Napier, 1986).

Ada beberapa jenis suara yang dikeluarkan oleh tarsius. Tarsius bancanus jantan bersuara untuk menandai daerah teritorialnya, saat keluar dari sarang tidur,

(22)

atau saat akan berburu mangsa. Suara lain adalah suara berpasangan yang umum dikeluarkan oleh jantan dengan 2 – 3 kali mencicit sambil memperhatikan pasangannya. Tarsius bancanus betina hanya bersuara pada saat kopulasi (Supriatna dan Wahyono, 2000). Tarsius bancanus paling sering mengeluarkan nada panggil pada pagi hari dibanding spesies lainnya (Rowe, 1996). Tarsius mengeluarkan nyanyian khas berupa cicitan dengan berbagai nada saat mencari makan di malam hari dan di pagi hari ketika akan kembali ke sarang. Nyanyian ini sebenarnya merupakan pernyataan untuk mengabarkan bahwa keluarga tarsius itu dalam keadaan sehat dan mengingatkan keluarga tarsius lain untuk tidak memasuki wilayahnya. Bila masih ada yang nekat mendekat, mereka akan mengusir keluar dari wilayahnya diikuti dengan teriakan keras (NES, 2002). Tingkah laku grooming seperti merawat bulu jarang dilakukan oleh kedua pihak, tetapi sering dilakukan oleh individu itu sendiri. Kebiasaan menjilat bulu dilakukan oleh tarsius pada sore hari sebelum melakukan aktivitas berburu, saat waktu istirahat sehabis menangkap mangsa dan pagi hari setelah selesai berburu (Niemitz dan Verlag, 1984). Menurut Sellevs (2001), grooming atau membersihkan bulu adalah aktivitas primata yang sifatnya umum. Saling membersihkan bulu merupakan mekanisme aplikasi yang penting dan aktivitas ini dapat digunakan untuk memperkuat jaringan diantara mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa hewan yang dominan atau berkuasa seperti jantan, akan membersihkan bulu betina dalam rangka keinginan sosial, sedangkan induk membersihkan bulu bayinya supaya tetap bersih. Aktivitas tersebut pada dasarnya merupakan perekat yang mempertahankan struktur sosial primata secara bersama– sama.

Menurut Niemitz dan Verlag (1984), saat tarsius melakukan aktivitas seksual ia memulainya dengan mencium – cium genital betina dan pada waktu yang sama, jantan akan memegang ekor betina dengan jari–jarinya. Jantan akan meloncat mengikuti betina dengan cepat. Jantan akan mengejar betina dengan mengelilingi kandang selama kurang lebih 1,5 menit. Sampai akhirnya ia mendapatkan betina di bawah tenggeran kemudian jantan akan memegang erat tubuh betina dengan kedua tangannya dan memeluknya. Jantan akan bertahan dengan berpegangan pada batang tenggeran dengan kedua kakinya lalu melakukan kopulasi selama dua menit dan keduanya tidak mengeluarkan suara sama sekali saat itu. Setelah selesai melakukan

(23)

kopulasi, betina akan segera meloncat dan jantan segera duduk lalu membersihkan tubuhnya kemudian pergi tidur dan tidak mengulangi aktivitas seksualnya tersebut. Hill (1955), menyatakan bahwa tarsius termasuk golongan hewan poliestrus karena musim kawinnya dapat terjadi beberapa waktu dalam setahun. Siklus birahi Tarsius

bancanus 24 hari (Hill, 1955), sedangkan menurut Napier dan Napier (1967), periode

siklus birahi tarsius adalah 23,5 hari.

Penangkaran

Alikodra (1993) menyatakan bahwa penangkaran satwa liar adalah perkembangbiakan dan pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai sasaran tertentu. Penangkaran adalah salah satu proses menuju domestikasi yang prinsipnya adalah pemeliharaan dan perkembangbiakan sejumlah satwa liar yang sampai batas–batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi untuk selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan– keturunan yang berhasil dari penangkaran. Menurut Thohari (1987), secara bebas penangkaran atau budidaya dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis–jenis satwa liar dan tumbuhan alami, bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan.

Alikodra (1993), membedakan penangkaran berdasarkan tujuannya menjadi dua yaitu penangkaran dalam rangka budidaya dan penangkaran dalam rangka konservasi. Penangkaran budidaya adalah penangkaran yang dilakukan oleh manusia dengan mengurung satwa atau hewan itu selamanya, tujuannya untuk memenuhi kebutuhan material (protein, kulit) dan kebutuhan batin (burung kicau, anjing kesayangan) bagi manusia dengan mengutamakan perubahan dalam arti menciptakan ras. Penangkaran konservasi adalah penangkaran yang dilakukan oleh manusia dengan tidak mengurung satwa itu selamanya, namun suatu saat akan dikembalikan ke alam, tujuannya untuk mempertahankan keanekaragaman dan meningkatkan nilai–nilai alam dengan mengutamakan kestabilan sifat jenis dan ciri – cirinya. Menurut Thohari (1987), pertimbangan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu ditangkarkan atau dibudidayakan adalah berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) suatu jenis satwa perlu ditangkarkan apabila secara alami populasinya mengalami penurunan tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah, (2) suatu jenis satwa

(24)

perlu ditangkarkan atau dibudidayakan apabila mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya terus bertambah bagi manusia sehingga kelestariannya terancam. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa di dalam proses penangkaran atau budidaya maka teknologi yang diperlukan mencakup aspek yang lebih luas lagi yaitu perkandangan, pakan, reproduksi, kesehatan dan pasca panen. Teknik yang diterapkan harus mampu mempercepat proses adaptasi satwa. Dengan demikian suatu penangkaran atau budidaya satwa liar dapat dinilai berhasil apabila teknologi reproduksi jenis satwa tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran atau budidaya telah berhasil mengembangbiakkan jenis satwa yang ditangkarkan.

