• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Aspek Diksi Dalam Antologi Geguritan Guritan Oleh Suripan Sadi Hutomo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Aspek Diksi Dalam Antologi Geguritan Guritan Oleh Suripan Sadi Hutomo"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 26

Analisis Aspek Diksi Dalam Antologi Geguritan “Guritan”

Oleh Suripan Sadi Hutomo

Oleh: Vivi Kusumawati

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

kusumawativivi19@yahoo.com

mailto:fenia228@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan: 1) mendeskripsikan bunyi bahasa yang terdapat dalam diksi yang digunakan dalam Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo dan 2) mendeskripsikan struktur leksikal yang terdapat dalam diksi yang digunakan dalam Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penggunaan diksi dalam Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo. 1) Bunyi bahasa atau repetisi meliputi: (a) repetisi epizeuksis (12), (b) repetisi tautotes (6), (c)

repetisi anafora (37), (d) repetisi epistrofa (4), (e) repetisi simploke (1), (f) repetisi mesodiplosis

(21), (g) repetisi epanalepsis (4), (h) repetisi anadiplosis (4), dan (i) repetisi utuh/ penuh (2). 2) Struktur leksikal meliputi: (a) hiponimi (5), (b) antonimi (oposisi makna) yang dibagi menjadi enam yaitu (1) oposisi kembar (4), (2) oposisi majemuk (2), (3) oposisi gradual (6), (4) oposisi relasional (kebalikan) (9), (5) oposisi hirarkis (2), dan (6) oposisi inversi (1).

Kata kunci : diksi, Antologi Geguritan Pendahuluan

Bahasa merupakan sarana penting dalam berkomunikasi antarmanusia baik dalam berinteraksi maupun bersosialisasi. Manusia memerlukan sarana dalam berkomunikasi untuk mengungkapkan ide, pikiran, gagasan, maksud, realitas, serta hal lainnya kepada orang lain sehingga orang yang diajak berkomunikasi memahami apa yang disampaikan. Sumarlam (2010: 10) membedakan sarana komunikasi menjadi dua macam, yaitu (1) sarana komunikasi berupa bahasa lisan dan (2) sarana komunikasi berupa bahasa tulis. Dari definisi tersebut Sumarlam juga menerangkan wacana atau tuturan juga dibagi menjadi dua macam yaitu wacana lisan dan wacana tulis.

Wacana tulis sebagai wacana yang disampaikan dalam bahasa tertulis atau media tulis yang diuraikan melalui rangkaian kata-kata, frasa, kalimat, bait maupun paragraf yang kemudian menjadi suatu keutuhan wacana. Dalam wacana tulis terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembaca. Seorang pembaca (komunikan/ pesapa) perlu membaca terlebih dahulu supaya dapat memahami isi wacana secara menyeluruh karena mengandung norma-norma yang agung, amanat

(2)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 27

yang membangun, serta bahasa yang indah. Selain itu, diperlukan juga pengetahuan akan diksi (pilihan kata) dan aliran atau paham dalam seni, khususnya seni sastra yang salah satunya puisi (puisi Jawa modern atau geguritan).

Dalam geguritan akan ditemukan bahasa indah yang diciptakan oleh pengarang. Bahasa indah ini menjadi salah satu daya tarik pembaca untuk menikmati sebuah karya sastra. Wujud bahasa yang indah dituangkan pengarang melalui diksi (pilihan kata) karena merupakan unsur yang sangat penting sebab tidak hanya mempersoalkan pilihan kata secara tepat dan sesuai, melainkan meliputi gaya bahasa dan ungkapannya. Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang bertujuan untuk mengutarakan maksud yang ingin disampaikan dengan menggunakan bahasa secara tidak langsung karena tanpa adanya gaya bahasa, maka geguritan tersebut akan hilang estetika atau keindahannya. Selain itu, bunyi bahasa berpengaruh terhadap diksi (pilihan kata) seperti repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, dan repetisi utuh/ penuh yang menjadi salah satu wujud bahasa yang indah. Begitu pula dengan struktur leksikal. Struktur leksikal juga berpengaruh terhadap diksi (pilihan kata) seperti sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, dan hiponimi yang terdapat dalam sebuah rangkaian kata-kata, frasa maupun kalimat yang dapat mempengaruhi para pembaca untuk menentukan hubungan antara kata satu dengan kata yang lainnya yang dimiliki pada sebuah karya sastra.

