PROPOSAL DISERTASI
TRADISI BERSYAIR ARAB MASYARAKAT MUSLIM PAMEKASAN (PENDEKATAN RESEPSI ESTETIK)
Oleh:
UMAR BUKHORY (NIM. 09.31.736/ S3)
PROGRAM PASCASARJANA (S3) UIN SUNAN KALIJAGA
A. Latar Belakang
Tradisi bersyair Arab dalam masyarakat Madura tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perkembangan tradisi bersyair dalam masyarakat Arab sendiri sebagai penutur asli (native speaker) sejak era jahiliyyah dan masyarakat Madura sebagai penutur bilingual, atau bahkan multilingual, dengan berkembangnya penggunaan berbagai jenis bahasa dalam tradisi Madura, seperti bahasa Arab, Indonesia dan Jawa.
Dalam konteks al-Adab al-Jâhilî, perkembangan syair Arab telah mencapai kemajuan yang luar biasa sejak era pra-Islam.1 Fakta bahwa masyarakat Arab-Islam
telah memiliki tradisi bersyair tampak pada dialog antara Nâfi' bin al-Azraq dan Najdah ibn 'Umayr di masa awal Islam untuk menguji kemampuan 'Abdullah ibn 'Abbâs di bidang Tafsir al-Qur'an. Keduanya sengaja merancang beberapa pertanyaan yang meragukan fakta bahwa bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab
Fushâ. 'Abdullah ibn 'Abbâs menjawab pertanyaan keduanya dengan bukti-bukti yang dikutip dari syair-syair Arab Jahiliyyah guna membuktikan bahwa kata-kata yang digugat/dipertanyakan benar-benar berasal dari bahasa Arab Fusha.2 Fakta
sejarah di atas membuktikan bahwa Islam dengan al-Qur'an sebagai kitab sucinya dapat dipahami dan ditafsirkan secara benar melalui peran syair-syair Arab klasik
1Bandingkan Adonis, An Introduction to Arab Poetics, Catherine Cobham (English Trans.),
(London: Saqi Book, 1990), p. 13-34; ‘Ali ‘Abdul Wâhid Wâfî, Fiqh al-Lughah, (Mesir: Nahdlah Misr, 2004, cet. iii), h. 89-91; Ramadlân ‘Abd. Al-Tawwâb, Fushûl fî Fiqh Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khânijî, 1999, cet. vi), h. 111; ‘Abd al-Hamîd Mahmûd, Hasan H. Hasan dan ‘Abd al-Mun’im al-Khafâjî, al-Adab al-‘Arabî Bayn al-Jâhiliyyah wal Islâm, (Kairo: al-Mathba’ah al-Munîriyyah, 1955), h. 126-159.
2Sumber awal dialog tersebut adalah edisi ke-36 dari Itqân fî 'Ulûm Qur'an karya
masa Jahiliyah,3 yang dihasilkan pada 200 tahun sebelum hijrah (SH),4 atau 50 s/d
100 tahun sebelum Islam datang.5
Adapun dalam tradisi masyarakat Madura, tradisi bersyair juga berkembang sejak lama, yang ditunjukkan dengan kekayaan tradisi lisan berbentuk syair dan kata-kata mutiara, atau yang dikenal dengan istilah parébasan (peribahasa), saloka
(Tamsil atau perumpamaan), paparéghan (sejenis gurindam), syiiran (syair),
kéjhung (kidung) dan beberapa istilah lainnya. Mien A. Rifa’i menyebutkan bahwa istilah-istilah tersebut menjadi semacam seni suara yang diperuntukkan bagi anak-anak maupun dewasa. Isinya bisa berhubungan dengan permainan, teka-teki, olok-olok jenaka, bahkan ada juga yang mengandung nasihat dan sistem nilai tertentu.6
D. Zawawi Imron juga menyebut genre sastra lisan Madura lama, seperti
Dungngeng (Dongeng), Lo’ Alo’ (Sajak Kerapan Sapi tanpa lawan), puisi mainan anak-anak dan puisi ritual.7 Ada pula karya sastra tulis bergenre puisi dan terkenal
disukai masyarakat adalah puisi macapat, yang mirip dengan macapat Jawa,8
3Kathleen Kuiper (Ed.), Islamic Art, Literature and Culture, (New York: Brittanica Educational
Publishing & Rosen Educational Services, 2010), p. 57-61; Thâhâ Husayn, Fî al-Syi’r al-Jâhilî, (Tûnis: Dâr al-Ma’ârif li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr, 1926); Abdullah El-Tayyib, “Pre-Islamic Poetry” dalam AFL. Beeston et.al. (Eds.), The Cambridge History of Arabic Literature; Arabic Literature to the End of the Umayyad Period, (New York: Cambridge University Press, 1983), h. 27-36; Muhsin J. Al-Musawi, Arabic Poetry; Trajectories of Modernity and Tradition, (New York: Routledge, 2006), p. 1-3.
4Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î, Târîkh Âdâb al-‘Arab; al-Juz al-Tsâlits, (Beirut: Dâr al-Kitâb
al-‘Arabî, 1974), h. 17-21.
5 Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, Naqd al-‘Aql al-‘Arabî (1); Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut:
Markaz Dirâsât Wihdah ‘Arabiyyah, 1989, cet. iv), h. 48-49; Muhammad Tawfîq Abû ‘Alî, al-Amtsâl al-‘Arabiyyah wa al-‘Ashr al-Jâhilî; Dirâsah Tahlîliyyah, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1988), h. 71; Ahmad Hasan Zayyât, Târîkh al-Adab al-‘Arabî li al-Madâris al-Tsânawiyyah wa al-‘Âliyah, (Kairo: Dâr Nahdlah Mishr, t.t.), h. 28-29; Hannâ al-Fâkhûrî, al-Jâmi’ fî Târîkh al-Adab al-‘Arabî; al-Adab al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Jayl, 1986), h. 129-163; Syawqî Dlayf, Târîkh al-Adab al-‘Arabî I; al-‘Ashr al-Jâhilî, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1960, cet. xxii), h. 183-231; Irfan Shahid, “Arabic Literature” dalam P.M. Holt et.al. (Eds.), The Cambridge History of Islam; Vol. 2B, Islamic Society and Civilization, (London, New York, Melbourne: Cambridge University Press, 1977), p. 657-668.
6Mien A. Rifai, Manusia Madura; Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan dan
Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), h. 59-60.
7D. Zawawi Imron, “Sastra Madura: Yang Hilang Belum Berganti”, dalam Huub de Jonge (Ed.),
Agama, Kebudayaan dan Ekonomi; Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 181-205.
8Seperti (Kénanté atau Salangét, Pocong, Kasmaran, Méjil, Maskumambang, Pangkor, Sénom,
Makalah-dengan berbagai jenis dan macamnya.9 Karya-karya tersebut secara etik (outsider
approach) membentang sejak abad ke-19 s/d sekarang.10
Sebagai penutur multi-lingual, orang Madura telah mengenal bahasa Madura sebagai bahasa ibu (lingua franca) dan bahasa Arab sebagai bahasa ritus (bahasa dalam beribadah dan mempelajari Islam), jauh sebelum bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan. Selain itu, bahasa Jawa juga lebih dahulu dikenal oleh kalangan pesantren tradisional sebagai bahasa sasaran untuk menterjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab,11 karena para
pengajarnya mempelajari metodologi model tersebut di pondok-pondok pesantren di pulau Jawa. Bahkan, salah satu metodologi pembelajaran yang digunakan di pondok-pondok pesantren tradisional adalah mengkaji dan menghafal materi-materi keislaman melalui media bersyair. Beberapa kitab-kitab untuk santri pemula ( al-Mabsûthât), seperti Safînatun Najâ, ‘Aqîdatul ‘Awâm, Hidâyatus Shibyân dan lain sebagainya disusun dengan menggunakan nadzaman (Syair Arab), agar lebih mudah dihafal.12 Di dunia pesantren, manifestasi tematik tersebut telah menembus
kesadaran ilmiah umat Islam sejak abad ke-16 M.13
Tradisi pesantren tersebut berlangsung turun temurun dan terus dilestarikan hingga ke luar ruang lingkup pesantren. Fakta yang tidak dapat ditolak adalah kendati mayoritas orang Madura memeluk Islam, namun mayoritas di antara
makalah Seminar 1979, (Malang: Proyek Penelitian Madura, 1980), h. 7-38.
9IC. Sujarwadi, “Seni Macapat Madura”..., h. 196-215.
10Suripan Sadi Hutomo memetakannya dalam tiga periode, yakni: a) karya sastra s/d tahun 1908,
b) karya sastra dari tahun 1908 s/d 1945 dan c) karya sastra dari tahun 1945 s/d sekarang. Lihat Suripan Sadi Hutomo, “Wajah Kesusastraan Madura I-II”, Majalah BASIS, Ed. Mei 1991 XL No. 5, h. 195-196.
