• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ahmad no indeks 9137: kajian ma'ani al-hadith.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ahmad no indeks 9137: kajian ma'ani al-hadith."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK DIJADIKAN

ISTRI DALAM KITAB MUSNAD AH}MAD NO. INDEK 9137

( Kajian Ma’ani> al-Hadis)

SKRIPSI

Oleh:

NUR HASANAH

E03213071

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Nur Hasanah, 2017. KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK

DIJADIKAN ISTRI DALAM KITAB MUSNAD AH}MAD NO. INDEKS

9137 ( Study Ma’a>ni al-Hadis). Skripsi Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam negeri Sunan Ampel Surabaya.

Berbagai fenemona yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat menuntut adanya penyelesaian hukum. Salah satu fenomena tersebut adalah perihal tentang memilih kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri karena pada saat ini banyak dari kalangan laki-laki yang menunda menikah dikarenakan tidak bisa mencari istri yang sempurna sesuai dengan kriteria yang mereka inginkan. Hal itu menjadi penghalang bagi kaum laki-laki, akan tetapi jika ada salah satu kriteria yang baik untuk dijadikan istri diantaranya wanita yang shalihah dan penyayang terhadap anak serta bisa menjaga harta suami maka segerakanlah menikah. Beberapa hadis diatas juga menjelaskan tentang tuntutan bagaimana menjadi wanita yang termasuk dalam kriteria wanita yang baik untuk dinikahi oleh laki-laki yang shaleh. Diantaranya adalah, wanita harus mampu menjaga dirinya sendiri, mendapatkan pendapatan sendiri, tanpa melupakan kewajibannya sebagai seorang istri yang shalihah, yaitu menjaga dan mendidik anaknya, serta memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri bagi suaminya.

Penelitian hadis yang terdapat dalam kitab Musnad Ah}mad nomer indeks

9137 diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan menjawab fenomena ini. Penelitian ini mengarah pada kualitas hadis serta pemaknaan hadis. Dalam pengumpulan data digunakan metode library research ( kepustakaan) dan dalam mengkaji data digunakan metode takhrij hadis, kritik sanad dan matan serta teori pemaknaan hadis. Penelitian hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri menghasilkan bahwa hadis tersebut berkualitas s}ah}i>h} li-dha>tihi. Dan bisa dijadikan h}ujjah karena hadis ini termasuk hadis maqbul karena matan hadis tidak bertentangan dengan al-quran, akal serta fakta sejarah sehingga dapat dijadikan sebagai h}ujjah dan dapat diamalkan.

Hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri mengacu pada pemaknaan hadis: tentang menunggang unta, wanita shalehah, penyayang terhadap anak serta menjaga hak suaminya, hal ini memakai teori kebahasaan dan sosio historis. Dan terdapat implikasi masing-masing diantaranya apabila menikahi wanita shalihah maka kemudian hari ia akan menjadi ibu dari anak-anaknya dan keturunanya akan menjadi anak shaleh dan teladan serta menutupi aib suami maka akan membentuk keluarga yang mulia.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Telaah Pustaka ... 7

G. Metode Penelitian ... 8

(8)

BAB II : HADIS DAN KAIDAH KESAHIHANNYA

A. Pengertian Hadis ... 13

B. Teori Kesahihan Sanad Hadis ... 15

C. Teori KesahihanMatan Hadis ... 26

D. Kaidah Ke-Hujjahan Hadis………... 29

E. Ilmu Ma’ani Hadis ... 32

BAB III : BIOGRAFI AH}MAD IBN H}AMBAL SERTA HADIS TENTANG KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK DIJADIKAN ISTRI A. Biografi Ah}mad bin H{ambal ... 35

B. Sistematika Musnad Ah}mad ... 37

C. Derajat al-Musnad dalam Deretan Kutubul H}adi>th ... 40

D. Hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri ... 43

E. Syarah Hadis ... 52

BAB IV : ANALISA HADIS TENTANG KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK DIJADIKAN ISTRI A. Kualitas Sanad ... 55

B. Kualitas Matan ... 64

C. Analisis Ke-Hujjahan Hadis ... 66

D. Analisis Pemaknaan Hadis ... 67

E. Implikasi Hadis terhadap kehidupan Manusia ... 74

(9)

2. Sains... 76

3. Implikasi ... 77

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PEMBAHASAN

A.Latar Belakang Masalah

Al-Quran dan hadis merupakan pedoman hidup serta sumber utama bagi

ajaran agama Islam dan keduanya tidak bisa terpisahkan. Al-Quran

merupakan sumber utama yang membuat ajaran-ajaran agama yang masih

bersifat umum dan global, dan perlu juga penjelasan lebih terinci lagi.

Sedangkan hadis merupakan penjelas dari maksud kandungan al-Quran1.

Hadis disebut juga dengan sunnah, segala sesuatu yang bersumber atau

disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau

taqrir-nya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Quran, sejarah perjalanan hadis

tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam

beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik sehingga dalam

mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.2

Wanita secara harfiah disebut kaum perempuan, kaum yang amat

dihormati dalam konsepsi Islam sebab, pada telapak kaki wanita terletak

surga. Kaum wanita disebut pula dengan kaum Hawa, nama ini terambil dari

nama ibunda manusia.3

1Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 26.

2

Ibid., 5. 3

(11)

2

Secara fisik( kodrati) wanita lebih lemah dari pria mereka memiliki

perasaan yang lebih lembut dan halus. Wanita juga lebih banyak

menggunakan pertimbangan emosi dan perasaan dari pada akal pikirannya.4

Secara terminologi wanita merupakan kata yang umum yang digunakan

untuk menggambarkan perempuan dewasa. Sebagai manusia, wanita

mempunyai hubungan secara vertikal dan horizontal yang terdiri dari tiga

aspek, yang pertama kedudukannya sebagai manusia ciptaan Tuhan, yang

kedua kedudukannya dalam keluarga dan ketiga kedudukannya sebagai

anggota masyarakat.5

Dan sebagai hamba Allah, wanita yang juga berkedudukan sebagai

khalifatullah mempunyai kewajiban untuk mengelola dan memakmurkan

dunia. Sebagai hamba Allah ia mempunyai kewajiban yang sama seperti pria,

beribadah kepada Allah dan dia akan memperoleh pahala yang sama seperti

kaum pria jika melakukan kebajikan dan akan memperoleh siksa yang sama,

jika ia melakukan perbuatan jelek atau menjadi munafik dan kafir.6

Wanita sebagai anggota masyarakat, al-Quran memberikan keluasan bagi

wanita untuk melakukan aktivitas ekonomi, sebagaimana ditegaskan dalam

al-Quran surah al-Nisa’:337

ًَامْيِلَعٍَئْيَشَ لُكِبََناَكَََللاَ نِإَِِلْضَفَْنِمَََللاَْاوُلَ ئْسَوََْبَسَتْكاَا مٌَبْيِصَنَِءاَس لِلَو

8

4

Indra, Potret Wanita, 1. 5

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka,

2005), 856. 6

M. Harir Muzakki, Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam Vol.15 No.3

(November,2015), 352.

7

(12)

3

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Dalam praktiknya, kepemimpinan dan tugas-tugas keluarga itu lebih

banyak dilakukan oleh pihak wanita. Dengan kelemah-lembutannya seorang

wanita sebagai ibu rumah tangga dapat berperan sebagai faktor penyeimbang

kaum pria. Dalam kehidupan keluarga, wanita yang bisa bertanggung jawab

merupakan idaman dari semua pria. 9

Diantara prinsip serta kaidah yang diajarkan Rasulullah dalam memilih pasangan adalah lebih memilih atau mengutamakan calon istri yang agamis,

religius atau shalihah ketimbang yang lainnya. Hal ini disyaratkan melalui

hadis Nabi,

اَدَيَْتَبِرَتَِنْي دلاَ ِتاَذِبَرَفْظاَفَاَهِْيِدِلَوَاَِلاََََوَاَهِبَسََِِوَاَِلاَمِلَِعَبْرَِلَُةَأْرَمْلاَُحَكُْ ت

ََك

“ wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, nasabnya, kecantikan, dan

agamanya.” ) HR. Muslim)10

Ketakwaan calon seorang istri, hendaknya menjadi hal prinsip bagi

seorang suami dalam memilih calon istrinya. Namun demikian ia dibolehkan

untuk mempertimbangkan juga aspek kekayaan calon istri. Sebagaimana

disebutkan dimuka. Menurut ajaran Islam, memilih calon istri hendaknya

didasarkan pada religiusnya yang baik, kualitas nasab, juga kondisi

8

Al-Quran, 4:32. 9

Muzakki, Al-Tahrir Jurnal, 6.

