• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Antara Durasi Waktu Pembekuan Terhadap Terjadinya Pembusukan Jaringan Paru-paru Pada Kelinci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbandingan Antara Durasi Waktu Pembekuan Terhadap Terjadinya Pembusukan Jaringan Paru-paru Pada Kelinci"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN ANTARA DURASI WAKTU PEMBEKUAN

TERHADAP TERJADINYA PEMBUSUKAN JARINGAN

PARU-PARU PADA KELINCI

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum

SYIFA FAUZIYAH AZIS 22010110110068

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO TAHUN 2014

(2)
(3)

PERBANDINGAN ANTARA DURASI WAKTU PEMBEKUAN TERHADAP TERJADINYA PEMBUSUKAN JARINGAN PARU-PARU PADA KELINCI! Syifa Fauziyah Azis1), Intarniati Nur Rohmah2)

ABSTRAK

Latar Belakang: Pada mayat yang harus segera diautopsi namun belum teridentifikasi maka prosedur autopsi ditunda selama 2x24 jam. Suhu sekitar yang rendah terbukti dapat menghambat terjadinya proses pembusukan mayat. Sehingga penelitian waktu pembekuan perlu untuk memperkirakan proses pembusukan yang terjadi pada paru-paru setelah diberi perlakuan pembekuan. Tujuan: Membuktikan lamanya pembekuan dapat berpengaruh terhadap proses terjadinya pembusukan paru-paru pada kelinci.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan rancangan penelitian Post test only control group design. Sampel adalah kelinci jantan, umur 1-2 bulan, berat badan 0,5 – 1 kilogram, sehat dan tidak cacat. Sampel dibagi menjadi 8 kelompok yaitu 2 kelompok kontrol (K1 dan K2) dan 6 kelompok perlakuan (P1,P2,P3,P4,P5, dan P6). Pada kelompok P1 kelinci mati diletakkan pada refrigerator selama 1 hari. Pada P2 kelinci mati diletakkan pada refrigerator selama 1 hari kemudian diletakkan pada suhu kamar selama 1 hari. Pada P3 kelinci mati diletakkan pada refrigerator selama 1 hari kemudian diletakkan pada suhu kamar selama 2 hari. Pada P4 kelinci mati diletakkan pada refrigerator selama 2 hari. Pada P5 kelinci mati diletakkan pada refrigerator selama hari kemudian diletakkan pada suhu kamar selama 1 hari. Pada P6 kelinci mati diletakkan pada refrigerator selama 2 hari kemudian diletakkan pada suhu kamar selama 2 hari. Untuk mengetahui perbandingan durasi waktu pendinginan terhadap proses pembusukan pada paru-paru, lisis sel diamati secara mikroskopis setelah pengecatan HE. Data kemudian diolah menggunakan uji

Kruskal-Wallis kemudian dilanjutkan dengan uji Mann Whitney Test.

Hasil: Pada sel paru-paru lisis perbedaan gambaran mikroskopis yang bermakna didapatkan pada kelompok P1 dibandingkan dengan P3 (p = 0,021), P4 dibandingkan dengan P5 (p = 0,021), P4 dibandingkan dengan P6 (p = 0,021), K1 dibandingkan dengan P4 (p = 0,021), K2 dibandingkan dengan P3 (p = 0,021), dan K2 dibandingkan dengan P5 (p = 0,021), sedangkan pada kelompok P1 dibandingkan dengan P2 (p= 0,773), K1 dibandingkan dengan P1 (p = 0,773), K2 dibandingkan dengan P2 (p = 0,564), dan K2 dibandingkan dengan P6 (p = 0,564) tidak didapatkan perbedaan yang bermakna.

Simpulan: Perlakuan tentang lamanya pembekuan terhadap proses terjadinya pembusukan pada paru-paru kelinci menyebabkan perubahan gambaran mikroskopis paru-paru secara bermakna.

Kata Kunci: Autolisis, Lisis, Mikroskopis Paru-paru, Paru-paru, Pembekuan Mayat, Pembusukan

1

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 2

(4)

COMPARISON BETWEEN THE DURATION OF FREEZING TIME AGAINST THE DECAY PROCESS OF LUNG IN RABBITS

ABSTRACK

Background: The bodies that will be autopsied but not yet identified, the autopsy procedure will be delayed for 2 x 24 hours.!low ambient temperature proved can inhibit the decomposition process of a body. So research on clotting time may be necessary to estimate the decay process that occurs in the lungs after treated clotting.

Aims: Proving the length of freezing can affect the decay process of the lungs in rabbits.

