KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK DIJADIKAN
ISTRI DALAM KITAB MUSNAD AH}MAD NO. INDEK 9137
( Kajian Ma’ani> al-Hadis)
SKRIPSI
Oleh:
NUR HASANAH
E03213071
JURUSAN ILMU ALQURAN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Nur Hasanah, 2017. KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK
DIJADIKAN ISTRI DALAM KITAB MUSNAD AH}MAD NO. INDEKS
9137 ( Study Ma’a>ni al-Hadis). Skripsi Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam negeri Sunan Ampel Surabaya.
Berbagai fenemona yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat menuntut adanya penyelesaian hukum. Salah satu fenomena tersebut adalah perihal tentang memilih kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri karena pada saat ini banyak dari kalangan laki-laki yang menunda menikah dikarenakan tidak bisa mencari istri yang sempurna sesuai dengan kriteria yang mereka inginkan. Hal itu menjadi penghalang bagi kaum laki-laki, akan tetapi jika ada salah satu kriteria yang baik untuk dijadikan istri diantaranya wanita yang shalihah dan penyayang terhadap anak serta bisa menjaga harta suami maka segerakanlah menikah. Beberapa hadis diatas juga menjelaskan tentang tuntutan bagaimana menjadi wanita yang termasuk dalam kriteria wanita yang baik untuk dinikahi oleh laki-laki yang shaleh. Diantaranya adalah, wanita harus mampu menjaga dirinya sendiri, mendapatkan pendapatan sendiri, tanpa melupakan kewajibannya sebagai seorang istri yang shalihah, yaitu menjaga dan mendidik anaknya, serta memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri bagi suaminya.
Penelitian hadis yang terdapat dalam kitab Musnad Ah}mad nomer indeks
9137 diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan menjawab fenomena ini. Penelitian ini mengarah pada kualitas hadis serta pemaknaan hadis. Dalam pengumpulan data digunakan metode library research ( kepustakaan) dan dalam mengkaji data digunakan metode takhrij hadis, kritik sanad dan matan serta teori pemaknaan hadis. Penelitian hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri menghasilkan bahwa hadis tersebut berkualitas s}ah}i>h} li-dha>tihi. Dan bisa dijadikan h}ujjah karena hadis ini termasuk hadis maqbul karena matan hadis tidak bertentangan dengan al-quran, akal serta fakta sejarah sehingga dapat dijadikan sebagai h}ujjah dan dapat diamalkan.
Hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri mengacu pada pemaknaan hadis: tentang menunggang unta, wanita shalehah, penyayang terhadap anak serta menjaga hak suaminya, hal ini memakai teori kebahasaan dan sosio historis. Dan terdapat implikasi masing-masing diantaranya apabila menikahi wanita shalihah maka kemudian hari ia akan menjadi ibu dari anak-anaknya dan keturunanya akan menjadi anak shaleh dan teladan serta menutupi aib suami maka akan membentuk keluarga yang mulia.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Kegunaan Penelitian ... 7
F. Telaah Pustaka ... 7
G. Metode Penelitian ... 8
BAB II : HADIS DAN KAIDAH KESAHIHANNYA
A. Pengertian Hadis ... 13
B. Teori Kesahihan Sanad Hadis ... 15
C. Teori KesahihanMatan Hadis ... 26
D. Kaidah Ke-Hujjahan Hadis………... 29
E. Ilmu Ma’ani Hadis ... 32
BAB III : BIOGRAFI AH}MAD IBN H}AMBAL SERTA HADIS TENTANG KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK DIJADIKAN ISTRI A. Biografi Ah}mad bin H{ambal ... 35
B. Sistematika Musnad Ah}mad ... 37
C. Derajat al-Musnad dalam Deretan Kutubul H}adi>th ... 40
D. Hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri ... 43
E. Syarah Hadis ... 52
BAB IV : ANALISA HADIS TENTANG KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK DIJADIKAN ISTRI A. Kualitas Sanad ... 55
B. Kualitas Matan ... 64
C. Analisis Ke-Hujjahan Hadis ... 66
D. Analisis Pemaknaan Hadis ... 67
E. Implikasi Hadis terhadap kehidupan Manusia ... 74
2. Sains... 76
3. Implikasi ... 77
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBAHASAN
A.Latar Belakang Masalah
Al-Quran dan hadis merupakan pedoman hidup serta sumber utama bagi
ajaran agama Islam dan keduanya tidak bisa terpisahkan. Al-Quran
merupakan sumber utama yang membuat ajaran-ajaran agama yang masih
bersifat umum dan global, dan perlu juga penjelasan lebih terinci lagi.
Sedangkan hadis merupakan penjelas dari maksud kandungan al-Quran1.
Hadis disebut juga dengan sunnah, segala sesuatu yang bersumber atau
disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau
taqrir-nya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Quran, sejarah perjalanan hadis
tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam
beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik sehingga dalam
mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.2
Wanita secara harfiah disebut kaum perempuan, kaum yang amat
dihormati dalam konsepsi Islam sebab, pada telapak kaki wanita terletak
surga. Kaum wanita disebut pula dengan kaum Hawa, nama ini terambil dari
nama ibunda manusia.3
1Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 26.
2
Ibid., 5. 3
2
Secara fisik( kodrati) wanita lebih lemah dari pria mereka memiliki
perasaan yang lebih lembut dan halus. Wanita juga lebih banyak
menggunakan pertimbangan emosi dan perasaan dari pada akal pikirannya.4
Secara terminologi wanita merupakan kata yang umum yang digunakan
untuk menggambarkan perempuan dewasa. Sebagai manusia, wanita
mempunyai hubungan secara vertikal dan horizontal yang terdiri dari tiga
aspek, yang pertama kedudukannya sebagai manusia ciptaan Tuhan, yang
kedua kedudukannya dalam keluarga dan ketiga kedudukannya sebagai
anggota masyarakat.5
Dan sebagai hamba Allah, wanita yang juga berkedudukan sebagai
khalifatullah mempunyai kewajiban untuk mengelola dan memakmurkan
dunia. Sebagai hamba Allah ia mempunyai kewajiban yang sama seperti pria,
beribadah kepada Allah dan dia akan memperoleh pahala yang sama seperti
kaum pria jika melakukan kebajikan dan akan memperoleh siksa yang sama,
jika ia melakukan perbuatan jelek atau menjadi munafik dan kafir.6
Wanita sebagai anggota masyarakat, al-Quran memberikan keluasan bagi
wanita untuk melakukan aktivitas ekonomi, sebagaimana ditegaskan dalam
al-Quran surah al-Nisa’:337
ًَامْيِلَعٍَئْيَشَ لُكِبََناَكَََللاَ نِإَِِلْضَفَْنِمَََللاَْاوُلَ ئْسَوََْبَسَتْكاَا مٌَبْيِصَنَِءاَس لِلَو
84
Indra, Potret Wanita, 1. 5
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka,
2005), 856. 6
M. Harir Muzakki, Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam Vol.15 No.3
(November,2015), 352.
7
3
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam praktiknya, kepemimpinan dan tugas-tugas keluarga itu lebih
banyak dilakukan oleh pihak wanita. Dengan kelemah-lembutannya seorang
wanita sebagai ibu rumah tangga dapat berperan sebagai faktor penyeimbang
kaum pria. Dalam kehidupan keluarga, wanita yang bisa bertanggung jawab
merupakan idaman dari semua pria. 9
Diantara prinsip serta kaidah yang diajarkan Rasulullah dalam memilih pasangan adalah lebih memilih atau mengutamakan calon istri yang agamis,
religius atau shalihah ketimbang yang lainnya. Hal ini disyaratkan melalui
hadis Nabi,
اَدَيَْتَبِرَتَِنْي دلاَ ِتاَذِبَرَفْظاَفَاَهِْيِدِلَوَاَِلاََََوَاَهِبَسََِِوَاَِلاَمِلَِعَبْرَِلَُةَأْرَمْلاَُحَكُْ ت
ََك
“ wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, nasabnya, kecantikan, dan
agamanya.” ) HR. Muslim)10
Ketakwaan calon seorang istri, hendaknya menjadi hal prinsip bagi
seorang suami dalam memilih calon istrinya. Namun demikian ia dibolehkan
untuk mempertimbangkan juga aspek kekayaan calon istri. Sebagaimana
disebutkan dimuka. Menurut ajaran Islam, memilih calon istri hendaknya
didasarkan pada religiusnya yang baik, kualitas nasab, juga kondisi
8
Al-Quran, 4:32. 9
Muzakki, Al-Tahrir Jurnal, 6.