Status Konservasi

Semenjak tahun 1931 tarsius sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 No. 266, serta SK Menteri Kehutanan tanggal 10 Juni 1991, No. 301 / kpts – II / 1991 dan diperkuat Undang–Undang No. 5 tahun 1990. Saat ini tarsius telah kehilangan sebesar 56 % dari habitat awalnya yang semula seluas 450.730 km2. Satwa tersebut hanya dapat hidup aman di dalam kawasan konservasi, seperti Taman Nasional, Cagar Alam dan kawasan hutan lindung yang ada di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Meskipun kriteria International Union for Conservation of Natural (IUCN) hanya menempatkan tarsius sebagai berisiko rendah terhadap kepunahan, pengurangan habitat yang terus terjadi menjadi ancaman serius bagi keberadaannya. Sepanjang jalan Trans–Sumatera seringkali terlihat diperjualbelikan, begitu juga di beberapa pasar burung (Supriatna dan Wahyono, 2000). Menurut William (1999), tarsius merupakan salah satu hewan yang dilindungi dan termasuk dalam daftar CITES Appendix II.

Konsumsi Pakan

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa tingkat konsumsi (Voluntary Feed

Intake) diartikan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan bila bahan

makanan tersebut diberikan secara ad libitum. Tingkat konsumsi hewan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hewan, faktor makanan, dan faktor lingkungan, sedangkan Rasyaf (1993) menyatakan bahwa konsumsi adalah jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan sisa ransum yang ada di dalam bak ransum. Konsumsi zat makanan sangat diperlukan untuk membantu metabolisme di dalam tubuh

(25)

(Sutardi,1980). Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik produktivitas hewan (Arora, 1989).

Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Aktivitas konsumsi meliputi proses mencari makan, mengenal, dan mendekati pakan. Arora (1989) menambahkan bahwa produktivitas hewan salah satunya dapat dilihat dari jumlah konsumsi. Konsumsi pakan akan bertambah jika diberikan pakan yang berdaya cerna lebih tinggi daripada pakan yang berdaya cerna rendah. Menurut Hogan et al. (1996), ternak monogastrik umumnya memilih pakan yang tinggi kecernaanya.

(26)

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama dua bulan yaitu dari tanggal 3 Juli sampai 4 September 2004 atau sekitar 8 minggu di Penangkaran Mamalia Kecil Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.

Materi Hewan Penelitian

Hewan penelitian yang digunakan yaitu dua ekor Tarsius bancanus (n = 2) yang berasal dari Prabumulih, Sumatera Selatan. Tarsius tersebut didatangkan ke penangkaran pada bulan Maret 2004, sehingga hewan yang diamati sudah beradaptasi sekitar tiga bulan di dalam kandang yang sama. Penggunaan hewan tarsius hanya dua ekor, dikarenakan tarsius yang diperoleh dari Prabumulih jumlahnya terbatas. Selain itu tarsius merupakan hewan langka, untuk keperluan penelitian secara legal harus ada izin menangkap dan mengangkut dari Menteri Kehutanan dan rekomendasi dari LIPI. Masing-masing tarsius tersebut diberi nama Lala dan Boni.

Kandang

Kandang yang digunakan berjumlah dua buah, berupa kandang individu yang masing-masing berukuran panjang x lebar x tinggi adalah 2,26 m x 2,00 m x 2,72 m. Dinding kandang terdiri dari kawat yang berukuran 0,7 cm x 0,7 cm dan dilapisi kawat loket yang berukuran 2,5 cm x 2,5 cm serta berlantai beton. Masing-masing kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum yang ditempatkan pada ketinggian sekitar 30 cm dari lantai kandang, kotak tidur, pohon hidup dan batang-batang yang berupa bambu kering untuk naungan dan lokomosi dari tarsius.

Tempat pakan dan tempat minum terbuat dari plastik dan berbentuk persegi panjang. Kotak tempat tidur dibuat dari triplek berbentuk persegi panjang dengan ukuran 31 cm x 26 cm x 25 cm. Kotak tidur diberi lubang seperti gua, diletakkan di ujung kandang sebelah atas dan diletakkan secara horizontal. Pohon hidup yang ada di dalam kandang adalah jenis pohon pala dan pohon beringin yang ditanam di dalam pot. Masing – masing kandang berisi tiga sampai empat pot tanaman. Pohon hidup

(27)

dan batang-batang bambu kering berguna untuk tempat tenggeran dan bergerak seperti di habitat aslinya. Pohon tersebut ada yang daunnya rimbun dan ada pula yang daunnya jarang, tetapi banyak dahannya. Kandang terletak ± 100 m dari pinggir jalan.

Bahan Pakan

Bahan pakan yang diberikan selama penelitian untuk mencukupi kebutuhan

T. bancanus terdiri dari jangkrik dan belalang. Pemberian pakan dan minum

dilakukan pada sore hari sekitar jam 16.30 WIB. Sekali pemberian pakan adalah sebesar 27,56 g dan air minum diberikan secara ad libitum sesuai kebutuhan. Dalam pemberian pakan, baik jangkrik maupun belalang disatukan. Sebelum diberikan, kaki belakang dari belalang dipatahkan terlebih dahulu. Hal ini untuk menghindari belalang tersebut terbang. Pakan yang diberikan harus dalam keadaan hidup, karena pernah dicobakan pemberian jangkrik dan belalang yang sudah mati, tetapi tidak dimakan oleh tarsius. Tempat pakan yang digunakan berupa nampan berbentuk persegi panjang yang mempunyai sisi-sisi yang tinggi. Hal ini untuk menghindari jangkrik melompat keluar dari tempat pakan. Tempat pakan dan minum diletakkan berdekatan dan diletakkan di bawah pohon atau diletakkan diantara pot dari pohon tersebut. Hal ini disesuaikan dengan kebiasaan tarsius yang melompat secara vertikal.

