DAKWAH UNTUK ANAK YATIM DAN DLUAFA’
(STUDI METODE DAKWAH KYAI QOMARUDDIN DI PONDOK
PESANTREN MA’HADUL AITAM WA DLUAFA’ JEKULO KUDUS)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Yahya Abdul Hanif NIM. B71213067
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Yahya Abdul Hanif, NIM. B71213067, 2016, Dakwah untuk Anak Yatim dan
Dluafa’ (Studi Metode Dakwah Kyai Qomaruddin di Pondok Pesantren Ma’hadul
Aitam wa Dluafa’ Jekulo Kudus). Skripsi Program Studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam, Jurusan Komunikasi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Kata Kunci: Metode dakwah, Kyai Qomaruddin, anak yatim dan dluafa’.
Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah: Bagaimana metode dakwah Kyai Qomarudddin untuk santri yatim dan dluafa’ di Pondok Pesantren Ma’hadul Aitam wa Dluafa’ Jekulo Kudus.
Untuk mengidentifikasi masalah tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan analisis domain. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi (pengamaatan), wawancara dan dokumentasi.
Dari rumusan masalah dan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat di tarik kesimpulan berikut: Kyai Qomaruddin menggunakan metode dakwah bil hikmah ditunjukkan dengan mendekati santri dan menyentuh perasaan para santri yang akan mengetahui masalah yang dihadapi santrinya, kemudian memberikan keputusan dengan bijaksana. Metode mau’idhah hasanah dengan berupa nasehat-nasehat. Metode dakwah bil lisan diterapkan dalam bentuk pengajian kitab kuning dan dan ceramah yang diselipkan motivasi. Metode bil hal diterapkan untuk mempraktekkan dari materi-materi yang diberikan Kyai Qomaruddin.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... ix
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Definisi Konsep ... 10
1. Metode Dakwah ... 10
2. Pondok Pesantren Yatim ... 10
F. Sistematika Pembahasan ... 12
BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Kerangka Teoritik ... 14
1. Pengertian Dakwah ... 14
2. Metode Dakwah ... 15
3. Macam-macam Metode Dakwah ... 16
b. Metode Bil Hal dan Bil Lisan ... 24
c. Metode Dakwah Menurut Moh. Ali Aziz ... 27
4. Metode Dakwah Pada Zaman Rasulullah SAW ... 30
5. Keunggulan dan Kelemahan Metode Dakwah... 34
6. Pondok Pesantren ... 35
7. Anak Yatim dan Dluafa’ Menurut Agama Islam ... 36
B. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 39
BAB III: METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 42
B. Kehadiran Peneliti ... 45
C. Jenis dan Sumber Data ... 47
D. Teknik Pengumpulan Data ... 49
E. Teknik Analisis Data ... 53
F. Teknik Keabsahan Data ... 54
G. Tahapan Penelitian ... 57
BAB IV : PENYAJIAN DAN ANALIS DATA A. Setting Penelitian ... 60
1. Letak Geografis ... 60
2. Sejarah Pondok Pesantren Ma’hadul Aitam wa Dluafa’... 62
3. Profil Pondok Pesantren Ma’hadul Aitam wa Dluafa’ ... 67
a. Visi dan Misi ... 67
b. Sumber Dana ... 68
c. Struktur Kepengurusan ... 68
d. Santri ... 69
e. Kegiatan Pondok Pesantren Ma’hadul Aitam wa Dluafa’ ... 71
f. Fasilitas Pondok Pesantren Ma’hadul Aitam wa Dluafa’ ... 73
4. Biografi Kyai Qomaruddin ... 73
B. Penyajian Data ... 77
2. Metode Dakwah ... 80
a. Metode bil Hikmah ... 81
b. Metode bil Mau’idhah Hasanah ... 83
c. Metode bil Lisan ... 84
d. Metode bil Hal ... 87
C. Temuan Penelitian dan Analisis Data ... 91
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 102
BIODATA PENULIS ... 105
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak yatim adalah mereka yang sudah tidak memiliki orang tua lagi dan
keluarga yang memeliharanya.1 Mereka anak yang menderita, lemah (dluafa’), dan menjadi korban kehilangan kasih dan sayang orangtua baik di bidang
pendidikan ataupun di bidang yang lain.
Anak yatim ialah seorang anak yang masih kecil, lemah dan belum mampu
berdiri sendiri yang ditinggalkan oleh orangtua yang menanggung biaya
penghidupannya. Sebagai anak yang hidup penuh dengan penderitaan dan serba
kekurangan pastilah mempunyai keinginan yang wajar baik dari segi fisik maupun
segi mental, untuk itulah anak-anak yatim membutuhkan kehadiran orangtua asuh.
Yaitu orang yang mengikhlaskan dan mengorbankan diri termasuk harta untuk
merawat mereka.2 Melalui orangtua asuh mereka dapat memperoleh nafkah dan kebutuhan sehari-hari, selain mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup.
Bahkan mereka bisa mendapat bimbingan dan pendidikan yang berkaitan dengan
pengetahuan, moral dan agama. Sehingga dirinya mampu mengarungi bahtera
kehidupannya sendiri sebagaimana anak-anak yang lain.
Islam adalah agama sempurna yang menyeluruh tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan Allah, juga mengatur hubungan manusia dengan
dirinya sendiri dan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang
1Syaikh Mahmud Syaitut, Metodologi Al-Qur’an, (Solo: CV. Ramadhani, 1991), Hal. 116
2
diturunkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Untuk disampaikan
kepada seluruh umat manusia karena Islam itu membawa rahmat bagi seluruh
alam bila diterapkan di tengah-tengah umat manusia.3
Menurut M. Masykur Amin yang dikutip Moh. Ali Aziz dalam bukunya
mengungkapkan bahwa dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia
memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam,
agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti
(akhirat).4
Dakwah memiliki kedudukan yang sangat penting, secara hukum dakwah
menjadi kewajiban yang harus di emban oleh setiap muslim. Nabi Muhammad
sendiri melakukan sebuah dakwah untuk menyebarkan agama Islam di kala itu.
Setiap individu memikul sebuah beban dan kewajiban untuk menyebarkan
dakwah dengan mengajak kesuatu kebaikan dan meninggalkan yang munkar. Ada
banyak dalil yang bisa dijadikan rujukan untuk mendukung pernyataan wajibnya
melaksanakan tugas dakwah, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi,
diantaranya adalah dalil berikut ini, surat An Nahl 125 :
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (an- Nahl: 125).5
3N.Faqih Syarif H, Sales Magic for Dakwah, (Surabaya: Pribadi Press,2007), Hal. 5 4Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet.I, Hal. 14
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: PT. Syamsil Cipta Media), Hal.
3
Di zaman yang semakin maju ini, metode dalam berdakwah sangat
diperlukan untuk menunjang kegiatan suatu dakwah. Oleh sebab itu, dalam ayat di
atas dijelaskan kepada kita sekalian untuk melakukan kegiatan dakwah dengan
beberapa metode yang disebutkan. Di antaranya adalah Bil Hikmah, Bil Mauidhah
Hasanah, dan Bil Mujadalah.