10
4
keluarganya yang baik. Sebab, moralitas dan mentalitas perempuan itu
banyak terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan.11
Tetapi ada juga di dalam hadis dijelaskan secara khusus bahwasnya
kriteria-kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri adalah sebagai
berikut,
ََح
َ دََ ث
ََ
ََأَا
َُب
ََأَو
ََْح
َُدَ
َ زلا
ََ بَِْي
َْيَ
ََق
ََلا
َ
ََح
َ دََث
ََاَ
َُسَْف
ََي
َُنا
َََع
َْنََ
َأ
َِب
َ زلاَ
ََانَِد
َََع
َْنَ
ََعَْب
َِدَ
َ رلا
َْح
َِنَ
ََلا
َْع
َِجر
َََع
َْنََ
َأ
َِب
ََََُ
رَْ يََرََة
َ
ََعَِن
َ
َّلا
َِب
ََََ
َ ل
َُلاَى
َََعََل
َْيََِ
ََوََس
ًَلََم
َِنٌَرْ يَخََلَاق
َِلِبِلاََْبِكَرٍَءاَس
َ
ٌَحِلاََ
َ
ٍَءاَسِن
َ
ٍَدَلَوَىَلَعَُاَْحَأٍَشْيَرُ ق
َِِدَيَ ِتاَََ ِفٍَجْوَزَىَلَعَُاَعْرَأَو
12Menceritakan kepada kami Abu> Ahmad al-Zubai>ry, dia berkata Sufya>n dari Abi> al-Zinad dari Abdur al-Rahman al-‘A’raj dari Abu> Hurairah RA, dari Nabi Saw,
beliau bersabda, “sebaik-baik perempuan adalah perempuan yang menunggang unta,
perempuan Quraisy yang shalihah, sangat penyayang terhadap anak di masa kecilnya dan sangat memelihara suami pada apa yang ada ditangannya.
Dari kedua hadis diatas bahwasanya ketika laki-laki ingin menikahi
perempuan, hanya saja berpatokan kepada kriteria 4 perkara tersebut, yaitu
karena harta, nasab, kecantikannya serta agamanya. Akan tetapi kriteria
dalam hadis lain menjelaskan bahwasanya ada kriteria khusus bagi laki-laki
yang ingin menikahi perempuan yaitu dia adalah perempuan yang
menunggang unta, perempuan Quraisy yang shalihah, sangat penyayang
terhadap anak di masa kecilnya dan sangat memelihara suami pada apa yang
ada ditangannya.
Maka perlu kita ketahui bahwasanya hak-hak suami atas istrinya antara
lain, mentaati suminya, hendaklah istri tidak meninggalkan tempat tidur
11
Majdi Muhammad asy-Syahawi, Kado Pengantin (Solo: al-Maktabah
at-Taufiqiyyah, Tt), 28.
5
suami, memilihara harta suami, seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa
seizin suaminya, melayani suami ketika dirumah, memelihara kebersihan diri
dan berhias untuk suami serta mendidik anak-anaknya.13
Dalam hal ini banyak dari kalangan laki-laki yang menunda menikah
dikarenakan tidak bisa mencari istri yang sempurna sesuai dengan kriteria
yang mereka inginkan. Hal itu menjadi penghalang bagi kaum laki-laki, akan
tetapi jika ada salah satu kriteria yang baik untuk dijadikan istri diantaranya
wanita yang shalihah dan penyayang terhadap anak serta bisa menjaga harta
suami maka segerakanlah menikah.
Beberapa hadis diatas juga menjelaskan tentang tuntutan bagaimana
menjadi wanita yang termasuk dalam kriteria wanita yang baik untuk
dinikahi oleh laki-laki yang shaleh. Diantaranya adalah, wanita harus mampu
menjaga dirinya sendiri, mendapatkan pendapatan sendiri, tanpa melupakan
kewajibannya sebagai seorang istri yang shalihah, yaitu menjaga dan
mendidik anaknya, serta memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri bagi
suaminya.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka ada
beberapa hal yang dapat dikaji, di antaranya:
1. Urgensi hadis bagi umat Islam
2. Implikasi kandungan hadis bagi kehidupan manusia
3. Hadis-hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri
13
6
4. Kualitas hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri
5. Pemaknaan terhadap hadis-hadis tentang kriteria perempuan yang baik
untuk dijadikan istri
6. Terkait dengan beberapa permasalahan yang diidentifikasi di atas, perlu
adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam penelitian ini tidak
melebar. Penelitian ini difokuskan pada pemaknaan hadis tentang kriteria
perempuan yang baik untuk dijadikan istri
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang
dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang kriteria perempuan
yang baik untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ah}mad No. Indeks
9137?
2. Bagaimana pemaknaan hadis tentang kriteria perempuan yang baik
untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ah}mad No. Indeks 9137 ?
3. Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1. Untuk memahami kualitas dan kehujjahan hadis tentang kriteria
perempuan yang baik untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ah}mad
No. Indeks 9137
2. Untuk memahami pemaknaan hadis tentang kriteria perempuan yang
7
3. Untuk memahami implikasi hadis dalam kehidupan manusia.
E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada
realitas sosial, adapun kegunaannya antara lain:
1. Dari segi teoritis: untuk menambah wawasan, wacana dan khazanah
ilmu pengetahuan keislaman pada umumnya, dan dalam bidang hadis
pada khususnya.
2. Dari segi praktis: hasil penelitian ini diharapkan agar mendapatkan
kepastian tentang nilai pada hadis-hadis tersebut untuk dijadikan
landasan atau pedoman dalam kehidupan.
Dari penjelasan judul di atas bahwa yang dimaksud dalam judul
adalah untuk mencari makna hadis tentang kriteria perempuan yang
baik untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ah}mad No. Indeks 9137
F.Telaah Pustaka
Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah membaca beberapa
sumber-sumber rujukan baik yang primer maupun yang sekunder, seperti
al-Quran, dan kitab-kitab hadis. Penulis juga telah membaca literatur yang
menjadi telaah pustaka diantaranya:
1. Hak dan kewajiban istri sebagai wanita karir ( Studi Analisis atas
persepsi M. Quraish Shihab. Oleh Risa Sylva Noer Teta, Fakultas
8
2. Wanita Karir dan Keluarga ( Studi atas Pandangan Para Anggota
Dewan Perwakilan rakyat Daerah di Kota Yogyakarta tahun
2004-2009),Oleh Heri Purwanto, Fakultas Syariah UIN SUKA Tahun 2010
3. Wanita Karir dalam Persepektif Hukum islam, oleh Zaidatun Ni’mah,
Fakultas Syariah UIN SUKA Tahun 2009
G. Metode Penelitian
Yang dimaksud metode adalah suatu cara tentang bagaimana
menyelidiki, mempelajari dan melaksanakan sesuatu cara sistematis, efektif
dan terarah.14 Sehingga metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library
research). Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif. Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk
kata-kata atau bukan dalam bentuk angka. Oleh karena itu, sumber-sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis
baik berupa literatur berbahasa Arab maupun Indonesia yang mempunyai
relefansi dengan permasalahan penelitian ini.
Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis untuk memberikan
gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan
hasil penelitian. Sehingga penulisan ini menggunakan model penelitian
14
9
kualitatif. Dalam penelitian dilakukan dengan menelusuri secara langsung
dalam kitab Musnad Ah}mad juga dan beberapa kitab hadis yang dinilai
masih terkait.
2. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian, menurut
Suharsimi Arikunto adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.
Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari
dokumen perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yakni:
a. Sumber primer adalah rujukan utama yang dipakai, yaitu Musnad
al-Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal, Vol II karya Muhammad ‘Abdus al-Sala>m
‘Abdus al-Shafi
b. Sumber sekunder yakni kitab hadis standar lainnya yang dijadikan
sebagai pelengkap dalam penelitian ini antara lain:
1) Kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri> karya Abu> Abdulla>h Muh}ammad Ibn Isma>il Ibn al-Mughi>rah ibn Bardhibah.
