• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. brand loyalty merupakan isu utama yang peneliti pandang penting untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. brand loyalty merupakan isu utama yang peneliti pandang penting untuk"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1. Pengertian Isu Utama

Sebuah keinginan untuk berkomitmen lebih kepada suatu merek atau brand loyalty merupakan isu utama yang peneliti pandang penting untuk diteliti. Hal ini ditujukan untuk memberikan sebuah prediksi mengenai perilaku konsumen untuk dapat loyal pada suatu merek. Peneliti berharap penelitian ini dapat memberi pengetahuan dan pemahaman dalam mengungkap variabel-variabel yang akan diteliti yang peneliti prediksi akan membentuk brand loyalty.

2.2. Posisi Studi

Sub bab ini menjelaskan posisi studi dapat dijelaskan melalui variabel-variabel yang digunakan untuk mengkonstruksi model. Perbedaan ini meliputi obyek studi, dan variabel-variabel amatan berserta hubungan kausalitasnya. Tabel (II.1) menyajikan variabel-variabel yang teridentifikasi dari studi-studi yang terdahulu. Selain variabel-variabel yang disajikan, dalam tabel tersebut masih dimungkinkan terdapat variabel-variabel lain yang belum teridentifikasi berpotensi sebagai pembentuk model. Studi ini diharapkan membentuk model baru dari variabel-variabel yang menjadi kostruksi model-model yang telah ada.

(2)

Tabel II.1 Posisi Studi

Peneliti & Tahun Obyek

Amatan RA BT BA Others BL

Matzler (2008) User v v v v

Chaudhuri & Holbrook (2001) User v v v v

Delgado & Luis (2000) User v v v

Mandrik & Bao (2005) User v v v

Jahangir, et. al. (2009) User v v v v

Studi ini User v v v v

Sumber : Rekayasa Penulis

Keterangan: RA =Risk Aversion, BT =Brand Trust, BA=Brand Affect, BL= Brand loyalty, Others=Variabel-variabel lain yang bersifat in condition.

2.3. Landasan Teori 2.3.1. Risk Aversion

Menurut Qualls & Puto, (1989) risk aversion didefinisikan sebagai sebuah pengambilan keputusan setiap individu terhadap resiko yang didasarkan pada derajat preferensi jaminan hasil dalam sebuah kemungkinan. Semakin tinggi preferensi kepastian, maka semakin besar penghindaran resiko atau semakin rendah toleransi terhadap resiko. Disisi lain, pendapat lain juga mengatakan risk aversion sebagai tingkatan dimana individu mengambil sikap negatif terhadap hasil dari ketidakpastian yang timbul (Mandrik, 2005). Raju dalam Ding Mao (2010) mengatakan risk aversion adalah sifat karakter seseorang dalam menentukan suatu pilihan, apakah mereka terbiasa mengambil risiko atau berubah dalam menentukan pilihannya.

Menurut Mandrik & Bao, (2005) risk aversion didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah resiko yang diterima berdasarkan

(3)

ketidakmauan konsumen menerima resiko (Mandrik & Bao,2005). Melihat berbagai pendapat diatas, terdapat perbedaan pendapat mengenai risk aversion. Hal ini terjadi karena obyek dan setting penelitian yang berbeda, maka dari itu untuk menyesuaikan dengan tujuan dalam penelitian ini diperlukan pendapat yang sesuai dengan kondisi penelitian, yaitu pendapat dari Mandrik & Bao (2005).

Steenkamp dalam Matzler (2008) mengatakan konsumen yang enggan terhadap resiko enggan untuk mencoba produk baru, karena mereka tidak tahu apakah produk tersebut bekerja sesuai dengan fungsinya atau tidak. Konsumen lebih memilih produk yang sudah dikenal untuk menghindari resiko tersebut.

Risk aversion terjadi dikarenakan konsumen mendapatkan sebuah ketidakpastian dari kualitas produk dan situasi yang tidak dimengerti sehingga mengakibatkan konsumen tidak mau menerima produk baru. Pada situasi tersebut konsumen mencoba menekan resiko dengan dua cara, yaitu membeli produk yang memiliki nilai jual lebih tinggi dimana kualitas produk diketahui atau konsumen mencari informasi mengenai produk untuk mengurangi resiko (Zhou, et al., 2002). Matzler (2008) menyatakan bahwa konsumen yang enggan menerima resiko memilih untuk menerima resiko kecil dari pada resiko yang tidak diketahui. Penelitian (Matzler, 2008) menyebutkan bahwa risk aversion memiliki hubungan dengan brand trust. Semakin tinggi risk aversion semakin rendah resiko yang diambil.