Methods: This study is an experimental research laboratory with study design Post-test only control group design. The sample was male rabbits, aged 1-2 months, weight 0.5 to 1 kilogram, healthy and not disabled. Samples were divided into 8 groups: 2 control groups (K1 and K2) and 6 treatment groups (P1, P2, P3, P4, P5, and P6). In the group of P1 dead rabbit is placed in the refrigerator for 1 day. In the group P2 dead rabbit is placed in the refrigerator for 1 day then placed at room temperature for 1 day. In group P3 dead rabbit is placed in the refrigerator for 1 day then placed at room temperature for 2 days. In the group of P4 dead rabbit is placed in the refrigerator for 2 day. In the group P5 dead rabbit is placed in the refrigerator for 2 day then placed at room temperature for 1 day. In group P6 dead rabbit is placed in the refrigerator for 2 day then placed at room temperature for 2 days. To determine the ratio of the cooling time duration of the decay process in the lungs, observed microscopic changes in cell lysis by microscopy after HE. The data is then processed using different test statistics non-parametric Kruskal-Wallis followed by Mann Whitney test.

Results: In lung lysis cell significant differences in microscopic appearance obtained at P1 than P3 group (p = 0.021), P4 compared with P5 (p = 0.021), P4 compared with P6 (p = 0.021), K1 compared with P4 (p = 0.021), K2 compared with P3 (p = 0.021), and K2 compared with P5 (p = 0.021), whereas in group P1 compared to P2 (p= 0,773), K1 compared with P1 (p = 0.773), K2 compared with P2 (p = 0.564), and K2 compared with P6 (p = 0.564) obtained no significant difference.

Conclusion: Treatment of duration of freezing toward the process of decay in the lungs of rabbits cause changes in lung microscopic picture significantly.

Keywords: Autolysis, Decay, Freezing corpses, Lung, Lysis, Microscopic of Lung.

! ! ! !

(5)

"#$%&'()(&$!

Menurut World Health Organization (WHO) kematian merupakan hilangnya tanda kehidupan secara permanen yang terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 117 menyatakan : “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung, sirkulasi, dan system pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.1

Setelah terjadinya kematian akan segera tampak perubahan-perubahan yang segera terlihat segera setelah mati. Beberapa saat setelahnya akan terjadi proses pembusukan pada mayat, dimana proses ini terjadi kurang lebih 24 jam pada daerah tropis setelah kematian dan menjadi salah satu proses penting yang terjadi setelah manusia ditetapkan mati.2

Pembusukan adalah suatu keadaan dimana bahan-bahan organik tubuh mengalami dekomposisi baik yang disebabkan oleh karena adanya aktivitas bakteri, maupun karena autolisis.

Autolisis yaitu perlunakan dan pencairan jaringan tubuh yang terjadi dalam kondisi steril, tanpa pengaruh bakteri. Hal tersebut dikarenakan adanya aktivitas enzimatik, yang berasal dari sel itu sendiri yang dilepaskan setelah kematian. Aktivitas enzim yang menyebabkan autolisis dapat dihambat dengan jalan menaruh jaringan tersebut di dalam suatu tempat yang suhunya sangat rendah sekali.3

Salah satu faktor eksternal yang dibahas dalam penelitian ini adalah suhu, dimana tekanan atmosfer dan suhu yang tinggi akan mempercepat dekomposisi. Pada temperatur yang optimal akan membantu dekomposisi yang optimal dengan pemecahan kimiawi dari jaringan dan perkembangan mikroorganisme yang membantu pembusukan. Suhu optimum untuk terjadi pembusukan adalah antara 21,1o-37,8oC dan proses pembusukan dihambat pada suhu dibawah 10oC dan pada suhu di atas 37,8oC. Media dimana mayat berada juga memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan pembusukan mayat.4

(6)

Pembusukan organ tubuh juga memiliki kecepatan yang berbeda-beda. Organ dalam yang cepat membusuk yaitu otak, lien, lambung, usus, renal, hepar, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ yang termasuk lambat membusuk yaitu paru-paru, jantung, otot, dan diafragma. Sedangkan organ yang paling lambat membusuk yaitu kelenjar prostat dan uterus non gravid. Dalam penelitian ini peneliti ingin meneliti pada organ paru-paru pada kelinci karena memiliki metabolisme tidak jauh dari manusia.2,3

Peneliti ingin membandingkan lamanya pembekuan mayat yang dibutuhkan dengan proses pembusukan yang akan terjadi pada mayat. Sehingga pada penelitian ini peneliti memberikan interversi yaitu proses pembusukan yang terjadi pada mayat yang diletakan pada suhu normal dengan mayat yang dibekukan dalam beberapa hari. Diharapkan setelah mayat dibekukan dalam kurun waktu tertentu jaringan sel masih seperti pada mayat yang baru saja meninggal, Sehingga sebab kematian tidak tersamar. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “ Perbandingan Antara Durasi Waktu Pembekuan Terhadap Terjadinya Pembusukan Pada Paru-Paru Kelinci” sebagai alternatif dalam memperkirakan lamanya waktu pembekuan yang paling efektif dalam menurunkan terjadinya proses pembusukan pada mayat.