Belalang Jangkrik Air minum Gambar 1. Bahan Pakan dan Minum Tarsius bancanus

Peralatan

Peralatan yang digunakan yaitu termometer (untuk mengukur suhu udara di kandang), higrometer (untuk mengukur kelembaban udara di kandang), tempat pakan dan minum, jam atau pencatat waktu (untuk membatasi interval waktu pengamatan), lampu senter (untuk membantu melihat jam dan untuk berjaga – jaga di sekitar

(28)

kandang, karena selama penelitian cahaya lampu sangat terbatas), dan alat tulis (untuk mencatat data pengamatan).

Metode Cara Kerja

Persiapan yang dilakukan untuk penelitian adalah pembersihan kandang yang dilakukan setiap pagi, dan penyediaan bahan pakan dan minum untuk T. bancanus pada sore hari. Sebelum penelitian, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan

(preliminary), dengan mengamati aktivitas tarsius selama satu minggu dengan

metode ad libitum sampling. Hasil pengamatan pada penelitian Preliminary digunakan untuk menentukan aktivitas yang berhubungan dengan pola konsumsi pakan. Untuk melengkapi data penelitian dan data premilinary, maka dilakukan wawancara kepada pemelihara dan orang yang mengetahui tentang tarsius di tempat penelitian berlangsung. Data ini merupakan data sekunder tentang kondisi umum tarsius.

Pengumpulan data aktivitas (data pengamatan) dilakukan dengan metode

one-zero sampling, yaitu mencatat setiap aktivitas yang terjadi pada periode waktu

yang ditentukan oleh pengamat. Angka satu apabila ada aktivitas dan angka nol apabila tidak ada aktivitas pada periode pengamatan (Martin dan Bateson, 1988). Pengambilan data aktivitas dan pola makan pada tarsius dilakukan selama delapan minggu. Dalam satu minggu dilakukan tiga kali pengamatan, sehingga total pengamatan adalah 24 kali (n = 24 ulangan). Pengamatan dimulai pada pukul 18.00 WIB sampai pukul 06.00 WIB dengan interval waktu pengamatan selama 15 menit. Aktivitas yang teramati kemudian dicatat.

Selain itu konsumsi pakan dan produksi feses juga dikumpulkan. Pengumpulan data konsumsi pakan dilakukan dengan menimbang jumlah pemberian pakan dan menimbang jumlah sisa pemberian pakan pada waktu yang diamati. Produksi feses segar juga dihitung dengan menimbang feses yang dihasilkan. Pakan dan feses segar dikeringkan sesuai dengan analisis proksimat dan ditentukan kadar BK nya.

(29)

Peubah

Peubah yang diamati adalah aktivitas makan, minum, urinasi, defekasi, lokomosi, grooming dan istirahat. Peubah ini ditentukan berdasarkan hasil dari penelitian preliminary.

Makan : Memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyah kemudian menelannya.

Minum : Memasukkan cairan ke dalam mulut dan menelannya. Urinasi : Mengeluarkan kotoran dalam bentuk cair.

Defekasi : Mengeluarkan kotoran dalam bentuk padat. Lokomosi : Bergerak atau melompat.

Grooming : Membersihkan bulu atau merawat diri.

Istirahat : Tidur, duduk di atas tenggeran tanpa melakukan aktivitas lainnya dan memeluk tenggeran dengan menenggelamkan kepalanya diantara kedua tangannya.

Peubah lainnya yang diamati adalah konsumsi BK pakan dan produksi BK feses.

Konsumsi BK : (pemberian – sisa) × % BK pakan Produksi BK feses : produksi feses segar × % BK feses

Konsumsi per jam : % aktivitas makan (dalam 100%) × konsumsi (dalam sehari) 100

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif. Analisis kuantitatif yaitu persentase nilai kejadian setiap aktivitas dari keseluruhan nilai setiap aktivitas dengan rumus:

P = (A/B) x 100%, dimana: P = Persentase aktivitas

A = Rata-rata setiap aktivitas selama pengamatan B = Total rata-rata seluruh aktivitas selama pengamatan

Data dipresentasikan sebagai rataan dari 24 kali pengamatan. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan aktivitas makan, minum, urinasi, defekasi, lokomosi, grooming dan istirahat. Analisis deskriptif juga digunakan untuk menggambarkan pola konsumsi BK dan produksi BK feses.

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

Kondisi lingkungan yang ada di sekitar kandang seperti lokasi kandang, tingkat kebisingan, suhu dan kelembaban sekitar kandang merupakan hal–hal penting yang harus diperhatikan demi kelangsungan hidup tarsius. Keberadaan kandang yang berlokasi di Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, berpengaruh pada aktivitas Tarsius bancanus. Selain tarsius, hewan yang ditangkarkan dalam lokasi yang sama adalah jenis hewan kukang, tupai terbang, wallabi, dan kuskus. Keberadaan masing–masing kandang tidak terlalu dekat, sehingga aktivitas dari masing–masing hewan tidak banyak berpengaruh. Sumber kebisingan biasanya dari suara–suara kendaraan motor penduduk yang berada di sekitar kandang penangkaran, namun karena sudah terbiasa dengan suara–suara tersebut, maka hewan–hewan yang berada di kandang penangkaran tidak terlalu stres. Untuk tarsius sendiri, karena merupakan hewan nokturnal dan pengamatan dilakukan pada malam hari maka tingkat kebisingan tersebut tidak berpengaruh. Hal ini dikarenakan pada malam hari suasana sepi karena penduduk jarang yang keluar malam, sehingga tarsius dan hewan malam lainnya cukup nyaman tinggal di penangkaran tersebut.