Metode dakwah adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara
berkomunikasi secara langsung dan mengatasi kendala-kendalanya.6 Setiap metode memerlukan teknik dalam implementasinya, teknik adalah cara yang
dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode. Dari
teknikk tersebut akan menghilangkan kemunkaran dengan perbuatan langsung
merupakan pemberantasan terhadap hal-hal yang menghambat kebaikan atau
kebenaran. Menghilangkan kemunkaran atau pemberantasannya adalah suatu cara
untuk mewujudkan kebenaran dan kebaikan dikalangan manusia, dan hal tersebut
merupakan upaya penyempurnaan amar-ma’ruf, dan itu merupakan salah satu
cara dari cara-cara lainnya.7 Dalam menerapkan metode dakwah, setiap da’i
memiliki cara sendiri untuk menarik mad’u dan mensukseskan dakwahnya.
Sehingga dengan sebuah metode dakwah, setidaknya sebuah pesan dakwah akan
mudah di terima. Dengan kata lain dakwah yang dilakukan menjadi berhasil.
Dakwah sendiri dapat dilakukan dimanapun tempatnya. Dalam perjalanan
Rasulullah SAW, beliau menggunakan masjid sebagai tempat dalam berdakwah.
Tidak menutup kemungkinan pada saat ini banyak tempat yang bisa dijadikan
6Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Hal. 357
4
tempat dalam berdakwah. Mulai dari masjid, majlis ta’lim, sekolah, bahkan
pesantren.
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, serta
tempat pelaksanaan kewajiban belajar dan mengajar serta pusat pengembangan
masyarakat yang diselenggarakan dalam satu kesatuan tempat pemukiman dengan
masjid sebagai tempat pendidikan dan pembinaannya.8
Pesantren pada umumnya sering juga di sebut dengan pendidikan Islam
tradisional, dimana seluruh santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang kyai.9
Di era saat ini, pesantren menjadi salah satu peranan dalam perkembangan
nilai-nilai religius masyarakat. Tanpa disadari, di pesantren menjadi salah satu
media dalam berdakwah dan mengembangkan ilmu agama. Kyai dan santri adalah
pelaku dakwah yang berada di pesantren. Hal ini menyebabkan terciptanya
kegiatan untuk menyampaikan pemahaman ilmu yang dipelajari, dengan tujuan
menciptakan tatanan santri yang berjiwa agamis dan berakhlakul karimah.
Pesantren lebih berkembang sedemikian rupa. Tidak hanya mempelajari
ilmu agama yang berkembang, namun juga pesantren telah berevolusi menjadi
salah satu tempat untuk menempuh pendidikan. Baik itu pendidikan agama yang
dipadukan dengan pendidikan formal yang mengedepankan pengetahuan umum.
Sehingga santri saat ini lebih mempunyai wawasan yang lebih luas tanpa
meninggalkan ilmu agama yang menjadi dasar dalam kehidupan.
8Abdul Qadir Jaelani, Peran Ulama’ dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994), Cet. I, Hal. 7
5
Pembentukan pola pikir dan akhlak santri ini sangat tergantung pada
pengembangan dakwah dan pendidikan yang diterapkan oleh lembaga yang
bernama pesantren. Sehingga banyak masyarakat yang berasumsi bahwa
pesantren sebagai wadah pendidikan dan pengkaderan umat.
Dalam mendidikan santri sendiri, harus memiliki sebuah metode dakwah
yang memang harus di kuasai oleh seorang da’i. Karena dalam menempuh
pendidikan di pesantren tidak mengenal waktu. Tidak hanya satu dua minggu,
melainkan ada yang hingga beberapa tahun. Diperlukan suatu metode yang bisa
diterapkan dalam jangka panjang.
Pada umumnya di pesantren dihuni oleh santri yang berguru pada seorang
kyai dan ustadz. Namun di salah satu pesantren yang terdapat di Jekulo, memiliki
perbedaan pada para penghuninya. Dimana para penghuni pesantren ini adalah
anak-anak yatim. Pesantren ini memang dikhususkan untuk anak-anak yatim dan
kurang mampu. Pesantren ini sangatlah berbeda, dikarenakan biasanya anak-anak
yatim berada di panti asuhan. Ini menjadi berbeda karena status anak yatim di sini
menjadi sebutan santri.
Setiap anak memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan ilmu
pengetahuan. Baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Namun tidak
banyak dari mereka yang bisa memperoleh pendidikan dikarenakan faktor
keadaan dan lingkungan disekitarnya. Banyak anak yang berasal dari keluarga
kurang mampu tidak bisa menempuh pendidikan secara sempurna. Tidak menutup
kemungkinan anak-anak yang telah di tinggal orangtuanya. Jangankan untuk
6
sehari-hari. Hal ini yang menjadikan Kyai Qomaruddin untuk membangun sebuah
lembaga yang dapat memberikan pendidikan kepada anak-anak yatim.
Pesantren sendiri adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-hari.10 Pesantren ini menjadi salah satu naungan bagi anak-anak yatim dalam mengenyam pendidikan. Pesantren tersebut menjadi sebuah jalan bagi
anak-anak yatim untuk meraih masa depan dan cita-citanya. Oleh sebab itu,
penerapan ilmu agama dan ilmu umum dipadukan untuk menambah wawasan
anak-anak yatim.
Pesantren yang mempunyai nama Ma’hadul Aitam wa Dluafa ini, dulunya
hanyalah sebuah musholla. Namun di tahun 2001 musholla tersebut di alih
fungsikan menjadi pesantren anak yatim. Mengingat pada saat itu di wilayah
Jekulo belum adanya pesantren anak yatim. Dari namanya saja sudah nampak
identitas dari pesantren tersebut.
Santri yang berada di pesantren tersebut digolongkan menjadi dua.
Dimana santri yang belum baligh bisa di sebut dengan anak yatim, sedangkan
mereka anak yatim yang sudah baligh di sebut dengan dluafa’. Seperti pada
umunya santri, mereka memperoleh pendidikan agama. Tidak sekedar itu, mereka
juga memperoleh pendidikan formal yang mewajibkan mereka untuk menempuh
wajib belajar 9 tahun. Untuk bekal kemandirian hidup masa depan para santri,
7
mereka dibekali pendidikan non-formal seperti keterampilan. Dari semua
pendidikan tersebut, semuanya digratiskan dalam segi pendanaan.
Kegiatan dalam pesantren secara umum yang melibatkan santri, pengurus,
dan masyarakat sekitar juga banyak diagendakan. Di antara kegiatan tersebut
adalah pengajian umum, santunan anak yatim, pengajian dan sholawat rutin,
hingga khitan massal.