2) Kitab S{ah}i>h} Muslim karya Abu> al-H{usai>n Muslim Ibn al-H{ajja>j
al-Qusyairi> al-Nasaiburi>.
3) Fathu al-Ba>ri Syarah S{ah}i>h}al-Bukha>ri>, diterjemahkan Amiruddin 4) Ilmu Maani Hadis karya ‘Abdul Mustaqim
5) Jurnal Pemikiran Islam Karya M. Harir Muzakki
6) Kado Pengantin Karya Majdi Muhammad asy-syahawi.
10
8) Menuju Pernikahan Barokah Karya ‘Abdu al-Rahman ‘Abdul Khaliq
9) Ilmu Hadis Karya Utang Ranuwijaya
10)Kamus Besar Bahasa Indonesia Karya Tim Penyusun Kamus
11)Ikhtisar Musthalahul Hadis Karya Fatchur Rahman 12)Studi Kitab Hadis Karya Zainul Arifin
13)Hadis-hadis Imam Ah}mad Karya Imam Ah}mad Ibn H}ambal 14)Mausu>’ah al-H}adi>th al-Shari>f al-Kutub al-Sittah Karya Sha>ri’
al-Ami>r ‘Abdul al-‘Azi>z,
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.
Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku,
jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.
Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan
dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu: pertama takhri>j al-h}adi>th,
karena takhri>j hadis sangat penting. Tanpa dilakukan kegiatan takhrij
hadis terlebih dahulu, maka akan diteliti, berbagai riwayat yang telah
meriwayatkan hadis itu. Dengan demikian maka akan terlihat dengan
jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama
periwayatannya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh
masing-masing periwayat yang bersangkutan.15
15
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi ( Jakarta: Bulang Bintang,
11
4. Analisis Data
Analisa data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui
penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua
komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data dan hadis akan
meliputi dua komponen tersebut.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mudah, jelas dan dapat
dimengerti, maka didalam skripsi ini secara garis besar akan penulis uraikan
pembahasan pada masing-masing bab sebagai berikut :
Bab 1 berisi pendahuluan yang mencakup tentang gambaran umum yang
memuat meliputi : latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian serta
pada akhir bab tentang sistematika pembahasan.
Bab II merupakan landasan teori yang membahas tentang kriteria Status
hadis, teori kehujjahan hadis dan teori pemaknaan hadis. Bab ini merupakan
landasan teori yang akan dijadikan tolak ukur dalam penelitian ini.
Bab III merupakan biografi Ima>mAh}mad Ibn H}ambal, Sistematika serta
metode kitab Musnad Ah}mad, data kitab Musnad Ah}mad dan hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan Istri dalam kitab Musnad
Ah}mad, skema sanad tunggal dan skema sanad ganda.
Bab IV merupakan analisa data yang menjadi tahapan setelah seluruh
data terkumpul, didalamnya termasuk membahas analisa sanad dan matan
12
untuk dijadikan istri dalam Kitab Musnad Ah}mad No Indeks 9137 serta
implikasi hadis dalam kehidupan manusia.
Bab V merupakan bagian penutup, yang meliputi: kesimpulan dan saran
yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, serta dilengkapi
BAB II
HADIS DAN KAIDAH KESAHIHANNYA
A.Pengertian Hadis
Kata hadis atau al-Hadis menurut bahasa, berarti al-Jadi>d, lawan kata dari al-Qodi>m. Kata hadis juga berarti al-Khabar, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya ialah al-Ah}a>di>th
dan dari sudut pendekatan kebahasan ini, kata hadis dipergunakan baik dalam
al-Quran maupun hadis itu sendiri. Dalam al-Quran misalnya dapat dilihat pada surat
al-Thur ayat 34, surat al-Kahfi ayat 6 kemudian pada hadis dapat dilihat pada
beberapa sabda Rasul Saw, diantaranya dari Zaid Ibn Thabit riwayat Abu> Daud,
al-Turmudhi> dan Ah}mad.1
Secara terminologis, ahli hadis dan ahli ushul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian tentang hadis. Dikalangan ulama ahli hadis sendiri ada
beberapa definisi antara satu dengan lainnya agak berbeda. Ada yang
mendefinisikan bahwa hadis adalah:2
َ لَسَوَِيَلَع َُُللاَى لَََ ِب لاَُلاَوْ قَأ
َُُلاَوْحَأَوَُُلاَعْ فَأَوََم
“Segala perkataan Nabi Saw, perbuatan dan hal ihwalnya”
Yang termasuk “hal ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi Saw”
'seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan
kebiasan-kebiasaannya.3
1
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis ( Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta:1996), 1.
2
Ibid., 2 3
14
Ulama ahli hadis lain merumuskannya dengan
َِنَعََرِثُأَاَمَ لُك
َ
َ لا
َِْبَ
َ لَسَوَِيَلَعَُلاَى لََ
ٍَةَفََوٍَريِرْقَ تَوٍَلْعِفَوَ ٍلْوَ قَْنِمََم
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir maupun sifatnya4
Berangkat dari beberapa definisi tentang hadis sahih diatas diketahui
beberapa kriteria hadis sahih diantaranya, sanadnya bersambung, para
periwayatan ‘adl, periwayatan d}abit}, terhindar dari sha>dh, terhindar dari ‘illat.5
Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat apabila memenuhi syrat-syarat kesahihan baik dari aspek sanad maupun matan. Syarat-syarat terpenuhinya kesahihan hadis ini sangatlah penting penggunaan atau
pengamalannya. Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat dimaksud berakibat
pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama sekali
menyimpang dari apa yang seharusnya dari yang diajarkan Nabi Muhammad
Saw.6
Sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama-sama penting, namun
demikian para ulama ahli hadis lebih mendahulukan memberikan perhatian
kepada aspek yang disebutkan pertama meskipun aspek yang disebut terakhir juga
tidak dikesampingkan begitu saja. Karena bagaimana pun juga idealnya sebuah
4Ranuwijaya, Ilmu Hadis,
2. 5
Idri, Studi Hadis ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 160.
6
Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis Cet. 1 (Malang:
15
hadis dikatakan sebagai berkualitas sahih dan absah untuk diperpegangi sebagai
hujjah apabila aspek sanad dan matannya sahih7.
B. Teori Kesahihan Sanad Hadis
Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah mengharuskan
adanya persambungan sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi Muhammad Saw yang semua itu harus diterima dari para periwayat yang ‘adl dan d}abit}8
Oleh karena itu, maka penelitian terhadap sumber berita mutlak diperlukan.
Ima>m Nawa>wi> juga menegaskan apabila sanad suatu hadis berkualitas sahih maka hadis tersebut bisa diterima tetapi apabila tidak maka hadis tersebut harus
ditinggalkan.9
Nilai dan kegunaan sanad tampak jelas bagi seseorang untuk mengetahui
keadaan para perawi hadis dengan cara mempelajari keadaannya dalam
kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk mengetahui sanad yang muttasil dan
munqat}i'. Jika tidak terdapat sanad tidak dapat diketahui hadis yang sahih dan
yang tidak sahih.10
Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur kaedah
kesahihan yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. Unsur-unsur itu ada
7
Sumbulah, Kritik Hadis, 14.
8
Salamah Norhidayati, Kritik Teks Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2009), 19.
