• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STUDI PUSTAKA"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. KONSEP PENGEMBANGAN TRANSPORTASI KOTA 2.1.1 Kebijakan Transportasi

Sesuai dengan tujuan Sistranas yaitu terwujudnya transportasi yang andal dan berkemampuan tinggi dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang dan jasa, membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, serta mendukung pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara dan peningkatan hubungan internasional.

(Rencana Induk Transportasi Kota Semarang, 2002)

Sementara sasaran Sistranas adalah mewujudkan penyelenggaran transportasi yang :

• Efektif dalam arti kapasitas mencukupi terpadu, tertib dan lancar, cepat, dan tepat, selamat, aman, nyaman, biaya terjangkau, dan ;

• Efisien dalam arti beban publik rendah dan utilitas tinggi dalam satu kesatuan jaringan transportasi nasional.

(Rencana Induk Transportasi Kota Semarang, 2002)

2.1.2 Kebijakan Pengembangan Sistem Transportasi Kota Semarang

Sistem jaringan jalan Kota Semarang dilalui jalur utama yang menghubungkan wilayah-wilayah penting baik antar propinsi maupun dalam Propinsi Jawa Tengah. Permasalahan yang dihadapi antara lain adalah :

1. Adanya percampuran pergerakan lokal (dalam kota) dengan pergerakan antar kota yang terjadi pada ruas Jl. Terboyo, Jl. Raden Patah, Jl. Dr.Cipto, Jl. Perintis Kemerdekaan dan Jl. Siliwangi.

2. Kapasitas jalan yang tidak sepadan dengan intensitas pergerakan terutama pada jam-jam sibuk.

(2)

3. Ketersediaan fasilitas transportasi (terminal, halte, dan tempat penyeberangan jalan) yang kurang memadai.

(Rencana Induk Transportasi Kota Semarang, 2002) 2.1.3 Strategi Pengaturan Manajemen Lalulintas

Manajemen lalulintas pada umumnya merupakan cara yang pertama kali diusulkan untuk diterapkan, dalam rangka mengatasi segala macam permasalahan lalulintas di perkotaan. Hal ini dikarenakan sifatnya yang murah dan praktis untuk dijadikan solusi jangka pendek, untuk mengatasi masalah yang sifatnya mendesak. Terdapat berbagai prosedur atau metode dalam manajemen lalulintas, dengan tujuan utama yaitu meningkatkan keselamatan (safety) dan meningkatkan kelancaran lalulintas atau kinerja jalan (biasanya diukur dengan volume capacity

ratio atau V/C). (Rencana Induk Transportasi Kota Semarang, 2002)

2.1.4 Strategi Pengembangan Jaringan Jalan

Tujuan utama dari strategi pengembangan jaringan jalan, baik itu berupa pekerjaan peningkatan, pelebaran dan pembangunan jalan baru, adalah meningkatkan kapasitas jalan sehingga secara langsung akan dapat meningkatkan kinerja lalulintas.

Dalam rangka pelaksanaan strategi pengembangan jaringan jalan, sudah harus dilakukan inventarisasi mengenai jalan-jalan mana saja yang sudah harus ditingkatkan dan dilebarkan serta pada lokasi-lokasi mana saja ruas-ruas jalan baru akan dibangun. Pada bagian akhir, berdasarkan hasil inventarisasi dan analisis, bisa ditentukan pada lokasi-lokasi mana yang sudah selayaknya dibangun jalan layang (fly over). (Rencana Induk Transportasi Kota Semarang, 2002) 2.2. KONSEP PEMODELAN

2.2.1 Pemodelan Sistem

Model dapat didefinisikan sebagai penyederhanaan suatu realita (atau dunia yang sebenarnya). Model merupakan cerminan dan penyederhanaan realita untuk tujuan tertentu, seperti memberikan penjelasan, pengertian, serta peramalan.

(3)

(Tamin, 2000)

Beberapa model dapat mencerminkan realita secara tepat. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin mirip suatu model dengan realitanya, semakin sulit model tersebut dibuat. Model yang canggih belum tentu merupakan model yang baik; kadang-kadang model yang jauh lebih sederhana ternyata lebih cocok untuk tujuan, situasi dan kondisi tertentu. (Tamin, 2000)

2.2.2 Model Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan

Tujuan pemodelan adalah untuk membantu mengerti cara kerja sistem dan meramalkan perubahan pada sistem pergerakan arus lalulintas sebagai akibat perubahan pada sistem tata guna lahan dan sistem transportasi. Teori yang digunakan adalah aksesibilitas bangkitan dan tarikan pergerakan, sebaran pergerakan. (Tamin, 2000)

Perancang sangat berkepentingan dengan kebutuhan penduduk akan perumahan, perkembangan ekonomi (pemencaran lapangan kerja, pelayanan dan hubungan antar industri) dan pola transportasi (Wilson, 1974). Beberapa model yang sering digunakan adalah :

1. Model kependudukan 2. Model ekonomi 3. Model transportasi

4. Model tempat kejadian dan pengadaan rumah 5. Model pemilihan tempat kerja

6. Model pemilihan dan penggunaan fasilitas

Dalam sistem analisa, acap kali kita harus menyatakan proyek dalam suatu model/simulasi, model/simulasi digunakan sebagai langkah penyederhanaan masalah yang akan dianalisa. Penyederhanaan ini dapat ditempuh melalui 2 cara yaitu :

1. Menggunakan model matematika, hal ini dilakukan apabila masalah yang akan dianalisa mempunyai hubungan yang dapat diasosiasikan dengan hubungan fungsi matematika, seperti garis lurus, garis lengkung, model gravitasi, model aljabar yang lain.

(4)

Contoh : analisa perkembangan jumlah penduduk analisa migrasi

analisa transportasi

analisa masukan-keluaran (input-output) analisa ekonomi

2. Menggunakan model miniatur, yaitu menyatakan proyek dalam skala miniatur yang tetap proporsional, misal : maket, peta, sistem nilai.

Dalam model ini penganalisa akan mempunyai pandangan mata burung untuk menghindari dan tidak terpakai pada hal-hal kecil/terperinci. Dengan cara ini penganalisa mempunyai pandangan yang menyeluruh dan dapat melihat hal-hal yang pokok.

(Warpani, 1980)

Kehalusan suatu analisa ditentukan oleh tiga hal pokok yang merupakan unsur penentu analisa yaitu :

1. Data yang tersedia. Makin lengkap dan terperinci pencatatan data, maka analisapun dapat dilakukan dengan lebih teliti.

2. Tujuan analisa. Tidak setiap hal memerlukan analisa yang terperinci sampai ke hal-hal yang sangat kecil, bahkan kadang-kadang cukup hanya garis besar saja. Hal ini tidak mengurangi nilai kelengkapan data.

3. Teknik analisa. penggunaan/pemilihan teknik analisa yang tepat akan membantu kehalusan analisa, dan pemilihan teknik ini tergantung pada kedua hal di atas.

(Warpani, 1980)

2.2.3 Penggunaan Model Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan

Salah satu unsur dalam pendekatan secara sistem adalah meramalkan apa yang akan terjadi pada arus lalulintas jika kota tersebut terus berkembang tanpa perubahan pada sistem transportasinya. Hal ini dikenal dengan sistem do-nothing. Kebijakan baru sistem tata guna lahan dan sistem transportasi dapat dilakukan dengan sistem do-something, yaitu melakukan beberapa perubahan pada sistem jaringan. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan hasil sistem do-nothing.

(5)

(Tamin, 2000)

Cara yang sering digunakan dalam merancang model transportasi adalah sebagai berikut :

a. Model dikalibrasi dengan menggunakan data pada saat sekarang, untuk mendapatkan parameter (koefisien) yang cocok untuk kota atau daerah tersebut (pengabsahan).

b. Meramalkan tata guna lahan pada tahun perencana dengan anggapan tidak ada perubahan pada sistem pada jaringan transportasi. Hasilnya adalah arus lalulintas pada sistem jaringan dengan sistem do-nothing yang dapat memperlihatkan permasalahan transportasi yang timbuil pada masa mendatang jika tidak dilakukan perubahan pada sistem jaringan.

c. Tahap (b) diulang kembali, tetapi dengan perubahan pada sistem transportasi kadang-kadang dengan beberapa alternatif ramalan tata guna lahan.

d. Hasil beberapa perencanaan transportasi yang berbeda-beda tersebut (misalnya arus lalulintas, waktu tempuh, nisbah volume/kapasitas) dapat diperbandingkan dengan sistem do-nothing sehingga perencanaan yang terbaik dapat ditentukan. Dengan kata lain, tujuan pendekatan secara sistem dengan menggunakan model adalah untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada suatu daerah kajian pada masa mendatang, yang kemudian digunakan untuk mengevaluasi beberapa alternatif perencanaan transportasi dan memilih alternatif terbaik. (Tamin, 2000) 2.2.4 Pencerminan Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemodelan adalah menetukan tingkat resolusi yang digunakan dalam suatu daerah kajian. Permasalahan ini mempunyai banyak dimensi yang meliputi tujuan kajian yang akan dicapai, jenis peubah perilaku yang akan digunakan, dimensi waktu dan lain-lainnya. (Tamin, 2000)

Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem transportasi secara menyeluruh (makro) merupakan interaksi yang saling mempengaruhi dan saling terkait, seperti terlihat pada gambar 2.1, antara berbagai sistem transportasi yang lebih kecil (mikro), yaitu :

