HAK
KHIYA>R
KONSUMEN DAN SISTEM
RETUR
DALAM
JUAL BELI
FASHION HIJAB
SECARA
ONLINE
DI
#tashaproject (STUDI KOMPARATIF)
SKRIPSI
Oleh :
Ovilia Nukiyanto Putri
NIM. C02212035
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah)
Surabaya
v ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang studi komparatif Hak
Khiya>r Konsumen Terhadap Sistem Retur dalam Jual Beli Fashion Hijab secara
Online di Instagram #tashaproject. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan bagaimana hak khiya>r pembeli fashion hijab secara online, bagaimana sistem retur dalam jual beli fashion hijab di Instagram #tashaproject, bagaiaman tinjauan hukum Islam dan hukum positif atas pembeli fashion hijab
secara online, dan apa persamaaan dan perbedaan hak khiya>r konsumen terhadap sistem retur dalam jual beli fashion hijab secara online menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi, teknik pengamatan dan wawancara. Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya disusun dan ditinjau dengan menggunakan metode komparatif dengan pola pikir induktif.
Kasus yang ditemui di lapangan menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh #tashaproject adalah bentuk tanggungjawab seorang penjual kepada pembelinya dengan cara me-retur produk yang rusak atau cacat saat diterima oleh pembeli. Tetapi pihak penjual tidak bisa memastikan akan berapa lama
me-retur produknya dikarenakan penjual harus memproduksinya dahulu. Dari pihak pembeli pun juga mengetahui karena sudah dijelaskan diawal sebelum melakukan transaksi.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa yang dilakukan #tashaproject sesuai dengan syariat Islam yaitu dalam sistem retur -nya di #tashaproject disandarkan pada kebiasaan. Karena di awal akad penjual tidak menjelaskan akan berapa lama penjual me-retur barang yang rusak saat diterima oleh pembeli. Tapi pihak penjual jelas dalam mengganti barang yang rusak. Dimana sesuai dengan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad dalam riwayatnya. Sedangkan menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, #tashaproject sudah berjalan sesuai Undang-undang. Karena sudah menjalankan perlindungan konsumen dengan menerima hak-hak untuk konsumen dengan sistem retur atau pengembalian yang sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
ix DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 16
BAB II HAK KHIYA>R KONSUMEN TERHADAP SISTEM RETUR DALAM JUAL BELI FASHION HIJAB SECARA ONLINE DI INSTAGRAM #tashaproject ... 18
A. Pengertian Khiya>r ... 18
B. Macam-macam Khiya>r ... 19
1. Khiya>r Majlis ... 19
2. Khiya>r Syarat ... 22
3. Khiya>r ‘aib ... 26
D. Hukum Khiya>r dalam Jual Beli ... 40
BAB III HAK KHIYA>R KONSUMEN TERHADAP SISTEM RETUR
DALAM JUAL BELI FASHION HIJAB SECARA ONLINE DI
INSTAGRAM #tashaproject ... 42
A. Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram
#tashaproject ... 42
B. Perlindungan Konsumen Terhadap Pembeli/Konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ... 44
C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen ... 49
BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HAK KHIYA>R
KONSUMEN TERHADAP SISTEM RETUR DALAM JUAL
BELI FASHION HIJAB SECARA ONLINE MENURUT
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 59
A. Hak Khiya>r Konsumen terhadap Sistem Retur dalam Jual Beli Fashion Hijab Secara Online Menurut Hukum Islam ... 59
B. Hak Khiya>r Konsumen terhadap Sistem Retur dalam Jual Beli Fashion Hijab Secara Online Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen ... 60
C. Persamaan dan Perbedaan Hak Khiya>r Konsumen Terhadap Sistem Retur dalam Jual Beli Fashion Hijab
Secara Online Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Konsumen ... 62
a. Persamaan Hak Khiya>r Konsumen Terhadap Sistem
Retur dalam Jual Beli Fashion Hijab Secara Online
Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Konsumen ... 62
b. Perbedaaan Hak Khiya>r Konsumen Terhadap Sistem
Retur dalam Jual Beli Fashion Hijab Secara Online
xi
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 69
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan
berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu
praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya
jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang
mereka inginkan. Jual beli merupakan aktivitas yang dilakukan manusia
umumnya dalam perekonomian baik itu sebagai produsen ataupun konsumen.
Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga
ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam
koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama
manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat
universal dan komprehensif.
Manusia sebagai makhluk sosial juga tidak bisa lepas dari
bermuamalah antara satu dengan yang lainnya. Muamalah sesama manusia
senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam
kehidupan manusia. Karena manusia tidak bisa lepas dari bermuamalah dan
berinteraksi maka sering sekali di dalam kehidupan bermasyarakat manusia
melakukan transaksi jual beli. Dimana jual beli adalah tukar menukar atau
peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang
2
barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang
terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak.1
ﺠ
ْ ﺇ ﻁ ْ ْ ْ ْ
ْ ْ ﺁ
ْ ﻋ ً
ْ ْ ﺽ
ۚ◌
ْﻘ
ْ ﺴﻔْ
ۚ◌
ﺇ
ْ
ً ﺣ
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.2
Islam agama yang sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar
dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun
muamalah. Muamalah berbeda dengan ibadah, dalam ibadah perbuatan
dilarang kecuali diperintahkan. Oleh karena itu, semua perbuatan yang
dikerjakan harus sesuai dengan tuntutan yang diajarkan Rasulullah, ibadah
dalam Islam adalah pelaksanaan segala macam perbuatan yang diperintahkan
oleh agama untuk mengatur hubungan dengan Allah serta sebagai ujian
terhadap kebenaran dan kekuatan imannya dalam praktik kehidupan
sehari-hari.3
Agama Islam memberikan norma dan etika yang bersifat wajar dalam
usaha mencari kekayaan untuk memberi kesempatan pada perkembangan
hidup manusia di bidang muamalah dikemudian hari.
1 Muhammad Ibrahim Al-Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), 24.
2 Al-Quran, Surah Al-Nisa:29, Depag RI, Al Qur’anul Kariim dan terjemahannya, (Bandung:
Gema Risalah Pres, t.t), 58
3
Seiring dengan perkembangan masyarakat mengenai jual beli, ada hak
khiya>r untuk konsumen. Sebelumnya yang dimaksud khiya>r adalah pilihan,
memilih melangsungkan atau membatalkan jual beli. Disini yang dimaksud
khiya>r untuk konsumen yaitu pilihan melangsungkan retur atau tidak
melangsungkan retur. Dalam bertransaksi di semua kegiatan berekonomi
tentunya tidak akan terlepas dari sebuah penawaran, baik yang dilakukan oleh
penjual atau pembeli. Dan akad jual beli terdapat banyak sekali rukun dan
syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan agar akad yang dilakukan sah,
dan menghasilkan produk hukum yang halal. Karena segala sesuatu yang
dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginan sendiri bukan karena
terpaksa atau dipaksa, keinginan tersebut harus ada pernyataan dari kedua
orang tersebut seperti “saya telah menjual barang ini kepadamu” dan “saya
terima barangmu”.
Perkembangan jual beli saat ini lebih sering transaksi jual beli di dunia
maya atau internet. Kemajuan teknologi informasi, telah melahirkan banyak
perubahan mendasar dalam kehidupan manusia saat ini. Ketersediaan
informasi yang dapat diakses secara “instan” melalui telepon rumah, telepon
genggam, televisi, komputer yang terhubung dengan internet dan berbagai
media elektronik, telah menggeser cara manusia bekerja, belajar, mengelola
perusahaan, menjalankan pemerintahan, berbelanja atau melakukan kegiatan
perdagangan. Kenyataan demikian seringkali disebut dengan era globalisasi
ataupun revolusi informasi, untuk menggambarkan betapa mudahnya
4
dikirimkan tanpa lagi mengenal batas-batas geografis suatu negara.
Masyarakat islam juga tentunya menghadapi kemajuan teknologi informasi
seperti ini. Terutama dalam kemudahan internet untuk memenuhi kebutuhan
jual beli.