9
Ibid., 99. 10
16
yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada yang
berhubungan dengan keadaan pribadi para periwayat.11
Agar suatu sanad bisa dinyatakan sahih dan dapat diterima, maka sanad
tersebut harus memenuhi syarat-syarat yaitu sanadnya bersambung, memiliki kualitas pribadi yang 'adl dan memiliki kapasitas intelektual d}abit}, terhindar dari sha>dh dan‘illat. Kelima kaedah kesahihaan sanad hadis tersebut akan dikaji masing-masing aspek kritiknya. 12
1. Kebersambungan Sanad
Tidak selalu terdapat keseragaman pendapat para ulama mengenai konsep
kebersambungan sanad ini. Untuk menunjuk polemik tersebut misalnya dapat
dimajukan konsep yang digulirkan al-Bukha>ri>. Bagi al-Bukha>ri> sebuah sanad
baru diklaim bersambung apabila memenuhi kriteria berikut:13
a. al-Liqa>’, yakni adanya pertemuan langsung antara satu rawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara
murid yang mendengar secara langsung suatu hadis dari gurunya.
b. al-Mu’as>harah, yakni bahwa sanad diklaim bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya. Sedangkan bagi Muslim, terkesan agak memperlonggar persyaratan ittisha>l sanad tersebut. Bagi Muslim sebuah sanad dikatakan telah bersambung apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya ada kemungkinan bertemu
11Isma’
il, Metodologi Penelitian, 66. 12
Sumbulah, Kritik Hadis,44.
13
17
karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara tempat tinggal mereka tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat ini dengan demikian, berarti Muslim hanya menekankan kebersambungan
sanad itu pada aspek al-Mu’as>harah semata.
Adapun aspek lain dari kajian kritik berkenaan dengan kebersambungan sanad ini, adalah menyangkut lambang-lambang, metode-metode periwayatan ( sighat al- tah}ammul wa al-ada>’) serta kualifikasi relasi antara periwayatan itu sendiri dengan metode periwayatan yang digunakannya. Lambang-lambang metode periwayatan hadis terdapat dua kegiatan dalam periwayatan hadis, yakni kegiatan
menerima hadis di satu sisi dan kegiatan menyampaikan hadis pada sisi
lain. Kegiatan pertama melahirkan masalah saat atau mulai kapan sesorang
dipandang layak untuk menerima hadis dan polemik mengenai
permasalahan ini dipicu dengan adanya batas bawah usia atau kondisi fisik
menerima hadis, agar hadis yang disampaikannya kemudian layak untuk
disampaikan kepada orang lain dan dapat diterima. 14
Menyimak kasus diatas, menurut hemat penulis dapat dipahami
bahwa seseorang yang boleh menerima hadis itu tidak hanya mengacu
kepada batas bawah umurnya, namun juga mengacu kepada keakuratan
dan kesetiaan hafalannya. Hal ini diperkuat dengan ketidak keliruan Abu>
Muhammad dalam membaca surat al-Quran yang diperintahkannya
kepadanya. Disamping menyangkut aspek biologis terebut, para ulama
14
18
juga tidak mensyaratkan bahwa seseorang yang layak menerima hadis itu
harus telah beragama Islam, bahkan demikian lanjut mereka hadis yang
diterima seseorang disaat dia masih berstatus sebagai kafir dapat diterima
kepada orang lain hanya saja dalam proses transmisi ini mu’addi telah
berstatus muslim.15
Kedua, meskipun dalam proses tah}ammul hadis tidak disyaratkan
harus balig dan muslim, namun pada saat al-ada>’-nya kedua syarat tersebut
tercakup seluruhnya oleh karena itu, kekhawatiran akan adanya kasus
manipulasi dan kesalahan periwayatan diatas dapat ditepis dengan
persyaratan muslim dan balig pada saat al-ada>’nya. Karena kedua syarat
tersebut memiliki konsekuaensi dan tuntutan yang melukiskan komitmen mereka terhadap agama, termasuk dalam masalah periwayatan hadis tersebut.16
2. Aspek Keadilan Perawi
Term ‘adalah ( adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong
kepada kebenaran. Dalam terminologi ilmu hadis terdapat beberapa rumusan
definisi yang dikemukakan para ulama diantaranya al-Ha>kim dan
al-Naisaibu>ri yang menyatakan bahwa ‘adalah seorang Muh}addith dipahami
sebagai seorang muslim, tidak berbuat bid’ah dan maksiat yang dapat
meruntuhkan moralitasnya. Ibn Shalah berpendapat bahwa seorang perawi
15
Sumbulah, Kritik Hadis, 49-50. 16
19
disebut memiliki sifat adil jika dia seorang yang muslim, balig, berakal,
memelihara moralitas dan tidak berbuat fasiq.17
Untuk mengetahui adil tidaknya seorang rawi, para ulama hadis telah
menetapkan beberapa cara yaitu:18
a. Melalui popularitas keutamaan seorang rawi dikalangan ulama hadis.
Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Ma>lik Ibn Anas
dan Sufya>n al-Thauri, kedua rawi tersebut tidak diragukan keadilannya.
b. Penilaian dari kritikus hadis, penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan
dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.
c. Penerapan kaidah al-jarh} wa al ta’dil, cara ini ditempuh apabila para
kritikus rawi hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.
3. Aspek Intelektualitas Perawi (d}abit})
Aspek intelektualitas (d}abit}) perawi yang dikenal dalam ilmu hadis. Istilah
d}abit} ini secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu. Aspek tersebut
merupakan salah satu dari sekian persyaratan asasi yang harus ada pada
seorang perawi hadis, untuk bisa diterima riwayat yang disampaikannya.19
Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat berbagai rumusan definisi d}abit}
mengandung makna sebagai tingkat kemampuan dan kesempurnaan
intelektualitas seseorang dalam proses penerimaan hadis, mampu memahami
secara mendalam makna yang dikandungnya, menjaga dan menghafalnya
17
Sumbulah, Kritik Hadis, 51. 18
Idri, Studi Hadis, 163. 19
20
semaksimal mungkin hingga pada waktu penyebaran dan periwayatan hadis
yang didengarnya tersebut kepada orang lain yakni hingga proses
penyampaian hadis tersebut kepada orang lain.20
Terdapat beberapa metode yang digunakan oleh para ulama untuk
mengetahui ke d}abit}-an seorang perawi. Ibn al- Shalah mengatakan bahwa ke
d}abit}-an seorang perawi hadis dapat diketahui dengan cara
mengkomparasikannya dengan riwayat hadis dari sejumlah perawi yang
thiqah dan telah terkenal ke-d}abit}-annya.21
4. Terhindar dari Sha>dh
Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat tiga pendapat berkenaan dengan definisi sha>dh, yakni pendapat pertama yang dimajukan al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadis baru dinyatakan mengandung sha>dh bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang bersifat thiqah, kedua pendapat yang dikemukakan oleh al- H}afiz}, sebuah hadis dinyatakan mengandung sha>dh apabila hanya memiliki satu jalur saja, baik hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang thiqah maupun yang tidak baik bertentangan atau tidak 22
Sedangkan menurut Fatchur Rahman, sha>dh yang terjadi pada suatu hadis terletak pada adanya pertentangan antara periwayatan hadis oleh rawi yang maqbul dengan periwayatan hadis oleh rawi yang rajah, hal ini disebabkan adanya kelebihan dalam jumlah sanad atau lebih dalam ke-d}abit}-an rawinya
20
Sumbulah, Kritik Hadis, 65. 21
Ibid.,67. 22
21
atau adanya segi tarjih} yang lain. Dengan kata lain pendapat ini mengamini pendapat al-Syafi’i.23
5. Terhindar dari ‘illat
Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit, Adapula yang mengartikan sakit.
Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminologi
ilmu hadis, ‘illat di definisikan sebagai sebuah hadis yang di dalamnya
terdapat sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis secara
lahir tampak sahih. Di dalam konteks ini, Ibn shalah mendefinisikan ‘illat
sebagai sebab tersembunyi yang merusak kaulitas hadis, karena
keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya berkualitas sahih
menjadi tidak sahih lagi. Sedangkan Ibn Taimiyah menyatakan bahwa hadis
mengandung ‘illat adalah hadis yang sanadnya secara lahir tampak baik,
namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, didalamnya terdapat perawi yang
banyak melakukan kesalahan, sanadnya mauquf atau mursal, bahkan ada
kemungkinan masuknya hadis lain pada hadis tersebut. 24
Mengacu pada tiga formulasi definisi diatas, dapat dipahami bahwa ‘illat
disini adalah cacat yang menyelinap pada sanad hadis sehingga kecacatan
tersebut pada umumnya berbentuk: pertama, sanad yang tampak bersambung
dan sampai kepada nabi ternyata muttasil tetapi hanya sampai kepada sahabat.
Selanjutnya terjadi pencampuran dengan hadis lain, keempat kemungkinan
23
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis) Bandung: PT Alma’arif, 1974). 123.