11Selain bahasa Jawa, bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa sasaran untuk
menterjemahkan kitab klasik berbahasa Arab. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999, cet. 3), h. 27, 112-114; Bruinessen juga menyertakan tabel jumlah karya terjemahan kitab klasik berbahasa Arab ke dalam beberapa bahasa lokal lainnya dalam Ibid., h. 134. Lihat juga Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), h. 147-149.
12Data selengkapnya tentang format teknis kitab-kitab tersebut, baca Ibid., h. 141. Lihat pula
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994, cet. II), h. 12-13 & 170-171.
13Fadlil Munawwar Manshur M.S., Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam,
mereka lebih hafal Barzanji daripada al-Qur’an sebagai kitab suci mereka, karena syair-syair Arab dalam Barzanji lebih sering dibaca dalam beberapa acara-acara adat dan dipandang sebagai bagian dari “ibadah”.14
Pada dasarnya, sistem nilai dan ajaran Islam telah menjadi bagian dari identitas kemaduraan. Selain dibuktikan dengan fakta bahwa mayoritas orang Madura adalah muslim, sistem nilai dan ajaran Islam juga menjadi jiwa dalam kehidupan orang Madura, meresap ke dalam akar budayanya dan menjadi pedoman hidup sehari-hari. Salah satu buktinya tampak dalam falsafah Buppa’ Babu’ Guru Rato dalam tradisi Madura yang mencerminkan hirarki penghormatan yang dimulai dari Ibu, Bapak, Guru (‘Ulama)15 dan Raja (Pemerintah),16 atau tampak juga dalam
filosofi abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah, yang berarti berbantalkan syahadat, berselimut iman dan berpayung Allah.17 Kedua falsafah tersebut menjadi
cermin dari penjiwaan orang Madura terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Maka, adalah aneh, jika di Madura terdapat seseorang yang memeluk agama selain Islam, kecuali jika yang bersangkutan adalah keturunan (peranakan) Cina yang notabene memeluk agama katholik, kristen, hindu atau budha.
Karena itu, keberislaman bisa dikatakan menjadi bagian dari identitas orang Madura dan bahkan, bisa sampai pada tingkatan fanatik.18 Fanatisme tersebut
tampak dalam planologi tradisional tempat tinggal orang Madura, yang terkenal dengan filosofi taneyan lanjhang (secara harfiyah, bermakna halaman panjang), yang menempatkan kobhung (semacam musholla pribadi)19 sebagai salah satu
bangunan wajib di bagian barat halaman, kendati tidak jauh dari tempat tinggal
14Kitab karya Ja’far al-Barzinji ini lebih sering dibaca, karena berisi cerita kelahiran nabi dan
perjalanan mi’rajnya ke langit. Seleengkapnya, baca Karel A. Steenbrink, Pesantren…h. 168.
15Sunyoto Usman, “Citra Status Sosial Kiyai; Studi Kasus di Palenga’an, Madura” dalam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura V; Kumpulan Makalah Lokakarya Penelitian Sosial Budaya Madura, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Pendidikan Tinggi, 1980), h. 232-242.
16Mien Ahmad Rifai, Lintasan Sejarah Madura, (Surabaya: Y. Lebbur Legga, 1993), h. 26. 17Mohammad Tidjani Jauhari, Membangun Madura, (Jakarta: Taj Publishing, 2008), h. 83-88. 18Muh. Syamsuddin, “Seksualitas dalam Kehidupan Kaum Blater”, Jurnal Penelitian Agama, Vol.
xvi, No. 3, September-Desember 2007.
mereka terdapat masjid di tingkat desa. Keberadaan kobhung berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus simbol ketaatan pemiliknya terhadap Islam dan tempat untuk melakukan transformasi nilai budaya Madura antar generasi.20
Selain itu, secara sosiologis, orang Madura pada umumnya lebih mengenal pondok pesantren daripada sekolah formal, dan hampir semua anak di Madura pernah belajar mengaji di langgar (masjid), pesantren atau madrasah. Hal ini terbukti dengan maraknya orang-orang tua yang mengirimkan anaknya untuk
mondok, walau belum tentu mereka mengenyam pendidikan formal. Akibatnya, tidak sedikit orang Madura yang fasih membaca huruf Arab, namun tidak dapat membaca huruf latin. Berdasarkan data yang dikumpulkan LP3ES (1974), M. Dawan Rahardjo menyebutkan bahwa prosentase melek huruf Arab masyarakat Madura adalah 60 % dan huruf latin 50 %. Sementara jumlah madrasah dan pondok pesantren adalah 2271 buah berbanding jumlah sekolah umum adalah 731 buah.21
Karena itu, masyarakat Madura lebih percaya pada pemimpin informal (baca: kiyai) dibandingkan pemimpin formal (baca: birokrat).22 Maka, jika seseorang ingin
membangun Madura dari aspek apapun, mau tidak mau, dia harus melibatkan peran kiyai dan pondok pesantren,23 karena faktor sentralitas fungsi yang mereka miliki di
tengah-tengah masyarakat Madura.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis berkeinginan untuk meneliti persoalan tersebut dengan judul, “TRADISI BERSYAIR ARAB MASYARAKAT MUSLIM PAMEKASAN (PENDEKATAN RESEPSI
ESTETIK).
20Tentang makna dan fungsi kobhung bagi masyarakat Madura, baca Nor Hasan, Saiful Hadi &
Umar Bukhory, Kobhung dan Transformasi Nilai Budaya Masyarakat Madura, (Pamekasan: X-Press, 2009), h. 77.
21M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1995, cet.
V), h. 27.
22Andang Subaharianto et.al., Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur,
Menjunjung Leluhur, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), h. 34 & 75.
B. Batasan dan Permasalahan Riset
Berdasarkan latar belakang di atas, kajian disertasi ini terfokus untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: (1) Apa saja syair Arab yang digunakan masyarakat Pamekasan dalam mengekpresikan keberislaman mereka? (2) Bagaimana tradisi bersyair Arab masyarakat Muslim Pamekasan tersebut dipraktekkan dalam konteks keberislaman? (2) Bagaimana pola resepsi masyarakat Muslim Pamekasan dalam membaca dan menulis syair Arab?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui syair-syair Arab yang digunakan masyarakat Pamekasan dalam mengekpresikan keberislaman mereka.
2. Mengungkap praktek dari tradisi bersyair Arab masyarakat Muslim Pamekasan tersebut dalam konteks keberislaman
3. Mengetahui pola resepsi masyarakat Muslim Pamekasan tersebut dalam membaca dan menulis syair Arab.
D. Signifikansi atau Manfaat Penelitian
Dengan mengacu pada permasalahan riset dan tujuan penelitian di atas, maka signifikansi atau manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain: 1. Menjadi salah satu bentuk revitalisasi dan penggalian khazanah keislaman
pesantren secara lebih mendalam dalam konteks studi kawasan Islam Periphery
(Pinggiran), satu jenis kajian yang masih jarang dilakukan orang. Prinsip al-Muhâfadzah ‘alâ al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhdz bi al-Jadîd al-Ashlah
bahasa Arab yang beraksentuasi pada kitab klasik24 dalam disiplin ilmu Alat,
seperti Nahwu, Sharraf dan Balaghah.
2. Untuk memperoleh gambaran yang lebih terperinci tentang tradisi bersyair Arab dalam konteks keberislaman masyarakat muslim Pamekasan, termasuk pola dan proses pengembangannya yang dilakukan oleh semua pihak dalam kerangka motivasi keberislaman. Kendati syair Arab pada mulanya lebih dipahami sebagai salah satu strategi pembelajaran di internal dunia pesantren, namun dengan melihat kedekatan hubungan emosional antara kiyai dan santrinya yang berlangsung hingga periode setelah menempuh pendidikan, maka pengembangan tradisi bersyair Arab hingga ke luar dunia pesantren sangat terbuka. Jika di pesantren lebih menekankan pada materi hafalan atas beberapa kitab yang disusun dalam genre nadhoman, maka di luar pesantren, penggunaan syair Arab berposisi sebagai bagian integral dari ibadah sehari-hari dan ekspresi dalam mengamalkan ajaran tasawwuf, seperti sebagai wiridan
sebelum datangnya waktu shalat dan momentum yang lain, sekaligus sebagai ekspresi seni dan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Madura.
Karena itu, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi pengembangan penggunaan syair Arab, tidak hanya di kalangan pondok pesantren saja secara khusus, namun juga para alumninya dan masyarakat Madura secara umum, sesuai dengan fungsinya sebagai media pembelajaran ilmu-ilmu keislaman di pesantren, sebagai ungkapan ritual dan tasawwuf sekaligus media mengekspresikan kesenian secara Islami.
E. Tinjauan Pustaka (Prior Research)
24Judul dan pengarang buku-buku dalam disiplin Ilmu alat yang diajarkan di dunia pesantren,
Penelitian tentang Madura telah banyak dilakukan orang, baik para
insiders (orang Madura sendiri) dan outsiders (Orang dari luar Madura dan orang asing). Dari kalangan orang Madura sendiri antara lain:
Mien A. Rifai, Manusia Madura; Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja,
Penampilan dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007).