Salah satunya adalah jual beli fashion hijab di Instagram
#tashaproject. Di #tashaproject menjual berbagai macam pakaian muslimah
khususnya muslimah remaja. Dalam jual beli secara online ini, biasanya si
penjual mengiklankan barang yang akan dijualnya melalui Instagram dengan
mencantumkan gambar atau foto barang, spesifikasi barang, harga dan nomor
handphone si penjual. Berdasarkan kasus yang ada, pembeli cenderung
menjadi pihak yang dirugikan dalam sebuah transaksi jual beli online yang
curang. Dikarenakan si pembeli tidak teliti dalam memeriksa barang atau
karena si penjual yang tidak jujur dalam memberikan informasi tentang
barang tersebut. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pihak penjual yang
dirugikan atau dicurangi. Salah satu bentuk kecurangannya yaitu dengan
berpura-pura reseller, agar bisa memperoleh barang dengan harga yang
miring.
Ketika kedua belah pihak ada yang mempunyai keinginan yang tidak
baik dalam bertransaksi jual beli, maka didalam hukum Islam mempunyai hak
khiya>r, yakni hak untuk melanjutkan atau mengurungkan jual beli, sehingga
dengan adanya hak khiya>r ini kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.
Tetapi apakah benar dengan khiya>r ini hak si penjual dan pembeli bisa
5
Alasan penulis mengambil kajian ini pada instagram, karena sosial
media jual beli ini ramai dikunjungi oleh para penjual dan pembeli. Siapa saja
boleh memasangkan iklan untuk menjual barang tanpa dimintai biaya, cukup
dengan men-download aplikasi saja. Barang-barang yang diperjualbelikan
cukup beraneka ragam, seperti baju, handphone, makanan, tas, dan lain
sebagainya. Si penjual dan si pembeli biasanya hanya berhubungan melalui
whatsapp, line, telepon dan melakukan transaksi pembayaran dengan transfer
dan barang yang dibeli akan dikirimkan melalui ekspedisi oleh si penjual
kepada si pembeli. Namun ternyata dalam perjalanannya kemudian, banyak
pembeli yang merasa dirugikan. Beberapa merasa dirugikan karena barang
yang diterima tidak sesuai dengan gambar, atau barang yang diterima
ternyata cacat, atau juga barang tidak sampai kepada pembeli, dan banyak
lagi kasus yang lainnya. Dan pada umumnya barang yang diterima cacat atau
rusak si pembeli komplain dengan meminta ganti barang yang baru karena
barang yang sampai sudah ada cacat atau rusak.
Hal ini tentu saja tidak serta merta menjadi kesalahan yang
dibebankan kepada pihak penjual. Karena pembeli sebagai pelaku ekonomi
juga punya kewajiban untuk menjaga hak-haknya sendiri dengan berhati-hati
ketika melakukan transaksi sesuai yang dituangkan di dalam UU
Perlindungan Konsumen.
Transaksi retur barang rusak atau cacat yang terjadi di #tashaproject
adalah tidak adanya kepastian waktu barang ready atau dikirim kembali dari
6
Order atau jika ada yang memesan baru akan dijahitkan oleh penjual. Itu yang
membuat pembeli sedikit merasa kecewa, tetapi dari #tashaproject sendiri
berkewajiban mengganti barang yang rusak atau cacat tersebut. Mereka
selalu mengkonfirmasi semuanya dengan sangat jelas kepada pelanggannya.
Hukum syariat Islam juga dijelaskan secara rinci dalam fiqh sunah
kontemporer dan kitab Fath Al-Qarib yang kebanyakan membahas tentang
syarat-syarat penjual, pembeli, barang yang dijual, juga tentang akad-akad
jual beli yang dilarang karena menimbulkan kemudhorotan di salah satu
pihak.
Dari paragraf di atas berarti bahwa hukum positif yang berupa UU
Perlindungan Konsumen maupun hukum Islam mempunyai pusaka tersendiri
dalam mengatur kemaslahatan kegiatan ekonomi jual beli ini. Oleh karena
itulah penulis mengkomparasikan kedua hukum ini dalam kaitannya dengan
Hak Khiya>r Konsumen terhadap Sistem Retur dalam Jual Beli Fashion Hijab
Secara Online di Instagram#tashaproject.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan
melakukan identifikasi dan inventarisasi sebanyak-banyaknya kemungkinan
yang dapat diduga sebagai masalah.4 Dari paparan latar belakang, maka
muncul beberapa masalah yang diantaranya:
4 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Penulisan
7
1. Hak khiya>r pembeli online di instagram.
2. Sistem retur dalam jual beli online di instagram.
3. Perlindungan hukum Islam dan hukum positif atas pembeli online di
instagram.
4. Mekanisme jual beli online di instagram.
5. Jangka waktu retur barang.
Agar pokok permasalahan diatas lebih terarah mengenai hak khiya>r
konsumen terhadap sistem retur dalam jual beli fashion hijab secara online di
instagram #tashaproject, maka batasan masalah yang akan di bahas pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hak khiya>r konsumen dalam jual beli fashion hijab secara online di
instagram #tashaproject.
2. Sistem retur dalam jual beli fashion hijab secara online di instagram
#tashaproject.
3. Studi komparasi hukum Islam dan hukum positif atas pembeli fashion
hijab secara online.
4. Persamaan dan perbedaan hak khiya>r konsumen terhadap sistem retur
dalam jual beli fashion hijab secara online menurut Hukum Islam dan
Undang-undang Perlindungan Konsumen.
C. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan pada penelitian ini agar lebih fokus dan
operasional, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
8
2. Bagaimana sistem retur dalam jual beli fashion hijab di instagram
#tashaproject?
3. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum positif atas transaksi
fashion hijab secara online?
4. Apa persamaan dan perbedaan hak khiya>r konsumen terhadap sistem
retur dalam jual beli fashion hijab secara online menurut Hukum Islam
dan Undang-undang Perlindungan Konsumen?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian
yang sudah pernah dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.5 Penelitian
yang berhubungan dengan khiya>r konsumen telah dibahas oleh:
1. Dhaseb Aberta Satriadin dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap khiya>r Dalam Jual Beli Sistem COD (Cash On
Delivery) (Studi Kasus: COD Barang-barang Bekas di Web Toko Bagus
Wilayah Yogyakarta)”. Penelitian tersebut membahas tentang praktek
khiya>r dalam jual beli sistem COD (Cash On Delivery) menurut tinjauan
hukum Islam di Toko Bagus. Hasil penelitian mengemukakan bahwa
praktek khiya>r dalam jual beli sistem COD (Cash on Delivery) dilakukan
pada saat si penjual dan pembeli bertemu di tempat transaksi yang
ditentukan sebelum terjadinya akad jual beli. Adapun macam-macam
khiya>r yang bisa dilakukan dalam transaksi jual beli COD (Cash on
9
Delivery) adalah khiya>r ‘aib dan khiya>r majlis serta si penjual dan
pembeli mendapatkan hak-haknya dari khiya>r tersebut. 6
2. Ali Mahrus dalam skripsinya yang berjudul “Telaah Penerapan Prinsip
Khiya>r Dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Ciputat”. Penelitian tersebut
membahas tentang praktek khiya>r yang diterapkan di Pasar Ciputat. Hasil
penelitian mengemukakan bahwa praktek khiya>r sudah diterapkan
mayoritas penjual di Pasar Ciputat. Khiya>r yang terjadi di Pasar Ciputat
kebanyakan adalah khiya>r syarat dan khiya>r ‘aib. Proses khiya>r di Pasar
Ciputat sudah sesuai dengan ajaran agama Islam walaupun masih banyak
yang harus diperbaiki. Sedangkan kendala dalam pelaksanaannya yaitu
masih ada beberapa penjual belum mengenal khiya>r dan konsepnya.7
3. Solikhin dalam skripsinya yang berjudul “Perlindungan Hak-hak
Konsumen Transaksi Jual Beli Online Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia”. Penelitian tersebut membahas tentang
perlindungan hak-hak konsumen transaksi e-commerce dalam hukum
Islam dan UU No. 8/1999 dan UU No. 11/2008. Hasil penelitian
mengemukakan bahwa pertama, konsep perlindungan hak-hak konsumen
transaksi e-commerce dalam hukum Islam berdasarkan asas keseimbangan
dan keadilan dan juga prinsip-prinsip muamalah, yaitu hak tanpa paksaan,
kehalalan produk, kejelasan informasi dan harga, menghindari
6 Dhaseb Aberta Satriadin, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Khiyar Dalam Jual Beli Sistem
COD (Cash On Delivery) (Studi Kasus: COD Barang-barang Bekas di Web Toko Bagus Wilayah Yogyakarta)”,(Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,2013).
