Abstrak - Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan litrsik di provinsi NTT khususnya di kecamatan Larantuka, maka akan dibangun PLTU 2x4 MW yang akan beroperasi pada tahun 2013. Untuk itu diperlukan simlasi sistem kelistrikan di Larantuka yang dapat digunakan untuk menganalisa kinerja secara keseluruhan akibat penambahan pembangkit tersebut. Analisa kestabilan transien yang dilakukan meliputi kestabilan tegangan dan kestabilan frekuensi. Gangguan yang terjadi pada tugas akhir ini adalah gangguan akibat lepasnya pembangkit, dan hubung singkat. Gangguan akibat lepasnya salah satu generator dari PLTU mengakibatkan penurunan frekuensi yang melebihi batas standar 50Hz ± 1.5%, sehingga dibutuhkan pelepasan beban sebesar 1662.74 kW untuk menaikkan frekuensinya hingga 49.335 Hz atau 98.67%. Pelepasan beban yang dilakukan menggunakan skema pelepasan beban dari standar PLN dan standar ANSI/IEEE C37 106-1987, karena sistem kelistrikan Larantuka belum memiliki standar yang diperlukan. Pada hasil akhir dibandingkan antara kedua standar tersebut untuk memperoleh skema pelepasan beban yang sesuai. Untuk kasus gangguan hubung singkat yang terjadi pada bus beban lump 26, terjadi kedip tegangan selama 0.279 detik dengan rentang antara 70 – 80% dengan tegangan terendah 74.606 %. Kondisi berada dalam batas standar SEMI F47.
Kata Kunci : Kestabilan transien, pelepasan beban, kedip tegangan
I. PENDAHULUAN
istem tenaga listrik yang baik adalah sistem tenaga yang dapat melayani beban secara kontinyu, tegangan dan frekuensi yang konstan, fluktuasi tegangan dan frekuensi yang terjadi harus berada pada batas toleransi yang diizinkan agar peralatan listrik konsumen dapat bekerja dengan baik dan aman. Perubahan beban yang bervariasi berdampak pada kestabilan sistem. Jika daya mekanik pada poros penggerak awal tidak dengan segera menyesuaikan dengan besarnya daya elektrik pada beban listrik maka frekuensi dan tegangan akan bergeser dari posisi normal. Perubahan yang signifikan dapat menyebabkan sistem keluar dari batas stabil. Oleh karena itu perubahan beban harus diikuti perubahan daya penggerak generator. Hal ini dimaksudkan agar terjadi keseimbangan antara daya beban dan daya suplai. Sehingga frekuensi dan tegangan sistem tetap terjaga pada posisi normal.
Permasalahan yang akan diteliti adalah:
1. sistem kelistrikan Larantuka, NTT sebelum penambahan PLTU 2x4 MW?
2. Pengkajian analisis kestabilan transien pada sistem kelistrikan Larantuka setelah penambahan PLTU 2x4 MW dengan gangguan lepasnya generator, memperhatikan respon frekuensi, dan tegangan. 3. Pengkajian analisis kestabilan transien pada sistem
kelistrikan Larantuka setelah penambahan PLTU 2x4 MW dengan gangguan hubung singkat, memperhatikan respon frekuensi dan tegangan. 4. Pertimbangan tingkatan load shedding yang sesuai
serta koordinasinya dalam melepaskan beban.
II. TEORI PENUNJANG
A. Kestabilan Sistem Tenaga Listrik
Stabilitas sistem tenaga listrik didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem tenaga listrik atau bagian
komponennya untuk mempertahankan sinkronisasi dan keseimbangan sistem tersebut.
a. Dinamika Rotor dan Persamaan Ayunan [2]
Persamaan yang mengatur gerakan rotor suatu mesin serempak yang digerakan oleh penggerak mula berdasarkan prinsip dasar dinamika yang menyatakan bahwa momen putar percepatan adalah hasil kali dari momen-momen kelembaman dan percepatan sudutnya. Persamaannya dapat ditulis dalam bentuk :
J 2 dt m θ 2 d = Tm –T e =T (2.1) dimana:
J = momen inersia total dari massa rotor (kg-m2) θm = pergeseran sudut dari rotor terhadap suatu sumbu yang
diam (rad)
t = waktu (Detik)
Tm = torsi mekanik dari penggerak mula (Nm) Te = torsi listrik output generator (Nm)
b. Pelepasan Beban [3]
Kondisi jatuhnya salah satu unit pembangkit dapat dideteksi dengan adanya penurunan frekuensi sistem yang drastis. Grafik perubahan frekuensi sebagai fungsi waktu setelah pelepasan beban dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.