(6)

b. Sistem jaringan prasarana transportasi c. Sistem pergerakan lalulintas

d. Sistem kelembagaan

Gambar 2.1

Sistem Transportasi Makro

Sumber : Tamin, 2000

2.2.5. Daerah Kajian

Daerah yang akan dikaji harus ditentukan. Biasanya daerah tersebut mencakup wilayah suatu kota, akan tetapi harus dapat mencakup ruang atau daerah yang cukup untuk pengembangan kota di masa mendatang pada tahun rencana. Biasanya survei kendaraan yang melalui garis kordon (batas daerah kajian) perlu dilakukan agar batas dapat ditentukan sehingga tidak memotong jalan yang sama lebih dari dua kali (untuk menghindari perhitungan ganda dua kendaraan yang sama). Batas tersebut juga bisa berupa batas alami seperti sungai dan rel kereta api. (Tamin, 2000)

Secara umum, jaringan digunakan untuk menggambarkan sebuah struktur yang berlainan fisik, seperti jalan dan persimpangan. Tiap-tiap dari jaringan terdiri

Sistem pergerakan Sistem

kegiatan jaringan Sistem

(7)

dari dua tipe dari tiap elemen-elemen : sebuah titik-titik dan sebuah segmen-segmen garis yang menghubungkan titik-titik tersebut. Pengamatan ini mendahului definisi secara matematis mengenai jaringan, yaitu sebagai sebuah simpul (node) dan sebuah ruas (link) yang menghubungkan simpul tersebut. (Yosef Sheffi, 1985)

Setiap ruas jaringan dihubungkan dengan beberapa hambatan yang mempengaruhi. Ukuran dari hambatan tergantung pada pergerakan alamiah dari jaringan dan aliran ruas. Hambatan dapat direpresentasikan dengan waktu, biaya, utilitas, atau ukuran lain yang relevan. Ketika arus melibatkan orang, sebutan "level of service" biasanya juga digunakan sebagai hambatan. (Yosef Sheffi,1985) 2.2.6. Zona

Zona merupakan suatu satuan ruang dalam tahapan perencanaan transportasi yang mewakili suatu wilayah tertentu yang memiliki karakteristik tertentu pula. Salah satu hal yang mendasar pada proses pembagian zona adalah identifikasi sistem kegiatan (guna lahan) yang signifikan terjadi di wilayah tersebut, dan identifikasi tingkat keseragaman tata guna lahan yang diwakili oleh masing-masing zona. (Tamin, 2000)

Proses perencanaan transportasi untuk daerah perkotaan didasarkan pada sebuah partisi dari daerah ke dalam zona-zona lalulintas. Ukuran dari tiap-tiap zona lalulintas dapat mengubah dari sebuah blok kota menjadi satu keseluruhan yang berdekatan. Atau sebuah kota dalam daerah perkotaan. Jumlah dari zona lalu lintas dapat mengubah dari beberapa dosin menjadi beberapa ribu. Tiap zona lalu lintas direpresentasikan oleh sebuah simpul yang dikenal sebagai centroid. Representasi jaringan dari daerah perkotaan akan terdiri dari beberapa simpul, yaitu representasi persimpangan, bus stop dan fasilitas transportasi lain. Centroid merupakan "sumber" dan "pembuangan" dari simpul dimana lalulintas dibangkitan dan lalu lintas ditujukan. Ketika centroid didefinisikan, pergerakan keinginan yang meliputi sebuah jaringan perkotaan dapat diekspresikan dengan sebuah origin-destination matrix. Matrik ini menspesifikasikan aliran antara setiap origin centroid dan setiap destination centroid dalam jaringan. (Yosef

(8)

Sheffi, 1985)

Gambar 2.2 menunjukkan zona lalu lintas yang dikelilingi oleh jalan empat lajur dua arah. Simpul di tengah dari zona disebut centroid. Centroid tersebut dihubungkan dengan jaringan jalan ruas khusus yaitu centroid connector (juga disebut "connectors" atau "dummy links"). Centroid dalam gambar di bawah ini adalah perjalanan bangkitan dan semua connector terhubung dari centroid dan menuju simpul dari jaringan jalan. (Yosef Sheffi, 1985)

Links

Centroid Connectors Gambar 2.2

Representasi Jaringan dari Zona Lalulintas, termasuk Centroid Node dan

Centroid ConnectorLlinks Sumber : Yosef Sheffi,1985

2.2.7. Ruas

Jaringan transportasi dapat dicerminkan dalam bentuk ruas dan simpul, yang semuanya dihubungkan ke pusat zona. Ruas jalan dinyatakan dengan dua buah nomor simpul di ujung-ujungnya. Beberapa ciri ruas jalan yang perlu diketahui, seperti panjang, kecepatan, jumlah lajur, jenis gangguan samping, kapasitas dan hubungan kecepatan–arus di ruas jalan tersebut. Ruas jalan dua arah selalu dinyatakan dengan dua ruas jalan satu arah. (Tamin, 2000)

Pergerakan dari lalulintas kendaraan melalui jalan dan persimpangan tidak hanya arus pada daerah perkotaan. Sebuah transit link dapat direpresentasikan oleh sebuah jaringan linier sederhana dimana stasiun transit (atau bus stops) direpresentasikan oleh simpul dan porsi garis angkut oleh ruas.

(9)

Hambatan perjalanan, atau level of service, dihubungkan dengan representasi ruas dan jaringan perkotaan dapat mengandung beberapa komponen-komponen, mencerminkan waktu perjalanan, keamanan, biaya perjalanan, stabilitas arus dan lain-lain. (Yosef Sheffi, 1985)

Kunci utama dalam merencanakan sistem jaringan jalan adalah penetuan tingkat hierarki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor, atau lokal). Hal ini sangat tergantung pada jenis dan tujuan kajian. Jika semakin banyak jalan yang ditetapkan, maka hasilnya akan lebih teliti, tetapi kebutuhan akan sumber daya juga akan meningkat dan kompleksitas perhitungan juga semakin meningkat. (Tamin, 2000)

Jensen and Bovy (1982) menyatakan bahwa seorang peneliti perlu menetapkan sekurang-kurangnya jalan yang mempunyai hierarki satu tingkat lebih rendah dari yang ingin dianalisis.

2.3. MODEL BANGKITAN PERGERAKAN

Bangkitan pergerakan adalah tahapan permodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona. Bangkitan dan tarikan pergerakan digambarkan pada gambar 2.3 berikut :

Gambar 2.3

Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

Sumber : Wells, 1975 2.3.1. Definisi Dasar Tarikan Tarikan Tarikan Tarikan Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan Rumah Tempat Kerja Tempat Kerja Tempat Belanja

(10)

Beberapa definisi dasar mengenai bangkitan perjalanan : a. Perjalanan

Pergerakan satu arah dari zona asal dan zona tujuan, termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti secara kebetulan tidak dianggap sebagai tujuan pergerakan sebagai tujuan pergerakan meskipun terpaksa melakukan perubahan rute.

b. Pergerakan Berbasis Rumah

Pergerakan yang salah satu zona (asal dan/atau tujuan) pergerakan tersebut adalah rumah.

c. Pergerakan Berbasis Bukan Rumah

Pergerakan baik asal maupun tujuan pergerakan adalah bukan rumah. d. Bangkitan Pergerakan

Pergerakan berbasis rumah yang memiliki tempat asal dan/atau tujuan bukan rumah atau pergerakan yang dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah.

e. Tarikan Pergerakan

Pergerakan berbasis rumah yang memiliki tempat asal dan/atau tujuan bukan rumah atau pergerakan yang tertarik oleh pergerakan berbasis bukan rumah. f. Tahapan Bangkitan Pergerakan

Besarnya bangkitan pergerakan yang dihasilkan oleh rumah tangga (baik untuk pergerakan berbasis rumah maupun berbasis bukan rumah) pada selang waktu tertentu.

(Tamin, 2000)

2.3.2. Klasifikasi Pergerakan 1. Berdasarkan Tujuan Pergerakan

Dalam kasus pergerakan berbasis rumah, lima kategori tujuan pergerakan yang sering digunakan adalah :

• Pergerakan tempat kerja.

• Pergerakan ke sekolah atau universitas (pergerakan dengan tujuan pendidikan).

(11)

• Pergerakan ke tempat belanja.

• Pergerakan untuk kepentingan sosial dan rekreasi.

Dua tujuan pergerakan pertama (bekerja dan pendidikan) merupakan pergerakan utama yang merupakan keharusan untuk dilakukan secara rutin, sedangkan tujuan pergerakan yang lain sifatnya hanya pilihan dan tidak rutin dilakukan. Pergerakan berbasis rumah tidak selalu harus dipisah, karena jumlahnya relatif kecil yaitu sekitar 15 – 20 % dari total pergerakan setiap hari. (Tamin, 2000)

2. Berdasarkan Waktu Pergerakan

Proporsi pergerakan yang dilakukan berfluktuasi sepanjang hari. Tetapi biasanya pergerakan tiap hari dikelompokkan menjadi dua yaitu pergerakan pada saat jam sibuk dan jam tidak sibuk. Kebanyakan pergerakan pada saat jam sibuk merupakan pergerakan utama yang harus dilakukan tiap hari (untuk tujuan bekerja dan pendidikan). Pergerakan dengan tujuan belanja dan kegiatan sosial biasanya terjadi pada jam tidak sibuk (off peak hour). Sedangkan pergerakan untuk tujuan birokrasi biasanya terjadi baik pada jam sibuk maupun jam tidak sibuk. (Tamin, 2000)

3. Berdasarkan Jenis Waktu Pergerakan

Perilaku pelaku pergerakan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-ekonomi mereka. Atribut yang dimaksud adalah :

• Tingkat pendapatan.