2.3.2. Brand Trust

(4)

merek akan menawarkan suatu produk yang sangat dapat diandalkan seperti dalam segi fungsi, jaminan kualitas, dan pelayanan setelah melakukan penjualan (Chi, Yeh, & Chiou, 2009). Andaleeb (1992) mendefinisikan brand trust adalah kesediaan seseorang untuk mengambil resiko melalui rasa percaya terhadap janji yang ditawarkan merek perusahaan tertentu. Pendapat ini mengacu pada kredibilitas perusahaan dalam mempromosikan barang dan jasa. Kedua, brand trust didefinisikan sebagai perasaan percaya dan aman terhadap merek yang digunakan.

Delgado & Luis (2002) mengartikan brand trust adalah sebuah persepsi konsumen terhadap kemampuan suatu merek dan tanggung jawab perusahaan produsen merek terhadap kesejahteraan dan keselamatan konsumen. Pendapat ini memberi pengertian bahwa apabila sebuah perusahaan ingin meningkatkan rasa percaya konsumen terhadap merek nya, bisa dilakukan dengan cara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan konsumen kurun waktu yang lama. Seperti yang dikatakan Morgan & Hunt dalam Ruparelia (2010) kepercayaan akan menimbulkan komitmen dan loyalitas yang dibutuhkan dalam membangun hubungan yang baik dengan pelanggan. Disisi lain, Chaudhuri & Holbrook (2001) berpendapat suatu merek yang terpercaya lebih sering dibeli dan mempunyai derajat komitmen yang lebih tinggi, sehingga menghasilkan pangsa pasar dan harga yang tinggi dipasaran. Dengan hal ini, maka sebuah perusahaan yang memiliki merek yang sudah dipercaya akan mempunyai kekuatan yang lebih dalam menghadapi

(5)

para pesaing yaitu dengan cara menciptakan hambatan tersendiri bagi perusahaan lain atau perusahaan baru yang akan masuk ke dalam industri tersebut.

Chaudhuri & Holbrook (2001) juga mendefinisikan brand trust yaitu sebagai kebersediaan konsumen untuk mengandalkan kemampuan sebuah merek sesuai fungsi ada didalamnya. Pendapat ini dinilai yang paling sesuai untuk digunakan dalam peneitian ini. 2.3.3. Brand Affect

Dalam prakteknya, konsumen memiliki pandangan berbeda-beda pada suatu merek. Umumnya sebuah merek juga mengandung nilai emosional yang ditujukan untuk konsumen. Emosi ini dapat berupa emosi positif maupun emosi negatif. Chaudhuri & Holbrook (2001) mendefinisikan brand affect sebagai kemampuan suatu merek untuk mendatangkan respon emosional positif dari konsumen setelah penggunaan merek tersebut.

Williarnson dalam Law, Wong & Yip (2012) mengatakan emosi merupakan faktor inti dalam perspektif afektif. Emosi mempengaruhi individu pada tingkat kesadaran dan bertindak sebagai motivator internal yang menarik seseorang kepada sesuatu yang membuat seseorang merasa baik atau terkait positif dengan pikiran.

Steenkamp dalam Matzler et al., (2008) berkata konsumen yang sering terlibat dalam suatu produk atau merek tertentu, mereka akan lebih mengerti dan lebih mengenal produk atau merek tersebut. Pendapat ini memberi pemahaman bahwa konsumen akan lebih bisa

(6)

menilai suatu merek jika konsumen tersebut sering mengkonsumsi / terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh merek tersebut. 2.3.4. Brand Loyalty

Menurut Tjiptono (2005), mendefinisikan brand loyalty sebagai komitmen yang dipegang teguh untuk melakukan pembelian ulang dengan produk yang disukai atau dipercayai secara konsisten di masa mendatang, meskipun pengaruh si

tuasional dan upaya pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku beralih ke merek lain. Aaker (1997) juga berpendapat brand loyalty sebagai suatu ukuran keterkaitan konsumen terhadap merek yang mampu memberikan gambaran mungkin tidaknya konsumen beralih ke merek lain yang ditawarkan oleh pesaing, terutama pada merek yang dindikasikan terdapat perubahan,baik menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Solomon, Marshall & Stuart (2009) mengatakan brand loyalty merupakan pola pembelian ulang terhadap sebuah produk yang disertai dengan sikap positif terhadap merek tersebut, serta didasarkan pada keyakinan bahwa merek tersebut mampu membuat produk tersebut unggul dalam persaingan.

Keegan et al., (1995) mengatakan brand loyalty adalah kecenderungan konsumen untuk berperilaku positif terhadap suatu merek dan melakukan pembelian secara berulang pada merek tersebut. Durianto et al., (2004) mendefinisikan brand loyalty adalah suatu ukuran keterkaitan atau hubungan konsumen pada sebuah merek. Ukuran ini menggambarkan tentang kemungkinan yang dapat terjadi pada konsumen untuk beralih maupun tidak beralih dari satu

(7)

merek ke merek yang lain, terutama jika pada merek tersebut ada perubahan baik seperti harga ataupun atribut yang lain dalam merek tersebut. Brand loyalty juga diartikan sebagai komitmen mendalam konsumen untuk melakukan pembelian kembali merek secara konsisten, meskipun terdapat pengaruh situasional serta usaha pemasar lain yang berpotensi mengubah perilaku pembelian dimasa depan (Oliver, 1997). Konsep ini peneliti anggap sesuai dan digunakan dalam penelitian ini.