Pada gambar dimisalkan bahwa frekuensi menurun menurut garis 2. Setelah mencapai titik B dilakukan pelepasan beban tingkat pertama oleh UFR yang bekerja setelah mendeteksi frekuensi sebesar FB. Dengan adanya pelepasan beban tingkat pertama maka penurunan frekuensi berkurang kecepatannya, sampai di titik C, UFR mendeteksi frekuensi sebesar FC dan akan melakukan pelepasan beban tingkat ke dua. Setelah pelepasan beban tingkat kedua frekuensi sistem tidak lagi menurun tapi menunjukkan gejala yang baik yaitu naik kembali menuju titik D. Mulai dari titik D, yaitu setelah proses tersebut di atas berlangsung selama tD. tD berkisar sekitar 4 detik. Periode sebelum
governor melakukan pengaturan primer disebut periode transient dan ini berlangsung selama kira-kira 4 detik. Setelah governor melakukan pengaturan primer, maka frekuensi mencapai titik FE yaitu kondisi pada titik E. Setelah mencapai titik E masih ada deviasi frekuensi
S
ANALISIS STABILITAS TRANSIEN PADA SISTEM KELISTRIKAN
LARANTUKA (NTT) AKIBAT PENAMBAHAN PLTU 2 X 4 MW
PADA TAHUN 2013
Nurul Azizah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto
Jurusan Teknik Elektro-FTI ITS
A 1 ∆F 2 3 E D C F C G F F O F E F B t C t B t A tE tD tFtG B Waktu Frekuensi 0
Gambar 2.1 Perubahan frekuensi sebagai fungsi waktu dengan adanya pelepasan beban
sebesar F terhadap frekuensi yang diinginkan yaitu Fo dan deviasi ini dikoreksi dengan pengaturan sekunder yang dimlai pada titik F dan frekuensi menjadi normal kembali pada titik G.
B. Standar yang Berkaitan dengan Efek Transien [4] i. Standar Undervoltage[4]
Tegangan sistem harus dipertahankan dengan batasan sebagai berikut :
500 kV +5%, -5% 150 kV +5%, -10% 70 kV +5%, -10% 20 kV +5%, -10% ii. Standar Voltage Sagging
Penurunan tegangan dalam waktu yang sekejap, dinamakan kedip tegangan. Kedip Tegangan didefinisikan sebagai fenomena penurunan magnitude tegangan efektif terhadap harga nominalnya selama interval waktu.
Tabel 2.1 Voltage sagging menurut standar SEMI F47
VOLTAGE SAG DURATION VOLTAGE SAG
Second (s) Cycles at 60 Hz Cycles at 50 Hz
Percent of Equipment Nominal Voltage
< 0.05 s < 3 cycles < 2.5 cycles Not specified 0.05 to 0.2 s 3 to 12 cycles 2.5 to 10 cycles 50 %
VOLTAGE SAG DURATION VOLTAGE SAG
0.2 to 0.5 s 12 to 30 cycles 10 to 25 cycles 70 % 0.5 to 1.0 s 30 to 60
cycles 25 to50 cycles 80 % >1.0 s > 60 cycles > 50 cycles Not specified
III. SISTEM KELISTRIKAN LARANTUKA
A. Rencana Tambahan Infrastruktur Ketenagalistrikan [5] Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik di Provinsi NTT, telah direncanakan tambahan infrastruktur ketenagalistrikan dari tahun 2010-201:
Pembangkit tenaga listrik sebesar 192 MW Transmisi tenaga listrik 516 kms
Gardu induk 210 MVA
Program energi baru terbarukan (EBT) dan jaringan: - PLTS 50 WP tersebar sebanyak 82.463 unit - PLTS terpusat 15 kW 14 unit
- PLTMH 1.950 kW - PLTAngin 2.500 kW
- Gardu distribusi 2.050 unit (111.750 kVA) - Jaringan Tegangan Menengah 7.350 kms - Jaringan Tegangan Rendah 8.150 kms - PLTD 17 unit (4.250 kW).
Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan di kecamatan Larantuka, maka akan dibangun PLTU 2x4 MW yang akan beroperasi pada tahun 2013.
B. Single Line Diagram Sistem Kelistrikan Larantuka a. Sebelum Penambahan PLTU 2x4 MW
Gambar 3.1 Single Line Diagram Sistem Kelistrikan Larantuka Sebelum Penambahan PLTU 2x4 MW
b. Setelah Penambahan PLTU 2x4 MW
Gambar 3.1 Single Line Diagram Sistem Kelistrikan Larantuka Setelah Penambahan PLTU 2x4 MW
IV. SIMULASI DAN ANALISIS
Secara umum, studi kasus yang digunakan dalam simulasi sebelum penambahan PLTU 2x4 MW dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) PLTD 1 Off: Gen1 lepas, sistem mengandalkan GLokea dan GWaibalun sebagai sumber utama. b) PLTD 2 Off: GLokea lepas, sistem mengandalkan
Gen 1 dan GWaibalun sebagai sumber utama. c) PLTD Waibalun Off: GWaibalun lepas sistem
mengandalkan GLokea dan Gen1 sebagai sumber utama.
Studi kasus yang digunakan dalam simulasi setelah penambahan PLTU 2x4 MW sebagai berikut :
d) PLTD Waibalun Off : GWaibalun lepas, sistem hanya mengandalkan GLokea, Gen1, GLarantuka 1, dan GLarantuka 2 sebagai sumber utama.
e) PLTD Off: GWaibalun, GLokea, dan Gen1 lepas, system mengandalkan GLarantuka1, dan GLarantuka 2 sebagai sumber utama.
f) PLTU 1 Off : GLarantuka 2 lepas, sistem hanya mengandalkan Gen Lokea, Gen 1, GWaibalun, dan GLarantuka 1 sebagai sumber utama.
g) Short Circuit : Gangguan hubung singkat pada bus dengan beban lump yang memiliki arus hubung singkat terbesar.
A. Simulasi Sebelum Penambahan PLTU 2x4 MW a. Kasus TS : Kondisi Operasi Normal
Gambar 4.1 Respon frekuensi bus PLTU Larantuka saat kasus TS
Gambar 4.2 Respon tegangan masing-masing bus saat kasus TS
Pada kondisi operasi normal dapat dilihat bahwa frekuensi dan tegangan bus system masih dalam keadaan yang stabil, sesuai standar frekuensi 50±1.5% dan standar tegangan 100%(-10/+5).
b. Kasus PLTD 1 Off : Gen1 Trip
Gambar 4.3 Respon frekuensi bus PLTU Larantuka saat kasus PLTD 1 Off
Gambar 4.4 Respon tegangan bus saat kasus PLTD 1 Off
Dapat dilihat frekuensi bus PLTU Larantuka terus menurun sampai dengan 27 % pada detik ke 22.741 dan kemudian frekuensi terus berosilasi hingga pada t=186.341 detik frekuensinya menjadi nol. Begitu pula dengan respon tegangannya, dengan kata lain sistem collapse.
c. Kasus PLTD 2 Off : GLokea Trip
Gambar 4.5 Respon frekuensi bus PLTU Larantuka saat kasus PLTD 2 Off
Lepasnya GLokea dengan daya mampu yang lebih besar dari Gen 1 dapat membuat system kelistrikan Larantuka collapse dalam waktu yang lebih cepat dibanding kasus sebelumnya
Gambar 4.6 Respon tegangan bus saat kasus PLTD 2 Off
d. Kasus PLTD Waibalun Off : GWaibalun Off
Gambar 4.7 Respon frekuensi bus PLTU Larantuka saat kasus PLTD Waibalun Off
Gambar 4.8 Respon tegangan bus saat kasus PLTD Waibalun Off Dapat dikatakan bahwa sistem kelistrikan Larantuka yang ada sekarang (sebelum penambahan PLTU 2x4 MW), yang hanya mengandalkan PLTD saja dapat collapse apabila terjadi gangguan pada salah satu generator saja. Hal ini menyebabkan generator tidak bisa menyalurkan daya ke beban. Sehingga untuk kondisi mendatang, dengan beban yang terus berkembang, sistem kelistrikan Larantuka sangat
membutuhkan adanya tambahan pembangkit yaitu PLTU 2x4 MW. Selanjutnya akan dibahas simulasi kestabilan transien setelah penambahan PLTU 2x4 MW pada tahun 2013.
