• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

HIV/AIDS

2.1.1 HIV

(Human Imunnodeficiency Virus)

HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari Human Imunnodeficiency Virus dalam bahasa Indonesia berarti virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia. HIV adalah Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berpungsi untuk kekebalan tubuh (Maryunani, 2009).

Kecepatan reproduksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang berperan melawan infeksi yang lain, refroduksi HIV berjalan dengan lambat, namun reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan sebagian penderita sudah terinfeksi HIV. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin bebas dari gejala selama sepuluh tahun, kendati demikian sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (sampai 65%) tetap menderita penyakit HIV atau AIDS yang simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang tersebut terinfeksi (Smaltzer & Bare, 2001).

HIV menyerang sistem imun dengan menyerbu dan menghancurkan jenis sel darah putih tertentu yang sering disebut dengan berbagai nama seperti sel T

(2)

menyerang dan memberi isyarat pada sel darah putih lainnya untuk segera membentuk antibody yang dapat mengikat pathogen tersebut. Setelah diikat, pathogen itu dilumpuhkan dan diberi ciri untuk selanjutnya dihancurkan. Lalu sel CD4 kemudian memanggil lagi jenis darah putih lainnya, sel T pembunuh (killer T cell), untuk memusnahkan sel yang terjadi tadi. HIV mampu menyerang dan mampu mangalahkan sel CD4 yang justru amat diandalkan untuk menghadapi HIV tersebut beserta kuman-kuman jenis lainnya. Itulah yang menyebabkan HIV membuat tumbuh menjadi sangat rentan terhadap infeksi kuman-kuman lainnya dan jenis-jenis kanker yang umumnya dapat dikendalikan. Tanpa adanya sistem imun yang efektif, penyakit-penyakit yang lazimnya disebut infeksi oportunistik, akan menyerang tubuh dan mengakibatkan kematian (Hutapea, 1995).

2.1.2 AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom)

AIDS adalah singkatan dari acquired (didapat) immune (kekebalan) deficiency (penurunan) Syndrom (kumpuan dan gejala), yaitu menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena adanya infeksi HIV. Seorang yang teinfeksi HIV, dapat dengan mudah terserang berbagai penyakit yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak terlalu berbahaya akan tetapi bagi mereka yang teah terinfeksi HIV, penyakit-penyakit tersebut dapat bertambah parah. Hal ini disebabkan karena menurunnya daya immunitas (kekebalan) tubuh, dan dapat berakhir dengan kematian (Nasution, Putra, & Nasution, 2000).

AIDS adalah kependekan dari acquired immune deficiency Syndrom

kumpulan gejala akibat atau kekurangan dan kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir (Maryunani & Aeman, 2009).

(3)

AIDS atau sindrom kehilangan kekebaan tubuh adalah kehilangan kekebalan tubuh manusia sebuah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan pirus tertentu yang bersipat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma Kaposi dan limpoma yang hanya menyerang otak (Djuanda, 2007).

2.1.3 Perjalanan Penyakit

Perjalanan klinis pada pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunaan sederajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan (Depkes RI, 2003).

Dari yang semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun. Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang yeng terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi, sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi kondisi ini dikenal dengan dengan infeksi primer. Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk kedalam tubuh. Pase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa

(4)

penigkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R)

serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R dan antibodi

upregulation (gp 120, anti p24; IgA). Selama infeksi primer jumlah limpisit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limposit CD4+ pada nodus limpa dan thymus selama waktu tersebut yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limposit T. Tes antibodi HIV

menggunakan enzyme linked imunoabsorbent assay (ELISA) yang menunjukkan

hasil positip. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala) ini berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat (Nursalam, 2009).

2.1.4 Tes Diagnostik

Tes Skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA. Untuk mengidentifikasi antibody terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitip, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit bisa menyebabkan false positip, antara lain adalalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa

menyebabkan false positip. Tes yang lain biasanya digunakan untuk

mengonfirmasi hasil ELISA, antara lain Western Blot (WB), Indirect

Immunofluoresence Assy (IFA) atau pun Radio- Immunoprecipitation Assy (RIPA).