!

*#+,%#!

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan kelinci sebagai sampel. Penelitian ini meliputi bidang ilmu kedokteran forensik dan patologi anatomi. Perlakuan pada tikus dilaksanakan di Laboratorium Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Pemeriksaan gambaran histopatologi dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2014.

Besar sampel pada penelitian ini adalah 32 ekor kelinci yang diambil secara acak sederhana dengan kriteria berat badan 0,5-1 kg, umur 1-2 tahun, tanpa cacat anatomi dan mati dengan dislokasi tulang leher. Alat yang diperlukan antara lain refrigerator, wadah kelinci, masker dan sarung tangan, alat bedah minor, alat untuk pembuatan preparat patologi anatomi,alat untuk melihat

(7)

gambaran histopatologi anatomi ( deckglass,objeckglass,mikroskop). Bahan yang diperlukan antara lain 32 ekor kelinci, bahan-bahan untuk metode baku histologi pemeriksaan jaringan (larutan bouin, larutan buffer formalin 10%, parafin, albumin, hemaktosilin eosin, larutan xylol, alkohol bertingkat 30%, 40%, 50%, 70%, 80%, 90%, 96%, aquades).

Setelah diadaptasi 1 minggu, dilakukan dislokasi tulang leher pada 32 ekor kelinci, dipastikan kelinci telah mati. Kemudian diberi 8 perlakuan yang berbeda yaitu kelompok kontrol 1 merupakan kelinci yang tidak diberi perlakuan apapun, kelompok kontrol, yaitu kelinci yang dibiarkan busuk, kontrol 2 merupakan kelinci yang dibusukkan selama 2 hari, kelompok perlakuan 1, yaitu kelinci yang dibekukan pada suhu -60C sampai -10oC selama 1 hari, kelompok perlakuan 2, yaitu kelinci yang dibekukan pada suhu -60C sampai -10oC selama 1 hari setelah itu dikeluarkan pada suhu ruang selama 1 hari, kelompok perlakuan 3, yaitu kelinci yang dibekukan pada suhu -60C sampai -10oC selama 1 hari setelah itu dikeluarkan pada suhu ruang selama 2 hari, kelompok perlakuan 4, yaitu kelinci yang dibekukan pada suhu -60C sampai -10oC selama 2 hari, kelompok perlakuan 5, yaitu kelinci yang dibekukan pada suhu -60C sampai -10oC selama 2 hari setelah itu dikeluarkan pada suhu ruang selama 1 hari, dan kelompok perlakuan 6, yaitu kelinci yang dibekukan pada suhu -60C sampai -10oC selama 2 hari setelah itu dikeluarkan pada suhu ruang selama 2 hari.

kemudian diolah mengikuti metode baku histologi dengan pewarnaan HE. Masing-masing kelinci dibuat satu preparat dan setiap preparat dilakukan penghitungan jumlah sel paru lisis dalam 5 lapangan pandang dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 400X.

Data hasil penelitian berupa jumlah sel paru lisis dalam bentuk tabel dan diolah dengan SPSS 15.0 for windows. Uji normalitas mengguanakan uji

Saphiro- Wilk. Dilanjutkan dengan uji statistic non parametric Kruskal Wallis, kemudian dilanjutkan dengan uji beda Mann Whitney.

(8)

HASIL

Penilaian gambaran mikroskopis paru-paru kelinci dilakukan dengan cara membuat preparat paru-paru menggunakan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE), kemudian diamati gambaran mikroskopisnya dengan mikroskop cahaya pembesaran 400X pada 5 lapangan pandang. Kemudian dinilai dengan melihat jumlah inti sel paru-paru yang normal dan inti sel paru-paru yang mengalami lisis. Hasil pada pengamatan mikroskopis paru-paru kelinci dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengamatan mikroskopis sel lisis paru-paru kelinci

Kelompok Mean ± SD Normalitas p Homogenitas p K1 144 ± 7,118 0,405* 0,001** K2 109,5 ± 26,715 0,712* P1 119 ± 21,494 0,138* P2 128 ± 36,724 0,366* P3 55,75 ± 7,136 0,830* P4 71,75 ± 9,845 0,746* P5 174,75 ± 9,179 0,811* P6 118 ± 21,787 0,395*

*) uji normalitas saphiro wilk **) uji homogenitas levene statistic

Hasil dari pengamatan mikroskopis tersebut diuji normalitas menggunakan Saphiro Wilk didapatkan sebaran data tersebut normal (jika nilai p > 0,05), dan uji homogenitas levene statistic didapatkan sebaran data tidak normal, sehingga tidak dapat menggunakan uji One Way ANOVA, sehingga kemudian dilanjutkan uji beda seluruh kelompok mengunakan Kruskal Wallis

dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan pada semua kelompok penelitian dengan nilai p = 0.001. Sehingga analisis dilanjutkan dengan uji beda antar dua kelompok menggunakan uji statistik Mann Whitney dan hasil nilai p tercantum pada tabel 5.

