• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN PENERIMAAN DAERAH MELALUI DESENTRALISASI FISKAL DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH abstrak. Manajen Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGELOLAAN PENERIMAAN DAERAH MELALUI DESENTRALISASI FISKAL DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH abstrak. Manajen Daerah"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN PENERIMAAN DAERAH MELALUI DESENTRALISASI FISKAL DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

The local income Management Through Fiscal Decentralization in Local Autonomy Implementation.

Lestariningsih

Ilmu Administrasi Negara, FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

( Diterima : 15 Januari 2014 , disetujui : 20 Pebruari 2014)

ABSTRACT

In Local Autonomy Implementation, the government gives local government autonomy to manage, organize, and run their sources of local income through fiscal decentralization based on Local Income. It aimed to give autonomy for local goverment to fung their local autonomy according to their potentials as a decentralization meaning; balancing fund which aimed to reduce fiscal discrepancy between central and local goverment, and among local government; and other fund which give local goverments an opportunity to get other income except Local Income, Balanced Fund, and Local Debt.

Keyword : Local Income, Fiscal Decentralization, Local Autonomy.

Pendahuluan

Tuntutan masyarakat terhadap

demokratisasi yang mengawali tumbuhnya

era reformasi, telah menggerakkan titik

kontinum dari pemerintahan yang bercorak

otoriter menuju pada titik kontinum

pemerintahan yang bercorak demokratis.

Seiring berjalannya waktu maka hal

tersebut dapat menggerakkan pula sistem

pemerintahan yang sentralistik menuju

pada sistem pemerintahan yang

terdesentralisasi. Tuntutan masyarakat

tersebut difasilitasi oleh Pemerintah

dengan diterbitkannya Undang-undang

Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah, dimana undang-undang tersebut

memberikan desentralisasi kewenangan

yang relative besar kepada Pemerintah

Daerah, artinya keberadaan

undang-undang tersebut bertujuan untuk

membentuk sistem pemerintahan negara

dengan pendekatan yang lebih demokratis.

Sistem sosial masyarakat yang

telah terbentuk oleh sistem pemerintahan

yang cenderung otoriter memberikan

reaksi yang berlebihan terhadap sistem

pemerintahan yang demokratis karena

sistem pemerintahan yang lebih terbuka

tersebut memberikan peluang yang lebih

besar terhadap partisipasi masyarakat

dalam kegiatan pemerintahan.

Salah satu indikasi yang nampak

(2)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

16

(Parpol) dan lembaga swadaya masyarakat

(LSM) untuk menyalurkan berbagai

aspirasi masyarakat yang telah terdistorsi

dengan sistem pemerintahan yang otoriter.

Wujud nyata dari perubahan sistem

pemerintahan adalah menguatnya peran

lembaga legislatif dalam menyalurkan

aspirasi masyarakat dalam pemerintahan.

Desakan kuat tersebut dari masyarakat

daerah kepada Pemerintah Pusat untuk

memberikan otonomi yang lebih luas telah

mendapat respon positif pasca reformasi,

sehingga Pemerintah bersama-sama

dengan badan legislatif yang telah

mengeluarkan Undang-undang Nomor 22

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,

sebagaimana telah diperbaiki dan diganti

dengan Undang-undang Nomor 32 tahun

2004 tentang Pemerintah Daerah dan

merupakan bukti dari adanya desentralisasi

politik. Sebagai tindak lanjut dari

desentralisasi politik tersebut kemudian

dikeluarkan Undang-undang Nomor 25

tahun 1999 yang juga direvisi dan diganti

dengan Undang-undang Nomor 33 tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang

merupakan manifestasi dari desentralisasi

fiskal tersebut secara teknis diikuti dengan

desentralisasi administrasi.

Desentralisasi Politik

(kewenangan) untuk mengurus rumah

tangga daerah sendiri hanya akan efektif

apabila disertai dengan Desentralisasi

Fiskal yaitu pemberian dana perimbangan

dan hak daerah untuk menarik Pendapatan

Asli Daerah (PAD) serta sesuai dengan

potensi yang dimilikinya. Selanjutnya

desentralisasi fiskal hanya akan dapat

dimanfaatkan dengan baik bila

direncanakan, dilaksanakan, dilakukan

pengawasan serta pemeriksaan dan

dipertanggungjawabkan sendiri oleh ketiga

pilar otonomi daerah yakni Kepala Daerah,

DPRD dan masyarakat sesuai dengan

mekanisme dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Desentralisasi politik, desentralisasi

fiskal dan desentralisasi administrasi

sesungguhnya dapat dipandang sebagai

sebuah strategi untuk:

1. Mendongkrak prakarsa, kreatifitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di seluruh daerah .

2. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan public pada tingkat regional (Provinsi) maupun local (Kabupaten/Kota).

Mencermati perjalanan otonomi

daerah satu dasawarsa terakhir ini, secara

umum belumlah memperlihatkan hasil

yang diharapkan, walaupun demikian ada

juga beberapa Daerah yang telah berhasil

(3)

semangat otonomi daerah itu sendiri.

Apabila diteliti dengan seksama, banyak

factor yang menyebabkan kurang

berhasilnya pelaksanaan otonomi daerah

selama ini. Salah satu factor itu adalah

kemampuan daerah untuk mengelola

keuangan dan asset daerahnya secara

efektif, efisien, transparan, akuntabel dan

berkeadilan. Hal ini dapat dilihat dan

dilacak dari lemahnya perencanaan,

pemprograman, penganggaran,

pelaksanaan anggara, pengendalian,

pengawasan dan pemeriksaan serta

pertanggungjawabannya.

Kenyataan membuktikan bahwa

otonomi daerah belum sepenuhnya

diterjemahkan dengan benar, hal semacam

ini lebih disebabkan terindikasi dengan

masih banyaknya penyimpangan, seperti

korupsi, pemborosan, salah alokasi dana

serta banyaknya berbagai macam pungutan

daerah yang kontra produktif dengan

upaya –upaya peningkatan pertumbuhan

perekonomian daerah yang disertai dengan

peningkatan pendapatan masyarakat.