Sebagaimana judulnya, buku ini menguraikan secara historis-filosofis tentang bagaimana terpaan lingkungan alam yang kurang bersahabat membentuk sekelompok manusia yang bermukim di pulau Madura selama kurang lebih 4000 tahun, termasuk pembawaan, watak, sifat perilaku, tindak tanduk, etos kerja, penampilan, pandangan dunia, perjuangan hidup dan keseluruhan sikap kepribadiannya. Keseluruhan unsur kemanusiaan tersebut dibahas dengan menguraikan berbagai peribahasa dan terminologi kebahasaan dan kesusastraan yang berkembang dalam budaya Madura secara panjang lebar. Peradaban dan budaya Madura tersebut dipandang ikut serta menggariskan sejarah pulau Madura sekaligus tipikalitas karakteristik kemaduraan penghuninya.
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater
Sebagai Rezim Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004)
proses kultural berlabel Islamisasi, melalui media langghar, masjid, madrasah, pondok pesantren dan tradisi keberagamaan lainnya, sedangkan blater
membangun relasi kuasanya melalui kriminalisasi, seperti media carok. Sedangkan dari kalangan outsiders antara lain:
Hélèn Bouvier, Lébur; Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura,
(Jakarta: Forum Jakarta-Paris, Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan & Yayasan Obor Indonesia, 2002).
Karya ini merupakan hasil penelitian Antropologi Seni dan Musik yang dilakukan penulisnya pada dekade 1980-an. Di dalamnya, tercakup tema-tema tentang musik, instrumen dan orkes, genre kesenian, teknik pertunjukan dan kondisi kegiatan kesenian orang Madura, dengan sampling area penelitian Madura Timur (Kab. Sumenep). Beberapa bagian babnya menguraikan tentang bagaimana budaya Arab terserap dalam bentuk musik, bagaimana kesenian Islam dilakukan oleh para pelakunya serta bagaimana unsur Agama (baca: Islam) membentuk perilaku masyarakat seni yang mewujud dalam genre seni yang bersifat sakral (suci dan berbau keagamaan) atau profan.
Dalam membicarakan tentang dialektika antara agama dan seni, Bouvier menyatakan bahwa penduduk Madura bagian timur cenderung memiliki ketaatan yang paling longgar pada kaidah agama, jika dibandingkan dengan daerah Madura yang lain, karena berbagai indikasi pada penelitian sebelumnya, seperti Jordaan (1985), Niehof (1985) dan Mansurnoor (1990) menegaskan bahwa bagian Madura agak ke barat (Pamekasan) mencerminkan gambaran yang cenderung lebih ortodoks.
Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang Perkembangan
Ekonomi dan Islam, (Jakarta: Gramedia, KITLV & LIPI, 1989)
keberagamaan dan pedagang sebagai pelaku ekonomi. Secara spesifik, Jonge menyebutkan bahwa penelitian ini adalah penelitian Antropologi Ekonomi, dengan pendekatan historis. Di dalamnya, diuraikan bagaimana pedagang dan pengusaha (khususnya pebisnis tembakau) mendukung peran sosial kiyai sejak Madura mulai terbuka pada dunia luar pada paruh kedua abad ke-19. Uraian juga mencakup bagaimana peran sentral tanaman tembakau dan perikanan sistem
bagan bagi tumbuhkembangnya perekenomian masyarakat Madura secara historis, khususnya di daerah –yang disebutnya dengan- Parindu.
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999, cet. iii)
Buku ini dapat dipandang sebagai salah satu hasil penelitian terbaik tentang perkembangan pesantren di Indonesia. Dengan melihat dari sistematika pembahasannya, peneliti berasumsi bahwa dalam perkembangan Islam di Indonesia, terdapat hubungan eksistensial antara perkembangan pendidikan tradisional Islam di Indonesia, termasuk kitab kuning di dalamnya, dengan perkembangan ajaran tarekat dan tasawwuf di Indonesia. Data-data yang dikumpulkan oleh peneliti tentang kitab kuning sebagai bahan ajar utama di pesantren disusun secara sistematis berdasarkan kandungan ilmu-ilmu keislaman dalam masing-masing kitab serta dikombinasikan secara baik dengan data ketersambungan guru yang menjadi core ajaran tasawwuf. Daftar nama-nama kitab kuning tersebut, hingga sekarang masih digunakan di hampir seluruh pesantren tradisional di Jawa ataupun Madura. Pada salah satu babnya, peneliti juga membahas secara khusus tentang perkembangan tarekat di pulau Madura.
keberagamaan mereka, yang secara historis memiliki pemahaman awal tentang tradisi bersyair dalam bahasa ibu-nya, yakni bahasa Madura. Selain itu, penelitian ini juga berkeinginan untuk mengungkap lebih jauh tentang peran sosial kiyai sebagai pemegang otoritas keberagamaan (baca: Keberislaman) yang menggunakan syair Arab sebagai media pendekatan kultural kepada masyarakat Madura. Di balik semua itu, relasi sosial yang terjalin antara berbagai kekuatan dalam masyarakat Madura tidak bersifat dikotomis (kembar), sebagaimana dipaparkan Abdur Rozaki antara Kiyai dan Blater, namun sebenarnya bersifat trikotomis, karena ada peran seniman sebagai “penjaga gawang” kebudayaan Madura, yang telah melebur dengan nilai-nilai keislaman.
F. Kerangka Teori
a. Teori Bilingualisme (Kedudukan Bahasa Arab bagi masyarakat Madura) Sepanjang sejarah perkembangannya, bahasa Arab tidak hanya dikenal sebagai bahasa komunikasi bagi penuturnya, namun juga dikenal sebagai bahasa kitab suci (baca: bahasa Qur’an) dan bahasa liturgi dalam studi agama. Karena al-Qur'ân sebagai kitab suci umat muslim diturunkan dalam bahasa Arab.25 Bahkan,
ada yang menyebutkan bahwa Islam dan bahasa Arab merupakan dua hal yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.26 Al-Faruqi menyebutkan
bahwa dewasa ini, bahasa Arab telah menjadi bahasa daerah sekitar 150 juta orang di Asia Barat dan Afrika Utara. Di bawah Islam, ia menyumbang 40-60% bahasa Persia, Turki, Urdu, Melayu, Hausa dan Swahili, serta kuat pengaruh tata bahasa dan sastranya, termasuk bagi bahasa Indonesia dan sebagian bahasa daerahnya. Ia juga merupakan bahasa agama satu milyar umat Islam se-dunia yang terucap dalam ibadah sehari-hari dan bahasa kebudayaan Islam yang
25Al-Qur’an menyebutkan bahwa wahyu (data revelata) quranik diturunkan dalam bahasa Arab
dengan cara menyebut kata ‘arabîy sebanyak 14 kali. Lihat Mudjia Rahardjo & Kholil R., Sosiolinguistik Qurani, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 35-36.
26‘Abduh al-Râjihî, ‘Ilm al-Lughah al-Thathbîqiyyah wa Ta’lîm al-‘Arabiyyah, (Riyâdl: Jâmi’ah
diajarkan di ribuan sekolah di luar dunia Arab. Dari Senegal di Afrika hingga Filipina di Asia Tenggara, bahasa Arab dipakai sebagai pengantar dalam pengajaran, sastra, pemikiran, sejarah, etika, hukum dan fiqh, teologi dan kajian kitab.27
Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Madura pada sekitar abad XIV-XV M dan dianut oleh mayoritas penduduknya, sehingga karenanya, bahasa Arab sebagai bahasa ritus dan liturginya juga dipelajari, serta pada gilirannya memberi sumbangan yang tidak sedikit ke dalam bahasa Madura. Mien A. Rifai menyebutkan contoh yang membuktikan sejauh mana keterpengaruhan (baca: penyerapan) bahasa Madura dari kosa kata bahasa Arab, baik yang berkaitan dengan aspek keagamaan (baca: keislaman), seperti makam, molod, makhlok, modin, masegit dan sebagainya, maupun aspek yang lebih bersifat umum, seperti
maksod, ma’lum, martabhat, mohal dan lain sebagainya. Keterpengaruhan bahasa Madura oleh bahasa Arab tersebut juga tampak dalam penyebutan nama-nama bulan (khususnya bulan Qamariyah), nama orang dan berbagai bidang lainnya.28 Bahkan, keterpengaruhan tersebut juga tercermin dalam cara
pemanggilan seseorang yang didasarkan pada nama anak sulung, seperti pola yang digunakan dalam bahasa Arab, misalnya eppa’na Bakar (biasanya disingkat Pa’en Bakar), kaina Bakar, atau emma’na Bakar (Man Bakar) yang serupa dengan Abu Bakar dalam bahasa Arab.29
Dari sisi kesenian, Jamal D. Rahman menyebutkan bahwa Islamisasi di Madura secara kultural cenderung relatif “tuntas”. Lingkungan budaya pesantren di Madura merupakan tempat bagi berkembangnya beragam jenis kesenian yang bersumber dari tradisi Islam dengan menggunakan bahasa Arab atau Daerah (Madura) sebagai bahasa pengantar, seperti syi’ir (sastra), diba’, hadrah,
27Ismail Raji & Lois Lamya' Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban
Gemilang, Ilyas Hasan (terj.), (Bandung: Mizan, 1998), h. 59.