7 Ali Mahrus, “Telaah Penerapan Prinsip Khiyar Dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Ciputat”,
10
kemudaratan dan hak khiya>r. Perlindungan hak-hak konsumen
e-commerce dalam hukum Positif mempunyai tujuan yang sama dengan apa
yang ditawarkan dalam Islam, yaitu menciptakan keseimbangan diantara
pelaku usaha dan konsumen dan untuk memberikan perlindungan
terhadap hak-hak konsumen. Kedua, perbedaan dalam aturan hukum
terletak pada pengertian konsumen dan pelaku usaha, dalam Islam tidak
dikenal konsumen akhir dan perantara, Islam juga tidak membedakan
konsumen perorangan atau berbadan hukum seperti halnya dalam UUPK.
Informasi mengenai objek dalam Islam merupakan syarat, sedangkan
UUPK merupakan ketentuan dalam bab perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha. Islam tidak membatasi waktu pertanggung jawaban yang
merugikan konsumen, dalam UU ITE tidak menyatakan batasan itu,
namun dalam UUPK dibatasi pertanggung jawabannya dalam jangka
waktu 4 tahun setelah pembelian. 8
Dari penelitian yang telah disebutkan, masih belum membahas
tentang komparasi antara hukum Islam dan hukum positif tentang hak khiya>r
konsumen terhadap sistem retur dalam jual beli fashion hijab secara online di
instagram #tashaproject. Dalam penelitian ini, penulis lebih condong
menganalisis studi komparasi hukum Islam dan hukum positif hak khiya>r
konsumen dengan menggunakan UU Perlindungan Konsumen dan Kitab Fath
Al-Qarib dan juga sistem retur yang diterapkan di #tashaproject.
8 Solikhin, “Perlindungan Hak-hak Konsumen Transaksi Jual Beli Online Perspektif Hukum Islam
11
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneliti dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hak khiya>r pembeli fashion hijab
secara online.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sistem retur dalam jual beli
fashion hijab di instagram#tashaproject.
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tinjauan hukum Islam dan
hukum positif atas pembeli fashion hijab secara online.
4. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan persamaan dan perbedaan hak
khiya>r konsumen terhadap sistem retur dalam jual beli fashion hijab
secara online menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan
Konsumen.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun manfaat dan nilai guna yang di harapkan penulis melalui
penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut :
1. Aspek Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi penambahan atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum, khususnya hukum
Islam dan hukum positif, yakni dengan memperkaya dan memperluas
12
retur dalam jual beli fashion hijab secara online di instagram
#tashaproject.
2. Aspek Praktis
Untuk dijadikan pedoman baik di sosial media instagram maupun
media jual beli pada umumnya untuk bermu’amalah secara Islami dan
dijadikan tolak ukur serta bahan kajian bagi semua pihak yang terlibat
dalam jual beli online.
G. Definisi Operasional
1. Hak Khiya>r Konsumen : hak untuk konsumen memilih salah satu di
antara dua hal, yaitu meneruskan akad jual beli atau membatalkannya
dalam hukum positif dan hukum Islam.
2. Sistem Retur dalam Jual Beli : sistem dimana barang dagangan yang
diterima kembali oleh pihak penjual atas pengembalian barang dari pihak
pembeli karena suatu alasan dan atau sebab tertentu.
3. Instagram : sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna
mengambil foto dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial
yang bisa juga digunakan sebagai saran jual beli.
4. #tashaproject : sebuah nama perusahaan atau industri rumahan yang
melakukan transaksi jual beli dengan cara online. Dan juga industri
rumahan yang bertempat tinggal di jalan Alas Malang Surabaya Barat.
5. Studi Komparatif : penelitian yang bersifat membandingkan antara
13
H. Metode Penelitian
Studi ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni data
yang diperoleh langsung dari konsumen melalui proses pengamatan
(observasi), wawancara, dan dokumentasi.9 Adapun metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data Yang Dikumpulkan
Berdasarkan rumusan masalah yang yang telah disebutkan, maka
data yang akan dikumpulkan meliputi:
a. Data tentang transaksi jual beli dan sistem retur fashion hijab di
instagram.
b. Data yang bersumber dari hukum islam dan hukum positif yang
berhubungan dengan khiya>r.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data,
yaitu :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung dilapangan oleh orang yang melakukan
penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya.10 Yang
meliputi :
1) Konsumen yang membeli barang di instagram #tashaproject.
2) Penjual atau pemilik instagram#tashaproject.
14
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber dari bahan bacaan yang
bersifat membantu atau menunjang dalam melengkapi serta
memperkuat data. Memberikan penjelasan mengenai sumber data
primer, berupa buku daftar pustaka yang berkaitan dengan objek
penelitian.11 Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini
adalah :
1) Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah
2) Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen
3) Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah
4) Anwar Manshur, Kitab Fath Al-Qarib
5) Wahbah Az-Zuhaili,
ﻪ
ﺩ
ْ
ْ
ْ
ْﻪ
ﻔ ﻘ
ْ
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan informasi yang kongkrit dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai
berikut :
a. Metode Observasi (Pengamatan).
Pengumpulan data menggunakan atau mengadakan
pengamatan induktif dan komparatif.
b. Metode Interview (Wawancara).
Merupakan percakapan dalam bentuk tanya jawab yang
diarahkan pada pokok permasalahan tertentu oleh dua orang atau
15
lebih yang berhadapan secara fisik. Teknik wawancara ini dilakukan
untuk mendapatkan data melalui informasi dari konsumen instagram
#tashaproject yang pernah melakukan jual beli.
c. Metode Dokumentasi
Pengumpulan data dengan cara mengambil data yang ada di
lapangan atau berupa fakta fisik data. Berupa akun instagram yang
digunakan oleh Tashaproject untuk memasarkan produknya dan juga
produk-produk yang dijual seperti baju muslim, jilbab, dll.
4. Teknik Pengolahan Data
Untuk memudahkan analisis, maka diperlukan pengolahan data
dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Editing
Editing adalah kegiatan pengeditan akan kebenaran dan
ketetapan data tersebut.12 Data yang saya editing mengenai data
wawancara dan pengamatan langsung dengan penjual.
b. Organizing
Organizing adalah suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan
penelitian.13 Data yang saya organizing mengenai data pemasaran
penjualan, produk penjualan, dan sistem penjualan.
c. Coding
12Ibid., 97.
16
Coding adalah kegiatan mengklasifikasi dan memeriksa data
yang relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.14 Data
yang saya coding mengenai data bukti wawancara langsung dengan
pembeli.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data dikumpulkan melalui kegiatan pengumpulan data,
kemudian data akan dianalisis menggunakan teknik komparatif.
Hasil analisis disampaikan dengan menggunakan pola pikir
induktif yaitu metode yang digunakan untuk mengemukakan fakta-fakta
atau kenyataan dari hasil penelitian yang bersifat khusus tentang jual beli
fashion hijab secara online di instagram #tashaproject. Kemudian
dianalisis menggunakan studi komparatif antara hukum Islam dan hukum
positif sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis agar mempermudah
di dalam penelitian. Sistematika pembahasan ini sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
17
Bab kedua adalah landasan teori yang berisi tentang prinsip-prinsip
muamalah, pengertian khiya>r, macam-macam khiya>r, hukum akad dalam
masa khiya>r, hukum khiya>r dalam jual beli.