B. Simulasi Setelah Penambahan PLTU 2x4 MW
a. Kasus TS : Kondisis Operasi Normal (Setelah Penambahan PLTU 2x4 MW)
Gambar 4.9 Respon frekuensi GLarantuka 1 saat kasus TS
Gambar 4.10 Respon tegangan bus Larantuka saat kasus TS
b. Kasus PLTD Waibalun Off : GWaibalun Trip (Setelah Penambahan PLTU 2x4 MW)
Total daya suplai dari lima pembangkit di Larantuka adalah 9 MW. Sedangkan total keseluruhan beban pada sistem sebesar 5.611 MW dan GWaibalun memiliki kapasitas 1.2 MW. Lepasnya GWaibalun menyebabkan terjadi penurunan frekuensi sampai dengan 98.9534 % pada detik ke 1.881.
Gambar 4.11 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTD Waibalun Off Respon tegangan bus turun mencapai 97.73% pada detik ke 1.01 untuk bus PLTU Larantuka. Sedangkan untuk tegangan bus PLTD Lokea dan PLTD Waibalun berturut-turut adalah 97.29 % dan 97.25 %.
Gambar 4.12 Respon tegangan bus saat PLTD Waibalun Off
c. Kasus PLTD Off : GWaibalun, GLokea, Gen1 Trip Total daya dari ketiga generator dari PLTD adalah 2MW. Respon frekuensi minimal bus tersebut mencapai 98.0387% pada t=2.061 detik dan frekuensi pada kondisi steady state mencapai 98.7927%.
Gambar 4.13 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTD Off
Respon tegangan pada kasus PLTD Off, turun mencapai 96.4129% pada detik ke 1.101 untuk bus PLTU
Larantuka. Sedangkan untuk bus PLTD Lokea dan PLTD Waibalun berturut-turut adalah 96.4018 % dan 96.3394 %. Sedangkan pada kondisi steady state presentase besarnya tegangan ini mencapai 98.7963% (bus PLTU Larantuka), 98.7851% (bus PLTD Lokea), dan 98.722% (bus PLTD Waibalun).
Gambar 4.14 Respon tegangan bus saat PLTD Off
d. Kasus PLTU 1 Off : GLarantuka 2 Trip
Kasus ini merupakan kasus lepas GLarantuka 2 di PLTU yang seharusnya menyuplai daya sebesar 3MW, menyebabkan sistem kekurangan suplai dan menyebabkan turunnya frekuensi yang mencapai 94.4462 dan frekuensi pada kondisi steady state yang hanya mencapai 96.6339 %. Hal ini dapat mengganggu kinerja sistem. Untuk itulah diperlukan pelepasan beban dengan Under Frequency Relay. Dalam kasus ini UFR bekerja seketika. Skema pelepasan beban yang dilakukan dapat mengikuti skema pelepasan beban pada kasus underfrequency yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan dan Barat.
Tegangan terendah untuk bus PLTU Larantuka, PLTU Lokea, dan PLTD Waibalun berturut-turut mencapai 97.4589%, 97.4611%, dan 97.5374% pada t=1.001dan tegangan pada kondisi steady state berturut-turut mencapai 99.308 %, 99.3085%, dan 99.3671%.
Tabel 4.1 Skema Load Shedding 4 langkah (Standar PLN Sulawesi Selatan dan Barat)
Step Frequency Trip Frequency Trip Percent of Point (Hz) Point (%) Load shedding
1 49 98 6
2 48.8 97.6 6
3 48.6 97.2 10
4 48.4 96.8 10
Gambar 4.15 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTU 1 Off
Gambar 4.16 Respon tegangan bus saat PLTU 1 Off
e. Kasus PLTU 1 Off LS 1 : GLarantuka 2 Trip, Load Shedding 1
Pelepasan beban pertama melepas 5.7 % beban dari jumlah beban keseluruhan. Pada gambar frekuensi terendah pada kasus PLTU 1 Off LS 1 adalah 94.9962 % pada t=1.882 detik, dan 97.034 % pada kondisi steady state.