Pesantren yang di asuh Kyai Qomaruddin ini merupakan sebuah lembaga
pesantren tradisional yang teroganisir, bukan sebuah yayasan. Sehingga dana yang
masuk dalam pesantren hanya berasal dari donatur dan masyarakat. Dalam segi
pengajar juga mereka dari orang-orang yang bersifat sukarela tapi berkualitas
dalam pendidikan.
Bertempat di Jekulo Kauman, Kabupaten Kudus, menjadikan salah satu
pesantren yatim yang memberikan wadah anak-anak yatim menjalani kehidupan
sosial dengan peningkatan pendidikan formal dan agama seperti anak-anak
lainnya. Pesantren yang tidak hanya memiliki perbedaan tersendiri ini juga
menyuguhkan fasilitas yang memadai. Mulai dari mushalla, gedung 2 lantai lokal
putra, kamar, tempat tidur, aula tempat mengaji, hingga halaman tempat bermain.
Dari kebanyakan pesantren yang ada dan pada umumnya, pesantren yatim
ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian. Jadi tidak semua anak yatim
tinggal di panti asuhan atau tidak bisa menempuh pendidikan. Uniknya, pesantren
ini menghasilkan santri-santri yang tidak hanya unggul di bidang ilmu agama,
tetapi ilmu umum dan keterampilan juga dikuasai untuk bekal kehidupan masa
8
bidang cara dalam mendidik. Di sini para anak yatim di didik layaknya santri pada
umumnya, tidak memandang bahwa status mereka anak yatim. Dalam proses
dakwahnya, Kyai Qomaruddin juga banyak menerapkan metode dakwah.
Sehingga jika terdapat satu metode dakwah yang kurang tepat diterapkan untuk
santrinya, maka masih terdapat metode dakwah lain yang bisa diterapkan. Untuk
itu, penulis tertarik untuk menggali lebih dalam tentang metode dakwah yang
diterapkan Kyai Qomaruddin di pesantren yatim ini. Dan penulis mengangkat
judul penelitian “Dakwah untuk Anak Yatim dan Dluafa’ (Studi Metode
Dakwah Kyai Qomaruddin di Pondok Pesantren Ma’hadul Aitam wa Dluafa
9
B. Rumusan Masalah
Bagaimana metode dakwah Kyai Qomaruddin untuk santri yatim dan
dluafa’ di Pondok Pesantren Ma’hadul Aitam wa Dluafa Jekulo Kudus?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui metode dakwah yang digunakan Kyai Qomaruddin
untuk santri anak yatim di Pondok Pesantren Yatim Ma’hadul Aitam wa Dluafa
Jekulo Kudus.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Sebagai penambah wawasan dan memperkaya khasanah ilmu di
bidang dakwah, untuk mewujudkan sebuah dakwah Islam yang lebih baik dan
bisa di terima oleh semua kalangan.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan pembelajaran
dan pengetahuan bagi peneliti agar bisa lebih baik.
b. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pedoman untuk pelaku
dakwah dalam menerapkan metode dakwah dan meningkatkan
10
E. Definisi Konsep
Definisi konsep adalah unsur-unsur dari penelitian, sedangkan konsep
sendiri merupakan definisi singkat dari gejala–gejala, yang biasanya merupakan
judul dari penelitian.11
1. Metode Dakwah
Menurut Moh. Ali Aziz ada beberapa definisi tentang metode dakwah
yang dikemukakan oleh pakar Dakwah, antara lain:12 Al-Bayanuni, menurutnya metode dakwah adalah cara-cara yang di tempuh oleh pendakwah
dalam berdakwah atau cara menerapkan strategi dakwah. Said bin Ali
al-Qahthani mendefinisikan metode dakwah sebagai suatu ilmu yang
mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara langsung dan mengatasi
kendala-kendalanya.
Dari penjabaran di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa seorang da’i
harus mempunyai sebuah cara untuk menarik mad’u dengan tujuan
dakwahnya bisa tersampaikan sesuai dengan kondisi dan situasi mad’unya.
Sehingga dakwahnya menjadi sesuatu yang menarik dan sangat diperlukan
untuk dijadikan suatu pedoman.
2. Pondok Pesantren Yatim
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan penyiaran agama
Islam serta tempat pelaksanaan kewajiban belajar dan mengajar serta pusat
pengembangan jamaah (masyarakat) yang di selenggarakan dalam kesatuan
11Koentjoro Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat,( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990 ), Hal. 21
11
tempat pemukiman dengan masjid sebagai tempat pendidikan dan
pembinaannya.13
Pesantren pada umumnya sering juga disebut dengan pendidikan Islam
tradisional, dimana seluruh santrinya tinggal bersama dan belajar dibawah
bimbingan seorang kyai.14
Dalam penelitian ini, pesantren tidak hanya memberikan pendidikan
agama, namun juga pendidikan formal dan non-formal. Dengan menerapkan
wajib belajar 9 tahun sebagaimana sekolah pada umunya juga dilakukan di
pesantren ini.
Santri adalah panggilan untuk seseorang yang sedang menimba ilmu
pendidikan agama Islam selama kurun waktu tertentu dengan jalan menetap di
sebuah pondok pesantren. Santri merupakan peserta didik atau objek
pendidikan, tetapi dibeberapa pesantren, santri yang memiliki kelebihan
potensi intelektual (santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar
santri-santri junior.15
Yatim menurut bahasa berasal dari bahasa arab. Dari fi’il madhi
“yatama”mudlori’ “yaitamu” dan mashdar “yatmu” yang berarti sedih, atau
bermakna sendiri. Adapun menurut istilah, yang di maksud dengan anak yatim
adalah anak yang di tinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh.
13Abdul Qadir Jaelani, Peran Ulama’ dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Hal. 7
14
HM. Amin Haidari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global,Hal. 31
15
12
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya santri anak
yatim adalah seorang anak yang di tinggal mati oleh ayahnya dan kemudian
menuntut ilmu agama kepada seorang kyai di sebuah pondok pesantren.
Pondok pesantren Ma’hadul Aitam wa Dluafa’ ini berada di Dusun
Kauman, Desa Jekulo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Pondok
pesantren ini berdiri pada tangal 17 Syawwal 1421 H atau bertepatan dengan
tanggal 13 Januari 2001 M. Berdiri di tengah-tengah masyrakat yang sebagian
besar berprofesi sebagai pedagang dan buruh. Pesantren Ma’hadul Aitam wa
Dluafa’ ini merupakan pesantren tradisional kelembagaan, yang berarti tidak
terikat oleh yayasan. Dengan sistem dikelola mandiri dan bersifat gratis untuk
semua keperluan santrinya. Berpenghuni oleh santri-santri yang berstatus
yatim dan dluafa’ menjadikan pesantren ini dikenal sebagai pesantren yatim.