Kandang dilengkapi dengan pohon untuk menciptakan suasana yang tidak jauh berbeda dengan habitat aslinya. Adanya pohon tersebut akan mempermudah tarsius beradaptasi dengan lingkungan barunya selama di penangkaran dan membantu dalam lokomosi seperti di alam. Tarsius dikandangkan secara individu, dimana tidak ada interaksi sosial dengan tarsius yang lain. Aktivitas yang teramati adalah aktivitas individu sehingga aktivitas sosial seperti agonistik maupun aktivitas yang berkaitan dengan proses reproduksi tidak diamati.

Selain lokasi kandang dan tingkat kebisingan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah suhu dan kelembaban di lokasi penangkaran. Hal ini untuk menjaga supaya tarsius dapat hidup secara optimal. Rataan suhu dan kelembaban kandang di penangkaran LIPI, Cibinong dapat dilihat pada Tabel 1.

(31)

Tabel 1. Rataan Suhu (0C) dan Kelembaban (%) Kandang di Penangkaran

Pukul (WIB) Rataan Suhu Kelembaban

18.00 - 20.00 27,46 80,42 20.00 - 22.00 25,67 84,85 22.00 - 00.00 25,21 88,33 00.00 - 02.00 24,79 89,69 02.00 - 04.00 24,27 90,85 04.00 - 06.00 23,60 91,10 Rata - rata 25,17 87,54 SD 1,33 4,17

Rata – rata suhu dan kelembaban selama pengamatan yaitu 25,17 0C dan

87,54 %. Suhu udara tertinggi yaitu pada pukul 18.00 – 20.00 WIB sebesar 27,46 0C dan terendah pada pukul 04.00 – 06.00 WIB sebesar 23,60 0C. Suhu udara pada pukul 22.00 – 00.00 WIB tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Hadiatry (2003), yang menyatakan bahwa rata – rata suhu udara pada pukul 22.00 – 23.00 WIB di kandang penangkaran PSSP sebesar 25,33 0C dan di penangkaran CVPE adalah 25,90 0C. Hal ini membuktikan bahwa suhu udara di ketiga tempat tersebut hampir sama, namun kelembaban udara pada waktu yang sama masih lebih tinggi di penangkaran LIPI, Cibinong, yaitu 88,33%, sedangkan di PSSP 84,00% dan di CVPE 85,60%. Kelembaban udara di penangkaran LIPI, Cibinong tertinggi terjadi pada pukul 04.00 – 06.00 WIB sebesar 91,10% dan terendah pada pukul 18.00 – 20.00 WIB sebesar 80,42%. Pada suhu dan kelembaban tersebut kondisi tarsius selama pengamatan menunjukkan keadaan yang baik, karena suhu tubuh tarsius adalah 37 – 39 0C (Niemitz dan Verlag, 1984). Menurut sumber BKSDA Sultra, Kawasan Konservasi Provinsi Sulawesi Tenggara, bahwa pada suhu 20 sampai 33 oC dan kelembaban 80 sampai 90% salah satu satwa yang hidup dan beraktivitas aktif adalah tarsius. Hal ini karena tingginya radiasi habitat tarsius, yaitu hewan tarsius mendiami dari rata-rata pinggir pantai sampai ketinggian 200 m dpl. Bentuk kandang tarsius di penangkaran LIPI, Cibinong dapat dilihat pada Gambar 2.

(32)

Gambar 2. Kandang Tarsius bancanus di Penangkaran LIPI, Cibinong Pengamatan Aktivitas

Berdasarkan pengamatan secara ad libitum sampling (preliminary), maka diperoleh beberapa aktivitas yang berhubungan dengan pola konsumsi pakan tarsius pada malam hari. Aktivitas tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu aktivitas yang berhubungan langsung dengan pola konsumsi pakan dan aktivitas yang mempengaruhi pola konsumsi pakan. Aktivitas yang berhubungan langsung dengan pola konsumsi pakan adalah aktivitas makan, minum, urinasi dan defekasi. Aktivitas yang mempengaruhi pola konsumsi pakan adalah aktivitas lokomosi, grooming, dan istirahat. Persentase aktivitas tarsius selama pengamatan pada malam hari (pukul 18.00 - 06.00 WIB) ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Persentase Aktivitas Tarsius bancanus di Penangkaran dari Pukul 18.00 WIB sampai Pukul 06.00 WIB

18.98 1.20 11.95 4.53 34.48 20.49 8.35 0 .0 0 5 .0 0 1 0 .0 0 1 5 .0 0 2 0 .0 0 2 5 .0 0 3 0 .0 0 3 5 .0 0 4 0 .0 0

M a k a n M in um U rin a si D e fe k a si L o k o m o si Gr o o m in g Ist ira h a t

A k ti vi ta s P er se n ta se A k ti vi ta s

(33)

Aktivitas tertinggi dari tarsius di penangkaran selama penelitian yaitu aktivitas lokomosi sebesar 34,48%. Hal ini membuktikan bahwa tarsius adalah hewan nokturnal yaitu aktif di malam hari. Sama halnya dengan kukang, lokomosi pada kukang juga tinggi di malam hari (Ba’alwy, 2003). Selain itu di alam tarsius adalah hewan arboreal yang bergerak bebas dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mencari makan (Niemitz dan Verlag, 1984). Setelah lokomosi, aktivitas tertinggi adalah grooming yaitu sebesar 20,49%. Kebanyakan aktivitas grooming dilakukan tarsius menjelang tengah malam dan menjelang pagi hari.