Bab ketiga memuat tentang deskripsi lokasi penelitian meliputi:
penjelasan tentang jual beli fashion hijab secara online di instagram
#tashaproject, perlindungan konsumen terhadap pembeli/konsumen dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen, hak dan kewajiban konsumen dan
pelaku usaha perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Bab keempat merupakan analisis masalah meliputi: Hak khiya>rretur
pembeli fashion hijab secara online, sistem retur dalam jual beli fashion hijab
di instagram #tashaproject, tinjauan hukum Islam dan hukum positif atas
pembeli fashion hijab secara online, Persamaan dan perbedaan hak khiya>r
konsumen terhadap sistem retur dalam jual beli fashion hijab secara online
menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Bab kelima adalah penutup yang memuat kesimpulan-kesimpulan
yang merupakan jawaban dari permasalahan dan dilengkapi dengan
saran-saran, selain itu dalam bab terakhir ini akan dilengkapi dengan daftar pustaka
BAB II
HAK KHIYA>R KONSUMEN TERHADAP SISTEM RETUR DALAM JUAL
BELI FASHION HIJAB SECARA ONLINE DI INSTAGRAM#tashaproject
A. Pengertian Khiya>r
Seorang pelaku akad memiliki hak khiya>r (hak pilih) antara
melanjutkan akad atau tidak melanjutkannya dengan mem-fasakh-nya (jika
khiya>r -nya khiya>r syarat, khiya>r ru’yah, khiya>r aib) atau pelaku akad
memilih salah satu dari dua barang dagangan (jika khiya>r -nya khiya>r
ta’yiin).
Perlu diketahui bahwa hukum asal jual beli adalah mengikat (lazim),
karena tujuan jual beli adalah memindahkan kepemilikan. Hanya saja, syariat
menetapkan hak khiya>r dalam jual beli sebagai bentuk kasih sayang terhadap
kedua pelaku akad.
Hak khiya>r ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang
melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang
mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi
tercapai dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, diadakannya khiya>r oleh
syara’ agar kedua belah pihak dapat memikirkan lebih jauh kemaslahatan
masing-masing dari akad jual belinya, supaya tidak menyesal di kemudian
hari, dan tidak merasa tertipu.2
Jadi, hak khiya>r itu ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan
dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu
1 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Depok, Gema Insani, 2007),181
segi memang khiya>r (opsi) ini tidak praktis karena mengandung arti
ketidakpastian suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak yang
melakukan transaksi, khiya>r ini yaitu jalan terbaik.
B. Macam-macam Khiya>r
Macam-macam khiya>r sangat beragam menurut beberapa pandangan
para ulama. Secara garis besar, khiya>r terbagi kepada tiga macam, yaitu:
khiya>r majlis, khiya>r syarat, dan khiya>r ‘aib.
1. Khiya>r Majlis
khiya>r Majlis yaitu tempat transaksi, dengan demikian khiya>r
Majlis berarti hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan
akad selagi mereka berada dalam tempat transaksi dan belum berpisah.
khiya>r seperti ini hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat
kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual beli dan
sewa-menyewa.
Kadang-kadang terjadi, salah satu yang berakad tergesa-gesa
dalam ijab atau qabul. Setelah itu, tampak adanya kepentingan yang
menuntut dibatalkannya pelaksanaan akad. Karena itu, syariat
mencarikan jalan baginya untuk ia dapat memperoleh hak yang mungkin
hilang dengan tergesa-gesaan tadi. Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Hakim bin Hazam bahwa Rasulullah saw bersabda:
ْ ﺻ ْ
ْ
ْ ْ ْ ﺃ
ْ ﻐْ
.( ﺴ
)
ْ ْ ْ
diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah keberkahan jual beli mereka”. (HR, Bukhari dan Muslim).
Artinya, bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah pihak ini
mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya
belum berpisah secara fisik. Dalam kaitan pengertian berpisah dinilai
sesuai dengan situasi dan kondisinya. Di rumah yang kecil, dihitung
sejak salah seorang keluar. Di rumah besar, sejak berpindahnya salah
seorang dari tempat duduk kira-kira dua atau tiga langkah. Jika keduanya
bangkit dan pergi bersama-sama maka pengertian berpisah belum ada.
Khiya>r majlis dikenal di kalangan ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah. Dengan demikian, akad akan menjadi lazim, jika kedua pihak
telah berpisah atau memilih. Hanya saja, khiya>r majlis tidak dapat berada
pada setiap akad. Khiya>r majlis hanya ada pada akad yang sifatnya
pertukaran, seperti jual-beli, upah-mengupah, dan lain-lain.
a. Pandangan Para Ulama Tentang Khiya>r Majlis
Berkaitan dengan khiya>r majlis, pendapat para ulama terbagi
atas dua bagian:
1) Ulama Hanafiyah dan Malikiyah
Golongan ini berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim
dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan
khiya>r, sebab Allah SWT. menyuruh untuk menepati janji,
menepati janji), sedangkan khiya>r menghilangkan keharusan
tersebut.
Selain itu, suatu akad tidak akan sempurna, kecuali dengan
adanya keridaan, sebagaimana firman-Nya:
ﺽ ْ
ْ ْ
ْ ْ
Artinya:
Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka. (QS. An-Nisa’:29)
Sedangkan keridaan hanya dapat diketahui dengan ijab dan qabul.
Dengan demikian, keberadaan akad tidak dapat digantungkan atas
khiya>r majlis.
Golongan ini tidak mengambil hadis-hadis yang berkenaan
dengan keberadaan khiya>r majlis sebab mereka tidak
mengakuinya. Selain itu, adanya anggapan tentang keumuman
ayat di atas.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dua orang
yang akad pada jual-beli ( ) adalah orang yang melakukan
tawar-menawar sebelum akad, untuk berakad atau tidak. Adapun
maksud dari berpisah ( ) adalah berpisah dari segi ucapan
dan bukan badan. Dengan kata lain, bagi yang menyatakan ijab, ia
boleh menarik ucapannya sebelum dijawab qabul, sedangkan bagi
yang lainnya (penerima) boleh memilih apakah ia akan
menerimanya di tempat tersebut atau menolaknya.
Khiya>r Syarat yaitu kedua pihak atau salah satunya berhak
memberikan persyaratan khiya>r dalam waktu tertentu. Lama syarat yang
diminta paling lama tiga hari.
Hadis dari Ibnu Umar, Rasulullah saw. bersabda:
ْ ْ
ْ ْ ْ ْ
“Setiap dua orang yang melakukan jual beli, belum sah dinyatakan jual beli itu sebelum mereka berpisah, kecuali jual beli khiya>r”.
Artinya, jual beli dapat dilangsungkan dan dinyatakan sah bila
mereka berdua telah berpisah, kecuali bila disyaratkan oleh salah satu
kedua belah pihak, atau kedua-duanya adanya syarat dalam masa
tertentu.
Jika masa waktu yang ditentukan telah berakhir dan akad tidak
difasakhkan, maka jual beli wajib dilangsungkan. Khiya>r batal dengan
ucapan dan tindakan si pembeli terhadap barang yang ia beli, dengan
jalan mewakafkan, menghibahkan, atau membayar harganya, karena yang
demikian itu menunjukkan kerelaannya.
a. Khiya>r yang merusak (Mufsid)3
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah dalam pendapat
yang shahih dari mazhab mereka bersepakat bahwa jika kedua pelaku
akad menyebutkan khiya>r untuk selamanya, seperti jika salah satunya
berkata, “Saya jual atau saya beli dengan syarat saya memiliki khiya>r
selamanya”, atau menyebutkan khiya>r secara mutlak, seperti jika
salah satunya berkata, “Dengan syarat saya memiliki khiya>r,” atau,
“Kapan saja saya inginkan,” atau menyebutkan waktu yang tidak bisa
diketahui, seperti waktu kedatangan Zaid, waktu angin kencang,
waktu turun hujan, atau beberapa hari, maka akad itu tidak sah
karena adanya ketidakjelasan yang besar (jahalah fakhisyah).
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad itu
batil. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa akad itu hanya
fasid saja, sehingga jika syaratnya dibatalkan sebelum berlaku masa
tiga hari, dibuang tambahannya atau ditentukan masa khiya>r-nya,
maka sah jual belinya, karena hilangnya sesuatu yang merusak akad.
