• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep al Tark dalam Ushul Fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah furu'iyah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep al Tark dalam Ushul Fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah furu'iyah."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP AL-TARK DALAM USHUL FIQH

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BEBERAPA MASALAH FURU<’IYAH

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Master dalam Program Studi Dirasah Islamiyah

Oleh :

Azhar Amrullah Hafizh NIM: F12212187

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul Konsep al-Tark dalam Ushul Fiqh dan Implikasinya Terhadap Beberapa Masalah Furu’iyah.

Di dalam studi ushul fiqh pembahasan tentang tark al-Nabi saw. terhadap sesuatu masuk ke dalam pembahasan perbuatan Nabi saw., walaupun tidak semua ulama bersepakat tentang masuknya tark al-Nabi kepada salah satu dari pekerjaan Nabi karena ada yang berpendapat bahwa al-tark adalah perkara yang nihil, ‘amrun ‘adamiyun.

Dalam perkembangan studi ushul fiqh kontemporer, pembahasan mengenai al-tark menjadi pembahasan yang harus menjadi perhatian yang lebih dari para peneliti. Perkembangan ajaran Islam yang begitu pesatnya sehingga mengakibatkan banyak terjadi hal-hal baru yang tidak pernah terjadi dan dialami oleh Nabi dan tiga abad setelah beliau, ditambah lagi dengan terjadinya asimilasi antara Islam dan budaya baru menyebabkan banyaknya perubahan dan tambahan-tambahan di dalam ajaran Islam. Karena realita selalu berkembang sedangkan teks tidak.

Kemudian muncullah gerakan purifikasi agama yang menganggap semua tradisi dan budaya yang memiliki hubungan dengan ajaran Islam harus taken for granted berasal dari sunnah Nabi Muhammad saw., sehingga jika budaya atau tradisi tersebut tidak berasal dari sunnah Nabi saw., ataupun jika Rasulullah saw. tidak mengerjakannya, maka dianggap sebagai sebuah penyimpangan dan bid’ah yang sesat.

Apa yang tidak Rasulullah saw. kerjakan atau al-tark, merupakan dasar pijakan pemikiran kelompok puritan yang menjadi pijakan us}u>li> di dalam proses istimbat hukum mereka, sehingga diperlukan kajian yang mendalam tentang sistematisasi pemikiran konsep al-tark ini, apakah dapat dipakai sebagai piranti di dalam proses istimbat hukum ataukah tidak bisa ? Sejauh mana implikasi dari konsep al-tark jika diimplikasikan terhadap masalah-masalah furu’iyah?

Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, maka masalah pokok yang ingin dicari jawabannya dalam penelitian tesis ini adalah : 1. Bagaimana makna al-tark? 2. Bagaimana bangunan argumentasi al-tark dalam beberapa masalah furu’iyah ? 3. Bagaimana implikasinya terhadap masalah-masalah tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Penelitian Pustaka (Library Research). Sedangkan metode analisanya adalah analisa terhadap implikasi dari konsep al-tark di dalam beberapa masalah furu’iyah yaitu dengan mencoba meneliti secara mendetail implikasi tersebut berdasarkan perspektif ilmu ushul fiqh. Dalam hal ini konsep al-tark akan diungkap secara deskriptif lalu menganalisanya dengan menggunakan metode content analysis (analisa isi).

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Pernyataan Keaslian ... i

Persetujuan Pembimbing ... ii

Pengesahan Tim Penguji ... iii

Pedoman Transliterasi ... iv

Motto ... v

Abstrak ... vi

Ucapan Terima Kasih ... vii

Daftar Isi ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ... 8

E. Penelitian Terdahulu ... 9

F. Metode Penelitian ... ………. 11

G. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II SUNNAH DAN MACAMNYA A. Definisi al-Sunnah... 14

B. Kedudukan al-Sunnah di Dalam Syariah... 16

(8)

BAB III AL-TARK DAN IMPLIKASI HUKUMNYA

A. Definisi al-Tark ... 24

B. Macam-macam al-Tark …….…………... 27

C. Implikasi Hukum Dari al-Tark …... 29

D. Al-Sunnah al-Tarkiah …………... 30

BAB IV IMPLIKASI HUKUM AL-TARK DI DALAM BEBERAPA MASALAH FURU’IYAH A. Periode Rasulullah saw. …... 41

B. Periode Sahabat... 67

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam tradisi studi ushul fiqh dikenal lima macam hukum syar’i yang

menjadi titik poin pembahasan seluruh permasalahan di dalam ilmu fiqh, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Kelima hukum tersebut menjadi label atas setiap permasalahan yang dialami oleh mukallaf sehingga semua segi kehidupannya dikover

oleh salah satu dari hukum syar’i di atas.

Kelima hukum di atas tentunya memiliki sumber yang menjadi landasan yang di dalam study ushul fiqh dikenal dengan istilah mas}a>dir al-tashri>’ al-isla>mi>. Ada empat sumber hukum Islam yang menjadi konsensus mayoritas ulama yaitu al-Qur’an,

al-Sunnah, Qiya>s, dan Ijma>’. Selain keempat sumber yang disepakati di atas, ada beberapa sumber yang ulama berbeda pendapat akan kevalidannya untuk menjadi sumber hukum seperti h}adi>th mursal, qaul s}ah}a>bi>, shar’u man qablana, istis}ha>b, istih}sa>n, dan ‘amal ahl Madinah.1

Salah satu dari sumber hukum di dalam hukum Islam adalah al-Sunnah yang merupakan sumber kedua di dalam hukum Islam. Al-Sunnah merupakan tafsi>r ‘amali

1

(10)

2

dari al-Qur’an dan realitas ideal dari Islam itu sendiri. Hal ini berdasarkan jawaban ‘Aishah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. ia menjawab bahwa akhlak

beliau adalah al-Qur’an.2

Dalam pembacaannya terhadap al-Sunnah, al-Qardhawi menyebutkan bahwa al-Sunnah memiliki lima karakteristik. Pertama, al-Sunnah merupakan metode yang holistik sehingga ia mencakup segala macam persoalan manusia kapan dan dimana saja. Kedua, al-Sunnah merupakan metode yang seimbang karena ia menyeimbangkan antara jasmani dan rohani, antara individu dan sosial dan lain sebagainya tanpa ada pengabaian dan berlebih-lebihan. Ketiga, al-Sunnah merupakan metode yang saling melengkapi sehingga akal melengkapi wahyu, keimanan melengkapi ilmu pengetahuan. Keempat, al-Sunnah merupakan metode yang realistis sehingga ia selalu menempatkan manusia sebagai manusia yang memiliki nafsu syahwat, kebutuhan primer sebagai manusia, juga manusia yang membutuhkan kehidupan spiritual yang baik. Kelima, al-Sunnah merupakan metode yang mudah sehingga tidak terdapat di dalam al-Sunnah hal-hal yang memberatkan bagi manusia baik itu dalam permasalahan dunia maupun agama.3

2Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hila>l bin Asad al-Shayba>ni>, Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal, Vol 41 (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2001), 148.

(11)

3

Ulama ushul mendefinisikan al-Sunnah dengan apa yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. baik itu dari segi perkataan, perbuatan, dan pernyataan.4 Definisi ini sedikit berbeda dengan definisi ahli hadis yang mendefinisikan al-Sunnah dengan apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik itu perkataan, perbuatan, sifat fisik, sifat moral, dan apa yang berkenaan dengan kenabian sebelum diangkatnya Nabi saw. menjadi rasul.

Definisi ulama ushul di atas lebih spesifik karena tidak semua yang disandarkan kepada Nabi saw. dapat dianggap sebagai al-Sunnah kecuali yang benar-benar teruji kevalidannya bahwa itu adalah bersumber dari Nabi saw. Pembatasan al-Sunnah menurut ulama ushul kepada perkataan, perbuatan, dan pernyataan yang bersumber dari Nabi saw. saja mengindikasikan bahwa apa yang bersumber dari Nabi saw. sebelum beliau diangkat menjadi rasul bukanlah sunnah.

Biasanya, di dalam studi ushul fiqh pembahasan tentang tark al-Nabi saw. terhadap sesuatu masuk ke dalam pembahasan perbuatan Nabi saw. walaupun tidak semua ulama bersepakat tentang masuknya tark al-Nabi kepada salah satu dari pekerjaan Nabi karena ada yang berpendapat bahwa al-tark adalah perkara yang nihil,

‘amr ‘adamiy.

(12)

4

Dalam perkembangan studi ushul fiqh kontemporer, pembahasan mengenai al-tark menjadi pembahasan yang harus menjadi perhatian yang lebih dari para peneliti. Perkembangan ajaran Islam yang begitu pesatnya sehingga mengakibatkan banyak terjadi hal-hal baru yang tidak pernah terjadi dan dialami oleh Nabi dan tiga abad setelah beliau, ditambah lagi dengan terjadinya asimilasi antara Islam dan budaya baru menyebabkan banyaknya perubahan dan tambahan-tambahan di dalam ajaran Islam. Karena realita selalu berkembang sedangkan teks tidak.

Maka tidak heran, muncullah gerakan purifikasi ajaran Islam dengan jargon kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun amat disayangkan, gerakan ini bukan membasmi hama dari tumbuhan, namun tumbuhannya pun diberangus sampai ke akar-akarnya. Dengan dalih bahwa praktek ajaran agama yang ada telah keluar dari jalur al-Qur’an dan al-Sunnah, apalagi praktek tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw. dan generasi Salaf, gerakan ini kemudian mengklaim bahwa praktek ajaran

yang tidak pernah dicontohkan Nabi atau generasi Salaf adalah bid’ah yang sesat.

