PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
MAHASISWA PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan
dalam Bidang Pengembangan Kurikulum
Promovendus
MUHAMMAD THOHRI NIM 0800842
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
DISETUJUI UNTUK DISIDANGKAN PADA UJIAN TAHAP II
Ketua Penguji,
Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.
Promotor Merangkap Penguji I
Prof. Dr. Hj. Mulyani Sumantri, M.Sc.
Kopromotor Merangkap Penguji II
Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd
Anggota Merangkap Penguji III
Dr. Vismaia S. Damaianti, M.Pd.
Penguji IV
Prof. Dr. Dadang Suganda, M.Hum.
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul: Pengembangan
Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam ini beserta seluruh
isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, April 2013 Yang Membuat Pernyataan,
ABSTRAK
Thohri, Muhammad. (2013). 0800842. Pengembangan Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia
untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam. Disertasi, Program Studi Pengembangan Kurikulum. Universitas Pendidikan
Indonesia. Bandung.
Promotor: Prof. Dr. Hj. Mulyani Sumantri, M.Sc. Kopromotor: Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd Anggota: Dr. Vismaia Sabariah Damaianti, M.Pd.
Kata kunci: keterampilan berpikir kritis, bahan ajar, Bahasa Indonesia, literasi,
pengembangan
Penelitian ini didasarkan pada tidak tersedianya bahan ajar yang mengembangkan berpikir tingkat tinggi seperti keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Padahal, ketersediaan bahan ajar sangat esensial bagi mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Sebagai keterampilan dasar, keterampilan berpikir kiritis dapat diterapkan pada pembelajaran bahasa jika prosedur pembelajaran atau bahan ajar berorientasi pada keterampilan berpikir kritis. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa bahan ajar Bahasa Indonesia tidak relevan dengan tuntutan berpikir tingkat tinggi mahasiswa. Dosen Bahasa Indonesia juga tidak kreatif merancang bahan ajar sesuai dengan tingkat berpikir mahasiswa. Didukung oleh sumberdaya yang memadai, pengembangan model bertujuan untuk mengembangkan model bahan ajar mata kuliah Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa perguruan tinggi Islam. Menggunakan pendekatan Dick dan Carey, data dikumpulkan melalui kuesioner tertutup, dokumentasi, wawancara, dan penilaian ahli. Data dianalisis melalui teknik deskriptif kualitatif. Sebagai bentuk validasi akademik, konstruk, konten, dan validitas pembelajaran telah dinilai oleh para ahli yang kompeten dan serangkaian evaluasi lapangan. Produk pengembangan model ini adalah model bahan ajar mata kuliah Bahasa Indonesia yang berorientasi pada keterampilan berpikir kritis, dengan nama 'Literasi Bahasa Indonesia (LBI)© dan model prosedural-komponensial pengembahan bahan ajar Model Integralistik R&T©. Model ini memiliki implikasi teoretis antara lain (a) pendekatan Dick & Carey adalah ideal dan fleksibel jika digunakan dalam fokus, konteks, konten, dan format produk pengembangan tertentu, (b) konten kurikulum dan konten pedagogi pada bahan ajar Bahasa Indonesia membutuhkan pembelajaran essential
learning; dan (c) keterampilan berpikir kritis dan keterampilan berbahasa produktif layak
ABSTRACT
Thohri, Muhammad. (2013). 0800842. Developing Model of Teaching Material Bahasa Indonesia to Increase Critical Thinking Skills of Islamic Higher Education Students.
Dissertation, Program Study of Curriculum Development. Indonesia University of Education.
Bandung.
Promoter: Prof. Dr. Hj. Mulyani Sumantri, M.Sc. Co-Promoter: Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd Associate: Dr. Vismaia Sabariah Damaianti, M.Pd.
Key words: critical thinking skills, teaching material, Bahasa Indonesia, literacy,
developing
This research and development is based on unavailability of teaching material which
develops the students’ critical thinking skills as a high order thinking through Bahasa
Indonesia in Higher Education (HE). Whereas it is very essential and important for students
to develop critical thinking skills. As a fundamental skills, it can be applied to the language teaching if learning procedures or teaching materials are constructed based on it. Preliminary research shown that the teaching material of Bahasa Indonesia is not relevant with high order thinking needed; the Bahasa Indonesia lecturers are not creative in selecting or designing teaching materials suitable with HE students thinking levels. Supported by availability resources, the teaching material model design study aimed at developing model of teaching material Bahasa Indonesia course to enhance critical thinking skills of Islamic higher education students. Employing Dick and Carey procedure, data collected through closed questionnaire, documentation, interview, and expert judgment. Data analyzed through descriptive qualitative technique. As an academic validation guarantee, its construct, content, and learning validities have been judged by competent experts and series of field evaluation. The product of this developmental study was teaching material model of Bahasa Indonesia based-on critical thinking skill. It is named by ‘Literasi Bahasa Indonesia©’ and procedural-componential model for developing teaching material named ‘Model Integralistik R&T©’. The models have theoretical implications such as (a) Dick & Carey procedure is ideal and flexible based on focus, context, content, and product format; (b) curriculum content and pedagogical content in teaching material Bahasa Indonesia are need essential learning to be instructional effect shuch as critical thinking skills and language skills; (c) critical thinking skills and language productive skills are needed to formulated in integralistic approaches.