Ulama Syafi’iyah berhujah bahwa masa khiya>r disandarkan
pada akad, sehingga ia tidak sah karena adanya ketidakjelasan
(jahalah), sama seperti ketidakbolehan adanya ketidakjelasan waktu.
Selain itu, karena mensyaratkan khiya>r untuk selamanya dan
sebagainya dari bentuk-bentuk di atas mengakibatkan larangan
membelanjakan untuk selamanya. Hal ini bertentangan dengan
ketentuan akad, oleh karena itu tidak sah akad tersebut, sama seperti
jika dia berkata, “Saya jual kepadamu dengan syarat jangan
dibelanjakan."
Sedangkan ulama Hanafiyah berdalil dengan dalil yang sama.
Mereka berkata bahwa syarat khiya>r mengubah ketentuan dasar akad,
tetapi kami membolehkannya dengan adanya nash hadits Hibban bin
selain yang ditentukan dalam nash tersebut tetap sesuai dengan
ketentuan asalnya.
Imam Malik dan Imam Ahmad dalam satu riwayat berpendapat
bahwa dibolehkan khiya>r mutlak. Hanya saja Ahmad berkata bahwa
kedua pelaku akad memiliki khiya>r mereka selamanya, atau
memutuskannya, atau habis masanya. Sedangkan Malik mengatakan
bahwa penguasa membatasi masa khiya>r seperti masa khiya>r umum
dalam masyarakat. Karena memilih barang pada keadaan serupa
ditentukan oleh kebiasaan, sehingga jika masa khiya>r dinyatakan
secara mutlak maka ditafsirkan sesuai dengan kebiasaan.
b. Khiya>r yang legal (Masyruk)4
khiya>r yang legal yaitu dengan menyebutkan waktu yang jelas.
Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini antara para fuqaha.
Landasan hukum khiya>r syarat dijelaskan dalam hadits Hibban bin
Munqidz yang tertipu dalam jual beli.
c. Masa khiya>r legal5
Ada tiga pendapat ulama tentang masa khiya>r. Abu Hanifah,
Zufar, dan Syafi’i berpendapat bahwa mensyaratkan masa yang
diketahui dan tidak lebih dari tiga hari adalah boleh. Hal itu karena
hukum asal menyatakan tidak boleh ada khiya>r dalam jual beli,
karena bertentangan dengan ketentuan akad dan dapat mencegah
perpindahan kepemilikan. Akan tetapi, ada dalil yang membolehkan
khiya>r dan melanggar hukum asal ini, yaitu hadits Hibban bin
Munqidz yang telah disebutkan di atas. Begitu juga, hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Anas bahwa ada seseorang
membeli unta dari orang lain dan mensyaratkan adanya khiya>r selama
empat hari. Rasulullahpun lalu membatalkan jual beli itu, dan
berkata,
ﺃ ﺛ ﺛ
“Masa khiya>r adalah tiga hari”. (HR. Abdurrazzaak)
Di samping karena pada umumnya kebutuhan dapa terpenuhi
dengan khiya>r selama tiga hari, sehingga jika lebih dari itu maka jual
beli itu menjadi fasid menurut Abu Hanifah dan Zufar. Menurut Abu
Hanifah, jual beli tersebut bisa kembali menjadi sah jika dilakukan
khiya>r selama tiga hari, karena hal yang membuat akad menjadi rusak
telah hilang sebelum terjadinya kerusakan (fasid). Sedangkan
menurut Zufar, jual beli yang fasid tidak bisa kembali menjadi sah
sama sekali.
Adapun ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiya>r boleh
dengan jumlah waktu yang dibutuhkan. Hal itu berbeda sesuai dengan
perbedaan barang dagangan. Buah-buahan yang tidak dapat bertahan
lebih dari satu hari maka tidak boleh disyaratkan masa khiya>r lebih
dari satu hari. Begitu juga, baju atau binatang tunggangan masa
padanya dalam tiga hari dibolehkan mensyaratkan khiya>r lebih dari
tiga hari, rumah dan sejenisnya membutuhkan waktu khiya>r selama
satu bulan.
Dalil mereka adalah bahwa yang dipahami dari akad khiya>r
adalah ia bertujuan untuk menguji barang dagangan. Jika demikian,
maka khiya>r wajib ditentukan oleh waktu yang memungkinkan untuk
menguji suatu barang dagangan, dan itu berbeda sesuai dengan
barang-barangnya. Nash yang ada menurut mereka hanya sebagai
pengingat atas makna ini, yaitu bahwa khiya>r dilegalkan untuk
kebutuhan pelaku akad, maka masanya ditentukan oleh kebutuhannya
itu.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, Abu Hanifah, dan Zufar,
nash tersebut termasuk dalam konsep al-khaash
3. Khiya>r ‘aib
a. Arti dan Landasan Khiya>r ‘Aib
Khiya>r ‘aib yaitu hak pilih untuk meneruskan atau
membatalkan akad dikarenakan terdapat cacat pada barang yang
mengurangi harganya. Ketetapan adanya khiya>r mensyaratkan adanya
barang pengganti, baik diucapkan secara jelas ataupun tidak, kecuali
jika ada keridaan dari yang akad. Sebaliknya, jika tidak tampak
adanya kecacatan, barang pengganti tidak diperlukan lagi. Jadi,
dibelinya, pembeli dapat mengembalikan barang tersebut dengan
meminta ganti barang yang baik, atau kembali barang dan uang.
Dasar hukum khiya>r‘aib, di antaranya sabda Rasulullah Saw.:6
ْﺴ ْ ﺃ ْﺴ ْ ﺃ
ْ ْ ﯨْ ْ ﺃ ْ ْﺴ ﯨ
(
)
“Sesama muslim itu bersaudara: tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang itu terdapat ‘aib/cacat.” (HR. Ibnu Majah dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir).
Para ulama menetapkan khiya>r bagi pembeli antara mengambil
barang jika dia menyetujuinya, atau mengembalikannya ditambah
satu sha’ kurma kering jika dia tidak menginginkannya. Abu Yusuf
sepakat dengan jumhur ulama atas pendapat ini dengan didasarkan
pada hadits yang lalu. Sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad
berpendapat bahwa pembeli mengembalikan dengan barang yang
kurang saja jika dia menghendaki.
b. Cara-cara Menetapkan Cacat dan Syarat-syarat Menetapkan Khiya>r
Adapun cara menetapkan cacat berbeda sesuai dengan
perbedaan cacat. Cacat ada empat macam. Pertama, cacat luar yang
terlihat, seperti jari lebih atau kurang, gigi rontok, buta, buat sebelah,
dan sejenisnya. Kedua, cacat dalam yang tersembunyi dan tidak dapat
diketahui kecuali oleh dokter. Ketiga, cacat yang tidak dapat
diketahui kecuali oleh wanita. Keempat, cacat yang tidak bisa
diketahui dengan penglihatan (kasat mata), tetapi ia memerlukan
percobaan dan ujian ketika adanya pertentangan.
1) Cacat yang bisa terlihat
Hakim tidak perlu membebankan pembeli untuk
memberikan bukti adanya cacat di tangannya, karena cacat
tersebut keberadaannya dapat terlihat dengan jelas. Pembeli
berhak memperkarakan penjual karena adanya aib ini dan hakim
wajib untuk menyelidikinya.
Jika biasanya cacat itu tidak terjadi di tangan pembeli,
seperti jari lebih dan sejenisnya, maka barang itu dikembalikan
pada penjual. Pembeli tidak dibebankan untuk memberikan bukti
atas adanya cacat di tangan penjual karena cacat itu telah terbukti
secara meyakinkan. Kecuali jika penjual mengaku adanya
kerelaan pembeli atas aib itu dan dakwaan berlepas diri darinya,
maka ketika itu pembeli diminta untuk memberikan bukti.
Jika penjual memberikan bukti, maka diputuskan sesuai
dengan bukti tersebut. Tetapi jika tidak, maka pembeli diminta
bersumpah atas dakwaannya. Jika pembeli menolak bersumpah,
maka barang yang cacat tidak dikembalikan kepada penjual.
Namun, jika dia bersumpah, maka barangnya dikembalikan
kepada penjual.