Era reformasi saat ini memberikan

peluang bagi perubahan paradigma

pembangunan nasional dari paradigma

pertumbuhan menuju paradigma

pemerataan pembangunan secara lebih adil

dan berimbang. Perubahan paradigma ini

antara lain diwujudkan melalui kebijakan

otonomi daerah dan perimbangan

keuangan pusat dan daerah yang diatur

dalam satu paket undang-undang yaitu UU

No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Daerah, adapun pelaksanaan

otonomi daerah dimulai Januari 2001 dan

menimbulkan reaksi yang berbeda-beda

bagi daerah. Pemerintah daerah yang

memiliki sumber kekayaan alam yang

besar akan menyambut otonomi daerah

dengan penuh harapan, tetapi sebaliknya

daerah yang miskin sumber daya alamnya

akan menanggapinya dengan sedikit rasa

khawatir dan was-was

Kekawatiran beberapa daerah

tersebut bisa dipahami, karena pelaksanaan

otonomi daerah dan desentralisasi fiskal

membawa konsekuensi bagi pemerintah

daerah untuk lebih mandiri baik dari sistem

pembiayaan maupun dalam menentukan

arah pembangunan daerah sesuai dengan

prioritas dan kepentingan masyarakat di

daerah. Selain hal tersebut, alasan klasik

seperti kesiapan sumber daya manusia di

daerah, masih lemahnya struktur dan

infrastruktur daerah memang merupakan

kenyataan yang tidak dipungkiri dialami

oleh beberapa pemerintah daerah, ada

kekawatiran pula dari beberapa pihak

bahwa otonomi daerah hanya akan

(4)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

18

nepotisme serta inefisiensi dari

pemerintah pusat ke daerah, mengancam

kelestarian lingkungan dan memungkinkan

munculnya raja-raja kecil didaerah.

Hubungan keuangan pusat dan

daerah dilakukan sejalan dengan prinsip

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana

yang telah digariskan dalam UU No. 33

tahun 2004. Perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah

merupakan suatu sistem pembagian

keuangan yang adil, proposional,

demokratis, transparan dan efisien dalam

rangka pendanaan penyelenggaraan

desentralisasi dengan mempertimbangkan

potensi, kondisi dan kebutuhan daerah

serta besaran pendanaan penyelenggaraan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Adapun perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah merupakan

subsistem keuangan negara sebagai

konsekuensi pembagian tugas antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah,

juga merupakan bagian pengaturan yang

tidak terpisahkan dari sistem keuangan

negara dan dimaksudkan untuk mengatur

sistem pendanaan atas kewenangan

pemerintah pusat yang diserahkan,

dilimpahkan dan ditugasbantukan kepada

daerah. Pemberian sumber keuangan

negara kepada pemerintahan daerah

dilakukan dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi yang didasarkan atas

penyerahan tugas oleh pemerintah kepada

pemerintah daerah dengan memperhatikan

stablitas kondisi perekonomian nasional

dan keseimbangan fiskal antara pemerintah

pusat dan daerah.

Salah satu dampak otonomi daerah

dan desentralisasi fiskal adalah perlunya

dilaksanakan reformasi manajemen

keuangan daerah, sedangkan lingkup

manajemen keuangan daerah yang perlu

direformasi meliputi manajemen

penerimaan daerah dan manajemen

pengeluaran daerah, namun dalam fokus

kajian/pembahas ini hanya pada

manajemen penerimaan daerah yang digali

melalui desentralisasi fiskal

Pola Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Penyelenggaraan

Otonomi Daerah

Untuk mendukung

penyelenggaraan otonomi daerah melalui

penyediaan sumber-sumber pendanaan

berdasarkan kewenangan pemerintah

pusat, desentralisasi, dekonsentrasi dan

tugas pembantuan, perlu diatur

perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah berupa sistem

keuangan yang diatur berdasarkan

(5)

tanggung jawab yang jelas antar susunan

pemerintahan.

Perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah

merupakan subsistem keuangan negara

sebagai konsekuensi pembagian tugas

antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah, perimbangan keuangan tersebut

juga merupakan bagian pengaturan yang

tidak terpisahkan dari sistem keuangan

negara serta dimaksudkan untuk mengatur

sistem pendanaan atas kewenangan

pemerintahan yang diserahkan,

dilimpahkan dan ditugasbantukan kepada

daerah.

Pemberian sumber keuangan

negara kepada pemerintah daerah

dilakukan dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi yang didasarkan atas

penyerahan tugas oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah dengan

memperhatikan stabilitas kondisi

perekonomian nasional dan keseimbangan

fiskal antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah merupakan suatu sistem yang

menyeluruh dalam rangka pendanaan

penyelenggaraan asas desentralisasi,

dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Perimbangan keungan tersebut

dilaksanakan sejalan dengan pembagian

kewenangan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Dengan demikian

pengaturan perimbangan keuangan tidak

hanya mencakup aspek pendapatan daerah,

tetapi juga mengatur aspek pengelolaan

dan pertanggungjawabannya.

Pembentukan Undang-undang tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah dimaksudkan

untuk mendukung pendanaan atas

penyerahan urusan kepada pemerintah

daerah yang diatur dalam undang-undang

tentang Pemerintah Daerah. Pendanaan

tersebut menganut prinsip money follows

function, yang mengandung makna bahwa

pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan

yang menjadi kewajiban dan tanggung

jawab masing-masing

pemerintahan.(Ahmad Yani, 2008: 42)

Perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat dan pemerintahan daerah mencakup

pembagian keuangan antara pemerintah

pusat dan pemerintahan daerah secara

proporsional, demokratis, adil dan

transparan dengan memperhatikan potensi,

kondisi dan kebutuhan daerah.

Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi yaitu : 1) fungsi distribusi, 2) fungsi stabilisasi dan 3) fungsi alokasi (Suparmoko, 2008:257)

Fungsi distribusi dan fungsi

stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan

(6)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

20

sedangkan pada fungsi alokasi oleh

pemerintahan daerah yang lebih

mengetahui kebutuhan, kondisi dan situasi

masyarakat setempat. Pembagian ketiga

fungsi tersebut sangat penting sebagai

landasan dalam penentuan dasar-dasar

perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat dan pemerintahan daerah.

Dalam penyelenggaraan otonomi

daerah, penyerahan, pelimpahan dan

penugasan urusan pemerintahan kepada

daerah secara nyata dan bertanggung

jawab harus diikuti dengan pengaturan,

pembagian dan pemanfaatan sumber daya

nasional secara adil, termasuk

perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat san pemerintah daerah, sebagai

daerah otonom, penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan tersebut

dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip

transparansi, partisipasi dan

akuntabilitas.(Mardiasmo,2004:106).

Dalam pendanaan penyelenggaraan

pemerintahan agar dapat terlaksana secara

efisien dan efektif, juga untuk mencegah

adanya tumpang tindih ataupun tidak

tersedianya pendanaan pada suatu bidang

pemerintahan, maka perlu diatur

pendanaan penyelenggaraan pemerintahan,

sedangkan penyelenggaraan pemerintahan

yang menjadi kewenangan daerah dibiayai

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD), selanjutnya

penyelenggaran kewenangan pemerintahan

yang menjadi tanggung jawab pemerintah

pusat dibiayai dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN), baik

kewenangan pusat yang

didekonsentrasikan kepada gubernur atau

ditugaskan kepada pemerintah daerah

dan/atau desa atau sebutan lainnya dalam

rangka tugas pembantuan.