• Tingkat pemilikan kendaraan : biasanya terdapat empat tingkat yaitu 0, 1, 2, atau lebih dari 2 kendaraan tiap rumah tangga.

• Ukuran dan struktur rumah tangga. (Tamin, 2000)

2.4. MODEL SEBARAN PERGERAKAN

Sebaran pergerakan merupakan tahapan dalam perencanaan teransportasi yang menunjukkan interaksi antara tata guna lahan, jaringan transportasi dan arus lalulintas. (Tamin, 2000)

(12)

zona tujuan d sebanding dengan intensitas tata guna lahan dan berbanding terbalik dengan besarnya pemisahan spasial antara zona-zona tersebut. (Tamin, 2000) 2.4.1. Kegunaan Matrik Pergerakan

Pola pergerakan antar zona yang terjadi dalam siterm transportasi sering dinyatakan sebagai matriks pergerakan atau Matrik Asal–Tujuan (MAT). MAT dapat digunakan untuk :

• Pemodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah pedalaman atau antar kota.

• Pemodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah perkotaan.

• Pemodelan dan perancangan menejemen lalulintas baik di daerah perkotaan maupun antar kota.

• Pemodelan kebutuhan akan transportasi di daerah yang ketersediaan datanya tidak begitu mendukung, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas (misalnya di negara sedang berkembang).

• Perbaikan data MAT pada masa lalu dan pemeriksaan MAT yang dihasilkan metode lainnya.

(Tamin, 2000)

2.4.2. Metode Konvensional 2.4.2.1. Metode Langsung

Pendekatan dengan metode ini sangat tergantung dari hasil pengukuran data dan survei lapangan. Berikut ini merupakan beberapa kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan metode ini :

• Membutuhkan sumber daya yang sangat besar baik itu sumber daya manusia, biaya maupun waktu.

• Sangat tergantung pada ketersediaan dan ketelitian dari surveyor.

• Galat yang terjadi baik itu teknis dan galat yang timbul akibat faktor manusia (galat mencatat atau menaksir) cukup besar.

(13)

Gambar 2.4

Metode Mendapatkan MAT

Sumber : Tamin, 2000

2.4.2.2. Metode Tidak Langsung

Pendekatan dengan menggunakan metode tidak langsung dilakukan dengan membentuk suatu model dari faktor-faktor yang dipertimbangkan mempunyai hubungan yang erat dengan pola pergerakan yang hendak diketahui.

Sampai saat ini beberapa prosedur matematis telah dikembangkan, secara umum dikelompokkan menjadi dua bagian utama (Bruton, 1981) :

a. Metode Analogi

Pada metode ini digunakan satu nilai tingkat pertumbuhan terhadap pergerakan saat ini untuk mendapatkan pergerakan pada masa yang akan datang.

b. Metode Sintetis

Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu permodelan yang Metode MAT Metode Tidak Konvensional Metode Konvensional Metode Langsung Metode Tidak Langsung Metode Berdasarkan Informasi Arus Lalulintas - Estimasi Matriks Entropi

maksimum - Model estimasi kebutuhan transportasi Metode Sintetis - Model Oportunity - Model Gravity - Model Gravity - Oportunity Metode Analogi - Tanpa Batasan Seragam - Dengan satu batasan

° Batasan bangkitan ° Batasan tarikan - Dengan dua batasan

° Rata-rata ° Fratar ° Detroid ° Furness

- Wawancara di tepi jalan - Wawancara di rumah - Metode menggunakan

bendera - Metode foto udara

(14)

menggambarkan hubungan antarpola bangkitan dan tarikan lalulintas, kemudian diproyeksikan untuk memperoleh pergerakan pada masa yang akan datang.

2.4.3. Metode Analogi

Beberapa metode telah dikembangkan oleh beberapa peneliti, dan setiap metode menggunakan asumsi bahwa pola pergerakan pada saat sekarang dapat diproyeksikan ke masa yang akan datang dengan menggunakan nilai tingkat pertumbuhan zona. Semua metode dalam metode analogi mempunyai persamaan umum sebagai berikut :

Tid = tid . E

dimana :

Tid = Pergerakan masa mendatang dari zona i ke zona d tid = Pergerakan masa sekarang dari zona i ke zona d E = Tingkat pertumbuhan

(Tamin, 2000)

2.4.3.1. Metode Seragam

Ini adalah metode tertua dan paling sederhana, yang secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tid = tid . E

E =

t T

dimana :

T = Total pergerakan pada masa mendatang di dalam daerah kajian t = Total pergerakan pada masa sekarang di dalam daerah kajian E = Tingkat pertumbuhan

(15)

Seperti contoh matrik berikut ini :

Tabel 2.1

MAT Pada Masa Sekarang

Zona 1 2 3 4 Oi 1 10 60 80 50 200 2 80 20 100 50 250 3 20 130 10 50 210 4 100 80 60 20 260 Dd 210 290 250 170 920 Sumber : Tamin, 2000

Jika pergerakan lalulintas di daerah kajian diperkirakan meningkat sebesar 30% pada masa mendatang, maka secara sederhana maka semua sel MAT (tid) dikalikan dengan faktor 1,3 untuk mendapatkan MAT masa mendatang :

Tabel 2.2

MAT Pada Masa Mendatang dengan E=1,3

Zona 1 2 3 4 Oi 1 13 78 104 65 260 2 104 26 130 65 325 3 26 169 13 65 273 4 130 104 78 26 338 Dd 273 377 325 221 1196 Sumber : Tamin, 2000 2.4.3.2. Metode Rata-rata

Metode ini menggunakan rata-rata dari tingkat pertumbuhan antara dua zona yang berinteraksi. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

Tid = tid . 2 d i E E + Ei = i i t T dan Ed = d d t T

(16)

dimana :

Ei, Ed = Tingkat pertumbuhan zona i dan d

Ti, Td = Total pergerakan pada masa mendatang yang berasal dari zona asal i atau yang menuju zona tujuan d

ti, td = Total pergerakan pada saat ini yang berasal dari zona asal i atau yang menuju zona tujuan d

Tabel 2.3

MAT Pada Masa Sekarang dan Tingkat Pertumbuhan Tiap Zona

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 10 60 80 50 200 300 1,5 2 80 20 100 50 250 250 1,0 3 20 130 10 50 210 420 2,0 4 100 80 60 20 260 650 2,5 dd 210 290 250 170 920 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 2 1,5 1 3,03 1,76 Sumber : Tamin, 2000

Jadi proses pengulangan harus dilakukan untuk meminimumkan besarnya perbedaan tersebut dengan mengatur nilai Ei dan Ed, sehingga :

Ei1 = i G i t T( ) dan Ed1 = d G d t T ( ) Tid1 = tid . 2 Ei1+Ed1 dimana :

Ti = Total pergerakan masa mendatang dengan zona asal i

(17)

Tabel 2.4

MAT Pada Masa Mendatang dengan Metode Rata-rata (Iterasi 1)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 17,5 90 100 113,2 320,7 300 0,935 2 120 25 100 100,7 345,7 250 0,723 3 40 227,5 15 125,7 408,2 420 1,029 4 225 160 105 55,3 545,3 650 1,192 dd 402,5 502,5 320 394,9 1619,9 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 1,043 0,866 0,781 1,304 1,001 Sumber : Tamin, 2000

Proses pengulangan terus dilakukan sampai Ti = Ti(G) dan Td = Td(G). Hal tersebut tercapai pada pengulangan ke-12 yang menghasilkan MAT akhir sebagai berikut :

Tabel 2.5

MAT Pada Masa Mendatang dengan Metode Rata-rata (Iterasi 12)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 16 66 74 144 300 300 1 2 85 14 54 98 250 250 1 3 41 189 13 178 420 420 1 4 279 166 110 95 650 650 1 dd 421 435 250 515 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 0,999 1 1 1 1 Sumber : Tamin, 2000 2.4.3.3. Metode Fartar

(18)

Tid = tid . Ei . Ed . 2 ) (Li+Ld Li =

≠ ≠ N i k k k N i k ik t E t . dan Ld =

≠ ≠ N d k k k N d k dk t E t . 2.4.3.4. Metode Detroid

Secara matematis, metode Detriod dapat dinyatakan sebagai sebagai :

Tid = tid . E

E Ei + d

Tabel 2.6

MAT Pada Masa Mendatang dengan Metode Detroid (Iterasi 1)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 17 76,7 68,1 129 290,8 300 1,031 2 90,9 17 56,8 86 250,7 250 0,997 3 45,4 221,5 11,4 172 450,3 420 0,933 4 284 170,4 85,2 86 625,5 650 1,039 dd 402,5 485,6 221,5 473,1 1617,2 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 0,96 0,896 1,129 1,089 1,002 Sumber : Tamin, 2000

Proses pengulangan terus dilakukan sampai Ti = Ti(G) dan Td = Td(G). Hal tersebut tercapai pada pengulangan ke-8 yang menghasilkan MAT akhir sebagai berikut :

(19)