24
22
terjadi kesalahan penyebutan perawi yang memiliki kesamaan nama padahal
kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya tidak sama.25
Disamping itu agar bisa melakukan penelitian kualitas sanad hadis dikenal
cabang keilmuan yang disebut ilmu rija>l al-h}adi>th yaitu ilmu yang secara
spesifik mengupas keberadaan para perawi hadis. Ilmu ini berfungsi untuk
mengungkap data-data para perawi yang terlibat dalam civitas periwayatan
hadis dan dengan ilmu ini juga dapat diketahui sikap ahli hadis yang menjadi
kritikus terhadap para perawi hadis tersebut.26
Disamping itu ada beberapa cabang-cabang ilmu hadis riwayah dan
dirayah diantaranya adalah:
Al-jarh} wa al-ta’dil menurut bahasa, kata jarh} merupakan masdar dari
kata jarah}a-yajrah}u-jarh}an yang artinya melukai, terkena luka badan atau menilai cacat ( kekurangan). Dari segi bahasa al-Ta’dil berasal dari kata al-‘adl ( keadilan) yang artinya sesuatu yang dirasakan lurus atau seimbang.
Jadi al-jarh} ialah sifat kecacatan periwayat hadis yang menggugurkan keadilannya, sedangkan al-tarjih} ialah nilai kecacatan yang diberikan kepadanya. Al-adl ialah sifat keadilan periwayat hadis yang mendukung penerimaan berita yang dibawa-nya, sedangkan al-ta’dil ialah nilai adil yang diberikan kepadanya.27 Kata al-Jarh} menurut ulama hadis bermakna
mencatat perawi hadis, baik percatatan tersebut berkenaan dengan
25
Sumbulah, Kritik Hadis,74. 26
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis Cet. 1 (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah,
2003), 6. 27
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis cet. 1 ( Jakarta: Amzah,
23
annya maupun ke-d}abit}-annya. Sedangkan kata al-ta’dil bermakna
sebaliknya , yaitu memuji seorang perawi hadis serta memberi penilaian
kepadanya bahwa perawi yang bersangkutan‘adil atau d}abit.
Berikut ini terdapat beberapa kaidah dalam men-jarh}} dan men-ta’di>l-kan
perawi diantaranya: 28
a.
حرلا
َ يلعَ مدقمَ ليدعتلا
َ
(penilaian ta`’di>l didahulukan atas penilaian jarh}).Kaidah ini dipakai apabila ada kritikus yang memuji seorang rawi dan ada
juga ulama hadis yang mencelanya, jika terdapat kasus demikian maka
yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut alasanya adalah sifat pujian
itu adalah naluri dasar sedangkan sikap celaan itu merupakan sifat yang
datang kemudian. Ulama yang memakai kaidah ini adalah al-Nasa>’i>,
namun pada umumya tidak semua ulama hadis menggunakan kaidah ini.
b.
ليدعتلاَ يلعَ مدقمَ حرلا
َ(penilaian jarh{ didahulukan atas penilaian ta`di>l).Dalam kaidah ini yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan
terhadap seorang rawi, karena didasarkan asumsi bahwa pujian timbul
karena persangkaan, baik dari pribadi kritikus hadis sehingga harus
dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh
perawi yang bersangkutan. Kaidah ini banyak didukung oleh ulama hadis,
fiqih dan usul fiqih.
28
24
c.
َ رسف اَ حرلاَ تبثَ اَإَ لإَ لد
ع
مللَ مكِافَ لد
ع ا
َ وَ حر
ا
لاَ ضراعتَ اَإ
َ
(apabila terjadipertentangan antara pujian dan celaan, maka yang harus dimenangkan
adalah kritikan yang memuji kecuali bila celaan itu disertai dengan
penjelasan tentang sebab-sebabnya). Kaidah ini banyak dipakai oleh para
ulama kritikus hadis dengan syarat bahwa penjelasan tentang ketercelaan
itu harus sesuai dengan upaya penelitian.
d.
ةقث
لَ
حرج
َلبقيَافَافيعضَح
اَر
لاَناكَاَإ
ََ
(apabila kritikus yang mengemukakanketercelaan adalah golongan orang yang d{a`i>f maka kritikannya terhadap
orang yang thiqah tidak diterima, kaidah ini juga didukung oleh para
ulama ahli kritik hadis.
e.
يحورجاَف
َ
ابشلاَةيشخَةبثت
لاَدعبَلاَحرلاَلبقيَل
(jarh{ tidak diterima, kecualisetelah diteliti secara cermat dengan adanya kekhawatiran terjadinya
kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya). Hal ini terjadi bila ada
kemiripan nama antara periwayat yang dikritik dengan periwayat lain,
sehingga harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekeliruan. Kaidah
ini juga banyak digunakan oleh para ulama ahli kritik hadis.
f.
بَدت
ع
يَلَةيوايند
َ
ةوادعَنعَئشا لاَحرلا
(jarh{ yang dikemukakan oleh orang yangmengalami permusuhan dalam masalah ke-duniawi-an tidak perlu
diperhatikan hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi dalam
25
Meskipun banyak ulama yang berbeda dalam memakai kaidah al-jarh}
wa al-ta`di>l namun keenam kaidah di atas yang banyak terdapat dalam
kitab ilmu hadis. Yang terpenting adalah bagaimana menggunakan
kaidah-kaidah tersebut dengan sesuai dalam upaya memperoleh hasil penelitian
yang lebih mendekati kebenaran.
‘ilmu al-jarh} wa al-ta’dil menjadi timbangan perawi dalam
periwayatan hadis. Jika bobot perawi tersebut berat maka perawi yang
bersangkutan dapat diterima periwayatan hadisnya, dan jika bobot
neracanya ringan maka periwayatan perawi yang bersangkutan ditolak.29
Agar seorang kritikus hadis dapat menilai seorang perawi hadis dengan
benar maka diperlukan kriteria umum diantaranya sebagai berikut:30
1) Seorang kritikus harus berilmu, bertakwa, wara’ dan jujur. Seorang
kritikus tidak mungkin dapat menilai perawi dengan penilaian cacat
maupun penilain terpuji secara benar bila tidak memiliki syarat
tersebut.
2) Seorang kritikus harus mengetahui benar sebab-sebab mencacat perawi
dan memuji perawi
3) Seorang kritikus hadis harus mengetahui perubahan kata dalam tata
bahasa Arab agar ia dapat menggunakan kata-kata yang menunjukkan
maknanya yang benar, dan ia tidak terjebak pada penggunaan kata-kata
29
Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadis Cet 1 ( Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2013), 136. 30
26
yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk mencatat perawi namun ia
pergunakannya.
C. Teori Kesahihan Matan Hadis
Dan selanjutnya tentang Kritik matan lazim dikenal sebagai kritik intern,
istilah ini dikaitkan dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni difokuskan
kepada teks hadis yang merupakan intisari dari apa yang pernah disabdakan
Rasulullah, yang ditransmisikan kepada generasi- generasi berikutnya hingga
ketangan para Mukharij al-h}adi>th, baik secara lafal maupun maknawi.31
Dapat ditegaskan bahwa kritik sanad diperlukan untuk mengetahui apakah
perawi itu jujur, taqwa kuat hafalannya, dan apakah sanadnya bersambung atau
tidak sedangkan kritik matan diperlukan untuk mengetahui apakah hadis tersebut
mengandung berupa Sha>dh atau ‘illat.32
Tolak ukur kritik matan yang dikemukakan al-adlabi dan al-Baghdadi>, diatas,
tampak bersifat umum yang masih perlu interpretasi. Kenyataan tersebut
mendukung tesis tentang tidak adanya tolak ukur pasti dan terperinci, namun
demikian tolak ukur tersebut merupakan upaya ijtihadi para ulama’ dalam rangka
menjabarkan dan mengetahui celah-celah matan hadis jika di analisis dari sha>dh
atau ‘illat. Penelitian terhadap aspek terhadap aspek sha>dh atau ‘illat baik pada
sanad maupun matan hadis, sama-sama memiliki kesulitan. Namun demikian, para ulama’ sepakat bahwa penelitian adanya sha>dh atau ‘illat yang terjadi pada
31
Sumbulah, Kritik Hadis, 93 32
27
sanad hadis. Penelitian terhadap aspek matan hadis ini mengacu kepada kaidah kesahihan matan hadis sebagai tolak ukur, yakni terhindar dari sha>dh atau ‘illat33.