Model will be effective if followed by teacher’ skills, academic atmosphere, good
DAFTAR ISI
1. Peran Bahan Ajar dalam Pendidikan... 1
2. Bahan Ajar Bahasa Indonesia Inklusi Keterampilan Berpikir Kritis ... 5
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian ... 11
C. Pertanyaan Penelitian ... 13
D. Tujuan Penelitian ... 14
E. Definisi Operasional... 15
F. Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 16
G. Struktur Organisasi Disertasi ... 19
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterampilan Berpikir Kritis dalan Wacana Studi Bahasa ... 20
1. Interkoneksi Berbahasa dan Berpikir ... 20
2. Pengaruh Timbal Balik Bahasa dan Pikiran... 25
B. Kajian Epistemologis Keterampilan Berpikir Kritis ... 27
1. Kajian Historis Keterampilan Berpikir Kritis ... 27
2. Tinjauan Etimologis Berpikir dan Kritis ... 29
3. Berpikir Kritis dalam Alquran ... 30
4. Teori Keterampilan Berpikir Kritis ... 36
C. Berpikir Kritis dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi ... 44
1. Konten Berpikir Kritis dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi... 44
2. Mata Kuliah Bahasa Indonesia Inklusi Keterampilan Berpikir Kritis 47 3. Berpikir Kritis Versus Domain Kognitif Taksonomi Bloom ... 50
4. Pembelajaran Keterampilan Berpikir Kritis ... 53
D. Pengembangan Bahan Ajar Inklusi Keterampilan Berpikir Kritis ... 65
2. Pengembangan Bahan Ajar ... 71
3. Prinsip Pemilihan Bahan Ajar ... 74
4. Teori Belajar yang Mendasari Pengembangan Bahan Ajar ... 87
5. Tinjauan Metode Pengajaran Bahasa ... 91
E. Pendekatan Pengembangan Bahan Ajar ... 99
1. Model Pendekatan (Perancangan) Sistem Pembelajaran ... 99
2. Pendekatan Model Dick and Carey ... 106
F. Kajian Riset Mutakhir dan Relevan ... 113
G. Kerangka Pikir Penelitian ... 117
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 119
B. Metode Penelitian... 122
C. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 127
D. Teknik Pengumpulan Data ... 131
E. Instrumen dan Pengembangan Instrumen Penelitian ... 131
F. Teknik Analisis Data ... 139
G. Spesifikasi Model yang Dikembangkan... 140
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Potret Perkuliahan Bahasa Indonesia ... 142
1. Profil IAIN Mataram ... 143
2. Potret Kurikulum Bahasa Indonesia ... 146
3. Kualifikasi Dosen ... 149
4. Implementasi Kurikulum Bahasa Indonesia ... 150
5. Karakteristik Mahasiswa ... 159
6. Buku Pegangan Dosen ... 162
7. Persepsi Mahasiswa Terhadap Bahan Ajar Bahasa Indonesia ... 164
8. Kebutuhan Belajar Mahasiswa ... 169
9. Analisis dan Interpretasi Data ... 172
a. Analisis dan Interpretasi Data Penelitian Pendahuluan ... 172
b. Korelasi Penelitian Pendahuluan dengan Keputusan Pengembangan ... 185
B. Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia PTAI ... 188
1. Desain dan Pengembangan Model ... 189
a. Rekonstruksi Prosedur Pengembangan Bahan Ajar ... 189
3) Analisis dan Revisi ... 244
2. Uji Coba Model Bahan Ajar ... 246
a. Uji Coba Perorangan ... 246
b. Uji Coba Kelompok Kecil ... 258
c. Uji Coba Lapangan ... 263
1) Respon Dosen pada Uji Lapangan ... 263
2) Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa pada Uji Lapangan . 267 C. Kelebihan dan Keterbatasan Model ... 271
1. Kelebihan Model ... 271
2. Keterbatasan Model ... 275
D. Pembahasan Hasil dan Temuan Penelitian ... 279
1. Relasi-Relevansi Studi Pendahuluan dengan Pengembangan... 279
2. Tinjauan Model Literasi Bahasa Indonesia Produk Pengembangan ... 291
a. Model Akhir Prosedur Pengembangan Bahan Ajar ... 291
b. Refleksi Hasil Validasi Ahli dan Pengujian Model ... 294
c. Model Bahan Ajar dalam Konteks Filsafat Pendidikan ... 297
d. Model Bahan Ajar dalam Konteks Kurikulum ... 299
e. Model Bahan Ajar dalam Konteks Perkuliahan ... 304
3. Alienasi Keterbatasan; Peneguhan Kelebihan ... 311
4. Tinjauan Akhir Model Bahan Ajar ... 317
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan ... 332
B. Implikasi ... 334
C. Rekomendasi ... 337
DAFTAR PUSTAKA ... 341
DAFTAR TABEL
Tabel
2.1 Tahapan Perkembangan Anak ala Piaget ... 37
2.2 Ringkasan Model Berpikir Kritis... 41
2.3 Keterampilan Berpikir Kritis Ennis ... 42
2.4 Inter-relasi Pembelajaran Berpikir Kritis Plus Pembelajaran Bahasa ... 49
2.5 Level dan Fokus Taksonomi Bloom ... 50
2.6 Pendekatan Tradisional dan Pendekatan Keterampilan Proses Menulis 60 2.7 Kriteria Umum Pemilihan Isi Bahan Ajar ... 77
2.8 Pembelajaran Bahasa dan Konseptualisasi Konten ... 100
3.1 Tahapan s.d.Target Penelitian Pengembangan ... 123