Tabel 2.7

MAT Pada Masa Mendatang dengan Metode Detroid (Iterasi 8)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 16 68 75 141 300 300 1 2 82 15 61 92 250 250 1 3 40 189 12 180 421 420 0,999 4 283 164 101 102 650 650 1 dd 421 436 249 515 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 0,999 0,999 1 1 1 Sumber : Tamin, 2000 2.4.3.5. Metode Furness

Secara matematis, metode Furness dapat dinyatakan sebagai sebagai : Tid = tid . Ei

Tabel 2.8

MAT Pada Masa Mendatang dengan Metode Furness (Iterasi 1)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 15 90 120 75 300 300 1 2 80 20 100 50 250 250 1 3 40 260 20 100 420 420 1 4 250 200 150 50 650 650 1 dd 385 570 390 275 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 1,091 0,763 0,641 1,873 1 Sumber : Tamin, 2000

Proses pengulangan terus dilakukan sampai Ti = Ti(G) dan Td = Td(G). Hal tersebut tercapai pada pengulangan ke-2 yang menghasilkan MAT akhir berikut :

(20)

Tabel 2.9

MAT Pada Masa Mendatang dengan Metode Furness (Iterasi 6)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei 1 16 68 75 141 300 300 1 2 82 15 61 92 250 250 1 3 40 188 12 180 421 420 0,999 4 282 164 102 102 649 650 1,001 dd 420 435 250 515 1620 Dd 420 435 250 515 1620 Ed 1 1 1 1 1 Sumber : Tamin, 2000 2.4.4. Metode Sintetis

Metode yang digunakan dalam pemodelan ini yaitu metode sintetis dengan model gravity. Dalam bentuk matematis model gravity dinyatakan dalam persamaan :

Tid = Oi.Dd.Ai.Bd.f(Cid)

dimana :

Tid = Pergerakan antar zona

Oi = Pergerakan yang berasal dari zona ke-i Dd = Pergerakan yang menuju ke zona ke-d Ai,Bd = Konstanta faktor penyeimbang

f(Cid) = Fungsi hambatan yang dianggap sebagai ukuran aksesibilitas (fungsi jarak) Ai =

d id d d D f B . . ) ( 1 dan Bd =

i id i iO f A. . ) ( 1

(21)

Pemodelan ini fungsi hambatan dinyatakan dalam fungsi jarak sebenarnya. Dalam bentuk matematis dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

f(Cid) = Cid-α (fungsi pangkat)

f(Cid) = e-βCid (fungsi exponensial)

Fungsi pangkat digunakan untuk pergerakan antar kota, sedangkan fungsi exponensial digunakan untuk pergerakan dalam kota. Nilai β didapatkan secara empiris dengan persamaan berikut :

α = β = id Ck (Metode Hyman) dimana : k = 2~3 (diambil 3) id C = Rata-rata nilai Cid

Dalam hal ini bangkitan dan tarikan pergerakan harus selalu sama dengan yang dihasilkan oleh tahapan bangkitan pergerakan. Syarat batas :

Ai =

d id d d D f B . . ) ( 1

untuk semua i dan Bd =

i id i iO f A. . ) ( 1 untuk semua d

Kedua konstanta ini (Ai dan Bd) menjamin bahwa total ‘baris’ dan ‘kolom’ dari matrik hasil pemodelan harus sama dengan total ‘baris’ dan ‘kolom’ dari matrik yang didapat dari hasil bangkitan pergerakan. Proses iterasi nilai Ai dan Bd dilakukan secara bergantian. Hasil akhir akan selalu sama, dari manapun pengulangan dimulai (‘baris’ atau ‘kolom’). Iterasi pertama dimulai dengan menganggap nilai awal Bd = 1.

(22)

2.4.4.1. Model UCGR

Pada model ini total pergerakan yang diisyaratkan untuk sama dengan total pergerakan yang dihasilkan pada trip generation.

Tid = Oi . Dd . Ai . Bd . f(Cid)

dimana :

Ai = 1, untuk seluruh i Bd = 1, untuk seluruh d

Tabel 2.10

Bangkitan dan Pergerakan pada Setiap Zona

Zona 1 2 3 4 Oi 1 200 2 300 3 350 4 150 Dd 300 200 150 350 1000 Sumber : Tamin, 2000

Selain itu, juga terdapat informasi mengenai aksesibilitas antarzona yang dapat berupa jarak, waktu tempuh, dan biaya perjalanan antarzona seperti yang terlihat sebagai berikut :

Tabel 2.11 Matriks Biaya (Cid) Zona 1 2 3 4 1 5 20 35 50 2 15 10 50 25 3 55 25 10 30 4 25 15 45 5 Sumber : Tamin, 2000

(23)

Dengan menganggap fungsi hambatan mengikuti fungsi exponensial negatif, didapat matriks exp(-βCid) seperti berikut :

Tabel 2.12 Matriks exp(-βCid) Zona 1 2 3 4 1 0,621 0,149 0,036 0,009 2 0,239 0,386 0,009 0,092 3 0,005 0,092 0,386 0,057 4 0,092 0,239 0,014 0,621 Sumber : Tamin, 2000

Dengan menggunakan persamaan model UCGR, maka didapat matriks sebagai berikut :

Tabel 2.13

MAT Hasil Akhir Model UCGR

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai 1 209 33 6 3 252 200 0,794 1 2 121 130 2 54 307 300 0,976 1 3 3 36 114 39 192 350 1,818 1 4 23 40 2 183 248 150 0,604 1 dd 356 240 124 280 1 Dd 300 200 150 350 1 Ed 0,842 0,834 1,215 1,249 Bd 1 1 1 1 Sumber : Tamin, 2000 2.4.4.2. Model PCGR

Pada model ini total pergerakan harus sama dengan total pergerakan yang dihasilkan oleh pemodelan, bangkitan pergerakan yang dihasilkan dari pemodelan harus sama dengan hasil bangkitan pergerakan yang diinginkan. Sehingga syarat batas yang dipergunakan adalah sebagai berikut :

(24)

Bd = 1, untuk seluruh d Ai = id d d d D f B

. . 1

, untuk seluruh nilai i Tabel 2.14

MAT Hasil Akhir Model PCGR

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai 1 186 27 5 3 200 200 1 0,004 2 118 127 2 53 300 300 1 0,005 3 6 66 207 72 350 350 1 0,01 4 14 23 1 110 150 150 1 0,003 dd 304 244 214 238 1 Dd 300 200 150 350 1 Ed 0,987 0,821 0,699 1,470 Bd 1 1 1 1 Sumber : Tamin, 2000 2.4.4.3. Model ACGR

Pada model ini total pergerakan harus sama, dan juga tarikan pergerakan yang didapat dengan pemodelan harus sama dengan tarikan pergerakan yang diinginkan. Sehingga syarat batas yang digunakan adalah sebagai berikut :

Ai = 1, untuk seluruh i Bd = ) ( . . 1 id d i iO f C A

(25)

Tabel 2.15

MAT Hasil Akhir Model ACGR

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai 1 176 28 7 4 215 200 0,929 1 2 102 108 3 68 281 300 1,069 1 3 3 30 138 49 220 350 1,59 1 4 20 34 2 228 284 150 0,528 1 dd 300 200 150 350 1 Dd 300 200 150 350 1 Ed 1 1 1 1 Bd 0,005 0,005 0,007 0,007 Sumber : Tamin, 2000 2.4.4.4. Model DCGR

Pada model ini bangkitan dan tarikan pergerakan yang dihasilkan oleh model harus sama dengan yang dihasilkan oleh tahap bangkitan pergerakan (trip

generation). Sehingga syarat batas yang digunakan adalah sebagai berikut :

Ai = id d d d D f B

. .

1 , untuk seluruh nilai i

Bd = ) ( . . 1 id d i iO f C A

(26)

Tabel 2.16

Nilai Ai dan Bd yang Didapat Pada Setiap Pengulangan

Iterasi A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 Iterasi 1 0,00446 0,00547 0,01020 0,00339 1 1 1 1 0 3 0,00462 0,00547 0,01152 0,00258 0,98725 0,82103 0,69935 1,4703 2 5 0,00467 0,00542 0,01186 0,00243 0,97645 0,80892 0,62177 1,58355 4 7 0,00468 0,00540 0,01194 0,00240 0,97532 0,80843 0,60477 1,60505 6 9 0,00467 0,00539 0,01196 0,00240 0,97599 0,80849 0,60088 1,60844 8 11 selesai selesai selesai selesai 0,97663 0,80853 0,59983 1,60876 10

Sumber : Tamin, 2000

Tabel 2.17

MAT Hasil Akhir Model DCGR (Iterasi 10)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai 1 170 22 3 4 200 200 1 0,0047 2 114 101 1 84 300 300 1 0,0054 3 7 63 145 135 350 350 1 0,0119 4 10 14 0 126 150 150 1 0,0024 dd 300 200 150 350 1 Dd 300 200 150 350 1 Ed 1 1 1 1 Bd 0,9766 0,8085 0,5998 1,6808 Sumber : Tamin, 2000 2.5. PEMBEBANAN LALULINTAS

Traffic Assigment (pembebanan lalulintas) merupakan tahapan

perencanaan transportasi yang bertujuan untuk menentukan rute yang ditempuh oleh pergerakan antarzona yang terjadi. (Ortuzar and Willumsen, 1995)

Analisa pembebanan lalulintas dan hasil dari analisa tersebut memiliki beberapa kegunaan, antara lain (NCHRP Report 187, 1978) :

• Dalam rangka pengembangan dan pengujian berbagai alternatif dari sistem transportasi.