1. Terhindar dari Sha>dh
Sha>dh disamping terdapat pada sanad juga terdapat pada matan. Sha>dh pada matan hadis didefinisikan sebagai adanya pertentangan atau ketidak sejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan seorang perawi yang lebih kuat hafalan dan ingatannya. Pertentangan atau ketidak sejalanan tersebut adalah dalam hal menukil matan hadis, sehingga terjadi penambahan, pengurangan, perubahan tempat dan berbagai bentuk kelemahan dan cacat lainnya.34
2. Terhindar dari ‘illat
‘illat disamping terjadi pada sisi sanad, dapat pula terjadi pada sisi matan. ‘illat yang terjadi pada sisi matan saja berarti sanadnya memenuhi kriteria
kesahihan namun yang sering terjadi karena adanya sesuatu, maka lafal atau
kalimat yang merupakan bagian dari hadis lain masuk atau menyisip kedalam
matan hadis tersebut.35
Adapun yang dimaksud dengan ‘illat pada matan hadis adalah suatu sebab
tersembunyi yang terdapat pada matan hadis yang secara lahir tampak berkualitas
sahih sebab tersembunyi disini bisa berupa masuknya redaksi hadis lain pada hadis tertentu, atau redaksi dimaksud memang bukan lafal-lafal yang
33
Ibid., 103. 34
Sumbulah, Kritik Hadis, 103. 35
28
mencerminkan sebagai hadis Rasulullah, sehingga pada akhirnya matan hadis
tersebut seringkali menyalahi nas}-nas} yang lebih kuat bobot akurasinya. 36
Sedangkan kriteria dan tatacara untuk mengungkap ‘illat pada matan,
sebagaimana dikemukakan oleh al-Salafi adalah:37
a. Mengumpulkan hadis yang semakna serta mengkomparasikan sanad dan
matannya sehingga diketahui ‘illat yang terdapat didalamnya.
b. Jika seorang rawi bertentangan riwayatnya dengan seorang perawi yang
lebih thiqah darinya maka, riwayat perawi tersebut dinilai ma’lul
c. Jika hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi bertentangan dengan
hadis yang terdapat dalam tulisannya, atau bahkan hadis yang
diriwayatkan itu ternyata tidak terdapat dalam kitabnya, sehingga oleh
karenanya riwayat yang bertentangan tersebut dianggap ma’lul.
d. Melalui penyeleksian seorang syeh bahwa ia tidak pernah menerima hadis
yang diriwayatkannya itu, atau dengan kata lain hadis yang diriwiyatkan
itu sebenarnya tidak pernah sampai kepadanya.
e. Seorang perawi tidak mendengar dari gurunya secara langsung.
f. Hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang thiqah.
g. Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang, namun kemudian
datang seorang perawi yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mereka
kenal itu, maka hadis yang dikemukakan itu dianggap memiliki cacat.
36
Ibid.,108. 37
29
h. Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah.
Selanjutnya, agar kritik matan tersebut dapat menentukan kesahihan suatu
matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu hadis, para ulama
telah menentukan tolak ukur tersebut menjadi empat kategori, antara
lain:38
Adapun kriteria-kriteria dalam kritik kandungan matan adalah sebagai
berikut :
1) Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
2) Tidak bertentangan dengan hadis dan sirah nabawiyah
3) Tidak bertentangan dengan akal, indera dan sejarah39
4) Susunan pernyataannya yang menunjukkan ciri-ciri sabda
kenabian.
D. Kaidah Kehujjahan Hadis
Para ulama’ ahli hadis membagi hadis sahih kepada dua bagian, yaitu s}ah}i>h} li-dha>tihi dan kedua s}ah}i>h} li-ghairih pembagian ini didasarkan kepada adanya
pembedaan dalam soal ke-d}abit}-an perawinya. 40
Hadis sahih terbagi menjadi dua yaitu hadis s}ah}i>h} li-dha>tihi dan kedua s}ah}i>h} li-ghairih. Yang dimaksud dengan hadi>th sa}h}i>h} li-dha>tihi ialah sahih dengan
sendirinya. Artinya, ialah hadis sahih yang memiliki lima syarat atau kriteria
sebagaimana disebutkan pada persyaratan diatas dengan demikian, penyebutan
38Isma’il,
Metodologi Penelitian, 128. 39
Muhid, Metodologi Penelitian, 86-88
40
30
hadis s}ah}i>h} li-dha>tih dalam pemakaiannya sehari-hari, pada dasarnya cukup
dengan memakai dengan hadis sahih, tanpa harus memberi tambahan li-dha>tih.41
Dan Yang dimaksud dengan hadis s}ah}i>h} li-gha>irih, ialah hadis yang
kesahihanya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis kategori ini pada
mulanya memiliki kelemahan pada aspek ke-d}abit}-an perawinya. Diantara
perawinya ada yang kurang sempurna ke-d}abit}-annya , sehingga dianggap tidak
memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis sahih. Baginya semula hanya
sampai kepada derajat atau kategori hadis hasan li-dha>tih. Dengan ditemukannya
keterangan lain, baik berup sha>hid maupun muttabi’ yang bisa menguatkan
keterangan atau kandungan matannya, hadis ini derajatnya naik ketingkat lebih
tinggi sehingga menjadi s}ah}i>h} li-gha>irih. 42
1. Kehujjahan hadis sahih
Para ulama’ sependapat bahwa hadis ahad yang sahih dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan syariat islam. Namun mereka berbeda pendapat,
apabila hadis kategori ini dijadikan hujjah untuk menetapkan soal-soal akidah.
Perbedaan pendapat diatas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka
tentang kaidah yang diperoleh dari hadis ahad yang sahih, yaitu apakah hadis
semacam ini memberi faidah qot}’i atau z}onni. Ulama yang menganggap hadis
semacam ini memberi faidah qot}’i sebagaimana hadis mutawattir maka
hadis-hadis tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah
41
Ibid., 166. 42
31
akidah. Akan tetapi, yang mengaggap hanya memberi faidah z}onni, berarti
hadis-hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan soal ini.43
Para ulama dalam hal ini terbagi menjadi beberapa pendapat antara lain,
menurut sebagian ulama memandang, bahwa hadis sahih tidak memberikan
faidah qot}’i sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal
akidah. Sebagian ulama ahli hadis sebagaimana dikatakan al-Nawa>wi>
memandang bahwa hadis-hadis sahih riwayat al-Bukha>ri> dan Muslim
memberikan faidah qot}’i menurut sebagian ulama lainnya 44
2. Kehujjahan Ha>dis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya dengan periwayat
perawi yang ‘adil dan d}abit}, tetapi nilai ke-d}abit}-annya kurang sempurna,
serta selamat dari unsur shudu>d dan ‘illat. Dilihat dari definisi tersebut yang
membedakan antara hadis hasan dengan hadis sahih adalah pada aspek ke
d}abit}-an perawi. Hal mana dalam hadis hasan, d}abit} yang terkait dengan
aspek tulisan dan hafalannya kurang sempurna, sedangkan hadis sahih ke-d}
abit}-an perawi sempurna, dan selamat dari unsur Shudu>ddan ‘ illat.45
Hadis hasan di bagi menjadi dua, yaitu hasan li- dha>tih, ialah hadis yang
para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatan atau kekuatan
hafalan mereka belum sampai kepada derajat hafalan para pe-rawi yang sahih.
Hadis hasan li- dha>tih ini bisa naik kualitasnya menjadi s}ah}i>h} li-gairih, apabila
ditemukan adanya hadis lain yang menguatkan kandungan matannya atau
43
Ibid., 166. 44
Ranuwijaya., 167.