(13)

5

Purifikasi ajaran Islam adalah penting, namun harus tetap disesuaikan dengan universalitas Islam dan bahwa Islam itu s}a>lih{ li kull zama>n wa maka>n, Islam itu sesuai dengan waktu dan tempat apapun. Tark Rasulullah saw. terhadap sesuatu tentunya memiliki maksud tertentu. Maka, kajian untuk menentukan bagaimana maksud al-tark dari Nabi saw. sangatlah penting untuk dapat mendudukkan permasalahan di tempatnya yang tepat.

Generalisasi terhadap makna tark al-Nabi akan mengakibatkan resistensi terhadap perkara-perkara baru yang dianggap tidak memiliki landasan dan sumber dari wahyu, sehingga jika perkara baru yang memiliki nilai keagamaan tidak memiliki landasan dan sumber dari wahyu, maka akan dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Sayangnya, banyak perkara yang terdampak dari aktualisasi pola fikir ini adalah perkara yang berkaitan erat dengan budaya dan tradisi, sehingga akhirnya memunculkan sebuah konflik horizontal yang sampai saat ini masih belum mencapai sebuah titik terang.

(14)

6

Maka, usaha untuk memberikan payung hukum dari teks keagamaan tidak senantiasa berpola tekstual saja, namun lebih dari itu, upaya kontekstualisasi perkara baru dalam bingkai teks dan makna teks secara umum akan memberikan jalan keluar dalam proses memberikan nilai hukum terhadap perkara baru tersebut.

Pola-pola semacam itu dapat kita lihat dari beberapa literatur hadis baik itu yang bersetting pada masa Rasulullah saw. ataupun pada masa sahabatnya, dimana Rasulullah saw. dan para sahabatnya bereaksi ketika berhadapan dengan pola prilaku baru dari sahabat yang sebelumnya tidak memiliki payung hukum dari wahyu secara tekstual.

(15)

7

penolakan dari Rasulullah saw. dan para sahabatnya ataupun ada tidaknya pertentangan dari keumuman al-Qur’an.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian di atas, dapat ditemukan sebuah masalah mendasar yaitu bahwa apakah al-tark dapat dijadikan sebuah pijakan teoritis ushuliyah bahwa setiap praktek keagamaan yang tidak pernah dicontohkan dan dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah

praktek yang illegal bahkan dapat dikategorikan sebagai sebuah bid’ah yang sesat

sehingga orang-orang yang melakukan praktek tersebut disebut ahli bid’ah yang

sesat? ataukah al-tark tidak dapat dijadikan pijakan teoritis ushuliyah karena tidak memberikan implikasi hukum apa-apa kecuali kebolehan?

Dengan demikian, identifikasi penelitian ini adalah studi analisa terhadap konsep al-tark di dalam ushul fiqh dan implikasinya terhadap masalah furu>’iyah. Penelitian ini dibatasi pada studi analisa konsep al-tark di dalam ushul fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah furu>’iyah dalam dua periode saja yaitu : Pertama, Periode Rasulullah saw. Kedua Periode pada masa sahabat ra.

C. Rumusan Masalah

(16)

8

1. Bagaimana makna al-tark ?

2. Bagaimana bangunan argumentasi al-tark dalam masalah-masalah

furu’iyah ?

3. Bagaimana implikasi makna dari al-tark terhadap masalah-masalah tersebut ?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagaimana berikut :

1. Meneliti konsep al-tark menurut perspektif ushul fiqh.

2. Meneliti bangunan argumentasi al-tark di dalam perspektif ushul fiqh. 3. Meneliti implikasi dari al-tark terhadap beberapa masalah furu>’iyah. E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan keterangan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentang konsep al-tark menurut perspektif ushul fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah

(17)

9

Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan umat Islam dalam usaha pemahaman yang baik terhadap konsep al-tark menurut perspektif ushul fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah furu>’iyah serta bangunan argumentasinya.

F. Penelitian Terdahulu

Tidak banyak ulama yang mengarang secara khusus tentang al-tark di dalam kajian ushul fiqh. Hal ini dikarenakan pembahasan al-tark tidaklah populer kecuali setelah munculnya gerakan purifikasi ajaran Islam di awal abad ke 18. Mayoritas ulama ushul fiqh kontemporer hanya membahas tentang pekerjaan-pekerjaan Rasulullah saw. itupun terbatas kepada pekerjaan yang diklasifikasikan sebagai wahyu dan sumber tashri>’.

Muhammad Sulaiman al-Ashqar menulis sebuah disertasi yang berjudul Af’a>l

(18)

10

Al-Ashqar membahas al-tark dengan sangat detail. Ia menjelaskan definisi, lalu apakah al-tark dapat menjelaskan sesuatu atau tidak, dan lain sebagainya.5

Muhammad bin Husayn al-Ji>za>ni> menulis sebuah buku berjudul Sunnah

al-Tark wa Dala>latuha ‘Ala al-Ahka>m al-Shar’iyah. Dalam bukunya ini al-Ji>za>ni> mengupas Sunnah al-Tark dari berbagai dimensi baik itu hakikatnya, kehujjahannya, dan dampaknya.

Muhammad Rubh}i Muhammad Mallah menulis sebuah tesis berjudul al-Tark

‘Inda al-Us}u>liyyi>n yang memberikannya gelar Master dari Fakultas Dirasah Ulya Universitas al-Naja>h al-Wataniyah di Nablus Palestina. Dalam tesisnya tersebut, Mallah membahas definisi al-tark dan pembagiannya, al-tark menurut ahli sufi, dan dampak dari perbedaan dalam mengerjakan al-tark atas pendapat ahli fiqh.6

Adapun penelitian ini lebih memfokuskan pembahasannya kepada konsep al-tark menurut perspektif ushul fiqh dan implikasinya terhadap beberapa masalah

furu>’iyah serta bangunan argumentasinya. Hal ini agar penelitian ini memiliki pembahasan yang lebih luas dan mendalam sehingga setiap permasalahan dapat menjadi jelas dan terurai dengan baik. Diharapkan konsep al-tark dapat dipahami

5Muhammad Sulaiman al-Ashqar, ‘Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala> al-Ah}ka>m al-Shar’iyah, Vol 02 (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2003), 45-48.

(19)

11

dengan baik sesuai dengan dalil-dalil yang jelas dan kuat sehingga dapat diketahui apakah al-tark dapat memberikan nilai hukum pada perkara-perkara yang baru ataukah tidak.

G. Metodologi 1. Sumber Data

Sumber utama penelitian ini adalah Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha ‘Ala al -Ah}ka>m al-Shar’iyah karya Muhammad Sulaiman al-Ashqar, Sunnah al-Tarki wa Dala>latuha ‘Ala al-Ahka>m al-Shar’iyah karya Muhammad bin Husayn al-Ji>za>ni>, al-Tarku ‘Inda al-Us}u>liyyi>n karya Muhammad Rubh}i Muhammad Mallah. Adapun sumber sekunder dipakai untuk lebih memperdalam pembahasan dan mempertajam analisa. Sumber sekunder diambil dari buku-buku yang berkaitan erat dengan obyek penelitian seperti Us}u>l Fiqh karya Abu Zahra, Us}u>l Fiqh karya Abdul Wahha>b Khalla>f, Us}u>l Fiqh al-Isla>mi> karya Wahbah al-Zuhayli>, Us}u>l Fiqh karya Khudari Bek, Us}u>l Fiqh karya Muhammad Abu al-Nu>r Zuhair, dan lain sebagainya.

2. Metode Penggalian Data

(20)

12

Karena obyek dari penelitian ini adalah permasalahan usul fikih, maka pendekatan yang tepat adalah pendekatan usul fikih. Sedangkan metode analisanya adalah analisa isi (content analysist) dengan mencoba meneliti secara mendetail permasalahan al-tarku secara deskriptis analitis.

H. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian ini dapat disistematikan dalam empat bab sebagai berikut : Bab pertama dari penelitian ini berupa pendahuluan yang berisi : latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metodologi, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang definisi al-Sunnah, Posisi al-Sunnah dalam syariah, Macam al-Sunnah.

Bab ketiga berisi tentang definisi al-tarku, definisi al-sunnah al-tarkiyah, macam-macam al-tarku, hukum yang ditunjukkan oleh al-tarku.

Bab keempat membahas tentang implikasi al-tarku terhadap beberapa masalah

furu>’iyah dan bangunan argumentasinya yang akan dibagi menjadi dua periode yaitu

(21)

13

(22)

BAB II

SUNNAH DAN MACAMNYA

A. Definisi al-Sunnah

Secara etimologi al-Sunnah berarti jalan dan adat kebiasaan, baik jalan itu baik ataupun buruk1, Allah swt. berfirman :

َعَنَم اَمَو

ََََِْ ْنَأ َلِإ َُْهَ بَر اوُرِفْغَ تْسَيَو َدَُْا ََُُءاَُ ْذِإ اوُنِمْؤُ ي ْنَأ َساَنلا

ُةَنُس َُْهَ ي

. ًَُبُ ق ُباَذَعْلا َُُهَ يَََِْي ْوَأ َِْلَوَِْا

Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.2

Sunnah orang-orang terdahulu di dalam ayat tersebut merupakan sunnah yang buruk dikarenakan mereka tidak mau untuk beriman kecuali azab yang nyata sudah datang kepada mereka.3

Dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman :

1 Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu al-Fad}l Jama>l al-Di>n bin Manz{u>r, Lisa>n al-Arab, Vol 13 (Beirut: Da>r S{a>dir, 1414 H.), 225.