Dengan otonomi, daerah dituntut

untuk mencari alternatif sumber

pembiayaan pembangunan tanpa

mengurangi harapan terhadap bantuan dan

bagian (sharing) dari pemerintah pusat,

dengan kondisi seperti ini, peranan

investasi swasta dan perusahaan milik

daerah sangat diharapkan sebagai pemacu

utama pertumbuhan dan pembangunan

ekonomi (enginee of growth). Daerah juga

dituntut untuk menarik investasi asing agar

bersama-sama swasta domestik mampu

mendorong pertumbuhan ekonomi daerah

serta menimbulkan multiplier effect yang

besar.

Pemberian otonomi daerah

diharapkan dapat memberikan keleluasaan

kepada daerah dalam pembangunan daerah

melalui usaha-usaha yang sejauh mengkin

mampu meningkatkan partisipasi aktif

masyarakat, karena pada dasarnya

terkandung tiga misi utama sehubungan

dengan pelaksanaan otonomi daerah dan

(7)

menciptakan efisiensi dan efektivitas

pengelolaan sumber daya daerah, 2)

meningkatkan kualitas pelayanan umum

dan kesejahteraan masyarakat, 3)

memberdayakan dan menciptakan ruang

publik bagi masyarakat untuk ikut serta

(berpartisipasi) dalam proses

pembangunan. (Sadu Wasistiono,

2010:31). Sejalan dengan upaya untuk

memantapkan kemandirian pemerintah

daerah yang dinamis dan bertanggung

jawab, serta mewujudkan pemberdayaan

dan otonomi daerah dalam lingkup yang

lebih nyata, maka diperlukan upaya

meningkatkan efisiensi, efektifitas dan

profesionalisme aparatur pemerintah

daerah dalam mengelola sumber daya alam

maupun sumber daya lainnya milik daerah,

sedangkan upaya tersebut dapat dilakukan

melalui peningkatan profesionalisme dan

manajemen pemerintahan yang handal.

Kemampuan aparat daerah dalam

menjalankan otonomi bakal dihadapkan

pada berbagai tantangan, selain bagaimana

upaya meningkatkan pendapatan asli

daerah, juga bagaimana upaya

menciptakan iklim ekonomi yang kondusif

dalam rangka melayani investasi domestik

maupun asing, menyusun perencanaan

strategis pembangunan daerah dan

mengelola proses pembangunan,

sedangkan tantangan ini hanya akan

mampu dihadapi oleh aparat daerah baik

eksekutif maupun legislatif yang

mempunyai visi strategik, mampu berpikir

strategik dan berkualitas tinggi.

Manajemen Penerimaan Daerah Dalam Penyelenggaraan

Otonomi Daerah

Penerimaan daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari :

a. Pendapatan asli daerah yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.

b. Dana perimbangan yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar pemerintah daerah itu sendiri.

c. Pendapatan lain-lain yang memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang berasal pendapatan asli daerah, dana perimbangan serta pinjaman daerah. (Rahardjo Adisasmita, 2011: 89)

(8)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

22

dalam menggali pendanaan dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Sumber pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari : a) pajak daerah, b) retribusi daerah, c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, d) Pendapatan Asli Daerah (PAD) lain-lain yang sah.

Ketentuan mengenai pajak daerah

dan retribusi daerah diarahkan untuk

memberikan kewenangan yang lebih besar

kepada daerah dalam perpajakan dan

retribusi daerah melalui perluasan basis

pajak dan retribusi dan pemberian diskresi

dalam penetapan tarif pajak dan retribusi

tersebut. Perluasan basis pajak tersebut

antara lain dengan menambah jenis pajak

dan retribusi baru serta diskresi penetapan

tarif dilakukan dengan memberikan

kewenangan sepenuhnya kepada daerah

dalam menetapkan tarif sesuai dengan tarif

maksimal yang ditetapkan dalam

undang-undang. Kewenangan daerah untuk

memungut pajak dan retribusi diatur

dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun

2000 yang merupakan penyempurnaan dari

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997

dan ditindak lanjuti peraturan

pelaksanaannya yaitu PP Nomor 65 Tahun

2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor

66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

Jenis pendapatan yang termasuk

pengelolaan kekayaan yang dipisahkan,

antara lain bagian laba, deviden dan

penjualan saham milik daerah. Sementara

itu, PAD lain-lain yang sah meliputi: a)

hasil penjualan kekayaan daerah yang

tidak dipisahkan, b) jasa giro, c)

pendapatan bunga, d) keuntungan selisih

nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing

dan e) komisi, potongan ataupun bentuk

lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau

pengadaan barang dan/atau jasa oleh

daerah. Dana Perimbangan terdiri atas : 1)

bagian daerah dari penerimaan Pajak

Penghasilan Perseorangan, Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan serta

penerimaan dari sumber daya alam, 2)

Dana Alokasi Umum dan 3) Dana Alokasi

Khusus.

Dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi fiskal, pemerintah daerah

mendapatkan bagian Pajak Penghasilan

Perseorangan sebesar 20% dan 80% untuk

pemerintah pusat. Penerimaan negara dari

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) dibagi dengan

perimbangan 20% untuk pemerintah pusat

dan 80% untuk pemerintahan daerah.

Penerimaan pemerintah pusat dari bagi

hasil PPh Perseorangan dan BPHTB

tersebut akan dibagikan kepada seluruh

Kabupaten dan Kota. Bagian daerah yang

diterima pemerintah daerah yang berasal

dari sumber daya alam sektor kehutanan,

sektor pertambangan umum dan sektor

(9)

perimbangan 20% untuk pemerintah pusat

dan 80% untuk pemerintah daerah. Rincian

bagian daerah yang berasal dari sumber

daya alam (SDA) ditetapkan sebagai

berikut:

a. Sektor kehutanan

:Penerimaan Iuran Hak Penguasaan Hutan sebesar 80% dibagi dengan rincian: Provinsi 16% dan Kabupaten/Kota penghasil 64%.

Penerimaan Provinsi sumber daya hutan sebesar 80% dibagi sebagai berikut: Provinsi 16%, Kabupaten/Kota penghasil 32% dan Kabupaten/Kota lain.

b. Sektor Pertambangan Umum.

Penerimaan iuran tetap (Land rent) sebesar 80% dibagi sebagai berikut: Provinsi 16% dan Kabupaten/Kota penghasil.

Penerimaan iuran eksplorasi sebesar 80% dibagi sebagai berikut: Provinsi 16%, Kabupaten/Kota penghasil 32% dan Kabupaten/Kota lain 32%.

c. Sektor Perikanan

Pungutan dari sektor perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota. Bagian pendapatan pemerintah pusat untuk pertambangan minyak bumi adalah 85%, sedangkan bagian untuk daerah adalah 15% yang dibagi sebagai berikut: provinsi 3%, Kabupaten/Kota penghasil 6%, Kabupaten/Kota lain 6%

d. Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Alam

Bagian pendapatan pemerintah pusat untuk pertambangan gas alam adalah sebesar 70%, untuk pemerintah daerah sebesar 30% yang dibagi sebagai berikut : Provinsi 6%, Kabupaten /Kota penghasil 12% dan Kabupaten/Kota lain 12%.