F. Sistematika Pembahasan
Secara garis besar untuk memberikan gambaran pembahasan secara
menyeluruh dan sistematis dalam proposal ini, peneliti membaginya dalam lima
bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan
Yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, definisi konsep, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab II : Kajian Pustaka
Pada bab ini berisikan tentang kerangka teoritik yang terdiri dari
13
dakwah pada zaman Rasulullah SAW, keunggulan dan kelemahan metode
dakwah, dan pondok pesantren, dan penelitian terdahulu yang relevan.
Bab III : Metode Penelitian
Pada bab ini berisikan tentang pendekatan dan jenis penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik keabsahan data dan
tahapan penelitian.
Bab IV : Penyajian Data dan Analisis Data
Dalam bab ini, penulis akan menyajikan hasil penelitian. Mulai dari setting
penelitian meliputi letak geografis desa, sejarah pondok pesantren yatim, profil
pondok pesantren, biografi Kyai Qomaruddin. Kemudian penyajian data (metode
dakwah kyai Qomaruddin dan penerapan metode dakwah kepada santri yatim),
temuan penelitian dan analisis data.
Bab V : Penutup
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Kerangka Teoritik
1. Pengertian Dakwah
Di tinjau dari segi etimologi dakwah berasal dari bahasa Arab yang
berarti panggilan, ajakan atau seruan. Dalam ilmu tata bahasa Arab kata
dakwah berbentuk sebagai “isim mashdar”. Kata ini berasal dari fi’il (kata
kerja) “yad’a-yad’u” yang artinya memanggil, mengajak atau menyeru.14
Arti kata dakwah seperti ini sering dijumpai atau dipergunakan dalam
ayat-ayat Al-Qur’an seperti dalam surat al-Baqarah ayat 23:
Artinya: Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.(al-Baqarah:23).15
Dakwah sendiri menuntut untuk mengajak kepada hal yang baik.
Seperti dalam surat Ali Imran ayat 104 juga dijelaskan arti dari dakwah:
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran : 104).16
14Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), Hal. 17
15Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Hal. 4
15
Menurut Barmawi umari, dakwah adalah mengajak orang kepada
kebenaran, mngerjakan perintah, menjauhi larangan, agar memperoleh
kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang.17
Tidak berbeda jauh dengan ungkapan Thoha Yahya Omar, yang
menyatakan bahwa dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana
kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan
dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.18
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dakwah merupakan
sebuah aktifitas baik itu perorangan maupun kelompok dengan mengajak
kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran untuk menuju kebahagiaan
hidup di dunia maupun di akhirat.
2. Metode Dakwah
Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu “meta” (melalui)
dan “hodos” (jalan, cara).19 Dengan demikian kita dapat mengartikan bahwa
metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
Sumber lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman
methodica, artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode
berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab di sebut
thariq.20
17Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Hal. 15
18A. Sunarto AS, Retorika Dakwah, (Surabaya: Jaudar Press, 2014), Hal. 94
19M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Hal. 61
16
Metode berarti cara yang telah di atur dalam melalui proses pemikiran
untuk mencapai suatu maksud.21 Sedangkan metode dakwah adalah cara-cara
tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk
mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.22
Dari definisi di atas setidaknya ada dua karakter yang melekat dalam
metode dakwah, antara lain:
a. Metode dakwah merupakan salah satu cara untuk mempelancar strategi
dalam berdakwah. Sehingga aktifitas dakwahnya akan berjalan sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada pada lapangan.
b. Arah metode dakwah tidak hanya meningkatkan efektivitas dakwah,
melainkan pula bisa menghilangkan hambatan-hambatan, setiap strategi
memiliki keunggulan dan kelemahan, Metodenya berupaya menggerakan
keunggulan tersebut dan memperkecil kelemahannya.
Dengan demikian pemilihan metode dakwah sangat diperlukan untuk
menunjang sebuah aktifitas dakwah. Yang mana dakwah dapat dikatakan
berhasil apabila pesan dakwah tersebut sampai kepada penerima pesan dan
tersampainya pesan dakwah disebabkan oleh metode dakwah yang benar.
3. Macam-Macam Metode Dakwah
Dalam dakwah sendiri terdapat banyak jenis metode dakwah yang
dapat diterapkan. Berikut beberapa penjelasan macam-macam metode dakwah
yaitu:
21Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), Hal. 242
17
a. Metode Dakwah Dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 125
1) Metode Al-Hikmah
Kata “hikmah” sering disebut dalam Al-Qur’an baik dalam bentuk
nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah “hukman” yang
diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan
hukum berarti mencegah dari kezhaliman, jika dikaitkan dengan dakwah
berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan
tugas dakwah.
Hikmah dalam bahasa Arab berarti kebijaksanaan, pandai, adil,
lemah lembut, kenabian, sesuatu yang mencegah kejahilan dan kerusakan,
keilmuan, dan pemaaf. Perkataan hikmah seringkali diterjemahkan dalam
pengertian bijaksana yaitu suatu pendekatan hikmah seringkali pihak objek
dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemauannya
sendiri, tidak ada paksaan, konflik, maupun rasa ketakutan.23 Menurut M.
Abduh, seperti yang dikutip M. Munir, dalam buku metode dakwah
berpendapat bahwa, hikmah mengetahui rahasia dan faedah di dalam
tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafadh
akan tetapi banyak makna ataupun diartikan meletakkan sesuatu pada
tempat atau semestinya.24
Dalam bahasa komunikasi, hikmah ini menyangkut situasi total
yang mempengaruhi sikap pihak komunikan. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa apa yang di sebut dengan bil hikmah itu merupakan suatu
23Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Hal. 321
18
metode pendekatan komunikasi yang dilakukan atas dasar persuasive.
Dengan kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pasa suatu
pandangan human oriented menepatkan penghargaan yang mulia atas diri
manusia.25
Toha Yahya Umar, menyatakan bahwa hikmah berarti meletakkan
sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha menyusun dan
mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman dengan tidak
bertentangan dengan larangan Tuhan.26 Dengan begitu sebagai metode
dakwah, hikmah diartikan dengan bijaksana, akal budi yang mulia, dada
yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang kepada agama
atau Tuhan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasanya
metode al-hikmah adalah bagaimana sikap seorang da’i dalam
menyampaikan dakwahnya dengan kemampuan dan ketepatan dalam
menerapkan taktik dakwahnya dengan kondisi mad’u yang dihadapi. Oleh
karena itu, da’i di tuntut untuk mampu menghadapi situasi dan kondisi
mad’u pada waktu tersebut dan memberikan dakwah yang bersifat
menerangkan yang gelap dan meluruskan yang salah serta membimbing ke
jalan yang benar.