Gambar 4.17 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTU Off LS1
Gambar 4.18 Respon tegangan bus saat PLTU 1 Off LS 1
f. Kasus PLTU 1 Off LS 2 : GLarantuka 2 Trip, Load Shedding 1, Load Shedding 2
Pada kasus ini dilakukan pelepasan beban tahap kedua dengan frekuensi trip point 97.6 %. Pada studi kasus ini frekuensi menyentuh 97.7 pada detik ke 1.282 dan melepas 4.2 % beban dari jumlah beban keseluruhan. Setelah pelepasan beban, frekuensi terendahnya menjadi 95.3237 % pada t=1.863 detik. Dan frekuensi pada kondisi steady state adalah 97.328 %.
Gambar 4.19 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTU Off LS2 Respon tegangannya mengalami kenaikan sesaat mencapai 100.644 % untuk bus PLTU Larantuka, 100.645% untuk bus PLTD Lokea, dan 100.709% untuk bus PLTD Waibalun pada t=1.323 detik.
Karena peningkatan frekuensinya belum memenuhi standar, untuk studi kasus PLTU 1 Off akan dilanjutkan ke pelepasan beban tahap ketiga.
Gambar 4.20 Respon tegangan bus saat PLTU 1 Off LS 2
g. Kasus PLTU 1 Off LS 3 : GLarantuka 2 Trip, Load Shedding 1 , Load Shedding 2, Load Shedding 3 Pada load shedding tahap ketiga, dibutuhkan 10 % pelepasan beban dari jumlah beban keseluruhan. Setelah simulasi, didapatkan frekuensi terendahnya menjadi 96.0548 % pada t=1.824 dan frekuensi pada kondisi steady state adalah 98.029. Tegangannya juga mengalami kenaikan sesaat pada t=1.424 berturut-turut mencapai 102.174%, 102.175%, dan 102.226% untuk bus PLTU Larantuka, bus PLTD Lokea, dan bus PLTD Waibalun.
Gambar 4.22 Respon tegangan bus saat PLTU 1 Off LS 3
Karena peningkatan frekuensinya belum juga memenuhi standar frekuensi, untuk studi kasus PLTU 1 Off LS 3 akan dilanjutkan ke pelepasan beban tahap keempat. h. Kasus PLTU 1 Off LS 4 : GLarantuka 2 Trip, Load
Shedding 1, Load Shedding 2, Load Shedding 3, Load Shedding 4
UFR bekerja secara otomatis memerintahkan circuit breaker untuk melepas 9.7 % beban dari jumlah beban keseluruhan.
Gambar 4.23 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTU Off LS4
Gambar 4.24 Respon tegangan bus saat PLTU 1 Off LS 4
Setelah pelepasan beban tahap keempat, frekuensi meningkat menjadi 96.5562 % pada t=1.545 detik, dan frekuensi pada kondisi steady state adalah 98.6698 % atau. Hal ini sudah sesuai untuk batas standar frekuensi, yaitu 50 Hz ± 1.5. Sedangkan tegangan di ketiga bus ini mengalami kenaikan sesaat pada t= 1.425 berturut-turut mencapai 103.825%, 103.826%, dan 103.87%. Kenaikan tegangan ini masih diperbolehkan oleh standar PLN.
i. Kasus SC 1 : Bus 374 Fault dan CB Open
Untuk kasus SC 1, CB memiliki peran besar dalam mengamankan hubung singkat. Untuk kasus SC1, CB yang melindungi beban yang terkena gangguan bekerja sesaat setelah selang waktu 0.3 detik. Jadi hubung singkat terjadi pada t=1 detik, kemudian pada t=1.3 detik CB lepas.