3.2 Konversi Tingkat Pencapaian ... 140
4.1 Fakultas dan Jurusan di IAIN Mataram ... 145
4.2 Posisi Bahasa Indonesia pada Kurikulum IAIN Mataram ... 146
4.3 Dosen Bahasa Indonesia IAIN Mataram 2011/2012 ... 149
4.4 Silabus Perkuliahan Bahasa Indonesia ... 151
4.5 Data Pelaksanaan Perkuliahan ... 156
4.6 Data Kegiatan Evaluasi Perkuliahan Bahasa Indonesia ... 158
4.7 Komponen dan Bobot Penilaian Perkuliahan Bahasa Indonesia ... 158
4.8 Latar Belakang Responden ... 160
4.9 Kemampuan Menulis Awal Mahasiswa Berdasarkan Analisis Kesalahan Berbahasa ... 162
4.10 Buku Bahasa Indonesia yang Digunakan di IAIN Mataram ... 164
4.11 Persepsi Mahasiswa Aspek Kelayakan Isi ... 165
4.12 Persepsi Mahasiswa Aspek Kelayakan Penyajian ... 167
4.13 Persepsi Mahasiswa pada Aspek Bahasa ... 168
4.14 Bahan Ajar Utama Pilihan Responden ... 170
4.15 Pedoman Konversi Kualifikasi Bahan Ajar Pilihan Mahasiswa ... 170
4.16 Perbandingan Model Pendekatan Integralistik, Dick and Carey, dan Borg & Gall via Sukmadinata ... 191
4.17 Posisi Teori dan Integrasinya dalam Desain Perkuliahan ... 196
4.18 Program Perkuliahan dan Teori Belajar ... 196
4.19 Ragam Definisi ‘Task’ ... 198
4.20 Spesifikasi Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia (Draf I) ... 207
4.21 Model Satuan Acara Perkuliahan (SAP) Per-pertemuan/Per-materi ... 225
4.22 Hirarki Orientasi Tujuan Perkuliahan dalam Keterampilan Berbahasa 234 4.23 Hasil Penilaian Ahli Isi ... 242
4.24 Hasil Penilaian Ahli Rancangan ... 243
4.25 Hasil Penilaian Ahli Perkuliahan ... 244
4.26 Data Persepsi Dosen pada Uji Perorangan Aspek Tujuan Perkuliahan ... 247
4.28 Data Persepsi Dosen pada Uji Perorangan Aspek
Struktur dan Organisasi Konten... 248
4.29 Data Persepsi Dosen pada Uji Perorangan Aspek Keterampilan Berpikir Kritis ... 249
4.30 Data Persepsi Dosen pada Uji Perorangan Aspek Keterampilan Bahasa ... 250
4.31 Data Persepsi Dosen pada Uji Perorangan Aspek Teach-ability (keterajaran) dan Fleksibilitas ... 251
4.32 Data Persepsi Dosen pada Uji Perorangan Aspek Strategi Perkuliahan ... 251
4.33 Data Persepsi Dosen pada Uji Perorangan Aspek Preparedness dan Penilaian ... 252
4.34 Data Persepsi Dosen pada Uji Perorangan Keseluruhan Aspek Penilaian ... 253
4.35 Pedoman dan Kriteria Pengambilan Keputusan ... 254
4.36 Aspek Model yang Mengalami Perbaikan ... 256
4.37 Revisi Tujuan Perkuliahan ... 257
4.38 Data Uji Kelompok Kecil Pertemuan I ... 258
4.39 Data Uji Kelompok Kecil Pertemuan II ... 259
4.40 Peningkatan Skor Keterampilan Berpikir Kritis Pertemuan I-II ... 260
4.41 Perbedaan Rata-rata Uji Tahap 1 dan 2 Uji Kelompok Kecil ... 262
4.42 Hasil Tanggapan Responden terhadap Model yang Dikembangkan ... 263
4.43 Skor Keterampilan Berpikir Kritis Pertemuan 1-3 ... 267
4.44 Rata-rata Uji Tahap 1, 2 dan 3 ... 269
4.45 Perbedaan Rata-rata Uji Tahap 1, 2 dan 3 ... 270
4.46 Sekuens Susunan Bahan Ajar ... 300
DAFTAR GAMBAR
Gambar
2.1 Visual Arti Kata ... 30
2.2 Taksonomi Bloom dan Revisinya ... 51
2.3 Taksonomi Bloom Domain Kognitif ... 52
2.4 Evaluate dan Create dalam Taksonomi Bloom Revisi Anderson ... 53
2.5 Problem Based Learning ... 55
2.6 Integrasi Sistemik Komponen Spesifik Bahan Ajar ... 67
2.7 Kedudukan Bahan Ajar dalam Sistem Proses Pembelajaran ... 69
2.8 Kontinum Pengembangan Bahan Ajar ... 73
2.9 Lima Aspek Penyusun Bahan Ajar ... 74
2.10 Pendekatan Pelaksanaan Pengembangan Bahan Ajar ... 75
2.11 Persuaan Teori-teori Belajar dan Pencetus Teori ... 90
2.12 Desain Pembelajaran Model Dick and Carey ... 109
2.13 Kerangka Pikir Penelitian ... 117
3.1 Proses Desain Pembelajaran Romizowsky ... 128
3.2 Langkah Pengujian Model ... 130
4.1 Model Interlink Bahan Ajar, Dosen dan Mahasiswa ... 203
4.2 Cakupan Keterampilan Bahasa dalam Model Bahan Ajar ... 203
4.3a Komponen Model Bahan Ajar Literasi Bahasa Indonesia ... 208
4.3b Komponen Model Bahan Ajar Literasi Bahasa Indonesia ... 208
4.4 Keterampilan yang Membangun Model Bahan Ajar ... 209
4.5 Model Silabus Hasil Pengembangan ... 216
4.6 Tahapan Perkuliahan ... 225
4.7 Model Organisasi Sajian ... 227
4.8 Organisasi Isi ... 229
4.9 Interaksi Empat Keterampilan Berbahasa ... 231
4.10 Porsi Pengetahuan dan Keterampilan Bahasa... 232
4.11 Analisis Pembelajaran ... 233
4.17 Formulasi Kebutuhan Pengembangan ... 280
4.18 Literasi dan Tingkatan Literasi Berbahasa ... 288
4.19 Bagan Model Keputusan Desain Bahan Ajar Mata Kuliah ... 290
4.20 Model Pendekatan Integralistik Pengembangan Bahan Ajar ... 292
4.21 Model Literasi Bahasa Indonesia ... 293
