• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Perkembangan #4. Pelepasliaran dan Pemantauan Pasca Pelepasliaran Orangutan di Hutan Lindung Bukit Batikap, Murung Raya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Perkembangan #4. Pelepasliaran dan Pemantauan Pasca Pelepasliaran Orangutan di Hutan Lindung Bukit Batikap, Murung Raya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Agustus 2013 - Desember 2014

Pelepasliaran dan Pemantauan Pasca Pelepasliaran

Orangutan di Hutan Lindung Bukit Batikap, Murung Raya

Laporan

Perkembangan #4

(2)

Mengukur Tingkat

Keberhasilan

Daftar Isi

5

Ucapan terima kasih

6

Pendahuluan

8

Yang Keseratus,

dan yang Pertama

14

Pengisian Kembali

Pulau-Pulau Pra-pelepasliaran

16

Adaptasi Perilaku dan

Pelajaran yang Didapat

29

(3)

Ucapan Terima Kasih

P

rogram Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng memperoleh dukungan dari berbagai organisasi sejenis Yayasan BOS di berbagai negara serta donasi yang sangat membantu dari perorangan, yayasan, amal, dan organisasi lain di seluruh dunia.

Proyek Pelepasliaran Batikap memperoleh dukungan dari BHP Billiton, Save the Orangutan Foundation, Swedish Postcode Foundation (SvenskaPostkodStiftelsen), US Fish and Wildlife Service, Great Apes Conservation Fund, The Orangutan Project, Mohamed Bin Zayed Conservation Fund, Margot Marsh Biodiversity Foundation, Orangutan Outreach, Stichting Monkey Business dan semua partner dan mitra organisasi

Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dari Pemerintah Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, Pemerintah Kabupaten Murung Raya, serta seluruh masyarakat Kecamatan Seribu Riam.

Laporan ini adalah hasil kompilasi yang dibuat oleh Simon Husson, Ike Nayasilana, Adhy Maruly, Purnomo, Ahmat Suyoko, dan Denny Kurniawan atas nama Yayasan BOS.

(4)

Borneo Orangutan Survival Foundation (Yayasan BOS) mengoperasikan dua pusat penyelamatan primata terbesar di Kalimantan untuk merawat orangutan yang mengalami kehilangan habitat alaminya atau ditangkap dan dipelihara masyarakat. Tujuan akhir dari program-program penyelamatan kami adalah untuk melepasliarkan orangutan kembali ke hutan tempat mereka hidup mandiri, berkembang biak, dan menunjang pelestarian populasi orangutan liar.

Selama tahun 2012 kami mengawali satu program besar reintroduksi, dengan melepasliarkan orangutan (sub spesies Pongo pygmaeus wurmbii) dari pusat penyelamatan dan rehabilitasi kami di Nyaru Menteng ke Hutan Lindung Bukit Batikap (Batikap) di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Hutan ini dilindungi dan berfungsi sebagai daerah aliran sungai penting yang meliputi areal seluas kurang lebih 400.000 hektar. Tahap pertama proyek ini adalah melepasliarkan 131 individu orangutan kembali ke habitat liar selama dua tahun. Para orangutan tersebut tampak beradaptasi baik di lingkungan baru dan proyek ini berlanjut dengan lancar. Kami memperkirakan dataran rendah Lembah Joloi di daerah Barat Daya Batikap dapat menampung sampai dengan 300 orangutan. Apabila hal ini tercapai, 32 orangutan yang telah hidup di Batikap selama 2 tahun akan menambah populasi orangutan liar baru di Kalimantan.

Kami tengah menghadapi sejumlah tantangan baru, yaitu menjaga populasi baru ini sehat dan terlindungi untuk jangka waktu lama. Tim pemantauan pasca pelepasliaran kami mencari, menentukan lokasi, serta mengamati sebanyak mungkin orangutan menggunakan pelacakan radio, dan dukungan dokter

Pendahuluan

hewan bersiaga untuk kemungkinan kebutuhan terkait kesehatan. Kombinasi pemantauan dan perawatan pasca pelepasliaran ini bertujuan untuk menentukan adaptasi perilaku pasca pelepasliaran dan memastikan strategi reintroduksi kami berjalan sesuai rencana, dan di saat yang sama memberikan setiap individu orangutan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup.

Laporan ini memaparkan perkembangan kami sejak awal pelaksanaan proyek di Februari 2012 lalu. Sejak laporan kami terakhir yang dibuat Juli 2013 lalu, jumlah orangutan yang dilepasliarkan di Batikap telah menjadi 131 individu. Kami menyajikan data untuk menunjukkan bahwa Proyek Reintroduksi Orangutan di Batikap berhasil dibandingkan dengan proyek reintroduksi orangutan lainnya, dengan rata-rata keberhasilan setahun di antara 70% dan 92%. Ini berarti bahwa berdasarkan pelacakan gelombang radio, setidaknya 70% dari 82 orangutan yang pertama dilepasliarkan, dipastikan telah menjalani kehidupan liar sepenuhnya, mandiri selama 12 bulan setelah pelepasliaran. Sementara total 92% dari ke-82 orangutan itu menjalani hal tersebut di tahun kedua. Perbedaan persentasi di atas bersumber dari keberhasilan pelacakan radio dalam kurun waktu 12 bulan. Mereka adalah orangutan yang sebelumnya kehilangan rumah di hutan atau dipelihara masyarakat di kandang, kini hidup bebas berkat dukungan Yayasan BOS, BKSDA, Pemerintah Daerah Murung Raya, serta masyarakat desa Tumbang Tohan dan Tumbang Naan.

Kendati proyek ini berlanjut dengan lancar, kami mencoba menyediakan waktu membuat laporan ini dengan tujuan membahas kegagalan dan masalah yang muncul, untuk memastikan keberhasilan upaya ini di waktu yang akan datang. Dua belas orangutan yang telah dilepasliarkan mati akibat berbagai sebab, termasuk mereka yang ditembak pemburu, akan kami jelaskan dalam laporan ini. Kami juga harus mengambil tindakan untuk beberapa kasus menolong orangutan yang sakit atau kelaparan, serta sejumlah konflik yang muncul antara manusia dan orangutan, utamanya orangutan yang mengacak-acak kamp di hutan. Peristiwa-peristiwa tersebut akan kami uraikan lebih jelas dalam laporan ini.

Sebagai rencana ke depan, kami akan memfokuskan perhatian pada perlindungan habitat dan partisipasi masyarakat. Kami bekerjasama dengan pemerintah daerah meningkatkan perlindungan jangka panjang atas keberadaan Batikap melalui kegiatan patroli konservasi terpadu, dan melibatkan peran masyarakat untuk meminimalisir resiko munculnya konflik manusia-orangutan sekaligus untuk mendukung pembangunan lokal. Dengan cara ini, kami berubah lebih baik dari model pemenuhan kesejahteraan orangutan secara individu menuju perlindungan populasi satwa liar berkelanjutan yang berkontribusi terhadap pelestarian kera yang dilindungi ini.

(5)

Yang Keseratus,

dan yang Pertama

Dalam kurun waktu 18 bulan penyelenggaraan proyek ini, sampai bulan Juli 2013, kami telah lima kali melepasliarkan orangutan ke wilayah hutan di jantung Kalimantan, Hutan Lindung Bukit Batikap, memindahkan 64 orangutan dari pusat rehabilitasi kami di Nyaru Menteng. Berangkat dari keberhasilan di awal proyek, kami meningkatkan standar dengan melepasliarkan 67 orangutan lain dalam empat kali reintroduksi dalam rentang Agustus 2013 sampai April 2014. Dibandingkan dengan lima pelepasliaran pertama, yang melibatkan lebih dari separuh orangutan liar atau semi-liar yang tidak membutuhkan pemantauan pasca pelepasliaran secara intensif, rangkaian pelepasliaran berikutnya melibatkan 65 dari 67 orangutan hasil rehabilitasi (sitaan atau lahir di pulau pra-pelepasliaran). Oleh karenanya, kami menyadari bahwa tantangan yang ada jauh lebih besar, dan upaya yang dibutuhkan untuk mengawasi dan menjaga para orangutan ini juga lebih besar.

Dari antara 67 orangutan ini, ada dua yang sangat spesial. Kitty adalah orangutan keseratus yang kami lepasliarkan ke Bukit Batikap, sekaligus menjadi tonggak bermakna dalam proyek kami. Saat pelepasliaran, kandangnya dibuka oleh CEO kami, Jamartin Sihite, yang sukarela meninggalkan riuhnya ibukota demi kecintaan atas alam Kalimantan dan menyaksikan langsung hasil kerja keras tim Yayasan BOS. Begitu Kitty dilepasliarkan, giliran Noor. Betina ini adalah orangutan pertama yang diselamatkan oleh tim Nyaru Menteng di tahun 1999 saat Lone Dröscher Nielsen dan Kisar Odom mengawali proyek rehabilitasi orangutan pertama kali. Selama dua bulan pertama, ia adalah satu-satunya orangutan di pusat rehabilitasi kami, diasuh langsung oleh Lone di rumahnya, saat kandang dan

bangunan kantor masih dalam proses pembangunan. Noor bersama kami selama hampir 15 tahun, menyaksikan sekitar 1000 orangutan lain datang, dan beberapa pergi, sebelum akhirnya ia mendapat giliran untuk memperoleh kebebasan. Lone datang langsung ke Batikap demi kegiatan ini, dan kendati Noor telah tumbuh besar menjadi betina dewasa yang sedikit galak, kepergiannya meninggalkan kesan yang menyentuh, karena ia adalah orangutan terlama di Nyaru Menteng dan tidak ada yang menyainginya dalam hal ini, baik manusia maupun orangutan lain.

