• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan dan reproduksi Kelas Sosial: studi analisis proses reproduksi Kelas Sosial dalam perspektif Pierre Boudie di Sma al Khadijah Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendidikan dan reproduksi Kelas Sosial: studi analisis proses reproduksi Kelas Sosial dalam perspektif Pierre Boudie di Sma al Khadijah Surabaya."

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN DAN REPRODUKSI KELAS SOSIAL

(Studi Analisis Proses Reproduksi Kelas Sosial dalam Perspektif Pierre

Boudie di SMA Khadijah Surabaya)

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Ke-Islaman

Konsentrasi Pendidikan Agama Islam

Oleh

MULTAZAMUDZ DZIKRI NIM. F03213063

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul Pendidikan Dan Reproduksi Kelas Sosial; Studi Analisis Proses Reproduksi Kelas Sosial dalam Perspektif Pierre Boudie di SMA Al Khadijah Surabaya yang disusun oleh Multazamudz Dzikri NIM. F03213063

Kata Kunci: Pendidikan, Reproduksi Kelas Sosial, SMA Khadijah Surabaya.

Melalui pendidikan, berbagai pola pembiasaan dan penciptaan prilaku dapat dapat ditentukan. Pendidikan membentuk suatu habitus tertentu yang hanya dimiliki oleh masyarakat tertentu pula yang mendapatkan fasilitas dan akses dalam pendidikan tersebut. Pendidikan yang semula bermakna sebagai alat yang mentransformasikan pengetahuan pada setiap generasi, akhirnya berubah menjadi alat untuk mengukuhkan kelas sosial yang ada. Pendidikan, terutama pendidikan persekolahan yang semula bermakna sebagai proses transformasi kesadaran (consciousnes) justru menjadi lembaga reproduksi kelas sosial. Sekolah merupakan institusi yang paling efektif untuk melestarikan budaya-budaya yang dimiliki kelas dominan. Melalui hidden kurrikulumnya, sekolah mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan.

Dalam penelitian ini penulis membagi permasalahannya menjadi tiga

bentuk rumusan masalah : pertama, bagaimana hubungan berdirinya SMA

Khadijah Surabaya dengan reproduksi kelas sosial menurut pemikiran Pierre

Bourdieu? Kedua, bagaimana proses reproduksi kelas sosial di SMA Khadijah

Surabaya menurut pemikiran Pierre Bourdieu? ketiga, bagaimana hasil reproduksi

kelas sosial di SMA Khadijah Surabaya menurut pemikiran Pierre Bourdieu?. Tujuannya adalah mendeskripsikan dan menjabarkan proses terjadinya reproduksi kelas sosial menurut pemikiran Pierre Bourdieu. Tujuan lainnya adalah mengetahui hasil dari proses reproduksi kelas sosial di SMA Khadijah Surabaya. Pendekatan penelitian dalam thesis ini adalah rancangan studi analisis dengan berorientasi pada pendekatan kualitatif.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Hasil Penelitian ... 8

E. Definisi Operasional ... 9

F. Penelitian Terdahulu ... 11

G. Metode Penelitian ... 13

H. Sistematika Pembahasan ... 26

BAB II LANDASAN TEORI A. Pendidikan dan Reproduksi Kelas Sosial dalam Perspektif Pierre Boudieu ... 27

1. Pendidikan ... 27

2. Reproduksi Kelas Sosial menurut Pierre Bourdieu ... 47

B. Pendidikan Sebagai Sarana Reproduksi Kelas Sosial ... 61

BAB III PENYAJIAN DATA A. Profil Sekolah ... 70

(8)

BAB IV ANALISA DATA

A. Perjuangan Antar Kelas dalam Teori Reproduksi Kelas

Sosial Pierre Bourdieu ...113

B. Hubungan Antara Berdirinya SMA Khadijah Surabaya

dengan Reproduksi Kelas Sosial ...118

C. Reproduksi Kelas Sosial : Melahirkan Kelas Sosial

Menengah Moderat ...127

D. Hasil Reproduksi Kelas Sosial Di SMA Khadijah Surabaya ..138

BAB IV PENUTUP

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan.

Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang cerdas,

damai, terbuka, dan demokratis. Pendidikan dalam istilah Yunani disebut

peadagogi yang berarti pendidikan, serta peadagogie yang berarti pergaulan dengan anak. Konsep ini kemudian dimaknai sebagai usaha yang dilakukan

orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing atau

memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.1

Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia, yaitu suatu

pengangkatan manusia ke taraf insani sehingga dapat menjalankan hidupnya

sebagai manusia utuh dan membudayakan diri.2 Melaui pendidikan, manusia

meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan bagi masyarakat

dipandang sebagai “human investment”, ini berarti bahwa secara historis

maupun filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral,

dan etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan sebagai proses

“hominisasi dan humanisasi”, membantu manusia muda untuk berkembang

menjadi manusia yang utuh, bermoral, bersosial, berkarakter, berpribadi,

berpengetahuan dan berohani.3

1

Armani Arief, Reformulasi Pendidikan Islam (Jakarta: CRSD Press, 2006), 23.

2

Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pahima, 2007), 70.

3

(10)

2

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan merupakan proses

pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam

usaha mendewasakan manusia melaui upaya pengajaran atau pelatihan.4 Dapat

dipahami bahwa pendidikan merupakan sebuah proses mengubah prilaku

individu yang mengarah pada perubahan kearah yang lebih baik. Sehingga,

pendidikan bisa dikatakan sebagai salah satu pondasi mencerdaskan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Hal ini senada dengan Pembukaan Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa tujuan

nasioanal adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan keadilan sosial.5

Selanjutnya, Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa (1) Setiap

warga Negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga Negara wajib

mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3)

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan

nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan

undang-undang; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya

20 % (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta

dari pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional; dan (5) Pemerintah memajukan ilmu

4

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), 250.

5

(11)

3

pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan

persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat

manusia.6

Salah satu amanat UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut

dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata

sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara

Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan

proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Upaya pemerintah dalam mewujudkan cita-cita bangsa yang tertuang

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan anak

bangsa dilakukan dengan cara mewujudkan wajib belajar 12 tahun. Presiden

Jokowi melalui Menteri Bidang Koordinator Pembangunan Manusia dan

Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, pelaksanaan program wajib belajar

12 tahun akan dimulai Juni 2015.7 Menurut Puan, pelaksanaan program wajib

belajar 12 tahun sesuai janji kabinet kerja. Dengan adanya program wajib

belajar 12 tahun, semua anak Indonesia wajib masuk sekolah dan pemerintah

wajib membiayai serta menyediakan segala fasilitasnya.