2) Metode Al-Mau’idhah Al-Hasanah
Secara bahasa, al-mau’idhah al-hasanah terdiri dari kata
mau’idhah dan hasanah. Kata mau’idhah berasal dari kata wa’adha
25Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Hal. 43
19
ya’idhu-wa’dhan-„idhatan yang berarti nasihat, bimbingan, pendidikan
dan peringatan, sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah
artinya kebaikan lawannya kejelekan. Secara istilah menurut Abd. Hamid
al-Bilali, al-mau’idhah al-hasanah merupakan salah satu metode dalam
dakwah untuk mengajak kejalan Allah dengan memberikan nasihat atau
membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.27
Pengertian al-mau’idhah al-hasanah dalam tafsir Al-Misbah, al-
mau’idhah al-hasanah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar
kepada kebaikan. Adapun mau’idhah, maka ia baru dapat mengena ke hati
sasaran bila ucapan yang disampaikannya itu disertai dengan pengamalan
dan keteladanan dari yang menyampaikanya.
Adapun secara terminologi, ada beberapa pengertian diantaranya:
a) Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh
Hasanuddin adalah sebagai berikut: al-Mau’idhatil hasanah adalah
perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa
engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka
atau dengan Al-Qur’an.
b) Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-mau’idhah al-hasanah merupakan
salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan
Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah
lembut agar mereka mau berbuat baik.28
27M. Munir, Metode Dakwah, Hal. 15-16
20
Dari beberapa definisi di atas, metode mau’idhah hasanah terdiri
dari beberapa bentuk, diantaranya: nasehat, tabsyir watanzir, dan wasiat.
a) Nasehat dan petuah
Nasehat adalah salah satu cara dari al-mau’idhah al-hasanah
yang bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi
dan akibat. Secara terminologi nasehat adalah memerintah atau
melarang atau menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan
ancaman.Sedangkan,pengertian nasehat dalam kamus besar Bahasa
Indonesia Balai Pustaka adalah memberikan petunjuk kepada jalan
yang benar. Juga berarti mengatakan sesuatu yang benar dengan cara
melunakkan hati. Nasehat harus berkesan dalam jiwa dengan keimanan
dan petunjuk.
Dalam konteks dakwah, nasihat lebih bersifat personal, pribadi,
dan empat mata. Nasihat adalah konseling yang memecahkan dan
mengatasi keagamaan seseorang. Karena masing-masing orang
memiliki masalah yang berbeda satu sama lain, maka penasihat harus
jeli dalam melihat kondisi kliennya.29
b) Tabsyir wa tandzir
Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara yang
mempunyai arti memperhatikan/merasa tenang. Tabsyir dalam istilah
dakwah adalah peyampaian dakwah yang bersifat kabar-kabar yang
21
menggembirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah. Tujuan
tabsyir:
1) Menguatkan atau memperkokoh keimanan
2) Memberikan harapan
3) Menumbuhkan semangat untuk beramal
4) Menghilangkan sifat keragu-raguan.30
Tandzir atau indzar menurut istilah dakwah adalah
penyampaian dakwah dimana isinya berupa peringatan terhadap
manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala
konsekuensinya.
c) Wasiat
Secara etimologi kata wasiat berasal dari bahasa arab yang di
ambil dari kata Washa-Washiya-Washiyatan yang berarti pesan
penting berhubungan dengan suatu hal. Wasiat termasuk salah satu
jenis dari metode dakwah mau’idhah hasanah. Wasiat dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu:
1) Wasiat orang yang masih hidup kepada yang masih hidup, yaitu
berupa ucapan, pelajaran, atau arahan tentang sesuatu.
2) Wasiat orang yang telah meninggal (ketika menjelang ajal tiba)
kepada orang yang masih hidup berupa ucapan atau berupa harta
benda warisan.31
30M. Munir, Metode Dakwah, Hal. 259
22
Oleh karena itu, pengertian wasiat dalam konteks dakwah
adalah: ucapan berupa arahan (taujih), kepada orang lain (mitra
dakwah), terhadapa sesuatu yang belum dan akan terjadi (amran
sayaqa mua’yan).
Wasiat biasa diberikan oleh da’i ketika berada di akhir dari
sebuah kegiatan dakwah. Dengan harapan wasiat tersebut dapat
menjadi sebuah peringatan kepada mad’u yang tentunya sebagai pesan
yang baik dari seluruh isi dakwah yang telah disampaikan oleh da’i.
Wasiat juga biasa difungsikan untuk menjadi salah satu inti ajakan dari
sebuah kegiatan berdakwah. Yang mana wasiat tersebut bertujuan
memberikan efek kepada mad’u untuk kehidupan sehari-harinya.
c) Metode Mujadalah
Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah terambil dari kata
“jadala” yang bermakna memintal melilit. Apabila ditambahkan alif dan
huruf jimyang mengikuti wazan faa’ala,“ja dala” dapat bermakna
berdebat, dan “mujadalah”perdebatan.
Kata “jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna
menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan
ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya
melalui argumentasi yang disampaikan.32
Kata mujadalah dimaknai oleh mufasir al-Razi dengan bantahan
yang tidak membawa kepada pertikaian dan kebencian, tetapi membawa
23
kepada kebenaran, artinya bahwa dakwah dalam bentuk ini adalah dakwah
dengan cara debat terbuka, argumentatif dan jawaban dapat memuaskan
masyarakat luas.33
Metode dakwah bil-mujadalah kemudian di bagi ke dalam
beberapa bentuk, yaitu metode debat, al-hiwar (dialog) dan as-ilah wa
ajwibah (tanya jawab). Debat biasanya pembicaraan antara dua orang atau
lebih yang cenderung saling menjatuhkan lawan. Masing-masing pihak
saling mempertahankan pendapatnya dan sulit melakukan kompromi.
Al-hiwar merupakan metode dialog yang lebih berimbang, karena
masing-masing pembicara memiliki hak dan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat. Metode al-hiwar dilakukan da’i yang lebih setara status dan
kecerdasannya.34
Kemudian metode as-ilah wa ajwibah atau metode tanya jawab,
yaitu proses mad’u memberi pertanyaan kepada da’i kemudian da’i
menjawabnya. Karena dakwah memiliki tujuan untuk menerangi manusia,
maka jawaban da’i ketika muncul pertanyaan harus berusaha agar
jawabannya bisa menjelaskan dan menerangi akal pikiran.35
Metode mujadalah pada konteks tanya jawab juga dilakukan
dengan menggunakan tanya jawab untuk mengetahui sampai sejauh mana
33Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),
Hal. 11
34M. Munir, Metode Dakwah, Hal. 315
24
ingatan atau pikiran seseorang dalam memahami atau menguasai materi
dakwah, di samping itu juga merangsang perhatian penerima dakwah.36
Dari pengertian di atas dapatlah di ambil kesimpulan bahwa,
al-mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan
agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan
argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan yang lainnya salaing
menghargai dan menghormati penapat keduannya berpegang pada
kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman
kebenaran tersebut.
b. Metode Bil Hal dan Bil Lisan
1) Metode bil Hal
Secara etimologi dakwah bil hal merupakan gabungan dari dua
kata yaitu kata dakwah dan al-aal. Kata dakwah artinya menyeru,
memanggil. Sedangkan kata al-aal berarti keadaan. Jika dua kata tadi
dihubungkan maka dakwah bil hal mengandung arti memanggil, menyeru
dengan menggunakan keadaan atau menyeru, mengajak dengan perbuatan
nyata.