(5)

Western Blot merupakan elektroforosis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA, jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatip. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti western Blot positip. Tes western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatip maka pasien dianggap HIV negatip.

PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitive dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering di gunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas (Nursalam, 2009).

2.1.5 Pembagian Tingkat Klinis Panyakit HIV

Global Programe on AIDS dari badan kesehatan dunia (WHO) mengusulkan “pembagian tingkat kinis penyakit infeksi HIV” sesudah mengadakan pertemuan di Geneva bulan juni 1989 dan bulan Februari 1990. Usulan tersebut berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita seropositif HIV dari 26 pusat perawatan yang berasal dari 5 benua. Pembagian tingkat klinis infeksi HIV tersebut adaah sebagai berikut:

a. Tingkat klinik 1 (Asimtomatik/LPG): 1. Tanpa gejala sama sekali

(6)

2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LPG): yakni pembesaran kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap.

Pada tingkat ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan aktivitasnya secara normal.

b. Tingkat klinik 2 (Dini).

1. Penurunan berat badan kurang dari 10%

2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroika, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut beruang dan cheilitis angualaris.

3. Herfes joster yang timbul pada 5 tahun terakhir

4. Infeksi saluran napas bagian atas berulang, misalnya sinusitis.

Pada tingkat ini, pasien sudah menunjukkan gejala tetapi aktivitas tetap normal.

c. Tingkat kinik 3 (menengah)

1. Penurunan berat badan >10% berat badan 2. Diare kronik >1 bulan, penyebab tidak diketahui

3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hingga timbul maupun terus menerus

4. Kandidasi mulut

5. Bercak putih serabut dimulut (hairy leukoplakia) 6. Tuberculosis paru setahun trakhir

(7)

Pada tingkat klinik 3 ini, penderita biasanya berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari, selama sebulan trakhir.

d. Tingkat klinik 4 (lanjut)

1. Badan menjadi kurus (HIV westing syndrome), yaitu: berat badan

turun lebih dari 10% dan (a) diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari satu bulan, atau (b) kelemahan kronik dan panas tanpa diketahui sebabnya, selama lebih dari satu bulan .

2. Pneumonia pneumosistis karini

3. Toksoplasmosis otak

4. Kriptosporidiosis dengan diare> 1 bulan 5. Kriptokokosis di luar paru

6. Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali di limpa, hati atau kelenjar getah bening.

7. Infeksi virus herves simplek di mokokutan lebih dari satu bulan, atau di alat dalam (visceral) lamanya tidak dibatasi

8. Leukoensefalopati multifocal progresip

9. Mikosis (infeksi jamur) misalnya histoplasmosis, kokkidiodomikosis yang endenik, menyerang banyak organ tubuh (disseminate).

10.Kandidiasis esophagus, trakea, bronkus atau paru.

11.Mikrobakteriosis atipik (mirip bakteri TBC), disseminate 12.Tuberculosis di luar paru

13.Limpoma

(8)

15.Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu: gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan, tanpa dapat diteukan penyebabnya selain HIV (Rustamaji, 2001).

2.1.6 Penularan HIV/AIDS

Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu :

a. Hubungan seksual dengan mengidap HIV/AIDS

Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tampa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000).

b. Ibu dan bayinya

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%. Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fotomaternal atau kontak antara kulit dan

(9)

memberan mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan, semakin lama proses melahirkan, semakin besar risiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkatan dengan operasi section caesaria. Transmisi lain terjadi selam periode post partum melalui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10% (Lily V, 2004)

c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS

Sangat cepat menularnya HIV karena Virus langsung ke pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.

e. Alat-alat untuk menoreh kulit

Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang membuatato, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian.

Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para penguna narkoba (injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menular HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampuran,

(10)

pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV (Nursalam, 2009).