10

(13)

4

keluarganya yang baik. Sebab, moralitas dan mentalitas perempuan itu

banyak terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan.11

Tetapi ada juga di dalam hadis dijelaskan secara khusus bahwasnya

kriteria-kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri adalah sebagai

berikut,

ََح

َ دََ ث

ََ

ََأَا

َُب

ََأَو

ََْح

َُدَ

َ زلا

ََ بَِْي

َْيَ

ََق

ََلا

َ

ََح

َ دََث

ََاَ

َُسَْف

ََي

َُنا

َََع

َْنََ

َأ

َِب

َ زلاَ

ََانَِد

َََع

َْنَ

ََعَْب

َِدَ

َ رلا

َْح

َِنَ

ََلا

َْع

َِجر

َََع

َْنََ

َأ

َِب

ََََُ

رَْ يََرََة

َ

ََعَِن

َ

َّلا

َِب

ََََ

َ ل

َُلاَى

َََعََل

َْيََِ

ََوََس

ًَلََم

َِنٌَرْ يَخََلَاق

َِلِبِلاََْبِكَرٍَءاَس

َ

ٌَحِلاََ

َ

ٍَءاَسِن

َ

ٍَدَلَوَىَلَعَُاَْحَأٍَشْيَرُ ق

َِِدَيَ ِتاَََ ِفٍَجْوَزَىَلَعَُاَعْرَأَو

12

Menceritakan kepada kami Abu> Ahmad al-Zubai>ry, dia berkata Sufya>n dari Abi> al-Zinad dari Abdur al-Rahman al-‘A’raj dari Abu> Hurairah RA, dari Nabi Saw,

beliau bersabda, “sebaik-baik perempuan adalah perempuan yang menunggang unta,

perempuan Quraisy yang shalihah, sangat penyayang terhadap anak di masa kecilnya dan sangat memelihara suami pada apa yang ada ditangannya.

Dari kedua hadis diatas bahwasanya ketika laki-laki ingin menikahi

perempuan, hanya saja berpatokan kepada kriteria 4 perkara tersebut, yaitu

karena harta, nasab, kecantikannya serta agamanya. Akan tetapi kriteria

dalam hadis lain menjelaskan bahwasanya ada kriteria khusus bagi laki-laki

yang ingin menikahi perempuan yaitu dia adalah perempuan yang

menunggang unta, perempuan Quraisy yang shalihah, sangat penyayang

terhadap anak di masa kecilnya dan sangat memelihara suami pada apa yang

ada ditangannya.

Maka perlu kita ketahui bahwasanya hak-hak suami atas istrinya antara

lain, mentaati suminya, hendaklah istri tidak meninggalkan tempat tidur

11

Majdi Muhammad asy-Syahawi, Kado Pengantin (Solo: al-Maktabah

at-Taufiqiyyah, Tt), 28.

(14)

5

suami, memilihara harta suami, seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa

seizin suaminya, melayani suami ketika dirumah, memelihara kebersihan diri

dan berhias untuk suami serta mendidik anak-anaknya.13

Dalam hal ini banyak dari kalangan laki-laki yang menunda menikah

dikarenakan tidak bisa mencari istri yang sempurna sesuai dengan kriteria

yang mereka inginkan. Hal itu menjadi penghalang bagi kaum laki-laki, akan

tetapi jika ada salah satu kriteria yang baik untuk dijadikan istri diantaranya

wanita yang shalihah dan penyayang terhadap anak serta bisa menjaga harta

suami maka segerakanlah menikah.

Beberapa hadis diatas juga menjelaskan tentang tuntutan bagaimana

menjadi wanita yang termasuk dalam kriteria wanita yang baik untuk

dinikahi oleh laki-laki yang shaleh. Diantaranya adalah, wanita harus mampu

menjaga dirinya sendiri, mendapatkan pendapatan sendiri, tanpa melupakan

kewajibannya sebagai seorang istri yang shalihah, yaitu menjaga dan

mendidik anaknya, serta memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri bagi

suaminya.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka ada

beberapa hal yang dapat dikaji, di antaranya:

1. Urgensi hadis bagi umat Islam

2. Implikasi kandungan hadis bagi kehidupan manusia

3. Hadis-hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri

13

(15)

6

4. Kualitas hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri

5. Pemaknaan terhadap hadis-hadis tentang kriteria perempuan yang baik

untuk dijadikan istri

6. Terkait dengan beberapa permasalahan yang diidentifikasi di atas, perlu

adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam penelitian ini tidak

melebar. Penelitian ini difokuskan pada pemaknaan hadis tentang kriteria

perempuan yang baik untuk dijadikan istri

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang

dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang kriteria perempuan

yang baik untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ah}mad No. Indeks

9137?

2. Bagaimana pemaknaan hadis tentang kriteria perempuan yang baik

untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ah}mad No. Indeks 9137 ?

3. Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk memahami kualitas dan kehujjahan hadis tentang kriteria

perempuan yang baik untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ah}mad

No. Indeks 9137

2. Untuk memahami pemaknaan hadis tentang kriteria perempuan yang

(16)

7

3. Untuk memahami implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada

realitas sosial, adapun kegunaannya antara lain:

1. Dari segi teoritis: untuk menambah wawasan, wacana dan khazanah

ilmu pengetahuan keislaman pada umumnya, dan dalam bidang hadis

pada khususnya.

2. Dari segi praktis: hasil penelitian ini diharapkan agar mendapatkan

kepastian tentang nilai pada hadis-hadis tersebut untuk dijadikan

landasan atau pedoman dalam kehidupan.

Dari penjelasan judul di atas bahwa yang dimaksud dalam judul

adalah untuk mencari makna hadis tentang kriteria perempuan yang

baik untuk dijadikan istri dalam kitab Musnad Ah}mad No. Indeks 9137

F.Telaah Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah membaca beberapa

sumber-sumber rujukan baik yang primer maupun yang sekunder, seperti

al-Quran, dan kitab-kitab hadis. Penulis juga telah membaca literatur yang

menjadi telaah pustaka diantaranya:

1. Hak dan kewajiban istri sebagai wanita karir ( Studi Analisis atas

persepsi M. Quraish Shihab. Oleh Risa Sylva Noer Teta, Fakultas

(17)

8

2. Wanita Karir dan Keluarga ( Studi atas Pandangan Para Anggota

Dewan Perwakilan rakyat Daerah di Kota Yogyakarta tahun

2004-2009),Oleh Heri Purwanto, Fakultas Syariah UIN SUKA Tahun 2010

3. Wanita Karir dalam Persepektif Hukum islam, oleh Zaidatun Ni’mah,

Fakultas Syariah UIN SUKA Tahun 2009

G. Metode Penelitian

Yang dimaksud metode adalah suatu cara tentang bagaimana

menyelidiki, mempelajari dan melaksanakan sesuatu cara sistematis, efektif

dan terarah.14 Sehingga metode penelitian yang digunakan dalam penulisan

ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library

research). Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kualitatif. Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk

kata-kata atau bukan dalam bentuk angka. Oleh karena itu, sumber-sumber

data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis

baik berupa literatur berbahasa Arab maupun Indonesia yang mempunyai

relefansi dengan permasalahan penelitian ini.

Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat

deskriptif dan cenderung menggunakan analisis untuk memberikan

gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan

hasil penelitian. Sehingga penulisan ini menggunakan model penelitian

14

(18)

9

kualitatif. Dalam penelitian dilakukan dengan menelusuri secara langsung

dalam kitab Musnad Ah}mad juga dan beberapa kitab hadis yang dinilai

masih terkait.

2. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian, menurut

Suharsimi Arikunto adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.

Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari

dokumen perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yakni:

a. Sumber primer adalah rujukan utama yang dipakai, yaitu Musnad

al-Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal, Vol II karya Muhammad ‘Abdus al-Sala>m

‘Abdus al-Shafi

b. Sumber sekunder yakni kitab hadis standar lainnya yang dijadikan

sebagai pelengkap dalam penelitian ini antara lain:

1) Kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri> karya Abu> Abdulla>h Muh}ammad Ibn Isma>il Ibn al-Mughi>rah ibn Bardhibah.