Sebagai infomasi, terwujudnya wajib belajar 12 tahun sudah dirintis oleh

pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2012. Sebagai langkah awal,

siswa SMA/SMK juga bakal mendapat kucuran dana bantuan operasional

sekolah seperti yang selama ini diberikan kepada siswa jenjang pendidikan

6

UUD 1945, pasal 31, ayat 1-5

7

(12)

4

dasar SD dan SMP. Karena itu, setelah biaya operasional sekolah (BOS) SD

dan SMP terpenuhi, pemerintah berupaya memberikan BOS kepada

SMA/SMK dan madrasah aliyah (MA) supaya wajib belajar 12 tahun terwujud.

Selain itu, fenomena globalisasi juga menjadi pertimbangan tersendiri,

bahkan menjadi target tahun 2025, yang salah satunya adalah mengarah pada

suksesnya program pendidikan untuk semua (Education for All) yang

dideklarasikan oleh UNESCO dan memenuhi Hak-Hak Anak (Convention on

The Right of the Child) yang menyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan

mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas.8 Hal ini

juga senada dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1, secara eksplisit juga

dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan

pendidikan.9

Dari upaya pencapaian target tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan

merupakan hak dasar bagi setiap individu. Tidak peduli laki-laki atau

perempuan, kaya atau miskin, setiap individu berhak mendapatkan pendidikan

untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Akan tetapi, alih-alih untuk

meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pendidikan, peran pendidikan

dalam hal ini adalah sekolah, ternyata secara tidak langsung justru telah

memproduksi kelas-kelas sosial baru. Hal ini berkenaan dengan peran

pendidikan dalam mentrasmisikan pengetahuan, sikap, kepercayaan,

keterampilan, dan aspek kelakuan lainnya yang sebagian diambil alih oleh

8

Darmaningtiyas, Manipulasi Kebijakan Pendidikan (Jakarta, Resist Book, 2012), 3.

9

(13)

5

institusi formal. Kelas sosial baru yang dimaksud adalah kelas sosial yang

terbentuk melalui habitus dan simbolik tertentu yang menunjukkan bahwa

dirinya berbeda dari kelas lainnya.

Menurut Bourdieu, kelas merupakan agen atau aktor yang menduduki

posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan

atau diarahkan pada pengkondisian yang serupa.10 Keserupaan ini didasarkan

pada sikap mental atau budaya yang mereka dapatkan dan mereka miliki.

Sehingga dari hal tersebut kelas dapat dimaknai sebagai individu yang

menempati posisi atau kedudukan yang sama yang secara otomatis memiliki

kesamaan dalam hal sikap, kebiasaan, prilaku, dan selera.

Melalui pendidikan, berbagai pola pembiasaan dan penciptaan prilaku

dapat dapat ditentukan. Pendidikan membentuk suatu habitus tertentu yang

hanya dimiliki oleh masyarakat tertentu pula yang mendapatkan fasilitas dan

akses dalam pendidikan tersebut. Pendidikan yang semula bermakna sebagai

alat yang mentransformasikan pengetahuan pada setiap generasi, akhirnya

berubah menjadi alat untuk mengukuhkan kelas sosial yang ada.11

Pendidikan, terutama pendidikan persekolahan yang semula bermakna

sebagai proses transformasi kesadaran (consciousnes) justru menjadi lembaga

reproduksi kesenjangan sosial. Hal ini bisa ditandai dengan fakta hadirnya

sejumlah lembaga pendidikan yang semula nirlaba menjadi lembaga bisnis

yang mengarah pada kapitalisasi. Alih-alih mentransformasikan kesadaran,

10

Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah, Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Sosiologi Pierre Bourdieu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 34.

11

(14)

6

justru terjadi proses exclusion (ketiadaan akses) bagi kelas sosial tertentu

mendapatkan pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan menjadikan sebuah

sekolah hanya dimiliki oleh kelas sosial tertentu yang memiliki kapital sosial

berupa kapital ekonomi maupun kapital sosial.12 Pada situasi demikian, maka

pendidikan melahirkan suatu habitus yang hanya dapat dinikmati oleh kelas

menengah. Habitus adalah suatu sistem disposisi yang berangsung lama dan

berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis

generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara obyektif.

Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi

melalui kombinasi struktur obyektif dan sejarah personal.13 Sekolah telah

menjadi habitus kelas. Karena di dalamnya tercipta suatu bentuk

kebiasaan-kebiaaan yang berlaku pada orang-orang dalam komunitas kelas tertentu.

Fenomena hadirnya sekolah yang menjadi ajang bisnis ini mulai

menjamur di Surabaya. Berdirinya sekolah islam seolah mewakili lembaga

pendidikan teruntuk siswa golongan menengah ke atas. Bagaimana tidak?

Mahalnya biaya pendidikan di sekolah islam tidak terjangakau oleh siswa dari

golongan menengah kebawah. Untuk meningkatkan prestasi, setiap anak sudah

disiapkan kebiasaan belajar melalui lembaga bimbingan belajar. Disisi lain

siswa dituntut haru memiliki referensi buku-buku yang digunakan oleh guru

sebagai bahan ajar.

12

Bagian ini disarikan dari Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010), 173-180.

13

(15)

7

Berdasarkan realitas tersebut, semakin jelas bahwa pendidikan dalam

konteks bourdieu hanyalah alat reproduksi kelas sosial. Semakin berkualitas

pendidikan, maka fasilitas pendidikan juga semakin dipenuhi secara maksimal.

Situasi ini sangat tidak adil, karena yang diuntungkan adalah kelas menengah

ke atas. Mereka mampu beradaptasi dengan habituasi sekolah yang demikian.

Kemampuan itu ditunjukkan dengan kemampuan membeli dan memberikan

fasilitas pendidikan yang memadai bagi anak-anaknya.14

Hal ini, secara tidak langsung seolah menyampaikan pesan bahwa

“miskin dilarang sekolah”. Karena persaingan dalam pendidikan bukan hanya

ditentukan oleh kemampuan anak didik, melainkan juga kekuatan modal

kapital. Oleh sebab itu, sebagai orang pendidikan, realitas ini dianggab penting

untuk diteliti. Maka kemudian, peneliti akan melakukan penelitian ini dengan

mengambil judul “Pendidikan Dan Reproduksi Kelas Sosial” (Studi

Analisis Proses Reproduksi Kelas Sosial dalam Perspektif Pierre Boudie di

SMA Khadijah Surabaya)”.

B.Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pusat perhatian dalam sebuah penelitian.

Untuk itu sesuai dengan latar belakang masalah sebagaimana dijabarkan di

atas, maka masalah penelitian ini berusaha menjawab persoalan tentang:

1. Bagaimana hubungan berdirinya SMA Khadijah Surabaya dengan

reproduksi kelas sosial menurut pemikiran Pierre Bourdieu?

14

(16)

8

2. Bagaimana proses reproduksi kelas sosial di SMA Khadijah Surabaya

menurut pemikiran Pierre Bourdieu?