2.1.7 Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi penularan penyakit:

a. Kontak seksual harus dihindari dengan orang yang sering menggunakan

obat bius secara intravena.

b. Mitra seksual multiple atau hubungan seksual dengan orang yang

mempunyai banyak teman kencan seksual kemungkinan lebih besar mendapat AIDS.

c. Cara hubungan seksual yang dapat merusak selaput lendir rektal, dapat

memperbesar kemungkinan mendapatkan AIDS. Senggama anal pasif yang pernah dilaporkan pada beberapa penelitian menunjukkan korelasi tersebut. Walaupun belum terbukti, kondom dianggap salah satu untuk menghindari penyakit kelamin, cara ini msih merupakan anjuran.

d. Kasus AIDS pada orang yang menggunakan obat bius intravena dapat

dikurangi dengan cara memberantas kebiasaan buruk tersebut dan melanggar penggunaan jarum suntik bersama.

e. Semua orang tergolong berisiko tinggi AIDS seharusnya tidak terjadi

donor. Di AS soal ini sudah dipecahkan zat anti-AIDS dalam darah melalui cara Enzyme Linked Immuno Sorbent assay (ELISA).

f. Para dokter sudah harus ketat menangani indikasi medis transfuse darah

(11)

2.1.8 Perawatan Pasien HIV/AIDS

Asuhan perawatan pada pasien HIV/AIDS bersifat unik untuk setiap individu, dipengaruhi oleh karakteristik individu, tahap perkembangan gejala yang sedang dialami oleh penderita HIV/AIDS, dan sikap masyarakat terhadap HIV/AIDS. Masalah-masalah keperawatan yang umum ditemukan pada penderita HIV/AIDS diantaranya:

a. Resiko mendapatkan infeksi (opportunistic infection) sehubungan dengan

penurunan kekebalan tubuh

b. Kelelahan (fatigue) sehubungan dengan proses infeksi HIV

c. Nyeri akut/kronis sehubungan dengan adanya neuropathy, kanker, infeksi

d. Ketidakseimbangan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan

dengan tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit menelan, nyeri pada mulut, diare

e. Gangguan integritas kulit sehubungan dengan infeksi, kanker f. Isolasi sosial sehubungan dengan takut penyebaran virus, stigma

g. Resiko harga diri rendah sehubungan dengan perubahan penampilan tubuh

h. Perubahan pola seksual sehubungan dengan resiko penyebaran penyakit

i. Cemas sehubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan

keluarga/sosial

j. Respon pertahanan (coping mechanism) yang tidak efektif sehubungan

dengan penyakit kronis yang progresif

k. Kesedihan yang mendalam sehubungan dengan penurunan fungsi

(12)

Untuk mengurangi resiko mendapatkan infeksi, ODHA dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan diri (personal hygienes), memelihara keamanan dan kebersihan makanan dan minuman, menjaga kebersihan lingkungan, menghindari perilaku yang beresiko tertular atau menularkan penyakit, dan menjalankan

pengobatan secara teratur. Fatigue bisa timbul akibat infeksi, pengobatan,

anemia, dehidrasi, depresi, atau karena nutrisi yang jelek. Fatigue dapat dikelola dengan cara menyelingi aktivitas dengan istirahat, menyusun jadual kegiatan/pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga dilakukan pada saat kondisi lebih energik. Diet makanan tinggi kalori, tinggi protein serta mengkonsumsi suplemen vitamin dan mineral. Selama infeksi HIV berlangsung, pasien pada umumnya tinggal di rumah. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan untuk waktu-waktu tertentu selama episode akut. Ketika penyakit terus berkembang, pasien perlu perawatan serius dari keluarga atau perawat masyarakat (community nurse). Perawat akan membantu cara melakukan perawatan fisik, membangun hubungan terapetik, dan mengkoordinasikan perawatan dengan anggota tim kesehatan lainnya. Berbagai fasilitas pendukung di masyarakat harus dikenali. Ketika pasien berada dalam fase terminal, perawatan yang memberi dukungan kenyamanan dan dukungan emosi untuk pasien dan keluarga sangat dibutuhkan (Laplit, 2004).