(27)

• Dalam rangka penyusunan prioritas jangka pendek untuk program pengembangan fasilitas transportasi.

• Dalam rangka studi bangkitan lalulintas dan dampak dari berbagai pembangkit lalulintas tersebut terhadap sistem transportasi.

• Dalam rangka perencanaan lokasi berbagai fasilitas umum dan fasilitas pelayanan umum.

• Menyediakan masukan-masukan yang berguna bagi perencanaan transportasi lainnya.

2.5.1. Metode Pemilihan Rute

Proses pemilihan rute dapat menyebabkan sebuah model agak sedikit berbeda. Pada pemilihan rute seseorang yang akan melakukan perjalanan dari titik a ke titik b dihadapkan pada masalah jumlah rute yang menghubungkan kedua titik tersebut. Pemilihan salah satu rute tersebut dipengaruhi oleh karakteristik dan atribut rute tersebut. Selain itu juga tergantung dari karakteristik sosioekonomi dari pelaku perjalanan itu sendiri. (Kanafani, 1993)

Pada saat ini berkembang beberapa metode pemilihan rute. Berikut ini merupakan klasifikasi metode pemilihan rute menurut Ortuzar dan Willumsen dan asumsi dasar yang melatarbelakanginya.

Tabel 2.18

Klasifikasi Model Pemilihan Rute Kriteria Efek Stokastik Dipertimbangkan Tidak Ya Efek Batasan Kapasitas Dipertimbangkan Tidak All-or-nothing Stokastik murni (Dial, Burell) Ya Keseimbangan wardrop Keseimbangan- pengguna-Stokastik (KPS)

(28)

2.5.2. Model Stokastik

Model ini, biasa disebut model banyak rute, menggunakan asumsi bahwa pengendara akan mengambil rute yang tercepat tetapi dia tidak yakin mana rute yang tercepat tersebut. Cerminan waktu tempuh untuk setiap rute yang dianggap pengendara sebagai rute tercepat dengan seleksi secara acak sebaran yang mempunyai rata-rata waktu tempuh sebenarnya dari rute tersebut. (Kanafani, 1993)

2.5.3. Model Dial (1971)

Model ini menyatakan bahwa lalulintas tidak hanya akan mengalir pada rute dengan biaya yang paling murah tetapi akan terbagi pada beberapa rute yang bisa dipilih untuk beberapa alasan. Persamaan yang digunakan adalah :

p (r) =

∈ − − R j S S S S j r e e ) ( ) ( 0 0 θ θ dimana :

p (r) = Probabilitas terpilihnya rute r Sr = Biaya pada rute r

So = Biaya minimum yang ada pada rute yang menghubungkan asal-tujuan R = Semua rute yang reasonable

(Kanafani, 1993)

2.5.4. Daganzo and Sheffi (1977)

Daganzo dan Sheffi mengasumsikan bahwa biaya perjalanan Sl’ pada link yang diukur Sl akan terdistribusi secara normal acak. Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Sl’ ~ N (Sl, αS) Sr’ =

l l l S 'δ ' Var (Sr’) = αSr

(29)

cov (Sr’, Sk’) = αSrk cov (S1-2-4, S1-2-3-4) = cov (S1-2-3-4, S1-3-4) = αS cov (S1-2-3, S1-3-4) = 0 var (S1-2-3) = var (S1-3-4) = α(2s) var (S1-2-3-4) = α(3s) (Kanafani, 1993) 2.6. KARAKTERISTIK JALAN 2.6.1. Klasifikasi Jalan

Klasifikasi fungsional seperti dijabarkan dalam UU Republik Indonesia No.38 tahun 2004 Tentang Jalan pasal 7 dan 8, (Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1992) dibagi dalam dua sistem jaringan yaitu :

1. Sistem Jaringan Jalan Primer

Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan peraturan tata ruang dan struktur pembangunan wilayah tingkat nasional, yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut :

• Dalam kesatuan wilayah pengembangan menghubungkan secara menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang di bawahnya.

• Menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu antara satuan wilayah pengembangan.

Fungsi jalan dalam sistem jaringan primer dibedakan sebagai berikut : a. Jalan Arteri Primer

Jalan arteri primer menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.

Persyaratan jalan arteri primer adalah : • Kecepatan rencana minimal 60 km/jam. • Lebar jalan minimal 8 meter.

(30)

• Lalulintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalulintas ulang alik, lalulintas lokal dan kegiatan lokal.

• Jalan masuk dibatasi secara efisien.

• Jalan persimpangan dengan pengaturan tertentu tidak mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan.

• Tidak terputus walaupun memasuki kota.

• Persyaratan teknis jalan masuk ditetapkan oleh menteri. b. Jalan Kolektor Primer

Jalan kolektor primer menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. Persyaratan jalan kolektor primer adalah :

• Kecepatan rencana minimal 40 km/jam. • Lebar jalan minimal 7 meter.

• Kapasitas sama dengan atau lebih besar daripada volume lalulintas rata-rata. • Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak mengurangi kecepatan

rencana dan kapasitas jalan.

• Tidak terputus walaupun memasuki kota. c. Jalan Lokal Primer

Jalan lokal primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan di bawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil atau di bawah kota jenjang ketiga sampai persil.

Persyaratan jalan lokal primer adalah : • Kecepatan rencana minimal 20 km/jam. • Lebar jalan minimal 6 meter.

• Tidak terputus walaupun melewati desa. 2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi

(31)

sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua dan seterusnya sampai perumahan. Fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dibedakan sebagai berikut : a. Jalan Arteri Sekunder

Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

Berikut persyaratan jalan arteri sekunder : • Kecepatan rencana minimal 30 km/jam. • Lebar badan jalan minimal 8 meter.

• Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalulintas rata-rata. • Lalulintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalulintas lambat.

• Persimpangan dengan pengaturan tertentu, tidak mengurangi kecepatan dan kapasitas jalan.

b. Jalan Kolektor Sekunder

Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

Berikut persyaratan jalan kolektor sekunder : • Kecepatan rencana minimal 20 km/jam. • Lebar badan jalan minimal 7 meter. c. Jalan Lokal Sekunder

Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder ketiga dengan kawasan perumahan dan seterusnya.

Berikut persyaratan jalan lokal sekunder : • Kecepatan rencana minimal 10 km/jam. • Lebar badan jalan minimal 5 meter.

• Persyaratan teknik diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih. • Lebar badan jalan tidak diperuntukan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih,

(32)

minimal 3,5 meter.

(Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1992) 2.6.2. Tipe Jalan

Tipe jalan ditentukan sebagai jumlah lajur dan arah pada suatu ruas jalan dimana masing-masing memiliki karakteristik geometrik jalan yang digunakan untuk menentukan kecepatan arus bebas dan kapasitas jalan sebagai berikut : 1. Jalan Satu Arah (1-3/1)

• Lebar jalan 7 meter.

• Lebar bahu paling sedikit 2 meter pada setiap sisi. • Tanpa median.

• Hambatan samping rendah. • Ukuran kota 1-3 juta penduduk. • Digunakan pada alinyemen datar. 2. Jalan Dua Lajur-Dua Arah (2/2 UD)

• Lebar jalan 7 meter.

• Lebar bahu paling sedikit 2 meter pada setiap sisi. • Tanpa median.

• Pemisah arus lalulintas adalah 50-50. • Hambatan samping rendah.

• Ukuran kota 1-3 juta penduduk. • Digunakan pada alinyemen datar. 3. Jalan Empat Lajur-Dua Arah (4/2)

a. Tanpa Median (undevided)

• Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalulintas total 14 meter).

• Jarak antara kerb dan penghalang terdekat pada trotoar > 2 meter dari rintangan jalan.

• Tanpa median.

• Pemisah arus lalulintas adalah 50-50. • Hambatan samping rendah.

(33)

• Ukuran kota 1-3 juta penduduk. • Digunakan pada alinyemen datar. b. Dengan Median (devided)

• Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalulintas total 14 meter).

• Jarak antara kerb dan penghalang terdekat pada trotoar > 2 meter dari rintangan jalan.

• Dengan median.

• Pemisah arus lalulintas adalah 50-50. • Hambatan samping rendah.

• Ukuran kota 1-3 juta penduduk. • Digunakan pada alinyemen datar.

4. Jalan Enam Lajur-Dua Arah dengan Median (6/2 D)

• Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalulintas total 21 meter). • Kerb (tanpa bahu).

• Jarak antar penghalang terdekat pada trotoar > 2 meter. • Median pemisah arus lalulintas adalah 50-50.

(MKJI, 1997)

2.7. KARAKTERISTIK ARUS LALULINTAS 2.7.1 Volume Lalulintas (Q)

Volume lalulintas merupakan jumlah kendaraan yang melewati satu titik tertentu dari suatu segmen jalan selama waktu tertentu (Edward, 1978). Dinyatakan dalam satuan kendaraan atau satuan mobil penumpang (smp). Sedangkan volume lalulintas rencana (VLHR) adalah perkiraan volume lalulintas harian pada akhir tahun rencana lalulintas dan dapat dinyatakan dalam smp/hari. Satuan volume lalulintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah lebar lajur adalah :

a. Lalulintas Harian Rata-rata

Lalulintas harian rata-rata adalah volume lalulintas rata-rata dalam satu hari. Dari cara memperoleh data tersebut dikenal 2 jenis lalulintas harian rata-rata yaitu

(34)

lalulintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalulintas harian rata-rata (LHR). LHRT adalah jumlah lalulintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalanselama 24 jam dan diperoleh dari data selam satu tahun penuh.