(6)

Berikut adalah daftar orangutan yang dilepasliarkan dalam periode Agustus 2013 dan Agustus 2014.

Kategori kelaminJenis Usia Usia Kedatangan Asal

OU Rehabilitan eks peliharaan

Lona F 19 M2 ± 6-6.5 Jakarta

Lulu F 16 M1 ± 4-4.5 Jakarta

Mama Mozzy F 23 M3 >12 Pontianak

Matilda F 17 M1 ± 3.5-4 Palangka Raya

Mita F 12 E ± 3.5-4 Palangka Raya

Monmon F 13 M1 ± 4.5-5 Jakarta

Tehang F 14 M1 ± 4-4.5 Tehang, Kalimantan Tengah

Ubai F 15 M1 ± 4-4.5 Jakarta

Arun M 14 E ± 2.5-3 Banjarmasin

Bonet M 13 E ± 2.5-3 Pontianak

Bule M 18 M2 ± 6-6.5 Petak Bahandang, Kalimantan Tengah

Max M 16 M1 ± 3-3.5 Jakarta

Mongki M 15 M1 ± 4-4.5 Palangka Raya

Uban M 16 E ± 3-3.5 Palangka Raya

Lahir di Pulau Pra-pelepasliaran

Astria F 6 Anak Matilda

Georgina F 1 Anak Matilda

Myzo F 2 Anak Mama Mozzy

Nielsen F 8 Anak Lona

Tabel 1. Pelepasliaran #6: 16-18 Agustus 2013

Kategori kelaminJenis Usia Usia Kedatangan Asal

OU Rehabilitan eks peliharaan

Bertha F 16 M1 ± 4.5-5 Palangka Raya

Cindy F 19 M1 ± 5.5-6 Palangka Raya

Daisy F 14 E ± 2-2.5 Surabaya

Inung F 15 E ± 2.5-3 Kapuas, Kalimantan Tengah

Lolin F 20 M2 ± 7-7.5 Jakarta

Mandra F 15 E ± 1-1.5 Kasongan

Nopi F 20 M2 ± 7-7.5 Jakarta

Tabel 2. Pelepasliaran #7: 29-30 November 2013

Shelli F 20 M2 ± 7-7.5 Jakarta

Komo M 14 E ± 2-2.5 Kapuas, Kalimantan Tengah

Boy M 17 M1 ± 5-5.5 Pegatan, Kalimantan Tengah

Lahir di Pulau Pra-pelepasliaran

Forest F 3 Anak Shelli

Ina F 1 Anak Inung

Indah F 6 Anak Inung

Riwut F 1 Anak Cindy

Zona F 9 Anak Nopi

Cilik M 6 Anak Cindy

Nicky M 3 Anak Nopi

Kategori kelaminJenis Usia Usia Kedatangan Asal

OU Rehabilitan eks peliharaan

Dita F 17 M1 ± 4-4.5 Semarang

Jane F 19 E ± 3.5-4 Palangka Raya

Joys F 19 M2 ± 7.5-8 Banjarmasin

Judy F 18 M2 ± 6-6.5 Kapuas

Jupiter F 15 E ± 1-1.5 Sampit

Kitty F 18 M1 ± 3.5-4 Palangka Raya

Manisha F 19 M1 ± 4-4.5 Palangka Raya

Noor F 17 E ± 1-1.5 Palangka Raya

Sarita F 20 M2 ± 6-6.5 Jakarta

Zena F 18 M1 ± 5-5.5 Jakarta

Hamlet M 18 E ± 3-3.5 Palangka Raya

Mercury M 13 E ± 1.5-2 Muara Teweh, Kalimantan Tengah

Reno M 14 E ± 2-2.5 Palangka Raya

Lahir di Pulau Pra-pelepasliaran

Halt F 2 Anak Dita

Julfa F 1 Anak Jupiter

Tabel 3. Pelepasliaran #8: 7-8 Februari 2014

(7)

Kate F 3 Anak Kitty

Jiro M 1 Anak Jane

Jojang M 7 Anak Jane

Son M 2 Anak Judy

William M 4 Anak Zena

Kategori kelaminJenis Usia Usia Kedatangan Asal

Tabel 4. Pelepasliaran #9: 19-20 April 2014

Kategori kelaminJenis Usia Usia Kedatangan Asal

OU Rehabilitan eks peliharaan

Cuplis F 12 E ± 2-2.5 Desa SP 4 Padas

Wardah F 11 E ± 2.5-3 Pt. Agro Bukit

OU Rehabilitan eks peliharaan

Bonita F 13 E ± 2-2.5 Parenggean, Kalimantan Tengah

Kacio F 14 E ± 2.5-3 Banjarmasin

Kiki F 19 M2 ± 6.5-7 Ketapang, Kalimantan Barat

Miss Owen F 17 E ± 1.5-2 Pontianak

Olympia F 14 E ± 2-2.5 Tumbang Samba, Kalimantan Tengah

Sella F 14 E ± 2.5-3 Palangka Raya

Trold F 13 E ± 1.5-2 Tumbang Talaken, Kalimantan Tengah

Mego M 16 M1 ± 3-3.5 Jakarta

Slamet M 18 E ± 2.5-3 Palangka Raya

Lahir di Pulau Pra-pelepasliaran

Hardi F 7 Anak Kiki

Setiap upaya pelepasliaran yang kami laksanakan mengikuti metode dan prosedur yang telah diujicobakan sebelumnya, yaitu dengan menerbangkan para orangutan ke bandara terdekat, menginapkan mereka selama semalam di dalam kandang-kandang transit, sebelum akhirnya mengangkut mereka dengan helikopter sampai ke drop point di Batikap. Cara ini kami pilih dengan alasan kecepatan dan orangutan tidak perlu menghabiskan waktu lama di dalam kandang transport yang berukuran sempit. Dalam penyelenggaraannya, kami sangat tergantung, bagaimanapun, pada ketersediaan helikopter, akibat keterbatasan jumlah perusahaan yang beroperasi di Indonesia dengan catatan keamanan yang baik serta perlengkapan long-line yang dibutuhkan untuk tugas ini. Kurang tersedianya hal-hal di atas pada paruh kedua 2014 menyebabkan kami untuk sementara menghentikan rangkaian pelepasliaran, dan ketika situasi tampak tidak berubah di tahun 2015, kami selenggarakan penilaian resiko dan mengujicoba rute perjalanan darat untuk pemindahan orangutan ke Batikap.

Asal-usul dari 131 orangutan yang dilepasliarkan ke Batikap dijelaskan dalam tabel berikut:

Tgl Pelepasliaran Liar Semi-Liar Rehabilitan

Lahir di Pulau Pra-pelepasliaran,

Mandiri

Lahir di Pulau Pra-pelepasliaran,

Tergantung Induk Total

29 Februari 2012 1 1 2 4 31 Maret 2012 1 3 4 3 11 9 Agustus 2012 3 3 1 1 8 1 November 2012 4 4 5 2 1 2 3 21 14 Februari 2013 1 1 3 6 4 1 4 20 16 Agustus 2013 8 6 2 2 18 29 November 2013 8 2 2 1 3 1 17 07 Februari 2014 10 3 1 3 3 20 19 April 2014 2 7 2 1 12 Total 6 7 14 11 44 19 6 3 14 7 131

f

m

f

m

f

m

m

f

m

Dengan bertambahnya jumlah orangutan yang harus dipantau, kami memperbesar tim monitoring menjadi 15 orang staf full-time ditambah teknisi, sukarelawan, serta dokter hewan dari Nyaru Menteng. Sesungguhnya, tim ini masih perlu diperbesar, namun keterbatasan dana menentukan jumlah tenaga yang bisa kami kerahkan untuk tugas ini. Biaya sekunder seperti transportasi, logistik, dan lainnya relatif tinggi di daerah terpencil seperti ini. Bagaimanapun juga, kami menawarkan kesempatan kepada anggota masyarakat setempat yang berminat membantu tugas monitoring.