2.4. Pengembangan Hipotesis

2.4.1. Pengaruh Risk Aversion terhadap Brand Trust

Penelitian Matzler (2008), Mariana (2012), Tariq (2015), dan Gozali (2015), berpendapat bahwa terdapat pengaruh antara risk aversion terhadap brand trust. Penelitian tersebut juga mengatakan kepercayaan adalah salah satu cara yang digunakan konsumen untuk mengurangi ketidakpastian dan kompleksitas dari pembelian yang dilakukan. Steenkamp dalam Matzler (2008) berpendapat bahwa konsumen yang enggan terhadap resiko enggan untuk mencoba produk baru, dikarenakan mereka tidak tahu apakah produk tersebut bekerja sesuai dengan kinerjanya atau tidak. Konsumen lebih memilih produk yang sudah dikenal untuk menghindari resiko tersebut.

Luhmann dalam Matzler (2008) mengatakan dimana ketika konsumen menghadapi situasi ketidakpastian dalam memilih suatu produk atau merek, cara termudah dan efektif bagi konsumen enggan terhadap resiko adalah dengan memilih merek yang dapat dipercaya. Mayer (1995) dalam penelitiannya sependapat dengan Matzler, ia

(8)

menyebutkan bahwa kepercayaan itu dapat terbangun pada situasi yang berisiko. Maka dapat disimpulkan pendapat ini mengatakan bahwa semakin tinggi keengganan konsumen dalam menerima resiko, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan konsumen terhadap merek. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Matzler (2008), Mariana (2012), Tariq (2015), Gozali (2015). Dengan demikian, dapat dirumuskan hipotesis:

H1 : Semakin tinggi risk aversion, semakin tinggi brand trust 2.4.2. Pengaruh Risk Aversion terhadap Brand Affect

Matzler (2008), Mariana (2012), Tariq (2015), dan Gozali (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa diindikasikan risk aversion mempunyai pengaruh yang positif pada brand affect. Laurent & Kapferer dalam Matzler (2008) menyebutkan hal ini dapat terjadi dikarenakan konsumen risk aversion memiliki reaksi yang kuat terhadap suatu merek, merek akan memberikan energi positif sehingga resiko dapat dikurangi. Chaudhuri & Holbrook (2001) juga menjelaskan bahwa emosi konsumen dapat mempengaruhi resiko,semakin tinggi emosi positif yang dihasilkan konsumen maka semakin rendah resiko yang akan diterima dan semakin tinggi emosi negatif yang dihasilkan kosumen , maka semakin tinggi resiko yang dirasakan konsumen. Pendapat ini memberi pemahaman bahwa semakin tinggi risk aversion, maka semakin tinggi brand affect. Hal ini sesuai dengan pendapat dari penelitian Matzler (2008), Mariana (2012), Tariq (2015), dan Gozali (2015). Dari uraian diatas,maka hipotesis yang dirumuskan adalah:

H2: Semakin tinggi risk aversion, semakin tinggi brand affect 2.4.3. Pengaruh Brand Trust terhadap Brand Loyalty

(9)

Delgado & Luis (2000), Matzler (2008), dan Gozali (2015) dalam penelitiannya mengatakan brand trust berpengaruh positif terhadap brand loyalty. Hal ini disebabkan brand trust merupakan faktor penting dalam menjaga hubungan perusahaan dengan konsumen, apabila konsumen telah memiliki kepercayaan terhadap sebuah merek maka konsumen tersebut akan memiliki intensitas pembelian barang kembali yang tinggi (Lau & Lee,1999). Chaudhuri & Holbrook (2001) juga mengatakan ketika konsumen percaya pada suatu merek, maka frekuensi pembelian akan meningkat. Matzler (2008), Singh et al., (2012), dan Gozali (2015) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa semakin tinggi konsumen percaya akan kinerja sebuah merek, maka akan meningkatkan loyalitas konsumen terhadap merek tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan konsumen terhadap suatu merek ( brand trust ), maka semakin tinggi juga tingkat loyalitas konsumen pada merek tersebut ( brand loyalty ). Dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis:

H3: semakin tinggi brand trust,semakin tinggi brand loyalty 2.4.4. Pengaruh Brand Affect terhadap Brand Loyalty

Jahangir et al., (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa brand affect memiliki pengaruh positif terhadap brand loyalty. Hal ini terjadi dikarenakan merek yang dapat menghasilkan kesenangan dan kegembiraan akan membuat konsumen lebih berkomitmen terhadap suatu merek (Chaudhuri & Holbrook, 2001). Chaudhuri & Holbrook (2001) juga mengatakan bahwa merek yang dapat mendatangkan emosi positif membuat konsumen melakukan pembelian kembali melebihi barang yang memiliki nilai tinggi. Semakin

(10)

kuat pengaruh brand affect pada suatu proses pemilihan merek, maka akan semakin mampu menarik minat konsumen untuk melakukan pembelian (Bachara et al., 2001).