2 Al-Qur’an, 08: 55.

(23)

15

َناَك َفْيَك اوُرُظْناََ ِضْرَِْا ِِ اوُرِسََ ٌنَنُس َُْكِلْبَ ق ْنِم ْتَلَخ ْدَق

َع

.َِْبِِذَكُمْلا ُةَبِقا

Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)4.

Kata sunan dalam ayat di atas bermakna jalan dan tradisi buruk orang-orang yang mendustakan rasul.

Makna ini diperkuat oleh sebuah hadis Rasulullah saw. :

ْنَم ِرَُْأ ٍُْثِم ُهَل َبِتُك ،ُ َدْعَ ب اَِِ ٍَِمُعَ َ ،ًةَنَسَح ًةَنُس ِم ََْسِْْا ِِ َنَس ْنَم

،اَِِ ٍَِمَع

َِِْروُُُأ ْنِم ُصُقْ نَ ي َلَو

ُعَ َ ،ًةَئِِيَس ًةَنُس ِم ََْسِْْا ِِ َنَس ْنَمَو ،ٌءْيَش

،ُ َدْعَ ب اَِِ ٍَِم

.ٌءْيَش َِِْراَزْوَأ ْنِم ُصُقْ نَ ي َلَو ،اَِِ ٍَِمَع ْنَم ِرْزِو ٍُْثِم ِهْيَلَع َبِتُك

5

Barang siapa yang membiasakan suatu kebiasaan yang baik di dalam Islam, lalu kebiasaan itu dikerjakan oleh orang setelahnya, maka ia akan mendapat seperti pahala orang yang mengerjakannya sedang pahala mereka tidak dikurangi sedikitpun. Dan barang siapa yang membiasakan suatu kebiasaan yang buruk, lalu dikerjakan oleh orang setelahnya, maka ia akan mendapat seperti dosa orang yang mengerjakan kebiasaan buruk tersebut sedang dosa mereka tidak dikurangi sedikitpun.

Dalam tradisi fiqh, al-Sunnah didefinisikan secara terminologi sebagai sesuatu yang jika dikerjakan maka orang yang mengerjakannya

4 Al-Qur’an, 23: 037.

5 Muslim bin al-H}ajja>j Abu al-Hasan al-Qushairi{ al-Naisa>bu>ri>, S{ah{i>h Muslim, Vol 4 (Beirut: Da>r

(24)

16

mendapatkan pahala namun jika tidak dikerjakan maka orang yang tidak mengerjakannya tidak mendapat dosa, sehingga menurut definisi ini al-Sunnah termasuk di dalam kategorisasi hukum yang lima yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Namun di dalam tradisi ushul fiqh, al-Sunnah didefinisikan secara terminologis sebagai apa yang bersumber dari Nabi saw. baik itu berupa perkataan yang bukan mukjizat, perbuataan, dan pernyataan atau taqi>r. Jadi, dalam ushul fiqh, al-Sunnah dibagi menjadi tiga; pertama sunnah qawliyah, kedua sunnah fi’liyah, dan ketiga sunnah taqri>riyah.6 Dalam definisi ini disebutkan sebuah batasan yaitu perkataan yang bukan mukjizat untuk mengindikasikan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah swt.

B. Kedudukan al-Sunnah di dalam Syariah

Yang penulis maksud dari pembahasan ini adalah bagaimana kedudukan al-Sunnah di dalam pengambilan hukum berkenaan dengan para mukallaf, apakah ia bersifat ta’abbudiah secara keseluruhan ataukah tidak ? dan apakah jika ia bersifat ta’abudiah maka apa yang dilakukan oleh nabi saw. seperti apa yang ia tinggalkan menurut hukum ?

(25)

17

Abdul Wahab Khalla>f menyatakan di dalam bukunya bahwa ada kesepakatan ulama tentang kehujjahan al-Sunnah baik itu berupa perkataan, perbuatan, atau pernyataan dari Rasulullah saw. yang dimaksudkan untuk menjelaskan syariat dan memiliki kualitas transmisi yang s}ah{i>h baik itu menunjukkan sebuah pemahaman yang qat}’i ataupun z}anni>.7 Meskipun A<midi> menyebutkan bahwa ada perbedaan ulama di dalam kehujjahan al-Sunnah. Menurutnya, sebagian besar imam ahli fiqh dan ahli kalam bersepakat bahwa mengikuti Nabi baik itu dalam hal yang wajib, sunnah, dan mubah merupakan unsur ibadah. Adapun sebagian dari mereka –imam ahli fiqh dan ahli kalam- ada yang menolak hal tersebut secara mutlak, adapula yang memerinci permasalahannya.8

Perbedaan ulama di dalam kehujjahan al-Sunnah di atas permasalahannya terletak dari apa saja perbuatan-perbuatan Nabi yang dapat ditiru dan diamalkan, dan apakah semua perbuatan Nabi bersifat ta’abbudiah ? Apalagi selain sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad saw. adalah manusia biasa yang memiliki tabiat kemanusiaan yang sama dengan manusia lainnya. Nah, apakah tabiat kemanusiaan tersebut juga dianggap memiliki nilai ta’abbudiah ?

(26)

18

Disini penulis akan menyebutkan beberapa klasifikasi ulama terhadap perbuatan Rasulullah saw. sebagaimana berikut :

1. Perbuatan yang dilakukan sebelum kenabian.

Menurut al-Isnawi, perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sebelum beliau menjadi rasul tidak bersifat ta’abbudiah karena tidak mengandung unsur syariat, dan hukumnya adalah tawaqquf yaitu tidak diambil sebagai landasan hukum untuk membolehkan atau mengharamkan sesuatu.9

2. Perbuatan beliau sebagai manusia biasa.

Yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Nabi sebagai seorang manusia biasa dalam kesehariannya, seperti cara tidur, cara makan, dan lain sebagainya. Ulama bersepakat bahwa perbuatan Rasul saw. yang semacam ini hukumnya adalah mubah dan tidak wajib.

3. Perbuatan Nabi yang khusus.

Perbuatan-perbuatan yang hanya khusus bagi Rasulullah saw. seperti beristri lebih dari empat. {Perbuatan yang semacam ini tidak harus diikuti karena ada dalil-dalil khusus yang menjelaskan tentang kekhususan Rasulullah saw. atas umatnya.

(27)

19

4. Perbuatan Nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti memakai wewangian, memanjangkan rambut dan jenggot, memotong kumis dan lain sebagainya. Dalam menyikapi perbuatan Nabi dalam kehidupan sehari-harinya, ulama merumuskan dua hal yaitu apakah perbuatan tersebut hanya bernilai tradisi dan budaya ataukah juga bernilai penjelasan syariat ?

Dalam contoh memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, ada sebuah

hadis

ىَحِِللا

اوُفْعَأَو َبِراَوَشلا اوُفْحَأ

yang berarti potonglah kumis dan

panjangkanlah jenggot. Ulama yang memahami bahwa hadis tersebut merupakan penjelasan syariat berpedoman bahwa teks hadis tersebut merupakan dalil tentang hukum memotong kumis dan memanjangkan jenggot. Adapun ulama yang memahami bahwa hadis tersebut hanya lah tradisi semata berpedoman bahwa tidak semua larangan dipahami sebagai sesuatu yang haram, apalagi ketika hadis di atas dipahami dengan perintah Rasulullah saw. untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang memanjangkan kumis dan memotong janggut mereka.10

5. Perbuatan Nabi dalam perkara keduniaan.

(28)

20

Yaitu perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk mendapat sebuah manfaat atau mencegah kemudharatan baik itu pada badan atau harta, seperti berobat, berkebun, berdagang dan mengatur peperangan. Perkara-perkara tersebut tidaklah wajib ditiru.

6. Perbuatan yang mengandung nilai syariat.

Yaitu semua perbuatan yang mempunyai nilai syariat sehingga mengikutinya adalah sebuah keharusan. Seperti sholat dan haji yang harus mengikuti Nabi Muhammad saw. seperti disebutkan di dalam hadis :

يِِلَصُأ ِوُمُتْ يأَر اَمَك اولَص

11

Sholatlah kalian sebagaimana aku sholat. Dan hadis :

َُْكَكِساَنَم َِِِع اوُذُخ

12

Ambillah dariku manasik haji kalian.

Dari sini kita bisa melihat bahwa semua perbuatan Nabi saw. yang bernilai syariat maka semua umatnya wajib untuk mengikutinya,

11 Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Ushman bin Sha>fi’ bin Abd. Mut}t}alib, Musnad al-Ima>m al-Sha>fi’, Vol 01 (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 0950), 028.

(29)

21

begitupun segala perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. dengan syarat bahwa perkara yang ditinggalkan tersebut harus dimaksud oleh Rasulullah saw. baik perkara itu memiliki hukum wajib, sunnah, boleh, atau makruh sesuai dengan indikator yang melingkupinya.13

Perbuatan yang mengandung nilai syariat tersebut dapat dijadikan dalil kebolehan perbuatan tersebut atau bisa menjadi penjelas dari hukum global yang dikandung oleh al-Qur’an. Pada dua contoh di atas, antara

sholat dan haji, keduanya merupakan dalil atas pensyariatan haji juga sekaligus menjadi penjelas dari tata cara sholat dan haji yang disebutkan secara global di dalam al-Qur’an.