Gambar 4.25 Respon frekuensi bus Larantuka saat kasus SC 1
Gambar 4.26 Respon tegangan bus saat kasus SC1
Dalam kasus SC 1 terjadi voltage sagging. Terjadi kedip tegangan selama 0.279 detik (rentang 70 – 80%)
dengan tegangan terendah 74.606 %. Durasi lamanya kedip tegangan ini masih sesuai dengan standar kedip tegangan SEMI F47.
j. Kasus PLTU 1 Off LS 1 : GLarantuka 2 Trip, Load Shedding 1 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987) Berbeda dengan kasus yang sama sebelumnya, yaitu kasus PLTU 1 Off, kasus ini akan menggunakan skema pelepasan beban sesuai dengan standar ANSI/IEEE C37.106-1987 yang terdiri dari 3 tahap pelepasan beban. Tabel 4.2 Skema Load shedding 3 Langkah Standar ANSI/IEEE C37 106-1987
Step Frequency Trip Frequency Trip Percent of Point (Hz) Point (%) Load shedding
1 49.4 98.8 10 2 49.08 98.17 15 3 48.75 97.5 As required to arrest decline before 48.5 Hz (97%)
Gambar 4.27 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTU Off LS1 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987)
Pelepasan beban tahap pertama dilakukan setelah tegangan menyentuh frekuensi 98.8. Frekuensi menyentuh 98.76 % pada detik ke 1.081 setelah terjadinya gangguan. Pelepasan beban pertama melepas 9.6 % beban dari jumlah beban keseluruhan sesuai.
Setelah pelepasan beban tahap pertama, frekuensi terendah mencapai 95.3694 % pada t=1.862 detik, dan 97.309 % pada kondisi steady state. Pada bus PLTU Larantuka, bus PLTD Lokea, dan bus PLTD Waibalun tegangan terendahnya berturut-turut mencapai 97.4589%, 97.4611%, dan 97.5374%. Sedangkan peningkatan tegangan pada t=1.282 detik berturut-turut mencapai 100.866%, 100.867%, dan 100.92%. Pada kondisi steady state mencapai 99.5157%, 99.5163%, dan 99.5625%.
Gambar 4.28 Respon tegangan bus saat PLTU 1 Off LS1 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987)
k. Kasus PLTU 1 Off LS 2 : GLarantuka 2 Trip, Load Shedding 1, Load Shedding 2 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987)
Pelepasan beban tahap kedua dilakukan dengan frekuensi trip point 98.17 %. Pada studi kasus ini frekuensi menyentuh 98.2 pada detik ke 1.222. Beban yang dilepas 15.1% dari jumlah beban keseluruhan. Setelah pelepasan beban tahap kedua, peningkatan frekuensi terendahnya menjadi 96.4398 % pada t=1.583 detik atau 48.22 Hz. Dan frekuensi pada kondisi steady state adalah 98.375%. Sedangkan Respon tegangan pada bus PLTU Larantuka, bus PLTD Lokea, dan bus PLTD Waibalun mengalami kenaikan yang masih diperbolehkan sesuai SPLN.
Gambar 4.29 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTU Off LS 2 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987)
Gambar 4.30 Respon tegangan bus saat PLTU 1 Off LS2 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987)
l. Kasus PLTU 1 Off LS 3 : GLarantuka 2 Trip, Load Shedding 1, Load Shedding 2, Load Shedding 3 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987)
Pelepasan beban tahap ketiga dilakukan oleh UFR dengan seketika, setelah tegangan menyentuh frekuensi 97.5 %. Sedangkan frekuensi menyentuh 97.3 % pada detik ke 1.322 setelah terjadinya gangguan dan membutuhkan 4.8% beban dari jumlah beban keseluruhan.
Setelah dilakukan pelepasan beban tahap ketiga, didapatkan frekuensi terendahnya menjadi 96.9917 % pada t=1.503 dan frekuensi pada kondisi steady state adalah 98.67 %. Tegangan terendah masing-masing bus sama seperti pada kasus sebelumnya.
Gambar 4.31 Respon frekuensi bus Larantuka saat PLTU Off LS3 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987)
Setelah dilakukan pelepasan beban tahap ketiga sesuai setting UFR Standar ANSI/IEEE C37.106-1987 didapatakan frekuensi pada kondisi steady state mencapai 98.67% yang sudah sesuai dengan standar frekuensi di luar pulau Jawa dan Bali, yaitu atau 50Hz±1.5%. Total seluruh beban yang dilepas adalah 1665.35 kW atau ± 29.7 % dari seluruh total beban pada system kelistrikan Larantuka.