(9)

Tabel 5. Hasil uji statistik Mann Whitney mikroskopis paru-paru Variabel K2 P1 P2 P3 P4 P5 P6 K1 0,083 0,021* K2 0,564 0,021* 0,021* 0,564 P1 0,773 0,021* P4 0,021* 0,021* Keterangan : * Signifikan p < 0,05

Hasil dari uji analisis tersebut:

1. Pada P1 dan P2 tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,773) 2. Pada P1 dan P3 terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,021) 3. Pada P4 dan P5 terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,021) 4. Pada P4 dan P6 terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,021)

5. Pada K1 dan P1 tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,083), sedangkan pada K1 dan P4 terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0.021) 6. Pada K2 dan P2 tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,564) 7. Pada K2 dan P3 terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,021) 8. Pada K2 dan P5 terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,021) 9. Pada K2 dan P6 tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,564)

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini gambaran makroskopis paru-paru kelinci tidak didapatkan perbedaan pada kelompok K1, K2, P1, P2, P4, dan P5. Tetapi didapatkan perbedaan gambaran makroskopis pada kelompok P3 dan P6, yaitu konsistensi paru-paru lebih lunak dan cair. Hal ini disebabkan karena pembusukan yang terjadi pada medium cair 4 kali lebih lama terjadi dibandingkan dengan pembusukan yang terjadi pada medium udara menurut rule of thumb (Casper Dictum).2,11,12

Terdapat perbedaan gambaran mikroskopis paru-paru kelinci pada kelompok K1 dibandingkan dengan kelompok K2, P1, P2, P3, P4, P5, dan P6.

(10)

Pada kelompok K1 secara keseluruhan tidak didapatkan perubahan gambaran mikroskopis, dimana gambaran sel normal lebih banyak dibandingkan gambaran sel lisis. Sel lisis yang terdapat pada kelompok K1 dapat disebabkan oleh jejas yang terjadi sebelum kematian dimana sel tersebut terbaca sebagai sel lisis, karena gambaran sel nekrosis dan sel lisis secara histopatologi adalah sama.21

Pada kelompok K2 gambaran sel yang terlihat adalah hanya sel piknotik dan karioreksis, dimana gambaran sel normal dan sel kariolisis sama sekali tidak ditemukan. Hal ini disebabkan karena pada kelompok K2 sudah membusuk selama 2 hari oleh karena proses penghancuran jaringan tubuh yang terutama disebabkan oleh bakteri Clostridium Welchii dimana kuman tersebut berkembang biak menyebabkan terjadinya proses pembusukan dalam waktu kurang lebih 48 jam setelah mati. Oleh karena itu sel normal sudah sangat jarang terdapat pada kelompok K2. 2

Pada kelompok P1, P2, P4, dan P5 terdapat perbedaan gambaran mikroskopis secara keseluruhan, dimana terdapat banyak sebaran sel yang cukup merata antara sel normal dan sel lisis. Sel lisis antara lain adalah piknotik, karioreksi, dan kariolisis. Keadaan dimana inti sel yang mati akan menyusut, batasnya tidak teratur, dan berwarna gelap, serta terdapat penggumpalan kromatin. Proses ini disebut sebagai piknosis dengan intinya yang disebut piknotik. Sedangkan karioreksis adalah inti hancur, dan meniggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. Pada akhirnya inti sel yang mati akan kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan kromatin menjadi lisis (menghilang), proses inilah yang disebut kariolisis.22

Pada kelompok P3 dan P6 terjadi perubahan gambaran mikroskopis, dimana terdapat lebih banyak gambaran sel lisis dibandingkan gambaran sel normal. Hal ini dikarenanakan adanya proses pembekuan mayat yang kemudian dicairkan menyebabkan sel rusak, sel lisis dan akumulasi cairan ekstraseluler. Dimana terdapat perbedaan media dari medium cair menjadi medium udara saat mayat diletakkan pada suhu ruang menyebabkan pelepasan dari enzim-enzim pembusukan yang menyebabkan terjadinya lisis atau pembusukan. Selain itu,

(11)

terdapat gambaran mikroskopis nekrosis difus pada kelompok P3 dan P6 dimana terdapat massa nekrotik yang homogen serta akumulasi cairan yang mendesak sel sehingga batas-batas sel tidak tampak.25