Dana perimbangan merupakan

pendanaan daerah yang bersumber dari

APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil

(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana

perimbangan selain dimaksudkan untuk

membantu daerah dalam mendanai

kewenangannya, juga bertujuan untuk

mengurangi ketimpangan sumber

pendanaan pemerintahan antara pusat dan

daerah serta untuk mengurangi

kesenjangan pendanaan pemerintah antar

daerah. Ketiga komponen dana

perimbangan keuangan ini merupakan

sistem transfer dana dari pemerintah pusat

ke daerah serta merupakan satu kesatuan

yang utuh.

Dana bagi hasil (DBH) adalah

dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang dibagi hasilkan kepada daerah

berdasarkan angka persentase tertentu.

Pengaturan dana bagi hasil dalam

Undang-undang nomor 33 tahun 2004 merupakan

penyelarasan dengan Undang-undang

nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan sebagaimana telah beberapa

kali diubah terakhir dengan

(10)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

24

undang-undang ini dimuat pengaturan

mengenai bagi hasil penerimaan Pajak

Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib

Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan

PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan

panas bumi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003

tentang Panas Bumi, selain itu dana

reboisasi yang semula termasuk bagian

dari DAK dialihkan menjadi DBH.

Dana alokasi umum (DAU)

bertujuan untuk pemerataan kemampuan

keuangan antar daerah yang dimaksudkan

untuk mengurangi ketimpangan

kemampuan kemampuan keuangan antar

daerah melalui penerapan formula yang

mempertimbangkan kebutuhan dan potensi

daerah. Dana alokasi umum suatu daerah

ditentukan atas dasar besar kecilnya celah

fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang

merupakan selisih antara kebutuhan daerah

(fiscal need) dan potensi daerah (fiscal

capacity). Dalam undang-undang ini

ditegaskan kembali mengenai formula

celah fiskal dan penambahan variable dana

alokasi umum (DAU). Alokasi DAU bagi

daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi

kebutuhan fiskalnya kecil, akan

memperoleh alokasi DAU relative kecil.

Sebaliknya daerah yang potensi fiskalnya

kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar

maka akan memperoleh alokasi DAU

relative besar, secara implicit prinsip

tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai

faktor pemerataan kapasitas

fiskal.(Suhadak &T Nugroho, 2007:130)

DAU yang diberikan kepada

daerah ditetapkan sekurang-kurangnya

25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang

ditetakpan dalam APBN. DAU untuk

daerah provinsi dan kabupaten/kota

ditetapkan masing-masing sebesar 10%

dan 90%. Dana ini dimaksudkan untuk

menjaga pemerataan dan perimbangan

keuangan antar daerah. Pembagian DAU

dilakukan dengan memperhatikan: 1)

potensi daerah (PAD, BPHTB dan bagian

daerah dari penerimaan sumber daya

alam), 2) kebutuhan pembiayaan untuk

mendukung penyelenggaraan pemerintah

di daerah, 3) tersedianya dana APBN.

Dana alokasi khusus (DAK) dimaksudkan

untuk membantu membiayai

kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang

merupakan urusan daerah dan sesuai

dengan prioritas nasional, khususnya untuk

membiayai kebutuhan sarana dan

prasarana pelayanan dasar masyarakat

yang belum mencapai standar tertentu atau

untuk mendorong percepatan

pembangunan daerah.

Undang-undang Nomor 33 Tahun

2004 juga mengatur hibah yang berasal

dari pemerintah negara asing,

badan/lembaga asing, badan/lembaga

(11)

dalam negeri atau perseorangan, baik

dalam bentuk devisa, rupiah maupun

dalam bentuk barang dan atau jasa

termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang

tidak perlu mengeluarkan biaya (tidak

dibayar). Pendapatan lain-lain selain hibah,

dalam undang-undang nomor 33 tahun

2004 juga mengatur pemberian dana

darurat kepada daerah karena bencana

nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang

tidak dapat ditanggulangi dengan dana

APBD. Disamping itu pemerintah juga

dapat memberikan dana darurat pada

daerah yang mengalami krisis solvabilitas

yaitu daerah yang mengalami krisis

keuangan yang berkepanjangan misalnya

daerah yang mengalami bencana alam

yang hebat, sehingga memporak –

porandakan infrastruktur dan

fasilitas-fasilitas umum daerah. Untuk menghindari

menurunnya pelayanan kepada masyarakat

setempat, pemerintah dapat memberikan

dana darurat kepada daerah tersebut

setelah dikonsultasikan terlebih dahulu

dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pinjaman daerah merupakan

salah sumber pembiayaan yang bertujuan

untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi

daerah dan meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat. Pembiayaan yang

bersumber dari pinjaman harus dikelola

secara benar agar tidak menimbulkan

dampak negative bagi keuangan daerah

sendiri serta stabilitas ekonomi dan

moneter secara nasional, oleh karena itu

pinjaman daerah perlu mengikuti kriteria,

persyaratan, mekanisme dan sanksi

pinjaman daerah yang diatur dalam

undang-undang tersebut.

Selanjutnya dalam

undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa

daerah dilarang malakukan pinjaman

langsung ke luar negeri. Pinjaman yang

bersumber dari luar negeri hanya dapat

dilakukan dengan melalui pemerintah

beserta mekanisme penerusan pinjaman.

Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat

prinsip kehati-hatian dan kesinambungan

fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter

oleh pemerintah. Dilain pihak pinjaman

daerah tidak hanya dibatasi untuk

membiayai prasarana dan sarana yang

menghasilkan penerimaan, tetapi juga

dapat untuk membiayai proyek

pembangunan prasarana dasar masyarakat

walaupun tidak menghasilkan penerimaan.

Selain itu juga dilakukan pembatasan

pinjaman dalam rangka pengendalian

deficit APBD dan batas kumulatif

pinjaman daerah.

Kemudian daerah juga

dimungkinkan untuk menerbitkan obligasi

daerah dengan persyaratan tertentu, serta

mengikuti peraturan-peraturan dan

(12)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

26

modal dan memenuhi ketentuan nilai

bersih maksimal obligasi daerah yang telah

mendapatkan persetujuan pemerintah.

Segala bentuk akibat atau resiko yang

timbul dari penerbitan obligasi daerah

menjadi tanggung jawab daerah

sepenuhnya.

Pengelolaan keuangan dilakukan

secara tertib, taat pada peraturan-peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis,

efektif, transparan dan dapat

dipertanggung jawabkan kepada para

pemangku kepentingan yang sudah

menjadi tuntutan masyarakat. Semua

penerimaan dan pengeluaran yang menjadi

hak dan kewajiban daerah dalam tahun

anggaran yang bersangkutan harus

dimasukkan dalam APBD. Dalam

pengadministrasian keuangan daerah,

APBD, perubahan APBD dan pertanggung

jawaban pelaksanaan APBD setiap tahun

ditetapkan dengan peraturan daerah.