3. Bagaimana hasil reproduksi kelas sosial di SMA Khadijah Surabaya

menurut pemikiran Pierre Bourdieu?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui hubungan berdirinya SMA Khadijah Surabaya dengan

reproduksi kelas sosial menurut pemikiran Pierre Bourdieu.

2. Mengetahui proses reproduksi kelas sosial di SMA Khadijah Surabaya

menurut pemikiran Pierre Bourdieu.

3. Mengetahui hasil reproduksi kelas sosial di SMA Khadijah Surabaya

menurut pemikiran Pierre Bourdieu.

D.Kegunaan Penelitian

Secara teoritis bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih pada upaya mengembangkan wawasan dan pemahaman terhadap

pendidikan dan reproduksi kelas sosial secara umum, sehingga kita dapat

mengetahui apakah pendidikan untuk semua (education for all) sudah berjalan

dengan benar.

Sedangakan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan

kontribusi pada berbagai institusi atau kalangan sebagai berikut :

1. Lembaga Pendidikan (SMA Khadijah); agar dapat mengevaluasi jalannya

(17)

9

2. UIN Sunan Ampel Surabaya; hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu

literatur bagi kelurga besar UIN Sunan Ampel Surabaya.

3. Peneliti; penelitian ini tentu dapat memberikan informasi baru yang dapat

memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran penelitian mengenai

pendidikan dan reproduksi kelas sosial.

E.Definisi Operasional

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia, yaitu

suatu pengangkatan manusia ketaraf insani sehingga ia dapat menjalankan

hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri.15

Pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “human investment”,

ini berarti bahwa secara historis maupun filosofis, pendidikan telah ikut

mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam proses pembentukan

jati diri bangsa.16 Pendidikan sebagai proses “hominisasi dan humanisasi”,

membantu manusia muda untuk berkembang menjadi manusia yang utuh,

bermoral, bersosial, berkarakter, berpribadi, berpengetahuan dan berohani.17

2. Reproduksi

Reproduksi berasal dari bahasa Inggris, re beraru kembali dan

production berarti produksi atau yang dihasilkan.18 Sedangkan dalam

15

Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pahima, 2007), 70.

16

Ismail SM et al. (editor), Paradigma pendidikan Islam (Y0gyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 233.

17

Benny Setiawa, Membangun Moralitas pelajar dalam Proses Pendidikan (Majalah GERBANG, Edisi 8 Th. III, Februari, 2014), 44.

18

(18)

10

Kamus Praktis Bahasa Indonesia kata reproduksi diartikan hasil pembuatan

ulang.19 Dalam sosiologi, istilah reproduksi kerap kali digunakan. Setiap

penggunaan istilah reproduksi mengandung arti pergantian orang atau

struktur dengan satu format baru yang mirip dengan yang asli, sehingga

sistem sosial dapat berlangsung. Pengertian reproduksi dalam penelitian ini

dapat dimaknai sebagai proses menghasilkan kembali kelompok-kelompok

sosial atau komunitas yang ada dalam masyarakat melalui pelestarian

budaya yang ditransmisikan melalui berbagai mekanisme.

3. Kelas Sosial

Kelas sosial dapat didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan)

orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status

sosial. Menurut Pitrim A. Sorokin yang dimaksud dengan kelas sosial

adalah “Pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara

bertingkat (hierarchis). Dimana perwujudannya adalah lapisan-lapisan atau

kelas-kelas tinggi, sedang, ataupun kelas-kelas yang rendah ”.20

Menurut Bourdieu, kelas merupakan agen atau aktor yang menduduki

posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta

ditundukkan atau diarahkan pada pengkondisiakn yang serupa.21

Keserupaan ini didasarkan pada sikap mental atau budaya yang mereka

Pengantar Sosiologi” ( Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1993), 115.

21

(19)

11

dimaknai sebagai individu yang menempati posisi atau kedudukan yang

sama yang secara otomatis memiliki kesamaan dalam hal sikap, kebiasaan,

prilaku, dan selera. Agen dan aktor yang dimaksudnya dalam penelitian ini

adalah siswa dan wali murid sekolah islam terpadu.

Jadi, yang dimaksud Pendidikan dan Reproduksi kelas sosial adalah

lembaga pendidikan sesungguhnya telah menjadi tempat bagi subjek (baik

agen maupun aktor) mengkontruksikan kelas sosialnya. Reproduksi kelas

dalam pemikiran Bourdieu tidaklah terkait dengan kepemilikan property atau

alat produksi sebagaimana Marxian menyebutnya. Kelas yang diproduksi lebih

banyak berhubungan dengan habitus, ranah, dan selera. Habitus terkait dengan

kebiasaan yang lahir dari subjek ketika menginternalisasikan diri dalam relasi

sosial. Ranah menjadi tempat subjek memposisikan diri, sedangkan selera

menyangkut bagaimana subjek menaruh perhatian pada keindahan dalam kelas

sosial yang berbeda. Selera terhadap keindahan setiap kelas sosial

menunjukkan perbedaan masing-masing.22 Selera menyangkut peluang subjek

untuk mengalami atau menegaskan posisinya dalam ranah. Karenanya, pilihan

sekolah (tertentu) merupakan penegasan atas selera tersebut.

F. Penelitian Terdahulu

Adapun tema penelitian terdahulu antara lain :

1. Jurnal “Sekolah dan Reproduksi Kelas Sosial : Menguak Selubung Ideologi

Dunia Pendidikan dalam Perspektif Pierre Bourdieu” Oleh Listiono Santoso,

M. Phil. Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Dalam penulisan jurnal ini

22

(20)

12

penulis memberikan batasan penulisan melalui rumusan masalah, yakni a)

bagimana habituasi kelas menengah di Pendidikan? b) bagaimana sekolah

menjadi arena reproduksi kelas sosial? c) bagaimana selubung kapitalisme

dalam pendidikan?. penulisan jurnal ini menggunakan pendekatan penelitian

kualitiatif. Penulisan jurnal ini membuahkan hasil bahwa pendidikan

persekolahan yang semula bermakna sebagai proses transformasi kesadaran

(consciousnes) justru menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial. Hal

ini bisa ditandai dengan fakta hadirnya sejumlah lembaga pendidikan yang

semula nirlaba menjadi lembaga „bisnis’ yang mengarah pada kapitalisasi.

Perbedaan dengan penelitian peneliti terletak pada objek penelitian, jurnal

ini memiliki onjek penelitian yang luas. Sedangkan tesis ini lebih berbicara

soal bagaimana proses reproduksi kelas sosial di SMA Khadijah Surabaya.