2) Kitab S{ah}i>h} Muslim karya Abu> al-H{usai>n Muslim Ibn al-H{ajja>j

al-Qusyairi> al-Nasaiburi>.

3) Fathu al-Ba>ri Syarah S{ah}i>h}al-Bukha>ri>, diterjemahkan Amiruddin 4) Ilmu Maani Hadis karya ‘Abdul Mustaqim

5) Jurnal Pemikiran Islam Karya M. Harir Muzakki

6) Kado Pengantin Karya Majdi Muhammad asy-syahawi.

(19)

10

8) Menuju Pernikahan Barokah Karya ‘Abdu al-Rahman ‘Abdul Khaliq

9) Ilmu Hadis Karya Utang Ranuwijaya

10)Kamus Besar Bahasa Indonesia Karya Tim Penyusun Kamus

11)Ikhtisar Musthalahul Hadis Karya Fatchur Rahman 12)Studi Kitab Hadis Karya Zainul Arifin

13)Hadis-hadis Imam Ah}mad Karya Imam Ah}mad Ibn H}ambal 14)Mausu>’ah al-H}adi>th al-Shari>f al-Kutub al-Sittah Karya Sha>ri’

al-Ami>r ‘Abdul al-‘Azi>z,

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.

Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku,

jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.

Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan

dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu: pertama takhri>j al-h}adi>th,

karena takhri>j hadis sangat penting. Tanpa dilakukan kegiatan takhrij

hadis terlebih dahulu, maka akan diteliti, berbagai riwayat yang telah

meriwayatkan hadis itu. Dengan demikian maka akan terlihat dengan

jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama

periwayatannya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh

masing-masing periwayat yang bersangkutan.15

15

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi ( Jakarta: Bulang Bintang,

(20)

11

4. Analisis Data

Analisa data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui

penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua

komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data dan hadis akan

meliputi dua komponen tersebut.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mudah, jelas dan dapat

dimengerti, maka didalam skripsi ini secara garis besar akan penulis uraikan

pembahasan pada masing-masing bab sebagai berikut :

Bab 1 berisi pendahuluan yang mencakup tentang gambaran umum yang

memuat meliputi : latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian serta

pada akhir bab tentang sistematika pembahasan.

Bab II merupakan landasan teori yang membahas tentang kriteria Status

hadis, teori kehujjahan hadis dan teori pemaknaan hadis. Bab ini merupakan

landasan teori yang akan dijadikan tolak ukur dalam penelitian ini.

Bab III merupakan biografi Ima>mAh}mad Ibn H}ambal, Sistematika serta

metode kitab Musnad Ah}mad, data kitab Musnad Ah}mad dan hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan Istri dalam kitab Musnad

Ah}mad, skema sanad tunggal dan skema sanad ganda.

Bab IV merupakan analisa data yang menjadi tahapan setelah seluruh

data terkumpul, didalamnya termasuk membahas analisa sanad dan matan

(21)

12

untuk dijadikan istri dalam Kitab Musnad Ah}mad No Indeks 9137 serta

implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

Bab V merupakan bagian penutup, yang meliputi: kesimpulan dan saran

yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, serta dilengkapi

(22)

BAB II

HADIS DAN KAIDAH KESAHIHANNYA

A.Pengertian Hadis

Kata hadis atau al-Hadis menurut bahasa, berarti al-Jadi>d, lawan kata dari al-Qodi>m. Kata hadis juga berarti al-Khabar, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan

dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya ialah al-Ah}a>di>th

dan dari sudut pendekatan kebahasan ini, kata hadis dipergunakan baik dalam

al-Quran maupun hadis itu sendiri. Dalam al-Quran misalnya dapat dilihat pada surat

al-Thur ayat 34, surat al-Kahfi ayat 6 kemudian pada hadis dapat dilihat pada

beberapa sabda Rasul Saw, diantaranya dari Zaid Ibn Thabit riwayat Abu> Daud,

al-Turmudhi> dan Ah}mad.1

Secara terminologis, ahli hadis dan ahli ushul berbeda pendapat dalam

memberikan pengertian tentang hadis. Dikalangan ulama ahli hadis sendiri ada

beberapa definisi antara satu dengan lainnya agak berbeda. Ada yang

mendefinisikan bahwa hadis adalah:2

َ لَسَوَِيَلَع َُُللاَى لَََ ِب لاَُلاَوْ قَأ

َُُلاَوْحَأَوَُُلاَعْ فَأَوََم

“Segala perkataan Nabi Saw, perbuatan dan hal ihwalnya”

Yang termasuk “hal ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi Saw”

'seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan

kebiasan-kebiasaannya.3

1

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis ( Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta:1996), 1.

2

Ibid., 2 3

(23)

14

Ulama ahli hadis lain merumuskannya dengan

َِنَعََرِثُأَاَمَ لُك

َ

َ لا

َِْبَ

َ لَسَوَِيَلَعَُلاَى لََ

ٍَةَفََوٍَريِرْقَ تَوٍَلْعِفَوَ ٍلْوَ قَْنِمََم

“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan,

perbuatan, taqrir maupun sifatnya4

Berangkat dari beberapa definisi tentang hadis sahih diatas diketahui

beberapa kriteria hadis sahih diantaranya, sanadnya bersambung, para

periwayatan ‘adl, periwayatan d}abit}, terhindar dari sha>dh, terhindar dari ‘illat.5

Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat apabila memenuhi syrat-syarat kesahihan baik dari aspek sanad maupun matan. Syarat-syarat terpenuhinya kesahihan hadis ini sangatlah penting penggunaan atau

pengamalannya. Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat dimaksud berakibat

pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama sekali

menyimpang dari apa yang seharusnya dari yang diajarkan Nabi Muhammad

Saw.6

Sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama-sama penting, namun

demikian para ulama ahli hadis lebih mendahulukan memberikan perhatian

kepada aspek yang disebutkan pertama meskipun aspek yang disebut terakhir juga

tidak dikesampingkan begitu saja. Karena bagaimana pun juga idealnya sebuah

4Ranuwijaya, Ilmu Hadis,

2. 5

Idri, Studi Hadis ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 160.

6

Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis Cet. 1 (Malang:

(24)

15

hadis dikatakan sebagai berkualitas sahih dan absah untuk diperpegangi sebagai

hujjah apabila aspek sanad dan matannya sahih7.

B. Teori Kesahihan Sanad Hadis

Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah mengharuskan

adanya persambungan sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi Muhammad Saw yang semua itu harus diterima dari para periwayat yang ‘adl dan d}abit}8

Oleh karena itu, maka penelitian terhadap sumber berita mutlak diperlukan.

Ima>m Nawa>wi> juga menegaskan apabila sanad suatu hadis berkualitas sahih maka hadis tersebut bisa diterima tetapi apabila tidak maka hadis tersebut harus

ditinggalkan.9

Nilai dan kegunaan sanad tampak jelas bagi seseorang untuk mengetahui

keadaan para perawi hadis dengan cara mempelajari keadaannya dalam

kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk mengetahui sanad yang muttasil dan

munqat}i'. Jika tidak terdapat sanad tidak dapat diketahui hadis yang sahih dan

yang tidak sahih.10

Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur kaedah

kesahihan yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. Unsur-unsur itu ada

7

Sumbulah, Kritik Hadis, 14.

8

Salamah Norhidayati, Kritik Teks Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2009), 19.