4.22 Inovasi Bahan Ajar Bahasa Indonesia Bermuatan Keterampilan Berpikir Kritis ... 303
DAFTAR GRAFIK
Grafik
4.1 Kelayakan Isi, Sajian & Bahasa... 184
4.2 Akumulasi Respon Mahasiswa Terhadap Bahan Ajar ... 184
4.3 Persepsi Dosen pada Uji Perorangan ... 254
4.4 Peningkatan Skor Tiap Aspek Keterampilan Berpikir Kritis ... 261
4.5 Peningkatan Skor Keterampilan Berpikir Kritis Tiap Mahasiswa ... 261
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran 1. Desain Awal Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia
(Direview oleh Lesley Harbon) ... 346
Lampiran 2. Validation Sheet of Teaching Material Model (Draft) (Divalidasi oleh Lesley Harbon) ... 359
Lampiran 3. Pedoman Observasi Pelaksanan Dan Evaluasi Perkuliahan ... 362
Lampiran 4. Angket Survey Kebutuhan Belajar Mahasiswa ... 363
Lampiran 5. Instrumen Penilaian Kemampuan Belajar Mahasiswa ... 366
Lampiran 6. Instrumen Evaluasi Buku Ajar ... 368
Lampiran 7. Angket Persepsi Mahasiswa terhadap Bahan Ajar yang Digunakan ... 372
Lampiran 8. Instrumen Expert Judgment Model Bahan Ajar ... 374
Lampiran 9. Instrumen Penilaian Dosen terhadap Model Bahan Ajar ... 377
Lampiran 10. Angket Persepsi Mahasiswa terhadap Model Bahan Ajar yang Dikembangkan ... 380
Lampiran 11. Hasil Evaluasi Buku Pegangan Dosen ... 382
Lampiran 12. Model Akhir ... 394
Lampiran 13. Contoh Sajian Bahan Ajar ... 435
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan secara berurutan tentang latar belakang penelitian,
identifikasi dan perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan
manfaat/signifikansi penelitian serta struktur organisasi disertasi.
A. Latar Belakang Masalah Penelitian
1. Peran Bahan Ajar dalam Pendidikan
Pengelolaan pendidikan secara sadar dan terencana merupakan amanat
undang-undang (UUSPN No. 20 Tahun 2003). Tujuannya adalah terwujudnya
suasana belajar dan terciptanya proses pembelajaran sehingga peserta didik
(siswa, mahasiswa) secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya. Potensi
diri peserta didik adalah kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No. 20 Tahun 2003). Sebagai
usaha sadar, pendidikan memiliki perangkat rencana dan pengaturan yakni
kurikulum. Dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 juga ditekankan bahwa sebagai
perangkat yang mengatur tujuan, isi, dan bahan pembelajaran, kurikulum
merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu, baik di berbagai jenjang dan jenis sekolah maupun
perguruan tinggi (periksa juga UUPT No. 12 Tahun 2012).
Sebagai pedoman umum pendidikan kurikulum memiliki komponen yang
saling mempengaruhi, berinteraksi dan berinterrelasi satu sama lain.
Komponen-komponen tersebut adalah (1) tujuan, (2) bahan ajar, (3) proses belajar-mengajar,
dan (4) evaluasi. Antara komponen yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
bersifat sistemik dan bahan ajar merupakan salah satu komponen pembangun
sistem tersebut.
Hampir senada dengan Zais, Saylor (1981: 3) memandang kurikulum
sebagai (1) subject and subject matters, (2) experiences, (3) objectives, dan (4)
planned opportunities for learning. Salah satu catatan penting dalam rumusan
Saylor adalah penegasan pandangan klasik bahwa mata pelajaran/mata kuliah dan
bahan ajar adalah kurikulum. Dalam konteks sekolah, Orlosky dan Smith
(Longstreet dan Shane, 1993: 50) menyebutkan bahwa kurikulum adalah substansi
program sekolah. ... curriculum is the substance of the school program. It is the
content pupils are expected to learn. Tanner dan Tanner (1980: 41) menilai bahwa
kurikulum dalam posisi sebagai program sekolah (baca: perguruan tinggi) adalah
rekonstruksi pengetahuan dan pengalaman yang dikembangkan secara sistematis
di bawah pengawasan perguruan tinggi dalam rangka menjadikan mahasiswa
mampu meningkatkan kontrol pengetahuan dan pengalamannya.
Ditinjau dari pandangan Orlosky & Smith dan Tanner & Tanner tersebut,
substansi program pendidikan sebenarnya adalah konten kurikulum. Menurut
Print (1993: 163) konten kurikulum adalah ”the subject matter of the teaching
-learning process ..., includes the knowledges, skills and values associated with
that subject. Print menjelaskan secara spesifik bahwa konten kurikulum
setidaknya adalah bahan ajar itu sendiri. Substansinya adalah pengetahuan,
keterampilan, nilai. Bahan ajar yang digunakan dalam proses belajar-mengajar itu
adalah kurikulum sebagaimana konsepsi Saylor. Hasil rekonstruksi sistematis
pengetahuan dan pengalaman tidak lain adalah bahan ajar.