2.1.9 Pelayanan Kesehatan Untuk HIV/AIDS

Fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh penderita HIV/AIDS adalah sebagai berikut:

(13)

a. Pasilitas perawatan akut

Perawatan rawat inap intensip yang mempunyai stap emhkap dan sudah berpengalaman. Di ruang rawat ini penderita diawasi 24 jam penuh. Jenis peayanan dasar yang diperlukan adlah penyakit dalam, bedah, anastesi, laboratorium, radiologi, gizi, dan farmasi.

b. Fasilitas perawatan khusus

Adalah fasilitas perawatan yang sudah terbiasa merawat pasien HIV/AIDS. Unit ini menyediakan perawatan untuk pasien HIV/AIDS yang tidak dalam fase akut tetapi memerlukan perawatan di rumah sakit untuk rehabilitas.

c. Fasilitas perawatan intermediate

Fasilitas ini digunakan untuk menderita yang tidak terus-menurus memerlukan dokter atau perawat yang berpengalaman. Ini berlaku baik untuk fasilitas rawat inap maupun berobat jalan.

d. Pasilitas perawatan masyarakat

Penderita HIV/AIDS yang sedang tidak dirawat di rumah sakit kadang-kadang memerlukan beberapa jenis fasilitas non-medik, seperti perumahan, pengadaan makanan, dan bantuan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, atau ke toilet.

e. Pusat kesehatan masyarakat.

Puskesmas yang diperlihatkan adalah yang dilengkapi dengan pelayanan fisikologi, rehabilitasi, sosial, gizi, dan pendidikan kesehatan.

(14)

f. Perawatan kesehatan dirumah

Fasilitas ini diperlukan oleh penderita, agar ia dapat tetap tinggal di rumahnya sambil terus dipantau dan mendapat perawatan medic yang berkesinambungan. Untuk tujuan tersebut diperlukan pekerja sosial, perawatan, dan relawan baik dari kalangan agama maupun dari lapisan masyarakat lain (Rustamaji, 2001).

2.2 Kualitas Hidup

2.2.1 Definisi Kualitas Hidup

Tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas hidup secara tepat. Pengertian mengenai kualitas hidup telah banyak dikemukakan oleh para ahli, namun semua pengertian tersebut tergantung dari siapa yang membuatnya. Seperti halnya definisi sehat, yaitu tidak hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit, demikian juga mengenai kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya tidak ada keluhan saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh penderita, bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya menjadi keinginannya.

Menurut Calman (1993) mengungkapkan bahwa konsep dari kualitas hidup adalah bagaimana perbedaan antara keinginan yang ada dibandingkan perasaan yang ada sekarang, definisi ini dikenal dengan sebutan “Calman’s Gap”. Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui perbedaan antara perasaan yang ada dengan keinginan yang sebenarnya, dicontohkan dengan membandingkan suatu keadaan antara “dimana seseorang berada” dengan “di mana seseorang ingin

(15)

berada”. Jika perbedaan antara kedua keadaan ini lebar, ketidak cocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup tinggi jika perbedaan yang ada antara keduanya kecil. Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antara keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain.

Menurut Schipper yang dikutip oleh Ware (1992) mengemukakan kualitas hidup sebagai kemampuan fungsional akibat penyakit dan pengobatan yang diberikan menurut pandangan atau perasaan pasien. Menurut Donald yang dikutip oleh Haan (1993), kualitas hidup berbeda dengan status fungsional, dalam hal kualitas hidup mencakup evaluasi subyektif tentang dampak dari penyakit dan pengobatannya dalam hubungannya dengan tujuan, nilai dan pengharapan seseorang, sedangkan status fungsional memberikan suatu penilaian obyektif dari kemampuan fisik dan emosional pasien.