9

Ibid., 99. 10

(25)

16

yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada yang

berhubungan dengan keadaan pribadi para periwayat.11

Agar suatu sanad bisa dinyatakan sahih dan dapat diterima, maka sanad

tersebut harus memenuhi syarat-syarat yaitu sanadnya bersambung, memiliki kualitas pribadi yang 'adl dan memiliki kapasitas intelektual d}abit}, terhindar dari sha>dh dan‘illat. Kelima kaedah kesahihaan sanad hadis tersebut akan dikaji masing-masing aspek kritiknya. 12

1. Kebersambungan Sanad

Tidak selalu terdapat keseragaman pendapat para ulama mengenai konsep

kebersambungan sanad ini. Untuk menunjuk polemik tersebut misalnya dapat

dimajukan konsep yang digulirkan al-Bukha>ri>. Bagi al-Bukha>ri> sebuah sanad

baru diklaim bersambung apabila memenuhi kriteria berikut:13

a. al-Liqa>’, yakni adanya pertemuan langsung antara satu rawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara

murid yang mendengar secara langsung suatu hadis dari gurunya.

b. al-Mu’as>harah, yakni bahwa sanad diklaim bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya. Sedangkan bagi Muslim, terkesan agak memperlonggar persyaratan ittisha>l sanad tersebut. Bagi Muslim sebuah sanad dikatakan telah bersambung apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya ada kemungkinan bertemu

11Isma’

il, Metodologi Penelitian, 66. 12

Sumbulah, Kritik Hadis,44.

13

(26)

17

karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara tempat tinggal mereka tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat ini dengan demikian, berarti Muslim hanya menekankan kebersambungan

sanad itu pada aspek al-Mu’as>harah semata.

Adapun aspek lain dari kajian kritik berkenaan dengan kebersambungan sanad ini, adalah menyangkut lambang-lambang, metode-metode periwayatan ( sighat al- tah}ammul wa al-ada>’) serta kualifikasi relasi antara periwayatan itu sendiri dengan metode periwayatan yang digunakannya. Lambang-lambang metode periwayatan hadis terdapat dua kegiatan dalam periwayatan hadis, yakni kegiatan

menerima hadis di satu sisi dan kegiatan menyampaikan hadis pada sisi

lain. Kegiatan pertama melahirkan masalah saat atau mulai kapan sesorang

dipandang layak untuk menerima hadis dan polemik mengenai

permasalahan ini dipicu dengan adanya batas bawah usia atau kondisi fisik

menerima hadis, agar hadis yang disampaikannya kemudian layak untuk

disampaikan kepada orang lain dan dapat diterima. 14

Menyimak kasus diatas, menurut hemat penulis dapat dipahami

bahwa seseorang yang boleh menerima hadis itu tidak hanya mengacu

kepada batas bawah umurnya, namun juga mengacu kepada keakuratan

dan kesetiaan hafalannya. Hal ini diperkuat dengan ketidak keliruan Abu>

Muhammad dalam membaca surat al-Quran yang diperintahkannya

kepadanya. Disamping menyangkut aspek biologis terebut, para ulama

14

(27)

18

juga tidak mensyaratkan bahwa seseorang yang layak menerima hadis itu

harus telah beragama Islam, bahkan demikian lanjut mereka hadis yang

diterima seseorang disaat dia masih berstatus sebagai kafir dapat diterima

kepada orang lain hanya saja dalam proses transmisi ini mu’addi telah

berstatus muslim.15

Kedua, meskipun dalam proses tah}ammul hadis tidak disyaratkan

harus balig dan muslim, namun pada saat al-ada>’-nya kedua syarat tersebut

tercakup seluruhnya oleh karena itu, kekhawatiran akan adanya kasus

manipulasi dan kesalahan periwayatan diatas dapat ditepis dengan

persyaratan muslim dan balig pada saat al-ada>’nya. Karena kedua syarat

tersebut memiliki konsekuaensi dan tuntutan yang melukiskan komitmen mereka terhadap agama, termasuk dalam masalah periwayatan hadis tersebut.16

2. Aspek Keadilan Perawi

Term ‘adalah ( adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong

kepada kebenaran. Dalam terminologi ilmu hadis terdapat beberapa rumusan

definisi yang dikemukakan para ulama diantaranya al-Ha>kim dan

al-Naisaibu>ri yang menyatakan bahwa ‘adalah seorang Muh}addith dipahami

sebagai seorang muslim, tidak berbuat bid’ah dan maksiat yang dapat

meruntuhkan moralitasnya. Ibn Shalah berpendapat bahwa seorang perawi

15

Sumbulah, Kritik Hadis, 49-50. 16

(28)

19

disebut memiliki sifat adil jika dia seorang yang muslim, balig, berakal,

memelihara moralitas dan tidak berbuat fasiq.17

Untuk mengetahui adil tidaknya seorang rawi, para ulama hadis telah

menetapkan beberapa cara yaitu:18

a. Melalui popularitas keutamaan seorang rawi dikalangan ulama hadis.

Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Ma>lik Ibn Anas

dan Sufya>n al-Thauri, kedua rawi tersebut tidak diragukan keadilannya.

b. Penilaian dari kritikus hadis, penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan

dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.

c. Penerapan kaidah al-jarh} wa al ta’dil, cara ini ditempuh apabila para

kritikus rawi hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat

tertentu.

3. Aspek Intelektualitas Perawi (d}abit})

Aspek intelektualitas (d}abit}) perawi yang dikenal dalam ilmu hadis. Istilah

d}abit} ini secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu. Aspek tersebut

merupakan salah satu dari sekian persyaratan asasi yang harus ada pada

seorang perawi hadis, untuk bisa diterima riwayat yang disampaikannya.19

Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat berbagai rumusan definisi d}abit}

mengandung makna sebagai tingkat kemampuan dan kesempurnaan

intelektualitas seseorang dalam proses penerimaan hadis, mampu memahami

secara mendalam makna yang dikandungnya, menjaga dan menghafalnya

17

Sumbulah, Kritik Hadis, 51. 18

Idri, Studi Hadis, 163. 19

(29)

20

semaksimal mungkin hingga pada waktu penyebaran dan periwayatan hadis

yang didengarnya tersebut kepada orang lain yakni hingga proses

penyampaian hadis tersebut kepada orang lain.20

Terdapat beberapa metode yang digunakan oleh para ulama untuk

mengetahui ke d}abit}-an seorang perawi. Ibn al- Shalah mengatakan bahwa ke

d}abit}-an seorang perawi hadis dapat diketahui dengan cara

mengkomparasikannya dengan riwayat hadis dari sejumlah perawi yang

thiqah dan telah terkenal ke-d}abit}-annya.21

4. Terhindar dari Sha>dh

Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat tiga pendapat berkenaan dengan definisi sha>dh, yakni pendapat pertama yang dimajukan al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadis baru dinyatakan mengandung sha>dh bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang bersifat thiqah, kedua pendapat yang dikemukakan oleh al- H}afiz}, sebuah hadis dinyatakan mengandung sha>dh apabila hanya memiliki satu jalur saja, baik hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang thiqah maupun yang tidak baik bertentangan atau tidak 22

Sedangkan menurut Fatchur Rahman, sha>dh yang terjadi pada suatu hadis terletak pada adanya pertentangan antara periwayatan hadis oleh rawi yang maqbul dengan periwayatan hadis oleh rawi yang rajah, hal ini disebabkan adanya kelebihan dalam jumlah sanad atau lebih dalam ke-d}abit}-an rawinya

20

Sumbulah, Kritik Hadis, 65. 21

Ibid.,67. 22

(30)

21

atau adanya segi tarjih} yang lain. Dengan kata lain pendapat ini mengamini pendapat al-Syafi’i.23

5. Terhindar dari ‘illat

Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit, Adapula yang mengartikan sakit.

Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminologi

ilmu hadis, ‘illat di definisikan sebagai sebuah hadis yang di dalamnya

terdapat sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis secara

lahir tampak sahih. Di dalam konteks ini, Ibn shalah mendefinisikan ‘illat

sebagai sebab tersembunyi yang merusak kaulitas hadis, karena

keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya berkualitas sahih

menjadi tidak sahih lagi. Sedangkan Ibn Taimiyah menyatakan bahwa hadis

mengandung ‘illat adalah hadis yang sanadnya secara lahir tampak baik,

namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, didalamnya terdapat perawi yang

banyak melakukan kesalahan, sanadnya mauquf atau mursal, bahkan ada

kemungkinan masuknya hadis lain pada hadis tersebut. 24

Mengacu pada tiga formulasi definisi diatas, dapat dipahami bahwa ‘illat

disini adalah cacat yang menyelinap pada sanad hadis sehingga kecacatan

tersebut pada umumnya berbentuk: pertama, sanad yang tampak bersambung

dan sampai kepada nabi ternyata muttasil tetapi hanya sampai kepada sahabat.

Selanjutnya terjadi pencampuran dengan hadis lain, keempat kemungkinan

23

Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis) Bandung: PT Alma’arif, 1974). 123.