LHRT =

365

intasDalamSatuTahun Lalul

Jumlah

Pada umumnya lalulintas jalan raya terdiri dari campuran kendaraan berat dan kendaraan ringan, cepat atau lambat, motor atau tak bermotor, maka dalam hubungannya dengan kapasitas jalan (jumlah kendaraan yang melewati 1 tiik/1 tempat dalam satuan waktu) mengakibatkan adanya pengaruh dari setiap jenis kendaraan tersebut terhadap keseluruhan arus lalulintas. Pengaruh ini diperhitungkan dengan mengekivalenkan terhadap kendaraan standar.

b. Volume Jam Perencanaan

Volume jam perencanaan (VJP) adalah prakiraan volume lalulintas pada jam sibuk rencana lalulintas dan dinyatakan dalam smp/jam. Arus rencana bervariasi dari jam ke jam berikut dalam satu hari, oleh karena itu akan sesuai jika volume lalulintas dalam 1 jam dipergunakan. Volume 1 jam yang dapat digunakan sebagai VJP haruslah sedemikian rupa sehingga :

• Volume tersebut tidak boleh terlalu sering terdapat pada distribusi arus lalulintas setiap jam untuk periode satu tahun.

• Apabila terdapat volume lalulintas per jam melebihi VJP, maka kelebihan tersebut tidak boleh mempunyai nilai yang terlalu besar.

• Volume tersebut tidak boleh mempunyai nilai yang sangat besar, sehingga akan menyebabkan jalan menjadi lengang.

VJP dapat dihitung dengan rumus : VJP = LHRT x k

dimana :

(35)

Faktor K : Faktor konversi dari LHRT menjadi arus lalulintas jam puncak Tabel 2.19

Penentuan Faktor K

Lingkungan Jalan Jumlah Penduduk Kota > 1 Juta ≤ 1 Juta Jalan di daerah komersial dan jalan arteri 0,07 - 0,08 0,08 - 0,10 Jalan di daerah pemukiman 0,08 - 0,09 0,09 - 0,12

Sumber : MKJI, 1997

2.7.2 Arus dan Komposisi Lalulintas

Arus lalulintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu titik pada ruas jalan tertentu persatuan waktu, yang dinyatakan dalam kend/jam (Qkend) atau smp/jam (Qsmp). Pada MKJI 1997, nilai arus lalulintas (Q) mencerminkan komposisi lalulintas. Semua nilai arus lalulintas (per arah dan total) di konversikan menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris untuk tipe kendaraan sebagai berikut :

(36)

Tabel 2.20

Pembagian Tipe Kendaraan

Tipe Kendaraan Kode Karakteristik Kendaraan Kendaraan ringan LV

Kendaraan bermotor beroda empat dengan gandar berjarak 2 - 3 m (termasuk kendaraan penumpang, oplet, mikro bis, pick up dan truk kecil

Kendaraan berat

menengah MHV

Kendaraan bermotor dengan dua gandar yang berjarak 3,5 - 5 m (termasuk bus kecil, truk dua as dengan enam roda)

Truk besar LT Truk tiga gandar dan truk kombinasi dengan jarak antar gandar < 3,5 m

Bus besar LB Bus dengan dua atau tiga gandar dengan jarak antar gandar 5 - 6 m

Sepeda motor MC Sepeda motor dengan dua atau tiga roda (meliputi sepeda motor dan kendaraan roda tiga)

Kendaraan tak

bermotor UM

Kendaraan bertenaga manusia atau hewan di atas roda (meliputi sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong)

Sumber : MKJI, 1997

a. Nilai Konversi Kendaraan

Dalam MKJI, 1997 definisi dari emp (ekivalensi mobil penumpang) adalah faktor yang menunjukkan berbagai tipe kendaraan dibandingkan kendaraan ringan sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam arus lalulintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan yang sasisnya mirip, emp = 1,0) dan definisi dari smp (satuan mobil penumpang) adalah satuan untuk arus lalulintas dimana arus berbagai tipe kendaraan diubah menjadi arus kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan (emp) yang diturunkan secara empiris untuk tipe kendaraan berikut (MKJI, 1997):

• Kendaraan ringan (LV) meliputi mobil penumpang, minibus, pick up, truk kecil, jeep atau kendaraan bermotor dua as beroda empat dengan jarak as 2,0-3,0 m (klasifikasi Bina Marga).

(37)

• Kendaraan berat (HV) meliputi truk dan bus atau kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,50 m. Biasanya beroda lebih dari empat (klasifikasi Bina Marga).

• Sepeda motor (MC) merupakan kendaraan bermotor beroda dua atau tiga (klasifikasi Bina Marga).

Menentukan ekivalensi mobil penumpang (emp) berdasarkan MKJI, 1997, seperti yang terlihat pada tabel 2.21 dan 2.22 berikut ini :

Tabel 2.21

emp Untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi

Tipe Jalan : Tak Terbagi

Arus Lalu Lintas Total Dua Arah

(kend/jam)

emp HV

Lebar Jalur Lalu Lintas Wc (m)

≤ 6 > 6 Dua lajur tak terbagi

(2/2 UD)

0 1,3 0,5 0,4

≥ 1800 1,2 0,35 0,25

Empat lajur tak terbagi (4/2 UD)

0 1,3 0,40

≥ 1800 1,2 0,25

Sumber : MKJI, 1997

Tabel 2.22

emp Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah Tipe Jalan : Arus Lalu Lintas

per lajur (kend/jam)

emp Jalan Satu Arah dan Jalan

Terbagi HV MC

Dua lajur dan satu arah (2/1) dan empat lajur terbagi (4/2 D)

0 1,3 0,4

≥ 1800 1,2 0,25

Tiga lajur dan satu arah (2/1) dan enam lajur terbagi (4/2 D)

0 1,3 0,4

≥ 1800 1,2 0,25

Sumber : MKJI, 1997

b. Kecepatan Rencana

(38)

geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalulintas yang lengang dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan besarnya kecepatan rencana adalah : • Keadaan medan (Terrain)

Untuk menghemat biaya tentu saja perencanaan jalan sebaiknya disesuaikan dengan keadaan medan. Sebaliknya fungsi jalan sering kali menuntut perencanaan jalan tidak sesuai dengan kondisi medan dan sekitar, hal ini dapat menyebabkan tingginya volume pekerjaan tanah. Keseimbangan antara fungsi jalan dan keadaan medan akan menentukan biaya pembangunan jalan tersebut. Untuk jenis medan datar, kecepatan rencana lebih besar daripada jenis medan perbukitan atau pegunungan dan kecepatan rencana jenis medan perbukitan lebih besar daripada jenis medan pegunungan.

• Sifat dan Penggunaan Daerah

Kecepatan rencana yang diambil akan lebih besar untuk jalan luar kota daripada jalan perkotaan. Jalan dengan volume lalulintas tinggi dapat direncanakan dengan kecepatan tinggi, karena penghematan biaya operasi kendaraan dan biaya lainnya dapat mengimbangi tambahan biaya akibat diperlukannya tambahan biaya untuk pembebasan tanah dan biaya konstruksinya. Tapi sebaliknya jalan dengan volume lalulintas rendah tidak dapat direncanakan dengan kecepatan rencana rendah, karena pengemudi memilih kecepatan bukan berdasarkan volume lalulintas saja, tetapi juga berdasarkan batasan fisik, yaitu sifat kendaraan pemakai jalan dan kondisi jalan.

(39)

Tabel 2.23

Penentuan Kecepatan Rencana

Tipe Kelas Kecepatan Rencana (km/jam)

Tipe I Kelas 1 100 ; 80 Kelas 2 80 ; 60 Tipe II Kelas 1 60 Kelas 2 60 ; 50 Kelas 3 40 ; 30 Kelas 4 30 ; 20 Sumber : MKJI, 1997 2.8. JALAN PERKOTAAN 2.8.1 Kapasitas

Kapasitas dapat didefinisikan sebagai tingkat arus maksimum dimana kendaraan dapat diharapkan untuk melalui suatu potongan jalan pada waktu tertentu untuk kondisi lajur/jalan, lalulintas, pengendalian lalulintas dan cuaca yang berlaku (Tamin, 2000). Oleh karena itu, kapasitas tidak dapat dihitung dengan formula yang sederhana. Yang penting dalam penilaian kapasitas adalah pemahaman akan kondisi yang berlaku.

1. Kondisi Ideal

Kondisi ideal dapat dinyatakan sebagai kondisi yang mana peningkatan jalan lebih lanjut dan perubahan konisi cuaca tidak akan menghasilkan pertambahan nilai kapasitas.

2. Kondisi Jalan

Kondisi jalan yang mempengaruhi kapasitas meliputi : a. Tipe fasilitas atau kelas jalan.

b. Lingkungan sekitar (misalnya antara kota atau perkotaan). c. Lebar lajur/jalan.

d. Lebar bahu jalan.

e. Kebebasan lateral (dari fasilitas pelengkap lalulintas). f. Kecepatan rencana.