Surplus APBD digunakan untuk

membiayai pengeluaran daerah tahun

anggaran berikutnya, membentuk dana

cadangan dan penyertaan modal dalam

perusahaan daerah. Dalam hal anggaran

diperkirakan defisit, maka ditetapkan

sumber-sumber pembiayaan untuk

menutup defisit tersebut.

Pengaturan dana dekonsentrasi

bertujuan untuk menjamin tersedianya

dana bagi pelaksanaan kewenangan

pemerintah yang dilimpahkan kepada

gubernur sebagai wakil pemerintah. Dana

tugas pembantuan untuk menjamin

tersedianya dana bagi pelaksanaan

kewenangan pemerintah yang ditugaskan

kepada daerah. Pengadministrasian dana

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

dilakukan melalui mekanisme APBN,

sedangkan pengadministrasian dana

desentralisasi mengikuti mekanisme

APBD, hal ini dimaksudkan agar

penyelenggaraan pembangunan dan

pemerintahan daerah dapat dilakukan

secara efektif, efisien, transparan dan

akuntabel. Dalam rangka meningkatkan

pelaksanaan desentralisasi berdasarkan

prinsip transparansi dan akuntabilitas,

diperlukan adanya dukungan sistem

informasi keuangan daerah, adapun sistem

tersebut antara lain dimaksudkan untuk

perumusan kebijakan dan pengendalian

fiskal nasional.

Manajemen Pendapatan Asli Daerah

Sistem pemerintahan yang

sentralistik yang dialami bangsa Indonesia

selama masa orde lama dan orde baru

memberikan pelajaran kepada kita semua

bahwa pendekatan sentralistik dalam

pembangunan telah menimbulkan dampak

yang negative, dampak negative tersebut

(13)

kreativitas daerah untuk lebih

mengembangkan potensi daerah sesuai

dengan keinginan masyarakat daerah

tersebut. Selain itu sentralisasi telah

menyebabkan pemerintah daerah semakin

kuat tingkat ketergantungannya terhadap

pemerintah pusat, kedua hal tersebut cukup

membuat pemerintah dan masyarakat

daerah tidak berdaya membangun

daerahnya sendiri. Besarnya intervensi

pemerintah pusat yang dilakukan pada

masa lalu telah menimbulkan distorsi.

Hal tersebut diperparah dengan

masih kuatnya perilaku rent seeking dan

korupsi yang akibatnya mengganggu

mekanisme pasar, dampak tersebut masih

terasa sampai saat ini. Secara umum

pemerintah daerah masih mengalami

banyak masalah diantaranya: 1) ketidak

cukupan sumber daya finansial, 2)

minimnya jumlah pegawai yang memiliki

ketrampilan dan keahlian, 3) prosedur dan

sistem pengendalian manajemen yang

tidak memadai, 4) rendahnya produktivitas

pegawai, 5) inefisien, 6) infrastruktur yang

kurang mendukung, 7) lemahnya

perangkat hukum (aparat penegak hukum

dan peraturan hukum) dan kesadaran

masyarakat terhadap penegakan hukum, 8)

political will yang rendah, 9) adanya

benturan budaya yang destruktif, 10)

korupsi, kolusi dan nepotisme, 11)

lemahnya akuntabilitas publik. (Sadu

Wasistiono,2010:69)

Dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,

pemerintah daerah diharapkan memiliki

kemandirian yang lebih besar, tetapi saat

ini masih banyak masalah yang dihadapi

pemerintah daerah terkait dengan upaya

meningkatkan penerimaan daerah antara

lain :

a. Tingginya tingkat

kebutuhan daerah (fiscal need) yang tidak seimbang dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang dimiliki daerah, sehingga menimbulkan celah fiskal (fiscal gap)

b. Kualitas pelayanan publik yang masih memprihatinkan menyebabkan produk layanan publik yang sebenarnya dapat dijual ke masyarakat direspon secara negative, keadaan tersebut juga menyebabkan keengganan masyarakat untuk taat membayar pajak dan retribusi daerah

c. Lemahnya infrastruktur prasarana dan sarana umum

d. Berkurangnya dana bantuan dari pusat yaitu DAU dari pusat yang tidak mencukupi

e. Belum diketahuinya potensi PAD yang mendekati kondisi riel.

Pemerintah daerah harus dapat

lebih meningkatkan PAD untuk

mengurangi ketergantungan terhadap

pembiayaan dari pemerintah pusat,

(14)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

28

keleluasaan kewenangan daerah (local

discretion). Langkah penting yang harus

dilakukan pemerintah daerah untuk

meningkatkan penerimaan daerah adalah

menghitung potensi Pendapatan Asli

Daerah yang riel dimiliki daerah, oleh

karena itu diperlukan metode penghitungan

potensi PAD yang sistematis dan rasional.

Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah

sebenarnya tidak hanya menyangkut

peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas

fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi

sumber-sumber penerimaan daerah, oleh

karena itu tidak perlu dibuat dikotomi

antara Pendapatan Asli Daerah dengan

Dana Perimbangan. Namun demikian perlu

dipahami juga bahwa peningkatan

kapasitas fiskal bukan berarti anggaran

yang besar jumlahnya.

Anggaran yang dibuat besar

jumlahnya tetapi tidak dikelola dengan

baik atau tidak memenuhi prinsip value for

money, justru akan menimbulkan masalah,

misalnya terjadi kebocoran anggaran, yang

terpenting adalah optimalisasi anggaran,

karena peran pemerintah daerah nantinya

lebih bersifat sebagai fasilitator dan

motivator dalam menggerakkan

pembangunan di daerah. (Osborne and

Gaebler, 1993). Masyarakat daerah

sendiri, yang dimaksud termasuk swasta,

LSM, Perguruan Tinggi dan sebagainya,

yang akan banyak berperan membangun

daerahnya sesuai dengan kepentingan dan

prioritas mereka.

Pemerintah daerah seringkali

dihadapkan dengan masalah tingginya

kebutuhan fiskal daerah sementara

kapasitas fiskal daerah tidak mencukupi

dan hal tersebut yang menyebabkan

terjadinya kesenjangan fiskal. Manajemen

PAD terkait dengan upaya peningkatan

kapasitas fiskal daerah, sedangkan

terhadap kebutuhan fiskal daerah perlu

dilakukan manajemen pengeluaran daerah

secara komprehensif, salah satu caranya

adalah dengan membuat standar biaya

(Standar Analisa Belanja).