24

(31)

22

terjadi kesalahan penyebutan perawi yang memiliki kesamaan nama padahal

kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya tidak sama.25

Disamping itu agar bisa melakukan penelitian kualitas sanad hadis dikenal

cabang keilmuan yang disebut ilmu rija>l al-h}adi>th yaitu ilmu yang secara

spesifik mengupas keberadaan para perawi hadis. Ilmu ini berfungsi untuk

mengungkap data-data para perawi yang terlibat dalam civitas periwayatan

hadis dan dengan ilmu ini juga dapat diketahui sikap ahli hadis yang menjadi

kritikus terhadap para perawi hadis tersebut.26

Disamping itu ada beberapa cabang-cabang ilmu hadis riwayah dan

dirayah diantaranya adalah:

Al-jarh} wa al-ta’dil menurut bahasa, kata jarh} merupakan masdar dari

kata jarah}a-yajrah}u-jarh}an yang artinya melukai, terkena luka badan atau menilai cacat ( kekurangan). Dari segi bahasa al-Ta’dil berasal dari kata al-‘adl ( keadilan) yang artinya sesuatu yang dirasakan lurus atau seimbang.

Jadi al-jarh} ialah sifat kecacatan periwayat hadis yang menggugurkan keadilannya, sedangkan al-tarjih} ialah nilai kecacatan yang diberikan kepadanya. Al-adl ialah sifat keadilan periwayat hadis yang mendukung penerimaan berita yang dibawa-nya, sedangkan al-ta’dil ialah nilai adil yang diberikan kepadanya.27 Kata al-Jarh} menurut ulama hadis bermakna

mencatat perawi hadis, baik percatatan tersebut berkenaan dengan

25

Sumbulah, Kritik Hadis,74. 26

Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis Cet. 1 (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah,

2003), 6. 27

Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis cet. 1 ( Jakarta: Amzah,

(32)

23

annya maupun ke-d}abit}-annya. Sedangkan kata al-ta’dil bermakna

sebaliknya , yaitu memuji seorang perawi hadis serta memberi penilaian

kepadanya bahwa perawi yang bersangkutan‘adil atau d}abit.

Berikut ini terdapat beberapa kaidah dalam men-jarh}} dan men-ta’di>l-kan

perawi diantaranya: 28

a.

حرلا

َ يلعَ مدقمَ ليدعتلا

َ

(penilaian ta`’di>l didahulukan atas penilaian jarh}).

Kaidah ini dipakai apabila ada kritikus yang memuji seorang rawi dan ada

juga ulama hadis yang mencelanya, jika terdapat kasus demikian maka

yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut alasanya adalah sifat pujian

itu adalah naluri dasar sedangkan sikap celaan itu merupakan sifat yang

datang kemudian. Ulama yang memakai kaidah ini adalah al-Nasa>’i>,

namun pada umumya tidak semua ulama hadis menggunakan kaidah ini.

b.

ليدعتلاَ يلعَ مدقمَ حرلا

َ(penilaian jarh{ didahulukan atas penilaian ta`di>l).

Dalam kaidah ini yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan

terhadap seorang rawi, karena didasarkan asumsi bahwa pujian timbul

karena persangkaan, baik dari pribadi kritikus hadis sehingga harus

dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh

perawi yang bersangkutan. Kaidah ini banyak didukung oleh ulama hadis,

fiqih dan usul fiqih.

28

(33)

24

c.

َ رسف اَ حرلاَ تبثَ اَإَ لإَ لد

ع

مللَ مكِافَ لد

ع ا

َ وَ حر

ا

لاَ ضراعتَ اَإ

َ

(apabila terjadi

pertentangan antara pujian dan celaan, maka yang harus dimenangkan

adalah kritikan yang memuji kecuali bila celaan itu disertai dengan

penjelasan tentang sebab-sebabnya). Kaidah ini banyak dipakai oleh para

ulama kritikus hadis dengan syarat bahwa penjelasan tentang ketercelaan

itu harus sesuai dengan upaya penelitian.

d.

ةقث

لَ

حرج

َلبقيَافَافيعضَح

اَر

لاَناكَاَإ

ََ

(apabila kritikus yang mengemukakan

ketercelaan adalah golongan orang yang d{a`i>f maka kritikannya terhadap

orang yang thiqah tidak diterima, kaidah ini juga didukung oleh para

ulama ahli kritik hadis.

e.

يحورجاَف

َ

ابشلاَةيشخَةبثت

لاَدعبَلاَحرلاَلبقيَل

(jarh{ tidak diterima, kecuali

setelah diteliti secara cermat dengan adanya kekhawatiran terjadinya

kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya). Hal ini terjadi bila ada

kemiripan nama antara periwayat yang dikritik dengan periwayat lain,

sehingga harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekeliruan. Kaidah

ini juga banyak digunakan oleh para ulama ahli kritik hadis.

f.

بَدت

ع

يَلَةيوايند

َ

ةوادعَنعَئشا لاَحرلا

(jarh{ yang dikemukakan oleh orang yang

mengalami permusuhan dalam masalah ke-duniawi-an tidak perlu

diperhatikan hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi dalam

(34)

25

Meskipun banyak ulama yang berbeda dalam memakai kaidah al-jarh}

wa al-ta`di>l namun keenam kaidah di atas yang banyak terdapat dalam

kitab ilmu hadis. Yang terpenting adalah bagaimana menggunakan

kaidah-kaidah tersebut dengan sesuai dalam upaya memperoleh hasil penelitian

yang lebih mendekati kebenaran.

‘ilmu al-jarh} wa al-ta’dil menjadi timbangan perawi dalam

periwayatan hadis. Jika bobot perawi tersebut berat maka perawi yang

bersangkutan dapat diterima periwayatan hadisnya, dan jika bobot

neracanya ringan maka periwayatan perawi yang bersangkutan ditolak.29

Agar seorang kritikus hadis dapat menilai seorang perawi hadis dengan

benar maka diperlukan kriteria umum diantaranya sebagai berikut:30

1) Seorang kritikus harus berilmu, bertakwa, wara’ dan jujur. Seorang

kritikus tidak mungkin dapat menilai perawi dengan penilaian cacat

maupun penilain terpuji secara benar bila tidak memiliki syarat

tersebut.

2) Seorang kritikus harus mengetahui benar sebab-sebab mencacat perawi

dan memuji perawi

3) Seorang kritikus hadis harus mengetahui perubahan kata dalam tata

bahasa Arab agar ia dapat menggunakan kata-kata yang menunjukkan

maknanya yang benar, dan ia tidak terjebak pada penggunaan kata-kata

29

Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadis Cet 1 ( Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,

2013), 136. 30

(35)

26

yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk mencatat perawi namun ia

pergunakannya.

C. Teori Kesahihan Matan Hadis

Dan selanjutnya tentang Kritik matan lazim dikenal sebagai kritik intern,

istilah ini dikaitkan dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni difokuskan

kepada teks hadis yang merupakan intisari dari apa yang pernah disabdakan

Rasulullah, yang ditransmisikan kepada generasi- generasi berikutnya hingga

ketangan para Mukharij al-h}adi>th, baik secara lafal maupun maknawi.31

Dapat ditegaskan bahwa kritik sanad diperlukan untuk mengetahui apakah

perawi itu jujur, taqwa kuat hafalannya, dan apakah sanadnya bersambung atau

tidak sedangkan kritik matan diperlukan untuk mengetahui apakah hadis tersebut

mengandung berupa Sha>dh atau ‘illat.32

Tolak ukur kritik matan yang dikemukakan al-adlabi dan al-Baghdadi>, diatas,

tampak bersifat umum yang masih perlu interpretasi. Kenyataan tersebut

mendukung tesis tentang tidak adanya tolak ukur pasti dan terperinci, namun

demikian tolak ukur tersebut merupakan upaya ijtihadi para ulama’ dalam rangka

menjabarkan dan mengetahui celah-celah matan hadis jika di analisis dari sha>dh

atau ‘illat. Penelitian terhadap aspek terhadap aspek sha>dh atau ‘illat baik pada

sanad maupun matan hadis, sama-sama memiliki kesulitan. Namun demikian, para ulama’ sepakat bahwa penelitian adanya sha>dh atau ‘illat yang terjadi pada

31

Sumbulah, Kritik Hadis, 93 32

(36)

27

sanad hadis. Penelitian terhadap aspek matan hadis ini mengacu kepada kaidah kesahihan matan hadis sebagai tolak ukur, yakni terhindar dari sha>dh atau ‘illat33.