(40)

g. Alinyemen horisontal dan vertikal. h. Kondisi permukaan jalan dan cuaca. 3. Kondisi Medan

Tiga kategori dari kondisi medan yang umumnya dikenal yaitu :

a. Medan datar, semua kombinasi dari semua alinyemen horisontal, alinyemen vertikal dan kelandaian tidak menyebabkan kendaraan angkutan barang kehilangan kecepatan dan dapat mempertahankan kecepatan yang sama seperti kecepatan mobil penumpang.

b. Medan bukit, semua kombinasi dari semua alinyemen horisontal, alinyemen vertikal dan kelandaian menyebabkan kendaraan angkutan barang kehilangan kecepatan mereka merayap untuk periode waktu yang panjang. c. Medan gunung, semua kombinasi dari semua alinyemen horisontal,

alinyemen vertikal dan kelandaian menyebabkan kendaraan angkutan barang merayap untuk periode yang cukup panjang dengan interval yang sering.

4. Kondisi Lalulintas

Tiga kategori dari kondisi lalulintas jalan yang umumnya dikenal yaitu :

a. Mobil penumpang, kendaraan yang terdaftar sebagai mobil penumpang dan kendaraa ringan lainnya seperti van, pick up, jeep.

b. Kendaraan barang, kendaraan yang mempunyai lebih dari empat roda, dan umumnya digunakan untuk transportasi barang.

c. Bus, kendaraan yang mempunyai lebih dari empat roda, dan umumnya digunakan untuk transportasi penumpang.

5. Kondisi Pengendalian Lalulintas

Kondisi pengendalian lalulintas mempunyai pengaruh yang nyata pada kapasitas jalan, tingkat pelayanan dan arus jenuh. Bentuk pengendalian tipikal termasuk :

a. Lampu lalulintas b. Rambu

c. Marka berhenti

(41)

berdasarkan MKJI, 1997 adalah sebagai berikut : C = C0 x FCw x FCSP x FCSF x FCCS

dimana :

C = Kapasitas (smp/jam) C0 = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCw = Faktor penyesuaian lebar lajur lalulintas FCSP = Faktor penyesuaian pemisah arah FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping FCCS = Faktor penyesuaian ukuran kota • Kapasitas dasar

Menurut buku Standar Desain Geometrik Jalan Perkotaan, yang dikeluarkan Dirjen Bina Marga, kapasitas dasar didefinisikan sebagai volume maksimum per jam yang dapat lewat suatu potongan lajur jalan (untuk jalan multi lajur) atau suatu potongan jalan (untuk jalan dua lajur) pada kondisi jalan dan arus lalulintas ideal.

Kondisi ideal terjadi bila :

a. Lebar jalan tidak kurang dari 3,5 meter.

b. Kebebasan lateral tidak kurang dari 1,75 meter. c. Standar geometrik baik.

d. Hanya kendaraan ringan atau light vehicle (LV) yang menggunakan jalan. e. Tidak ada batas kecepatan.

Kapasitas jalan tergantung pada tipe jalan, jumlah lajur dan apakah jalan dipisahkan dengan pemisah fisik atau tidak, seperti yang ditunjukkan dalam tabel 2.24 berikut :

(42)

Tabel 2.24

Kapasitas Dasar Jalan Perkotaan Tipe Jalan Kota Kapasitas Dasar

Co (smp/jam)

Keterangan Empat lajur terbagi atau jalan satu arah 1650 per lajur

Empat lajur tak terbagi 1500 per lajur Dua lajur tak terbagi 2900 Total dua

arah

Sumber : MKJI, 1997

• Faktor penyesuaian lebar lajur lalulintas

Faktor penyesuaian lebar lajur lalulintas adalah seperti pada tabel 2.25 berikut ini :

(43)

Tabel 2.25

Penyesuaian Kapasitas Untuk Pengaruh Lebar Lajur Lalulintas Untuk Jalan Perkotaan (FCW)

Tipe Jalan Lebar Lajur Lalu Lintas

Efektif Wc (m) FCW

Empat lajur terbagi atau jalan satu arah

Per lajur 3,00 0,92 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,04 4,00 1,08

Empat lajur tak terbagi

Per lajur 3,00 0,91 3,25 0,95 3,50 1,00 3,75 1,05 4,00 1,09

Dua lajur tak terbagi

Total lajur 5 0,56 6 0,87 7 1,00 8 1,14 9 1,25 10 1,29 11 1,34 Sumber : MKJI, 1997

• Faktor penyesuaian pemisah arah

Besarnya faktor penyesuaian untuk jalan tanpa penggunaan pemisah tergantung pada besarnya Split kedua arah sebagai berikut :

(44)

Tabel 2.26

Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Pemisah Arah (FCSP)

Pemisah Arah SP % - % 50 -50 55 - 45 60 - 40 65 - 35 70 - 30 FCSP Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 Empat lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,95 Sumber : MKJI, 1997

• Faktor penyesuaian hambatan samping

(45)

Tabel 2.27

Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Lebar Bahu (FCSF) Untuk Jalan Perkotaan dengan Bahu

Tipe Jalan

Kelas Hambatan

Samping (SFC)

Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Samping dan Lebar Bahu Lebar Bahu Efektif Rata-Rata Ws (m)

≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2 m

Empat lajur terbagi (4/2 D) Sangat rendah 0,96 0,98 1,01 1,03 Rendah 0,94 0,97 1,00 1,02 Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00 Tinggi 0,88 0,92 0,95 0,98 Sangat tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96

Empat lajur tak terbagi (4/2 UD) Sangat rendah 0,96 0,99 1,01 1,03 Rendah 0,94 0,97 1,00 1,02 Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00 Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98 Sangat tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95

Dua lajur tak terbagi atau jalan satu arah Sangat rendah 0,94 0,96 0,99 1,01 Rendah 0,92 0,94 0,97 1,00 Sedang 0,89 0,92 0,95 0,89 Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95 Sangat tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91 Sumber : MKJI, 1997

(46)

b. Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan jarak kerb penghalang Tabel 2.28

Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Jarak Kerb Penghalang (FCSP) Untuk Jalan Perkotaan dengan Kerb

Tipe Jalan

Kelas Hambatan

Samping (SFC)

Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Samping dan Lebar Bahu Lebar Bahu Efektif Rata-Rata Ws (m)

≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2 m

Empat lajur terbagi (4/2 D) Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,01 Rendah 0,94 0,96 0,98 1,00 Sedang 0,91 0,93 0,95 0,98 Tinggi 0,86 0,89 0,92 0,95 Sangat tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92

Empat lajur tak terbagi (4/2 UD) Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,01 Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00 Sedang 0,90 0,92 0,95 0,97 Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,93 Sangat tinggi 0,78 0,81 0,85 0,90

Dua lajur tak terbagi atau jalan satu arah Sangat rendah 0,93 0,95 0,97 0,99 Rendah 0,90 0,92 0,95 0,97 Sedang 0,86 0,88 0,91 0,94 Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88 Sangat tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82 Sumber : MKJI, 1997

• Faktor penyesuaian ukuran kota

(47)

Tabel 2.29

Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCCS) Untuk Jalan Perkotaan

Ukuran Kota (Juta Penduduk) Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran Kota < 0,1 0,86 0,1 - 0,5 0,90 0,5 - 1,0 0,94 1,0 - 3,0 1,00 > 3,0 1,04 Sumber : MKJI, 1997 2.8.2 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai arus (Q) terhadap kapasitas (C), digunakan sebagai faktor utama untuk menentukan tingkat kinerja dan segmen jalan (MKJI, 1997). Nilai DS menentukan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak.

DS =

C Q

Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan arus dan kapsitas yang dinyatakan dalam smp/jam. DS juga digunakan untuk analisa perilaku lalulintas berupa kecepatan.

2.8.3 Kecepatan

MKJI, 1997 menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan, karena mudah dimengerti, diukur dan merupakan masukkan penting untuk biaya pemakaian jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan tempuh didefinisikan dalam MKJI, 1997 sebagi kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan.

(48)

V =

TTL

dimana :

V = Kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam) L = Panjang segmen (km)

TT = Waktu rata-rata LV sepanjang segmen (jam) 2.9. PERSIMPANGAN

Persimpangan didefinisikan sebagai area dimana terdapat dua atau lebih ruas jalan bertemu atau saling bersilangan. Termasuk jalan dan fasilitas jalan untuk pergerakan lalulintas di dalamnya. Persimpangan yang terjadi apabila dua ruas jalan saling bersilangan pada umumnya mempunyai empat kaki. Tidak disarankan pada persimpangan memiliki kaki simpang lebih dari empat. (AASTHO, 1984)

Ada tiga tipe umum pertemuan jalan : • Simpang sebidang (at grade intersection). • Simpang tidak sebidang (grade separation). • Kombinasi keduanya.