Aktivitas makan tarsius sebesar 18,98%. Aktivitas makan banyak dilakukan pada awal malam dan menjelang pagi. Aktivitas defekasi sebesar 4,53%. Hal ini berhubungan dengan banyaknya pakan yang dimakan. Jika pakan yang dimakan banyak, kemungkinan besar fesesnya juga banyak.

Aktivitas terendah dari tarsius yang tercatat selama pengamatan di penangkaran yaitu perilaku minum sebesar 1,20%. Rendahnya kebutuhan minum dari tarsius disebabkan aktivitas satwa tersebut terjadi pada malam hari, dimana suhu pada malam hari rendah dan kelembaban tinggi sehingga tidak membutuhkan banyak minum untuk menjaga kestabilan suhu tubuhnya. Selain itu pakan yang diberikan mengandung kadar air yang cukup tinggi. Menurut hasil analisa laboratorium, kadar air jangkrik adalah 77,48% dan belalang 73,09%. Tarsius akan minum bila suhu udara sekitar kandang meningkat, namun keadaan suhu dan kelembaban kandang di penangkaran tidak merangsang tarsius untuk melakukan aktivitas minum. Aktivitas urinasi tidak sebanding dengan aktivitas minum, hal ini dikarenakan urin yang dikeluarkan sebagian besar berasal dari hasil metabolisme pakan yang dikonsumsi. Air dari minumnya tidak banyak mempengaruhi urin yang dihasilkan mengingat aktivitas minum tarsius cukup rendah yaitu 1,20%.

Aktivitas istirahat tarsius selama pengamatan adalah 8,35%. Aktivitas istirahat seringkali dilakukan tarsius setelah aktivitas makan dan menjelang pagi hari. Adanya aktivitas lokomosi yang tinggi akan menyebabkan aktivitas istirahat menjadi rendah. Hal ini juga membuktikan bahwa tarsius adalah hewan nokturnal yang mempunyai aktivitas pada malam hari, sedangkan waktu istirahat digunakan pada siang hari.

(34)

Aktivitas yang Berhubungan Langsung dengan Pola Konsumsi Pakan Aktivitas yang berhubungan langsung dengan pola konsumsi pakan adalah aktivitas makan, minum, urinasi dan defekasi. Alokasi waktunya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Alokasi Waktu Aktivitas yang Berhubungan Langsung dengan Pola Konsumsi Pakan Tarsius bancanus

Aktivitas Makan

Berdasarkan Gambar 4 aktivitas makan tertinggi pada pukul 18.00 – 19.00 WIB yaitu sebesar 3,54%. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh kukang, aktivitas makan kukang tertinggi pada pukul 18.00 – 19.00 WIB sebesar 2,43% (Ba’alwy, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa tarsius sebagai hewan nokturnal memulai aktivitasnya pada saat hari mulai gelap. Pernah dicobakan pemberian pakan sekitar pukul 16.00 WIB, tetapi tidak dimakan oleh tarsius. Hal ini dikarenakan pada pukul 16.00 WIB cuaca masih terang dan tarsius tidak turun dari tempat bertengger atau persembunyiannya untuk mencari makan. Pada keadaan cuaca terang, tarsius belum dapat melihat objek makanan dengan jelas, karena pupil dari satwa ini dapat menyempit pada siang hari dan membesar pada malam hari.

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 18.00 - 19.0 0 19.00 - 20.0 0 20.00 - 21.0 0 21.00 - 22.0 0 22.00 - 23.0 0 23.00 - 00.0 0 00.00 - 01.0 0 01.00 - 02.0 0 02.00 - 03.0 0 03.00 - 04.0 0 04.00 - 05.0 0 05.00 - 06.0 0 Waktu Pengamatan Per se nt as e A kt iv ita s Makan Minum Urinasi Defekasi

(35)

Menurut Alikodra (1990), terjadinya tingkah laku makan disebabkan oleh adanya rangsangan makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam). Tarsius mulai makan untuk mengisi perutnya yang sudah kosong karena tidak makan di siang hari. Pakan yang dimakan digunakan sebagai cadangan energi untuk memulai aktivitasnya. Pukul 19.00 - 01.00 WIB aktivitas makan menurun, karena tarsius mulai melakukan aktivitas yang lainnya. Pukul 01.00 – 02.00 WIB aktivitas makan mulai naik lagi. Hal ini diduga tarsius mulai lapar lagi setelah beraktivitas. Aktivitas makan turun lagi sampai pukul 03.00 – 04.00 WIB, karena tarsius kembali melakukan aktivitas yang lain. Pukul 04.00 – 06.00 WIB aktivitas makan naik lagi yaitu 1,12%. Makanan tersebut digunakan sebagai cadangan energi saat tidur di siang hari (Gambar 4). Aktivitas makan yang tinggi akan menyebabkan proses metabolisme yang tinggi pula, sehingga banyak mengeluarkan sisa metabolisme. Aktivitas makan berhubungan dengan pola konsumsi pakan. Pola konsumsi pakan tarsius dapat dilihat dari konsumsi pakan itu sendiri, pemilihan pakan, konsumsi zat makanan, konsumsi energi, dan cara makan. Konsumsi Pakan. Konsumsi pakan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik untuk hidup pokok maupun untuk produksi. Konsumsi pakan