1. Terhindar dari Sha>dh

Sha>dh disamping terdapat pada sanad juga terdapat pada matan. Sha>dh pada matan hadis didefinisikan sebagai adanya pertentangan atau ketidak sejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan seorang perawi yang lebih kuat hafalan dan ingatannya. Pertentangan atau ketidak sejalanan tersebut adalah dalam hal menukil matan hadis, sehingga terjadi penambahan, pengurangan, perubahan tempat dan berbagai bentuk kelemahan dan cacat lainnya.34

2. Terhindar dari ‘illat

‘illat disamping terjadi pada sisi sanad, dapat pula terjadi pada sisi matan. ‘illat yang terjadi pada sisi matan saja berarti sanadnya memenuhi kriteria

kesahihan namun yang sering terjadi karena adanya sesuatu, maka lafal atau

kalimat yang merupakan bagian dari hadis lain masuk atau menyisip kedalam

matan hadis tersebut.35

Adapun yang dimaksud dengan ‘illat pada matan hadis adalah suatu sebab

tersembunyi yang terdapat pada matan hadis yang secara lahir tampak berkualitas

sahih sebab tersembunyi disini bisa berupa masuknya redaksi hadis lain pada hadis tertentu, atau redaksi dimaksud memang bukan lafal-lafal yang

33

Ibid., 103. 34

Sumbulah, Kritik Hadis, 103. 35

(37)

28

mencerminkan sebagai hadis Rasulullah, sehingga pada akhirnya matan hadis

tersebut seringkali menyalahi nas}-nas} yang lebih kuat bobot akurasinya. 36

Sedangkan kriteria dan tatacara untuk mengungkap ‘illat pada matan,

sebagaimana dikemukakan oleh al-Salafi adalah:37

a. Mengumpulkan hadis yang semakna serta mengkomparasikan sanad dan

matannya sehingga diketahui ‘illat yang terdapat didalamnya.

b. Jika seorang rawi bertentangan riwayatnya dengan seorang perawi yang

lebih thiqah darinya maka, riwayat perawi tersebut dinilai ma’lul

c. Jika hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi bertentangan dengan

hadis yang terdapat dalam tulisannya, atau bahkan hadis yang

diriwayatkan itu ternyata tidak terdapat dalam kitabnya, sehingga oleh

karenanya riwayat yang bertentangan tersebut dianggap ma’lul.

d. Melalui penyeleksian seorang syeh bahwa ia tidak pernah menerima hadis

yang diriwayatkannya itu, atau dengan kata lain hadis yang diriwiyatkan

itu sebenarnya tidak pernah sampai kepadanya.

e. Seorang perawi tidak mendengar dari gurunya secara langsung.

f. Hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang thiqah.

g. Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang, namun kemudian

datang seorang perawi yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mereka

kenal itu, maka hadis yang dikemukakan itu dianggap memiliki cacat.

36

Ibid.,108. 37

(38)

29

h. Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah.

Selanjutnya, agar kritik matan tersebut dapat menentukan kesahihan suatu

matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu hadis, para ulama

telah menentukan tolak ukur tersebut menjadi empat kategori, antara

lain:38

Adapun kriteria-kriteria dalam kritik kandungan matan adalah sebagai

berikut :

1) Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an

2) Tidak bertentangan dengan hadis dan sirah nabawiyah

3) Tidak bertentangan dengan akal, indera dan sejarah39

4) Susunan pernyataannya yang menunjukkan ciri-ciri sabda

kenabian.

D. Kaidah Kehujjahan Hadis

Para ulama’ ahli hadis membagi hadis sahih kepada dua bagian, yaitu s}ah}i>h} li-dha>tihi dan kedua s}ah}i>h} li-ghairih pembagian ini didasarkan kepada adanya

pembedaan dalam soal ke-d}abit}-an perawinya. 40

Hadis sahih terbagi menjadi dua yaitu hadis s}ah}i>h} li-dha>tihi dan kedua s}ah}i>h} li-ghairih. Yang dimaksud dengan hadi>th sa}h}i>h} li-dha>tihi ialah sahih dengan

sendirinya. Artinya, ialah hadis sahih yang memiliki lima syarat atau kriteria

sebagaimana disebutkan pada persyaratan diatas dengan demikian, penyebutan

38Isma’il,

Metodologi Penelitian, 128. 39

Muhid, Metodologi Penelitian, 86-88

40

(39)

30

hadis s}ah}i>h} li-dha>tih dalam pemakaiannya sehari-hari, pada dasarnya cukup

dengan memakai dengan hadis sahih, tanpa harus memberi tambahan li-dha>tih.41

Dan Yang dimaksud dengan hadis s}ah}i>h} li-gha>irih, ialah hadis yang

kesahihanya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis kategori ini pada

mulanya memiliki kelemahan pada aspek ke-d}abit}-an perawinya. Diantara

perawinya ada yang kurang sempurna ke-d}abit}-annya , sehingga dianggap tidak

memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis sahih. Baginya semula hanya

sampai kepada derajat atau kategori hadis hasan li-dha>tih. Dengan ditemukannya

keterangan lain, baik berup sha>hid maupun muttabi’ yang bisa menguatkan

keterangan atau kandungan matannya, hadis ini derajatnya naik ketingkat lebih

tinggi sehingga menjadi s}ah}i>h} li-gha>irih. 42

1. Kehujjahan hadis sahih

Para ulama’ sependapat bahwa hadis ahad yang sahih dapat dijadikan

hujjah untuk menetapkan syariat islam. Namun mereka berbeda pendapat,

apabila hadis kategori ini dijadikan hujjah untuk menetapkan soal-soal akidah.

Perbedaan pendapat diatas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka

tentang kaidah yang diperoleh dari hadis ahad yang sahih, yaitu apakah hadis

semacam ini memberi faidah qot}’i atau z}onni. Ulama yang menganggap hadis

semacam ini memberi faidah qot}’i sebagaimana hadis mutawattir maka

hadis-hadis tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah

41

Ibid., 166. 42

(40)

31

akidah. Akan tetapi, yang mengaggap hanya memberi faidah z}onni, berarti

hadis-hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan soal ini.43

Para ulama dalam hal ini terbagi menjadi beberapa pendapat antara lain,

menurut sebagian ulama memandang, bahwa hadis sahih tidak memberikan

faidah qot}’i sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal

akidah. Sebagian ulama ahli hadis sebagaimana dikatakan al-Nawa>wi>

memandang bahwa hadis-hadis sahih riwayat al-Bukha>ri> dan Muslim

memberikan faidah qot}’i menurut sebagian ulama lainnya 44

2. Kehujjahan Ha>dis Hasan

Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya dengan periwayat

perawi yang adil dan d}abit}, tetapi nilai ke-d}abit}-annya kurang sempurna,

serta selamat dari unsur shudu>d dan ‘illat. Dilihat dari definisi tersebut yang

membedakan antara hadis hasan dengan hadis sahih adalah pada aspek ke

d}abit}-an perawi. Hal mana dalam hadis hasan, d}abit} yang terkait dengan

aspek tulisan dan hafalannya kurang sempurna, sedangkan hadis sahih ke-d}

abit}-an perawi sempurna, dan selamat dari unsur Shudu>ddan ‘ illat.45

Hadis hasan di bagi menjadi dua, yaitu hasan li- dha>tih, ialah hadis yang

para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatan atau kekuatan

hafalan mereka belum sampai kepada derajat hafalan para pe-rawi yang sahih.

Hadis hasan li- dha>tih ini bisa naik kualitasnya menjadi s}ah}i>h} li-gairih, apabila

ditemukan adanya hadis lain yang menguatkan kandungan matannya atau

43

Ibid., 166. 44

Ranuwijaya., 167.