2.2.2 Komponen Kualitas Hidup

Menurut Trbojevic (1998) kalitas hidup dikembangkan untuk memberikan suatu pengukuran komponen dan determinan kesehatan dan kesejahteraan. Pengukuran kualitas hidup ini penting berhubungan dengan prioritas kesehatan sepanjang atau semasa hidup yang tidak hanya membutuhkan pengobatan tetapi juga kualitas dari kelangsungan hidup.

(16)

Menurut Hay (1992) kualitas hidup dapat disimpulkan menjadi 2 komponen yaitu kesehatan fisik dan kesehatan mental, untuk mengkaji kualitas hidup tersebut maka didapat 36 pertanyaan tentang kemampuan pasien yang dibagi menjadi delapan subvariabel yaitu:

a. Fungsi fisik terdiri dari beberapa pernyataan yaitu aktivitas yang

memerlukan energi, aktivitas yang ringan, mengangkat dan membawa barang yang ringan, menaiki beberapa anak tangga, menaiki satu anak tangga, membungkuk, berjalan beberapa gang, berjalan satu gang dan mandi atau memakai baju sendiri.

b. Keterbatasan peran fisik terdiri dari pertanyaan penggunaan waktu yang

singkat, penyelesaian pekerjaan yang tidak tepat waktu, terbatas pada beberapa pekerjaan dan mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan. c. Nyeri pada tubuh terdiri dari pernyataan seberapa besar rasa nyeri pada

tubuh dan seberapa besar nyeri mengganggu aktivitas.

d. Pesepsi kesehatan secara umum terdiri dari pernyataan bagaimana kondisi kesehatan saat ini dan satu tahun yang lalu, mudah terserang sakit, sama sehatnya dengan orang lain, kesehatan yang buruk dan kesehatan yang sangat baik.

e. Vitalitas terdiri dari pernyataan yang menggambarkan tentang bagaimana

pasien dalam melaksanakan aktivitasnya apakah semangat memiliki energi yang banyak, bosan dan lelah.

f. Fungsi sosial terdiri dari pernyataan seberapa besar masalah emosi

(17)

g. Keterbatasan peran emosional terdiri dari pernyataan apakah masalah emosi mempengaruhi penggunaan waktu yang singkat dalam pekerjaan atau lebih lama lagi melakukan pekerjaan dan tidak berhati-hati sebagai mana mestinya.

h. Kesehatan mental terdiri dari pernyataan apakah pasien sering gugup,

merasa tertekan, tenang, sedih dan periang.

University of Toronto (2004) menyebutkan kualitas hidup dapat dibagi

dalam tiga bagian yaitu internal hidup, kepemilikan (hubungan indivindu dengan lingkungannya) dan harapan (prestasi dan aspirasi indivindu).

a. Internal hidup

Internal hidup dalam kualitas hidup dibagi 3 yaitu secara fisik, psikologis dan spiritual. Secara fisik yang terdiri dari kesehatan fisik, personal higienis, nutrisi, olah raga, pakaian dan penampilan fisik secara umum. Secara psikologis yang terdiri dari kesehatan dan penyesuaian psikologis, kesadaran, perasaan, harga diri, konsep diri dan control diri. Secara spiritual terdiri dari nilai-nilai pribadi, standart-standart pribadi dan kepercayaan spiritual.

b. Kepemilikan

Kepemilikan (hubungan indivindu dengan lingkungannya) dalam kualitas hidup dibagi 2 yaitu secara fisik dan sosial. Secara fisik yang terdiri dari rumah, tempat kerja/sekolah, tetangga/lingkungan dan masyarakat.

(18)

c. Harapan

Harapan (prestasi dan aspirasi individu) dalam kualitas hidup dapat dibagi 2 yaitu secara praktis dan secara pekerjaan. Secara praktis yaitu aktivitas rumah tangga, pekerjaan, aktivitas sekolah atau sukarelawan dan pencarian kebutuhan atau sosial. Secara pekerjaan yaitu aktivitas peningkatan pengetahuan dan kemampuan serta adaptasi terhadap perubahan dan penggunaan waktu santai, aktivitas relaksasi dan reduksi stress.