Sedangkan secara termonologis dakwah bil hal mengandung
pengertian: mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan menuntut
pada petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka
25
dari perbuatan munkar agar mereka mendapatkan kebahagian dunia
akhirat.37
Dakwah bil hal adalah dakwah dengan perbuatan nyata seperti
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, terbukti bahwa pertama kali tiba di
Madinah yang dilakukan adalah membangun Masjid Quba,
mempersatukan kaum Ansor dan Muhajirin dalam ikatan Ukhuwah
Islamiyah seterusnya. Terbukti dakwah bil hal sangat efektif.
Sebenarnya konsep dakwah bil hal ini bersumber pada ajaran islam
yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga
umat Islam yang seharusnya menjadi pelopor pelaksanaan dakwah ini.
Tanpa mengabaikan dakwah bil lisan, maka dakwah bil hal seharusnya
menjadi prioritasutama, sekaligus usaha preventif bagi umat Islam (di
pelosok desa) agar tidak pindah agama.38
Secara garis besar dakwah bil hal dapat diartikan sebagai dakwah
yang nyata dalam bertindak dan berbuat. Dengan kenyataan itu biasanya
terdapat bukti yang ditinggalkan. Karena setiap perbuatan pasti akan
menimbulkan suatu bekas. Dari sinilah peneliti menarik kesimpulan
bahwa dakwah bil hal merupkan metode dakwah yang didasari oleh
sebuah nasihat atau perkataan yang kemudian direalisasikan dengan
sebuah tindakan dan perbuatan yang menghasilkan sebuah karya dakwah.
37Siti Muru’ah, Metodologi Dakwah Kontemporer. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), Hal.
75
26
2) Metode bil Lisan
Metode bil lisan adalah suatu cara kerja yang mengikuti sifat dan
prosedur lisan dalam mengutarakan suatu cita-cita, keyakinan, pandangan
dan pendapat. Kelancaran bahasa dan kemampuan menata pikiran yang
akan diutarakan, keluasan ilmu pengetahuan, kematangan sikap dan
keluasan amal sebanding dengan keluasan ilmu yang dimiliki (minimal
bidang yang akan disampaikan) sangat menentukan dalam penggunaan
metode ini.
Metode bil lisan juga banyak di sebut dengan metode ceramah.
Ceramah adalah suatu teknik atau metode dakwah yang banyak diwarnai
oleh ciri karakteristik bicara oleh seseorang da’i/mubaligh pada suatu
aktifitas dakwah. Ceramah dapat pula bersifat propoganda, kampanye,
berpidato (rhetorika), khutbah, sambutan, mengajar dan sebagainya.39
Dakwah bil lisan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu
Islamisasi via ucapan. Beliau berkewajiban menjelaskan pokok-pokok dan
intisari ajaran Islam kepada umatnya (kaum muslimin) melaui dialog dan
khutbah yang berisi nasehat dan fatwa. Selain itu beliau juga mengajarkan
kepada para sahabatnya, setiap kali turunnya wahyu yang di bawa
Malaikat Jibril, yang kemudian dilafalkan dan di tulis di pelepah kurma.40
Dengan begitu dapat kita ambil garis kesimpulan bahwa metode
dakwah bil lisan merupakan sebuah seni dakwah yang membutuhkan
kecakapan dalam mengolah kata dan mengolah setiap ucapan. Sehingga
39Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah, Hal. 104
40Asep Shaifuddin, Sheh Sulhawi Rubba, Fikih Ibadah Safari ke Baitullah, (Surabaya: Garisi,
27
dengan ucapan tersebut seorang da’i mampu menarik mad’u dan
menyampaikan pesan dakwah sesuai dengan yang diharapkan. Metode ini
memerlukan keahlian tersendiri karena ketika sudah diatas
panggung/mimbar, diperlukan konsentrasi tinggi untk menguasai
konsentrasi dan situasi pada saat itu.
c. Metode Dakwah Menurut Moh. Ali Aziz
1) Metode Ceramah
Metode ceramah atau muhadlarah atau pidato ini telah di pakai
oleh semua Rasul Allah dalam menyampaikan ajaran Allah. Sampai
sekarang pun masih merupakan metode yang paling sering digunakan oleh
para pendakwah sekalipun alat komunikasi modern telah tersedia.
Dari segi persiapannya ada empat macam ceramah atau pidat.
Pertama, Pidato Impromtu, yaitu pidato yang dilakukan secara spontan,
tanpa adanya persiapan sebelumnya. Kedua, Pidato Manuskrip, yaitu
pidato dengan membaca naskah yang sudah disiapkan sebelumnya. Ketiga,
Pidato Memoriter, yaitu pidato dengan hafalan kata demi kata dari isi
pidato yang telah dipersiapkan. Keempat, Pidato Ekstempore, yaitu pidato
dengan persiapan berupa outline (garis besar) dan supporing points
(pembahasan panjang). Jenis yang terakhir ini adalah pidato yang paling
baik dan paling banyak di pakai oleh para ahli pidato.41
28
2) Metode Diskusi
Abdul Kadir Munsyi mengartikan diskusi dengan perbincangan
suatu masalah di dalam sebuah pertemuan dengan jalan pertukaran
pendapat di antara beberapa orang.42 Dengan melakukan sebuah diskusi,
sebuah masalah akan dibicarakan dengan beberapa orang, dan setiap orang
akan mempunyai pendapat tersendiri. Sehingga akan ada jalan keluar yang
terbaik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
3) Metode Konseling
Konseling adalah pertalian timbal balik di antara dua orang
individu dimana seorang (konselor) berusaha membantu yang lain (klien)
untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungannya
dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada saat ini dan pada waktu
yang akan datang. Metode konseling merupakan wawancara secara
individual dan tatap muka antara konselor sebagai pendakwah dan klien
sebagai mitra dakwah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.43
4) Metode Karya Tulis
Metode ini termasuk dalam kategori dakwah bi al-qalam (dakwah
dengan karya tulis). Tanpa tulisan, peradaban dunia akan lenyap dan
punah. Metode karya tulis merupakan buah dari keterampilan tangan
dalam menyampaikan pesan dakwah. Keterampilan tangan ini tidak hanya
42Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Hal. 367
29
melahirkan tulisan, tetapi juga gambar atau lukisan yang mengandung misi
dakwah. Untuk itu, metode karya tulis dapat terbagi dalam tiga teknik.44
a) Teknik Penulisan
Setidaknya ada tiga model gaya penulisan keagamaan, yaitu penulisan
model pemecahan masalah, penulisan model hiburaan, dan penulisan
model kesusastraan.
b) Teknik Penulisan Surat (Korespondensi)
Nabi SAW pernah mengajak para penguasa untuk masuk Islam dengan
menuliskan surat kepada mereka. Dengan surat, pesan dapat
terdokumentasikan yang bisa dibaca sewaktu-waktu.
c) Teknik Pembuatan Gambar
Ada gambar yang hidup ada pula gambar yang mati. Gambar hidup
adaalah gambar yang bergerak. Gerakan gambar ini disesuaikan
dengan pesan dakwahnya. Dengan gerakan ini, pembuat gambar
dominan dalam memengaruhi persepsi orang yang melihatnya.