Tarsius bancanus berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Konsumsi Pakan Tarsius bancanus Berdasarkan Bahan Kering (g) 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 18.00 - 19.0 0 19.00 - 20.0 0 20.00 - 21.0 0 21.00 - 22.0 0 22.00 - 23.0 0 23.00 - 00.0 0 00.00 - 01.0 0 01.00 - 02.0 0 02.00 - 03.0 0 03.00 - 04.0 0 04.00 - 05.0 0 05.00 - 06.0 0 W ak tu Peng amatan K on su m si B ah an K er in g (g ) T o tal Pakan Jan g krik Bela lan g

(36)

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa konsumsi pakan Tarsius

bancanus tertinggi pada pukul 18.00 – 19.00 WIB, yaitu sebesar 0,92 gram BK. Hal

ini dikarenakan tarsius memerlukan banyak makanan setelah selama siang hari tidak makan. Konsumsi pakan tertinggi ini diikuti dengan persentase aktivitas makan yang tertinggi juga pada pukul 18.00 – 19.00 WIB (Gambar 4). Konsumsi pakan akan turun hingga pukul 00.00 – 01.00 WIB, diduga tarsius sudah kenyang dan mulai melakukan aktivitas yang lain. Konsumsi pakan akan naik lagi menjelang pagi hari yaitu pukul 04.00 – 06.00 WIB, sebesar 0,29 gram BK. Pakan yang dikonsumsi ini digunakan sebagai cadangan energi ketika tidur di siang hari. Selain itu pada pukul 04.00 – 06.00 WIB suhu udara rendah dan kelembaban tinggi (Tabel 1), sehingga untuk mempertahankan suhu tubuhnya tarsius perlu mengkonsumsi pakan yang lebih banyak. Hal ini juga dikemukakan oleh Suarjaya (1985), bahwa pada suhu lingkungan yang rendah (dingin) hewan membutuhkan tambahan pakan untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap normal. Konsumsi pakan Tarsius bancanus rata-rata dalam sehari adalah 4,93 gram BK.

Pemilihan Pakan. Tarsius bancanus termasuk satwa insektivora dan karnivora (Niemitz dan Verlag, 1984), sehingga dalam penelitian ini diberikan pakan serangga yang berupa jangkrik dan belalang. Pemilihan jenis pakan yang dilakukan oleh

Tarsius bancanus dapat dilihat berdasarkan banyaknya konsumsi pakan dari masing–

masing jenis pakan.

Berdasarkan Gambar 5 ternyata Tarsius bancanus lebih memilih pakan yang berupa jangkrik daripada belalang. Hampir setiap jam konsumsi jangkrik selalu lebih tingi daripada belalang. Kesukaan tersebut kemungkinan terkait dengan kandungan nutrisi zat makanan dari pakan tersebut. Kandungan zat makanan bahan pakan berdasarkan % BK dapat dilihat pada Tabel 2.

(37)

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Jangkrik dan Belalang Berdasarkan % BK

Zat Makanan Jangkrik Belalang

Bahan Kering (%)1 22,52 26,91 Abu (%)1 4,46 3,68 Protein Kasar (%)1 60,47 70,26 Lemak Kasar (%)1 8,20 4,14 Serat Kasar (%)2 7,30 20,72 Kadar Air (%)1 77,48 73,09 BETN (%)1 19,57 1,10

Gross Energi (Kal/gBK)1 6172,88 5285,91

Keterangan : 1) Hasil Analisa Lab. Pengujian Nutrisi Biologi-LIPI

2) Hasil Analisa Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB

Kandungan serat kasar belalang lebih tinggi dibandingkan dengan jangkrik, yaitu 20,72% untuk belalang, dan 7,30% untuk jangkrik (Tabel 2), sehingga belalang lebih sulit untuk dicerna daripada jangkrik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hogan

et al. (1996) bahwa ternak monogastrik umumnya memilih pakan yang tinggi

kecernaannya. Selain itu kadar air jangkrik lebih tinggi daripada belalang, yaitu 77,48% untuk jangkrik dan 73,09% untuk belalang (Tabel 2). Widyaningrum (2001) juga menyatakan bahwa jangkrik memiliki kulit tubuh yang lebih lunak dan lembek sehingga disukai burung dan satwa-satwa piaraan lain pemakan serangga. Rata-rata konsumsi jangkrik per hari adalah 2,54 gram BK, sedangkan untuk belalang adalah sebesar 2,39 gram BK. Perbedaannya memang kecil, karena jumlah pakan yang diberikan sangat terbatas.

Konsumsi Zat Makanan. Konsumsi zat makanan dapat dilihat dari konsumsi protein dan serat kasar. Jumlah konsumsi zat makanan ini dipengaruhi oleh jumlah konsumsi bahan kering dan kandungan zat makanan bahan pakan. Konsumsi protein dapat dilihat pada Gambar 6.

(38)

Gambar 6. Konsumsi Protein Bahan Pakan (g)

Hampir setiap jam ternyata konsumsi protein jangkrik lebih rendah daripada belalang (Gambar 6). Hal ini dikarenakan kandungan protein jangkrik lebih rendah daripada belalang yaitu 60,47%, sedangkan kandungan protein belalang adalah sebesar 70,26% (Tabel 2). Konsumsi protein jangkrik dalam sehari rata-rata adalah 1,53 gram, sedangkan untuk konsumsi protein belalang adalah 1,70 gram dalam sehari. Tingginya rataan konsumsi protein belalang dikarenakan perbedaan konsumsi pakan tidak begitu nyata antara jangkrik dan belalang. Pakan yang mengandung protein tinggi akan tahan lama di dalam tubuh dan akan memberikan rasa kenyang, sehingga akan mengurangi konsumsi. Selain konsumsi protein, dapat dilihat juga konsumsi serat kasar dari bahan pakan tersebut. Konsumsi serat kasar bahan pakan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Konsumsi Serat Kasar Bahan Pakan (g)