2.2.4 Teori Kualitas Hidup

Kualitas hidup berarti hidup yang baik, hidup yang baik sama seperti hidup dengan kehidupan yang berkualitas tinggi (Ventegodt, Merrick, Andersen, 2003). Hal ini digambarkan pada kebahagiaan, pemenuhan kebutuhan, fungsi dalam konteks sosial dan lain-lain. Dalam hal ini dapat dikelompokkan dalam 3 bagian yang berpusat pada suatu aspek hidup yang baik, yaitu :

a. Kualitas hidup subjektif, yaitu bagaimana suatu hidup yang baik dirasakan oleh masing-masing indivindu yang memelikinya. Masing-masing indivindu secara personal mengevaluasi bagaimana meraka menggambarkan sesuatu dan perasaan mereka.

b. Kualitas hidup eksistensial, yaitu seberapa baik hidup seseorang

merupukan level yang dalam. Ini mengansumsikan bahwa indivindu memiliki suatu sifat dasar yang lebih dalamyang berhak untuk dihormati dan dimana indivindu dapat hidup dalam keharmonisan.

c. Kualitas hidup objektif, yaitu bagaimana hidup seseorang dirasakan oleh dunia luar. Kualitas hidup objektif dinyatakan dalam kemampuan

(19)

seseorang untuk beradaptasi pada nilai-nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya.

Ketiga aspek kualitas hidup ini keseluruhan dikelompokkan dengan pernyataan yang relevan pada kualitas hidup yang dapat ditempatkan dalam suatu rentang spectrum dari subjektif ke objektif, elemen eksistensial berada diantaranya yang merupakan teori kualitas hidup meliputi kesejahteraan, kepuasan hidup, kebahagiaan, makna dalam hidup, gambaran biologis kualitas hidup, mencapai potensi hidup, pemenuhan kebutuhan dan faktor-faktor objektif.

a. Kesejahteraan

Kesejahteraan berhubungan dekat dengan bagaimana sesuatu berfungsi dalam suatu dunia objektif dan dengan faktor eksternal hidup. Ketika kita membicarakan tentang perasaan baik maka kesejahteraan merupakan pemenuhan kebutuhan dan relasasi diri.

b. Kepuasan hidup

Menjadi puas berarti merasakan bahwa hidup yang seharusnya, ketika pengharapan-pengharapan, kebutuhan dan gairah hidup diperoleh disekitarnya maka seseorang puas. Kepuasan adalah pernyataan mental yaitu keadaan kognitif.

c. Kebahagiaan

Menjadi bahagia bukan hanya menjadi menyenangkan dan hati puas, ini merupaka perasaan yang special yang berharga dan sangat diinginkan

(20)

kebahagiaan diperoleh dari adaptasi tehadap budaya seseorang, kebahagiaan di asosiasikan dengan dimensi-dimensi non rasional seperti cinta, ikatan erat dengan sifat dasar tetapi bukan dengan uang, status kesehatan atau faktor-faktor objektif lain.

d. Makna dalam hidup

Makna dalam hidup merupakan suatu konsep yang sangat penting dan jarang digunakan. Pencarian makna hidup melibatkan suatu penerimaan dari ketidak berartian dan kesangat berartian dari hidup dan suatu kewajiban untuk mengarahkan diri seseorang membuat perbaikan apa yang tidak berarti.

e. Gambaran Biologis Kualitas Hidup

Gambaran biologis kualitas hidup yaitu system informasi biologis dan tingkat keseimbangan eksistensial dilihat dari segi ini kesehatan fisik mencerminkan tingkat system informasi biologi seperti sel-sel dalam tubuh membutuhkan informasi yang tepat untuk berfungsi secara benar dan untuk menjaga kesehatan dan kebaikan tubuh. Kesadaran kita dan pengalaman hidup juga terkondisi secara biologis. Pengalaman dimana hidup bermakna atau tidak dapat dilihat sebagai kondisi dari suatu system informasi biologis. Orang yang hidup tanpa makna juga merupakan jenis orang yang rentan terhadap penyakit yang mempengaruhi penampilan fisik dan kesejahteraan dari tubuh, terlihat tanpa penyebab. Hubungan antara kualitas hidup dan penyakit diilustrasikan dengan baik menggunakan suatu teori individual sebagai suatu sistem informasi biologis.