Berbeda dengan yang bergerak (hidup), gambar mati lebih dominan
dikonstruki dan dipersepsi sendiri oleh orang yang melihatnya.
5) Metode Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu metode dalam dakwah bi al-hal (dakwah dengan aksi
nyata) adalah metode pemberdayaan masyarakat, yaitu dakwah dengan
upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi, dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya
30
untuk mengembangkannya dengan dilandasi proses kemandirian. Metode
ini selalu berhubungan antara tiga aktor, yaitu masyarakat (komunitas),
pemerinntah, dan agen (pendakwah).45
4. Metode Dakwah Pada Zaman Rasulullah SAW
Wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Rasul SAW adalah
surat Al-Alaq dengan lima ayat permulaannya yang bunyinya :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Sesudah lima ayat itu berhenti, menurut pendapat yang kuat, selama
40 hari. Kemudian diturunkan lagi wahyu berikutnya melalui surat
Al-Mudassir ayat 1 sampai 7, yang bunyinya :
“Wahai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu bersabarlah”.46
Dengan ayat Al-Qur’an yang mulia inilah, dimulailah kegiatan dakwah
dan risalah Islamiyah yang ditugaskan kepada Muhammad Ibn Abdillah untuk
45Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Hal. 378
31
disampaikan kepada segenap manusia, melalui pembinaan dan pendidikan
yang berlandaskan la ilaha illa al-llah (nilai dasar ketauhidan).47
Dengan demikian dari turunnya wahyu pertama ini, Rasulullah SAW
mulai berfungsi sebagai seorang pendidik dan pembimbing masyarakat (social
educator), melalui perombakan dan revolusi mental masyarakat Arab dari
kebiasaan menyembah berhala yang merendahkan derajat kemanusiaan dan
tidak menggunakan akal pikiran yang sehat, tidak memiliki perikemanusiaan
dan menghinakan kaum wanita dan sebagainya, menuju sikap mental yang
mengangkat derajat kemanusiaan yang penuh percaya diri dan hanya
menyembah dan memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Turunnya ayat-ayat tersebut juga membuat Rasul SAW untuk memulai
melakukan dakwah secara rahasia. Orang yang mula-mula beriman dalam ahli
baitnya adalah Khadijah dan Ali ibnu Abi Thalib. Dakwah Rasul SAW
disambut pula oleh Zaid ibnu Harisah (anak angkatnya) dan Ummu Aiman
(ibu asuhnya). Diluar ahli baitnya, orang yang mula-mula menerima
dakwahnya adalah Abu Bakar, kawan Rasul SAW sebelum diutus oleh Allah.
Abu Bakar mendakwahkan Islam kepada orang-orang yang ia percayai, dari
tokoh-tokoh Quraisy. Kelompok orang yang menyambut dakwah Abu Bakar
diantaranya adalah Usman ibnu Affan, Az-Zubair ibnu Al-Awwam, Safiyah
binti Abdil Muththalib, Abdurrahman ibnu Auf, Sa’ad ibnu Abi waqqash, dan
Talhah ibnu Abdillah.
47Asep Muhyiddin, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), Hal.
32
Dakwah rahasia tersebut berjalan selama tiga tahn, dan jumlah
pemeluk Islam mencapai 40 orang. Dari 40 orang tersebut ada juga
orang-orang terhormat suku Quraisy yang menerima (memeluk) agama Islam.
Sejumlah budak lebih memilih lapar, derita, dan kesusahan mengikuti Nabi
Muhammad SAW, padahal sekiranya mereka tinggal bersama majikannya
akan lebih tenang dan tenteram. Selama itu Abu Bakar pun membeli sejumlah
budak dengan harga melebihi batas yang diminta tuannya, lalu
memerdekakannya.48
Setelah itu Rasulullah SAW menerima wahyu surat Al-Hijr ayat 94
yang bunyinya :
“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”.
Sejak itu Rasul SAW mengganti dakwah rahasinya dengan dakwah terbuka.
Rasul SAW mengundang suka Quraisy dan orang-orang pun berkumpul
hendak mendengarkan apa yang dikatakannya. Peristiwa tersebut berlangsung
di atas bukit Shafa. Sejak itu khutbah Rasul SAW menjadi salah satu media
dakwah.
Banyak tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad SAW dan
pengikutnya dalam menjalankan dakwah. Suku Quraisy selalu melakukan
penindasan dan siksaan terhadap Rasul SAW dan pengikut-pengikutnya.
Namun penindasan itu tidak mengubah sikap orang-orang yang beriman, maka
33
suku Quraisy pun melakukan pemboikotan terhadap Rasul SAW dan
sahabat-sahabatnya.49 Kemudian Rasulullah dan pengikutnya melakukan sebuah
perjalanan hijrah kebebrapa daerah untuk melakukan perluasan dakwah
Islamiyah.
Adapun ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, pembinaan yang
dilakukan Rasulullah SAW lebih banyak ditekankan pada pembentukan
masyarakat muslim di tengah-tengah masyarakat nonmuslim. Ayat-ayat
Al-Qur’an yang turun pada periode ini lebih ditekankan pada masalah muamalah,
sistem kemasyarakatan, kenegaraan, hubungan antar agama (toleransi),
ta’awun, ukhuwah, dan sebagainya.50
Rasulullah juga menggunakan metode dakwah seperti politik
pemerintah. Metode ini dilakukannya ketika menetap di Madinah. Beliau
menentukan strategi dakwahnya dengan menggunakan politik pemerintah
yakni mendirikan negara Islam (yang pertama kali). Yang mana semua urusan
negara, hukum, tata ekonomi, sosial, dan sebagainya berazazkan Islam. Hal ini
berarti dakwah Islmiyah sebagai tujuan utama negara. Dengan cara tersebut
pula Rasul SAW memperluas wilayah dakwahnya dengan melakukan surat
menyurat dengan pemerintah atau penguasa negeri untuk bergabung memeluk
Islam dan melakukan syiar agama Islam. Adapun hasilnya sudah barang tentu
ada yang menerima dan ada pula yang menolaknya.
Adapun metode dakwah beliau yang terakhir adalah dengan
menggunakan peperangan. Hal ini dilakukan bila sudah tiada lagi jalan lain
49Kustadi Suhandang, Ilmu Dakwah, Hal. 35
34
yang ditempuhnya. Seperti perang Badar, Uhud, Yarmuk dan sebagainya.51
Keberhasilan dakwah Rasulullah SAW diteruskan oleh para sahabat setelah
sepeninggalan Nabi. Sehingga Islam berkembang pesat kepenjuru dunia.