Dalam interaksi belajar-mengajar di perguruan tinggi kurikulum yang
dikemas sebagai seperangkat rencana adalah ibarat "menu makanan" yang
ditawarkan kepada mahasiswa dan stakeholder pendidikan lainnya. Untuk
menjadi “siap saji”, kandungan (gizi) serta porsinya bergantung pada silabus yang
diramu oleh perguruan tinggi tersebut, dalam hal ini terutama oleh dosen. Untuk
menjadi bahan siap pakai, muatan silabus harus disajikan dalam format bahan
ajar. Di sinilah peran penting bahan ajar yang diupayakan melalui proses
termasuk kebutuhan mahasiswa. Alhasil, yang harus menjadi perhatian bukan saja
bagaimana konten tersebut dibelajarkan (teaching-learning methods), melainkan
pula bagaimana konten kurikulum tersebut diorganisasikan untuk dibelajarkan
(prepared and planned content to be learned). Hal itu dimaksudkan agar
perangkat kurikulum (written curriculum) dengan berbagai konten yang
direncanakan harus diorganisasikan ke dalam bahan ajar sebelum dapat digunakan
dalam pembelajaran di kelas (actual curriculum).
Pengorganisasian konten kurikulum ke dalam format bahan ajar
memperhatikan dimensi pengalaman belajar yang harus dimiliki mahasiswa,
termasuk pula karakteristik, kebutuhan serta memperhatikan perkembangannya
(Print, 1993: 163). Dimensi pengalaman belajar menunjukkan bahwa bahan ajar
bermuatan pedagogis (pedagogical content). Muatan pedagogis yang merupakan
aspek teknis-aplikatif ini umumnya tidak dimiliki oleh sumber belajar lain seperti
buku dan bahan bacaan pada umumnya. Mengacu pada aspek ini saja bahan ajar
merupakan komponen kurikulum yang mengambil peran dan fungsi strategis
dalam interaksi dosen-mahasiswa.
Bahan ajar juga merupakan sarana mediasi mahasiswa dan dosen dalam
interaksi edukatif pada pembelajaran klasikal (lecturing). Dalam pembelajaran
individual juga tutorial, bahan ajar dapat membantu mahasiswa belajar
mandiri-individual. Di ruang perkuliahan, bahan ajar berperan mengefektifkan proses
perkuliahan, bahkan berperan untuk pencapaian tujuan perkuliahan secara efisien.
Bahan ajar dalam konteks ini adalah media belajar sekaligus sumber belajar.
Sebagai media, bahan ajar mampu melampaui kebersamaan dosen dan
mahasiswa. Bahkan satu-satunya media belajar yang dapat mereduksi
ketergantungan mahasiswa terhadap dosen adalah bahan ajar. Dengan demikian,
tidak dapat dipungkiri bahwa bahan ajar merupakan sarana/alat yang penting
untuk membangun interaksi dosen-mahasiswa agar lebih bermakna dan
mengefektifkan proses dan pencapaian tujuan secara efeisien sebagaimana
diamanatkan kurikulum.
Dalam lingkup yang lebih spesifik peran bahan ajar sangat strategis
menjadi sumber input kebahasaan (language input) bagi mahasiswa selain dosen.
Bahkan dalam upaya pengembangan bahasa tulis (written language), bahan ajar
yang baik merupakan kebutuhan primer. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh
Richards (2002: 120) bahwa input kebahasaan khususnya bahasa tulis adalah
sumber-sumber tertulis. Walaupun demikian besarnya peran bahan ajar berupa
sumber belajar tertulis terutama dalam belajar bahasa, namun upaya strategis dan
terencana dalam penyediaannya belum tergarap dengan baik terutama di
perguruan tinggi.
Berbagai hasil riset mencuatkan peran pengajaran Bahasa Indonesia di
sekolah maupun perkuliahan di perguruan tinggi masih belum ideal meskipun
menjadi mata pelajaran atau mata kuliah wajib. Bahkan meskipun di perguruan
tinggi diajarkan lanjut dan berulang dan menjadi mata kuliah yang wajib
ditempuh oleh seluruh mahasiswa pada semua jurusan dan program studi, Bahasa
Indonesia perannya tidak maksimal. Mata kuliah Bahasa Indonesia kurang
mendapat perhatian bagi sebagian besar mahasiswa (Mulyati, 2011: 142),
sementara ekspektasi dosen terhadap mata kuliah ini demikian tinggi. Hasil survei
Alwasilah tahun 1977 dan 2000 diperkuat hasil survei Mulyati tahun 2010
berkenaan dengan mata kuliah Bahasa Indonesia menemukan berbagai
ketimpangan berikut.
(a) Bahasa Indonesia dianggap kurang bermanfaat dan kurang berkontribusi bagi penyelesaian studi mahasiswa; (b) materi-materi yang diberikan bersifat pengulangan materi di SMA; (c) kurang mendukung penyelesaian tugas-tugas akademik mahasiswa, khususnya yang berkaitan dengan menulis dan presentasi ilmiah; dan (d) kurang mendapat penanganan yang serius dari pihak lembaga (Mulyati, 2011: 142).