Sedangkan peningkatan nilai tegangan berturut-turut untuk bus PLTU Larantuka, bus PLTD Lokea, dan PLTD Waibalun mencapai 103.97%, 103.973%, dan 104.03% pada t=1.343 detik.
Gambar 4.32 Respon tegangan bus saat PLTU 1 Off LS3 (Standar ANSI/IEEE C37 106-1987)
Dari tabel di bawah, dapat diketahui bahwa skema pelepasan beban cocok untuk sistem kelistrikan Larantuka, adalah skema pelepasan beban yang mengacu pada standar PLN Sulawesi Selatan dan Barat. Hal ini dikarenakan meskipun respon frekuensi yang dihasilkan dari skema pelepasan beban yang mengacu pada standar ANSI/IEEE
C37.106-1987 memiliki nilai yang lebih baik, namun kekurangan dari standar ANSI/IEEE C37.106-1987 ini adalah dalam hal besar beban yang dilepas dalam setiap tahapnya tidak seimbang, mulai dari 9.65%, 15.1%, dan 4.8%, menyebabkan banyak beban yang dilepas di awal. Tabel 4.3 Perbandingan respon frekuensi & tegangan pada kasus GLarantuka 2 trip/lepas berdasarkan setting UFR standar PLN Sulawesi Selatan dan Barat dan standard ANSI/IEEE C37 106-1987
Parameter
Setting UFR Berdasarkan Standar PLN Sulawsei Selatan dan Barat
Setting UFR Berdasarkan Standar ANSI/IEEE C37.106-1987 Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV Tahap I Tahap II Tahap III LSTime (sec) 1.221 1.282 1.323 1.384 1.081 1.222 1.322 LS (kW) 322.28 234.35 558.84 547.27 542 851 272.35 Under Nominal Frequency (Hz) 47.498 47.662 48.027 48.278 47.685 48.219 48.495 Frequency at Steady State Condition (Hz) 48.517 48.664 49.014 49.335 48.654 49.187 49.335 Under Nominal Voltage (%) 97.459 97.459 97.459 97.459 97.459 97.459 97.459 Above Nominal Voltage (%) 100.05 100.71 102.23 103.87 100.92 102.93 104.03 Voltage at Steady State Condition (%) 99.431 99.517 99.723 99.915 99.516 99.822 99.913 V. PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari simulasi dan analisis pada tugas akhir ini, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dapat dikatakan bahwa sistem kelistrikan Larantuka yang ada sekarang (sebelum penambahan PLTU 2x4 MW), yang hanya mengandalkan PLTD saja kurang efektif, karena biaya produksi per kWh dari PLTD yang mencapai kurang lebih Rp1.500,-. Sehingga disamping untuk mengatasi permintaan beban yang terus bertambah, sistem kelistrikan Larantuka sangat membutuhkan adanya tambahan pembangkit yaitu PLTU 2x4 MW yang siap beroperasi pada tahun 2013 agar lebih murah biaya produksinya.
2. Lepasnya Gwaibalun dengan kapasitas 1.2 MW tidak berpengaruh terhadap kestabilan sistem. Hal ini dapat dilihat pada respon frekuensi dan tegangan yang masih berada dalam batas standar. Begitu pula ketika ketiga generator dari PLTD lepas. Sedangkan ketika GLarantuka 2, dari PLTU lepas menyebabkan frekuensi bus utama system turun mencapai frekuensi minimal sebesar 47.259Hz dan mencapai kondisi steady state sebesar 48.317Hz. Untuk itu dibutuhkan skema load shedding yang dapat mengembalikan frekuensi sistem kembali ke batas standarnya, 50 Hz ± 1.5%.