gambus, samroh (musik), samman, ruddad, zaf (tari), dan drama al-Badar (teater). Akarnya tertanam jauh di jantung kebudayaan Islam, baik isi ataupun bentuknya serta mengalami transmisi ke lingkungan budaya Madura lewat berbagai jalan, yaitu pendidikan, budaya, dan tasawuf (tarekat). Syi’ir diajarkan di pesantren-pesantren melalui contoh-contoh puisi karya para ulama terkenal. Karenanya, bentuk syi’ir Madura terasa lebih akrab dibanding pantun atau puisi bebas bagi masyarakat di lingkungan budaya pesantren.30
b. Teori Resepsi Estetik
Karena obyek yang diteliti adalah pembacaan dan penulisan syair Arab oleh orang Madura, maka peneliti menggunakan pendekatan resepsi estetik (selanjutnya: disebut teori resepsi), sebuah pendekatan yang mementingkan peran pembaca dalam pemaknaan teks.31 Dalam sejarah teori sastra modern,
pendekatan resepsi merupakan tahap terakhir dari pergeseran kecenderungan era kritisisme baru yang berpusat pada teks menuju sisi pembaca. Karena itu, pendekatan ini bersifat dinamis dan mengandung dimensi yang membangun karya itu sendiri dari pemahaman pembaca potensialnya, termasuk bayangan tentang untuk siapa karya itu ditulis.32 Dalam konteks teori kontemporer, hal
tersebut paling tidak berimplikasi pada dua hal, yakni: a) pembalikan fundamental dari dimensi legitimasi penulis sebagai pencipta pertama kepada penerimaan pembaca sebagai pencipta kedua, b) pergeseran pemahaman
30Jamal D. Rahman, “Islam, Madura dan Kesenian; (Pengalaman dan Kesan Pribadi)”, Makalah
dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Madura di Sumenep, 9-11 Maret 2007.
31Sangidu, Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat, (Yogyakarta: Seksi
Penerbitan Sastra Asia Barat FIB UGM, 2007, cet. iii), h. 20-21; Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies; Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. ii), h. 203-204.
32Terry Eagleton, Teori Sastra; Sebuah Pengantar Komprehensif (Edisi Terbaru), Harfiah
(shifting understanding) dari pembaca individual ke pembaca transindividual, atau dari subyek tunggal ke subyek kolektif (intersubyektif).33
Bersama semiotika dan interteks, estetika resepsi berkembang pada era post-strukturalisme. Bahkan, ada yang menyebut bahwa teori estetika resepsi lahir sebagai reaksi terhadap positivisme,34 dengan akar sejarah yang panjang,
karena telah dibicarakan oleh Aristoteles (dalam Poetica) dan Horatius (dalam
Ars Poetica).35 Robert C. Holub menyebutkan lima tradisi yang berpengaruh
besar pada perkembangan teori resepsi, yakni: a) Formalisme Rusia, b) Strukturalisme Praha (J. Mukarovsky & F. Vodicka), c) Fenomenologi Roman Ingarden, d) Hermeneutika Hans-Georg Gadamer, dan e) Sosiologi Sastra. Teori ini dominan sejak tahun 70-an, karena dua pertimbangan, yakni: a) solusi mengatasi strukturalisme yang hanya memperhatikan unsur-unsur dalam karya sastra; dan b) lahirnya empat jenis kesadaran, berupa kesadaran revitalisasi nilai kemanusiaan dalam konteks humanisme universal, kesadaran bahwa nilai karya sastra hanya dapat dikembangkan dengan kompetensi pembacanya, kesadaran bahwa keabadian karya seni disebabkan oleh pembaca serta kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambigu antara karya sastra dan pembacanya.36
Pendekatan ini mengasumsikan adanya implikasi estetik dalam hubungan antara pembaca dan teks. Menurut Jauss, implikasi estetik tersebut dapat berupa penerimaan pembaca berdasarkan bekal pembacaan atas
karya-33Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies..., h. 206. Lihat juga Umar Junus, Resepsi
Sastra: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 27-33.
34Mirriam Leonard, “History and Theory: Moses, Monotheism and Historiography” dalam Lorna
Hardwick and Christopher Stray (Eds.), A Companion to the Classical Reception, (Malden, Oxford & Victoria: Blackwell Publishing, 2008), p. 208.
35Robert C. Holub, Nadhariyyah al-Istiqbâl; Muqaddimah Naqdiyyah, Ra’d ‘Abdul Jalîl Jawâd
(terj.), (Suriah: Dâr al-Hiwâr li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1992), h. 25-68; A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya & Girimukti Pasaka, 1988, cet. ii), h. 120-123 & 183; Jan van Luxemburg et.al., Pengantar Ilmu Sastra, Dick Hartoko (terj.), (Jakarta: Gramedia, 1992, cet. iv), h. 77-78.
36Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga
karya sebelumnya, baik berupa pengetahuan maupun pengalaman yang dapat mengarahkan dan menentukan pembacaan. Selanjutnya, bekal pengetahuan dan pengalaman tersebut membangun horizon harapan pembaca dalam berhadapan dengan karya. Karena itu, horizon harapan sangat berbeda, sesuai dengan subyek pembaca dan periode waktu. Perbedaan tersebut ditentukan oleh –setidaknya-tiga kriteria, yaitu: a) norma yang terpancar dari teks yang telah dibaca, b) pengalaman dan pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya dan c) pertentangan fiksi dan kenyataan, berupa kemampuan pemahaman pembaca atas teks baru, baik dalam horizon “sempit” (harapan susastra) maupun “luas” (pengetahuan pembaca tentang kehidupan). 37
Pendekatan resepsi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat sinkronik, karena berhasrat untuk menggali informasi dengan sengaja tentang pandangan dan penilaian orang Madura atas sebuah karya dalam satu kurun waktu tertentu.38 Karenanya, pendekatan resepsi dapat bersifat aktif sekaligus
pasif pada saat yang bersamaan. Resepsi pasif berimplikasi pada produksi tradisi lisan dan resepsi aktif berimplikasi pada produksi tradisi tulis masyarakat.
Penggunaan pendekatan resepsi perlu menyesuaikan dengan obyek material (teks sastra) yang diteliti, karena perbedaan horizon harapan tersebut. Maka, karya yang tercipta di masa lampau dapat dikenali melalui wujudnya berupa transformasi maupun tanggapan teksnya. Keberagaman jenisnya dapat menunjukkan seberapa besar sambutan pembaca terhadapnya melalui teks lain. Ada tiga metode untuk melacak sambutan suatu teks atas teks lain, yakni: a) metode eksperimental, b) metode kritik teks dan c) metode intertekstual. Metode eksperimental adalah metode penyajian teks tertentu kepada pembaca, baik secara individu maupun kelompok untuk meminta tanggapan. Model ini
37Sangidu, Penelitian Sastra..., h. 20-21.
38Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies..., h. 204; Umar Junus, Sosiologi Sastera;
dilaksanakan dengan pengajuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan jawabannya dapat dianalisis secara kuantitatif maupun kualitatif. Adapun metode kritik teks berupaya merunut perkembangan tanggapan pembaca melalui tulisan, kritik, komentar, analisis maupun hasil-hasil penelitian. Sedangkan metode intertekstual ialah metode yang melacak sambutan melalui teks lain yang datang belakangan. Hal ini dapat dilihat melalui penyalinan, penyaduran, penerjemahan dan lain sebagainya.39
Dalam penelitian resepsi, peneliti dapat melakukan dua hal, yaitu: menanyakan langsung reaksi pembaca terhadap teks, atau menyelidiki resepsi pembaca melalui lahirnya teks-teks baru yang sejenis. Kemungkinan pertama dapat dilakukan melalui penyelidikan eksperimental dan model survey, sedangkan yang kedua, menarik bidang filologi dan sastra bandingan, karena mencari transformasi teks sastra dari waktu ke waktu. Proses kerjanya juga setidaknya melalui dua langkah, yaitu: menyajikan karya sastra kepada pembaca perorangan maupun kelompok dan meminta pembaca menginterpretasikan karya sastra. Pada proses pertama, pembaca diberikan pertanyaan lisan atau tertulis tentang kesan dan penerimaan. Jika jawaban dapat ditabulasikan, maka angket dapat digunakan (kuantitatif). Jika metode wawancara yang digunakan, maka jawabannya dapat dianalisis secara kualitatif. Adapun pada proses kedua, interpretasi pembaca dapat dianalisis secara kualitatif.40
Sedangkan kemungkinan kedua, sambutan pembaca bisa saja melalui tindakan mengolah, memutarbalikkan, memberontaki dan menulis kembali teks, di mana medianya dilakukan dengan penyalinan, penyaduran dan penerjemahan.41
39Sangidu, Penelitian Sastra..., h. 22-23; A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori
Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya & Girimukti Pasaka, 1988, cet. ii), h. 208-218; Suroso et.al., Kritik Sastra; Teori, Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Elamtera Publishing, 2009), h. 112-115.
40Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra..., h. 118-120 & 126.
41Sangidu, Penelitian Sastra: Pendekatan..., h. 22-23. Terkait dengan sambutan terhadap teks
Selain itu, metode resepsi juga dapat dikatakan sebagai penelitian kritik pragmatik, yaitu penelitian kritik sastra yang menitikberatkan peran pembaca sebagai penyambut dan penghayat karya sastra, termasuk penerimaan estetik, interpretasi dan evaluasi pembacanya. Penelitian dengan pendekatan resepsi juga melihat sebuah karya sebagai obyek estetik yang memiliki keragaman nilai.42
c. Teori Teks sebagai the sacred (Yang Sakral)
Memahami agama dalam pandangan Mircea Eliade tidak boleh bersifat reduksionis. Karena itu, fenomena agama harus ditangkap berdasarkan tahapan-tahapan pertumbuhannya dan hanya mungkin dilaksanakan, jika agama dipahami sebagai sesuatu yang religius. Maka, seluruh unsur agama menjadi unik dan tidak dapat direduksi, sehingga karenanya, ia dipandang sebagai dimensi sakralitas agama.43
Sesuatu “yang sakral” senantiasa mewujudkan dirinya sendiri dalam realitas dan berbeda dengan realitas natural dan “yang profan”. Maka, hal-hal yang berada di balik pengalaman natural manusia tidaklah mudah dirupakan dalam wujud bahasa. Hal inilah yang disebut Eliade dengan istilah hierophany
(Wujud realitas sakral), karena sejarah agama-agama sejak era primitif hingga perkembangan, sebagian besar dipenuhi oleh sejumlah hierophany, berupa perwujudan dari realitas sakral. Pada masyarakat pra-modern dan primitif, sakralitas adalah kekuatan (power) sekaligus realitas. Pengertian ini terbawa hingga era modern dengan memahami kekuatan sakral sebagai keabadian
–
ثيدحلا وأ ميركلا نآرقلا نم نيمضتلا وأ سابتقلا قيرط نع ةراتخم ةينيد صوصن لخادت ينيدلا صانتلاب ىنعن
-
وأ ايركف اضرغ ىدؤتو ىئاورلا قايسلا عم صوصنلا هذه مجسنت ثيحب ةياورلل يلصلا صنلا عم ةينيدلا رابخلا وأ بطخلا وأ فيرشلا
.اعم امهيلك وأ اينف Lihat Ahmad Za’bî, Al-Tanâshsh; Nadhariyyan wa Tathbîqiyyan, Muqaddimah Nadhariyyah Ma’a Dirâsah Tathbîqiyyah li al-Tanâshsh fî Riwâyah “Ru’yâ” li Hâsyim Gharâyibah wa Qashîdah “Râyah al-Qalb” Li Ibrâhîm Nashrullâh, (‘Ammân: Muassasah Amûn li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 2000), h. 37.
42Suroso, Puji Santosa, Pardi Suratno, Kritik Sastra, Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Elmateri Publishing, 2009), h. 113-115.
43Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran; Kritik Tujuh Teori Agama, Inyiak Ridwan Muzir &
(enduringness) dan kemakbulan (efficacity).44 Sayangnya, setiap penampakan
hierophany, selalu memunculkan esensi ko-eksistensial yang kontradiktif-paradoksal, misalnya: setiap kelahiran sakralitas berdampingan dengan profanitas, eternalitas dengan non-eternalitas, absolut-relatif dan lain-lain.45
Sebagai bagian dari agama, teks-teks suci tidak hanya terbatas pada kitab suci yang menjadi sumber biblikal dan liturgis saja, namun juga mencakup teks-teks pendukung yang dipandang sebagai tafsir “suci” atas kitab suci agama-agama. Karena itu, Eliade menegaskan bahwa fenomena agama diposisikan sebagai sesuatu yang konstan dan independen, sedangkan aspek kehidupan yang lain mesti bergantung kepada agama.46
Sebagai sesuatu yang sakral, teks agama merupakan wilayah supernatural, extra ordinary, tak mudah terlupakan dan teramat penting. Keabadiannya terkandung pada kepenuhan substansi dan realitas. Konsep “Yang Sakral” dipahami sebagai sumber sekaligus pusat dari agama.47
d. Teori Islamologi Terapan [(Dikotomi Ortodoksi Islam (Official Religion) dan Budaya Lokal (Popular Religion)]
Berdasarkan pemahaman Arkoun yang membedakan pemaknaan Umm al-Kitâb48 dan al-Kitâb,49, ia membedakan Islam (dengan I besar)50 dengan islam
(dengan i kecil),51 karena kata tersebut telah mengalami berbagai pembatasan,
muatan simbolik, peraturan dan pemaknaan semantis, termasuk juga kenyataan
44Mircea Eliade, The Sacred and the Profane; the Nature of Religion, (New York: A Harvest
Books, t.t), p. 10-12.
45Mircea Eliade, Pattern in Comparative Religion, Rosemary Sheed (trans.), (New York: The
University of Nebraska Press, 1996), p. 29.
46Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran..., h. 256. 47Ibid., h. 259-260.
48Kitab Samawi dan model ideal yang mencakup seluruh kalam Tuhan yang tersembunyi dan
tidak mungkin dicapai manusia.
49Al-Qur’ân, Adz-Dzikr, Al-Furqân, Wujud Kitab secara historis, Kalam Suci yang diturunkan
kepada manusia dan ditulis dengan tangan manusia dalam buku yang disebut Mushaf.
50Islam yang asli dan Ideal, paling tinggi serta berada di atas Islam Historis, yakni Agama Nabi
Ibrahim.
51Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Maka, yang dikembangkan oleh para penerusnya
Qur’ani (Le Fait Coranique)52dan kenyataan Islami (Le Fait Islamique),53 serta
Tradisi (T besar)54 dan tradisi (t kecil).55
Studi Islam (Islamologi) di era klasik biasanya hanya terpusat pada apa yang ditulis oleh para cendikiawan muslim, terutama pada khazanah Fiqh klasik. Secara sederhana, studi Islamologi klasik merupakan wacana rasional tentang Islam yang berasal dari barat. Karena itu, tema-tema yang menjadi fokus kajian Islamologi klasik terbatas pada persoalan tentang negara, tulisan, tradisi akademik dan agama resmi (Official Religion). Secara praktis, Islamologi klasik menurut Arkoun mereduksi lapangan kajiannya pada dimensi logosentris (teologi, filsafat dan hukum) dari perspektif idealisme sejarah pemikiran saja.56
Berangkat dari studi eksternal Al-Qur’ân, Arkoun mengajukan tiga sudut pandang. Salah satunya adalah: mengakomodasi hal yang terpikir, yang tak terpikir (Impense) dan yang tidak mungkin terpikirkan (Impensable/
Unthinkable)57 dalam ilmu-ilmu al-Qur’ân,58 atau dalam bahasa yang sedikit
berbeda, mengakomodasi hal-hal yang dilupakan, yang disamarkan dan yang tidak terpikirkan pada masa lalu masyarakat secara khusus.59 Beberapa bagian di
luar teks al-Qur’ân yang terlupakan dan diremehkan (setidaknya hingga dekade
52Ia bersifat transenden, transhistoris dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan. 53Ia bersifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu garis makna yang
terkandung dalam kenyataan Qur’ani melalui perantara (baca: Penafsiran) manusia.
54Lebih umum dan kuno serta terdapat pada seluruh masyarakat manusia sebelum datangnya
agama-agama wahyu, termasuk juga berarti ideal, yakni Tradisi Ilahi yang tak dapat dirubah manusia dan merupakan kenyataan abadi dan mutlak.
55Yakni tradisi yang terdapat dalam tiga agama monoteis, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Lihat
Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 46-47.
56Muhammed Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikr al-‘Arabî al-Islâmî, Hâsyim Shâlih (terj.), (Beirut:
Markaz al-Inmâ’ al-Qawmî,1987), h. 53.
57Selain menekankan pentingnya belajar filsafat untuk merambah bagian ini, Arkoun
mencontohkan yang ia maksudkan, yakni hubungan antara ulama’ dan arsitek. Keduanya sekilas tampak berbeda, namun sebenarnya sama, yakni menghasilkan pemikiran yang bersumber dari rasio masing-masing, sehingga di sinilah letak pentingnya kerangka pikir historis, di samping juga metodologis. Baca Mohammed Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, Jurnal UQ 7, Vol. II 1990, h. 86.
58Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur’ân, Hidayatullah (terj.), (Bandung: Pustaka,
1998), h. 6. Pada unsur ketiga, sangat tampak keterpengaruhannya kepada Derrida.
59Hal yang terlupakan tidak hanya menunjuk pada karya-karya yang sampai ke tangan kita dan
1980-an) untuk dibahas oleh para Islamolog menurut Arkoun adalah (1) Kebudayaan Oral (Expression Orale) dan tradisi lisan umat Islam pada bangsa yang tidak memiliki tradisi tulis, (2) Kehidupan yang tak tertulis dan tak terucap pada bangsa yang memiliki tradisi tulis,60 (3) Masa lalu dan pengalaman hidup
masyarakat yang tak tertulis, namun tersampaikan (seperti di Maroko dan Suriah),61 (4) Tulisan tentang Islam yang dianggap tidak representatif (ghayr
mu’tamad) dan tidak mewakili Islam ortodoks-mayoritas (seperti Syi’ah, Khawarij,62 termasuk Zindiq), serta (5) Karya-karya simbolik (semiotis)
non-kebahasaan yang berkaitan dengan wilayah keislaman, seperti mitologi, puisi (syair), musik, planologi (tata ruang), tata letak kota, arsitektur, seni rupa, dekorasi, struktur kekerabatan, struktur sosial dan lain sebagainya.
Karena itu, Islam sebagai obyek kajian Islamologi Terapan harus dipahami sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri atas unsur-unsur psikologis (individu maupun kolektif), historis (perkembangan masyarakat muslim), sosiologis (posisi Islam di tengah peran historis masyarakatnya) dan kultural (yang berhubungan dengan wilayah seni, peradaban dan pemikiran).63 Islamologi
Terapan seyogyanya memperhatikan segala akibat yang timbul dari beberapa hal berikut: 1) Sebagai agama dan tradisi pemikiran, Islam telah memperoleh vitalitas yang sepadan dengan percepatan sejarah dalam seluruh masyarakat Islam, 2) Perkembangan Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Humaniora) telah memutarbalikkan syarat-syarat untuk mempraktekkan pemikiran ilmiah di Barat, 3) Fenomena keagamaan melampaui ekspresi-ekspresi dan realisasi-realisasi
60Hal ini biasa terjadi pada masyarakat modern, karena kekuasaan ideologis atas warganegara,
hegemoni partai politik tunggal dan penyimpangan sejarah yang terkadang memaksa seseorang untuk mengucapkan dan menulis sesuatu yang tidak terpikirkan, atau sebaliknya, memikirkan sesuatu yang tidak mungkin diucapkan atau ditulis.
61Aspek ini bersifat sosiologis dan mencakup dimensi-dimensi Islam yang disampaikan pada
pertemuan harian, pertemuan, mu’tamar atau pengajaran di masjid, sekolah dan universitas.
62Mohammad Nasir Tamara, Mohammed Arkoun dan Islamologi Terapan, Jurnal UQ 3 Vol. I,
1989.h. 47.
yang dipredikasi agama apapun, termasuk di dalamnya Islam,64 4) Islamologi
Terapan adalah praktek ilmiah yang multi-disipliner, dan 5) Secara epistemologis, Islamologi Terapan menyadari bahwa tidak ada satupun wacana atau metode yang tanpa cacat.65
Peremehan kajian yang terfokus pada beberapa hal di atas, mengakibatkan pembelahan cara pikir dikotomis -yang terkadang sampai pada tingkatan ekstrim- antara ortodoksi Islam di satu sisi dan heterodoksi Islam di sisi yang lain, sehingga mereka yang tidak memahami dimensi-dimensi sosiologis-antropologis dalam studi Islam akan selalu memandang budaya lokal sebagai bagian dari heterodoksi Islam. Ortodoksi Islam dipandang penting, karena mencakup pemahaman keislaman mayoritas (Sunni), yang menurut Arkoun, hanya merupakan teoretisasi dogmatis saja.66 Pada gilirannya, studi
Islam hanya mencakup wilayah ortodoks dan cenderung menolak dimensi-dimensi heterodoks sebagaimana yang disebutkan di atas.
Karena berkaitan dengan tradisi, dikotomi ortodoksi-heterodoksi serupa dengan pola pikir dikotomis lain, yaitu tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition), sebuah pola pikir yang diperkenalkan oleh Robert Redfield (1956) dan banyak digunakan dalam studi tentang masyarakat Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tradisi besar (great tradition) digambarkan sebagai peradaban yang reflektif dengan sejumlah kecil pelaku dan dikembangkan di sekolah-sekolah, atau kuil-kuil (candi). Sebaliknya, tradisi kecil (little tradition) tampak pada peradaban non-reflektif dengan sekian banyak pelaku dan bertahan dalam kehidupan komunitas yang tak berpendidikan di kalangan masyarakat desa. Tradisi besar dikembangkan dan diwariskan secara sadar, seperti di kalangan filsuf, teolog dan sastrawan, sedangkan tradisi kecil berupa sesuatu
64Berbeda dengan Islamologi Klasik, Islamologi Terapan melihat Islam dari dua perspektif yang
saling melengkapi, yakni: a) Kegiatan Ilmiah Internal Pemikiran Islam, dan b) Aktivitas Ilmiah yang bekerjasama dengan seluruh pemikiran kontemporer.
65Ibid., 54-58.
yang diterima apa adanya (taken for granted), tidak pernah diselidiki secara kritis, sehingga terkadang dipandang harus diperbaiki dan diperbaharui.67
Kendati dikotomi tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition) harus dikritik lebih lanjut jika diterapkan dalam konteks Madura, Bouvier menyebutkan bahwa semua informannya mengaku sebagai muslim yang saleh dan iman mereka tidak boleh dipertentangkan. Dengan mengutip Jordaan (1985), Bouvier menegaskan bahwa ada hubungan yang sengkarut antara Islam ortodoks (aliran lama ahlus sunnah wal jama’ah dan aliran “neo-ortodoks” Muhammadiyah), Islam mistik (yang masuk ke Indonesia bersamaan dengan berkembangnya berbagai macam tarekat) dan pengalaman tentang agama lokal dan “kerakyatan”, di mana dalam masyarakat Madura dikenal dengan istilah élmo towa (Ilmu Tua). Konkretnya, orang Madura membedakan dengan tegas antara golongan anak kiyai (bhindhara atau santré), termasuk golongan yang mendapatkan pelajaran agama (atau seringkali disebut ‘além) dari golongan masyarakat biasa (katoronan bhungkaladan) untuk menjelaskan perbedaan tingkah laku yang muncul dalam suatu keluarga.68
G. Metode Penelitian
Lokasi, Objek dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pamekasan Provinsi Jawa Timur di mana pola resepsi masyarakat terhadap syair Arab berlangsung dalam konteks keberislaman. Fokus atau objek penelitian utama adalah tradisi bersyair Arab dipraktekkan dalam konteks keberislaman sekaligus pola resepsinya, sehingga masyarakat Pamekasan dalam penelitian ini dihadirkan dalam kerangka setting penelitian.
67Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, (Jakarta: Pustaka Alvabet & INSEP, 2009), h.
13-16.
68Hélèn Bouvier, Lébur; Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta:
Subjek penelitian ini terdiri atas dua unsur besar, antara lain: (1) Beberapa pemangku pondok pesantren (kiyai) di Pamekasan selaku subyek resepsi atas syair Arab dalam pembelajaran ilmu-ilmu keislaman, beserta para santrinya, dan (2) Komunitas Masyarakat Pamekasan di luar pesantren yang meresepsi tradisi syair Arab, seperti kiyai di langgar/musholla dan terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, penggiat musik hadrah dan peminat kegiatan seni yang berkaitan dengan penggunaan syair Arab. Subyek kedua masih dibagi lagi menjadi tiga kelompok, yakni: a) Kelompok yang meresepsi syair Arab sebagai bagian dari ritual (ibadah) keseharian mereka, b) Kelompok yang meresepsi syair Arab sebagai ekspresi bertasawwuf, dan c) Kelompok yang meresepsi syair Arab sebagai bagian dari ekspresi seni mereka.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian etnografi atau antropologi budaya,69 atau lebih tepatnya, antropologi sastra, karena menganalisis karya
sastra dalam kaitannya dengan unsur-unsur antropologisnya.70 Di dalamnya,
terdapat peristiwa kultural yang menyajikan keyakinan, pola interaksi, makna
physical setting, dan kegiatan ritual subjek penelitian, sehingga penelitian ini berupaya untuk mengenal bagaimana individu dan masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri.71
Adapun penetapan informan (sumber informasi) dalam penelitian ini menggunakan teknik creation based selection (seleksi berdasarkan kriteria) dan tidak dilakukan atas dasar prinsip acak (probabilitas). Tujuan pengambilan informan dengan teknik di atas bermaksudkan agar hasil penelitian memiliki komparabilitas (dapat diperbandingkan) dan transabilitas (dapat diterjemahkan) dalam kasus-kasus hasil penelitian yang lainnya.72 Dengan memperhatikan
69Carol R. dan Melvin Ember, “Perkenalan dengan Antropologi” dan “Teori dan Metoda
Antropologi Budaya”, dalam T.O. Ihromi (Ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Yayasan Obor Indonesia), h. 7-12 dan 74-79.