C. Macam-macam al-Sunnah

Berdasarkan klasifikasi bentuknya, al-Sunnah terbagi menjadi beberapa macam yaitu :

1. Al-Sunnah al-Qawliah

Yaitu hadis-hadis yang disabdakan oleh Rasulullah saw. dalam berbagai macam keadaan dan untuk berbagai maksud, baik itu dikatakan tanpa ada sebab atau dengan adanya sebab. Bentuk al-Sunnah yang semacam

(30)

22

ini merupakan bentuk yang paling banyak ditransmisikan kepada kita seperti sabda Nabi saw.

ُلاَمْعَِا اََِإ

ِتاَيِِنلاِب

14

Sesungguhkan pekerjaan itu sah atau sempurna dengan niatnya.

Hadis-hadis ini merupakan salah satu sumber dari sumber-sumber syariat tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut.

2. Al-Sunnah al-Fi’liyah

Yaitu perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. baik itu perbuatan beliau sebagai manusia biasa, perbuatan yang berkaitan dengan tradisi dan urusan duniawi, perbuatan yang khusus bagi beliau, seperti yang sudah penulis jelaskan di depan.

3. Al-Sunnah al-Taqri>riah

Yaitu apa yang Rasulullah saw. tegaskan dari perkataan atau perbuatan sebagian sahabat beliau dengan cara diam atau tidak mengingkarinya, atau dengan persetujuan dan menganggap baik hal tersebut.

Penegasan dan persetujuan dari Rasulullah saw. ini kemudian dianggap sebagai sesuatu yang bersumber dari Rasulullah saw. sendiri. Seperti

(31)

23

yang diriwayatkan di dalam sebuah hadis bahwa ada dua orang sahabat yang sedang dalam perjalanan, ketika masuk waktu sholat, mereka tidak menemukan air sehingga mereka berdua bertayammum lalu sholat. Setelah mereka sholat, ternyata mereka menemukan air sehingga salah satu dari mereka mengulang kembali sholatnya namun sahabat yang satu lagi tidak mengulang sholatnya, kemudian mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah saw. lalu Rasulullah saw. menegaskan apa yang mereka lakukan. Beliau lalu berkata kepada sahabat yang tidak mengulang sholatnya bahwa ia telah mengikuti sunnah dan sholatnya sah. Rasulullah saw. lalu berkata kepada sahabat yang mengulang sholatnya bahwa ia mendapatkan dua pahala.15

(32)

BAB III

AL-TARK

DAN IMPLIKASI HUKUMNYA

A. Definisi al-Tark

Secara bahasa al-tark berarti meninggalkan sesuatu1. Sedangkan secara peristilahan, terminologi al-tark tidak terlalu populer di dalam pembahasan ulama ushul fiqh periode awal dan pertengahan sehingga penulis belum menemukan ulama ushul fiqh yang secara spesifik mendefinisikan al-tark dalam konsepsi ilmu ushul fiqh.2

al-I<ji> menjelaskan secara terperinci bahwa al-tark secara kebahasaan yaitu tidak mengerjakan perbuatan yang mampu dilakukan baik itu sengaja ataupun tidak, seperti dalam keadaan lalai dan tidur, adapun tidak mengerjakan apa yang tidak mampu dikerjakan maka tidak dinamakan al-tark, oleh karena itu tidak dikatakan al-tark jika: si Fulan tidak menciptakan badannya. Dalam pendapat lain disebutkan jika meninggalkan suatu perkara dengan sengaja yaitu dengan meninggalkan perbuatan yang dapat dikerjakan, maka disebut

1 Ibn Manz}u>r, Lisa>n …, Vol 10, 405.

(33)

25

tark jika mendapatkan apa yang diharapkan, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai al-tark, orang tidur yang tidak menulis.3

Qutub Musthofa Sanu di dalam Ensiklopedi Peristilahan Ushul Fiqh, Mu’jam

Mus}t}alaha>t Us}u>l Fiqh, mencoba untuk mendefinisikan al-tark dengan upaya untuk meninggalkan sebuah perkara, baik itu disengaja ataupun tidak seperti perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. yaitu perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. meski beliau mampu untuk melakukannya seperti Rasulullah saw. meninggalkan untuk merayakan maulid beliau, atau Rasulullah saw. meninggalkan untuk tidak secara kontinyu shalat tarawih secara berjamaah.4

Definisi al-tark di atas mencakup semua perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. karena memasukkan semua perkara yang Rasulullah saw. tinggalkan baik itu yang disengaja ataupun yang tidak disengaja sebagai al-tarku dan hanya memasukkan perkara yang mampu dilakukan saja. Hal ini menjadikan definisi di atas menjadi terlalu luas karena mencakup perkara-perkara yang tidak sengaja ditinggalkan oleh Rasulullah saw.

Dalam tesisnya, Muhammad Rubh}i Muhammad Malla>h mencoba untuk memberikan definisi al-tark secara istilah yaitu perbuatan-perbuatan bernilai

(34)

26

syariat yang tidak khusus hanya kepada Nabi saw., yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. secara sengaja dengan adanya kemampuan untuk mengerjakannya dan adanya indikator untuk mengerjakannya, selain sebab ia meninggalkannya, yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. atau apa yang ia isyaratkan melalui teks.5

Menurut penulis, definisi di atas lebih dekat kepada definisi sunnah al-tarkiah yang akan dibahas di pembahasan yang akan datang.

Adapun menurut al-Ghuma>ri, al-tark adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. dan para Salaf al-S{a>lih dengan tidak adanya hadis ataupun athar yang melarang hal tersebut sehingga mengakibatkan keharaman dan kemakruhannya.6

Terminologi al-tark menjadi pembahasan tersendiri khususnya setelah beberapa ulama kontemporer yang menganggap bahwa semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. hukumnya harus juga ditinggalkan oleh umatnya, sehingga perlu ada garis tegas yang dapat membedakan antara al-tark dan al-sunnah al-al-tarkiah.

5 Malla>h}, Al-Tark , 39.

(35)

27

B. Macam-macam al-tark. 1. Al-tark al-Maqs}u>d

Maksudnya adalah perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. disertai dengan unsur kesengajaan. Unsur kesengajaan di dalam al-tark tersebut dikarenakan adanya alasan kuat untuk mengerjakan perkara tersebut, atau ada sebuah kebutuhan untuk mengerjakan perkara tersebut dan seringnya perkara tersebut dikerjakan. Meski begitu, Rasulullah saw. tetap meninggalkannya.

Menurut Imam al-Shaukani, semua apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. seperti apa yang dilakukan beliau dalam hal kewajiban untuk meniru. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibn al-Sam’a>ni dengan mengambil contoh keengganan para sahabat untuk memakan biawak karena Rasulullah saw. tidak memakan biawak tersebut disebabkan biawak bukan makanan yang biasa dimakan orang Arab pada waktu itu, sampai Rasulullah saw. mengizinkan mereka untuk memakannya. Juga ketika Rasulullah saw. tidak melaksanakan shalat malam secara berjamaah karena ditakutkan akan diwajibkan kepada umat islam.7

(36)

28

Al-Tark al-Maqs}u>d disini terbagi menjadi dua macam : a. Al-Tark al-Maqs}u>d al-‘Adami>

Muhammad Sulaiman al-Ashqar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Al-Tark al-Maqs}u>d al-‘Adami> adalah bahwa Rasulullah saw. tidak memberikan hukum terhadap perkara-perkara yang tidak terjadi di zamannya sehingga tidak dikerjakan dan tidak memberikan pernyataan terhadap perkara-perkara tersebut. Para ahli ushul fiqh membahas perkara ini dalam pembahasan Qiya>s, Mas}lahah} Mursalah, dan lain sebagainya.

b. Al-Tark al-Maqs}u>d al-Wuju>di>

Maksudnya adalah suatu perkara yang sudah terjadi dan ada kemungkinan untuk dilakukan atau dikatakan namun Rasulullah saw. tidak melakukan dan menyabdakannya.8

Al-Tark al-Maqs}u>d al-Wuju>di> ini terbagi menjadi dua : Pertama adalah dalam perkataan yaitu ketika Rasulullah saw. tidak menjawab dari suatu pernyataan tertentu ataupun diamnya Rasulullah saw. dan tidak mengingkari perbuatan atau perkataan yang dilakukan oleh Sabahatnya yang lebih dikenal dengan istilah taqi>r. Kedua adalah dalam perbuatan yaitu ketika Rasulullah saw. meninggalkan suatu perbuatan yang

(37)

29

sebenarnya mampu untuk dikerjakan namun dengan sengaja tidak lakukan oleh Rasulullah saw.