Alwasilah dan juga Mulyati menilai bahwa disorientasi perkuliahan
Bahasa Indonesia telah berlangsung lama. Kekeliruan pengajaran (baca:
perkuliahan) Bahasa Indonesia dewasa ini ialah terlampau terkonsentrasinya
Bahasa Indonesia pada empat aspek keterampilan berbahasa tanpa mengaitkannya
dengan fungsi bahasa sebagai alat berpikir (Alwasilah, 2008: 148-149) sehingga
Literasi kebahasaan juga menjadi persoalan dan kesulitan mahasiswa yang
segera ditemukan terutama aspek berbahasa produktif, yakni berbicara dan
menulis (Mulyati, 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bukti lemahnya
keterampilan menulis (ilmiah) mahasiswa sebagaimana dikutip Mulyati (2011:
142) antara lain ditunjukkan oleh Suriamiharja (1987), Moeliono (1991),
Syamsudin, (1994), Alwasilah (2000), Cahyani (2005), Mulyati (2010). Nyaris
dari tahun 80-an sampai 2010-an persoalan ini masih “mendarah-mendaging”.
Alwasilah (2003: 679) menyimpulkan, pasti ada yang salah dalam kurikulum
Bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Kurikulum atau silabus hanya memuat bahan ajar secara garis besar dalam bentuk “materi pokok”. Tugas dosen adalah menjabarkan materi pokok tersebut sehingga menjadi bahan ajar yang lengkap.
Masalahnya adalah tidak semua dosen mengambil peran sebagai pengembang
bahan ajar.
2. Bahan Ajar Bahasa Indonesia Inklusi Berpikir Kritis
Jika dicermati tujuan pendidikan dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 yakni
agar terwujudnya suasana belajar dan terciptanya proses perkuliahan, dapat
dimaknai bahwa kemauan dan keterampilan belajar mahasiswa harus menjadi
prioritas. Artinya, mengajar atau memberi kuliah adalah penciptaan sistem
lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar (kemandirian belajar)
dan interaksi edukasi dosen-mahasiswa. Rose dan Nicoln (2001: 3) mengingatkan
agar sistem pendidikan tidak hanya terfokus dan berkutat pada bagaimana
memutuskan apa yang harus dipelajari dan bagaimana harus berpikir (curriculum
oriented). Menurutnya yang harus menjadi prioritas adalah mengajarkan
mahasiswa bagaimana cara belajar (study skill) dan bagaimana cara berpikir
(thinking skills). Proses belajar dan proses belajar-mengajar adalah proses
berpikir, dan bahasa menjadi media interaksi-komunikasi dalam proses tersebut.
Oleh karena itu, bahasa dan berpikir harus disajikan-dibelajarkan secara sinergis.
Berpikir dan berbahasa adalah perangkat kemanusiaan yang membedakan
secara mendasar antara manusia dan selain manusia. Berpikir dan bertutur bahkan
ciri khas manusia. Oleh karena itu, usaha-usaha pendidikan bahasa sebenarnya
adalah proses aktualisasi kemanusiaan. Berpikir dan berbahasa harus dipelajari,
dikembangkan dan ditingkatkan kepada taraf berpikir yang lebih tinggi yang
diimbangi dengan keterampilan berbahasa yang memadai. Di sinilah peran
sekolah dan perguruan tinggi dituntut.
Sugono, dalam Suara Pembaruan (26 Mei 2009), menekankan agar
perguruan tinggi jangan mengerdilkan peran bahasa Indonesia, apalagi sampai
bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing. Sugono - dalam kapasitasnya sebagai
Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) saat itu -
membeberkan kerisauannya bahwa sistem dan model pembelajaran Bahasa
Indonesia di sekolah dan di perguruan tinggi belum mencerminkan peran dan
fungsi bahasa yang sesungguhnya. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
hanya berkutat pada pembuatan kalimat, imbuhan, dan bacaan. Ia menegaskan
bahwa fungsi bahasa sebagai alat bernalar, alat berkomunikasi dan alat
berekspresi. Sistem pembelajaran Bahasa Indonesia, katanya, harus mengajarkan
penggunaan bahasa sebagai alat berpikir dan berekspresi dalam ranah-ranah
pembelajaran Bahasa Indonesia sebagaimana mestinya.
Sugono (Suara Pembaruan, 26 Mei 2009) menegaskan peran bahasa
Indonesia yang telah dikukuhkan dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 bahwa
pendidikan adalah suatu pembentukan kepribadian dan pengembangan
kecerdasan, emosional, dan intelektual anak-anak bangsa. Mencermati amanat
undang-undang serta mendukung pemikiran Sugono diperlukan penegasan bahan
ajar seperti apa yang harus dikembangkan jika bahasa hendak dimaksimalkan
fungsinya sebagai alat bernalar.
Mengaitkan bahasa dan pikiran sesungguhnya juga berangkat dari salah
satu pandangan tentang bahasa, yakni bahasa adalah sarana untuk menyampaikan
pikiran. Pandangan ini menjadi cermin bahwa mengajarkan keterampilan
berbahasa adalah mengajarkan keterampilan berpikir. Dalam konteks belajar di
perguruan tinggi keterampilan berpikir yang harus diprioritaskan adalah berpikir
Terkait dengan buku atau bahan perkuliahan, salah satu bentuk inovasi
perkuliahan Bahasa Indonesia dihubungkan dengan penyediaan dan ketersediaan
bahan ajar adalah pengembangan model bahan ajar yang mengarusutamakan
keterampilan berpikir kritis. Penguatan keterampilan berpikir yang sinergis
dengan penguatan keterampilan menulis diharapkan membantu mahasiswa dalam
menunaikan tugas menulis karya ilmiah. Sinergi keterampilan berpikir dengan
keterampilan menulis diharapkan dapat meningkatkan keterampilan belajar
mahasiswa, baik di kelas maupun di luar kelas secara mandiri.