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 18.0 0 - 1 9.00 19.0 0 - 2 0.00 20.0 0 - 2 1.00 21.0 0 - 2 2.00 22.0 0 - 2 3.00 23.0 0 - 0 0.00 00.0 0 - 0 1.00 01.0 0 - 0 2.00 02.0 0 - 0 3.00 03.0 0 - 0 4.00 04.0 0 - 0 5.00 05.0 0 - 0 6.00 W ak tu P eng amatan K on su m si P ro te in (g ) Ja n g krik Be la la n g 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10 1 8.0 0 - 1 9.00 1 9.0 0 - 2 0.00 2 0.0 0 - 2 1.00 2 1.0 0 - 2 2.00 2 2.0 0 - 2 3.00 2 3.0 0 - 0 0.00 0 0.0 0 - 0 1.00 0 1.0 0 - 0 2.00 0 2.0 0 - 0 3.00 0 3.0 0 - 0 4.00 0 4.0 0 - 0 5.00 0 5.0 0 - 0 6.00 W ak tu P e ng am atan K o n su m si S er a t K a sa r (g ) Ja n g krik Be la la n g

(39)

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa setiap jam konsumsi serat kasar jangkrik lebih rendah daripada belalang. Hal ini dikarenakan kandungan serat kasar belalang lebih tinggi daripada jangkrik yaitu 20,72% untuk belalang dan 7,30% untuk jangkrik (Tabel 2). Konsumsi serat kasar jangkrik rata-rata dalam sehari adalah 0,19 gram, sedangkan untuk serat kasar belalang adalah 0,51 gram.

Konsumsi Energi. Menurut Parakkasi (1999) energi merupakan bagian terbesar yang disuplai oleh hampir semua bahan makanan yang biasa digunakan untuk ternak. Konsumsi energi dari bahan pakan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Konsumsi Energi Bahan Pakan (kal/g BK)

Gambar 8 menunjukkan bahwa setiap jam ternyata konsumsi energi jangkrik lebih tinggi daripada belalang. Hal ini dikarenakan kandungan energi jangkrik juga lebih tinggi daripada belalang, yaitu 6172,88 kal/gBK untuk jangkrik dan 5285,91 kal/gBK untuk belalang (Tabel 2). Selain itu menurut Djojosoebagio dan Piliang (1996) makanan dengan kandungan serat kasar relatif tinggi biasanya mengandung kalori rendah. Dalam hal ini kandungan serat kasar belalang lebih tinggi sehingga kalori yang dihasilkan juga menjadi lebih redah. Konsumsi energi jangkrik rata-rata dalam sehari adalah 15,695 kkal, sedangkan konsumsi energi belalang rata-rata dalam sehari adalah 12,738 kkal.

Cara Makan. Tarsius dalam mengambil makanan selalu mengamati dahulu makanan yang akan dimakannya selama kurang lebih satu menit. Jika keadaan sekeliling dirasa aman, tarsius akan turun dari tempat bertengger atau persembunyiannnya untuk mengambil mangsa. Mangsa yang didapat akan dibawa ke

0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 3000.00 3500.00 18.00 - 19.0 0 19.00 - 20.0 0 20.00 - 21.0 0 21.00 - 22.0 0 22.00 - 23.0 0 23.00 - 00.0 0 00.00 - 01.0 0 01.00 - 02.0 0 02.00 - 03.0 0 03.00 - 04.0 0 04.00 - 05.0 0 05.00 - 06.0 0 Waktu Pengamatan K on su m si E ner gi (k al/ gB K ) Jangkrik Belalang

(40)

tempat tarsius semula, yaitu ke ujung cabang yang vertikal dan biasanya tarsius akan memakan mangsanya di balik rimbunan daun yang ada di ujung pohon. Tarsius tidak pernah melakukan aktivitas makan di lantai atau di tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Niemitz dan Verlag (1984), bahwa setiap mencari makan, pertama tarsius akan mengamati mangsanya dan memastikan secara visual dari atas pohon, kemudian melompat ke arah mangsa. Tarsius akan melompat kembali ke atas pohon membawa mangsanya, kemudian setelah di atas pohon baru memakannya. Aktivitas minum berhubungan langsung dengan makan, tetapi dalam hal ini aktivitas minum jarang dilakukan, biasanya aktivitas minum dilakukan tarsius setelah makan. Air minum tersebut digunakan untuk memperlancar gerakan pakan dalam saluran pencernaan.

Pengamatan cara makan tarsius ini tidak dapat dideteksi dengan jelas bagaimana urutan tarsius itu makan dari lama waktu menangkap mangsa, melumpuhkan mangsa, melompat lagi ke tenggeran, memasukkan makanan ke dalam mulut dan mengunyah. Hal ini disebabkan gerakan tarsius itu sangat cepat dan banyaknya rimbunan daun dari pohon hidup yang ada di dalam kandang, juga disebabkan kondisi malam yang gelap tidak memungkinkan untuk melihat gerakan makan tarsius yang sangat cepat. Cahaya lampu yang digunakan saat penelitian sangat terbatas, hanya ada sedikit cahaya lampu dan letaknya sedikit jauh dari kandang tarsius. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hadiatry (2003), yang dapat mendeteksi secara detail tentang urutan perilaku makan mulai dari mengamati mangsa sampai mengunyah makanan. Hal ini dikarenakan pada penelitian yang dilakukan di kandang PSSP tersebut terdapat cahaya lampu atau penerangan sampai ke dalam kandang dari bola lampu 5 watt (warna hijau). Selain itu kandang tarsius tidak dilengkapi dengan tempat bersembunyi seperti pohon hidup. Sedangkan penelitian yang dilakukan di kandang CVPE pemberian pakan dilakukan pada pukul 15.00 – 16.00 WIB dan aktivitas makan juga dimulai pada selang waktu tersebut, sehingga aktivitas makan dapat terlihat jelas terutama saat mengunyah makanan karena cuaca masih terang.