Jika cacatnya bisa terjadi di tangan pembeli, maka hakim
tangan kamu?” Jika penjual menjawab, “Ya,” maka hakim
memutuskan mengembalikan barang kepadanya, kecuali jika dia
berlepas tangan dari aib atau mengaku adanya kerelaan pembeli.
Jika penjual mengingkari dan berkata, “Tidak,” maka perkataan
yang dibenarkan adalah perkataannya, kecuali jika pembeli
memberikan bukti. Jika pembeli memberikan bukti, maka hakim
memutuskan mengembalikan barang kepada penjual, kecuali jika
penjual berlepas tangan darinya atau mengaku adanya kerelaan
pembeli. Jika pembeli tidak memiliki bukti atas dakwaan cacat di
tangan penjual dan telah diminta untuk bersumpah, maka penjual
diminta bersumpah dengan nama Allah secara tegas dan pasti,
bukan hanya mengaku tidak mengetahuinya, “Saya telah
menjualnya dan menyerahkannya, tetapi cacat ini tidak ada
padanya.” Karena ini adalah perkara yang jika dia mengakuinya
maka ia wajib memenuhinya. Tetapi jika dia mengingkari, maka
disumpah. Alasan mengapa dia bersumpah dengan
menggabungkan antara penjualan dan penyerahan adalah karena
cacat itu bisa saja terjadi setelah jual beli tapi sebelum
diserahkan, sehingga pembeli memiliki hak pengembalikannya.
Oleh karena itu, sebagai tindakan preventifnya (ihtiyaath)
dilakukan penggabungan antara keduanya (penjualan dan
penyerahan). Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh
Sebagian masyayikh berpandapat bahwa tidak perlu
adanya kehati-hatian (ihtiyaath) dalam hal ini. Karena jika dia
diminta bersumpah dengan bentuk seperti ini, maka cacat itu bisa
saja terjadi setelah jual beli dan sebelum penyerahan, sehingga
penjual benar dalam sumpahnya. Karena syarat pelanggaran
sumpahnya adalah adanya cacat ketika jual beli dan penyerahan
secara bersama, sehingga tidak dianggap melanggar sumpah jika
terjadi cacat pada salah satunya, maka hak pembeli pun menjadi
hilang. Kehati-hati bagi pembeli dapat tercapai jika penjual
bersumpah atas nama Allah bahwa “pembeli tidak berhak
mengembalikan barang karena cacat yang dituduhkannya ini.”
Sebagian berpendapat bahwa ia disumpah atas nama Allah bahwa,
“Saya telah menyerahkannya dan tidak ada cacat padanya
sebagaimana yang ia tuduhkan itu.” Kasani berkata, “Ini pendapat
yang shahih, karena ia memasukkan di dalamnya cacat yang ada
ketika jual beli dan cacat yang terjadi sebelum adanya
penyerahan.”
Jika dia bersumpah, maka dia bebas dan barangnya tidak
dikembalikan padanya. Tetapi jika dia mengingkarinya, maka
barangnya dikembalikan padanya dan akadnya batal, kecuali jika
penjual berlepas diri darinya dan mengaku adanya kerelaan
pembeli.
Jika cacatnya termasuk dalam hal yang tidak bisa
diketahui kecuali oleh wanita, maka hakim mengembalikannya
pada perkataan wanita. Hakim akad memperlihatkan cacat itu
kepada mereka.
Mereka tidak disyaratkan beberapa orang saksi, tetapi
cukup dengan perkataan satu orang wanita yang adil atau dua
orang untuk lebih hati-hati. Hal itu karena perkataan seorang
wanita dalam hal yang tidak bisa diketahui oleh laki-laki adalah
hujjah dalam syariat, seperti kesaksian bidan dalam nasab
(keturunan).
Jika seorang wanita bersaksi atas cacat, di sana ada dua
riwayat dari masing-masing ash-Shahiban.
Dalam satu riwayat dari Abu Yusuf, dibedakan antara jika
barang ada di tangan penjual atau jika barang ada di tangan
pembeli.
Jika barangnya ada di tangan penjual, maka cacatnya
ditetapkan dengan kesaksian seorang wanita. Jika terbukti, maka
barangnya dikembalikan dan jual belinya batal. Karena sesuatu
yang tidak bisa diketahui oleh laki-laki, maka perkataan seorang
wanita kedudukannya seperti kedudukan bukti.
Jika barangnya di tangan pembeli, maka hak
memperkarakan ditetapkan oleh perkataan seorang wanita. Lalu
barang tersebut menjadi cacat dalam tanggung jawab pembeli,
maka tanggung jawab tersebut tidak bisa dipindahkan kepada
penjual dengan perkataan seorang wanita. Kemudian hakim
bertanya kepada penjual, “Apakah cacat ini terjadi di tanganmu?”
Hal ini seperti telah dijelaskan dalam contoh cacat tersembunyi.
Sedangkan dalam riwayat yang lain dari Abu Yusuf, ia
berpendapat bahwa jika cacatnya termasuk hal yang tidak biasa
terjadi, maka jual belinya batal dengan didasarkan pada perkataan
wanita. Hal itu karena cacatnya telah ditetapkan oleh kesaksian
mereka (wanita), dan kita telah mengetahui dengan yakin bahwa
cacatnya terjadi di tangan penjual.
Jika cacatnya termasuk hal yang biasa terjadi, maka hak
mem-fasakh tidak bisa ditetapkan dengan perkataan wanita,
karena ini termasuk hal yang bisa diketahui oleh selain mereka.
Adapun dua riwayat dari Muhammad adalah sebagai berikut.
Dalam satu riwayat ia berpendapat bahwa jual beli tidak
batal (fasakh) sama sekali dengan perkataan wanita. Sedangkan
dalam riwayat yang lain dinyatakan bahwa jual belinya batal
sebelum dan sesudah adanya serah terima dengan perkataan
mereka (wanita), karena perkataan mereka dalam hal yang tidak
bisa diketahui oleh laki-laki kedudukannya seperti bukti, ini sama
seperti dalam penetapan nasab (keturunan).
Adapun cacat yang tidak bisa terlihat ketika adanya
perselisihan dan tidak bisa diketahui kecuali dengan percobaan,
seperti kaburnya budak, gila, pencurian dan kencing di atas kasur,
maka tidak bisa ditetapkan kecuali dengan kesaksian dua orang
laki-laki dan dua orang wanita.
Jika pembeli menyatakan bahwa terjadinya cacat di
tangannya, maka hakim bertanya kepada penjual, “Apakah budak
itu pernah kabur ketika bersamamu?” jika dia menjawab, “Ya,”
maka hakim memutuskan untuk mengembalikannya kepada
penjual, kecuali jika dia berlepas diri darinya dan mengaku
adanya kerelaan pembeli. Tetapi jika penjual mengingkari cacat
kaburnya budak itu, dan mengaku perbedaan dalam cacat ini
antara besar dan kecil, seperti yang telah diterangkan dahulu,
maka hakim bertanya kepada pembeli, “Apakah kamu memiliki
bukti?” jika dia menjawab, “Ya,” dan memberikan bukti atas
pengakuannya, maka hakim memutuskan untuk
mengembalikannya kepada penjual. Jika menjawab, “Tidak,”
maka perlu diminta bersumpah atas nama Allah bahwa budak itu
tidak pernah kabur darinya sama sekali. Jika dia bersumpah, maka
perkara antara mereka berdua terputus. Tetapi, jika menolak
bersumpah, maka diputuskan untuk mengembalikan budak
Jika pembeli tidak mampu menetapkan terjadinya cacar di
tangannya, apakah hakim meminta penjual bersumpah atas itu
atau tidak?
Ash-Shahiban berpendapat bahwa ia diminta sumpahnya,
sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa ia tidak diminta
sumpahnya.