45
Tim Penyusun MKD, Studi Hadis Cet 5 ( Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2016),
32
adanya sanad lain yang juga meriwayatkan hadis yang sama ( Muta>bi’ atau
sha>hid), kedua adalah hadis hasan li-gairih, ialah hadis hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadis yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, baik karena adanya sha>hid maupun mutta>bi’.46
Kehujjahan hadis sahih menurut para ulama ahli hadis bahwa hadis hasan,
baik hasan li-dha>tih maupun hasan li-gairih juga dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja
terdapat perbedaan pandangan diantara mereka dalam soal penempatan rutbah
atau urutannya, yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama
yang tetap membedakan kualitas kehujjahan, baik antara s}ah}i>h} li-dha>tih
dengan s}ah}i>h} li- ghairih dan hasan li-dha>tih dan hasan li- ghairih, maupun
antara hadis sahihdengan hadis hasan itu sendiri.47
E. Ilmu Ma‘a>ni> al- Hadis
Secara bahasa etimologi, ma‘ani> merupakan bentuk jamak dari kata ma‘na
yang berarti makna, arti, maksud, atau petunjuk yang dikehendaki suatu lafal.
Ilmu Ma‘ani al hadis secara sederhana ialah ilmu yang membahas tentang makna
atau maksud lafal hadis Nabi secara tepat dan benar. Secara terminologi, Ilmu
Ma‘ani al hadis ialah ilmu yang membahas tentang prinsip metodologi dalam
memahami hadis Nabi sehingga hadis tersebut dapat dipahami maksud dan
kandungannya secara tepat dan proporsional.48
46
Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 172
47
Ranuwijaya, Ilmu Hadis,173-174.
33
Sebagaimana diketahui bahwasanya jumlah hadis sebenarnya tidak bertambah
lagi setelah wafatnya Rasulullah Saw. Sementara permasalahan yang dihadapi
oleh umat Islam terus berkembang mengikuti zaman. Maka dari itu agar bisa
memahami hadis secara tepat diperlukan adanya penelitian baik yang
berhubungan sanad hadis maupun matan hadis.
Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut
1. Pendekatan kebahasaan
Dalam pengkajian sanad hadis, juga dibutuhkan penelitian terhadap
simbol-simbol tah}amul yang dipergunakan disamping suatu matan hadis
harus diteliti kesempurnaan struktur bahasanya, maka pendekatan kebahasaan
juga diperlukan dalam pengembangan kajian kesahihan sanad dan matan
hadis strukturalisme linguistik berupa mencari universalitas kebahasaan yang
ditampilkan dalam telaah-telaah frase, klause dan kalimat, sedangkan
strukturalisme genetik lebih menekankan makna singkronik dari pada makna
lain seperti makna simbolik, sehingga analisisnya perlu memperhatikan
instrinsik teks gaya bahasa penutup.49
Majaz adalah menggunakan lafad bukan pada makna yang semestinya
karena adanya hubungan ( ‘alaqah) disertai qarinah ( hal yang menunjukkan
dan menyebabkan bahwa lafad tertentu menghendaki pemaknaan yang tidak
sebenarnya) yang menghalangi pemakaian makna hakiki. Seperti contoh “
singa itu berpidato” dengan maksud si pemberani ( yang seperti singa) itu
berpidato. Hubungan yang dimaksud terkadang karena adanya keserupaan
49
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif,Edisi III ( Yogyakarta: Rake Sarasin,
34
dan adapula karena faktor yang lain. Sedangkan qarinah adakalanya lafz}iyah
( qarinah itu terdapat dalam teks, tertulis) dan ada pula haliyah ( qarinahnya tidak tertulis, berdasarkan pemahaman saja).50
Ungkapan majaz muncul disebabkan karena:
a. Sebab lafz}i: lafal-lafal tersebut tidak boleh dimaknai secara hakiki. Jika dimaknai hakiki maka akan muncul pengertian yang salah. Qarinah pada ungkapan majaz jenis ini bersifat lafz}i.
b. Sebab takribi ( isnadi): ungkapan majazi terjadi bukan karena lafal-lafalnya yang tidak bisa dipahami secara hakiki, akan tetapi dari segi penisbatan. Penisbatan failnya tidak bisa diterima secara rasional dan keyakinan. 51
2. Pendekatan Sosio Historis
Pendekatan sosio historis merupakan pendekatan dalam studi hadis yang
ingin menggabungkan antara teks hadis sebagai fakta historis sekaligus
sebagai fakta sosial. Sebagai fakta historis, ia harus divalidasi melalui kajian
jarh} wa ta’dil, apakah informasi itu benar atau tidak. Dalam saat yang sama,
hadis juga merupakan fakta sosial yang pesan dari redaksinya sangat lekat
dengan bagaimana situasi dan relasi antara individu-individu dengan
masyarakat dan bagaimana kultur dan tradisi yang mengitarinya.52
50
Ali al-Jarim dan Mustafa Amin, Terjemahan al-Balaghatul Wadhihah, terj. Mujiyo
Nurkholis dkk ( Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013), 94. 51
http://rexpozfarum.blogspot.co.id/2010/08/al-balaghah-ilmu-bayan.html?m=1. ( diakes Sabtu, 29 Juli 2017, 19:23)
BAB III
BIOGRAFI AH}MAD IBN H}AMBAL SERTA HADIS TENTANG
KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK DIJADIKAN
ISTRI
A.
Biografi Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal
Ah}mad putra Muhammad Ibn H}ambal al-Syaibani> al-Baghdadi, dia lahir
pada tahun 164 H di Baghdad dan meninggal dikota yang sama pada tahun 240 H/ 241 H. 1
Imam Ah}mad Ibn H}ambal sempat dipenjarakan selama 28 tahun yang
disebabkan oleh sikapnya yang gigih menolak faham kemakhlukan al-Quran.
Keteguhan Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal dalam memegangi prinsip keimanan
tersebut disetarakan dengan, Khalifah Abu> Bakar al-Shiddiq saat di hadapkan
para pengingkar kefaruhan zakat diawal kekhalifahannya. Ah}mad Ibnu H}ambal
dilepaskan dari penjara sehubungan dengan sikap al-Muwakkil tidak lagi
berfaham Mu’tazilah seperti Khalifah Halaqah Qad}i Yusuf sejawat
pendahulunya.2
Sejak kecil sudah sangat menggemari ilmu dan mulai belajar shaikh-shaikh
setempat. Pada tahun 179 H, saat berusia 15 tahun dia mulai serius memepelajari
dan menelusuri hadis. Perjalanan ilmiahnya untuk mengumpulkan hadis-hadis
dimulai pada tahun 186 H. Dia pergi ke Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah dan
1
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis ( Surabaya: Aloha Surabaya, 2005), 67.
2
36
Yaman dan keseluruh pelosok jazirah Arab, semua yang diperolehnya dari para
ulama di tiap kota yang dikunjunginya. Dia catat dan pelajari dengan seksama.3
Orang pertama yang hadisnya ditulis adalah Abu> Yu>suf, sahabatnya Abu> Hani>fah.
Kata Ima>m Ah}mad.
“ yang pertama diperdengarkan kepadaku adalah hadis dari Husyaim, dan itu pada tahun 179 H”.4
Husyaim adalah seorang shai>kh muh}additsi>n Irak, kami mencatat darinya
kitab al-Hajj kurang lebih seribu hadis, disamping soal tafsir dan kita>b al- Qadha>.5
Studi ilmiahnya ke Bashrah berlangsung lima kali, demikian pula ke Hijaz
dimana dia bertemu dengan al-Sya>fi’iy di Masjidil Haram, kemudian berjumpa
lagi di Baghdad hingga akhirnya menjalin persahabatan yang tidak pernah
terpisahkan, sampai al-Sya>fi’iy menetap di Mesir. Kata al-Sya>fi’iy,
“ aku meninggalkan Baghdad dan tidak ada yang kutinggalkan disana orang yang
lebih bertaqwa dan lebih faqih dari pada Ibn H}ambal”.6
Ima>m Ah}mad Bercerita daerah pertama yang aku kunjungi adalah Basrah,
yaitu pada tahun 186 H. Disana aku menjumpai Sufya>n Ibn Uyainah dan belajar
kepadanya hingga tahun 187 H. Kemudian aku pergi menuju Kufah, dan
mengunjungi Abadah, belajar kepada Abu> Rabi>, lalu bertolak ke Wasith tempat
tinggalnya Yazi>d Ibn Ha>ru>n.7
3Imam Ahmad Ibn Hambal
, Hadis-hadis Imam Ahmad ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 371.