Berdasarkan hasil uji beda yang dilakukan pada seluruh kelompok sel paru-paru lisis didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada semua kelompok penelitian dengan nilai p = 0.001. Hasil ini menunjukkan bahwa pendinginan mayat selama 1 dan 2 hari dapat mempengaruhi gambaran mikroskopis paru-paru kelinci. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian C David, Y David, T mark (2008), yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi puncak atau mempersingkat proses pembusukan dan pada suhu rendah akan memperlambat terjadinya pembusukan. dimana dilakukan dengan tikus yang dikubur pada media tanah yang berbeda-beda pada suhu yang berbeda (29oC, 22oC, 15oC) menyatakan pada suhu tertinggi menghasilkan proses pembusukan yang lebih cepat dari pada suhu yang rendah dimana pada suhu yang rendah terjadi penurunan hilangnya masa otot, penurunan microbial biomass carbon, penurunan aktivitas enzim dan pencapaian pH (8-8,1) lebih lambat.7

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok P1 dengan kelompok P2 (p = 0,773), Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis kelompok yang dibekukan 1 hari dengan kelompok yang dibekukan 1 hari kemudian diletakkan pada suhu ruang selama 1 hari. Hal ini dikarenakan hewan yang dibekukan kemudian dicairkan akan mengalami proses pembusukan dari luar kedalam, sedangkan hewan yang tidak mengalami pembekuan, proses pembusukan akan terjadi dari dalam keluar menurut pengamatan Micozzi. Dimana pembusukan yang terjadi pada P2 baru melalui tahapan pembusukan yang terjadi dari luar, sehingga pembusukan yang terjadi belum sampai pada organ didalam dalam kasus ini adalah paru-paru. 8

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok P1 dengan kelompok P3 (p = 0,021), Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gambaran mikroskopis

(12)

kelompok yang dibekukan 1 hari dengan kelompok yang dibekukan 1 hari kemudian diletakkan pada suhu ruang selama 2 hari. Pada kelompok P1 proses pembusukan terhambat sesuai dengan pernyataan Micozzi bahwa tidak terdapat pembusukan pada suhu kurang 4oC. Pada suhu dibawah 12oC, perkembangan bakteri menjadi lebih lambat. Peningkatan suhu akan mempercepat terjadinya pembusukan. pada suhu antara 15 sampai 37oC merupakan saat yang sangat baik bagi bakteri untuk berkembang biak dan jumlah bakteri akan meningkat. Sedangkan pada kelompok P3 sel lisis sangat banyak akan tetapi pada pembacaan mikroskopis preparat P3 sulit untuk dilakukan dikarenakan sel sel sudah tidak tampak batas-batasnya, dimana sel sel lisis yang ada tampak seperti tidak terbaca.8

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok P4 dengan kelompok P5 (p = 0,021), Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gambaran mikroskopis kelompok yang dibekukan 2 hari dengan kelompok yang dibekukan 2 hari kemudian diletakkan pada suhu ruang selama 1 hari. Pada kelompok P4 sel lisis yang ada leibh sedikit dikarenakan proses pembusukan dihambat pada suhu kurang dari 4oC, sedangkan pada kelompok P5 terjadi proses pembusukan setelah dikeluarkan dari pendingin selama 1 hari, dimana peningkatan suhu akan mempercepat terjadinya pembusukan. sedangkan pada kelompok P5 pada suhu antara 15 sampai 37oC merupakan saat yang sangat baik bagi bakteri untuk berkembang biak dan jumlah bakteri akan meningkat. Tubuh yang hangat serta kelembaban yang cukup mejadikan proses pembusukan menjadi lebih cepat karena kondisi ini membuat bakteri-bakteri pembusukan tumbuh.8

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok P4 dengan kelompok P6 (p = 0, 021), Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gambaran mikroskopis kelompok yang dibekukan 2 hari dengan kelompok yang dibekukan 2 hari kemudian diletakkan pada suhu ruang selama 2 hari. Hal ini dikarenakan setelah diletakkan pada suhu kamar selama 2 hari proses pembusukan berlanjut walaupun telah diletakkan pada pendingin selama 2 hari. Serta pada kelompok

(13)

P6 sel lisis sangat banyak akan tetapi pada pembacaan mikroskopis preparat P6 sulit untuk dilakukan dikarenakan sel sel sudah tidak tampak batas-batasnya, dimana sel sel lisis yang ada tampak seperti tidak terbaca. Sehingga memberikan hasil seolah-olah sel lisis pada kelompok P6 hampir sama dibanding kelompok P4.