Dalil Ash-Shahiban adalah bahwa pembeli menuntut hak
pengembalian, dan tidak mungkin mengembalikannya kecuali
dengan menetapkan terjadinya cacat di tangannya. Cara
menetapkannya bisa dengan bukti atau penolskan penjual untuk
bersumpah. Jika dia tidak memiliki bukti, maka diminta
bersumpah agar penjual mengingkarinya, sehingga cacat terbukti
terjadi di tangannya. Oleh karena itu, pembeli diminta bersumpah
ketika tidak ada bukti atas adanya cacat di tangan pembeli, maka
begitu juga hal ini.
c. Hal-hal yang menghalangi pengembalian karena cacat dan gugurnya
khiya>r
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan pengembalian
barang karena cacat menjadi terhalang, hak khiya>r menjadi gugur
setelah ditetapkan dan jual beli menjadi lazim. Di antaranya adalah
sebab yang terjadi setelah adanya komitmen penjual untuk
memberikan ganti rugi karena cacat. Begitu juga, sebab yang tidak
Pertama, rela terhadap cacat setelah mengetahuinya. Baik
dilakukan secara jelas, seperti berkata, “Saya rela dengan cacat ini,”
atau menyetujui jual beli, maupun dilakukan secara tidak langsung
(dilalah), seperti menggunakan barang dengan penggunaan yang
menunjukkan adanya kerelaan, seperti mewarnai baju atau
memotongnya, membangun bangunan di atas tanah, menggiling
gandum, memanggang daging, menjual barang atau menghibahkan
atau menggadaikannya walaupun tanpa ada penyerahan atau
menggunakannya dengan berbagai bentuk seperti memakai baju,
menunggangi binatang, mengobati barang dagangan (jika merupakan
makhluk hidup, Penj.) dan sebagainya, sebagaimana telah disebutkan
dalam pembahasan khiya>r syarat. Begitu juga, memberikan imbalan
atas cacat padanya secara hakiki, atau maknawi seperti ia dibunuh
oleh orang asing dengan tidak sengaja sedangkan ia berada di bawah
kekuasaannya, maka dia mengambil nilainya darinya.yang demikian
itu karena hak pengembalian didasarkan pada hilangnya unsur
keselamatan barang yang disyaratkan dalam akad secara implisit.
Ketika pembeli rela dengan cacat barang setelah ia mengetahuinya,
maka hal itu menunjukkan bahwa ia tidak mensyaratkan keselamatan
barang. Selain itu, jika ia rela dengan adanya cacat, maka berarti ia
rela dengan adanya mudharat, yaitu menggugurkan jaminan ganti
rugi atas cacat. Dalam hal pemberian ganti rugi, jika terjadi
baik (selamat) secara makna dengan memberikan gantinya. Ini adalah
pendapat dalam zhahir riwayat. Hal itu karena ketika nilainya sampai
padanya, maka nilai tersebut menduduki kedudukan barang, sehingga
menjadi seakan-akan dia menjualnya.
Kedua, membatalkan khiya>r dengan jelas atau tidak, contoh
jika pembeli berkata, “Saya menggugurkan atau membatalkan khiya>r
ini,” atau, “Saya mengharuskan jual beli atau mewajibkannya,” dan
sebagainya.
Tambahan dalam barang dagangan bisa muncul sebelum
adanya serah terima atau setelahnya, dan setiap masing-masing
tambahan bisa secara menyambung atau terpisah.
d. ‘Aib Mengharuskan Khiya>r
Menurut ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat
dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak
adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongnya
tanduk binatang yang akan dijadikan korban.
e. Syarat Tetapnya Khiya>r
Disyaratkan untuk tetapnya khiya>r ‘aib setelah diadakan
penelitian yang menunjukkan:
1) Adanya ‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni ‘aib
tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau
2) Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika
menerima barang. Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui
adanya cacat ketika menerima barang, tidak ada khiya>r sebab ia
dianggap telah rida.
3) Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan
jika ada cacat. Dengan demikian, jika penjual mensyaratkannya,
tidak ada khiya>r. Jika pembeli membebaskannya, gugurlah hak
dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan menurut salah satu riwayat
dari hanabilah berpendapat bahwa seorang penjual tidak sah minta
dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan’aib, apabila ‘aib
tersebut sudah diketahui oleh keduanya, kecuali jika ‘aib tidak
diketahui oleh pembeli.
d. Waktu Khiya>r ’Aib
Khiya>r ‘Aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad
telah berlangsung cukup lama. Mengenai membatalkan akad setelah
diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan.
Adapun ulama Syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa
pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat, yakni
secara langsung menurut adat, tidak boleh ditangguhkan. Namun
demikian, tidak dianggap menangguhkan jika diselingi shalat, makan,
karena mengakhirkan, yakni hilangnya hak khiya>r karena
mengakhirkan sehingga akad menjadi lazim.
e. Cara Pengembalian Akad
Apabila barang masih berada di tangan pemilik pertama, yakni
belum diserahkan kepada pembeli, akad dianggap telah dikembalikan
(dibatalkan), dengan ucapan, “Saya kembalikan.” Dalam hal ini tidak
memerlukan keputusan seorang hakim, tidak pula membutuhkan
keridaan. Hal itu disepakati oleh ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad batal
dengan ucapan pembeli, “Saya kembalikan,” tanpa membutuhkan
keridaan atau keputusan hakim, sebagaimana pembatalan pada khiya>r
syarat atau khiya>r ru’yah, sebab khiya>r ‘aib menjadikan jual beli
tidak lazim. Orang yang khiya>r dibolehkan membatalkan akad tanpa
seizin penjual atau keputusan hakim.
f. Hukum Akad dalam Khiya>r ‘Aib
Hak kepemilikan barang khiya>r yang masih memungkinkan
adanya ‘aib berada di tangan pada pembeli sebab jika tidak terdapat
kecacatan, barang tersebut adalah milik pembeli secara lazim.
Dampak dari khiya>r ‘aib adalah menjadikan akad tidak lazim bagi
yang berhak khiya>r, baik rela atas cacat tersebut sehingga batal
khiya>r dan akad menjadi lazim, atau mengembalikan barang kepada
g. Perkara yang Menghalangi untuk Mengembalikan Barang Ma’qud
‘alaih (barang) yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad
menjadi lazim dengan adanya sebab-sebab berikut:
1) Ridho setelah mengetahui adanya cacat, baik secara jelas
diucapkan atau adanya petunjuk, seperti menggunakan barangnya
(ber-tasharruf) yang menunjukkan atas keridhoan barang yang
cacat, seperti memakainya, menghadiahkan, dan lain-lain.
2) Menggugurkan khiya>r, baik secara jelas, seperti berkata, “saya
gugurkan khiya>r”. Atau adanya petunjuk, seperti membebaskan
adanya cacat pada ma’qud ‘alaih (barang).
3) Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk
aslinya.
4) Adanya tambahan pada barang yang bersatu dengan barang
tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau tambahan yang
terpisah dari barang, tetapi berasal dari aslinya, seperti
munculnya buah atau lahirnya anak.
C. Hukum Akad dalam Masa Khiya>r
Jika khiya>r milik dua pelaku akad, maka akad tidak tercapai dari sisi
hukumnya dalam hak keduanya, yaitu barangnya tidak lepas dari
kepemilikan penjual dan tidak masuk dalam kepemilikan pembeli, juga
kepemilikan penjual. Hal itu karena khiya>r yang mencegah sahnya akad dari
sisi hukumnya ada pada penjual dan pembeli. 7
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jual beli sama sekali tidak sah
dengan adanya syarat khiya>r dalam hak memindahkan kepemilikan bagi
pelaku akad yang memiliki khiya>r. Akan tetapi, jual belinya ditangguhkan
sampai waktu hilangnya khiya>r, baik dengan menyetujui jual beli maupun
mem-fasakh-nya. Jika dia menyetujuinya, maka jelas bahwa akadnya telah
menjadi sah sejak keberadaannya, yaitu sebelum adanya persetujuan jika
objek akad dapat menerima itu. Jika dia mem-fasakh jual beli, maka akadnya
tetap terus berada dalam ketidakabsahannya seperti pada kondisi pertama
(sebelum adanya fasakh).
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dalam berpendapat yang
azhhar, jika khiya>r yang disyaratkan milik penjual, maka dia memiliki barang
tersebut dan turunannya, seperti susu, mahar, buah, dan keuntungan. Tetapi
jika khiya>r-nya milik pembeli, maka kepemilikan barang untuk pembeli, hal
itu karena jika khiya>r milik salah satu dari keduanya, maka dia sendiri yang
bisa membelanjakan barang tersebut. Berlakunya pembelanjaan barang
tersebut dalil atas kepemilikan.