Koordinator kamp sekaligus dokter hewan kami, Adhy Maruly, beserta koordinator monitoring, Ike Nayasilana, telah melanjutkan karir di tempat baru setelah bekerja keras dan menuntaskan tugas mereka di hutan, dan kami mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah mereka dan mendoakan yang terbaik. Ike kembali ke perguruan tinggi demi melanjutkan studinya dan kami berharap ia kembali ke lapangan bersama kami dalam waktu dekat! Keduanya kini digantikan oleh Purnomo, yang telah bekerja bersama Yayasan BOS selama lima tahun di Murung Raya, dan Nick Boyd.

Kami akhirnya menuntaskan pembangunan kamp rilis, sebuah proyek panjang yang membutuhkan waktu 32 bulan. Sebelum itu, tim bekerja dalam sebuah tenda di jantung Hutan Lindung Bukit Batikap. Kendati telah mengelami berbagai

Penguatan Kapasitas

modifikasi menyesuaikan kebutuhan, tenda itu tidak pernah dirancang untuk menjadi bangunan permanen. Tim ini patut mendapat pujian atas pekerjaan mereka mengobati orangutan sakit, kerap berurusan dengan kera-kera yang suka mencuri makanan, bahkan terendam banjir sampai sedalam satu meter! Kami telah menyelesaikan satu bangunan kamp dari kayu untuk memudahkan hidup di lingkungan hutan, dengan tempat tidur, penyimpanan logistik, dan peralatan memasak yang layak, ditenagai panel surya yang sesekali didukung genset. Tabel 5. Asal-usul orangutan yang dilepasliarkan ke Hutan Lindung Bukit Batikap, Murung Raya

(8)

Pengisian Kembali

Pulau-Pulau

Pra-pelepasliaran

Sebagian besar dari orangutan yang kami lepasliarkan (n=93) sebelumnya menyelesaikan masa tinggal di pulau-pulau pra-pelepasliaran di Sungai Rungan – Pulau Kaja, Pulau Palas, Pulau Hampapak, dan Pulau Bangamat. Pulau-pulau ini menyediakan lingkungan alami tempat orangutan tinggal tanpa harus berinteraksi dengan manusia sebagai tahap akhir sebelum pelepasliaran di alam liar. Di sini mereka dapat bersarang, seharian berada di atas pohon, dan menemukan makanan alami hutan, sementara tetap mendapat suplai buah dan sayuran setiap harinya. Ini adalah tahap akhir yang sangat vital sebelum memasuki reintroduksi atau pelepasliaran, sebagai ‘halfway house’ bagi orangutan untuk hidup mandiri, sekaligus dinilai oleh kami kesiapannya dan tingkat kemampuannya untuk bertahan hidup di hutan. Yang terpenting, orangutan berkesempatan untuk bereksplorasi dan mencoba makanan alami, dan hal ini terbukti penting sekali dalam menentukan kemampuan bertahan hidupnya, seperti misalnya rayap, daun-daunan, batang pandan, dan rotan, dan semua itu merupakan pakan yang penting terutama ketika di luar musim buah-buahan hutan.

Pembelajaran seperti ini tidak mungkin diperoleh di kandang, dan karenanya kami sangat yakin untuk melepasliarkan orangutan tanpa perlu menyediakan pakan tambahan karena kami telah menyaksikan mereka secara mandiri mencari pakan alami di pulau.

Nyaru Menteng menyewa pulau pertamanya, Pulau Kaja, hampir lima belas tahun lalu, namun akibat ketiadaan lokasi pelepasliaran sampai tahun 2012, para orangutan di pulau ini menjadi penghuni tetap. Akhirnya kami berhasil melepasliarkan mereka, menyediakan ruang bagi rombongan orangutan berikutnya. Keberhasilan menambahkan ruang dan mengurangi populasi orangutan yang berlebih di pusat rehabilitasi memberikan dampak positif bagi para staf di sana.

Sejauh ini kami telah memindahkan:

• 26 orangutan ke Pulau Bangamat pada Desember 2012 • 38 orangutan ke Pulau Kaja pada Juni 2013

• 15 orangutan ke Pulau Palas pada Maret 2014 • 6 orangutan ke Pulau Palas pada Mei 2014 • 15 orangutan ke Pulau Kaja pada November 2014 • 7 orangutan ke Pulau Bangamat pada November 2014

Secara total, 107 orangutan telah dipindahkan dari kandang ke pulau-pulau pra-pelepasliaran sebagai tahap terakhir rehabilitasi. Sebanyak 64 lainnya telah dipindahkan ke kandang karantina untuk tes akhir kesehatan dan genetis, menjadi kandidat pelepasliaran berikut di tahun 2015.

Para orangutan dirawat setiap hari oleh tim teknisi yang memantau seluruh orangutan di pulau-pulau pra-pelepasliaran. Mereka menyediakan makanan dua kali sehari, menjaga pulau di pos-pos keamanan memastikan para orangutan aman dari gangguan masyarakat sekitar dan orangutan tidak meloloskan diri dari pulau saat air sungai surut, mengantisipasi masalah yang muncul dan melaporkan ke pusat rehabilitasi dan dokter hewan sekiranya diperlukan, dan memeriksa setiap orangutan setiap harinya. Sebagai bagian dari tugas mereka, tim teknisi ini juga mengamati dan melaporkan perkembangan keterampilan dasar orangutan kepada para peneliti di proyek. Kami menggunakan laporan dan penilaian ini untuk menentukan kesiapan setiap individu. Keterampilan yang diamati mencakup membuat sarang, menjelajah kanopi hutan, mencari pakan, termasuk melepaskan ketergantungan dari pakan yang diberikan teknisi. Kami juga menilai perilaku mereka terhadap keberadaan manusia.

Orangutan-orangutan yang baru tiba di pulau ternyata membutuhkan waktu adaptasi yang lebih lama dari perkiraan. Para penghuni sebelumnya telah merasa nyaman dan menguasai wilayah dengan baik, karena telah mendiami pulau-pulau tersebut lebih dari sepuluh tahun, lebih lama daripada kebanyakan teknisi kami, dan kami menduga para

orangutan baru ini akan segera beradaptasi. Namun tentu saja mereka belum berpengalaman dan belum mengetahui letak platform makan, perlu membiasakan diri untuk membuat sarang setiap malam atau untuk selalu berada di atas pohon, dan lain sebagainya. Hal ini menimbulkan stres dan disorientasi, bahkan malnutrisi dan masalah kesehatan. Belajar menguasai keterampilan hutan adalah tujuan utama pulau pra-pelepasliaran, namun kami dapat melihat bahwa beberapa orangutan bahkan tidak pernah muncul saat jadwal pembagian makanan harian, maka sejumlah upaya perlu ditempuh untuk membantu para orangutan. Maka kami mengubah jadwal kerja dan pelaporan, serta melaksanakan pelatihan ulang bagi para teknisi untuk memprioritaskan pemantauan terhadap individu-individu tertentu yang membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi.

(9)

Mengukur Tingkat

Keberhasilan

Pemantauan pasca pelepasliaran berperan penting untuk menentukan tingkat kesehatan dan adaptasi orangutan rilis. Kegiatan ini menyediakan umpan balik atas keberhasilan atau kegagalan proyek dan membantu kami menyusun strategi dan tata kelola pelaksanaan pelepasliaran di masa selanjutnya, serta memberikan akuntabilitas kepada lembaga pemberi dana ataupun pemerintah. Pemantauan juga membantu kami untuk melakukan campur tangan atas orangutan yang kesehatannya terganggu, perlu ditarik dari lingkungan barunya, atau membutuhkan makanan tambahan. Secara keseluruhan, program pemantauan pasca pelepasliaran yang baik akan meningkatkan kesempatan orangutan untuk berhasil hidup kembali di alam liar.

Setiap hari tim pemantauan kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan masing-masing bergerak terpisah,

menyusuri sungai, jalur transek, bahkan mendaki gunung demi mencari jejak orangutan dibantu dengan sistem telemetri pelacakan gelombang radio. Kami menggunakan

pelacakan radio untuk menemukan lokasi keberadaan orangutan, karena semua orangutan yang kami lepasliarkan memiliki pemancar VHF yang ditanamkan di tengkuk. Setiap pemancar menghasilkan frekuensi berbeda dan dapat kami identifikasi serta tentukan lokasinya. Sinyal pada umumnya masih bisa ditangkap di tengah hutan lebat dari jarak 400 meter, dan dari titik tertinggi yang tak terganggu pepohonan ditambah cuaca cerah, bisa mencapai jarak 2 km.

Ketika kami menemukan lokasi satu orangutan, kami berusaha menilai kondisinya secara visual dan mengumpulkan data akan perilaku dan dietnya. Dengan cara ini, kami dapat menyusun gambaran adaptasi orangutan terhadap lingkungan sekaligus mengidentifikasi individu-individu yang beresiko. Dengan data pemantauan yang dikumpulkan selama beberapa tahun, kami dapat menganalisa untuk menentukan tingkat keberhasilan proyek pelepasliaran dalam mengembalikan orangutan ke habitat asalnya.