2. Desertasi “Kapitalisasi Simbol Agama : Study Atas Kelas Transtruktural Komunitas Pesantren menurut Pemikiran Bourdieu” oleh Ngatawi, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Berdasarkan fenomena,

masalah dalam penulisan desertasi ini dirumuskan sebagai berikut, antara

lain; a) simbol agama apa saja yang dimiliki oleh pesantren yang bisa

dikapitalisasi oleh komunitas pesantren? b) bagaimana proses konversi dan

kapitalisasi terjadi dalam komunitas pesantren? c) apakah habitus pesantren

bisa mendorong terjadinya kapitalisasi simbol agama yang bisa dikonversi

menjadi kapital ekonomi? d) bagaimana dampak dari kapitalisasi simbol

dalam kontruksi sosial komunitas pesantren?. dalam penelitian ini, penulis

(21)

13

untuk pengambilan data, penulis terlibat langsung dalam kehidupan

sehari-hari di Pesantren. penelitian ini menyatakan bahwa terjadi proses konversi

kapital simbolik ke dalam kapital ekonomi dikalangan pesantren. Proses

konversi ini ternyata menghasilkan uang yang cukup banyak bagi broker,

sehingga dari sini berubah gaya hidup dikalangan mereka. Keberadaan kelas

transtruktural agama ini juga menunjukkan terjadinya perubahan kontruksi

sosial pesantren dari bipolar kiai-santri menjadi multipolar kiai, santri, kelas

transtruktural dan kelompok kritis yang merupakan antithesis dari dari kelas

transtruktural. Sedangkan perbedaan dengan tesis ini terletak pada

pembahasan pemikiran Bourdie, Desertasi Ngatawi membahas bagaimana

kapital simbolik dikonversi menjadi kapital ekonomi, sedangkan tesis ini

membahan tentang reproduksi kelas sosial yang melibatkan 4 (empat)

kapital, yakni kaptal simbolik, kapital ekonomi, kapital budaya, dan kapitas

sosial.

G.Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

a. Pendekatan

Berdasarkan fokus penelitian tentang Pendidikan dan Reproduksi

Kelas Sosial yang mengarah pada analisa proses terjadinya reproduksi

kelas sosial di SMA Khadijah Surabaya, maka penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan rancangan studi analisis dengan berorientasi pada

pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari secara

(22)

14

dari unit-unit sosial yang menjadi subyek.23. Peneliti menerapkan

pendekatan kualitatif ini berdasarkan beberapa pertimbangan: Pertama,

menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan

kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat

hubungan antara peneliti dengan responden. Ketiga, metode ini lebih

peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman

pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.24

Metode kualitatif sering digunakan untuk menghasilkan grounded

theory yakni teori yang timbul dari data bahan dari hipotesis-hipotesis,

atas dasar itu penelitian bersifat generating theory, seehingga teori yang

dihasilkan berupa teori substantif. Ciri khas penelitian kualitatif tidak

dapat dipisahkan dari pengamatan, namun peranan penelitilah yang

menentukan keseluruhan skenarionya.25

Pendekatan tersebut sengaja dipilih karena peneliti ingin

menganalisa gejolak situasi sosial berdirinya Sekolah Islam Terpadu di

Surabaya secara mendalam. Sehingga, peneliti mendapatkan data yang

tepat. Selain itu, data yang peneliti dapatkan lebih komprehensif

dibandingkan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Peneliti

nantinya akan memperoleh data yang mampu menjawab rumusan

masalah yang telah dirumuskan.

23

Arifin Imron, Penelitian Kualitatif (Malang: Kalimadasa Pers, 1996), 19.

24

Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya), 9-10.

25

(23)

15

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yakni

penelitian yang diajukan untuk mendiskripsikan dan menganalisis

fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi dan

pemikiran orang, baik secara individual maupun kelompok.26 Penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang temuannya diperoleh berdasarkan

paradigma, strategi dan implementasi model secara kualitatif.27 Bogdan

dan Taylor mengemukakan, penelitian kualitatif merupakan prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.28

Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif ditunjukan untuk

memahami fenomena-fenomena sosial yang dari sudut atau perspektif

partisipan. Partisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara,

diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran

persepsinya.29

Sebagaimana Kirk dan Miller dalam Margono mendefinisikan

bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu

26

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 60.

27

Aminudin, Tujuan, Strategi dan Model dalam Penelitian Kualitatif,(dalam Metodologi Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis dan Praktis) (Malang : Lembaga Penelitian UNISMA, tt), 48.

28

Steven J. Taylor dan Robert C Bogdan, Introduction to Qualitative Research Methods: The Search for Meaning (New York: Wiley and Sons Inc, 1984), 5.

29

(24)

16

pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada manusia

dalam kawasannaya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang

tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya.30

Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis

tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang sesuatu

variable, gejala atau keadaan. Memang ada kalanya dalam penelitian

membuktikan dugaan tetapi tidak lazim yang umum adalah bahwa

penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis.31

2. Sumber data

Sebagai penelitian lapangan, maka sumber data penelitian ini adalah

berupa data-data yang meliputi actor, aktifitas dan tempat. Adapun tehnik

penentuan responden yang digunakan penelitian ini adalah bagaimana

peneliti melihat responden yang sesuai dengan objek dan tujuan penelitian

ini32. Kemudian dari sumber data tersebut dapat ditemukan data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

objek yang sedang diteliti, dan data sekunder adalah data yang tidak

diungkapkan secara langsung dari yang bersangkutan.

Sumber data primer merupakan sumber data pertama yang dihasilkan

dari sebuah penelitian di lapangan. Menurut Suryasubrata, penelitian

lapangan bertujuan "mempelajari secara intensif latar belakang, keadaan

sekarang, dan interaksi lingkungan suatu unit sosial; individu, kelompok,

30

Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 36.

31

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta : PT. Rieneka Cipta, 2006), 234.

32

(25)

17

lembaga atau masyarakat".33 Dalam penelitian ini, sumber primer adalah

data yang peneliti dapatkan dari para informan terutamanya para

stakeholder yaitu orang yang menginisiasi bedirinya Sekolah Islam Terpadu di Surabaya. Sumber primer yang lain bisa diperoleh dari wali murid dan

siswa yang belajar di Sekolah Islam Terpadu.

Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini dapat diperoleh

melalui data dari instansi pendidikan, dinas terkait dan fotofoto di lapangan.

Sehingga, dari sumber data sekunder tersebut diharapakan dapat berperan

membantu mengungkap data, membantu memberi keterangan, data

pelengkap atau bahkan sebagai data pembanding.

3. Lokasi penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas Khadijah

Surabaya yang dikaji melalui pemikiran Bourdieu berkenaan dengan

pendidikan dan reproduksi kelas sosial.

4. Tahap-Tahap Penelitian

a. Tahap Pra Lapangan

Pada tahap Pra-lapangan peneliti sudah memiliki gambaran

masalah menarik untuk diteliti. Lalu kemudian peneliti mencoba

mendiskripsikan gambaran yang menarik tersebut agar memberikan

pemahaman bahwa masalah itu pantas dan layak untuk diteliti. Proses

selanjutnya peneliti melakukan pengamatan terkait dengan masalah yang

diteliti.