Di berbagai belahan dunia, dosen dan peneliti terobsesi dan telah menulis
secara luas tentang pentingnya mengintegrasikan pengalaman berpikir kritis ke
dalam kurikulum perguruan tinggi. Bahkan di negara anggota Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD) seperti Amerika Serikat dan
Kanada, berpikir kritis telah menjadi gerakan pendidikan nasional. Australia
menempatkan berpikir kritis sebagai kurikulum dalam rumpun skills, sejajar
dengan rumpun knowledge and values (Print, 1993: 141). Keputusan dan
kebijakan nasional itu diberlakukan sejak Kindergarten (TK, playgroup). Gerakan
tersebut didasari atas signifikansi keterampilan berpikir kritis dalam kehidupan.
Penguasaan keterampilan berpikir kritis tidak cukup dijadikan sebagai tujuan
pendidikan semata, tetapi juga sebagai proses fundamental yang memungkinkan
mahasiswa mampu mengatasi ketidaktentuan masa mendatang (Cabrera, 1992:
60).
Bailin dan Siegel sebagaimana dikutip Abrami (2008: 1105) berpendapat
bahwa berpikir kritis merupakan tujuan fundamental dan ideal pendidikan.
Sheffler (Abrami, 2008: 1106) juga berpendapat bahwa "berpikir kritis adalah hal
yang paling pertama dan utama dalam konsepsi dan organisasi kegiatan
pendidikan". Oleh karena itu, pentingnya mengajarkan dan mengembangkan
keterampilan berpikir kritis harus dipandang sebagai sesuatu yang urgen dan tidak
bisa disepelekan lagi.
Berpikir kritis secara luas diakui sebagai keterampilan penting di era
pengetahuan. Menurut Halpern (Burke, 2008: 105), sukses dalam kehidupan di
(purposeful), fokus pada keterampilan kognitif dan memiliki strategi untuk
mencapai tujuan. Demikian pula, berpikir kritis tidak hanya berpikir tentang
masalah penting dalam disiplin ilmu, seperti sejarah, sains, dan matematika, tetapi
juga berpikir tentang sosial, politik, dan tantangan hidup sehari-hari di berbagai
persoalan dunia yang semakin kompleks (Bernard, et al., 2008: 17-18).
Kompleksitas persoalan dunia diakibatkan oleh perubahan cepat dan pesat
yang terjadi di berbagai bidang seperti pendidikan, politik, ekonomi, ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya. Perubahan tersebut membuat informasi
semakin melimpah, cepat, dan mudah diperoleh dari berbagai sumber dan tempat
di dunia. Membanjirnya informasi tersebut menuntut kemampuan dan
keterampilan khusus. Hal itu disebabkan oleh ketidak-mungkinan mempelajari
keseluruhan informasi dan pengetahuan dan tidak semuanya berguna dan
diperlukan. Kondisi seperti ini merupakan tantangan yang hanya dihadapi oleh
orang-orang terdidik dan mempunyai kemampuan mendapatkan, memilih, dan
mengolah informasi atau pengetahuan dengan efektif dan efisien. Agar
orang-orang terdidik di masa depan mempunyai keterampilan seperti yang dikemukakan
tadi diperlukan sistem pendidikan yang berorientasi pada pemecahan masalah,
keterampilan berpikir kritis, kreatif, sistematis dan logis (Depdiknas, 2003: 8).
Berpikir kritis juga berhubungan dengan keinginan dunia kerja.
Perusahaan atau dunia kerja membutuhkan lulusan perguruan tinggi yang
memiliki rasa ingin tahu, analitis, pemikir reflektif, dan terampil memecahkan
masalah. Dalam konteks ini pula keterampilan berpikir kritis sangat penting untuk
menjaga efektivitas hubungan kerja (Pithers dan Soden, 2000: 238). McEwen
(1994: 100) menyajikan bukti tambahan bahwa keterampilan berpikir kritis adalah
penting untuk dunia kerja dan mobilitas karir.
Meskipun keterampilan berpikir kritis demikian penting, banyak analis
pendidikan dan peneliti melaporkan bahwa lulusan pendidikan tinggi masih
terbelakang dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti keterampilan
berpikir kritis. Hal itu karena kurikulum sarjana pada umumnya tidak
menekankan pengajaran keterampilan ini. Dosen juga mengalami “frustrasi” oleh
sarjana alumni perguruan tinggi (Fiore, 2005: 307; Knight, 1992: 65; Halpern,
2002: 2).
deBono (Bobrowski; 2008) bahkan berkomentar, “…many highly
intelligent people are bad thinkers. deBono menggambarkan intelegensi seperti
tenaga kuda dalam sebuah mobil. A powerful car has the potential to drive at any
speed. But you can have a powerful car and drive it badly. Dia memandang
berpikir kritis sebagai "keterampilan mengemudi" yang masing-masing individu
mengelola kecerdasannya. deBono tampaknya menyayangkan bahwa sarjana
dengan intelegensi, banyak yang tidak terlatih sebagai pemikir (periksa juga:
deBono, 2007: 204).
Upaya memfasilitasi penguatan keterampilan berpikir kritis baik siswa
maupun mahasiswa menjadi sangat penting. Berbagai hasil penelitian masih
menunjukkan rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa dan mahasiswa
Indonesia. Hasil penelitian Fachrurrazi (2012) menunjukkan bahwa pembelajaran
Matematika di sekolah selama ini belum banyak memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis sehingga menyebabkan
rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa. Priatna sebagaimana dikutip
Anshori (2009: 2) menunjukkan bahwa keterampilan penalaran siswa SMP di kota
Bandung masih belum memuaskan, yaitu hanya mencapai sekitar 49% dan 50%
dari skor ideal. Selanjutnya Suryadi (Anshori, 2009: 2) menemukan bahwa siswa
kelas dua SMP di kota dan Kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam
keterampilan mengajukan argumentasi, menerapkan konsep yang relevan, serta
menemukan pola bentuk umum (keterampilan menginduksi).