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok K1 dengan kelompok P1 (p = 0,083), Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis kelompok yang tidak diberi perlakuan dengan kelompok yang dibekukan 1 hari. Hal ini dikarenakan pada kelompok K1 dimana pada pengamatan mikroskopisnya sudah terdapat banyak sel lisis. Sel lisis yang terdapat pada kelompok K1 ini dapat disebabkan oleh karena adanya beberapa faktor perancu, salah satunya yaitu kelinci yang sakit. dimana pada kiteria sampel kelinci yang sakit sudah merupakan kriteria yang tidak diikutsertakan pada penelitian, akan tetapi peneliti tidak dapat mengetahuinya dikarenakan kelinci tidak diperiksa secara keseluruhan satu-persatu. Kriteria sehat yang dimaksudkan pada hal ini adalah kelinci tidak cacat, mampu berdaptasi, dan makan serta minum baik selama masa adaptasi 1 minggu. Sehingga jejas yang terjadi sebelum kematian dimana sel tersebut terbaca sebagai sel lisis, karena gambaran sel nekrosis dan sel lisis secara histopatologi adalah sama.21

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok K1 dengan kelompok P4 (p = 0,021), Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gambaran mikroskopis kelompok yang tidak diberi perlakuan dengan kelompok yang dibekukan 2 hari. Hal ini dikarenakan pada kelompok K1 dimana pada pengamatan mikroskopisnya sudah terdapat banyak sel lisis. Sel lisis yang terdapat pada kelompok K1 ini dapat disebabkan oleh karena adanya beberapa faktor perancu, yaitu kelinci yang sakit. dimana pada kiteria sampel kelinci yang sakit sudah merupakan kriteria yang tidak diikutsertakan pada penelitian, akan tetapi peneliti tidak dapat mengetahuinya dikarenakan kelinci tidak diperiksa secara keseluruhan satu-persatu. Kriteria sehat yang dimaksudkan pada hal ini adalah

(14)

kelinci tidak cacat, mampu berdaptasi, dan makan serta minum baik selama masa adaptasi 1 minggu. Sehingga jejas yang terjadi sebelum kematian dimana sel tersebut terbaca sebagai sel lisis, karena gambaran sel nekrosis dan sel lisis secara histopatologi adalah sama. Sedangkan pada kelompok P4 sel lisis yang ada lebih sedikit dikarenakan proses pembusukan dihambat pada suhu kurang dari 4oC menurut Micozzi.8, 21

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok K2 dengan kelompok P2 (p = 0,564), Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis kelompok yang dibusukkan 2 hari dengan kelompok yang dibekukan 1 hari kemudian diletakkan pada suhu ruang selama 1 hari. Hal ini dikarenakan proses pembusukan tetap terjadi setelah mayat diletakkan pada suhu ruang selama 1 hari. Peningkatan suhu akan mempercepat terjadinya pembusukan. pada suhu antara 15 sampai 37oC merupakan saat yang sangat baik bagi bakteri untuk berkembang biak dan jumlah bakteri akan meningkat. Tubuh yang hangat serta kelembaban yang cukup mejadikan proses pembusukan menjadi lebih cepat karena kondisi ini membuat bakteri-bakteri pembusukan tumbuh.8

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok K2 dengan kelompok P3 (p = 0,021), Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gambaran mikroskopis kelompok yang dibusukkan 2 hari dengan kelompok yang dibekukan 1 hari kemudian diletakkan pada suhu ruang selama 2 hari. Hal ini dikarenakan pada kelompok P3 sel lisis sangat banyak akan tetapi pada pembacaan mikroskopis preparat P3 sulit untuk dilakukan dikarenakan sel sel sudah tidak tampak batas-batasnya, dimana sel sel lisis yang ada tampak seperti tidak terbaca. Sehingga memberikan hasil seolah-olah sel lisis pada kelompok P3 lebih sedikit dibanding kelompok K2.

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok K2 dengan kelompok P5 (p = 0,021), Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gambaran mikroskopis

(15)

kelompok yang dibusukkan 2 hari dengan kelompok yang dibekukan 2 hari kemudian diletakkan pada suhu ruang selama 1 hari. Hal ini dikarenakan proses pembusukan tetap terjadi setelah mayat diletakkan pada suhu ruang selama 1 hari, dimana pada kelompok P5 didapatkan sel lisis yang lebih banyak. Sel lisis yang terdapat pada kelompok P5 ini dapat disebabkan oleh karena adanya beberapa faktor perancu, yaitu kelinci yang sakit. dimana pada kiteria sampel kelinci yang sakit sudah merupakan kriteria yang tidak diikutsertakan pada penelitian, akan tetapi peneliti tidak dapat mengetahuinya dikarenakan kelinci tidak diperiksa secara keseluruhan satu-persatu. Kriteria sehat yang dimaksudkan pada hal ini adalah kelinci tidak cacat, mampu berdaptasi, dan makan serta minum baik selama masa adaptasi 1 minggu. Sehingga jejas yang terjadi sebelum kematian dimana sel tersebut terbaca sebagai sel lisis, karena gambaran sel nekrosis dan sel lisis secara histopatologi adalah sama.21