5. Keunggulan dan Kelemahan Metode Dakwah
a. Metode Dakwah bil Hikmah
Keunggulannya yaitu : Sifatnya yang sederhana, tidak memerlukan biaya
yang besar, dan tidak memerlukan keterampilan yang lebih.52
Kelemahannya yaitu : Terkadang membuat mad’u jadi jenuh dan bosan,
cenderung mad’u pasif, dan tidak kontekstual dengan mad’u.
b. Metode Dakwah bil Mau’idhah Hasanah
Keunggulannya yaitu : Pesan-pesan atau materi yang disampaikan bersifat
ringan dan informatif, tidak mengundang perdebatan, dan sifat
komunikasinya lebih banyak searah dari dai ke audiens.53
Kelemahannya yaitu : Materi tidak akan selamanya mengena dengan
kebutuhan mad’u yang bersifat dinamis, tidak kontekstual dengan mad’u,
dan tidak lebih dari kurangnya penguasaan metodologi dakwah, baik pada
ranah dai, materi, maupun mad’u.54
c. Metode Dakwah bil Mujadalah
Keunggulannya yaitu : Suasana dakwah akan tampak lebih hidup, dapat
menghilangkan sifat-sifat individualistik, menimbulkan sifat-sifat yang
51Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah, Hal. 155-157
52Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah, Hal. 116
53Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Hal. 359
35
positif yaitu berpikir sistematis dan logis, dan materi akan dipahami secara
mendalam.55
Kelemahannya yaitu : Bila terjadi perbedaan pendapat antara dai dengan
penanya atau sasaran dakwah akan memakan waktu yang banyak untuk
menyelesaikannya, penanya kadang-kadang kurang memperhatikan jika
terjadi penyimpangan, dan jika jawaban dai kurang mengena pada sasaran
pertanyaan, penanya dapat menduga yang bukan-bukan terhadap
dai,misalnya dai di rasa kurang pandai atau kurang memahami materi yang
di sampaikan.56
6. Pondok Pesantren
Pesantren dikatakan oleh Didin Hafiduddin adalah salah satu lembaga
iqamatuddin. Lembaga-lembaga iqamatuddin memiliki dua fungsi utama,
yaitu sebagai tempat tafaqquhfiddin (pengajaran, pemahaman, dan
pendalaman ajaran Islam) dan indzar (menyampaikan dan mendakwahkan
ajaran Islam kepada masyarakat). Kata “pondok pesantren” terdiri dari dua
suku kata, yaitu “pondok” dan “pesantren”. Kata pondok berasal dari bahasa
arab “funduq”, yang artinya hotel/asrama.57
Dari keterangan di atas dapat kita rumuskan tentang pengertian pondok
pesantren, yaitu tempat orang-orang atau pemuda menginap (bertempat
tinggal) yang dibarengi dengan sebuah kegiatan untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengenalkan ajaran Islam.
55Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Hal. 368
56Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah, Hal. 127
57HM. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Angkasa
36
Sedangkan menurut Drs. Mahmud, pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan dan pengajaran Islam dimana di dalamnya terjadi interaksi aktif
antara yai atau ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan
mengambil tempat di masjid/mushalla, ruang kelas, emper asrama (pondok)
untuk mengaji dan membahas buku-buku keagamaan karya ulama masa lalu.58
7. Anak Yatim dan Dluafa’ Menurut Agama Islam
Salam tafsir Al-Misbah “al yatim” terambil dari kata “yatama” yang
berarti kesendirian. Karena itu, yang sangat indah dan di nilai tidak ada
bandingnya dinamai Ad Durrah (Al Yatimah). Bahasa menggunakan kata
tersebut untuk menunjukkan anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya
telah wafat atau anak binatang yang induknya tidak ada. Kemtian ayah bagi
seseorang yang belum dewasa menjadikan kehilangan pelindung, ia eakan
akan menjadi sendirian, sebatang kara, karena itu dinamai yatim.59
Adapun menurut syara’, yang di maksud dengan anak yatim adalah
anak yang di tinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh.Batas seorang anak
di sebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa.
Pengertian lain mengatakan bahwa anak yatim adalah mereka yang
sudah tidak memiliki orang tua lagi dan keluarga yang memeliharanya.60
Mereka anak yang menderita, lemah (dluafa’), dan menjadi korban kehilangan
kasih sayang orang tua baik di bidang pendidikan ataupun di bidang yang lain.
58Mahmud, Model-Model Pembelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara, 2006),
Hal. 1
59M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Hal. 646
37
Sedangkan pengertian dluafa’ adalah manusia yang hidup dalam
kemiskinan, kesengsaraan, kelemahan, ketakberdayaan, ketertindasan, dan
penderitaan yang tiada putus. Kaum dluafa’ terdiri dari orang-orang yang
terlantar, fakir miskin, anak-anak yatim dan orang cacat.
Sebagai anak yatim yang hidup penuh dengan penderitaan dan serba
kekurangan, pastilah mempunyai keinginan yang wajar baik dari segi fisik
maupun dari segi mental, untuk itulah anak-anak yatim membutuhkan
kehadiran orang tua asuh. Yaitu orang tua yang mengikhlaskan dan
mengorbankan diri termasuk harta untuk merawat mereka.61 Melalui orang tua
asuh mereka dapat memperoleh nafkah dan kebutuhan sehari-hari, selain
mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Bahkan, mereka bisa
mendapatkan bimbingan dan pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan,
moral dan agama. Sehingga dirinya mampu mengarungi bahtera kehidupannya
sendiri.
Dalam Islam, anak yatim mempunyai kedudukan tersendiri dari pada
anak-anak lainnya. Mereka mendapat perhatian khusus dari Rasulullah SAW.
Ini tiada lain demi untuk menjaga kelangsungan hidup mereka agar tidak
terlantar sepeninggal ayahnya. Oleh karena itu, banyak sekali hadits beliau
tentang pemeliharaan anak yatim. Salah satunya adalah berikut yang di
riwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya : Telah bercerita kepada kami
Amr bin Zurarah, telah berkhabar kepada kami Abd al-Aziz bin Aby Khazim
dari bapaknya dari Sahl, Rasul SAW bersabda : saya dan orang yang
38
menanggung (memelihara) anak yatim (dengan baik), ada surga bagaikan ini,
seraya beliau memberi isyaratdengan jari telunjuk dan jari tengah dan beliau
rentangkan kedua jarinya itu.
Hadits di atas merupakan anjuran Nabi agar manusia mempunyai
semangat untuk memelihara anak yatim. Tetapi anjuran beliau kini belum
begitu mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat pada umumnya,
hanya sebagian kecil saja umat Islam yang mau memperhatikan anjuran beliau
itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan umat Islam yang inti ajarannya
banyak menganjurkan saling tolong menolong sesama umat Islam bahkan
selain umat Islam.
Dalam Al-Qur’an surat Adh Dhuha ayat 9 dan 10 Allah SWT
berfirman:
<