4
Ibid., 371. 5
Ibid., 371. 6Ibid., 372.
7
37
Sebagian besar kekayaan ilmu Ima>m Ah}mad diperoleh melalui ulama di kota
kelahirannya Baghdad dan sempat mengantarkan dirinya sebagai anggota group
diskusi atau Imam Ibn Hanifah ketika Imam Syafi’I tinggal di Baghdad Ah}mad
Ibn H}ambal terus menerus mengikuti program halaqahnya sehingga tingkat
kedalamannya ilmu fiqh dan hadis telah menjadikan pribadi Imam Ah}mad sebagai
seorang istimewa dalam majlis belajar Imam al-Syafi’i. kehebatan Ah}mad Ibn
H}ambal dalam ilmiyah fiqh diperoleh pengakuan Ima>m al-Syafi’I dan Yahya Ibn Ma’in terbukti pula popularitasnya madhabnya mampu menembus wilayah Syam
atau Syiriah, Iraq, Najed dan sekitarnya.8
Menurut Abu> Zur’ah dia mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang
semuanya sudah dikuasai diluar kepala dan juga dia mempunyai hafalan matan
hadis sebanyak 1.000.000.9
Guru, murid Imam Ah}mad Ibn H}ambal, Imam Ah}mad Ibn H}ambal memiliki
banyak guru, sekitar 283 orang antara lain: Husyaim, Sufya>n ibn Uyainah, Jari>r,
Abdur Razza>q, al- Sya>fi’I, Muhammad Ibn Ja’far dan Abu> Yu>suf. Sedangkan
yang meriwayatkan hadis darinya antara lain: al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Dawu>d, Sha>lih dan Abdulla>h.10
B. Sistematika Musnad Ah}mad Ibn H}ambal
Koleksi hadis dalam al-Musnad semula diangkat dari hasil seleksi terhadap
kurang lebih 750.000 hadis, yang oleh Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal ditekankan
8
Arifin, Studi Kitab, 68. 9
Rahman, Ikhtisar Musthalahul, 374.
38
norma seleksinya pada segi nilai kelayakan hadis dan ushul fiqh serta ditafsir.
Kitab al-I’lal memperlihatkan betapa beliau cukup serius dalam mengamati illat,
cacat hadis, disamping kitab berjudul al-Asyribah dan al- Nasikh wa al-Mansukh
menempatkan Imam Ah}mad Ibn H}ambal sebagai analisis fiqh dikelasnya,
disamping pola pemikiran fiqhnya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh metode
yang bersangkutan untuk dijadikan hujjah. Hasil seleksi tersebut dibukukan
dengan tulisan tangan menjadi 24 jilid dan ketika diterbitkan dalam edisi ketikan
mesin menjadi 6 jilid format sedang.11
Daya tampung al-Musnad terhadap hadis sebanyak itu disamping Ima>m
Ah}mad Ibn H}ambal adalah guru besar ulama’ Muh}addisin generasi berikutnya
serba mungkin bila hadis atau sunnah yang memadai sunnah al-Sittah. Dan juga di
dalam Musnad Ah}mad dan segi kualitas hadis dan ketinggian susunan tata kalimat
matannya tidak tertandingi oleh kaitan bentuk Musnad apapun.12
Penyajian hadis dalam al-Musnad dikelompokkan berdasarkan nama sahabat
Nabi Saw yang bertindak sebagai perawi utamanya dan disusun berdasarkan
sistematika sebagai berikut:
a. Hadis yang transmisi periwayatannya melalui 10 sahabat Nabi Saw yang telah diberitakan prospek pribadinya oleh Rasulullah sebagai penghuni
surga yaitu, Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Ustman Ibn Affan,
Ali Ibn Abi Thalib serta Thalhah.
b. Hadis yang bersumber periwayatannya melalui sahabat Nabi Saw peserta
perang badar, prioritas penempatan hadis dari mereka berkait erat dengan
11
Arifin, Studi Kitab, 69. 12
39
informasi dari Rasulullah bahwa telah ada jaminan pengampunan masal
dari Allah Swt atas segala dosa para sahabat yang ambil bagian dalam
perang Badar. Berikut jaminan tidak bakal masuk neraka untuk mereka
contoh hadis marfu’ melalui Ja>bir Ibn Abdillah dalam sahih Muslim dan
melalui Abu> Hurairah dalam Musnad Ah}mad al-Sunnah Abu> Dawu>d.
Hadis-hadis yang dimaksudkan melibatkan 313 sahabat dengan perincian
80 orang sahabat Muhajirin dan sisanya dari kalangan Ans}a>r.
c. Hadis yang perawi utamanya adalah para sahabat yang mengikuti
peristiwa Baitur Ridwan dan S}ulhul Hudaibiyah.
d. Hadis-hadis yang bersumber periwayatannya melalui para sahabat Nabi yang proses ke-Islamannya, pribadinya bertepatan dengan Fathu Makkah.
e. Hadis-hadis yang periwayatannya bersumber melalui para Ummahatul Mu’minin ( janda-janda mendiang Nabi Muhammad Saw).
f. Hadis-hadis yang periwayatannya melalui para wanita Shahababiyah.13
Berdasarkan sistematika al-Musnad semacam itu maka
pengelompokan hadis tidak terkait unsur materi yang dikandung matan
hadis yang bersangkutan dan bagi pencari hadis koleksi Imam Ah}mad Ibn H}ambal harus tahu persis nama sahabat Nabi yang meriwayatkannya.
Al-Musnad Imam Ah}mad Ibn H}ambal pernah dipublikasikan dengan
modifikasi baru yakni dengan sistematika huruf hujainah oleh inisiatif
al-H}afiz} Abu> Bakar al-Muqaddisi ) seorang pemuka ulama’ madhab H}ambali). Format terahir justru modifikasi yang mengelompokkan
13
40
masing-masing hadis berdasar atas kesatuan materi ajuan dan disusun
mengikuti sistematika bab-bab seperti kitab fiqh. Modifikasi terahir
dikerjakan oleh Ibn Abd al-Rahman al-Banna ( lebih dikenal dengan
panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahinya dengan title kitab “
Bulughul Amani’, dia tergolong ulama’ abad 14 H dan meninggal pada
tahun 1351 H14
C. Derajat al-Musnad dalam Deretan Kutubul Hadis
Tekad Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal adalah mengupayakan koleksi hadis yang
berpotensi sebagai berbekal tekad dan itu pula dilakukan penelitian seksama agar
setiap hadis dalam al-Musnad bermutu sahih. Atas dasar penegasan Ima>m Ah}mad
itulah Abu> Musa al-Madini pesimis memandang setiap hadis berkelayakan
dijadikan hujjah. Penilaian serupa pernah dinyatakan oleh Jalaluddin al-Suyuti
sedikit moderat adalah sikap al-H}afiz} Ibn Hajar al-Asqalani> yang hasil
penelitiannya berakhir dengan kesimpulan bahwa dari sejumlah 40.000 hadis
al-Musnad hanya ada 3 atau 4 hadis yang belum diketahui secara pasti sumber
pengoperannya riwayat-riwayatnya dengan ungkapan lain bermutu sahih dan
hadis d}a’i>f dalam strata mendekati hasan li-ghoirihi.15
Berbeda dengan sikap ulama al-Baqa’i menunjuk sejumlah hadis ( tanpa
menyebut dengan pasti berapa banyaknya) dalam al-Musnad yang dianggap
Maudhu’. Demikian pula dengan al-H}afiz} al-Iraqi menuduh 9 hadis Maudhu’
sedangkan Ibn Jazuli mengkalaim 29 hadis maudhu’ dalam kitab al-Musnad
Ah}mad Ibn H}ambal. Bila ditelusuri ulang koleksi hadis dalam al-Musnad yang
14
Arifin, Studi Kitab,72. 15
41
bermateri fada>il al-a’mal terasa adanya pola pelanggaran dalam sistem seleksi
pemuatannya, padahal Imam Ah}mad Ibn H}ambal dikenal moderat dalam tradisi
menilai jarh} atau ta’dil para personalia para pendukung riwayat hadis.16