Salah satu Antologi Geguritan yang dijadikan penelitian mengenai diksi (pilihan kata), yaitu Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo terbitan tahun 1985. Dalam Antologi Geguritan ini mempunyai nilai keindahan (bersifat estetik) salah satunya aspek bunyi, sehingga penulis perlu mengkaji lebih dalam yaitu dengan analisis terhadap gaya bahasa sebagai upaya untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan menggunakan bahasa kiasan. Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo juga menggunakan pemilihan kata (diksi) yang tepat dan sesuai yang disusun dengan cara sedemikian rupa sehingga menghasilkan syair yang indah. Oleh karena itu, penulis melakukan kajian lebih dalam yaitu analisis terhadap pemilihan kata (diksi) dalam Antologi Geguritan

(3)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 28

tersebut. Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo tidak hanya memperhatikan aspek bunyi, akan tetapi juga memperhatikan aspek makna. Namun, makna yang terkandung di dalamnya masih dijelaskan secara tersirat oleh si pengarang sehingga diperlukan kajian lebih dalam terhadap makna agar mudah memahami arti, nilai-nilai, pesan atau amanat serta agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam isi geguritan tersebut.

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah penulis ingin mengetahui lebih dalam terhadap bunyi bahasa dan struktur leksikal yang terdapat pada diksi (pilihan kata) yang digunakan dalam Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo. Penggunaan diksi (pilihan kata) dalam Antologi Geguritan“Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo menciptakan makna estetis (keindahan) dalam setiap judul geguritannya. Di samping itu, dalam Antologi Geguritan tersebut juga mengandung tema dan pesan yang dapat diambil nilai-nilai positifnya dan direalisasikan oleh pembaca dalam kehidupan sehari-hari sehingga menarik untuk diteliti. Maka dari itu, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Aspek Diksi dalam Antologi Geguritan‘Guritan’ yang Disusun oleh Suripan Sadi Hutomo”.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah kumpulan geguritan dalam buku Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo penerbit PN Balai Pustaka (Jakarta) pada tahun 1985 dengan jumlah halaman 323 dan 115 jumlah geguritan. Data sekunder adalah berupa buku-buku acuan yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Data dalam penelitian ini berupa diksi yang terdapat dalam kata/ frasa, baris/ kalimat, klausa serta ungkapan dalam setiap bait pada Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo. Teknik pengumpulan data digunakan teknik pustaka atau metode kepustakaan dan teknik catat. Instrumen penelitian adalah penulis sebagai instrumen utama dan instrumen pembantu berupa kartu pencatat data (tabel), buku-buku yang relevan seperti buku-buku tentang sastra yang membantu dalam penyusunan penelitian, serta alat tulis lainnya. Analisis data menggunakan dua cara analisis

(4)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 29

(deskriptif dan kualitatif). Teknik penyajian hasil analisis data yang digunakan adalah teknik informal.

Hasil Penelitian

1. Bunyi Bahasa dalam Diksi a. Repetisi Epizeuksis

Kutipan: “Endi sing mesthi dipulas ireng endi sing dipulas abang”

(“Prabéda”, bait 4 baris 6, AGG: 195) ‘Mana yang harus diwarnai hitam mana yang diwarnai merah’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi epizeuksis sebab diulang dua kali secara berturut-turut dalam sebuah baris atau kalimat untuk menekankan pentingnya frasa. Maksud kutipan tersebut pengarang mengalami kebingungan memberikan warna dengan didukung sebuah pertanyaan pilihan warna antara hitam dan merah.

b. Repetisi Tautotes

Kutipan: “DAK-tunjemaké pangrasa-Ku ing sajroning pangrasa-Né DAK-tandur jiwa-Ku ing sajroning jiwa-Né