3. Pada saat hubung singkat pada bus 374, terjadi kedip tegangan di bus sistem yang tidak mengalami hubung singkat. Kedip tegangan ini berada pada rentang antara 70 – 80% selama 0.279 detik dengan tegangan terendah 74.606 %. Kondisi seperti ini ternyata masih berada di
dalam batas standar SEMI F47, yang seharusnya durasi untuk voltage sag ini adalah kurang dari 0.5 detik. 4. Sistem kelistrikan Larantuka dengan penambahan PLTU
2x4 MW belum memiliki skema load shedding yang diperlukan ketika terjadi gangguan, sehingga untuk menentukannya perlu dilakukan perbandingan skema load shedding antara standar PLN dan standar ANSI/IEEE C37 106-1987. Setelah dilakukan tahapan load shedding dengan kedua standar tersebut, dengan total beban yang dilepas untuk kedua standar adalah sama, didapatkan frekuensi pada kondisi steady state yang sama mencapai 49.335Hz. Sedangkan dengan menggunakan standar PLN, didapatkan kenaikan tegangan sesaatnya mencapai 103.87% dan tegangan steady state mencapai 99.915%. Dengan menggunakan standar ANSI/IEEE C37 106-1987, didapatkan kenaikan tegangan sesaatnya mencapai 104.03% dan 99.913% pada kondisi steady state.
B. SARAN
Saran yang dapat diberikan untuk perbaikan dan pengembangan simulasi ini adalah sebagai berikut :
1. Ketika salah satu generator dari PLTU dengan kapasitas 4MW lepas, perlu dilakukan pelepasan beban agar generator yang bekerja tidak melebihi kapasitas daya mampunya.
2. Skema load shedding yang tepat digunakan untuk sistem kelistrikan Larantuka adalah skema load shedding yang mengacu pada standar PLN, karena meskipun didapatkan hasil yang hampir sama antara standar PLN dan standar ANSI/IEEE C37 106-1987 namun dengan menggunakan standar PLN beban yang di lepas bertahap. Sedangkan dengan standar ANSI/IEEE C37 106-1987 beban yang dilepas kurang bertahap.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Penangsang, Ontoseno. “Diktat Kuliah Analisis Sistem Tenaga Listrik 2”, Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2006
[2] Saadat, Hadi, “Power System Analysis (Second Edition)”, McGraw-Hill Education (Asia), Singapore, 2004.
[3] Marsudi, Djiteng, “Operasi Sistem Tenaga Listrik”, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006.
[4] Harwati, Ririn, “Analisis Stabilitas Transien Dan Perancangan Pelepasan Beban Pada Sistem Kelistrikkan Pabrik 1 Pt. Petrokimia Gresik”, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Bab II, 2010.
[5] Saleh, D.Z., “Master Plan Pembangunan Ketenagalistrikan2010s.d.2014”<URL:http://www.djlpe.esdm.g o.id/modules/_website/files/1030/File/Master%20Plan%20Pem bangunan%20Ketenagalistrikan%202010%20s.d.%202014.pdf >, Desember, 2009.
[6] Putra, D.F.U, “Analisis Kontingensi Sistem Kelistrikan Sulawesi Selatan Dan Barat”, Jurusan Teknik Elektro ITS, Surabaya, Bab IV, 2010.
Penulis bernama lengkap Nurul Azizah. Anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Mustakim dan Ibu Niswah. Lahir pada tanggal 11 Februari 1989 di Gresik. Mengawali pendidikannya di MI Asmaiyah Greik, pada tahun 1995 - 2001. Kemudian melanjutkan pendidikan pada tingkat menengah pertama di SMPN 1 Gresik pada tahun 2001 - 2004. Setelah itu, penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di SMAN 1 Gresik pada tahun 2004 – 2007. Setelah lulus menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMA pada tahun 2007, penulis meneruskan pendidikannya ke jenjang perkuliahan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Elektro, bidang studi Teknik Sistem Tenaga. Semasa perkuliahan penulis aktif menjalani kegiatan organisasi kampus, menjadi tim Kesekretariatan dan Data Himatektro FTI ITS periode 2008-2009, menjadi staf Departemen Pengabdian Masyarakat Himatektro FTI ITS periode 2009-2010. Penulis juga menjadi sekretaris Divisi Workshop Himatektro FTI ITS peride 2009-2010 dan pada tahun keempat, tepatnya periode 2010-2011 penulis menjadi asisten Laboratorium Simulasi Sistem Tenaga Listrik, Jurusan Teknik Elektro ITS. Penulis saat ini dapat dihubungi melalui email [email protected].