Beberapa strategi yang dapat

dilakukan pemerintah daerah untuk

menutup kesenjangan atau celah fiskal

sebagai berikut:

a. Harus disadari bahwa tidak semua pengeluaran yang direncanakan penting dilakukan. Pemerintah daerah seharusnya menguji belanja dan biaya-biaya yang terjadi, barangkali terdapat pengeluaran yang perlu dikurangi atau mungkin tidak usah dilakukan.

b. Mempelajari kemungkinan meningkatkan pendapatan melalui

charging for service (penjualan jasa public)

(15)

d. Kemungkinan menaikkan pajak melalui peningkatan tarif dan perluasan subyek dan obyek pajak

e. Mengoptimalkan

penerimaan pajak pusat yang dapat di sharing dengan daerah (PPh Perseorangan, BPHTB), jika potensinya cukup besar maka pemerintah daerah dapat membantu memobilisasi penerimaan pajak pusat, sehingga bagian bagi hasil pajak untuk daerah tersebut tinggi.

Pemerintah daerah diharapkan

untuk tidak menambah pungutan yang

bersifat pajak ataupun menambah jenis

pajak baru, jika akan menambah pungutan

hendaknya yang bersifat retribusi,

sedangkan pajak justru diupayakan sebagai

the last effort” saja, bahkan idealnya

pungutan pajak yang dibayar masyarakat

adalah pajak pusat.

Memang berdasarkan peraturan

baru, pemerintah daerah kabupaten/kota

dimungkinkan untuk menambah jenis

pajak lain di luar yang telah diatur dalam

undang-undang nomor 34 tahun 2000

dengan peraturan daerah. Ketentuan baru

tersebut dimaksudkan untuk memberikan

keleluasaan kepada daerah kabupaten/kota

dalam mengantisipasi situasi dan kondisi

serta perkembangan perekonomian daerah

pada masa mendatang yang mengakibatkan

perkembangan potensi pajak. Disamping

itu pemerintah dapat mengoptimalkan

penerimaan pajak pusat yang dapat di-

sharing dengan daerah misalnya PPh orang

pribadi dalam negeri dan BPHTB. Jika

potensinya cukup besar maka pemerintah

daerah dapat membantu memobilisasi

penerimaan pajak pusat, sehingga bagian

bagi hasil pajak untuk daerah tersebut

dapat menerima capaian yang tinggi,

sebagai gambaran apabila pemerintah

daerah dapat meningkatkan perolehan

pajak atas PPh orang pribadi dalam negeri

termasuk PPh pasal 21 di daerahnya maka

bagian pajak untuk daerahnya akan

mencapai tinggi, hal ini selain

menguntungkan pemerintah daerah juga

menguntungkan pemerintah pusat.

Manajemen Dana Perimbangan

Sumber penerimaan daerah dalam

konteks otonomi daerah dan desentralisasi

untuk saat ini masih didominasi oleh

bantuan dan sumbangan dari pemerintah

pusat baik dalam bentuk Dana Alokasi

Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus

(DAK) dan dana bagi hasil, sedangkan

porsi PAD masih relative kecil. Secara

rata-rata nasional PAD hanya member

kontribusi 12 -15% dari total penerimaan

daerah, sedangkan yang kurang lebih 70%

masih menggantungkan sumbangan dan

bantuan dari pemerintah pusat.

Berdasarkan data distribusi presentase

penerimaan daerah untuk daerah kabupaten

(16)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

30

menunjukkan bahwa kontribusi rata-rata

PAD masih jauh lebih rendah (12,63%)

disbanding dengan sumbangan dan

bantuan dari pemerintah pusat (70,52%)

(Mardiasmo, 2004:155)

Di kalangan pemerintah daerah

sendiri masih terdapat anggapan bahwa

terhadap PAD, pemerintah daerah bebas

menggunakannya untuk kepentingan

daerah, sedangkan Dana Perimbangan

penggunaannya perlu menunggu petunjuk

dan arahan dari pusat, yang harus dipahami

adalah bahwa kewenangan yang dimiliki

daerah tidak sebatas dalam menggunakan

PAD-nya saja. Dan juga yang perlu

dipahami adalah bahwa otonomi dan

desentralisasi tidak berarti tiap daerah

harus dapat membiayai seluruh

pengeluaran rutin dan modalnya dari

pendapatan asli daerah.

Dalam kaitannya dengan

manajemen penerimaan daerah,

manajemen Dana Perimbangan juga

merupakan aspek yang harus diperhatikan

oleh pemerintah daerah, beberapa daerah

mengeluhkan bagian DAU yang diterima

tidak cukup untuk membiayai pengeluaran

daerah, idealnya penerimaan daerah yang

berasal dari Dana Bagian Daerah atas PPh

Perseorangan, PBB, BPHTB dan

penerimaan SDA serta dari Dana Alokasi

Umum sudah cukup untuk membiayai

Belanja Pegawai dan Belanja Nonpegawai,

tetapi di beberapa pemerintah daerah DAU

yang diterima tidak cukup untuk

membiayai belanja pegawai, sehingga

perlu dana bantuan dari pemerintah pusat.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah

Nomor 104 tahun 2000 tentang Dana

Perimbangan tujuan DAU terutama adalah

: a) horizontal equity dan b) sufficiency.

Tujuan horizontal equity merupakan

kepentingan pemerintah pusat dalam

rangka melakukan distribusi pendapatan

secara adil dan merata agar tidak terjadi

kesenjangan yang besar antar daerah.

Sementara itu, yang menjadi

kepentingan daerah adalah kecukupan

(sufficiency), terutama adalah untuk

menutup fiscal gap. Sufficiency

dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu

kewenangan, beban dan Standar Pelayanan

Minimum (SPM). Pada dasarnya terdapat

dua jenis grant yang diberikan pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah yaitu : 1)

Block Grant (dana alokasi umum) dan

Specific Grant (dana alokasi khusus).

Dalam rangka meningkatkan local

discretion, grant yang diberikan oleh

pemerintah pusat lebih banyak bersifat

block grant, bukan specific grant. Namun

masih perlu dievaluasi mekanisme

perhitungan DAU (block grant) yang saat

ini diterapkan. Sebagaimana dijelaskan

oleh Sekretariat Bidang Perimbangan

(17)

penghitungan DAU didasarkan pada dua

factor yaitu:

a. Faktor murni merupakan penghitungan DAU berdasarkan formula.

b. Faktor penyeimbang

merupakan suatu mekanisme untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam pembiayaan beban pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah.

Dimasukkannya faktor

penyeimbang dalam penghitungan DAU

karena adanya kelemahan dalam faktor

murni. Penghitungan DAU dengan

menggunakan formula murni menunjukkan

bahwa banyak daerah yang mengalami

penurunan penerimaan dibandingkan

dengan tahun-tahun sebelumnya,

sementara beberapa daerah mengalami

lonjakan penerimaan yang luar biasa.

Untuk menghindari pengaruh negatif,

misalnya kesenjangan antar daerah yang

justru semakin lebar, maka digunakan

factor penyeimbang. Pendekatan atas

factor penyeimbang dilakukan dengan

memperhitungkan Dana Rutin Daerah

(DRD) dan Dana Pembangunan Daerah

(DPD) untuk masing-masing daerah yang

diterima tahun sebelumnya.

