BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kajian mengenai bahasa menjadi suatu kajian yang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Dikarenakan bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bahasa adalah alat komunikasi manusia untuk menyampaikan ide,gagasan, ataupun pesan kepada orang lain.
Menurut Kridalaksana (2001:21), “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh para anggota suatu masyakarat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengindetifikasikan diri”. Dengan kata-kata lain, bahasa wujudnya ada bersamaan dengan wujudnya manusia itu sendiri, baik manusia sebagai indivindu maupun manusia sebagai masyarakat.
Konsep bahasa tidak berkaitan dengan kehidupan hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda. Hal ini sesuai pula dengan peranan dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Dibandingkan dengan makhluk lain, hanya manusia saja yang mampu menambah peradapan kemajuan dengan memakai bahasa.
Kemampuan manusia dalam mengelola kemajuan memungkinkan munculnya konsep kebudayaan dan tamadun. Konsep kebudayaan bertitik tolak dari kata budi yang merujuk kepada akal (Kamus Dewan Edisi Keempat 2005), yaitu, segala aktivitas manusia yang secara kreatif dan inovatif menghasilkan kebudayaan tertentu.
Eufemisme erat kaitannya dengan tradisi lisan, sebab tradisi lisan memiliki aspek sosial dan aspek budaya di dalamnya. Sedyawati, “Kedudukan tradisi lisan dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya’’, (warta ATL, edisi 11 maret 1996 hal 5-6) kekhasan tradisi lisan (eufemisme) ini terletak pada penampilannya yang mempersatukan penutur atau pemain dengan penikmat atau penontonnya dalam ruang dan waktu dan tempat yang sama. Eufemisme juga mempertemukan fenomena interaktif antara tradisi lisan dan masyarakatnya (Sejarah kebudayaan Indonesia, 2012:65)
Masyarakat Melayu merupakan etnis terbesar di Provinsi Riau. Masyarakat ini menggunakan bahasa Melayu Riau (selanjutnya disingkat dengan BMR). Masyarakat Melayu Riau mengenal bahasa eufemisme sejak bercampurnya agama Hindu Budha bersamaan dengan kedatangan Islam di perairan nusantara,melahirkan berbagai bahasa yang dipergunakan secara halus oleh masyarakat demi menjaga keutuhan berbudaya dalam kehidupan sehari-hari.Kedatangan orang Barat ke nusantara juga turut membawa pikiran-pikiran baru. Setahap demi setahap diserap oleh bahasa Melayu setelah pendidikan modern diperkenalkan pada abad ke-19 oleh penutur dan pemakai bahasa (Ridwan, 1997:490).
Halim (1976) mengatakan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa daerah tidak saja bertujuan menjaga kelestarian bahasa daerah tersebut, tetapi juga bermanfaat bagi pembinaan, pengembangan, dan pembakuan, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pembinaan bahasa nasional tidak bisa dilepaskan dari pembinaan bahasa daerah, karena kedua-duanya mempunyai hubungan timbal balik yang erat.
Bahasa daerah Melayu yang ada di Provinsi Riau berfungsi sebagai alat komunikasi bagi masyarakat setempat. Selain sopan santun yang tinggi, masyarakat Melayu Riau sangat menjunjung tinggi adat-istiadat yang diwarisi secara turun-temurun sehinggga dalam kepercayaan masyarakat Melayu Riau dapat dijumpai hal yang ditabukan atau tidak boleh dilanggar, hal ini diyakini akan mendatangkan malapetaka jika dilanggar pantang atau tabu tersebut. “,Eufemisme merupakan penggunaan kata untuk menghindari hal-hal yang kurang menyenangkan, kata-kata yang jika digunakan menurut yang sebenarnya terkesan kasar atau untuk menghindari pemakaian kata-kata yang tabu,” (Faridah,2002:4).
Budaya Melayu sebagaimana halnya dengan budaya lain di Indonesia mempunyai budaya yang cenderung untuk tidak langsung, berputar-putar terlebih dahulu baru masuk ke titik persoalan. Panjang-panjang dahulu baru sampai ke tujuan(Siregar,1996:94)
Sibarani (1998:30) mengatakan bahwa orang Melayu itu dalam berbicara biasanya dicari kata-kata yang cocok dan pantas untuk diungkapkan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Sibarani selanjutnya yang mengatakan bahwa orang Melayu menggunakan pikiran dahulu sebelum berbicara. Etnis Melayu berpikir dengan menggunakan perasaan, dan itu yang paling mulia.
Faridah (2002:5) berpendapat bahwa suku Melayu suka menyuruh orang lain lebih dalam berpikir dengan mendengarkan kata-kata yang sedikit untuk mencari tafsirannya sendiri.
1.2 Perumusan Masalah
Sugiono (2008:52) menyatakan, “Setiap penelitian yang akan dilakukan harus berangkat dari masalah.” Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tipe-tipe eufemisme dalam BMR? 2. Apakah fungsi eufemisme dalam BMR ?
3. Apakah makna eufemisme dalam BMR ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian sebagai berikut
1. Mengetahui tentang tipe-tipe eufeumisme dalam BMR. 2. Mendeskripsikan fungsi eufemisme dalam BMR. 3. Mendeskripsikan makna eufemisme dalam BMR.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat yang besar. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai referensi kepustakaan khususnya dalam bidang linguistik.
2. Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat memiliki konsep pola pikirilmiah.
3. Dapat memberikan informasi tentang ragam eufemisme dalam BMR. 4. Menjaga kelestarian bahasa daerah.