(21)

f. Mencapai Potensi Hidup

Teori pencapaian potensi hidup merupakan suatu teori dari hubungan antara sifat dasarnya. Titik permulaan biologis ini tidak mengurangi kekhususan dari mahluk hidup tetapi hanya tingkat dimana ini merupakan teori umum dari pertukaran informasi yang bermakna dalam sistem hidup dari sel ke organism sosial.

g. Pemenuhan kebutuhan

Kebutuhan dihubungkan dengan kualitas hidup dimana ketika kebutuhan seseorang terpenuhi kualitas hidup tinggi. Kebutuhan merupakan suatu ekspresi sifat dasar kita yang pada umumnya dimiliki oleh mahluk hidup. Pemenuhan kebutuhan dihubungkan pada aspek sifat dasar manusia. Kebutuhan yang kita rasakan baik ketika kebutuhan kita sudah terpenuhi. Informasi ini berada dalam suatu bentuk komplek yang dapat dikurangi menjadi sederhana yakni kebutuhan aktual.

h. Faktor-faktor objektif

Asfek faktor objektif dari kualitas hidup di hubungkan dengan faktor-faktor eksternal hidup secara mudah diwujutkan. Hal tesebut mencakup pendapatan, status perkawinan, setatus kesehatan dan jumlah hubungan dengan orang lain. Kualitas hidup objektif sangat mencerminkan kemampuan untuk beradaptasi pada budaya dimana kita tinggal. Derajat adaptasi pada budaya normal secara dangkal sama dengan gagasan kesejahteraan.

(22)

Secara umum pengkajian kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan yang menggambarkan suatu usaha untuk menentukan bagian variabel-variabel dalam dimensi kesehatan, berhubungan dengan dimensi khusus dari hidup yang telah ditentukan untuk menjadi penting secara umum untuk orang yang memiliki penyakit spesifik. Konsebtualisasi kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan menegaskan efek penyakit pada fisik, peran sosial, psikologi/emosional dan fungsi koknitif. Gejala-gejala persepsi kesehatan dan keseluruhan kualitas hidup sering tercakup dalam konsep kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan (American Thoracic Society, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

M eski sudah mengenal Badan Wakaf Al-Qur'an (BWA) sejak dua tahun lalu, namun Siti Sofiah, semakin tergerak hatinya untuk kontinyu berwakaf ketika membaca Newsletter BWA

ISLAM JAKARTA UTARA ( SUKAPURA ) JL. MITRA KELUARGA KEMAYORAN JL. PELABUHAN JAKARTA JL. SATYA NEGARA JL. MITRA KELUARGA KELAPA GADING JL.. 418 DKI JAKARTA JAKARTA UTARA RS.

Maka permasalahan yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah Kriteria apakah yang dipakai pihak bank untuk menentukan debiturnya telah melakukan wanprestasi dan

Setiap tanggal 22-30 setiap bulannya, Komisi Tugas Akhir akan menentukan usulan judul skripsi yang diterima beserta nama dosen pembimbing utama, kedua dan (dosen penguji menjelang

Pemilihan kosakata dalam menulis kalimat kriteria unjuk kerja harus memperhatikan keterukuran aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja, yang ditulis dengan memperhatikan

e Bukan merupakan anggota Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik dan/atau Tim Kampanye Pasangan Calon bagi AP dan personil yang ditugaskan dalam Tim Audit; f Tidak

Pengendalian motor induksi tiga fasa ini dapat dilakukan denan mengatur kecepatan putar motor secara bertahap (soft starting) sampai mencapai kecepatan

Dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) sebelumnya bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK), sebanyak 139 bidang