45

Tim Penyusun MKD, Studi Hadis Cet 5 ( Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2016),

(41)

32

adanya sanad lain yang juga meriwayatkan hadis yang sama ( Muta>bi’ atau

sha>hid), kedua adalah hadis hasan li-gairih, ialah hadis hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadis yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, baik karena adanya sha>hid maupun mutta>bi’.46

Kehujjahan hadis sahih menurut para ulama ahli hadis bahwa hadis hasan,

baik hasan li-dha>tih maupun hasan li-gairih juga dapat dijadikan hujjah

untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja

terdapat perbedaan pandangan diantara mereka dalam soal penempatan rutbah

atau urutannya, yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama

yang tetap membedakan kualitas kehujjahan, baik antara s}ah}i>h} li-dha>tih

dengan s}ah}i>h} li- ghairih dan hasan li-dha>tih dan hasan li- ghairih, maupun

antara hadis sahihdengan hadis hasan itu sendiri.47

E. Ilmu Ma‘a>ni> al- Hadis

Secara bahasa etimologi, ma‘ani> merupakan bentuk jamak dari kata ma‘na

yang berarti makna, arti, maksud, atau petunjuk yang dikehendaki suatu lafal.

Ilmu Ma‘ani al hadis secara sederhana ialah ilmu yang membahas tentang makna

atau maksud lafal hadis Nabi secara tepat dan benar. Secara terminologi, Ilmu

Ma‘ani al hadis ialah ilmu yang membahas tentang prinsip metodologi dalam

memahami hadis Nabi sehingga hadis tersebut dapat dipahami maksud dan

kandungannya secara tepat dan proporsional.48

46

Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 172

47

Ranuwijaya, Ilmu Hadis,173-174.

(42)

33

Sebagaimana diketahui bahwasanya jumlah hadis sebenarnya tidak bertambah

lagi setelah wafatnya Rasulullah Saw. Sementara permasalahan yang dihadapi

oleh umat Islam terus berkembang mengikuti zaman. Maka dari itu agar bisa

memahami hadis secara tepat diperlukan adanya penelitian baik yang

berhubungan sanad hadis maupun matan hadis.

Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut

1. Pendekatan kebahasaan

Dalam pengkajian sanad hadis, juga dibutuhkan penelitian terhadap

simbol-simbol tah}amul yang dipergunakan disamping suatu matan hadis

harus diteliti kesempurnaan struktur bahasanya, maka pendekatan kebahasaan

juga diperlukan dalam pengembangan kajian kesahihan sanad dan matan

hadis strukturalisme linguistik berupa mencari universalitas kebahasaan yang

ditampilkan dalam telaah-telaah frase, klause dan kalimat, sedangkan

strukturalisme genetik lebih menekankan makna singkronik dari pada makna

lain seperti makna simbolik, sehingga analisisnya perlu memperhatikan

instrinsik teks gaya bahasa penutup.49

Majaz adalah menggunakan lafad bukan pada makna yang semestinya

karena adanya hubungan ( ‘alaqah) disertai qarinah ( hal yang menunjukkan

dan menyebabkan bahwa lafad tertentu menghendaki pemaknaan yang tidak

sebenarnya) yang menghalangi pemakaian makna hakiki. Seperti contoh “

singa itu berpidato” dengan maksud si pemberani ( yang seperti singa) itu

berpidato. Hubungan yang dimaksud terkadang karena adanya keserupaan

49

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif,Edisi III ( Yogyakarta: Rake Sarasin,

(43)

34

dan adapula karena faktor yang lain. Sedangkan qarinah adakalanya lafz}iyah

( qarinah itu terdapat dalam teks, tertulis) dan ada pula haliyah ( qarinahnya tidak tertulis, berdasarkan pemahaman saja).50

Ungkapan majaz muncul disebabkan karena:

a. Sebab lafz}i: lafal-lafal tersebut tidak boleh dimaknai secara hakiki. Jika dimaknai hakiki maka akan muncul pengertian yang salah. Qarinah pada ungkapan majaz jenis ini bersifat lafz}i.

b. Sebab takribi ( isnadi): ungkapan majazi terjadi bukan karena lafal-lafalnya yang tidak bisa dipahami secara hakiki, akan tetapi dari segi penisbatan. Penisbatan failnya tidak bisa diterima secara rasional dan keyakinan. 51

2. Pendekatan Sosio Historis

Pendekatan sosio historis merupakan pendekatan dalam studi hadis yang

ingin menggabungkan antara teks hadis sebagai fakta historis sekaligus

sebagai fakta sosial. Sebagai fakta historis, ia harus divalidasi melalui kajian

jarh} wa ta’dil, apakah informasi itu benar atau tidak. Dalam saat yang sama,

hadis juga merupakan fakta sosial yang pesan dari redaksinya sangat lekat

dengan bagaimana situasi dan relasi antara individu-individu dengan

masyarakat dan bagaimana kultur dan tradisi yang mengitarinya.52

50

Ali al-Jarim dan Mustafa Amin, Terjemahan al-Balaghatul Wadhihah, terj. Mujiyo

Nurkholis dkk ( Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013), 94. 51

http://rexpozfarum.blogspot.co.id/2010/08/al-balaghah-ilmu-bayan.html?m=1. ( diakes Sabtu, 29 Juli 2017, 19:23)

(44)

BAB III

BIOGRAFI AH}MAD IBN H}AMBAL SERTA HADIS TENTANG

KRITERIA PEREMPUAN YANG BAIK UNTUK DIJADIKAN

ISTRI

A.

Biografi Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal

Ah}mad putra Muhammad Ibn H}ambal al-Syaibani> al-Baghdadi, dia lahir

pada tahun 164 H di Baghdad dan meninggal dikota yang sama pada tahun 240 H/ 241 H. 1

Imam Ah}mad Ibn H}ambal sempat dipenjarakan selama 28 tahun yang

disebabkan oleh sikapnya yang gigih menolak faham kemakhlukan al-Quran.

Keteguhan Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal dalam memegangi prinsip keimanan

tersebut disetarakan dengan, Khalifah Abu> Bakar al-Shiddiq saat di hadapkan

para pengingkar kefaruhan zakat diawal kekhalifahannya. Ah}mad Ibnu H}ambal

dilepaskan dari penjara sehubungan dengan sikap al-Muwakkil tidak lagi

berfaham Mu’tazilah seperti Khalifah Halaqah Qad}i Yusuf sejawat

pendahulunya.2

Sejak kecil sudah sangat menggemari ilmu dan mulai belajar shaikh-shaikh

setempat. Pada tahun 179 H, saat berusia 15 tahun dia mulai serius memepelajari

dan menelusuri hadis. Perjalanan ilmiahnya untuk mengumpulkan hadis-hadis

dimulai pada tahun 186 H. Dia pergi ke Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah dan

1

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis ( Surabaya: Aloha Surabaya, 2005), 67.

2

(45)

36

Yaman dan keseluruh pelosok jazirah Arab, semua yang diperolehnya dari para

ulama di tiap kota yang dikunjunginya. Dia catat dan pelajari dengan seksama.3

Orang pertama yang hadisnya ditulis adalah Abu> Yu>suf, sahabatnya Abu> Hani>fah.

Kata Ima>m Ah}mad.

“ yang pertama diperdengarkan kepadaku adalah hadis dari Husyaim, dan itu pada tahun 179 H”.4

Husyaim adalah seorang shai>kh muh}additsi>n Irak, kami mencatat darinya

kitab al-Hajj kurang lebih seribu hadis, disamping soal tafsir dan kita>b al- Qadha>.5

Studi ilmiahnya ke Bashrah berlangsung lima kali, demikian pula ke Hijaz

dimana dia bertemu dengan al-Sya>fi’iy di Masjidil Haram, kemudian berjumpa

lagi di Baghdad hingga akhirnya menjalin persahabatan yang tidak pernah

terpisahkan, sampai al-Sya>fi’iy menetap di Mesir. Kata al-Sya>fi’iy,

“ aku meninggalkan Baghdad dan tidak ada yang kutinggalkan disana orang yang

lebih bertaqwa dan lebih faqih dari pada Ibn H}ambal”.6

Ima>m Ah}mad Bercerita daerah pertama yang aku kunjungi adalah Basrah,

yaitu pada tahun 186 H. Disana aku menjumpai Sufya>n Ibn Uyainah dan belajar

kepadanya hingga tahun 187 H. Kemudian aku pergi menuju Kufah, dan

mengunjungi Abadah, belajar kepada Abu> Rabi>, lalu bertolak ke Wasith tempat

tinggalnya Yazi>d Ibn Ha>ru>n.7

3Imam Ahmad Ibn Hambal

, Hadis-hadis Imam Ahmad ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 371.