2. Al-Tark Ghayr al-Maqs}u>d

Adalah perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. tanpa ada unsur kesengajaan. Perbedaan antara al-Tark Ghayr al-Maqs}u>d dan al-Tark al-Maqs}u>d al-‘Adami adalah bahwa yang pertama berhubungan dengan perkara adat kebiasaan seperti perkembangan teknologi dan lain sebagainya, adapun perkara yang kedua berkenaan dengan perkara yang memiliki hubungan dengan syariah yang jika syarat dan ketentuannya berlaku niscaya akan dilakukan oleh Rasulullah saw.9

C. Implikasi Hukum Dari al-Tark

Semua ulama bersepakat bahwa al-tark bukan merupakan salah satu metode di dalam penyimpulan hukum jika ia berdiri sendiri, karena menurut kesepakatan ulama ushul, metode-metode yang dipakai dalam penyimpulan hukum baik itu wajib, boleh, sunah, makruh, dan haram adalah adanya teks dari al-Qur’an,

teks sunnah Nabi, consensus atau ijma>’, dan qiya>s. Adapun metode-metode penyimpulan hukum yang tidak disepakati adalah qaul s}ah}abi>, sadh

al-dhari>’ah, ‘amal ahl madinah, hadi>th mursal, istih}sa>n, hadi>th d{ai>f, dan lain

(38)

30

sebagainya,10 sehingga al-tark hanya memberikan implikasi hukum mubah saja. Hal ini ditegaskan oleh Ghuma>ri> dengan menyitir pendapat dari al-Tilmasani di dalam kitab Mifta>h{ al-Us}u>l tentang penjelasan hadis bahwa Rasulullah saw. tidak berwuduk dengan air yang dimasak,11 dan Abdul Ila>h yang menyitir pendapat al-Subki dalam Sharh{ al-Muhalla bahwa meski Rasulullah saw. bermaksud untuk meninggalkan suatu perkara, itu merupakan sebuah dalil kebolehan untuk mempermudah orang yang melakukannya.12 Para sahabat tidak memahami perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. sebagai sesuatu yang haram ataupun makruh. Hal ini terlihat ketika pada sahabat membuatkan Rasulullah saw. sebuah mimbar dan tidak melihat itu adalah keharaman meskipun sebelumnya Rasulullah saw. berkhutbah di atas kayu. Juga Bilal yang tidak menganggap haram shalat dua rakaat setelah wudhuk meski tidak diperintah oleh Rasulullah saw., bahkan ketika Rasulullah saw. tahu, beliau memberikan apresiasi kepada Bilal dengan menyatakan bahwa beliau mendengar bunyi terompah Bilal di syurga.13 D. Al-Sunnah al-Tarkiah.

10Ali Jum’ah, al-Baya>n Lima> Yushghilu al-Adzha>n, Vol 1 (Kairo : Muqattam li Nashr wa al-Tauzi>, 2005), 210-211.

(39)

31

Al-Sunnah al-tarkiah adalah perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. baik itu berupa perkataan atau perbuatan dengan syarat perkara tersebut dengan sengaja ditinggalkan sehingga umatnya harus meninggalkannya juga sebagai upaya untuk mengikuti beliau saw. baik perkara tersebut bernilai wajib, sunnah, boleh, atau makruh sesuai dengan indikator-indikator yang melingkupinya.14

Untuk lebih memperjelas apa yang penulis ulas di atas, selanjutnya penulis akan memberikan klasifikasi berkenaan dengan al-sunnah al-tarkiah sebagaimana berikut ini :15

1. Al-sunnah al-tarkiah yang bernilai wajib.

Yaitu perbuatan atau perkataan yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. dengan sengaja dan mampu dikerjakan namun karena bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, maka beliau meninggalkannya untuk memberikan pelajaran kepada umatnya bahwa meninggalkan hal tersebut hukumnya adalah wajib.

Contohnya adalah ketika Rasulullah saw. tidak mau memakan daging keledai liar yang diburu oleh al-S{a’b bin Jutha>mah yang dihadiahkan

(40)

32

kepada Rasulullah saw., ketika beliau melihat rona kesedihan pada wajah al-S{a’b, beliau lalu bersabda :

ٌمُرُح اَنَأ َلِإ َكْيَلَع ُ َدُرَ ن ََْ اَنِإ اَمَأ

16

Kami menolaknya karena kami sedang dalam keadaan berihram.

Adapun daging keledai liar yang diburu oleh Abu Qatadah, Rasulullah saw. memberikan keringanan dan bertanya kepada sahabatnya mengenai daging tersebut karena Abu Qatadah tidak memburunya khusus untuk Rasulullah saw.

Dari sini kemudian Imam al-Nawawi berkesimpulan bahwa daging buruan yang diburu oleh orang yang berihram atau daging buruan yang diperuntukkan untuk orang yang berihram hukumnya adalah haram, baik itu daging buruan yang diperuntukkan untuk orang yang berihram itu sudah mendapat izin atau tidak. Adapun jika orang yang tidak berihram berburu untuk dirinya sendiri dan tidak diperuntukkan untuk diberikan kepada orang yang sedang berihram kemudian dia menghadiahkan atau menjual daging tersebut kepada orang yang berihram maka hukumnya

(41)

33

tidak haram. Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Imam Syafi’i dan

juga Imam Malik, Imam Ahmad dan Dawud al-Z}a>hiri>.17

Imam Ibn Hajar al-‘Asqala>ni mencoba untuk memberikan jalan keluar terhadap dua redaksi hadis di atas yang seakan-akan terjadi kontradiksi. Ia berpendapat bahwa mayoritas ulama menggabung dua hadis di atas, yaitu hadis tentang Rasulullah saw. yang menerima daging buruan dan hadis lain yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. menolaknya, kemudian memberikan tafsiran bahwa hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menerima daging buruan tersebut karena orang yang memberikan kepada Rasulullah saw. adalah orang yang tidak berihram yang berburu untuk dirinya sendiri kemudian ia menghadiahkan kepada Rasulullah saw. yang sedang berihram, adapun hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. menolak daging buruan dipahami bahwa orang yang berburu tersebut memang berniat untuk menghadiahkan daging tersebut kepada Rasulullah saw. yang sedang berihram.18

Pendapat imam al-Nawawi dan Imam Ibn Hajar al-‘Asqala>ni di atas

dikuatkan dengan ayat al-Qur’an :

17 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Sharaf al-Nawawi, al-Minha>j Sharh} S{ah}i>h} Muslim bin Hajja>j,

Vol 28 (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Turath al-‘Arabi, 0390 H.), 024.

(42)

34

ٍثم ءازجَ ادمعتم َكنم هلتق نمو مرح َتنأو ديصلا اولتقَ ل اونمآ نيذلا اهيأاي

ماعط رافك وأ ةبعكلا غلاب ايد َكنم لدع اوذ هب َكح َعنلا نم ٍتق ام

ع رمأ لابو قوذيل امايص كلذ لدع وأ ْكاسم

داع نمو فلس امع ل اف

ماقتنا وذ زيزع لو هنم ل َقتنيَ

19

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.

2. Al-sunnah al-tarkiah yang bernilai sunnah.

Yaitu perbuatan dan perkataan yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. dengan sengaja dan mampu dikerjakan namun beliau tinggalkan untuk memberikan pelajaran kepada umatnya bahwa meninggalkan hal tersebut adalah sunnah Rasulullah saw. dengan indikasi beliau selalu meninggalkan hal tersebut.

(43)

35

Contohnya adalah ketika Rasulullah saw. tidak menyentuh Rukn ‘Iraqi> dan Rukn Sha>mi> ketika tawaf. Ada beberapa hadis yang menerangkan hal tersebut yaitu :

a. Hadis Bukhari

: َلاَق اَمُهْ نَع ََُا َيِضَر ِهيِبَأ ْنَع ،ََِا ِدْبَع ِنْب َِِاَس ْنَع

«

ُل ىَلَص ََِِنلا َرَأ ََْ

ِهْيَلَع

َِْْ يِناَمَيلا َِْْ نْكرلا َلِإ ِتْيَ بلا َنِم َُِلَتْسَي َََلَسَو

»

20

Diriwayatkan dari Salim bin Abdillah dari bapaknya ra. berkata : Saya

tidak pernah melihat Nabi saw. menyentuh di ka’bah kecuali dua Rukn Yama>ni>.

b. Hadis Muslim

،ِل ِدْبَع ْنَع

«

َل َناَك َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص ِل َلوُسَر َنَأ َرَكَذ

َلِإ َُِلَتْسَي

َِِاَمَيْلا َنْكرلاَو َرَجَْْا

»

21

Diriwayatkan dari Abdullah, ia menyebutkan bahwa Rasulullah saw. tidak menyentuh kecuali hajar aswad dan Rukn Yama>ni>.

Dari dua hadis di atas dan beberapa hadis semisal dapat ditarik kesimpulan bahwa menyentuh hajar aswad dan Rukn Yama>ni> dan tidak menyentuh

Rukn ‘Ira>qi> dan Rukn Sha>mi> adalah sunnah Rasulullah saw., adapun indikasi yang menyatakan kesunnahan hal tersebut adalah bahwa

(44)

36

Rasulullah senantiasa melakukan hal tersebut di dalam setiap tawafnya yaitu dengan menyentuh hajar aswad dan Rukn Yama>ni> dan tidak menyentuh Rukn ‘Ira>qi> dan Rukn Sha>mi>, dari sini kemudian dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. dengan sengaja tidak menyentuh Rukn

‘Ira>qi dan Rukn Sha>mi.>

3. Al-sunnah al-tarkiah yang bernilai makruh.

Yaitu perbuatan dan perkataan yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. dengan sengaja dan mampu dikerjakan namun beliau tinggalkan karena ada alasan tertentu yang tidak disukai untuk memberikan pelajaran kepada umatnya bahwa hal tersebut adalah makruh.

Contohnya adalah ketika Rasulullah saw. kencing berdiri ketika beliau kencing di tempat pembuangan sampah suatu kaum.22 Rasulullah saw. tidak kencing dengan duduk ketika kencing di tempat sampah suatu kaum difahami oleh ulama karena disebabkan oleh perkara-perkara yang membuat Rasulullah saw. tidak nyaman untuk kencing duduk. Imam al-Nawawi menyebutkan kemungkinan-kemungkinan alasan kenapa Rasulullah saw. kencing berdiri yaitu :

a. Rasulullah saw. sakit sehingga mengharuskan beliau untuk kencing berdiri.