Dick & Basu (1994) menjelaskan bahwa tingkat loyalitas suatu merek akan tinggi apabila dalam kondisi emosi yang positif. Hal ini menandakan bahwa suatu merek yang dapat mendatangkan emosi positif dari konsumen akan membuat konsumen loyal terhadap merek tersebut. Sehingga semakin tinggi pengaruh positif suatu merek terhadap konsumen maka semakin tinggi tingkat loyalitas konsumen pada merek tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan dalam penelitian Matzler (2008), Singh et al., (2012), dan Gozali (2015) yang mengatakan semakin tinggi brand affect maka semakin tinggi loyalitas konsumen pada suatu merek. Dari pemaparan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis:

H4:semakin tinggi brand affect, semakin tinggi brand loyalty 2.4.5. Pengaruh Risk Aversion terhadap Brand Loyalty

Matzler (2008) menyebutkan risk aversion berhubungan secara langsung dengan brand loyalty. Steenkamp dalam Matzler (2008) mengatakan bahwa konsumen risk aversion memilih tetap memakai merek yang sama karena menghindari resiko mencoba merek baru. Ini dikarenakan konsumen risk aversion tidak suka mencoba produk baru dan memilih produk yang sudah banyak dipakai. Pendapat ini menguatkan penelitian Matzler (2008) yang menyatakan bahwa konsumen risk aversion memilih untuk menerima resiko kecil dari pada resiko yang tidak diketahui. sehingga loyalitas merek akan tinggi saat risk averse tinggi.

(11)

Tariq (2015) ditemukan bahwa risk aversion secara signifikan berpengaruh terhadap brand loyalty. Sehingga semakin tinggi risk aversion maka semakin tinggi brand loyalty. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis :

H5:semakin tinggi risk aversion, semakin tinggi brand loyalty

2.5. Kerangka Penelitian

Berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan, hubungan antar variabel yang dikonsepkan dapat digambarkan dalam bentuk sebuah model yang mendeskripsikan hubungan yaitu berupa pengaruh variabel risk aversion, brand trust, brand affect, dan brand loyalty. Dibawah ini adalah model yang dirumuskan dalam penelitian ini.

Gambar II.1 Kerangka Penelitian

Model dalam penelitian ini merupakan hasil dari kajian literatur penelitian sebelumnya. Dari gambar model tersebut dapat menjelaskan hubungan pengaruh variabel risk aversion, brand trust, brand affect terhadap variabel brand loyalty.

H3 H3 H1 H5 H2 H4 Risk Aversion Brand Trust Brand Loyalty Brand Affect

Gambar

Tabel II.1 Posisi Studi
Gambar II.1 Kerangka Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hal demikian merupakan salah satu kunci sukses bagi suatu perusahaan dalam mewujudkan keseimbangan antara kebutuhan karyawan dengan tuntutan dan kemampuan

yang didukung oleh gambar, dapat diungkapkan makna ilokusi (makna tersirat) dari tuturan (2), yaitu tokoh Titeuf tidak hanya sekedar memikirkan Nadia (makna lokusi),

Kawiyana, I.K.S., 2009, Crosslink Telopeptida C-Terminal (CTx) sebagai petanda aktivitas Sel Osteoklas pada Osteoporosis Paska Menopause Defisiensi Estrogen.. Bone

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah (1) Kepala MAN 3 Malang hendaknya membuat kebijakan terkait pembagian jam mengajar guru agar sesuai dengan standar

b) Kepujian dalam subjek Bahasa Malaysia/Bahasa Melayu pada peringkat Sijil Pelajaran Malaysia atau kelulusan yang diiktiraf setaraf dengannya oleh kerajaan. Ringkasan

Latar Belakang: Terapi diet merupakan bagian dari perawatan penyakit yang harus diperhatikan agar pemberiannya tidak melebihi kemampuan organ tubuh. Meskipun

Penelitian dengan judul “PELANGGARAN ETIKA PENYIARAN P3SPS DALAM PROGRAM MUSIK”(Sebuah Studi Analisis Isi Bentuk-Bentuk Pelanggaran Dalam Program Musik Dahsyat),

Sedangkan Istarani (2011: 15) model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum dan sesudah pembelajaran yang