Hasil Terkini Pemantauan

• 131 orangutan dilepasliarkan dalam 9 kegiatan pelepasliaran yang berbeda dalam rentang waktu 3 tahun.

• 2 kelahiran terdata

• 60 orangutan teramati atau sinyal radionya terekam selama 3 bulan pertama

• 73 orangutan teramati atau sinyal radionya terekam selama 6 bulan pertama

• 110 orangutan teramati atau sinyal radionya terekam selama 12 bulan pertama

Orangutan dilepasliarkan di wilayah yang luas, dengan jarak sekitar 15 kilometer memisahkan dua titik pelepasliaran terjauh. Karenanya dengan luasan 130 kilometer persegi untuk diamati, sebagian orangutan tentu tidak akan terlacak (dibandingkan dengan program riset orangutan di hutan gambut Mawas seluas 25 kilometer persegi dan dihuni oleh sekitar 50 orangutan yang diamati secara teratur). Dalam sebulan umumnya tim kami bisa menemukan jejak dari 30 sampai 40 orangutan, baik melalui pengamatan ataupun pelacakan radio. Beberapa bisa direkam sinyalnya hampir setiap bulan, sementara sebagian lainnya hanya teridentifikasi lokasinya dalam rentang 6 bulan sekali.

(10)

Ada sejumlah alasan mengapa sinyal pemancar tak dapat terekam, dan beberapa penjelasan berikut mungkin berlaku pada orangutan yang sampai saat ini sulit dilacak keberadaannya:

1. Kematian orangutan dan kehilangan sinyal atau kerusakan pemancar. Pemancar yang tertanam di tubuh orangutan yang sudah mati akan terus memancarkan sinyal dan kami manfaatkan kondisi ini saat mendeteksi kematian dua individu, ketika itu sinyal yang sama terekam terus-menerus dari lokasi yang sama selama beberapa bulan, satu dari puncak pohon (kemungkinan sarang), dan satu lagi dari sungai. Karenanya, sinyal yang tidak terdeteksi bukan lantas berarti kegagalan pelepasliaran. Bagaimanapun, tubuh orangutan mati akan jatuh ke tanah dan disantap oleh hewan pemakan bangkai, sementara pemancarnya bisa saja rusak atau tertimbun di dalam tanah.

2. Kegagalan pemancar. Sejumlah pemancar yang pertama kami terima memiliki selubung yang rapuh dan mudah rusak. Kami telah menggantinya dan selama ini tidak ditemukan lagi kegagalan. Namun begitu, baterai pemancar memiliki masa pakai tertentu dan beberapa di antaranya mati lebih dulu daripada yang lain. Di akhir tahun 2014 kami menemukan beberapa orangutan yang pertama kali dilepasliarkan, namun tidak disertai adanya sinyal, maka kondisi ini kami tengarai mulai terjadi.

Laju Keberhasilan Pelepasliaran

3. Pergerakan orangutan ke wilayah yang sulit dideteksi. Bisa jadi ada yang pindah ke luar wilayah Hutan Bukit Batikap sama sekali, dan kami sempat menerima laporan mengenai satu induk dan satu bayi orangutan di wilayah yang berdekatan di Kalimantan Barat, namun belum ada konfirmasi apakah ini adalah salah satu orangutan rilis kami. Hal ini ditambah dengan adanya beberapa titik di Batikap yang sangat sulit dijangkau sehingga jarang dipantau, kami berharap beberapa orangutan memang berpindah ke wilayah ini.

Definisi kami tentang sukses awal adalah saat orangutan mampu “hidup liar tanpa bantuan manusia selama periode 12 bulan penuh”. Kami memperkirakan hal ini dengan cara menghitung jumlah orangutan yang kami amati atau rekam sinyal radionya 12 bulan sejak tanggal pelepasliarannya. Seiring dengan berjalannya proyek ini, kami melakukan penilaian yang sama setelah periode dua tahun. Hasil-hasil yang diperoleh akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Kami memperkirakan tingkat keberhasilan setelah 2 tahun akan lebih rendah akibat melemahnya baterai pemancar. Namun kami tetap akan terus-menerus memperbaiki tingkat keberhasilan minimum bilamana ada orangutan baru terdeteksi, dan biasanya hal ini terjadi setelah 9 bulan setelah penampakan pertama kali.

Sebanyak 131 orangutan telah dilepasliarkan sampai dengan akhir Januari 2015:

• 11 kasus kematian terkonfirmasi atau dugaan di tahun pertama pelepasliaran: tingkat keberhasilan maksimum 1 tahun sebesar 92%

• 1 tambahan kasus dugaan kematian di tahun pertama pelepasliaran: tingkat keberhasilan maksimum 2 tahun sebesar 91%

Sebanyak 82 orangutan telah bermukim selama 15 bulan atau lebih di hutan:

• 3 telah menerima makanan dan/atau bantuan medis dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. • 57 telah teramati secara visual atau

terekam sinyal radionya setelah melewati tahun pertama dan hidup mandiri: tingkat keberhasilan minimum 1 tahun sebesar 70%

• 3 dari 82 orangutan telah mati di tahun pertama pelepasliaran

• 19 tidak terlacak

Sebanyak 44 orangutan telah bermukim selama 28 bulan atau lebih di hutan:

• 25 teramati secara visual atau terekam sinyal radionya setelah melewati tahun kedua dan hidup mandiri: tingkat keberhasilan minimum 2 tahun sebesar 57%

• 2 dari 44 mati setelah dua tahun dilepasliarkan • 7 tidak terlacak

Di akhir Januari 2015, 57 dari 82 orangutan pertama yang dilepasliarkan telah mencapai titik batas awal (15 bulan). Sembilan belas orangutan tak terlacak. Seperti dijelaskan di atas, hal ini dapat disebabkan oleh (i) kematian yang diikuti kerusakan pemancar oleh hewan pemakan bangkai; (ii) kegagalan pemancar; (iii) orangutan menempati daerah yang sulit dideteksi, atau (iv) orangutan berpindah ke luar area pemantauan. Setiap penjelasan ini bisa berlaku untuk seluruh kasus orangutan yang tidak terdeteksi. Untuk mengalkulasi tingkat keberhasilan minimum dan maksimum kami menggunakan dua titik kemungkinan paling ekstrim untuk menghitung range atau rentang, yaitu apakah mereka semua mati (tingkat keberhasilan minimum) atau semua bertahan hidup namun tetap tidak terdeteksi (tingkat keberhasilan maksimum). Oleh karena itu, kami kini menyatakan bahwa tingkat keberhasilan 1 tahun berkisar antara 70% dan 92%. Kalkulasi yang sama untuk periode 2 tahun adalah 57-91%.

(11)

Tingkat keberhasilan minimum yang dilaporkan

Tanjung Puting 38% dari 26 individual setelah 2 tahun (19% kematian)

Sepilok 40% dari 80 setelah 25 tahun Na

Sungai Wain 45% dari 82 setelah 3 tahun Na

Batikap 57% dari 44 setelah 2 tahun (5% kematian)

Bohorok, Sumatra 62% dari 74 setelah 4 tahun (14% kematian)

Bukit Tigapuluh, Sumatra 70% dari 47 setelah 3 tahun na

Batikap 70% dari 82 setelah 1 tahun (4% kematian)

Tingkat keberhasilan maksimum yang dilaporkan

Ketambe, Sumatra 58% dari 31 setelah 3 tahun (42% kematian)

Tanjung Puting 80% dari 162 setelah 25 tahun (20% kematian)

Meratus 80% dari 407setelah 10 tahun (20% kematian)

Sungai Wain 80% dari 82 setelah 8 tahun (20% kematian)

Bohorok, Sumatra 81% dari 176 setelah 23 tahun (19% kematian)

Sungai Wain 90% dari 10 setelah 1 tahun (10% kematian)

Batikap 92% dari 131 setelah 3 tahun (8% kematian)

Sungai Wain 95% dari 40 setelah 3 tahun (5% kematian)

Bukit Tigapuluh, Sumatra 100% dari 70 setelah 5 tahun (0% kematian) Tabel 6 – Hasil komparatif dari program pelepasliaran orangutan lain (data dari tabel 1 oleh Russon, 2009)

INTERVENSI

Sejak awal proyek kami telah melakukan intervensi dalam 7 kasus bagi orangutan yang membutuhkan perawatan atau malnutrisi. Dalam 4 kasus kami memberikan mereka makanan dan pengobatan di lapangan dan kembali pantau sampai mereka sepenuhnya pulih. Dalam 3 kasus kami membawa orangutan ke kamp untuk observasi, dua lantas dilepaskan kembali dan satu lainnya mati akibat penyakit yang diderita. Salah satu orangutan membutuhkan perawatan tambahan, sehingga kami perlu memindahkan satu kandang dari Nyaru Menteng ke Batikap dan memasangnya di dekat kamp. Hal ini memberikan kesempatan bagi kami untuk memantau kondisinya sepanjang waktu, sekaligus memberikan lingkungan yang aman baginya. Ada dua kasus lain saat kami merasa perlu melakukan campur tangan, namun setelah pengamatan intensif, kami putuskan untuk melepaskan satu kasus, sementara di kasus lain, kami kehilangan kontak dengan orangutan terkait.