(45)

37

b. Beliau tidak menemukan tempat yang dirasa aman dan nyaman untuk duduk karena tempat pembuangan sampah tersebut posisinya tinggi. c. Menghindari keluarnya hadas dari dubur.23

4. Al-sunnah al-tarkiah yang bernilai boleh.

Yaitu perbuatan dan perkataan yang ditinggalkan secara sengaja oleh Rasulullah saw. meski beliau mampu melakukannya namun beliau tinggalkan untuk memberikan pelajaran kepada umatnya bahwa perkara tersebut adalah boleh dilakukan. Biasanya, perkara-perkara yang ditinggalkan berkenaan dengan kebiasaan.

Contohnya sama dengan contoh al-sunnah al-tarkiah yang bernilai makruh namun dengan pemahaman yang berbeda yaitu bahwa Rasulullah saw. kencing berdiri padahal kebiasaan beliau adalah kencing dengan cara duduk24 mengindikasikan bahwa kencing berdiri hukumnya adalah boleh.25 Contoh lainnya yaitu ketika Rasulullah saw. tidak makan biawak karena memakan biawak bukan kebiasaan kaum Quraish26 namun beliau tidak mengharamkannya27 sehingga boleh bagi umatnya untuk memakan biawak.

23 Nawawi, Sha>rh} al-Nawawi>…, Vol 03, 165.

24 Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-D{ahha>k al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Vol 01 (Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-Halabi, 1975), 17.

25 Nawawi, Sha>rh} al-Nawawi>…, Vol 03, 165.

(46)

38

Keempat hukum taklif di atas diambil dari indikasi dan konteks yang melingkupi perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw., sehingga perkara-perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. tidaklah bernilai wajib dikerjakan, karena jika perkara-perkara tersebut wajib dikerjakan maka Rasulullah saw. tidak mungkin akan meninggalkannya.

Untuk lebih mempermudah penalaran, penulis akan menampilkan sebuah tabel berkenaan dengan perkara-perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw., hukumnya, dan indikator yang menyebabkan munculnya hukum tersebut sebagaimana berikut :

(47)

39 berihram untuk dihadiahkan kepada orang yang berihram. tidak berihram untuk dihadiahka n kepada orang yang berihram. 02. Memegang Rukun ‘Iraqi dan Rukun al-Sha>mi> ketika tawaf. Makruh. Tidak memegang Rukun

(48)

40

04.

Kencing duduk.

Sunnah.

Kencing berdiri.

Makruh.

Ada perkara yang menyebabka n Rasulullah

saw. tidak nyaman untuk duduk.

(49)

BAB IV

IMPLIKASI HUKUM AL-TARK DI DALAM BEBERAPA MASALAH

FURU’IYAH

A. Periode Rasulullah saw.

1. Ketetapan Rasulullah saw. terhadap beberapa perkara baru yang dilakukan oleh Sahabat. Ulama Fiqh memaknai ketetap dengan pengakuan, sedangkan ketetapan dari Rasulullah saw. menurut ulama ushul fiqh yaitu jika Rasulullah saw. berdiam diri untuk mengingkari sebuah perkataan yang dikatan atau sebuah perbuatan yang diperbuat dihadapannya dan perkara tersebut diketahuinya.1

a. Konsistensi Bilal bin Rabah untuk bersuci setelah berhadas dan sholat dua rakaat setelah bersuci dan adzan. Perbuatan ini merupakan salah satu amalan Bilal yang paling utama dan salah satu ijtihad pribadinya. Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan Bilal untuk melakukan hal tersebut sehingga tidak terdapat teks hadis yang memerintahkannya2, namun Rasulullah saw. menginformasikan kepada Bilal bahwa itu adalah amalan yang mengantarkannya ke syurga. Dalam hal ini disebutkan di dalam sebuah riwayat :

(50)

42

ِل ُدْبَع َِِرَ بْخَأ ،ٍدِقاَو ُنْب َُْْسُح َِِثَدَح ، ِباَبُْْا ُنْب ُدْيَز اَنَ ثَدَح

َ َدْيَرُ ب ُنْب

َو ِهْيَلَع ُل ىَلَص ِل ُلوُسَر َحَبْصَأ :ُلوُقَ ي َ َدْيَرُ ب َِِأ ُتْعََِ :َلاَق

اَعَدََ :َََلَس

ًل ََِب

: َلاَقَ َ

َنَْْا ُتْلَخَد اَم ؟ِةَنَْْا ََِإ َِِتْقَ بَس َِِ ُل ََِب اَي "

ُتْعََِ َلِإ طَق َة

ََ ،َكَتَشَخْشَخ ُتْعِمَسََ َةَنَْْا َةَحِراَبْلا ُتْلَخَد ِِِِإ ،يِماَمَأ َكَتَشَخْشَخ

ُتْيَ َََ

ْنَمِل :ُتْلُقَ َ ٍفِرْشُم ٍعِفََْرُم ٍبََذ ْنِم ٍرْصَق ىَلَع

ْلا اَذَ

َنِم ٍٍَُُرِل :اوُلاَق ؟ُرْصَق

َِْمِلْسُمْلا َنِم ٍٍَُُرِل :اوُلاَق ؟ُرْصَقْلا اَذَ ْنَمِل ، َِِرَع اَنَأ :ُتْلُ ق . ِبَرَعْلا

ِةَمُأ ْنِم

َ َ ." ِباَطَْْا ِنْب َرَمُعِل :اوُلاَق ؟ُرْصَقْلا اَذَ ْنَمِل ،ٌدَمَُ اَنََََ :ُتْلُ ق .ٍدَمَُ

َق

َلا

ْلا ُتْلَخَدَل ُرَمُع اَي َكََُرْ يَغ َلْوَل " :َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص ِل ُلوُسَر

." َرْصَق

َ بَس َِِ " : ٍل ََِبِل َلاَقَو :َلاَق .َكْيَلَع َراَغَِِ ُتْنُك اَم ،ِل َلوُسَر اَي :َلاَقَ َ

َِِتْق

؟ِةَنَْْا ََِإ

ِإ ُتْثَدْحَأ اَم :َلاَق "

َِْْ تَعْكَر ُتْيَلَصَو ُتََْضَوَ َ َل

ِل ُلوُسَر َلاَقَ َ .

اَذَِِ " :َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص

"

3

Diriwayatkan dari Zaid bin al-H{uba>b, Husaiyn bin Wa>qid menceritakan kepadaku, Abdullah bin Buraydah menceritakan kepadaku, ia berkata, saya mendengar bapakku Buraydah berkata : Pada suatu pagi Rasulullah saw. memanggil Bilal dan bersabda : Wahai

(51)

43

Bilal, amalan apa yang dengannya kau mendahuluiku ke syurga ? Saya tidak masuk syurga kecuali setelah mendengar bunyi terompahmu di depanku, tadi malam saya masuk syurga dan mendengar bunyi terompahmu. Lalu saya bertemu dengan sebuah istana dari emas yang menjulang tinggi, lalu saya bertanya : Kepunyaan siapakah istana ini ? Para Malaikat menjawab : Kepunyaan seorang Arab. Lalu saya berkata : Saya orang Arab, punya siapakah istana ini ? Para Malaikat menjawab : Milik seorang lelaki muslim umat Muhammad. Saya lalu berkata : Saya Muhammad, milik siapakah istana ini ? Para Malaikat menjawab : Milik Umar bin Khattab. Lalu Rasulullah saw. bersabda : Jika bukan karena rasa cemburumu wahai Umar, niscaya aku sudah memasuki istana tersebut. Lalu Umar berkata : Wahai Rasulullah saw., saya tidak mungkin cemburu kepadamu. Buraydah berkata : Rasulullah lalu berkata kepada Bilal : Dengan amalan apa engkau mendahuluiku ke syurga ? Bilal menjawab : Jika saya berhadast, saya senantiasa berwudhuk dan shalat dua rakaat. Rasulullah saw. bersabda : Dengan inilah (Bilal mendahului Rasulullah saw. ke syurga).

Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah difahami oleh sahabat bukan merupakan suatu perkara yang tidak boleh dikerjakan, apalagi setelah itu mendapatkan legitimasi dari Rasulullah saw. dan mendapatkan kabar gembira untuk masuk syurga. b. Khubaib bin ‘Adiy yang melaksanakan sholat dua rakaat sebelum

dieksekusi sehingga pekerjaannya ini menjadi sebuah tradisi bagi umat Islam setelahnya. Di dalam sebuah riwayat disebutkan :

4

اًرْ بَص ٍَِتُق ٍَِلْسُم ٍئِرْما ٍُِِكِل َِْْ ت َعْكَرلا َنَس َوُ ٌبْيَ بُخ َناَكََ

(52)

44

Khubaib adalah orang yang mentradisikan sholat dua rakaat bagi setiap muslim yang hendak dieksekusi.

Jika ditelusuri, tidak ada teks langsung dari Rasulullah saw. yang memerintahkan untuk sholat dua rakaat sebelum dieksekusi, namun Khubaib berijtihad untuk menjadikan akhir hayatnya ditutup dengan sholat dan Rasulullah saw menetapkan hal tersebut.