70Nyoman Kutha Ratna, Antropologi Sastra; Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses
Kreatif, (Yogyakartta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 9-11 & h. 28-49.
situasi dan kondisi Madura, maka proses penentuan informan juga menggunakan teknik stratified-purposive sampling, karena sampel diambil dari variasi-variasi besar yang berkembang dalam obyek kajian.73
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif lapangan (field qualitative research). Prosedurnya berupaya untuk menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.74 Namun demikian, penelitian ini lebih menekankan pada sisi makna,
karena makna adalah ciri konstruksi yang bersifat tetap (invarian) dan termasuk ke dalam bagian dari sistem bahasa,75 atau dalam bahasa yang berbeda,
penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana sebuah pengalaman sosio-kultural dalam rupa bahasa diciptakan dan diberi makna.
Adapun metodologi pengumpulan data yang akan menggunakan tiga metode, yakni observasi partisipatif (pengamatan terlibat), indepth interview
(wawancara mendalam) dan studi dokumentasi, yang berupa tulisan, catatan, foto dan dokumentasi lainnya untuk memperoleh data syair Arab yang diresepsi dan data lainnya.
Pengamatan terlibat digunakan dengan tujuan untuk menggali data yang lebih banyak, lebih mendalam dan lebih terperinci.76 Langkah-langkahnya
adalah: (1) melakukan persiapan dengan pendekatan sosial untuk mempertemukan pikiran (meeting mind) sekaligus saling memahami maksud dan mencairkan suasana, agar peneliti dapat memperoleh informasi dari subjek penelitian tanpa kecurigaan, (2) menggunakan bantuan lembar pengamatan
73Agus Salim, Teori & Paradigma Penelitian Sosial; Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006, cet. 2), h. 13.
74M. Zaini Hasan, “Karakteristik Penelitian Kualitatif”, dalam Aminuddin (ed.), Pengembangan
Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, (Malang: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Komisariat Malang & Yayasan Asah Asih Asuh, 1990), h. 13-14.
75H. Steinhauer, “Strategi dan Teknik Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kebahasaan” dalam
Aminuddin (ed.), Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, (Malang: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Kom. Malang & Yayasan Asah Asih Asuh, 1990), h. 53-54.
(lembar observasi), (3) melakukan mapping dan analisisnya, dan (4) memadukan dengan temuan hasil wawancara.
Adapun wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh keterangan yang terperinci tentang masalah penelitian, sehingga jenisnya adalah wawancara tak terstruktur.77 Wawancara dilakukan secara fleksibel dengan menggunakan
pedoman wawancara yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan terbuka, sehingga informan dapat memberikan informasi secara leluasa. Instrumen di atas sangat memungkinkan untuk digunakan, karena peneliti sendiri adalah bagian dari etnis yang diteliti sekaligus tinggal di dalamnya, sehingga memudahkan mobilitas peneliti dalam menggali data yang dibutuhkan. Prosedurnya antara lain adalah: a) menetapkan informan dan mewawancarainya, b) membuat cacatan hasil wawancara dalam fieldnote, c) menemukan tema-tema, dan d) menulis laporan bersama dengan data hasil observasi partisipan.
Selain menggunakan tiga metode di atas, peneliti juga meminjam beberapa teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) dalam melakukan penggalian data, dengan beberapa modifikasi sesuai dengan kepentingan, seperti teknik Catatan Lapangan (Fieldnote), Kalender Musim (Seasonal Calender), Rutinitas Harian (Daily Routine) dan lain sebagainya. Hal ini peneliti lakukan karena setting penelitian yang menjadi informan dalam penelitian ini sebagian besar terdiri atas masyarakat pendesaan. Beberapa teknik tersebut menurut Roberts Chambers biasa digunakan oleh para aktivis penelitian partisipatoris, analisis sistem agroekonomi dan antropologi terapan.78
Penggalian data dalam penelitian ini juga dilakukan dengan metode Triangulasi. Penggunaan Triangulasi di sini dapat dimaknai secara beragam, antara lain: a) Silang antar waktu, di mana satu metode digunakan dalam waktu
77Ibid., h. 197-202.
78Roberts Chambers, “The Origins and Practice of Participatory Rural Appraisal”, World
yang berbeda-beda, b) Silang beda metode, di mana hasil penggalian data yang menggunakan satu metode dibandingkan dengan hasil metode yang lain, c) Silang beda responden, di mana informasi yang diperoleh dari satu responden dibandingkan dengan informasi dari responden yang lain. Triangulasi juga digunakan sebagai teknik pengecekan keabsahan data.79
Metode Analisis Data
Sebagai upaya penataan data secara sistematis, analisis data kualitatif dilakukan dengan mengikuti tahapan-tahapan berikut, yaitu: a) Reduksi data (Menyeleksi data sesuai fokus penelitian dan mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya), b) Display Data (Mengklasifikasikan data sesuai kelompok), c) Pemahaman dan Interpretasi, serta d) Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi.80 Proses reduksi data dilakukan untuk memilah dan memilih
hal-hal pokok dan penting sesuai dengan pola dan peta penelitian. Proses ini berguna untuk mengarahkan hasil analisis data menuju konstruksi teoretis.
Adapun display data dilakukan dengan merumuskan kategorisasi dan klasifikasi data menurut satu sistem, sesuai dengan peta penelitian. Dengan display data, dapat diketahui keterhubungan antara satu unsur dengan unsur yang lain.
Selain itu, metode analisis dalam penelitian ini menggunakan metode
verstehen (pemahaman) dan interpretasi. Verstehen diterapkan pada tingkat analisis simbolik, karena data masih bersifat verbal, sedangkan interpretasi digunakan untuk menangkap makna konseptual dan rasional secara sistematis.81
H. Sistematika Pembahasan
Disertasi ini direncanakan tersusun menurut sistematika berikut:
79Julia Brannen, Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Noohaidi, et. al. (terj.),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 19-22.
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi kerangka teoretik yang terkait dengan Kedudukan Syair Arab bagi Masyarakat Muslim Non-Arab. Bab ini direncanakan terdiri atas syair Arab sebagai media ajar dari materi keislaman di pondok-pondok pesantren, sebagai media ekspresi ritual (ibadah) dan mistik (tashawwuf), serta sebagai media ekspresi seni.
Bab III memuat setting penelitian tentang kondisi sosial-budaya masyarakat muslim di Pamekasan. Bab ini terdiri dari data tentang praktek tradisi informan peresepsi syair Arab yang mencakup bagaimana beberapa komunitas berikut meresepsi syair Arab, yakni komunitas pondok pesantren, komunitas pengguna syair Arab dalam ritual (ibadah) dan mistik (tashawwuf), serta komunitas pengguna syair Arab sebagai media berkesenian.
Bab IV mencakup uraian tentang pola resepsi masyarakat Pamekasan terhadap Syair Arab, baik dalam pola resepsi berbasis Isi (content), berbasis sakralitas dan berbasis seremonial.
Bab V berisi deskripsi tentang literasi syair Arab dalam bentuk baca dan tulis dalam masyarakat muslim Pamekasan, baik di kalangan pondok pesantren, komunitas pengguna syair Arab dalam ritual (ibadah) dan mistik (tashawwuf), serta komunitas pengguna syair Arab sebagai media berkesenian.
I. Kerangka Pembahasan Sementara
1. Pendahuluan
a. Latar Belakang Masalah b. Rumusan Masalah
c. Tujuan dan Signifikansi Penelitian d. Telaah Pustaka
e. Metode Penelitian f. Sistematika Pembahasan
2. Kedudukan Syair Arab bagi Masyarakat Muslim Non-Arab a. Media Ajar Materi Keislaman di Pondok Pesantren b. Ekspresi ritual (ibadah) dan mistik (tashawwuf) c. Ekspresi seni
3. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Muslim di Pamekasan
a. Tradisi resepsi syair Arab dalam praktek komunitas pondok pesantren b. Tradisi resepsi syair Arab dalam ritual (ibadah) dan mistik (tashawwuf) c. Tradisi resepsi syair Arab dalam berkesenian
4. Pola Resepsi Masyarakat Pamekasan sebagai pembaca Syair Arab a. Resepsi berbasis Isi
b. Resepsi berbasis Sakralitas c. Resepsi berbasis Seremonial
5. Intertekstualitas Barzanji dan proses penulisan Syair Arab oleh orang Madura a. Pesantren sebagai produsen metodologi pembelajaran Syair Arab
b. Barzanji dan kelahiran karya sakral baru c. Barzanji dalam kreasi seni seremonial 6. Penutup
J. Daftar Pustaka Sementara
'Abd. Al-Tawwâb, Ramadlân., Fushûl fî Fiqh al-Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khânijî, 1999, cet. vi).