Alasan lain perlunya intervensi adalah memindahkan individu yang dianggap mengganggu. Satu orangutan jantan dilaporkan oleh peladang lokal, jadi kami kembali memindahkannya ke tempat awal dilepasliarkan. Tiga individu lain memberikan masalah di kamp kami dan kami pindahkan mereka ke lokasi yang lebih jauh. Dua dari mereka akhirnya mati akibat penyakit dan satu lagi tak terlacak. Kemungkinannya, translokasi ini, meskipun perlu, menghambat proses adaptasi mereka. Kini upaya translokasi menjadi pilihan akhir dan kami lebih memilih untuk menghalangi orangutan yang mengganggu kamp dan lingkungannya.

Sebanyak 7 kasus Intervensi akibat kondisi kesehatan

• 4 mendapatkan perawatan di lapangan dan sembuh

• 3 mendapatkan perawatan di kamp • 2 lepasliarkan kembali • 1 mati di kamp

Sebanyak 4 kasus translokasi bagi orangutan yang dianggap “mengganggu” ke wilayah Utara Batikap

• 2 orangutan akhirnya mati dan 1 tak terlacak sejak pemindahan; kebijakan translokasi saat ini tengah kami tinjau ulang.

Hasil jangka pendek ini nampak lebih baik dibanding proyek pelepasliaran sebelumnya (Tabel 6) kendati terdapat perbedaan dalam periode pengamatan dan teknik pemantauan yang membuat perbandingan ini tidak sederhana. Secara khusus, dalam setiap kasus yang dilaporkan dalam tabel berikut, makanan tambahan selalu disediakan bagi kebanyakan hewan pasca pelepasliaran.

(12)

Orangutan Tanggal Penyakit dan Tindakan Durasi Hasil

Jantan remaja Nov-2012

Seminggu setelah pelepasliaran, induk dan anak membangun sarang dan tidak pergi ke manapun selama beberapa hari. Kemungkinan gangguan kesehatan karena perubahan diet? Khawatir dengan kondisi si anak, kami memberikan makanan dan minum di 2 kesempatan

1 hari

Setelah pemberian makan kedua, orangutan pulih dan mulai bergerak bebas, dan tetap sehat sampai dua tahun sesudahnya

Betina dewasa dan anak

Agus-2013

Ditemukan dalam kondisi lemah di hutan. Setelah sehari pengamatan, dia dibawa ke kamp dan didiagnosa mengidap infeksi parasit Strongyloides akut dan airsacculitis (radang kantong udara). Ia diobati dan dioperasi ringan untuk menyembuhkan infeksi radang tersebut

1 minggu Mati akibat airsacculitis

Betina dewasa Nov-2013

Tubuh kurus, feses diuji dan ditemukan parasit Strongyloides. Diamati selama beberapa periode dan tak ditemukan bukti diet yang salah, berat badan akhirnya naik, dan tidak perlu perawatan medis

3 minggu

Pulih, kini sepenuhnya sehat. Induk mati 7 bulan setelahnya, sebab tak diketahui. Orangutan jantan ini kini berusia 5 tahun, masih dalam pengamatan

Jantan tak berbantalan

pipi

Nov-2013

Tubuh kurus, diamati di lapangan, banyak makan, belum sempat ada intervensi, hilang kontak

2 minggu Tidak lagi teramati, terkadang sinyal radionya diterima

Jantan berbantalan

pipi

Des-2013

10 minggu pasca pelepasliaran ia

ditemukan dalam kondisi lemah. Tes feses menunjukkan cacingan. Ia diberi makanan, vitamin, dan obat cacing

10 hari

Sembuh, tampak beberapa bulan kemudian di dekat kamp dan kelihatannya berpindah lokasi ke arah hilir sungai

Jantan tak berbantalan

pipi

Jan-2014

Jantan tiba di kamp dalam kondisi kurus dengan parasit Strongyloides dan luka terbuka. Ia diberikan makan, minum, serta obat anti parasit cacing

7 hari

Dipindahkan ke Monnu, Utara Batikap. Setahun kemudian muncul, kembali kurus, mengkhawatirkan, kini diobservasi

Betina dewasa Jan-2014

Ditemukan di tepi sungai dalam kondisi kurus, diberikan makan, minuman, dan vitamin

6 hari Pulih dan kembali menjelajah, tak tampak sejak 14 Mei

Betina dewasa Jun-2014

Ditemukan dalam kondisi kurus dan anaknya hilang, diperkirakan mati. Dibawa ke kamp, dipelihara di kandang dan diberikan makan, minum, pengobatan sampai pulih

13 hari

Dilepaskan kembali dan masih kerap tampak, adaptasi lebih baik sejak kembali dilepasliarkan, kondisinya baik

Jantan usia 2

tahun Jul-2014

Diperkirakan malaria, induk dibius, anaknya dites kesehatan, dikembalikan ke induk. Keduanya diberi makan dan pengobatan. Hasil tes negatif

6 hari Induk dan anak berada tidak jauh dari kamp, dalam kondisi sehat

Orangutan Tanggal Kegiatan dan Tindakan Durasi Hasil

Jantan remaja Ags-2012

Dilaporkan berada di sebuah ladang 20 km selatan tempat pelepasliaran, di 3 kesempatan berbeda, dan merusak panen. Ditangkap dan dilepaskan dekat kamp. Setelah 3 minggu jadi masalah dan dilepaskan kembali di Monnu

1 hari

Tidak terlihat setelahnya, namun sinyal kerap terlacak sampai Juni 2014

Betina dewasa dan anak

Mei-2013

Empat bulan setelah pelepasliaran mereka tiba di kamp dan secara teratur mencuri dari dapur kamp. Pasangan ibu dan anak ini ditangkap tanpa pembiusan dan dipindahkan ke Monnu

1 minggu

Terlihat di tepi sungai beberapa hari setelahnya, dan kemudian pindah ke pedalaman dan tidak ada lagi sinyal sejak Oct-2013

Betina dewasa Jul-2013

Datang ke kamp 4 bulan setelah

pelepasliaran, ditangkap tanpa pembiusan dan dipindahkan ke Monnu

3 minggu

Diperkirakan mati 4 bulan setelahnya karena sinyal terdeteksi di satu pohon sampai beberapa waktu lamanya

Jantan tak berbantalan

pipi

Jul-2014

Datang ke kamp 6 bulan setelah pelepasliaran, mencuri perbekalan, ditangkap dan dikembalikan ke titik pelepasliaran

2 minggu

Tampak sehat dan perilaku normal, namun mati 6 bulan kemudian, penyebab tidak diketahui

Tabel 8: Daftar intervensi untuk translokasi individu yang dianggap mengganggu Tabel 7: Daftar intervensi dalam bidang kesehatan

(13)

Kematian

Sebanyak 12 kasus kematian atau dugaan kematian • 7 mayat ditemukan

• 2 mati karena sebab alami • 2 mati karena luka tembak • 1 dugaan dibunuh

• 2 penyebab kematian tidak diketahui

• 5 dugaan mati berdasarkan bukti-bukti sekunder

Tingkat kematian alamiah orangutan liar diperkirakan berkisar antara 2-8% tergantung usia, dengan tingkat kematian lebih tinggi muncul di tahun pertama, setelah lepas dari induknya, dan setelah menginjak usia dewasa terutama pada jantan. Hal ini berarti bahwa dari setiap 100 orangutan yang kami lepasliarkan, sekitar 2 sampai 8 di antaranya mati setiap tahun karena sebab-sebab alami. Tentu program pelepasliaran ini perlu mengantisipasi tingkat kematian yang lebih tinggi mengingat latar belakang sejarah orangutan kami. Berdasarkan laporan, rata-rata kemampuan bertahan hidup bagi orangutan rehabilitan yang dilepasliarkan di usia remaja-menjelang dewasa berkisar antara 20-80% (Russon et al, 2009); jauh berbeda dengan populasi orangutan liar.

Kami telah menemukan empat bangkai orangutan yang kami duga mati karena sebab-sebab alami. Lima orangutan kami perkirakan mati berdasarkan bukti-bukti sekunder: dua bayi hilang, diduga mati, setelah induknya mati atau sakit; dua kasus sinyal terekam berulang-ulang dari lokasi tepi sungai yang sama selama beberapa waktu; dan satu laporan “anecdotal” mengenai satu jantan yang mati dari masyarakat setempat.