Apa yang dilakukan oleh Khubaib tersebut disebut sunnah karena perkara itu dilakukan pada masa Rasulullah saw. hidup dan mendapat penetapan dari Rasulullah saw. 5

c. Seorang Anshor menggabung pembacaan surat al-Ikhlas dengan surat lainnya di setiap rakaat ketika ia mengimami para sahabat di masjid Quba. Sahabat tersebut melakukannya dengan ijtihadnya sendiri karena kecintaannya kepada surat al-Ikhlas sehingga Rasulullah saw. menyatakan bahwa kecintaannya kepada surat al-Ikhlaslah yang akan memasukkannya ke dalam syurga meskipun apa yang dilakukan oleh Anshor tersebut sebenarnya tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Di dalam sebuah riwayat disebutkan :

(53)

45

َناَك ،ُهْنَع ََُا َيِضَر ٍكِلاَم ِنْب ِسَنَأ ْنَع ،ٍتِباَث ْنَع :ََِا ُدْيَ بُع َلاَقَو

َنِم ٌٍَُُر

َتَتْ َا اَمَلُك َناَكَو ،ٍءاَبُ ق ِدِجْسَم ِِ َُْهمُؤَ ي ِراَصْنَِا

ُس َح

ِ َََصلا ِِ َََُْ اَِِ ُأَرْقَ ي ً َرو

ْقَ ي َُُ ،اَهْ نِم َغُرْفَ ي َََح ٌدَحَأ ََُا َوُ ٍُْقِب :َحَتَتْ َا ِهِب ُأَرْقَ ي اَِِ

،اَهَعَم َرْخُأ ً َروُس ُأَر

َنِإ :اوُلاَقَ َ ،ُهُباَحْصَأ ُهَمَلَكََ ،ٍةَعْكَر ٍُِِك ِِ َكِلَذ ُعَنْصَي َناَكَو

َك

ِ ِذَِِ ُحِتَتْفَ َ

َِِ ُأَرْقَ َ اَمِإََ ، َرْخَُِب َأَرْقَ َ َََح َكُئِزُْ اَهَ نَأ َرَ َ َل َُُ ،ِ َروسلا

،اَهَعَدََ ْنَأ اَمِإَو ا

َ َ َكِلَذِب َُْكَمُؤَأ ْنَأ َُْتْبَبْحَأ ْنِإ ،اَهِكِراَتِب اَنَأ اَم :َلاَقَ َ َرْخَُِب َأَرْقَ ََو

،ُتْلَع

ْنِإَو

َغ َُْهَمُؤَ ي ْنَأ اوُِرَكَو ،َِْهِلَضََْأ ْنِم ُهَنَأ َنْوَرَ ي اوُناَكَو ،َُْكُتْكَرَ َ َُْتِْرَك

اَمَلَ َ ،ُ ُرْ ي

: َلاَقَ َ ،َرَ بَْا ُ وُرَ بْخَأ َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص َِِنلا َُُاَََأ

«

َكُعَ نََْ اَم ،ُنَََُ اَي

اَم ٍََعْفَ َ ْنَأ

سلا ِ ِذَ ِموُزُل ىَلَع َكُلِمَْح اَمَو ،َكُباَحْصَأ ِهِب َكُرُمََْي

ٍُِِك ِِ ِ َرو

ٍةَعْكَر

»

: َلاَقَ َ ،اَه بِحُأ ِِِِإ :َلاَقَ َ

«

َْا َكَلَخْدَأ اَاَيِإ َكبُح

َةَن

»

6

Ubaidullah berkata : Diriwayatkan dari Tha>bit dari Anas bin Malik ra. bahwa seorang Anshar mengimami mereka di Masjid Quba’, setiap dia

memulai membaca sebuah surat di dalam shalat, ia mulai dengan qul huwa alla>h al-ah}ad sampai selesai, kemudia ia membaca surat yang lain setelahnya, ia melakukan hal tersebut di setiap rakaat. Para sahabatnya lalu berbicara dengannya dan berkata : Kamu memulai dengan membaca surat ini (al-Ikhlas), kemudian setelahnya kamu membaca surat yang lain. Kamu boleh membacanya atau tidak, dan membaca surat yang lain. Kemudia dia berkata : Saya tidak akan

(54)

46

meninggalkannya (membaca surat al-Ikhlas), jika kalian suka diimami oleh saya maka saya tetap akan melakukannya, namun jika kalian tidak suka, maka aku tidak akan mengimami kalian. Mereka merasa bahwa ia adalah orang yang paling utama di antara mereka, dan mereka enggan diimami oleh selain dirinya. Ketika mereka bertemu Nabi saw. mereka menceritakan cerita tersebut. Lalu Rasulullah saw. bersabda : Wahai Fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan apa yang disarankan oleh sahabat-sahabatmu ? Dan apa yang menyebabkan kamu konsisten membaca surat ini di setiap rakaat? Ia menjawab : Saya mencintainya. Lalu Rasulullah saw. bersabda : Kecintaanmu kepadanya yang akan memasukkanmu ke syurga.

Ulama berbeda pendapat dalam hukum mengumpulkan dua surat di dalam satu rakaat. Ibn Umar, Ushman bin Affan dan Tami>m al-Da>ri>

dan ‘At}t}a>’ membolehkannya. Imam Malik membolehkan membaca dua

sampai tiga surat di dalam satu rakaat. Adapun ulama yang memakruhkan membaca dua surat atau lebih di dalam satu surat adalah Zaid bin Kha>lid al-Juhani>, Abu al-‘Aliyah, Abu Bakr bin Abd al -Rahman bin al-Ha>rith dan Abu Abd al--Rahman al-Sulami. Namun pendapat yang pertama yang lebih benar berdasarkan hadis dari Ibn

Mas’ud bahwa Nabi saw. menggabungkan dalam membaca surat-surat pendek dengan dua surat setiap rakaatnya. Adapun mengulang-ulang satu surat dalam dua rakaat, menurut Imam Malik boleh hukumnya berdasarkan hadis Anas di atas.7Hal ini dikarenakan berita gembira

(55)

47

yang disampaikan Rasulullah saw. kepada orang tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw. ridha dan menyetujui apa yang ia lakukan.8 d. Seorang pemimpin ekspedisi perang senantiasa membaca surat

al-Ikhlas sebagai penutup dari bacaan al-Qur’annya. Ketika para

bawahannya pulang dan menanyakan hal tersebuat kepada Rasulullah saw., pemimpin ekspedisi perang tersebut menjawab bahwa itu adalah ekspresi kecintaannya kepada surat tersebut, maka Rasulullah saw. memberikan informasi kecintaannya itu membuat Allah swt mencintainya. Di dalam sebuah riwayat disebutkan :

َِِأ ِنْبا ِنَع ،وٌرْمَع اَنَ ثَدَح ، ٍبَْو ُنْبا اَنَ ثَدَح ،ٍحِلاَص ُنْب ُدََْْأ اَنَ ثَدَح

، ٍلََِ

َثَدَح ،ِنََْْرلا ِدْبَع َنْب َدَمَُ ِلاَُِِرلا اَبَأ َنَأ

َع ِهِِمُأ ْنَع ُه

،ِنََْْرلا ِدْبَع ِتْنِب َ َرْم

ِئاَع ْنَع ،َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص َِِِِنلا ِجْوَز َةَشِئاَع ِرْجَح ِِ ْتَناَكَو

ََِِنلا َنَأ :َةَش

َحْصَِِ ُأَرْقَ ي َناَكَو ،ٍةَيِرَس ىَلَع ًََُُر َثَعَ ب َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص

ا

ََََِِِْص ِِ ِهِب

ُل ىَلَص َِِِِنلِل َكِلَذ اوُرَكَذ اوُعََُر اَمَلَ َ ،ٌدَحَأ ََُا َوُ ٍُْقِب َُِتْخَيَ َ

،َََلَسَو ِهْيَلَع

: َلاَقَ َ

«

؟َكِلَذ ُعَنْصَي ٍءْيَش ِِيَِِ ُ وُلَس

»

: َلاَقَ َ ،ُ وُلَََسََ ،

،ِنََْْرلا ُةَفِص اَهَ نَِِ

(56)

48

ُأ اَنَأَو

:َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص َِِنلا َلاَقَ َ ،اَِِ َأَرْ قَأ ْنَأ بِح

«

َََا َنَأ ُ وُِِْخَأ

ُهبُِح

»

9

Ahmad bin Sa>lih} meriwayatkan dari Ibn Wahb dari ‘Amr dari Ibn Abi>

Hila>l bahwa Abu Rija>l Muhammad bin Abd al-Rahma>n menceritakan dari Ibunya ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahma>n yang pada waktu itu sedang

di ruangan Aishah Istri Rasulullah saw., bahwa ‘Aishah meriwayatkan

bahwa Rasulullah saw. mengutus seorang laki-laki di dalam sebuah ekspedisi perang. Laki-laki tersebut menjadi imam bagi para sahabatnya dan selalu menutup sholatnya dengan qul huwa Allah al-Ah}ad, ketika kembali, mereka menceritakan perihal tersebut kepada Rasulullah saw., Rasulullah saw. pun bersabda : Tanyakan padanya, untuk apa dia melakukan perkara tersebut. Lalu mereka bertanya kepadanya. Ia kemudia menjawab : Karena ia adalah sifat dari al-Rah}ma>n dan saya suka untuk membacanya. Lalu Rasulullah saw. bersabda : Beritahukan kepadanya bahwa Allah swt. mencintainya. Konsistensi sahabat tersebut di dalam membaca surat al-Ikhlas ketika hendak menutup bacaan al-Qur’annya tidak memiliki sandaran teks

langsung dari Rasulullah saw. namun Rasulullah saw. menetapkan keabsahan perkara tersebut dan memberikan berita gembira bahwa Allah mencintai orang tersebut.