4

Ibid., 371. 5

Ibid., 371. 6Ibid., 372.

7

(46)

37

Sebagian besar kekayaan ilmu Ima>m Ah}mad diperoleh melalui ulama di kota

kelahirannya Baghdad dan sempat mengantarkan dirinya sebagai anggota group

diskusi atau Imam Ibn Hanifah ketika Imam Syafi’I tinggal di Baghdad Ah}mad

Ibn H}ambal terus menerus mengikuti program halaqahnya sehingga tingkat

kedalamannya ilmu fiqh dan hadis telah menjadikan pribadi Imam Ah}mad sebagai

seorang istimewa dalam majlis belajar Imam al-Syafi’i. kehebatan Ah}mad Ibn

H}ambal dalam ilmiyah fiqh diperoleh pengakuan Ima>m al-Syafi’I dan Yahya Ibn Ma’in terbukti pula popularitasnya madhabnya mampu menembus wilayah Syam

atau Syiriah, Iraq, Najed dan sekitarnya.8

Menurut Abu> Zur’ah dia mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang

semuanya sudah dikuasai diluar kepala dan juga dia mempunyai hafalan matan

hadis sebanyak 1.000.000.9

Guru, murid Imam Ah}mad Ibn H}ambal, Imam Ah}mad Ibn H}ambal memiliki

banyak guru, sekitar 283 orang antara lain: Husyaim, Sufya>n ibn Uyainah, Jari>r,

Abdur Razza>q, al- Sya>fi’I, Muhammad Ibn Ja’far dan Abu> Yu>suf. Sedangkan

yang meriwayatkan hadis darinya antara lain: al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Dawu>d, Sha>lih dan Abdulla>h.10

B. Sistematika Musnad Ah}mad Ibn H}ambal

Koleksi hadis dalam al-Musnad semula diangkat dari hasil seleksi terhadap

kurang lebih 750.000 hadis, yang oleh Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal ditekankan

8

Arifin, Studi Kitab, 68. 9

Rahman, Ikhtisar Musthalahul, 374.

(47)

38

norma seleksinya pada segi nilai kelayakan hadis dan ushul fiqh serta ditafsir.

Kitab al-I’lal memperlihatkan betapa beliau cukup serius dalam mengamati illat,

cacat hadis, disamping kitab berjudul al-Asyribah dan al- Nasikh wa al-Mansukh

menempatkan Imam Ah}mad Ibn H}ambal sebagai analisis fiqh dikelasnya,

disamping pola pemikiran fiqhnya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh metode

yang bersangkutan untuk dijadikan hujjah. Hasil seleksi tersebut dibukukan

dengan tulisan tangan menjadi 24 jilid dan ketika diterbitkan dalam edisi ketikan

mesin menjadi 6 jilid format sedang.11

Daya tampung al-Musnad terhadap hadis sebanyak itu disamping Ima>m

Ah}mad Ibn H}ambal adalah guru besar ulama’ Muh}addisin generasi berikutnya

serba mungkin bila hadis atau sunnah yang memadai sunnah al-Sittah. Dan juga di

dalam Musnad Ah}mad dan segi kualitas hadis dan ketinggian susunan tata kalimat

matannya tidak tertandingi oleh kaitan bentuk Musnad apapun.12

Penyajian hadis dalam al-Musnad dikelompokkan berdasarkan nama sahabat

Nabi Saw yang bertindak sebagai perawi utamanya dan disusun berdasarkan

sistematika sebagai berikut:

a. Hadis yang transmisi periwayatannya melalui 10 sahabat Nabi Saw yang telah diberitakan prospek pribadinya oleh Rasulullah sebagai penghuni

surga yaitu, Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Ustman Ibn Affan,

Ali Ibn Abi Thalib serta Thalhah.

b. Hadis yang bersumber periwayatannya melalui sahabat Nabi Saw peserta

perang badar, prioritas penempatan hadis dari mereka berkait erat dengan

11

Arifin, Studi Kitab, 69. 12

(48)

39

informasi dari Rasulullah bahwa telah ada jaminan pengampunan masal

dari Allah Swt atas segala dosa para sahabat yang ambil bagian dalam

perang Badar. Berikut jaminan tidak bakal masuk neraka untuk mereka

contoh hadis marfu’ melalui Ja>bir Ibn Abdillah dalam sahih Muslim dan

melalui Abu> Hurairah dalam Musnad Ah}mad al-Sunnah Abu> Dawu>d.

Hadis-hadis yang dimaksudkan melibatkan 313 sahabat dengan perincian

80 orang sahabat Muhajirin dan sisanya dari kalangan Ans}a>r.

c. Hadis yang perawi utamanya adalah para sahabat yang mengikuti

peristiwa Baitur Ridwan dan S}ulhul Hudaibiyah.

d. Hadis-hadis yang bersumber periwayatannya melalui para sahabat Nabi yang proses ke-Islamannya, pribadinya bertepatan dengan Fathu Makkah.

e. Hadis-hadis yang periwayatannya bersumber melalui para Ummahatul Mu’minin ( janda-janda mendiang Nabi Muhammad Saw).

f. Hadis-hadis yang periwayatannya melalui para wanita Shahababiyah.13

Berdasarkan sistematika al-Musnad semacam itu maka

pengelompokan hadis tidak terkait unsur materi yang dikandung matan

hadis yang bersangkutan dan bagi pencari hadis koleksi Imam Ah}mad Ibn H}ambal harus tahu persis nama sahabat Nabi yang meriwayatkannya.

Al-Musnad Imam Ah}mad Ibn H}ambal pernah dipublikasikan dengan

modifikasi baru yakni dengan sistematika huruf hujainah oleh inisiatif

al-H}afiz} Abu> Bakar al-Muqaddisi ) seorang pemuka ulama’ madhab H}ambali). Format terahir justru modifikasi yang mengelompokkan

13

(49)

40

masing-masing hadis berdasar atas kesatuan materi ajuan dan disusun

mengikuti sistematika bab-bab seperti kitab fiqh. Modifikasi terahir

dikerjakan oleh Ibn Abd al-Rahman al-Banna ( lebih dikenal dengan

panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahinya dengan title kitab “

Bulughul Amani’, dia tergolong ulama’ abad 14 H dan meninggal pada

tahun 1351 H14

C. Derajat al-Musnad dalam Deretan Kutubul Hadis

Tekad Ima>m Ah}mad Ibn H}ambal adalah mengupayakan koleksi hadis yang

berpotensi sebagai berbekal tekad dan itu pula dilakukan penelitian seksama agar

setiap hadis dalam al-Musnad bermutu sahih. Atas dasar penegasan Ima>m Ah}mad

itulah Abu> Musa al-Madini pesimis memandang setiap hadis berkelayakan

dijadikan hujjah. Penilaian serupa pernah dinyatakan oleh Jalaluddin al-Suyuti

sedikit moderat adalah sikap al-H}afiz} Ibn Hajar al-Asqalani> yang hasil

penelitiannya berakhir dengan kesimpulan bahwa dari sejumlah 40.000 hadis

al-Musnad hanya ada 3 atau 4 hadis yang belum diketahui secara pasti sumber

pengoperannya riwayat-riwayatnya dengan ungkapan lain bermutu sahih dan

hadis d}a’i>f dalam strata mendekati hasan li-ghoirihi.15

Berbeda dengan sikap ulama al-Baqa’i menunjuk sejumlah hadis ( tanpa

menyebut dengan pasti berapa banyaknya) dalam al-Musnad yang dianggap

Maudhu’. Demikian pula dengan al-H}afiz} al-Iraqi menuduh 9 hadis Maudhu’

sedangkan Ibn Jazuli mengkalaim 29 hadis maudhu’ dalam kitab al-Musnad

Ah}mad Ibn H}ambal. Bila ditelusuri ulang koleksi hadis dalam al-Musnad yang

14

Arifin, Studi Kitab,72. 15

(50)

41

bermateri fada>il al-a’mal terasa adanya pola pelanggaran dalam sistem seleksi

pemuatannya, padahal Imam Ah}mad Ibn H}ambal dikenal moderat dalam tradisi

menilai jarh} atau ta’dil para personalia para pendukung riwayat hadis.16

Referensi

Dokumen terkait