33

(26)

18

b. Tahap Lapangan

Tahap ini merupakan proses lanjutan dari tahap sebelumnya. Pada

tahap ini, peneliti masuk pada proses penelitian dan memenuhi

kebutuhan penting yang berkaitan dengan penelitian. Pertama, peneliti

harus menyelesaikan proses perizinan. Ini merupakan prosedur wajib

sebagai seorang peneliti. Kemudian peneliti akan mengumpulkan data

yang diinginkan sesuai dengan fokus penelitiannya. Baik data primer dan

data sekunder akan dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara dan

dokumentasi.

c. Tahap Analisis Data

Pada tahap ini, peneliti sedianya sudah memiliki data

sebanyak-banyaknya. Selanjutnya melakukan proses pemilihan data yang

disesuaikan dengan rumusan penelitian. Karena tidak semua data sesuai

dengan kebutuhan penelitian. Setelah data terkumpul yang dilakukan

peneliti adalah membandingkan dan melakukan analisis terhadap data di

lapangan dengan teori yang digunakan dalam penelitian. Kemudian

peneliti menyimpulkan hasil penelitian yang dilakukan.

d. Tahap Penulisan Laporan

Penulisan laporan adalah tahap akhir dari proses pelaksanaan

penelitian. Setelah semua komponen-komponen terkait dengan data dan

hasil analisis data serta mencapai suatu kesimpulan, peneliti mulai

menulis laporan dalam konteks laporan penelitian kualitatif. Penulisan

(27)

19

dengan tidak mengabaikan kebutuhan peneliti terkait dengan

kelengkapan data.

5. Tehnik pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini

dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan metode-metode sebagai

berikut :

a. Observasi

Metode observasi adalah suatu cara mengadakan penyidikan

dengan menggunakan pengamatan terhadap suatu obyek baru, suatu

peristiwa atau kejadian yang akan diteliti. Sebagai metode ilmiah

observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencacatan sistematik

dengan fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam arti luas, observasi

tidak hanya terbatas pada pengamatan yang dilakukan, naik secara

langsung ataupun tidak langsung.34

Observasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah observasi

langsung, observasi ini dengan mengamati secara langsung ke obyek

penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.35 Observasi

memungkinkan peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian

mencatat sosial yang mucul akibat berdirinya sekolah islam terpadu di

surabaya.

34

Suharsimi Arikunto, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grafindo Persada, 1991), 82.

35

(28)

20

b. Wawancara

Metode wawancara adalah tehnik mendapatkan informasi dengan

cara bertanya langsung kepada responden, percakapan dengan maksud

tertentu. Percakapan itu dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara yang

mengajukan pertanyaan dan yang ditanyai memberikan jawaban atas

pertanyaan itu.36 wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara

penanya atau pewawancara dengan yang ditanya atau responden dengan

menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan

wawancara).37 Dalam hal ini, peneliti menggunakan jenis wawancara

terstruktur. Peneliti mengajukan pertanyaan yang sudah dipersiapkan

sebelumnya, tetapi daftar pertanyaan tidak mengikat jalannya

wawancara. Artinya pedoman pertanyaan pokok sudah disusun, akan

tetapi berjalan fleksibel. Karena wawancara disini adalah wawancara

mendalam untuk mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya.

Data-data yang ingin diperoleh adalam metode wawancara ini

adalah data yang sesuai dengan rumusan masalah, yakni berkaitan

dengan hubungan antara sekolah islam terpadu sebagai lembaga

pendidikan dengan reproduksi kelas sosial.

c. Dokumentasi

Untuk menunjang keberhasilan penelitian ini, juga digunakan

metode dokumentasi. Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang

36

Suhardi Sigit, Pengantar Metodologi Penelitian Sosial-Bisnis-Manajemen (Bandung: Lukman Offset, 1999), 159.

37

(29)

21

artinya barang-barang tertulis. Metode dokumentasi adalah pengambilan

data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.38 Metode dokumentasi

ini dengan mengumpulkan data-data berupa keputusan dan data-data

yang berkaitan erat dengan berdirinya sekolah islam terpadu di surabaya

dan dampak sosialnya.39

6. Teknik Analisa Data

Menurut patton sebagaimana dikutip luxy moleong, tehnik analisis

adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu

pola, kategori dan satuan uraian dasar.40 Untuk menyajikan data secara utuh

dan koheren, langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah melakukan

analisi data. Analisi data adalah upaya dan menata secara sistematis catatan

hasil observasi, wawancara, dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman

peneliti tentang yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan. Sedangkan

untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan untuk

mencari makna.41

Setelah data-data terkumpul dapat disintesikan menjadi

pengorganisasian mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan

uraian dasar sehingga dapat ditemukan temuan dan dapat dirumuskan

hipotesis kerja seperti yang disarankan diatas. Analisis data yang penulis

gunakan cara berpikir induktif, analisi yang berangkat dari fakta-fakta

khusus, peristiwa-peristiwa konkrit kemudian fakta-fakta itu ditarik

38

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian., 135.

39

Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 135.

40

Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 280.

41

(30)

22

kesimpulan yang bersifat umum.42 Alat analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah criteria-kriteria ideal tentang pendidikan dan reproduksi

kelas social serta hubungannya dengan berdirinya Sekolah Islam Terpadu.

Dalam hal ini, penulis melakukan analisi data dalam dua tahap.

Pertama selama pengumpulan data dan kedua setelah data terkumpul.

Keseluruhan proses pengumpulan data dan penganalisis data penelitian ini

berpedoman pada langkah-langkah analisi data penelitian kualitatif model

analisis interaktif. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktifitas

dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung

secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.43

Pelaksanaan analisis data ditempuh dengan melakukan kegiatan reduksi

data, penyajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi.44

a. Data Reduction (Reduksi Data)

Data yang didapat dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk

itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan,

semakin lama peneliti di lapangan, maka jumlah data akan semakin

banyak, komplek dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis

data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih

hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, di cari

tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang lebih jelas, mempermudah peneliti untuk

42

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, 142.

43

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung : Alfabeta, 2009), 91.

44

(31)

23

melakukan pengumpulan data selanjutnya. Reduksi data dapat dilakukan

dengan bantuan peralatan elektronik seperti komputer mini, dengan

memberikan kode pada aspek-aspek tertentu.45

b. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah

mendisplaykan data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini

dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik dan sejenisnya. Melalui

penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola

hubungan, sehingga akan semakin mudah difahami.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam

bentuk uraian singkat, bagan, dan hubungan antar kategori. Yang paling

digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah

dengan teks yang bersifat naratif.46

c. Verification (Penarikan Kesimpulan)

Langkah ke tiga dalam penelitian kualitatif menurut Miles dan

Huberman adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal yang

dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah apabila tidak

ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap

pengumpulan data selanjutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang

dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan

konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka

kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

45

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, 92.