Alasan digunakan Dana Rutin

Daerah (DRD) dan/atau Dana

Pembangunan Daerah (DPD) sebagai

faktor penyeimbang adalah :

a. Pada dasarnya DAU

merupakan “pengganti” DRD/DPD, dalam pengertian bahwa bentuk transfer dari pusat kepada daerah selain bagi hasil pajak dan bukan pajak yang ada selama ini adalah DRD/DPD.

b. Apabila DAU yang

dialokasikan untuk suatu daerah lebih kecil dari penerimaan transfer sebelumnya, dikhawatirkan akan memberikan dampak psikologis maupun dampak teknis financial yang kurang baik.

c. DRD merupakan ukuran beban Belanja Pegawai, karena selama ini pegawai daerah digaji melalui SDO dan selain itu DAU mempunyai sifat yang kurang lebih sama dengan DRD karena akan diterimakan secara rutin setiap bulan.

Departemen Keuangan melalui

Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan

Daerah telah melakukan evaluasi terhadap

formula DAU tahun 2001 dan telah

membuat formula baru untuk DAU tahun

2002, berbeda dengan model DAU tahun

2001, dalam formula alokasi DAU tahun

2002 setiap variabel memiliki bobot yang

tidak sama. Dengan memiliki bobot yang

berbeda diharapkan alokasi DAU tahun

2002 dapat memenuhi tujuan pemerataan

fiskal antar daerah.

Beberapa kebijakan yang

digunakan dalam formulasi DAU tahun

2002 (Kadjatmiko, 2001) adalah :

a. Formula DAU tetap

(18)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

32

fiscal needs dibandingkan dengan fiscal capacity.

b. Identifikasi variable-variabel yang dipertimbangkan dalam formulaDAU tetap mengacu Undang-undang nomor 25 tahun 1999 dan memberikan variable tambahan atau merupakan penyempurnaan dari variable formula DAU dalam Peraturan Pemerintah nomor 104 tahun 2000.

c. Formula DAU harus

sederhana, mudah dipahami dan dimengerti, sehingga pemerintah daerah diharapkan dapat menghitung sendiri alokasi DAU yang akan diterima.

d. Akurasi data yang akan digunakan untuk penghitungan DAU harus menjadi perhatian utama.

Dalam formulasi DAU tahun

2002 masih diperlukan adanya suatu

mekanisme faktor penyeimbang untuk

menjaga tercukupinya kebutuhan

minimum suatu daerah, namun demikian

keberadaan factor penyeimbang dalam

perhitungan DAU tahun 2002 diharapkan

mengalami penurunan sehingga dapat

menonjolkan formula DAU itu sendiri,

diharapkan di masa yang akan datang

keberadaan factor penyeimbang tersebut

semakin kecil peranannya dan bahkan

tidak ada lagi.(Mardiasmo, 2004: 159)

Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) dalam era

otonomi daerah disusun dengan

pendekatan kinerja. Anggaran dengan

pendekatan kinerja adalah suatu system

anggaran yang mengutamakan pada upaya

pencapaian hasil (kinerja) atau output

perencanaan alokasi biaya atau input yang

ditetapkan. Dalam struktur APBD yang

baru Sisa Lebih Perhitungan APBD Tahun

Lalu dan Pinjaman (Utang) tidak lagi

dimasukkan sebagai unsure penerimaan

daerah, akan tetapi dimasukkan sebagai

pembiayaan daerah. Dengan struktur baru

tersebut akan lebih mudah mengetahui

surplus atau defisit, sehingga

meningkatkan transparansi informasi

anggaran kepada masyarakat (public),

apabila terjadi deficit anggaran, untuk

menutupnya disediakan pos tambahan

yaitu post “Pembiayaan”. Pembiayaan

adalah transaksi keuangan daerah yang

dimaksudkan untuk menutup selisih antara

Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah.

Pemerintah daerah juga dimungkinkan

untuk membentuk dana cadangan. Dengan

demikian anggaran tidak harus dihabiskan

selama tahun anggaran bersangkutan, akan

tetapi dapat ditransfer ke dalam dana

cadangan.

Untuk meningkatkan local

discretion dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,

pemerintah daerah perlu meningkatkan

kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity).

Salah satu hal yang perlu dilakukan

(19)

meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan

menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap)

adalah melalui pembenahan

pengelolaan/manajemen penerimaan

daerah. Aspek pengelolaan/manajemen

penerimaan daerah yang perlu

dioptimalkan meliputi

manajemen/pengelolaan Pendapatan Asli

Daerah dan pengelolaan/manajemen Dana

Alokasi Umum. Dalam era otonomi daerah

dan des

Kesimpulan

Penyelenggaraan otonomi daerah

pada masa sekarang lebih dipahami

sebagai hak yaitu hak masyarakat daerah

untuk mengatur dan mengelola

kepentingannya sendiri serta

mengembangkan potensi dan sumber daya

daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah

yang dimaksudkan agar dapat mendorong

untuk memberdayakan masyarakat serta

menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,

meningkatkan peran serta masyarakat dan

juga mengembangkan peran dari fungsi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD).

Penyelenggaraan otonomi daerah

dilaksanakan dengan memberikan

kewenangan yang luas, nyata dan

bertanggung jawab kepada daerah secara

proporsional yang diwujudkan dengan

pengaturan, pembagian dan pemanfaatan

sumber daya nasional yang berkeadilan

serta perimbangan keuangan pemerintah

pusat dan daerah. Tujuan penyelenggaraan

otonomi daerah pada era reformasi

sekarang lebih menekankan pada

prinsip-prinsip demokratisasi, peran serta

masyarakat, pemerataan dan keadilan serta

memperhatikan potensi dan

keanekaragaman daerah.

Asas desentralisasi penuh kepada

daerah kabupaten dan kota berimplikasi

pada penyelenggaraan otonomi daerah

secara luas, nyata dan bertanggung jawab.

Otonomi daerah secara luas berarti

penyerahan kewenangan daerah mencakup

kewenangan dalam seluruh bidang

pemerintahan, kecuali kewenangan dalam

bidang politik luar negeri, pertahanan dan

keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,

agama serta kewenangan bidang lain.