Hasil uji beda sel paru-paru antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok K2 dengan kelompok P6 (p = 0,564), Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis kelompok yang dibusukkan 2 hari dengan kelompok yang dibekukan 2 hari kemudian diletakkan pada suhu ruang selama 2 hari. Hal ini dikarenakan pada kelompok P6 proses pembusukan terhambat pada suhu kurang dari 4oc saat dibekukan, akan tetapi setelah diletakkan pada suhu ruang selama 2 hari proses pembusukan tetap berlanjut dimana pada suhu antara 15 sampai 37oC merupakan saat yang sangat baik bagi bakteri untuk berkembang biak dan jumlah bakteri akan meningkat. Tubuh yang hangat serta kelembaban yang cukup mejadikan proses pembusukan menjadi lebih cepat karena kondisi ini membuat bakteri-bakteri pembusukan tumbuh menurut Micozzi.8

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil simpulan sebagai berikut:

1. Pada pengamatan gambaran histopatologi paru-paru kelinci kelompok kontrol 1 (K1) secara keseluruhan tidak didapatkan perubahan gambaran

(16)

mikroskopis, dimana gambaran sel normal lebih banyak dibandingkan gambaran sel lisis, sedangkan gambaran histopatologi paru-paru kelinci kelompok kontrol 2 (K2) didapatkan perubahan gambaran mikroskopis dimana gambaran sel yang terlihat adalah hanya sel piknotik dan karioreksis, sedangkan gambaran sel normal dan sel kariolisis sama sekali tidak ditemukan.

2. Pada pengamatan gambaran histopatologi paru-paru kelinci kelompok perlakuan 1 (P1) dan perlakuan 2 (P2) terdapat perbedaan gambaran mikroskopis secara keseluruhan, dimana terdapat banyak sebaran sel yang cukup merata antara sel normal dan sel lisis, sedangkan gambaran histopatologi paru-paru kelinci kelompok perlakuan 3 (P3) terdapat lebih banyak gambaran sel lisis dibandingkan gambaran sel normal.

3. Pada pengamatan gambaran histopatologi paru-paru kelinci kelompok perlakuan 4 (P4) dan perlakuan 5 (P5) terdapat perbedaan gambaran mikroskopis secara keseluruhan, dimana terdapat banyak sebaran sel yang cukup merata antara sel normal dan sel lisis, sedangkan gambaran histopatologi paru-paru kelinci kelompok perlakuan 6 (P6) terdapat lebih banyak gambaran sel lisis dibandingkan gambaran sel normal.

4. Tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok perlakuan 1 (P1) dengan kelompok perlakuan 2 (P2).

5. Terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok perlakuan 1 (P1) dengan kelompok perlakuan 3 (P3).

6. Tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok perlakuan 4 (P4) dengan kelompok perlakuan 5 (P5).

7. Terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok perlakuan 4 (P4) dengan kelompok perlakuan 6 (P6).

8. Terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok kontrol 1 (K1) dengan kelompok perlakuan 1 (P1) dan tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok kontrol 1 (K1) dengan kelompok perlakuan 4 (P4).

(17)

9. Terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok kontrol 2 (K2) dengan kelompok perlakuan 2 (P2).

10.Terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok kontrol 2 (K2) dengan kelompok perlakuan 3 (P3).

11.Terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok kontrol 2 (K2) dengan kelompok perlakuan 5 (P5).

12.Tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis antara kelompok kontrol 2 (K2) dengan kelompok perlakuan 6 (P6).

Saran

Pada penelitian berikutnya, disarankan untuk dilakukan penelitian serupa tetapi dengan menggunakan organ yang berbeda pada medium yang berbeda, juga memperhatikan faktor-faktor eksternal seperti lingkungan, temperatur, dan kelembaban yang dapat mempengaruhi pembusukan. Serta menggunakan hewan coba yang lebih besar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada dr. Intarniati Nur Rohmah, SpKF, Msi.Med yang telah memberikan saran-saran dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada dr.Hermawan Istiadi, Msi. Med selaku ketua penguji dan dr. Gatot Shuharto, SpF, Mkes, DFM, SH selaku penguji, serta pihak-pihak lain yang telah membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [internet]. C2009 [cited 2013 Nov 13]. Available from:

http://www.depdagri.go.id/media/documents/2009/10/13/UU_No.36-2009.doc

2. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2000:47-62

(18)

3. Idries A. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Binarupa Aksara, 1997:67-72

4. Zhou C, Byard W. Factors and processes causing accelerated decomposition in human cadavers. Journal of forensic and legal medicine [internet]. 2010 [cited 2013 Nov 13] 18:6. Available from: ScienceDirect 5. C David, Y David, T mark. Temperature Affects Microbial Decomposition Of Cadavers (Rattus rattus) In Contrasting Soils. 2008, 188:129-137