Abû ‘Alî, Muhammad Tawfîq., al-Amtsâl al-‘Arabiyyah wa al-‘Ashr al-Jâhilî; Dirâsah Tahlîliyyah, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1988).
Adonis, An Introduction to Arab Poetics, Catherine Cobham (English Trans.), (London: Saqi Book, 1990).
Aminoedin, Anis., “Folklore di Pulau Madura” dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura III; Kumpulan Makalah-makalah Seminar 1979, (Malang: Proyek Penelitian Madura, 1980).
Aminuddin (ed.), Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, (Malang: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Komisariat Malang & Yayasan Asah Asih Asuh, 1990).
Arkoun, Muhammed., “Menuju Pendekatan Baru Islam”,Jurnal UQ 7, Vol. II 1990. ---, Kajian Kontemporer Al-Qur’ân, Hidayatullah (terj.), (Bandung:
Pustaka, 1998).
---, Târîkhiyyah al-Fikr al-‘Arabî al-Islâmî, Hâsyim Shâlih (terj.), (Beirut: Markaz al-Inmâ’ al-Qawmî,1987).
Bouvier, Hélèn., Lébur; Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Forum Jakarta-Paris, Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan & Yayasan Obor Indonesia, 2002).
Bû’alîbah, Muhammad Walad., al-Naqd al-Gharbî wa al-Naqd al-‘Arabî, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Tsaqâfah, 2002).
Brannen, Julia., Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Noohaidi, et. al. (terj.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Chambers, Roberts., “The Origins and Practice of Participatory Rural Appraisal”, World Development, vol. 22, no. 7, Great Britain, 1994.
Dlayf, Syawqî., Târîkh al-Adab al-‘Arabî I; al-‘Ashr al-Jâhilî, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1960, cet. xxii).
Eagleton, Terry., Teori Sastra; Sebuah Pengantar Komprehensif (Edisi Terbaru), Harfiah Widyawati & Evi Setyarini (terj.), (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007, cet. ii).
Eliade, Mircea., Pattern in Comparative Religion, Rosemary Sheed (trans.), (New York: The University of Nebraska Press, 1996).
Endraswara, Suwardi., Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004, cet. ii).
al-Fâkhûrî, Hannâ., al-Jâmi’ fî Târîkh al-Adab al-‘Arabî; al-Adab al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Jayl, 1986).
al-Faruqi, Ismail Raji & Lois Lamya' Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Ilyas Hasan (terj.), (Bandung: Mizan, 1998). Hamid, Ismail., Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1989).
Hasan, Nor., Saiful Hadi & Umar Bukhory, Kobhung dan Transformasi Nilai Budaya Masyarakat Madura, (Pamekasan: X-Press, 2009).
Holmes, Tim., A Participatory Approach in Practice; Understanding Fieldworkers Use of Participatory Roral Appraisal in Actionaid the Gambia, www.ids.ac.uk, 2001, serta berbagai rujukan lain tentang teknik PRA (PRA-Tools).
Holub, Robert C., Nadhariyyah al-Istiqbâl; Muqaddimah Naqdiyyah, Ra’d ‘Abdul Jalîl Jawâd (terj.), (Suriah: Dâr al-Hiwâr li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1992).
Hutomo, Suripan Sadi., “Wajah Kesusastraan Madura I-II”, Majalah BASIS, Ed. Mei 1991 XL No. 5.
Husayn, Thâhâ., Fî al-Syi’r al-Jâhilî, (Tûnis: Dâr al-Ma’ârif li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr, 1926)
Ihromi, T.O. (Ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Yayasan Obor Indonesia). Imron, D. Zawawi, “Sastra Madura: Yang Hilang Belum Berganti”, dalam Huub de
Jonge (Ed.), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi; Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, (Jakarta: Rajawali Press, 1989).
al-Jâbirî, Muhammad ‘Âbid., Naqd al-‘Aql al-‘Arabî (1); Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut: Markaz Dirâsât al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989, cet. iv).
Jauhari, Mohammad Tidjani., Membangun Madura, (Jakarta: Taj Publishing, 2008). Junus, Umar., Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985).
---, Sosiologi Sastera; Persoalan Teori dan Metode, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia, 1986).
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma, 2005). Kuiper, Kathleen. (Ed.), Islamic Art, Literature and Culture, (New York: Brittanica
Educational Publishing & Rosen Educational Services, 2010).
Mahmûd, ‘Abd al-Hamîd., Hasan H. Hasan dan ‘Abd al-Mun’im al-Khafâjî, al-Adab al-‘Arabî Bayn al-Jâhiliyyah wal Islâm, (Kairo: al-Mathba’ah al-Munîriyyah, 1955).
Manshur M.S., Fadlil Munawwar., Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
Muhadjir, Noeng., Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996). al-Musawi, Muhsin J., Arabic Poetry; Trajectories of Modernity and Tradition, (New
York: Routledge, 2006).
Pals, Daniel L., Dekonstruksi Kebenaran; Kritik Tujuh Teori Agama, Inyiak Ridwan Muzir & M. Syukri (terj.), (Yogyakarta: Ircisod, 2001).
Pranowo, Bambang., Memahami Islam Jawa, (Jakarta: Pustaka Alvabet & INSEP, 2009).
Putro, Suadi., Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998).
al-Râfi’î, Mushthafâ Shâdiq., Târîkh Âdâb al-‘Arab; al-Juz al-Tsâlits, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1974).
Rahardjo, M. Dawam., (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1995, cet. V).
Rahardjo, Mudjia., & Kholil R., Sosiolinguistik Qurani, (Malang: UIN Malang Press, 2008).
Rahman, Jamal D., “Islam, Madura dan Kesenian; (Pengalaman dan Kesan Pribadi)”, Makalah diperentasikan dalam Kongres Kebudayaan Madura di Sumenep, 9-11 Maret 2007.
al-Râjihî, Abduh., ‘Ilm al-Lughah al-Thathbîqiyyah wa Ta’lîm al-‘Arabiyyah, (Riyâdl: Jâmi’ah Muhammad bin Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1995).
Ratna, Nyoman Kutha., Antropologi Sastra; Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
---, Sastra dan Cultural Studies; Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. ii).
---, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Post-Strukturalisme, Perspektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Rifai, Mien Ahmad., Lintasan Sejarah Madura, (Surabaya: Yayasan Lebbur Legga, 1993).
Rozaki, Abdur., Menabur Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004).
Salim, Agus., Teori & Paradigma Penelitian Sosial; Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, cet. 2).
Sangidu, Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat, (Yogyakarta: Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat FIB UGM, 2007, cet. iii).
Shahid, Irfan., “Arabic Literature” dalam P.M. Holt et.al. (Eds.), The Cambridge History of Islam; Vol. 2B, Islamic Society and Civilization, (London, New York, Melbourne: Cambridge University Press, 1977).
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994, cet. II).
Subaharianto, Andang., et.al., Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004).
Sujarwadi, IC., “Seni Macapat Madura” dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura IV; Kumpulan Makalah Lokakarya Penelitian Sosial Budaya Madura 1980, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Pendidikan Tinggi, 1980). Agama, Vol. xvi, No. 3, September-Desember 2007.
Tamara, Mohammad Nasir., Mohammed Arkoun dan Islamologi Terapan, Jurnal UQ 3 Vol. I, 1989.
el-Tayyib, Abdullah., “Pre-Islamic Poetry” dalam AFL. Beeston et.al. (Eds.), The Cambridge History of Arabic Literature; Arabic Literature to the End of the Umayyad Period, (New York: Cambridge University Press, 1983).
Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya & Girimukti Pasaka, 1988, cet. ii).
Usman, Sunyoto., “Citra Status Sosial Kiyai; Studi Kasus di Palenga’an, Madura” dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Madura V; Kumpulan Makalah Lokakarya Penelitian Sosial Budaya Madura, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Pendidikan Tinggi, 1980).
van Bruinessen, Martin., Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999, cet. 3).
van Luxemburg, Jan., et.al., Pengantar Ilmu Sastra, Dick Hartoko (terj.), (Jakarta: Gramedia, 1992, cet. iv).
Za’bî, Ahmad., Al-Tanâshsh; Nadhariyyan wa Tathbîqiyyan, Muqaddimah Nadhariyyah Ma’a Dirâsah Tathbîqiyyah li al-Tanâshsh fî Riwâyah “Ru’yâ” li Hâsyim Gharâyibah wa Qashîdah “Râyah al-Qalb” Li Ibrâhîm Nashrullâh, (‘Ammân: Muassasah Amûn li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 2000).
Zayyât, Ahmad Hasan., Târîkh al-Adab al-‘Arabî li al-Madâris al-Tsânawiyyah wa al-‘Âliyah, (Kairo: Dâr Nahdlah Mishr, t.t.).
Masukan-masukan:
1. Lokasi Penelitian belum jelas (terutama siapa saja yang akan jadi informan dan pondok pesantren mana saja yang akan dijadikan setting)