e. Konsistensi seorang sahabat untuk membaca hanya surat al-Ikhlas ketika salat malam. Rasulullah saw. memberikan apresiasi kepada sahabat tersebut dan menyatakan bahwa surat al-Ikhlas sepadan dengan sepertiga dari al-Qur’an. Di dalam sebuah riwayat disebutkan :

(57)

49

ُدْبَع اَنَ ثَدَح

ِنْب ِنََْْرلا ِدْبَع ْنَع ،ٌكِلاَم اَنَرَ بْخَأ ،َفُسوُي ُنْب ََِا

ِنْب ََِا ِدْبَع

َنَأ ،ِِيِرْدُْا ٍديِعَس َِِأ ْنَع ،ِهيِبَأ ْنَع ،َةَعَصْعَص َِِأ ِنْب ِنََْْرلا ِدْبَع

َعََِ ًََُُر

َُدِِدَرُ ي ٌدَحَأ ََُا َوُ ٍُْق :ُأَرْقَ ي ًََُُر

ََِإ َءاَُ َحَبْصَأ اَمَلَ َ ،ا

ُل ىَلَص ََِا ِلوُسَر

ََِا ُلوُسَر َلاَقَ َ ،اََاَقَ تَ ي ٍََُُرلا َنَََكَو ،ُهَل َكِلَذ َرَكَذََ َََلَسَو ِهْيَلَع

ُل ىَلَص

:َََلَسَو ِهْيَلَع

«

ْرُقلا َثُلُ ث ُلِدْعَ تَل اَهَ نِإ ِ ِدَيِب يِسْفَ ن يِذَلاَو

آ ِن

»

10

Diriwayatkan dari Abdullah bin Yusuf, bahwa Malik memberikan kabar yang diriwayatkan oleh Abd. Al-Rahman bin Abdillah bin Abd. al-Rahman bin Abi> S}a’s}a’ah dari bapaknya dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa seorang lelaki mendengar seorang lelaki membaca: Qul Huwa Allah al-Ahad diulang-ulang. Di pagi harinya ia mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan perihal tersebut seakan-akan lelaki tersebut menganggap sedikit hal itu, lalu Rasulullah saw. bersabda : Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sesungguhnya itu (surat al-Ikhlas) setara dengan sepertiga al-Qur’an.

Hadis ini mengindikasikan kebolehan mengulang-ulang satu surat di dalam beberapa rakaat.11

f. Do’a seorang sahabat yang berdo’a dengan lafadz yang tidak bersumber dari Rasulullah saw. Do’a tersebut diucapkan ketika

Rasulullah saw. sedang berada di sebuah halaqah keilmuan dan sahabat

tersebut sholat di masjid dan berdo’a,

10 Bukhari, S}ah}i>h…, Vol 06, 189. 11

(58)

50

َكُلََْسَأ ِِِِإ ََُهَللا

ِرَش َل َكَدْحَو ،َتْنَأ َلِإ َهَلِإ َل ،َدْمَْْا َكَل َنََِب

،َكَل َكي

ِماَرْكِْْاَو ِل َََْْا وُذ ،ِضْرَِْاَو ِتاَوَمَسلا ُعيِدَب ،ُناَنَمْلا

Ya Allah sesungguhnya saya meminta kepadaMu dengan menyaksikan bahwa bagimu segala pujian, tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau tiada sekutu bagiMu, Dzat yang Maha Pemberi, Pencipta langit dan bumi, yang memilki keagungan dan kemuliaan.

Rasulullah saw. lalu memberikan persetujuan dengan mengatakan

bahwa do’a tersebut termasuk do’a yang akan dijawab Allah swt. Di dalam sebuah riwayat disebutkan :

َع ،َةَََْزُخ وُبَأ اَنَ ثَدَح :َلاَق ٌعيِكَو اَنَ ثَدَح :َلاَق ٍدَمَُ ُنْب يِلَع اَنَ ثَدَح

ِنْب ِسَنَأ ْن

َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص َِِنلا َعََِ :َلاَق ٍكِلاَم ِنْب ِسَنَأ ْنَع ،َنيِرِس

ًََُُر

:ُلوُقَ ي

َكَل َكيِرَش َل َكَدْحَو ،َتْنَأ َلِإ َهَلِإ َل ،َدْمَْْا َكَل َنََِب َكُلََْسَأ ِِِِإ ََُهَللا

،

: َلاَقَ َ ،ِماَرْكِْْاَو ِل َََْْا وُذ ،ِضْرَِْاَو ِتاَوَمَسلا ُعيِدَب ،ُناَنَمْلا

«

َََا َلَََس ْدَقَل

ِذَلا ،ََِظْعَِْا ِهَِْاِب

َباََُأ ِهِب َيِعُد اَذِإَو ،ىَطْعَأ ِهِب ٍَِئُس اَذِإ ي

»

12

Ali bin Muhammad meriwayatkan bahwa Waqi>’ meriwayatkan bahwa

Abu Khuzaimah meriwayatkan dari Anas bin Si>ri>n dari Anas bin Malik berkata : Nabi saw. mendengar seorang laki-laki berdo’a : Ya Allah

sesungguhnya saya meminta kepadaMu dengan menyaksikan bahwa bagimu segala pujian, tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau tiada sekutu bagiMu, Dzat yang Maha Pemberi, Pencipta langit dan bumi, yang memilki keagungan dan kemuliaan. Lalu Rasulullah saw.

(59)

51

bersabda : Sesungguhnya ia telah meminta kepada Allah dengan namaNya yang Agung yang jika meminta dengannya maka Allah akan

memberi, dan apabila berdo’a dengannya Allah akan menjawab.

g. Seorang sahabat yang menambah dzikir bacaan sholat setelah berdiri dari ruku’ di belakang Rasulullah saw. dengan bacaan

ِهيَِ اًكَراَبُم اًبِِيَط اًرِثَك اًدَْْ ُدْمَْا َكَلَو اَنَ بَر

Ya Tuhan kami, bagimu segala puji dengan pujian yang banyak, baik dan diberkati di dalamnya.

Meskipun bacaan tersebut tidak berasal dari Rasulullah saw., karena dzikir tersebut sesuai dengan makna pujian kepada Allah, maka Rasulullah saw. mengakui dan menetapkan hal tersebut. Di dalam sebuah riwayat disebutkan :

ْجُما ََِا ِدْبَع ِنْب َِْيَعُ ن ْنَع ،ٍكِلاَم ْنَع ،َةَمَلْسَم ُنْب ََِا ُدْبَع اَنَ ثَدَح

ْنَع ،ِرِم

لا ٍعَِاَر ِنْب َةَعاََِر ْنَع ،ِهيِبَأ ْنَع ،ِِيِقَرزلا ٍد َََخ ِنْب َََْح ِنْب ِِيِلَع

" : َلاَق ،ِِيِقَرز

لا َءاَرَو يِِلَصُن اًمْوَ ي اَنُك

َر اَمَلَ َ ،َََلَسَو ِهْيَلَع ُل ىَلَص َِِِِن

ِةَعْكَرلا َنِم ُهَسْأَر َعََ

(60)

52

: َلاَق ،َفَرَصْنا اَمَلَ َ ،ِهيَِ اًكَراَبُم

«

َتُما ِنَم

َُِِلَك

»

َأ : َلاَق

: َلاَق ،اَن

«

ًةَعْضِب ُتْيَأَر

ُلَوَأ اَهُ بُتْكَي َُْه يَأ اَهَ نوُرِدَتْبَ ي اًكَلَم َِْثَََثَو

»

13

Abdullah bin Maslamah meriwayatkan dari Malik dari Nu’aim bin

Abdillah al-Mujmir dari Ali bin Yahya bin Khalla>d al-Zuraqi> dari bapaknya, dari Rifa>’ah bin Ra>fi’ al-Zuraqi> berkata : Suatu hari kami shalat di belakang Nabi saw. lalu ketika ia mengangkat kepalanya dari rukuk, ia bersabda : Alla

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana pembahasan yang telah ada sebelumnya bahwa sunnah nabi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW, baik itu berupa ucapan ( qauliyyah ),

Penilaian para Kritikus Hadis : Abu Hurairah adalah seorang sahabat Rasul saw, tentang hal sahabat, jumhur ulama Hadis berpendapat bahwa seluruh sahabat Nabi saw

a. Sayyid Ulama Hijjaz, Biografi Syaikh Nawawi Al-Bantani karya Samsul Munir Amin. Terjemah Maroqil ‘Ubudiyah karya Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi yang diterjemahkan

Allah SWT telah menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai panutan dalam segala hal, maka seorang anak seharusnya menjadikan Nabi Muhammad sebagai contoh bagaimana ia

Konsep fajar dan senja kaitannya dengan penetapan waktu salat maghrib, isya’, dan subuh di dalam hadis Nabi Saw ini, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Biruni ketika

masalah aktual” yaitu mengungkap konsep riba dalam ekonomi Islam yang digali dari beberapa ayat Al Quran dan hadits Nabi saw dengan pendekatan integratif melewati.. suatu

Sebagian ulama mengkhususkan pengetian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat tersebut

Untuk menggugah kepercayaannya, agar mereka mau beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi SAW., dan kemudian diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata maka al-Qur‟an perlu menyampaikan dalam