46

(32)

24

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan

baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi

atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih dapat berupa

hubungan kausal dan interaktif hipotesis atau teori. Kesimpulan ini

sebagai hipotesis, dan bila didukung oleh data pada industri lain yang

luas, maka akan dapat menjadi teori.47

Arus ketiga aktifitas analisis data adalah penarikan kesimpulan atau

verifikasi.48 Agar kesimpulan tidak kabur dan tidak diragukan, maka

dalam tahap analisis kesimpulan itu harus diverifikasi, dan dengan

bertambahnya data yang diperoleh, kesimpulan itu bisa lebih grounded.

Langkah ini diawali dengan mencari pola, tema, hubungan, hal-hal yang

sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang mengarah pada konsep gaya

kepemimpinan seorang kiai serta implikasinya terhadap perkembangan

pesantren, dan diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil temuan

lapangan. Kesimpulan pada awalnya masih sangat tentatif, kabur, dan

diragukan, maka dengan bertambahnya data dan terus-menerus dilakukan

verifikasi sehingga kesimpulan akhir didapatkan seluruh data yang

diinginkan didapat.49

7. Keabsahan Data

Pemeriksaan keabsahan data sangat diperlukan dalam penelitian

kualitatif demi keabsahan dan keandalan serta tingkat kepercayaan data

47

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, 99.

48

Mathew b Niles dan A. Michael Haberman, Qualitatif Data Analisis (London New Delhi, 1986), 177.

49

(33)

25

yang telah terkumpul. Dalam rangka menghilangkan bias pemahaman

peneliti dengan pelaku diadakan pengecekan data dengan teknis triangulasi,

yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang

lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu.50Metode pengecekan dilakukan dalam bentuk pertanyaan

yang berbeda atau dengan cara pengamatan yang berlainan. Dengan upaya

tersebut diharapkan dapat melahirkan “kebenaran” yang betul-betul

konvergen, akibat dari proses pemeriksaan silang dan pensiklusan kembali,

tanpa harus mengurangi persepektif emic, yakni persepektif responden

dalam memandang dunia kehidupannya, diharapkan penggalian aspek-aspek

efektifitas gaya kepemimpinan seorang kiai yang memiliki implikasi

terhadap perkembangan pesantren dapat diangkat tanpa dibayangi

peradigma subyek peneliti.

Agar memperoleh temuan penelitian yang valid dan dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka hasil penelitian perlu diuji

kebenarannya. Ada tujuh teknik pengujian keabsahan data yaitu: 1)

perpanjangan kehadiran peneliti, 2) observasi yang diperdalam, 3)

triangulasi data, 4) pembahasan sejawat, 5) analisis kasus negative, 6)

kecukupan referensi, 7) dan pengecekan anggota.51

Berdasarkan focus penelitian tentang pendidikan dan reproduksi sosial

berdasarkan study analisis berdirinya sekolah islam terpadu, peneliti hanya

akan menggunakan lima teknik, yaitu; 1) trianggulasi data, 2) observasi

50

Moloeng, metode penelitian kualitatif, 330.

51

(34)

26

yang diperdalam, 3) perpanjangan kehadiran peneliti, 4) pembahasan

sejawat, 5) kecukupan referensi.

H.Sistematika Pembahasan

Penelitian ini terbagi menjadi enam (6) Bab.

BAB I membahas tentang latarbelakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional,

penelitian terdahulu, metode penelitian, teknik analisa data, dan keabsahan data.

BAB II membahas tentang kajian teori yang meliputi pendidikan,

reproduksi kelas social menurut pemikiran Pierre Bourdie, dan pendidikan sebagai

sarana reproduksi kelas social menurut pemikiran Pierre Bourdieu.

BAB III akan membahas tentang profil sekolah, visi dan misi sekolah,

tujuan didirikannya sekolah, struktur organisasi, sarana dan prasarana sekolah,

keadaan warga sekolah (guru, siswa, dan karyawan sekolah) ekstrakulikuler,

prestasi yang diraih, program humas, dan hubungan antara berdirinya SMA

Khadijah dengan reproduksi kelas social.

BAB IV akan membahas tentang hasil penelitian di SMA Khadijah

Surabaya berkenaan dengan sarana reproduksi kelas social, perjuangan antar kelas

social, proses reproduksi kelas social.

BAB V akan membahas tentang hasil penelitian di SMA Khadijah Surabaya

berkenaan dengan hasil reproduksi kelas di SMA Khadijah Surabaya.

(35)

27 BAB II

LANDASAN TEORI

A.PENDIDIKAN DAN REPRODUKSI KELAS SOSIAL DALAM

PERSPEKTIF BOURDIEU

1. Pendidikan

Pendidikan, utamanya pendidikan formal sejak beberapa dekade telah

dipercaya sebagai alat untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam

menghadapai berbagai tantangan internal maupun eksternal. Pendidikan

merupakan indikator kemajuan sebuah bangsa. Bahkan, pada tingkatan lebih

sempit, pendidikan selalu berhubungan dengan status sosial. Semakin tinggi

pendidikan yang diraih seseorang, maka dia akan menduduki kelas elit

dalam status sosial di masyarakat. Peran pendidikan sangat penting untuk

menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis.

Pendidikan dalam istilah Yunani disebut peadagogi yang berarti

pendidikan, serta peadagogie yang berarti pergaulan dengan anak. Konsep

ini kemudian dimaknai sebagai usaha yang dilakukan orang dewasa dalam

pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing atau memimpin

perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.1

Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau

pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia

menjadi dewasa.Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang

dijalankan oleh seorang ataukelompok orang lain agar menjadi dewasa atau

1

(36)

28

mencapai tingkat hidup atau penghidupanyang lebih tinggi dalam arti

mental.2

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan merupakan proses

pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam

usaha mendewasakan manusia melaui upaya pengajaran atau pelatihan.3

Dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan sebuah proses mengubah

prilaku individu yang mengarah pada perubahan kearah yang lebih baik.

Sehingga, pendidikan bisa dikatakan sebagai salah satu pondasi

mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini senada dengan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa tujuan nasioanal

adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan perdamaian abadi, dan keadilan sosial.4

Selanjutnya, Pasal 31

UUD 1945 mengamanatkan bahwa (1) Setiap warga Negara berhak

mendapat pendidikan; (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan

dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan

dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan

keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (4) Negara

2

Hasbullah, Dasar-dasar ilmu pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006), 1.

3

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 1982) 250.