(Hobbs, 1995)

2.9.1 Persimpangan Sebidang (at grade intersection)

Kecuali pada jalan bebas hambatan, setiap jalan raya setiap jalan raya dilengkapi dengan persimpangan sebidang, yang merupakan pertemuan atau perpotongan jalan. Di daerah persimpangan terjadi gerakan membelok atau memotong arus lalulintas lain. (Oglesby & Hicks, 1993)

Bila jalan utama melayani volume lalulintas yang rendah, dan jalan samping (jalan kecil sejajar jalan utama) hanya melayani kendaraan ringan, maka pertemuan jalan sebidang yang sederhana biasanya sudah memadai. (Hobbs, 1995)

(49)

Bentuk T tanpa kanalisasi T melebar T dengan jalan membelok

Bentuk Y tanpa kanalisasi Y dengan jalan membelok Persimpangan 3-kaki

Tanpa kanalisasi Melebar Dengan kanalisasi

Bentuk T tanpa kanalisasi

Persimpangan jalan berkaki banyak Bundaran

Gambar 2.5

Berbagai Jenis Persimpangan Jalan Sebidang

(50)

2.9.2 Simpang Tak Sebidang

Pertemuan jalan pada jalan-jalan yang lebih penting biasanya berupa pertemuan jalan tidak sebidang, karena kebutuhan untuk menyediakan gerakan membelok tanpa berpotongan, maka dibutuhkan tikungan yang besar dan sulit serta biayanya yang mahal. Persimpangan jalan tidak sebidang juga membutuhkan daerah yang luas serta penempatan dan tata letaknya sangat dipengaruhi oleh topografi. Gerakan belokan biasanya tersedia pada pertemuan jalan bebas hambatan di perkotaan dan tercapai keseimbangan antara jalur masuk dan keluar dengan gerakan yang terdapat pada jalan tersebut. Pertemuan jalan tidak sebidang dengan kaki lebih dari empat buah tidak dianjurkan karena pertimbangan biaya dan lalulintas. Daerah manuver pada pintu masuk dan keluar harus mengikuti pola yang konsisten. (Hobbs, 1995)

TYPE OF INTERSECTING

FACILITY RURAL URBAN

LOCAL ROAD OR STREET COLLECTORS AND ARTERIALS FREEWAYS SUB URBAN SE R V ICE INTE RCHANG ES SYSTE M INTE R C H ANG ES Gambar 2.6

Contoh Jenis Persimpangan Jalan Tak Sebidang

(51)

2.9.3 Interchange

Fungsi dari interchange adalah :

1. Menyediakan persimpangan tidak sebidang pada pertemuan dua atau lebih lalulintas arteri.

2. Mempermudah kemungkinan perpindahan kendaraan dari satu jalan arteri ke arteri lainnya atau dari jalan lokal ke jalan bebas hambatan.

(Oglesby & Hicks, 1993)

2.10. Software EMME/2 dan ENIF

Kepanjangan dari EMME/2 yaitu Equilibre Multtimodal, Multtimodal

Equilibrium merupakan alat untuk meramalkan perjalanan sistem transportasi

dengan pemodelan. 2 mengindikasikan perkembangan dari program ini. Program ini mulai dikembangkan pada tahun 70-an oleh Center for Research on

Transportation (CRT) di bawah naungan Universitas Monteral. Versi pertama

dari EMME/2 juga dikmbangkan oleh CRT sekitar tahun 80-an. Sejak tahun 1986 perngembangan lebih jauh dari EMME/2 dikembangkan oleh INRO Consultants. (Modul EMME2, 2003)

EMME/2 dilisensikan untuk penelitian dan mengajar kepada Teknik Sipil UNDIP pada tanggal 15 Juli 2003 dengan nomor lisensi EC25 Installlation

Labsipil dan kode akses L163. Program ini tergabung dengan program ENIF yang

digunakan untuk melihat secara visual interaktif hasil analisis dari EMME/2 dan dilengkapi dengan INRO Key. INRO Key adalah semacam donggle yang berfungsi agar program tersebut tidak dapat di-crack. INRO Key harus dalam keadaan terpasang pada CPU saat proses penginstalan dan saat bekerja dengan EMME/2. (Modul EMME2, 2003)

EMME/2 adalah sistem perencanaan transportasi kota yang disajikan secara grafik interaktif. Kelebihan-kelebihan dari EMME/2 antara lain :

1. Merupakan sistem pendukung keputusan.

2. Mampu mengimplementasikan berbagai macam variasi dari prosedur peramalan permintaan perjalanan.

(52)

dari skenario di masa mendatang yang mencerminkan perubahan pada jalandan jaringan angkutan/perubahan karakteristik sosial ekonomi dari daerah yang dikaji.

(User’s Manual EMME/2, 2003) 2.10.1 Alogarithms

Analisis pada program EMME/2 ini menggunakan beberapa metode alogaritma, yaitu :

2.10.1.1 The Linear Approximation Method (Frank and Wolfe, 1956)

Metode ini mempunyai mempunyai keuntungan, pada setiap iterasinya, luas area di bawah kurva volume-delay berkurang dan pengukuran perbedaan antara aliran sebenarnya dengan aliran equilibrium dapat dengan mudah diperkirakan. Tahapannya adalah sebagai berikut :

0 Initialization

k = 0 (iterasi dihitung) 1 Update Link Cost

k = k + 1 sk = s(vk-1) 2 Descent Direction

yk didapatkan dengan metode pembebanan all-or-nothing dari permintaan g pada jalan terpendek yang dihitung dengan lengkung biaya sk.

3 Compute Optimal Step Size vk-1 + λ(yk – vk-1), 0≤ λ≤1 4 Update Link Flows

vk = vk-1 + λ(yk – vk-1). 5 Stopping Criterion

jika skvk-1 - skyk > ε, maka kembali ke langkah 1 sementara itu jika v* = vk, s* = s(vk), maka selesai. (User’s Manual EMME/2, 2003)

(53)

2.10.1.2 The Incremental Method

Tahapannya adalah sebagai berikut : 0 Initialization

tetapkan jumlah increments N v0 = 0

k = 0 (iterasi dihitung) 1 Update Link Cost

k = k + 1 sk = s(vk-1)

2 Load Increment of Demand

yk didapatkan dengan metode pembebanan all-or-nothing dari permintaan g / N pada jalan terpendek yang dihitung dengan lengkung biaya sk.

3 Update Link Flows vk = vk-1 + yk. 4 Stopping Criterion

Jika k < N, maka kembali ke langkah 1

sementara itu jika v* = vk, s* = s(vk), maka selesai. (User’s Manual EMME/2, 2003)

2.10.1.3 The Capacity Restraint Method Tahapannya adalah sebagai berikut : 0 Initialization

tetapkan jumlah iterasi N

y0 didapatkan dengan metode pembebanan all-or-nothing dari permintaan g pada jalan terpendek yang dihitung dengan lengkung biaya s0 = s(0).

k = 0 (iterasi dihitung) 1 Update Link Cost

k = k + 1

(54)

2 Load Demand

yk didapatkan dengan metode pembebanan all-or-nothing pada jalan terpendek yang dihitung dengan lengkung biaya sk.

3 Stopping Criterion

Jika k < N, maka kembali ke langkah 1 sementara itu jika v* =

4 1 .

= − 3 0 k k N y , s* = s(vk), maka selesai.

(User’s Manual EMME/2, 2003)

2.10.2 Analisis Pemodelan dalam Software EMME/2

Sebelum proses pemodelan, dilakukan pengisian data bank. Data bank

tersebut berfungsi sebagai batasan kapasitas jumlah data bank suatu pemodelan yang akan dibuat dengan beberapa skenario. Beberapa contoh batasan yang diisi pada tahapan ini adalah misalnya jumlah zona, jumlah skenario, jumlah simpul, jumlah persimpangan dan lain-lain.

Beberapa analisis yang dapat dilakukan dalam modul EMME/2 untuk membuat pemodelan yaitu :

(55)

Sumber : User’s Manual EMME/2, 2003

1. U T I L I T I E S

Modul ini berisi peralatan untuk mengatur skenario-skenario dan

karakteristik umum dari data bank. Peralatan tersebut terdapat dalam submodul

(56)

Sumber : User’s Manual EMME/2, 2003

Misalnya, kita akan membuat pemodelan yang ada dalam EMME/2 yaitu kota Toronto, Canada. Skenario pertama yang dibuat dalam pemodelan ini yaitu

road and transit network. Untuk membuat skenario ini, menggunakan modul 1.22 Scenario Manipulation. Tampilan dalam EMME/2 adalah sebagai berikut:

(57)

Sumber : User’s Manual EMME/2, 2003

Kemudian untuk menentukan satuan-satuan parameter yang akan

digunakan, yaitu dengan masuk ke modul 1.23 Modify Titles and Units. Tampilan

(58)

Sumber : User’s Manual EMME/2, 2003

2. N E T W O R K E D I T O R

Modul ini berisi seluruh pengoperasian yang diperlukan untuk memberi input, memodifikasi dan mengeluarkan output. Input dan modifikasi dapat

Referensi

Dokumen terkait

Komponen interaktif pada multimedia dapat berupa navigasi, simulasi, permainan, dan latihan. Apabila dalam suatu aplikasi.. penilaian para ahli, peneliti melihat

Secara semantis, afiks derivasi adalah afiks yang menyatu dengan D dalam rangka membentuk leksikal (leksem), sedang- kan afiks infleksi adalah afiks yang tidak me- nyatu dengan D

Sri Setyani, M.Hum Tulus Yuniasih, S.IP., M.Soc.Sc Dra.. Sri Setyani,

Permasalahan yang muncul saat ini adalah diperlukan suatu usaha untuk meningkatkan Performance Fully Automatic Steer By Wire System (steer serba otomatis), salah satu

Zaključno, pri implementaciji Vitke metodologije, posebice u području razvoja novog proizvoda treba imati na umu da fokus Vitke metodologije nije samo na ukljanjanju gubitaka

Sebagai Alat Pengawasan Pada Perum Perumnas Regional 1 Medan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya selisih biaya yang tidak menguntungkan

Pada hari Senin, 27 Februari 2017 pukul 11.15 WIB peneliti menuju ke lokasi penelitian yang ke dua yaitu MI Al-Ifadah Kaliwungu Ngunut Tulungagung. Peneliti

Lokasi daerah yang beresiko tanah longsor dikendalikan oleh dua faktor utama yaitu adanya lereng dengan struktur geologi yang tidak menguntungkan, dan tingkat curah