DAK-pepetri tresna-Ku ing sajroning tresna-Né DAK-tancepaké nikmat-Ku ing sajroning nikmat-E

DAK-rasakaké wengi-wengi-Ku ing sajroning wengi-wengi-Né DAK-pasrahaké kabèh kang ana ing KU ing sajroning kabèh kang ana ing NE”

(“Aku lan Dhèwèké”, bait 4 baris 1-6, AGG: 219) ‘KUtancapkan perasaanKu di dalam perasaanNya

KUtanamkan jiwaKu di dalam jiwaNya KUrawat cintaKu di dalam cintaNya

KUtancapkan nikmatKu di dalam nikmatNya

KUrasakan malam-malamKu di dalam malam-malamNya

KUpasrahkan semua yang ada di KU di dalam semua yang ada di diriNya’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi tautotes sebab diulang dua kali secara berturut-turut dalam masing-masing sebuah konstruksi. Maksud kutipan tersebut si aku (laki-laki) tokoh utama memberikan sesuatu kepada seorang perempuan mengenai perasaan, jiwa, cinta, nikmat, malam-malam, dan semua yang ada pada dirinya.

(5)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 30

c. Repetisi Anafora

Kutipan: “Ana kalané ing jumantara Ana wektuné ing dhuwur bumi”

(“Jinantra Donya”, bait 1 baris 3-4, AGG: 41) ‘Ada kalanya di langit

Ada waktunya di atas bumi’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi anafora sebab terjadi perulangan kata pada awal barisan atau kalimat yaitu pada baris pertama dan baris kedua. Maksud kutipan tersebut kehidupan di dunia akan terus berputar, ada kalanya kita berada di atas dan ada kalanya pula kita berada di bawah.

d. Repetisi Epistrofa

Kutipan: “Lan aku ora nyembah kaya caramu manembah Lan kowé ora nyembah kaya caraku manembah”

(“Wong-Wong Kapir”, bait 1 baris 4-5, AGG: 200) ‘Dan aku tidak menyembah seperti caramu menyembah

Dan kamu tidak menyembah seperti caraku menyembah

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi epistrofa sebab terjadi perulangan kata pada akhir barisan atau kalimat yaitu pada baris pertama dan baris kedua. Maksud kutipan tersebut orang-orang kafir atau orang yang mendurharkai suatu agama memiliki cara berbeda perihal menyembah atau beribadah kepada Alah Swt. dan itu tidak seperti dengan apa yang kita lakukan.

e. Repetisi Simploke

Kutipan: Ana nyonya tuwa, clathuné: “Aku lara mata. Lara sing banget nganyelaké.”

Ana ibu mudha, clathuné: “Aku lara untu. Lara sing banget nganyelaké.”

Ana taruna bagus, clathuné: “Aku watuk pilek. Lara sing banget nganyelaké.”

(“Ing Rumah Sakit”, bait 1 baris 1-3, AGG: 302) ‘Ada nyonya tua, jawabannya: “Saya sakit mata. Sakit yang sangat menjengkelkan.”

Ada ibu muda, jawabannya: “Saya sakit gigi. Sakit yang sangat menjengkelkan.”

(6)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 31

Ada pemuda tampan, jawabannya: “Saya batuk pilek. Sakit yang sangat menjengkelkan.”

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi simploke sebab terjadi perulangan kata/ klausa pada awal dan akhir barisan atau kalimat yaitu pada baris pertama sampai keempat. Maksud kutipan tersebut di sebuah rumah sakit ada nyonya tua yang mengeluh sakit mata, ibu muda yang mengeluh sakit gigi, pemuda tampan yang mengeluh batuk pilek, dan si miskin sakit borok (di kepala) namun merasa dirinya sehat sendiri, dan sakit yang mereka rasakan itu sangat menjengkelkan baginya.

f. Repetisi Mesodiplosis

Kutipan: “Ginelar ing kandha sarwa tètèh Murih gampang katampa ing akèh”