4

(37)

29

memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % (dua puluh

persen) dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari pendapatan

dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan

nasional; dan (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi

dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk

kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.5

Pendidikan bertalian erat dengan transmisi pengetahuan, sikap,

kepercayaan, dan aspek-aspek kelakuan lain yang berlaku di dalam

masyarakat pada umumnya kepada generasi muda. Agar masyarakat dapat

melanjutkan eksistensinya, maka transmisi (sosialisasi) nilai-nilai,

pengetahuan, keterampilan, dan bentuk kelakuan lain kepada anggota

mudanya tersebut selalu dilakukan.

Segala sesuatu yang tidak diketahui oleh individu baik itu berkenaan

dengan pengetahuan dan tata kelakuan, setelah mendapatkan pendidikan

individu tersebut kemudian memiliki pengetahuan yang kemudian dapat

mengantarkannya untuk berinteraksi terhadap masyarakat dengan baik.

Contohnya, melalui pendidikan anak diajarkan bagaimana cara berperilaku

dan berbicara sopan kepada orang lain, sehingga anak tersebut pada

akhirnya nanti akan mengetahui bagaimana cara memperlakukan orang lain

sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Perbedaan

tersebut akan nampak antara orang yang berpendidikan dengan orang yang

tidak berpendidikan. Seorang yang berpendidikan akan memiliki perilaku

5

(38)

30

dan kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang tidak berpendidikan.

Misalnya saja cara berdiri, cara berjabat tangan, cara berbicara, cara

menanggapi pendapat orang pun akan berbeda antara orang yang

berpendidikan dengan mereka yang tidak berpendidikan.

Ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

tahun 2003 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah

usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik (siswa) secara

aktif mengembangkan potensinya untuk meiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.18

Hal tersebut juga tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 yang secara eksplisit menyatakan bahwa

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab.6

Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan sebuah upaya

dan proses mengubah perilaku individu mengarahkan pada perubahan

kearah yang lebih baik, menjadikan manusia lebih beradab dan bermartabat.

Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia, yaitu suatu

pengangkatan manusia ke taraf insani sehingga dapat menjalankan hidupnya

6

(39)

31

sebagai manusia utuh dan membudayakan diri.7

Melaui pendidikan,

manusia meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan bagi

masyarakat dipandang sebagai “human investment”, ini berarti bahwa

secara historis maupun filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan

menjadi landasan moral, dan etik dalam proses pembentukan jati diri

bangsa. Pendidikan sebagai proses “hominisasi dan humanisasi”,

membantu manusia muda untuk berkembang menjadi manusia yang utuh,

bermoral, bersosial, berkarakter, berpribadi, berpengetahuan dan berohani.8

Pendidikan merupakan salah satu fondasi dalam mencerdaskan

kehidupan berbangsa. Selain itu pendidikan juga merupakan suatu usaha

yang dilakukan individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai

budaya, kebiasaan, dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada

generasi muda agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara dan untuk

membantu mereka dalam meneruskan aktivitas kehidupan secara efektif dan

berhasil.9

Seorang anak yang dilahirkan tak dapat hidup tanpa bantuan dari

orang dewasa dalam lingkungannya. Proses sosialisasi manusia

mengembangkan lambang atau symbol sebagai alat komunikasi, terutama

bahasa yang memudahkan untuk transmisi pengalaman, wawasan,

7

Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pahima, 2007), 70.

8

Ismail SM et al. (editor), Paradigma pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 233.

9

Nanang Martono, “Implementasi Pendidikan Islam: Catatan Pembaharuan Sistem

(40)

32

pengetahuan, dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat pada umumnya

kepada setia generasi. Proses sosialisasi yang dilakukan baik oleh sekolah,

keluarga, dan masyarakat tersebut juga merupakan wujud dari pendidikan.

Melalui sosialisasi tersebut terjadi proses mengajar dan belajar pola-pola

kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga

setiap individu memiliki kelakuan yang tidak menyimpang dengan nilai dan

norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Pendidikan merupakan suatu upaya untuk mewariskan nilai-nilai yang

akan menjadi penolong dan penentu manusia dalam menjalani kehidupan,

serta sekaligus memperbaiki nasib serta peradaban umat manusia. Maju atau

mundurnya suatu peradaban manusia ditentukan oleh pendidikan yang

dijalaninya. Kemudian dalam perkembangannya terdapat pembagian jalur

pendidikan. Seperti yang diungkapkan Omar Hamalik, pendidikan

dibedakan menjadi 3 jalur yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal

dan pendidikan informal. Ketiga klasifikasi tersebut dalam pergumulannya

di masyarakat memiliki peran yang berbeda-beda.10

Pembagian tersebut

ternyata juga tercantum dalam Undang-Undang No. 2/2009 tentang Sistim

Pendidikan Nasional yang dikatakan pula bahwa bentuk pendidikan dibagi

menjadi 3 yaitu pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan

non formal.

10

(41)

33

Adapun jenis pendidikan yang terdapat di Indonesia meliputi

pendidikan pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,

keagamaan, dan khusus. 11

a. Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang berstruktur

dan berjenjang. Jalur pendidikan formal ini pun diwujudkan dalam

bentuk lembaga yang disebut sekolah. Berdasarkan kepemilikannya

sekolah tersebut dibagi menjadi 2 macam, yaitu sekolah milik pemerintah

(sekolah negeri) dan sekolah milik yayasan (sekolah swasta).

Berdasarkan jenjangnya pendidikan formal dibagi menjadi 3 jenjang

yang antara lain meliputi pendidikan dasar, pendidikan menegah, dan

pendidikan tinggi.

1) Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi

pendidikan menengah. Bentuk pendidikan dasar antara lain meliputi

sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain

yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah

tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

2) Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan pendidikan lanjutan setelah

pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan

11

(42)

34

menengah umum seperti sekolah menengah atas (SMA) dan madrasah

aliyah (MA), atau bentuk lain yang sederajat dan pendidikan

menengah kejuruan seperti sekolah menengah kejuruan (SMK) dan

madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

3) Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah

pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma,

sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggrakan oleh

pendidikan tinggi. Pada umumnya pendidikan tinggi lebih akrab

disebut sebagai perguruan tinggi. Perguruan tinggi tersebut pun dapat

berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan

universitas. Setiap peserta didik (mahasiswa) yang telah

menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi akan mendapatkan

gelar akademik sesuai yang berlaku di universitas masing-masing.

b. Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal merupakan jalur pendidikan yang

diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan

pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap

pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang

hayat. Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta

didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan

(43)

35

Pendidikan non formal merupakan jalur pendidikan di luar

pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan

berjenjang. Pendidikan non formal sendiri meliputi pendidikan

kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan,

pendidikan pemberdayaan pendidikan keaksaraan, pendidikan

keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta

pendidikan lain yang ditujukan untuk pengembangan kemampuan peserta

didik. Satuan pendidikan non formal meliputi home schooling, lembaga

kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar

mengajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang

sejenis.

c. Pendidikan Informal

Pendidikan informal merupakan pendidikan yang dilakukan oleh

keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Melalui pendidikan informal keluarga mentransmisikan budaya,

wawasan, segala pengetahuan, nilai-nilai yang hidup yang berlaku dalam

masyarakat sekitarnya.

d. Pendidikan Ana Usia Dini

Pendidikan anak usia dini merupakan upaya pendidikan dan

pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6

tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk

membentuk pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar

(44)

36

Pendidikan usia dini ini diselenggrakan sebelum jenjang pendidikan

dasar.