Pada bulan Agustus 2014 sekelompok pemburu dari provinsi Kalimantan Barat melintasi bentangan pegunungan yang memisahkannya dengan Kalimantan Tengah, dengan tujuan berburu rangkong dan mengambil paruhnya. Tampaknya orang-orang ini menembak mati dua orangutan jantan yang kami lepasliarkan karena dianggap berbahaya, dan kemungkinan satu individu betina lain. Hal ini mengingatkan kita semua bahwa ancaman terhadap keberadaan orangutan ada di seluruh pelosok Kalimantan dan hanya sedikit tempat yang benar-benar aman. Orangutan ditembak mati dan dibunuh setiap hari saat hutan tempat mereka tinggal dibabat dan hal ini mendorong mereka semakin dekat menuju konflik dengan manusia, peladang, dan pemilik perkebunan. Yayasan BOS bekerja

tanpa kenal lelah melindungi orangutan dan habitatnya, namun peran pemangku kepentingan semakin hari semakin diharapkan dalam melindungi habitat orangutan, mencegah konflik, dan membangun kesadaran akan manfaat pelestariannya.

Keamanan orangutan adalah hal yang sangat penting bagi Yayasan BOS dan Pemerintah Republik Indonesia, dan bekerjasama dengan badan pemerintah terkait yang bertanggung jawab atas perlindungan alam (SPORC dan BKSDA), kami mengadakan sebuah investigasi menyeluruh. Untuk menghindari munculnya ancaman potensial lebih jauh, kami melakukan patroli bersama pihak pemerintah di Batikap dan dalam proses untuk memperluas kegiatan edukasi dan pengembangan kesadaran masyarakat sampai ke komunitas yang tinggal di lokasi yang cukup jauh dari titik pelepasliaran. Patroli ini akan terus berlangsung sampai kita semua bisa menjamin masa depan perlindungan orangutan rilis.

Orangutan Usia Tanggal Waktu Sejak Rilis Penyebab

Jantan tak

berbantalan pipi 15 Mei-2013 6 bulan

Laporan masyarakat mengenai satu individu jantan agresif yang ditembak mati oleh kolektor sarang burung muncul bersamaan dengan hilangnya jantan ini yang kerap mendekati perkampungan. Hilang, diperkirakan mati

Jantan tak

berbantalan pipi 13 Sep-2013 7 bulan

Ditemukan dalam keadaan lemah, dibawa ke kamp didiagnosa infeksi parasit dan airsacculitis. Mati setelah 15 hari perawatan intensif

Betina dewasa 17 Nov-2013 9 bulan

Sinyal radio terus-menerus diterima dari satu lokasi berpusat di sebatang pohon, namun tidak bisa dipanjat. Diduga mati karena sebab-sebab yang tidak diketahui

Betina dewasa 18 Mei-2014 3 bulan Tengkorak, tulang, dan pemancar ditemukan. Sebab kematian tak diketahui

Bayi jantan 1 Mei-2014 3 bulan Anak dari betina dewasa di atas, tubuh tak ditemukan, hilang, diduga mati.

Bayi betina 3 Mei-2014 3 bulan

Induk ditemukan sakit, dibawa ke kamp untuk diobati. Tidak bersama anaknya, diperkirakan mati

Betina dewasa 19 Jul-2014 5 bulan Tengkorak, tulang, dan pemancar ditemukan. Sebab kematian tak diketahui

Betina dewasa 18 Jul-2014 20 bulan

Sinyal radio terus-menerus diterima dari satu lokasi, diperkirakan di tepi sungai, tapi tak ditemukan lokasinya. Anak usia 5 tahun ditemukan, tanpa induk. Diperkirakan mati karena sebab yang tak diketahui

Jantan

berbantalan pipi 18 Sep-2014 5 bulan

Ditembak orang tak dikenal, kemungkinan pemburu dari Kalimantan Barat. Jantan ini kerap menyerang manusia, dan pernah merusak mesin perahu motor

(14)

Jantan

berbantalan pipi 16 Sep-2014 5 bulan

Ditemukan dua hari setelah jantan di atas, diduga mati ditembak orang yang sama di hari yang sama

Betina dewasa 13 Sep-2014 5 bulan

Tengkorak dan bagian tubuh ditemukan di dekat jantan di atas. Tidak ada pemancar ditemukan untuk identifikasi, tapi diduga betina berusia 13 tahun yang sejak pelepasliaran tidak pernah ditemukan kembali. Sebab kematian tak diketahui, kemungkinan dibunuh masyarakat

Jantan tidak

berbantalan pipi 13 Jan-2015 11 bulan

Bangkai ditemukan di tepi sungai, tak diketahui sebab pasti kematian, dan hasil nekropsi tidak bisa menentukan. Dianggap mati karena sebab alami

Orangutan Age Date Time since release Cause

Interaksi Manusia-Orangutan

Di luar kasus penembakan yang disebutkan di atas, terdapat sejumlah kejadian orangutan muncul dan mengganggu kamp para pengumpul hasil hutan, kayu gaharu, nelayan, pemburu, dengan sejumlah besar di antaranya berasal dari Kalimantan Barat. Populasi desa Tumbang Tohan juga mencakup para pedatang dari berbagai pelosok Kalimantan, sebagian besar dari Kalimantan Barat, pernah mencapai 50% dari populasi. Sekitar separuh penduduk desa bergantung pada hasil ladang atau menjadi nelayan, sementara sisanya bergantung kepada hasil hutan, terutama kayu gaharu dan berburu. Dengan banyaknya orang berkeliaran di hutan, kemungkinan munculnya kontak antara manusia dengan orangutan tinggi. Dalam dua tahun terakhir, kami menerima 18 laporan gangguan yang disebabkan orangutan pada orang-orang.

Setiap laporan kami selidiki dan membuat data mengenai kerusakan yang ditimbulkan. Kami mengganti penuh semua kerusakan yang disebabkan orangutan.

Kedelapan belas kasus disebabkan hanya oleh delapan orangutan, empat betina (salah satu di antaranya penyebab 7 kasus) dan empat jantan (salah satu penyebab 3 kasus). Di banyak kasus (n=13) orangutan datang ke kamp dan mencuri makanan dan perbekalan, yang pada akhirnya kami ganti rugi. Empat kejadian jantan merusak perahu dan mesin motor tempel, juga kami ganti rugi. Kasus terakhir meliputi perusakan hasil pengumpulan kayu gaharu yang juga kami ganti rugi.

Kami mempekerjakan sejumlah karyawan baru yang ditempatkan di lapangan dengan tugas khusus: berinteraksi

dengan penduduk setempat dan pengguna hasil hutan, untuk meningkatkan kesadaran dan membangun hubungan baik dengan mereka, sekaligus melakukan patroli terpadu dengan aparat konservasi. Kami memahami bahwa masalah gangguan orangutan ini akan terus muncul, dan tidak keberatan untuk memberikan ganti rugi, karena tujuan utama kami adalah mencegah eskalasi masalah dan meningkatnya konflik antara manusia dengan orangutan.

(15)

Adaptasi Perilaku dan

Pelajaran yang Didapat

Sebagian besar orangutan yang kami lepasliarkan telah beradaptasi dengan baik dan hidup bebas di Batikap. Ketika kami menemukan orangutan melalui pelacakan radio, tim pemantauan kami mencatat data pola aktivitas dan diet mereka. Kami menggunakan data-data ini untuk (i) membandingkan dengan orangutan liar dari lokasi lain, untuk menentukan apakah orangutan rilis kami telah berlaku ‘normal’; (ii) membandingkan data sesama orangutan rilis, untuk mengetahui siapa yang beradaptasi lebih baik dan mencari tahu alasannya, berdasarkan catatan pra-pelepasliaran mereka; dan (iii) menggunakannya sebagai sistem peringatan dini untuk mengindentifikasi orangutan yang berpotensi ‘menimbulkan resiko’.

(16)

Tahap paling krusial dalam pelepasliaran dan adaptasi ada di beberapa bulan pertama, saat orangutan harus mencari sendiri makanannya. Orangutan liar biasanya akan menghabiskan waktu setengah hari untuk makan, karena makanan alami umumnya berkualitas rendah sehingga mereka harus makan dalam jumlah lebih banyak untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan. Sementara di Nyaru Menteng atau di pulau-pulau pra-pelepasliaran, orangutan disediakan makanan bergizi dua kali sehari membuat mereka menghabiskan waktu lebih sedikit untuk makan, dan memberi kesempatan untuk lebih banyak bersosialisasi, bermain, dan beristirahat.

Kami sebelumnya melaporkan bahwa waktu yang orangutan gunakan untuk makan di bulan-bulan pertama pasca pelepasliaran sangat sedikit, namun meningkat setiap bulannya sampai pada bulan keempat, dengan waktu istirahat menurun di periode yang sama. Kami berkesimpulan bahwa proses awal dari reorientasi perilaku dari kondisi di dalam kandang ke kondisi hidup bebas membutuhkan waktu sekitar 3 bulan, dengan profil aktivitas relatif ‘normal’ mulai terekam di bulan keempat. Kami mengulangi analisa pada 10 orangutan betina yang secara reguler diamati di antara Februari 2013 dan Februari 2014, dengan hasil dijabarkan dalam Grafik 1.