(“Kawruh”, bait 4 baris 1-2, AGG: 32) ‘Menggelar di percakapan serba lancar

Supaya mudah diterima di banyak’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi mesodiplosis sebab terjadi perulangan kata pada tengah-tengah barisan atau kalimat yaitu pada baris pertama dan baris kedua. Maksud kutipan tersebut ilmu pengetahuan diperoleh dari sebuah komunikasi/ percakapan yang lancar dengan memiliki banyak pemahaman dan cara bicara yang tepat sehingga mudah diterima oleh banyak orang.

g. Repetisi Epanalepsis

Kutipan: “Nétra ketemu nétra Yayah, ah, yayah”

(“Omah”, bait 7 baris 3-4, AGG: 186) ‘Mata bertemu mata

Yayah, ah, yayah

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi epanalepsis sebab terjadi perulangan kata pada akhir barisan atau kalimat yang merupakan perulangan kata yang sama pada awal baris pertama dan kedua. Maksud kutipan tersebut anak menjelaskan kepada ayahnya untuk saling bertatap muka.

(7)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 32

h. Repetisi Anadiplosis

Kutipan: “Tumuruné saka bapak Bapak saka simbah ayakè”

(“Pusaka”, bait 1 baris 2-3, AGG: 83) ‘Keturunan dari ayah

Ayah dari simbah (kakek/ nenek) sepertinya’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi anadiplosis sebabterjadi perulangan kata pada akhir baris atau kalimat pertama menjadi kata pertama pada baris atau kalimat kedua. Maksud kutipan tersebut pusaka atau senjata (keris) diperoleh ayah secara turun temurun pada zaman dahulu dan kemudian diberikan kepada generasi selanjutnya.

i. Repetisi Utuh/ Penuh

Kutipan: “- Maryam lungsed gelungé – Maryam lungsed gelungé

(“Ibu Suci”, bait 1 baris 3-4, AGG: 140) ‘- Maryam tidak tapi (berantakan) sanggulnya

Maryam tidak rapi (berantakan) sanggulnya–‘

Kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat repetisi utuh/ penuh sebab terjadi perulangan secara utuh/ penuh yaitu satu baris (baris ketiga) yang diulang secara utuh/ penuh menjadi satu baris atau kalimat pada baris

selanjutnya (baris keempat). Maksud kutipan tersebut sanggul yang digunakan Maryam sudah tidak rapi lagi (berantakan).

2. Struktur Leksikal dalam Diksi a. Hiponimi

Kutipan: “Para empu, pujangga, sarjana”

(“Dayaning Sastra”, bait 3 baris 4, AGG: 31) ‘Para empu (ahli), pujangga, sarjana

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat hiponimi yaitu pada satu baris atau kalimat dari sejumlah kelas bawah di mana merupakan

komponen-komponen yang tercakup dalam kelas atas, sedangkan superordinat di kelas atas adalah orang yang memiliki kepandaian (ilmu atau pengetahuan) dalam suatu bidang tertentu. Maksud kutipan tersebut para empu, pujangga, dan sarjana mewakili kata-kata yang diungkapkan oleh pengarang.

(8)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 33

b. Antonimi (Oposisi Makna) 1) Oposisi kembar

Kutipan: “Lair batin tan kuciwa”

(“Pepaèsing Jalma”, bait 7 baris 2, AGG: 58) ‘Lahir batin tanpa kecewa’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat antonimi oleh oposisi kembar yaitu pada satu baris atau kalimat pertama yang menerangkan penyangkalan terhadap yang satu berarti penegasan terhadap anggota yang lainnya, dan sebaliknya. Maksud kutipan tersebut dari lahir dan batin tidak ada yang mengecewakan.

2) Oposisi majemuk

Kutipan: “Lebar mlaku-mlaku ayo lungguh rerembugan”

(“Pangajab”, bait 2 baris 1, AGG: 172) ‘Setelah jalan-jalan ayo duduk bermusyawarah’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat antonimi oposisi majemuk yaitu pada satu baris atau kalimat pertama yang menerangkan penegasan terhadap suatu anggota akan mencakup penyangkalan atas tiap anggota lainnya secara terpisah, tetapi penyangkalan terhadap suatu anggota akan mencakup penegasan mengenai kemungkinan dari semua anggota lainnya. Maksud kutipan tersebut pengarang mengajak pembaca/ pemerhati supaya setelah berjalan-jalan dilanjutkan dengan kegiatan bermusyawarah.