Pendidikan anak usia dini ini pun juga terbagi menjadi 3 jalur, yaitu

jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Pendidikan anak usia

dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK),

raudhatul athfal, atau bentuk lain yang sederajat. Adapun pendidikan

anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok

bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang

sederajat. Sedangkan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan

informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang

diselenggarakan oleh lingkungan.

e. Pendidikan Kedinasan

Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang

diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non

departemen. Pendidikan kedinasan ini berfungsi untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi

pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga non

departemen.

f. Pendidikan Keagamaan

Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang

diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat dari

pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(45)

37

menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan

nilai-nilai ajaran agamanya.

Pendidikan keagamaan juga dapat diselenggrakan pada jalur

formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan jalur formal

meliputi sekolah-sekolah keagamaan yang baik itu berada di bawah

naungan pemerintah (sekolah negeri) maupun pihak yayasan (sekolah

swasta). Seperti sekolah Islam (madrasah), sekolah Katolik, sekolah

Kristen, sekolah Hindu, sekolah Budha, dan sekolah lain yang sejenis

Adapun Pendidikan keagamaan jalur non formal meliputi pendidikan

diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang

sejenis. Sedangkan untuk pendidikan keagamaan jalur informal

dilakukan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya.

g. Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan jarak jauh merupakan pendidikan yang peserta didiknya

terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai

sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Pendidikan jarak jauh ini berfungsi untuk memberikan layanan

pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti

pendidian secara tatap muka atau reguler.

Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk,

modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar

sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar

(46)

38

h. Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena

kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan memiliki potensikecerdasan

luar biasa serta bakat istimewa yang diselenggarakan secara inklusif atau

berupa satuan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Adapun pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta

didik di daerah terpencil dan terbelakang, masyarakat adat yang terpencil

atau yang sedang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak

mampu dari segi ekonomi.

Penjelasan diatas merupakan penjelasan hakikat pendidikan dan

jenis-jenisnya terdapat di Indonesia. Dahulu tugas pendidikan memang lebih

banyak dipegang oleh keluarga dan masyarakat. Namun lambat laun

keluarga dan masyarakat tidak dapat sepenuhnya memberikan pendidikan

kepada anak, sebab elemen-elemen masyarakat tersebut memiliki

keterbatasan akan pengetahuan, kontrol, dan evaluasi. Akhirnya peran

pendidikan pun kemudian juga diserahkan kepada sekolah.

Pengertian sekolah kini telah berubah, sekolah tidak hanya dimaknai

sebagai kegiatan di waktu luang saja, melainkan merupakan lembaga formal

utama yang berperan sebagai tempat belajar mengajar serta tempat

menerima dan memberi pelajaran antara pendidik (guru) dengan peserta

didik (siswa). Menurut Sumitro dkk, sekolah adalah lingkungan pendidikan

(47)

39

Negara yang cerdas, terampil, dan bertingkah laku baik. Definisi lain

menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal.

Dikatakan formal karena di sekolah terlaksana serangkaian kegiatan

terencana dan terorganisasi, termasuk kegiatan dalam bahwa sekolah adalah

suatu lembaga yang memberikan pelajaran kepada murid-muridnya.12

Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang secara resmi

menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana,

sengaja dan terarah yang dilakukan oleh pendidik yang professional dengan

program yang dituangkan ke dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh

peserta didik pada setiap jenjang tertentu, mulai dari tingkat anakanak

sampai perguruan tinggi. Sebagian besar negara pun memiliki sistim

pendidikan formal, yang umumnya wajib dalam upaya menciptakan anak

didik agar mengalami kemajuan setelah melalui proses

pembelajaran.Nama-nama untuk sekolah-sekolah tersebut pun bervariasi menurutnegara, tetapi

secara umum sekolah dibedakan menjadi dua jenjang yaitu sekolah dasar

untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah

menyelesaikan pendidikan dasar. Melalui sekolah, guru mentransmisikan

wawasan, segala pengetahuan, pandangan, kebudayaan, norma-norma, dan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kepada siswa melalui pengajaran

secara langsung. Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwasanya sekolah

sebagai salah satu sistem pendidikan telah mengembangkan pola kelakuan

tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat.

12

(48)

40

Sekolah bertugas untuk menyampaikan kebudayaan kepada generasi

baru dan karena itu harus selalu memperhatikan masyarakat dan kebudayaan

umum. Segala sesuatu yang ditransmisikan guru melalui pengajaran dan

pendidikan di sekolah tersebut berguna sebagai modal penunjang masa

depan siswa tersebut di kemudian hari. Melalui sekolah siswa mendapatkan

modal budaya (intelektual) yang dapat membantu dan berguna kelak ketika

ia sudah berada di masyarakat. Sekolah digunakan sebagai modal awal

untuk menaiki jenjang sosial di dalam masyarakat sebab setiap individu

berharap dapat memperbaiki kehidupannya, baik secara ekonomi, budaya,

maupun posisi dari hierarki social.

Lebih jauh, ada sejumlah fungsi dan peranan pendidikan bagi suatu

masyarakat. Setiap orang tua yang menyekolahkan anaknya memang

memiliki tujuan yang bermacam-macam dan berbeda-beda secara invidual,

namun secara umum terdapat kesamaan cara pandang terhadap apa yang

diharapkan dari sekolah. Seperti yang dikutip oleh Abdullah Idi, Wuradji

berpendapat bahwa fungsi-fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan

formal yang diharapkan oleh masyarakat antara lain adalah (1) fungsi

sosialisasi, (2) fungsi reproduksi budaya, (3) fungsi pelestarian budaya

masyarakat, (4) fungsi kontrol sosial (5) fungsi seleksi, latihan dan

pengembangan tenaga kerja, (6) fungsi pendidikan dan perubahan sosial,

dan (7) fungsi difusi kultural.13

Berikut ini adalah penjelasan dari

fungsi-fungsi pendidikan yang telah dipaparkan diatas.

13

Gambar

Gambar di atas18 menunjukkan rincian biaya pendidikan yang harus

Referensi

Dokumen terkait