Kandang yang ada di penangkaran LIPI, Cibinong luasnya terbatas, sehingga berpengaruh pada cara makan tarsius. Biasanya tarsius akan mengambil mangsa yang disediakan di dalam kandang dan membawa mangsa yang didapat ke atas sebatas

(41)

tinggi pohon dan tinggi kandang, sehingga akan berpengaruh pada lokomosi. Dengan pohon yang tinggi setinggi kandang, akan berpengaruh pada lama tarsius itu mengamati mangsa sampai membawa mangsa itu ke atas pohon. Selain kandang, cara penyajian pakan juga akan berpengaruh pada cara makan tarsius. Tarsius menyukai pakan serangga yang hidup, sehingga tarsius perlu melumpuhkan mangsanya terlebih dahulu. Tarsius dalam memakan jangkrik dan belalang dimulai dari bagian kepalanya. Hal ini terlihat dari sisa pakan yang selalu berupa badan untuk jangkrik, sedangkan pakan yang berupa belalang biasanya sisanya berupa badan dan sayap.

Aktivitas Minum

Tarsius minum dengan menekukkan kedua kakinya di dekat tempat minum, kemudian menurunkan kepalanya mendekati air tersebut lalu menjilati air tersebut berulang–ulang dan berlangsung perlahan–lahan. Aktivitas ini berlangsung kurang lebih 20 detik. Seperti juga yang dilakukan kukang (Ba’alwy, 2003), bahwa saat melakukan aktivitas minum kukang akan mendekatkan bagian mulutnya ke tempat minum dan menjulurkan lidahnya beberapa kali sambil menjilati air minum. Aktivitas minum tarsius di penangkaran tidak jauh beda dengan yang dilakukan tarsius di alam. Menurut Niemitz dan Verlag (1984), saat tarsius melakukan aktivitas minum, tempat yang dipilih berupa kolam atau aliran air. Biasanya tarsius akan duduk di atas tanah dekat sumber air lalu menjilati air dan kadang–kadang ia duduk dalam air yang dangkal. Bila hujan, tarsius akan menjilati air hujan yang tertampung pada batang pohon dan daun bambu.

Aktivitas minum tertinggi pada pukul 19.00 – 20.00 WIB yaitu sebesar 0,36%. Seperti halnya aktivitas makan yang tinggi pada awal pengamatan (Gambar 4). Kukang juga melakukan aktivitas minum tertinggi pada pukul 19.00 – 20.00 WIB, selang satu jam setelah aktivitas makan (Ba’alwy 2003). Hal ini diduga air yang diminum digunakan untuk membantu pergerakan pakan dalam saluran pencernaan. Selain itu tarsius minum untuk menjaga keseimbangan air dalam tubuh apabila terjadi penguapan akibat suhu udara yang meningkat. Dalam penelitian ini konsumsi air minum tidak dihitung, karena tidak dapat diketahui dengan pasti bahwa berkurangnya air minum tersebut dikarenakan dikonsumsi atau tumpah.

(42)

Aktivitas Urinasi

Urinasi adalah aktivitas membuang kotoran dalam bentuk cair. Aktivitas urinasi tertinggi dicapai pada pukul 18.00 – 19.00 WIB sebesar 1,52 %. Hal ini diduga urin yang dikeluarkan merupakan hasil metabolisme pakan yang tidak digunakan, selama istirahat di siang hari. Aktivitas terendah pada pukul 05.00 – 06.00 WIB yaitu sebesar 0,47% (Gambar 4). Air minum tidak banyak mempengaruhi urin yang dikeluarkan, mengingat aktivitas minum tarsius selama penelitian cukup rendah.

Posisi urinasi tarsius adalah ditandai dengan mengangkat ekor. Biasanya urinasi pada tarsius betina dilakukan di tempat yang sama, yaitu pada kawat dinding kandang sebelah kiri dekat pintu, sedangkan pada jantan sering dilakukan saat melompat pindah pohon. Perilaku tersebut merupakan salah satu kebiasaan tarsius di alam, sebagai penandaan dari home range atau keberadaannya atau daerah teritorialnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kukang (Ba’alwy, 2003), kukang betina akan melakukan urinasi pada tempat yang sama, sedangkan kukang jantan akan melakukan urinasi pada tempat yang berbeda–beda atau berpindah–pindah karena daerah jelajah jantan lebih luas daripada betina. Saat urinasi tarsius akan meratakan bekas urinnya dengan menggunakan kaki. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), hal ini dilakukan untuk menandai daerah jelajahnya atau daerah teritorialnya, daerah jelajah tarsius jantan adalah sebesar 7 – 11 Ha, sedangkan daerah jelajah tarsius betina sebesar 4 – 9 Ha. Aktivitas urinasi yang begitu cepat dan hanya sedikit, tidak memungkinkan untuk menampung urin dalam penelitian ini. Aktivitas Defekasi

Defekasi adalah aktivitas membuang kotoran dalam bentuk padat. Produksi feses tarsius selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar

Tabel 1. Rataan Suhu ( 0 C) dan Kelembaban (%) Kandang di Penangkaran
Gambar 2. Kandang Tarsius bancanus di Penangkaran LIPI, Cibinong   Pengamatan Aktivitas
Gambar 4. Alokasi Waktu Aktivitas yang Berhubungan Langsung dengan                                   Pola Konsumsi Pakan Tarsius bancanus
Gambar 8. Konsumsi Energi Bahan Pakan (kal/g BK)
+2

Referensi

Dokumen terkait