3) Oposisi gradual

Kutipan: “Sinambung pinutung manut ukuran”

(“Dayaning Sastra”, bait 1 baris 3, AGG: 31) ‘Tersambung terpatah/ terputus menurut ukuran’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat antonimi oleh oposisi gradual yaitu pada satu baris atau kalimat pertama yang menerangkan penyangkalan terhadap yang satu tidak mencakup penegasan terhadap yang lain, walaupun penegasan terhadap yang satu mencakup

(9)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 34

penyangkalan terhadap yang lain. Maksud kutipan tersebut tersambung dan terputusnya sesuatu pada isi geguritan disesuaikan dengan ukuran. 4) Oposisi relasional (kebalikan)

Kutipan: “Rina lan wengi tan kendhat-kendhat”

(“Kawruh”, bait 2 baris 3, AGG: 32) ‘Siang dan malam tanpa terputus-putus’

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat antonimi oleh oposisi relasional yaitu pada satu baris atau kalimat pertama yang menerangkan oposisi yang saling melengkapi. Artinya kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata yang lain menjadi oposisinya atau kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain. Maksud kutipan tersebut keadaan siang dan malam selalu berjalan beriringan tanpa terputus-putus.

5) Oposisi hirarkis

Kutipan: “Sing tanpa purwaka madya wasana”

(“Aku lan Dhèwèké”, bait 10 baris 3, AGG: 220) ‘Yang tanpa awal tengah akhir

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat antonimi oleh oposisi hirarkis yaitu pada satu baris atau kalimat pertama yang menerangkan realitas jenjang atau tingkatan batas, yaitu antara satuan batas purwaka yang dioposisikan dengan madya, dan dioposisikan pula dengan wasana. Maksud kutipan tersebut awal, tengah, dan akhir tidak dilalui olehnya.

6) Oposisi inverse

Kutipan: “Iki kenyataan Dudu apus-apusan”

(“Lurung”, bait 2 baris 5-6, AGG: 164) ‘Ini kenyataan

Bukan bohong-bohongan

Dari kutipan di atas yang bercetak tebal terdapat antonimi oleh oposisi inversi yaitu pada dua baris atau kalimat pertama dan kedua yang menerangkan penggantian suatu istilah dengan yang lain dan mengubah

(10)

Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 35

posisi suatu penyangkalan dalam kaitan dengan istilah yang berlawanan. Maksud kutipan tersebut semua ini (pada isi geguritan) adalah kenyataan dan bukan suatu kebohongan.

Simpulan

Berdasarkan hasil penyajian dan pembahasan data pada Antologi Geguritan “Guritan” yang disusun oleh Suripan Sadi Hutomo, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa: 1) Bunyi bahasa atau repetisi dalam diksi yang dibagi menjadi sembilan meliputi: (a) repetisi epizeuksis (12), (b) repetisi tautotes (6), (c) repetisi anafora (37), (d) repetisi epistrofa (4), (e) repetisi simploke (1), (f) repetisi mesodiplosis (21), (g) repetisi epanalepsis (4), (h) repetisi anadiplosis (4), dan (i) repetisi utuh/ penuh (2). 2) Struktur leksikal dalam diksi meliputi: (a) hiponimi (5), (b) antonimi (oposisi makna) yang dibagi menjadi enam yaitu (1) oposisi kembar (4), (2) oposisi majemuk (2), (3) oposisi gradual (6), (4) oposisi relasional (kebalikan) (9), (5) oposisi hirarkis (2), dan (6) oposisi inversi (1).

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Hutomo, Suripan Sadi. 1985. Guritan Antologi Puisi Jawa Modern (1940-1980). Jakarta: PN Balai Pustaka.

Keraf, Gorys. 1999. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soeparno. 2013. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.

Referensi

Dokumen terkait