Kewenangan bidang lain dimaksudkan

adalah perencanaan dan pengendalian

pembangunan nasional secara makro,

perimbangan keuangan, sistem

administrasi negara dan lembaga

perekonomian negara, pembinaan dan

pemberdayaan sumber daya manusia,

pendayagunaan sumber daya alam serta

teknologi tinggi yang strategis, konservasi

(20)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

34

Manajemen/pengelolaan

keuangan daerah sangat dipengaruhi oleh

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004

maupun Undang-undang Nomor 33 tahun

2004, karena hal ini berkaitan erat dengan

konsep otonomi dan desentralisasi yang

pada hakekatnya memberikan kekuasaan,

kewenangan dan keleluasaan (diskresi)

kepada pemerintahan daerah guna

mengatur dan menetukan penggunaan dana

untuk melaksanakan urusan wajib dan

urusan pilihan yang telah ditetapkan dalam

peraturan daerah. Seperti telah diterangkan

di depan bahwa untuk membiayai

pelaksanaan asas desentralisasi maka

pembiayaan kegiatan-kegiatan tersebut

bersumber dari APBD. Sumber-sumber

pokok keuangan daerah terdiri dari PAD

dan Dana Perimbangan yang terdiri dari

DAU dan DAK, sedangkan besarnya Dana

Perimbangan akan berimplikasi pada

struktur dan proporsi pengeluaran dan

penerimaan pada APBD.

Konsekuensi dari otonomi daerah

adalah terjadinya perpindahan arus uang

dari pusat ke daerah yang berarti terjadi

suatu pergeseran anggaran yang

sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat

menjadi anggaran yang dikelola oleh

daerah sehubungan dengan pembagian

kewenangan antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah. Hal tersebut

berimplikasi pada APBD pada pos

penerimaan APBD dan sebagai

konsekuensinya jumlah penerimaan akan

membesar, oleh karena itu harus diikuti

dengan manajemen /pengelolaan keuangan

daerah yang efisien dan efektif, juga

disertai dengan peningkatan sumber daya

manusia, tak kalah penting juga harus

diikuti dengan pemberian wewenang dan

keleluasaan yang lebih besar untuk

mengatur dan menentukan penggunaan

dana tersebut. Pengelolaan/manajemen

penerimaan daerah harus dilakukan secara

cermat, tepat dan hati-hati. Pemerintah

daerah hendaknya dapat menjamin bahwa

semua potensi penerimaan telah terkumpul

dan dicatat ke dalam sistem akuntansi

pemerintah daerah. Dalam hal ini

pemerintah daerah perlu memiliki sistem

pengendalian yang memadai untuk

menjamin ditaatinya prosedur dan

kebijakan manajemen yang telah

ditetapkan. Pemerintah daerah perlu

meneliti dengan seksama adakah

penerimaan yang tidak disetor ke dalam

kas pemerintah daerah dan kemungkinan

penyalahgunaan oleh petugas di lapangan.

Perlu juga diperhatikan dan diteliti pada

masyarakat yang tidak membayar pajak

dan pemberian sanksi atas tindakan

penggelapan pajak.

Disamping itu perlu dilakukan

penyederhanaan prosedur administrasi

(21)

Penyederhanaan prosedur administrasi

dimaksudkan untuk memberi kemudahan

bagi masyarakat pembayar pajak dan

retribusi daerah sehingga diharapkan dapat

meningkatkan kepatuhan wajib pajak

dalam membayar pajak. Aspek utama

manajemen penerimaan daerah yang perlu

mendapatkan perhatian serius adalah

manajemen pendapatan asli daerah dan

manajemen dana perimbangan.

Manajemen dana pinjaman sekalipun

penting untuk diteliti dan dikaji, akan

tetapi untuk saat ini focus perhatian lebih

terarah pada manajemen PAD dan

manajemen DAU.

DAFTAR PUSTAKA.

Abdul Halim dan Ibnu Mujib, 2009, Problem

Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan

Pemerintah Pusat-Daerah, Cetakan

1,Yogyakarta: Sekolah Pascasarja UGM

Ahmad Yani, 2008, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Abdul Halim, 2008, Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi 3, Jakarta: Salemba Empat.

__________ ,2004, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah,Yogyakarta: AMP - YKPN

Basuki, 2008, Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan 2, Yogtakarta: Kreasi Wacana.

Coe,Charles K, 1995, Public Financial Management, Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall.

Deddy Supriadi, dkk, 2002, Otonomi

Penyelenggaraan Penerintah Daerah, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Hadi,M, 1980, Administrasi Keuangan Negara Republik Indonesia, Jakarta:Rajawali Press

Mardiasmo,2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Andi.

Mamesah, 1995, Sistem Administrasi

Keuangan Daerah, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Nurlan Darise,2006, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta:Indeks Kelompok Gramedia

Raharjo Adisasmita,2011, Pengelolaan

Pendapatan Dan Amggaran Daerah,

Yogyakarta: Graha Ilmu.

---, 2010, Manajemen Pemerintah Daerah, Yogyakarta: Graha Ilmu

Suparmoko,2008, Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: BPFE.

Suhadak dan Trilaksono N, 2007, Paradigma

Baru Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi, Malang:

FIA-Unibraw.

Sugiarto, 1995, Dasar Pemeriksaan Akuntansi, Yogyakarta : BPFE.

Sonny Sumarsono, 2010, Manajemen

Keuangan Pemerintahan, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soekarwo, 2003, Berbagai Permasalahan

Keuangan Daerah, Surabaya: Airlangga

(22)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 15 – 36

36

Sadu Wasistiono, 2010, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Bandung: Fokusmedia.

Peraturan Perundang-undangan :

UU No. 22/1999 Jo UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah

UU No.25/1999 Jo UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah

UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

UU No. 1 Tahun 2004 Tentang

Perbendaharaan Negara.

UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

PP No. 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan.

PP No. 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.

PP No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

PP No. 8 Tahun 2006 Tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan metode pengembangan KMS yang diusulkan dengan model SECI dan pendekatan SSM sebuah organisasi dapat melihat secara holistik sebuah permasalahan yang timbul akibat

Berdasarkan hasil analisis, dapat disim- pulkan bahwa kawasan Rawa Pening yang di- wakili oleh 12 desa yang mengelilingi Danau Rawa Pening memiliki potensi yang

Diyah maftuhah (UIN Sunan Kalijaga: 2009) dalam sekripsinya yang berjudul Pelaksanaan Kurikulum Terpadu di Madrasah Tsanawiyah Sunan Pandanaran Sleman Yogyakarta. Hasil

Gaya komunikasi asertif tersebut digunakan pada saat memberikan tugas pekerjaan, saat memberikan tugas yang berhubungan dengan divisi lain, memberikan informasi mengenai

Metode deteksi tgt pd bgmn sinyal optis DICAMPUR dgn osilator lokal (homodyne atau heterodyne) dan sinyal listrik DIDETEKSI (sinkron dan asinkron):.. PENCAMPURAN sinyal informasi

(2017) juga berpendapat bahwa kerjasama tim dapat memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja. Oleh karena itu, kerjasama tim terindikasi memiliki pengaruh terhadap kepuasan

Pengujian pemadatan tanah dilakukan dengan metode Proctor standar atau pengujian kepadatan ringan (SNI No. 1742-1989-F) dan dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan

Kondisi yang berbeda terjadi untuk wilayah Jawa Timur sebelah Barat, kondisi kelembaban udara relatif lebih tinggi >15 % dibandingkan dengan normal bulan