Pola Aktivitas

Pola serupa juga dijumpai dalam hasil-hasil

pelepasliaran kami terdahulu, dengan proses adaptasi rata-rata memakan waktu 2-3 bulan, sebelum porsi aktivitas normal mulai terekam dari bulan 3 dan seterusnya. Setelah titik ini, waktu makan per hari bertahan di kisaran 40% dan 65% dari periode aktif, namun nilai ini sangat terpengaruh pada ketersediaan buah-buahan.

Pergeseran pola aktivitas di titik bulan ketiga ini kemungkinan muncul akibat dorongan rasa lapar, saat mereka menyadari tak ada lagi makanan disediakan, dan mereka harus mencari sendiri. Berbeda dengan proyek pelepasliaran orangutan lainnya, kami memilih untuk tidak lagi memberikan makanan tambahan dalam periode ini. Keputusan ini kami ambil untuk mendorong kemampuan menjelajah dan kemandirian orangutan supaya optimal, namun juga didasarkan pada alasan-alasan praktis dan tingginya biaya hidup di tempat terpencil seperti Batikap. Kami mengakui bahwa beberapa skenario, penyediaan makanan dibutuhkan, dalam 3 kasus di Batikap saat kami berikan makanan tambahan bagi orangutan rilis, ternyata mereka sangat terbantu karenanya.

Datangnya kesadaran bahwa mereka harus mencari makan secara mandiri adalah tahap kritis pertama yang kami identifikasi dalam proses pelepasliaran, dan kemampuan orangutan melakukan hal ini sangat tergantung pada (a) pelatihan yang kami berikan saat rehabilitasi di Nyaru Menteng, (b) kecerdasan alami dan kemampuan memecahkan persoalan masing-masing individu, dan (c) keberanian orangutan untuk mencoba makanan baru. Umumnya mereka akan berada dalam kondisi lapar dan lemah daripada normal pada titik 3 bulan ini, dan hal ini bisa memengaruhi kemampuan pengambilan keputusan mereka, bahkan kemampuan mencari makan secara mandiri. Kendati sebagian besar orangutan berhasil melalui tahap ini, ada sebagian kecil yang tidak. Kami hadirkan penelitian tentang 3 kasus untuk menunjukkan konsekuensi dampaknya.

Grafik 2. A-D. Profil aktivitas dari 4 orangutan rehabilitan setelah tahun pertama pelepasliaran mereka. A: Betina dewasa, profil normal, tanpa campur tangan; B: Betina dewasa, makanan disediakan di bulan 5; C: Jantan tak berbantalan pipi, mati

bulan 12; D. Betina dewasa, ditranslokasi bulan 6, mati bulan 9. Grafik 1. Profil aktivitas dari 10 orangutan rilis berkelamin betina selama setahun pertama pasca pelepasliaran (rata-rata

nilai individu, ukuran data minimum 50 jam/orangutan, 3 jam setiap pengamatan)

A

B

C

D

Bulan pasca pelepasliaran

Bulan pasca pelepasliaran Bulan pasca pelepasliaran

Bulan pasca pelepasliaran Bulan pasca pelepasliaran

(17)

Betina dewasa dengan anak

Ini adalah profil kegiatan yang tidak terduga bagi

orangutan rehabilitan yang setelah pelepasliaran sanggup beradaptasi sepenuhnya dengan kehidupan mandiri di Batikap. Setelah 2 bulan kekurangan makanan, ia menunjukkan perilaku normal di bulan ketiga dan terus hidup mandiri sesudahnya.

Studi Kasus 1: Betina dewasa dengan anak

Betina ini dilepasliarkan pada Februari 2014, namun baru kembali ditemukan di bulan Mei. Ia ditemukan dalam kondisi sangat kurus, dan anaknya hilang. Ia dibawa ke kamp untuk perawatan, diberi makan dan pengobatan sebelum akhirnya dilepaskan kembali. Dari kondisi kesehatan dan data perilakunya kami berkesimpulan ia tidak cukup mendapat makan. Tampaknya kombinasi dari kelaparan, lingkungan baru yang asing, dan keberadaan anak yang masih sangat muda mempersulit induk untuk mencari makan, membuatnya kelelahan, berat badan turun, dan akhirnya kondisi inilah yang membunuh anaknya. Setelah dirawat, ia kami lepaskan kembali dan kami amati. Kendati tidak ada perubahan yang mendadak dalam perilakunya, laporan lapangan menyatakan ia mampu beradaptasi. Lima bulan kemudian ia berhasil meningkatkan kemampuan mencari makannya sampai ke tingkat normal dan tim pemantauan kami melaporkan kondisi yang sudah jauh membaik serta kebersamaannya dengan satu individu jantan.

Studi Kasus 2: Jantan tidak berbantalan pipi

Jantan ini juga dilepasliarkan pada bulan Februari 2014, dan diamati setidaknya sebulan sekali sejak pelepasliarannya. Saat kami kumpulkan data perilaku, tampak bahwa ia tidak cukup makan, namun kami mengalami kesulitan menerjemahkan data banyaknya

waktu yang ia habiskan bersama pengamat atau orangutan lain – tampak dari tingginya komponen ‘lainnya’ dalam porsi aktivitasnya. Hal ini menegaskan satu masalah pemantauan orangutan eks-rehabilitasi, akan sangat sulit menentukan perilaku sejati mereka, apabila setiap kali ada pemantau datang, mereka justru berhenti melakukan kegiatan dan mendekati pemantau. Karenanya di banyak kasus kami justru memilih untuk sekadar memeriksa kondisi mereka dan segera meninggalkan mereka.

Selama bulan Juni dan Juli ia menjadi pengganggu di kamp, mengacak-acak perbekalan, dan ditangkap lalu direlokasi ke Monnu, Utara Batikap. Kami melanjutkan memantaunya secara teratur sampai akhirnya bangkainya ditemukan di tepi sungai, hanya 10 hari setelah terakhir kami mengikutinya. Ia tak pernah tampak sakit saat kami pantau, namun selama itu pula dia tak pernah terpantau tengah makan, sehingga besar kemungkinan ia mati karena malnutrisi.

Studi Kasus 3: Betina dewasa

Betina ini dilepasliarkan dua tahun yang lalu, dan setelah beberapa bulan pertama setelah ia tidak makan terlalu banyak, seperti diduga, ia tampak mulai beradaptasi dengan baik dan di bulan ke-6 kami merasa ia akan berhasil hidup bebas di alam. Saat itu ia muncul di kamp kami, jadi kami kandangkan dan dilepaskan kembali. Sehari kemudian ia menempuh jarak sekitar 2 km kembali ke kamp kami dan jelas ia tidak mau pergi dari situ. Kami kembali menangkap ia dan dilepaskan kembali di Monnu, 10 km jauhnya. Ini adalah saat terakhir kami melihatnya hidup, tiga bulan kemudian ia ditetapkan mati karena sinyal radionya ditemukan terpancar berulang kali dari sebatang pohon di tepi sungai, kendati kami belum mampu mengambil bangkainya.

Kemungkinan besar upaya translokasi justru mengganggu proses adaptasinya. Ia tengah berusaha menentukan wilayah dan setelah merasa familier dengan pohon-pohon yang ada, dan memindahkannya berarti membuat ia harus memulai segalanya kembali dari awal. Hal ini ditambah dengan jumlah orangutan yang telah kami lepasliarkan di daerah tempatnya direlokasi, kemungkinan hal ini membatasi ruang geraknya terutama untuk mencari makan. Konflik antar orangutan betina jarang dilaporkan, meski begitu secara hipotesis (passive resource-exclusion) bisa saja terjadi, kendati mekanismenya masih belum diketahui pasti. Ada kemungkinan bahwa orangutan betina berada di tempat asing akan membatasi diri dalam mencari pakan alami karena sumber daya di situ telah ‘dimiliki’ betina lain sekaligus untuk menghindari konfrontasi, atau bisa saja ada sejenis ‘peraturan tak tertulis’ untuk tidak melanggar wilayah individu lain. Ini semua baru hipotesis, namun hal ini didukung oleh sejumlah bukti berupa cerita-cerita dari daerah lain.

Sebagai dampaknya, kami mengembangkan kebijakan translokasi yang lebih ketat terutama bagi betina, untuk (i) mencegah akses kembali ke kamp sebagai prioritas utama, (ii) apabila translokasi diperlukan, kembali ke titik pelepasliaran awal, (iii) apabila translokasi ke tempat baru diperlukan, pilih lokasi tanpa individu betina lain.

Kami tidak bisa memastikan apakah hal ini yang terjadi dalam kasus individu betina di atas atau tidak. Penyebab kematian bisa saja akibat kelaparan dan malnutrisi, atau digigit ular, atau ia mengonsumsi sesuatu yang beracun, hal yang umum terjadi dalam banyak kasus.