6. Miller RA. The Affects of Clothing on Human Decomposition: Implications for Estimating Time Since Death.Master’s Thesis, University of Tenessee, 2002

7. Knight B. Forensic Pathology. New york: Oxford University Press Inc; 1996.

8. Di Maio Dominick J. and Di Maio Vincent J.M;Time of Death; Forensic Pathology,CRC Press,Inc;1993;2;21-41

9. Junqueira LC. Histologi dasar, Teks dan Atlas Edisi Sepuluh:EGC; 2007 10.Nandy,A Purba. Principles of Forensic Medicine. English:New Central Book Agency.2010

11.Derrick J. Pounder.1995. Lecture Notes Time of Death. Department of Forensic Medicine University of Dundee

12.Dautartas AM, The Effect of Various Coverings on the Rate of Human Decomposition. Master’s Thesis, University of Tennessee, 2009

13.Gresham G.A and Turner A.F;The Post-Mortem Room;Post-Mortem Procedures.Holland:Wolfe Medical Publications Ltd; 1999

14.Soetedjo, dkk.Lecture notes histologi 2. Semarang:Bagian histologi fakultas kedokteran universitas diponegoro.2011:60-63

15.Gambaran histologi paru-paru [image on the internet] c2012. [cited 2014 februari 14]. Available form: http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/CorePages/Respiratory/images/lun1 0he.jpg,http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/CorePages/Respiratory/respi r.html

(19)

16.Cummings, Trelka, Sringer. Atlas of Forensic Histophatology. New York: Cambrigde University Press. 2011

17.Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Jakarta: EGC;2011 18.William D, Haglund, Marcella H. Forensic Taphonomy: The Postmortem Fate of Human Remains [internet] 2000. Florida: United States of America [cited 2014 July 17]. Available from: CRC Press LLC.

19.Uchenna R, Ikechukwu M, Armand M, Kinget R and Verbeke N. The lung as a route for systemic delivery of therapeutic proteins and peptides. BioMed Central Ltd. 2000; 2:198–209

20.Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. Jakarta:EGC; 2004:3-33. 21.Underwood J.C.E. Patologi Umum dan Sistematik Edisi Dua:EGC; 1999 22.Soebowo, Sarjadi, Wijaya I, Amarwati S, Miranti I, Prasetyo A. 2011.

Pedoman Kuliah Mahasiswa Patologi Anatomi 1. Semarang: Bagian Patologi Anatomi fakultas kedokteran universitas diponegoro

23.Sylvia AP and Lorraine MW.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi Empat:EGC; 1994

24.Tahapan nekrosis: perubahan inti pada kematian [image on the internet] c2012. [cited 2014 februari 14]. available from:

http://1.bp.blogspot.com/_0OOQOqD3ODk/SsiD_PA-QcI/AAAAAAAAATY/qTyJ60-LKXk/s400/tahap+nekrosis.bmp,

http://makeyousmarter.blogspot.com/2012/12/kronologis-kematian-sel.html 25.Dahlan S. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika; 2010

26.W.D. Roe, B.D. Gartrell, S.A. Hunter; Freezing and thawing of pinniped carcasses results in artefacts that resemble traumatic lesions [internet].2012 [cited 2014 July 6]; 194; 326-331. Available from: Elsevier Ltd

27.Sarjadi, Wijaya I, Endro B, Sadhana U. 2012. Panduan Praktikum Patologi Anatomi 1. Semarang: Bagian Patologi Anatomi fakultas kedokteran universitas diponegoro

Gambar

Tabel 3. Hasil pengamatan mikroskopis sel lisis paru-paru kelinci

Referensi

Dokumen terkait

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi hingga saat

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI sethandles.alfa07,'value',0; alfa=0.8; handles.alfa=alfa; guidatahObject,handles % hObject handle to

b) Landasan yuridis materi yang diatur. 3) Yang dapat dipakai sebagai dasar hukum hanyalah jenis peraturan perundang-undangan yang tingkat derajatnya lebih tinggi atau

Dimana keseluruhan data yang terkumpul akan dianalisis secara sistematis .Hasil Dari Penelitian Dapat dikemukakan bahwa : Peran Serta dari Masyarakat Untuk mencegah

Menurut WHO (2004 dalam Lidya, 2009) kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik,

(orang Kemlayan kalau tidak bisa memainkan gamelan atau menari, berarti bukan orang Kemlayan)Y Ungkapan ini menjadi semacam kesepakatan sosial yang ditujukan

Terkait hubungan antara televisi dan pemilik modal, McChesney dalam bukunya yang berjudul Rich Media, Poor Democracy, Communication Politics in Dubious Times (2000),