D. Hukum Khiya>r dalam Jual Beli
Hak khiya>r (memilih) dalam jual beli, menurut Islam dibolehkan,
apakah akan meneruskan jual beli atau membatalkannya, tergantung keadaan
(kondisi) barang yang diperjualbelikan.8
Di abad modern yang serba canggih, di mana sistem jual beli semakin
mudah dan praktis, masalah khiya>r ini tetap diberlakukan, hanya tidak
menggunakan kata-kata khiya>r dalam mempromosikan barang-barang yang
dijualnya, tetapi dengan ungkapan singkat dan menarik, misalnya: “Teliti
sebelum membeli”. Ini berarti bahwa pembeli diberi hak khiya>r (memilih)
dengan hati-hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli,
sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.
BAB III
HAK KHIYA>R KONSUMEN TERHADAP SISTEM RETUR DALAM JUAL
BELI FASHION HIJAB SECARA ONLINE DI INSTAGRAM#tashaproject
A. Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram #tashaproject
Jual beli telah dipraktekkan oleh masyarakat primitif ketika uang
belum digunakan sebagai alat tukar-menukar barang (barter). Meskipun jual
beli dengan sistem barter telah ditinggalkan, diganti dengan sistem mata
uang, tetapi terkadang esensi jual beli seperti itu masih berlaku.
Di jaman sekarang transaksi jual beli sudah semakin berkembang.
Sudah tidak lagi penjual dan pembeli harus bertemu atau bertatap muka saat
melakukan jual beli. Jual beli saat ini hanya dengan menggunakan
kecanggihan teknologi yaitu handphone. Hanya dengan aplikasi yang sudah
tersedia, banyak orang bisa melakukan kegiatan jual beli apapun dengan
sangat mudah.
Mau muda, remaja, tua, pria, wanita semuanya bisa mengakses
transaksi jual beli dengan aplikasi yang berkembang saat ini. Di kalangan
mereka yang sedang terkenal adalah menggunakan kecanggihan teknologi
aplikasi yaitu Instagram. Sebuah aplikasi yang bisa digunakan semua orang
[image:51.612.149.512.247.503.2]hanya dengan men-download lewat handphone mereka dan bisa meng-upload
gambar sesuka hati mereka. Dari situlah muncul ide orang untuk membuka
lapak atau berjualan di dalam aplikasi tersebut.
Jual beli makin mudah, hanya melakukan order atau pemesanan
di biodata toko penjual. Setelah itu pembeli melakukan transaksi
pembayaran via bank dengan cara mentransfer pembayaran ke nomor
rekening penjual. Setelah penjual menerima pembayaran, penjual langsung
mengirim barang pesanan pembeli ke alamat pembeli. Dengan semudah itu
transaksi jual beli bisa dilakukan saat ini. Tanpa perlu keluar rumah, atau
tanpa perlu ke pasar pembeli bisa memilih barang yang diinginkan dengan
melihat gambar-gambar yang sudah disediakan.
Karena kemudahan inilah pembeli dan penjual banyak yang
menggunakan aplikasi untuk membeli sesuatu. Karena para penjual juga
merasa kalau membeli barang dengan online via aplikasi, barang yang
disediakan lebih beragam, lebih update, lebih bagus dibanding yang ada di
pasaran. Tapi tidak semuanya kualitas barang online bagus dan sesuai
dengan gambar atau keterangan yang dicantumkan. Banyak juga barang yang
sudah sampai di alamat pembeli ada cacat atau rusak. Karena itu pembeli
juga harus jeli untuk memilih barang yang kualitasnya baik saat membeli
secara online.
Tapi banyak juga pembeli yang menyediakan pengembalian barang jika
ada cacat pada barang saat barang sampai di alamat tujuan. Pengembalian
atau pertukaran barang yang cacat dengan barang baru itu dinamakan retur.
Tetapi tidak semuanya menerima barang retur.
Penulis menemukan salah satu toko online bernama #tashaproject yang
menjual Fashion Hijab mulai dari jilbab sampai pakaian muslim untuk
dengan menjahit sendiri yang dilakukan oleh penjual dengan beberapa
karyawannya. Dari sebelum melakukan transaksi pembayaran, pihak penjual
#tashaproject sudah menginformasikan kepada calon pembeli, “jika ada
cacat barang dengan hasil produksi barang kami. Silahkan melakukan retur
dengan CS (Customer Service) kami. Nanti akan kami ganti dengan barang
baru yang lebih baik.” Itulah kutipan beberapa kalimat dari penjelasan bisa
nelakukan retur yang dilakukan oleh pembeli dan penjual.
Karena hal itu, banyak pembeli yang menjadi langganan bahkan
reseller di #tashaproject. Karena menurut pembeli, di dunia jual beli online
jarang ada penjual yang menerima komplain retur dari pembeli. Jadi para
pembeli menilai kalau Tashaproject bertanggungjawab dengan penjualan
produk mereka. Mereka melayani dengan baik para pembelinya dengan
menunjukkan kualitas produk yang mereka jual.
B. Perlindungan Konsumen Terhadap Pembeli/Konsumen dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen
Perkembangan perekonomian yang pesat, telah menghasilkan beragam
jenis dan variasi barang dan/atau jasa. Dengan dukungan teknologi dan
informasi, perluasan ruang, gerak dan arus transaksi barang dan/atau jasa
telah melintasi batas-batas wilayah negara, konsumen pada akhirnya
dihadapkan pada berbagai pilihan jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan
Kondisi seperti ini, pada satu sisi menguntungkan konsumen, karena
kebutuhan terhadap barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi
dengan beragam pilihan. Namun pada sisi lain, fenomena tersebut
menempatkan kedudukan konsumen terhadap produsen menjadi tidak
seimbang, di mana konsumen berada pada posisi yang lemah. Karena
konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
besarnya melalui kiat promosi dan cara penjualan yang merugikan
konsumen. Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi produsen jelas
sangat merugikan kepentingan rakyat. Pada umumnya produsen berlindung
di balik standart contact atau perjanjian baku yang telah ditandatangani oleh
kedua belah pihak, yakni antara konsumen dan produsen, ataupun melalui
informasi semu yang diberikan oleh produsen kepada konsumen. Hal
tersebut bukan menjadi gejala regional saja, tetapi sudah menjadi persoalan
global yang melanda seluruh konsumen di dunia. Timbulnya kesadaran
konsumen ini telah melahirkan satu cabang baru ilmu hukum, yaitu hukum
perlindungan konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari
kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat
keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen.
Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada
pada posisi yang lemah. Lebih-lebih jika produk yang dihasilkan oleh
produsen merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat
menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal itu tentu saja
akan merugikan konsumen.
Hubungan hukum antara produsen dan konsumen memiliki tingkat
ketergantungan yang cukup tinggi.2 Hubungan hukum antara produsen dan
konsumen yang berkelanjutan telah terjadi sejak proses produksi, distribusi,
pemasaran, dan penawaran.3
Di Indonesia, untuk melindungi kepentingan konsumen dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa, maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan pengaturan hak-hak konsumen melalui undang-undang.
Pembentukan undang-undang tersebut merupakan bagian dari implementasi
sebagai negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 di
samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut sebagai konstitusi
ekonomi yang mengandung ide negara kesejahteraan.
Karena sesungguhnya perlindungan konsumen adalah bagian dari
perlindungan hak asasi manusia (HAM). Bahwa ruang lingkup konsep HAM
tidak hanya dalam konteks hubungan antara rakyat dan negara, namun lebih
luas lagi HAM perspektif hubungan antarmasyarakat, yakni hubungan antara
produsen dan konsumen. Dalam hal ini, produsen mengakui eksistensi
konsumen sebagai manusia dan makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki
hak-hak universal dan patut memperoleh apresiasi secara positif.
Dalam Islam, pengaturan tentang konsumen mencerminkan hubungan
dirinya dengan Allah SWT. setiap pergerakannya dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa adalah manifestasi zikir atas nama Allah.
Batasan-batasan yang diberikan Islam k