(18)

Diet

Orangutan dalam pusat rehabilitasi diberi makan buah berkualitas tinggi dengan sayur-sayuran untuk menyeimbangkan dietnya. Di alam liar, buah lembut berkualitas tinggi sulit ditemukan dan hanya tersedia di musimnya, membuat orangutan liar harus banyak mengonsumsi buah berkualitas rendah untuk bertahan hidup. Sebagai tambahan, mereka juga harus mampu mengidentifikasi dan makan makanan pengganti non-buah yang tersedia sepanjang tahun dan menjadi sumber makanan utama selama periode ‘paceklik buah’. Rayap dan berbagai invertebrata, kambium dan sari dari kulit dan batang pohon, serta daun adalah makanan pengganti yang dikonsumsi sepanjang tahun untuk membantu pencernaan, menetralisir asam, dan berbagai manfaat kesehatan lain dalam diet yang seimbang. Kami sangat puas melihat orangutan yang kami lepasliarkan telah memilih beragam diet sejak awal. Profil diet dari 18 orangutan yang kami lepasliarkan dengan lebih dari 50 pengamatan saat orangutan makan tercantum di Grafik 3 di bawah. Satu yang membangkitkan keingintahuan adalah jumlah sari tumbuhan dalam diet, utamanya batang rotan dan jenis palem lain. Hal ini berlaku pada lebih dari 15% pengamatan waktu makan sejak awal dimulainya proyek ini, dan bertahan secara konsisten. Ini adalah makanan berkualitas tinggi, namun kerap dianggap tidak penting dalam diet orangutan.

Kami telah mencatat 285 spesies tanaman yang berbeda dalam diet orangutan rilis, dan lebih dari 400 jenis makanan yang berbeda (buah dan daun dari spesies tanaman yang sama dianggap dua jenis makanan yang berbeda). Ragam tanaman terbanyak yang tercatat dimakan oleh satu individu orangutan di Batikap adalah 96 (110 jenis makanan) dan kami perkirakan jumlah jenis makanan dalam diet mereka akan bertambah apabila pengamatan dilanjutkan (Grafik 4). Batikap sangat musiman, dan dengan kombinasi data dari berbagai individu yang diamati dalam rentang tahun

Grafik 3: Profil diet 18 orangutan rilis dalam 50 jam pengamatan waktu makan atau lebih. Jantan rehabilitan dalam diagram ini diberikan makanan tambahan.

Grafik 4: Jumlah tipe makanan yang dikonsumsi 30 individu dengan minimal pengamatan 20 jam waktu makan. Semakin banyak jam pengamatan waktu makan, semakin beragam diet yang tercatat. yang berbeda, dengan musim buah yang juga berbeda,

menyulitkan kami untuk memperoleh data diet penuh dari satu individu orangutan saja.

Daftar spesies tanaman konsumsi ini melulu berdasarkan identifikasi lapangan, mengingat pencatatan taksonomi secara lengkap belum dapat kami selesaikan, dan karenanya bisa menjadi penyebab masalah lain, seperti misalnya nama yang berbeda untuk satu spesies yang sama, atau satu nama lokal untuk beberapa spesies. Bagaimanapun, data ini mencatat jumlah yang besar, lebih besar daripada yang pernah tercatat dalam populasi orangutan liar, dan hal ini menunjukkan kekayaan keanekaragaman hayati di Batikap sekaligus upaya pencarian makanan alami dengan cara trial-and-error oleh para orangutan rilis, seperti yang diungkapkan oleh Russon et al. (2009). Umumnya, induk akan mengajari anak mereka makanan mana yang bisa dikonsumsi dan mana yang tidak, namun di hutan ini, semuanya baru bagi orangutan rilis. Agar bisa bertahan hidup mereka harus makan buah dan daun liar, karenanya mereka harus mencoba semua. Kebanyakan tanaman bisa dimakan, namun beberapa tidak terasa enak, beberapa bahkan beracun.

Ini adalah tahap kritis kedua dalam proses pelepasliaran, bertahan hidup melalui proses coba-coba memilih makanan. Mengonsumsi buah atau jamur beracun terlalu banyak akan membunuh mereka. Kami kerap menemukan kejadian orangutan bertahan di sarang selama dua-tiga hari, kami duga disebabkan keracunan makanan tingkat ringan. Mereka umumnya bisa sembuh, namun ini bisa menjadi alasan kematian satu atau lebih individu orangutan. Kami tidak bisa mengajarkan mereka hal ini, karenanya hanya bisa menyerahkannya kepada mereka dan berharap mereka beruntung dapat bertahan hidup sehingga mereka bisa belajar dari pengalaman.

(19)

Referensi yang digunakan dalam tulisan ini:

Russon, A.E. (2009). Orangutan rehabilitation and reintroduction. In: Wich, S.A., Utami Atmoko, S.S., Mitra Setia, T. and van Schaik, C.P. (eds.) Orangutans: Geographic variation in behavioral ecology and conservation. Oxford University Press, Oxford, UK.

Russon, A.E., Wich, S.A., Ancrenaz, M., Kanamori, T., Knott, C.D. et al. (2009). Geographic variation in orangutan diets. In: Wich, S.A., Utami Atmoko, S.S., Mitra Setia, T. and van Schaik, C.P. (eds.) Orangutans: Geographic variation in behavioral ecology and conservation. Oxford University Press, Oxford, UK. Kami senang akhirnya dapat berbagi perkembangan terkini

dari proyek pelepasliaran orangutan di Batikap yang telah memasuki tahun ketiga, dengan harapan catatan keberhasilan dan kegagalan kami ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Kami menyusun laporan ini dengan fokus pada tantangan yang dihadapi yaitu adanya orangutan yang gagal bertahan hidup di alam liar, dan pelajaran yang dapat kami petik, sehingga kami dapat terus memperbaiki praktik-praktik pelepasliaran dan mencegah terjadinya kembali situasi kegagalan di masa mendatang. Kami masih merehabilitasi lebih dari 500 orangutan di Nyaru Menteng yang semuanya sangat tergantung kepada pengasuh yang harus selalu mengambil keputusan terbaik bagi mereka. Ini adalah tujuan utama dari program pemantauan pasca pelepasliaran kami yang terus berupaya menyediakan data yang sangat berharga. Dalam laporan kami berikut kami akan terus menggali lebih dalam hasil pemantauan tersebut dan menilai bagimana latar belakang dan sejarah kehidupan

masing-Kesimpulan

masing orangutan bisa berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi dan bertahan hidup. Masing-masing individu adalah unik dan faktor-faktor penentu keberhasilan atau kegagalan mereka bisa sangat rumit dengan sejumlah isu terkait etika yang juga perlu dipertimbangkan.

Ringkasnya, keberhasilan di Batikap berperan sangat penting dan kami berhasil meraih apa yang kami targetkan sejak awal. Kami bertujuan untuk secara sukses melepasliarkan orangutan eks-peliharaan atau eks-tangkapan untuk membentuk populasi baru yang aktif, dan proyek ini jelas memenuhi hal itu. Seratus tiga puluh satu orangutan yang dilepasliarkan di Batikap adalah pembentuk dari populasi ini, dan bayi-bayi yang lahir dan dibesarkan di sana adalah bukti bahwa bagi mayoritas orangutan hasil pelepasliaran, transisi kehidupan di Nyaru Menteng ke alam liar berhasil terlaksana dengan mulus.

Tarzan, salah satu dari empat orangutan pertama yang kami lepasliarakan tiga tahun lalu, kini dalam keadaan sehat, jantan yang dominan, dan menjadi ayah dari beberapa bayi orangutan di Batikap, sebagai bukti nyata keberhasilan proyek

(20)

Borneo Orangutan

Survival Foundation

Jalan Papandayan 10, Bogor 16151 West Java, INDONESIA

P: +62 251 8314468 | F: +62 251 8323142

Referensi

Dokumen terkait

Plastik, linoleum, venyl atau melamin sering digunakan untuk lapisan atau pembungkus suatu alat yang sifatnya melindungi dari benturan dan panas. Alat yang berkualitas baik

Dari hasil penelitian tingkat kesulitan yang ada secara keseluruhan pada evaluasi input, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kesulitan penerapan

c) Unsur-unsur lainnya memenuhi syarat baku air baku sesuai Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2000 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Bu hali bulanların sonsuz lezzetini Allah-ü Teâla şöyle anlatır: - «Cennete gidenler, orada ebedî kalırlar.» (Araf, 42) Yine buyurur:. - «Allah sabredenlerle biledir.»

Hal ini perlu dikaji mengingat dalam konsep pengendalian hama terpadu (PHT) pengkajian dan pemanfaatan musuh alami hama yang menyerang tanaman budidaya sangat dianjurkan

keluar dari dalam reaktor ke wadah penampung sisa reaksi, oleh karena itu biogas yang terbentuk dapat diukur dengan mengukur jumlah bahan sisa reaksi yang

Informasi yang terdapat dalam publikasi ini kualitasnya tergantung dari ketersediaan data di masing-masing Dinas/UPT yang berada di Wilayah Kecamatan Kalanganyar dan aparat