Secara khusus, keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD
dinilai rendah diangkat oleh Masitoh (2011). Hasil penelitiannya mendukung hasil
penelitian Mayadiana sebagaimana dikutip Anshori (2009: 3) bahwa keterampilan
berpikir kritis mahasiswa calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai
36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa
berlatar belakang Non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. Hal
serupa juga berdasarkan hasil penelitian Maulana (2008) bahwa nilai rata-rata
mengejutkan, hasil survey Alwasilah (2008: 145) yang dilakukannya tahun 1991
terhadap mahasiswa asal Indonesia di Amerika Serikat menemukan bahwa
pendidikan di Indonesia tidak membekali mereka kemampuan berpikir kritis dan
menyadari bahwa menulis akademis dan presentasi di depan kelas merupakan
tugas akademik yang sulit.
Menilik temuan-temuan di atas dapat dipahami bahwa keterampilan
berpikir kritis siswa memang tidak dibiasakan untuk diajarkan sejak sekolah
dasar. Tampak jelas ketika siswa beranjak ke tingkat SMP, SMA hingga
perguruan tinggi keterampilan berpikir kritis menjadi masalah terhadap
mahasiswa itu sendiri. Karena tidak dibiasakan, maka sulit diharapkan
keterampilan berpikir kritis menjadi keterampilan yang dibudayakan dalam dunia
pendidikan.
Adapun di perguruan tinggi agama Islam, kajian keterampilan berpikir
kritis dan/atau hubungannya dengan perkuliahan Bahasa Indonesia sejauh ini
belum dilakukan. Demikian pula dalam kasus IAIN Mataram. Bahkan dari data
dosen diperoleh informasi bahwa IAIN Mataram tidak memiliki dosen negeri
pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia sampai tahun 2008. Rendahnya
keterampilan berpikir mahasiswa diperoleh dari data penelitian tentang
karakteristik keterampilan menulis mahasiswa IAIN Mataram yang dilakukan
oleh peneliti. Hasilnya, di luar aspek kebahasaan, kemampun logika atau
penalaran mahasiswa dalam bahasa tulis sangat rendah. Studi tahun 2005 juga
menemukan bahwa kelemahan keterampilan menulis berkorelasi dengan
rendahnya keterampilan berpikir.
Hal yang menggembirakan dalam upaya penguatan keterampilan berpikir
kritis di dunia pendidikan di Indonesia adalah mulai maraknya penelitian berpikir
kritis. Meskipun penelitian tersebut masih berkutat seputar model pembelajaran.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebagai satu-satunya universitas
pendidikan negeri di Indonesia telah mengintensifkan kajian terkait, baik oleh
dosen maupun mahasiswa di jenjang pendidikan sarjana, magister maupun doktor.
Bahkan, Alwasilah (2008: 140) mengusung keterampilan berpikir kritis sebagai
Meskipun berpikir kritis penting dikaji di dunia pendidikan tinggi, namun keterampilan belum menjadi “gerakan”. Keterampilan tingkat tinggi ini tidak dipromosikan di kelas dan tidak dikemas dalam bahan ajar khusus, termasuk
dalam Mata Kuliah Bahasa. Belajar Bahasa Indonesia misalnya, umumnya
dikaitkan dengan belajar tata bahasa. Pengetahuan bahasa diharapkan akan
ditransmisikan dari dosen kepada mahasiswa. Dalam kelas
tradisional-konvensional, lulus ujian sering dianggap sebagai tujuan utama belajar Bahasa
Indonesia. Pengetahuan kebahasaan dan keterampilan berbahasa mendapat cukup
perhatian, sementara berpikir kritis, pemecahan masalah, atau keterampilan
berpikir tingkat tinggi lainnya kurang diperhatikan. Hal ini tercermin pada
kurikulum, silabus, perkuliahan maupun bahan ajarnya.
Penguatan konten kurikulum dengan berbagai keterampilan (Print, 1993:
163) melalui pendidikan-pembelajaran bahasa - sebagai media penyampaian
pikiran - merupakan nilai instrinsik bahan ajar terutama perannya dalam
membangun intelektual, sikap humanis dan rasionalitas mahasiswa (Richards,
2002: 114). Penguatan kapasitas keterampilan berpikir mahasiswa terutama
berpikir kritis-rasional menjadi tagihan dalam penerjemahan ideologi kurikulum
dan bahan ajar terutama kurikulum bahasa secara umum (Richards, 2002: 121).
Demikian pula kurikulum Bahasa Indonesia. Di sinilah penelitian pengembangan
model bahan ajar menemukan relevansi dan signifikansinya, lebih-lebih
langkanya bahan ajar standar Bahasa Indonesia perguruan tinggi. Model bahan
ajar yang dikembangkan diharapkan menjadi model awal bagi penguatan
keterampilan berpikir ilmiah mahasiswa sekaligus dapat meningkatkan
keterampilan berbahasa mahasiswa utamanya bahasa tulis.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian
Dilihat dari sudut pembelajaran-perkuliahan, persoalan perkuliahan
Bahasa Indonesia - termasuk di dalamnya persoalan berpikir tingkat tinggi yang
belum menjadi konten bahan ajar dan tidak menjadi orientasi perkulihan -
memiliki keterkaitan dengan berbagai faktor baik faktor internal maupun
beragam kemampuan/pengetahuan awal, kemampuan dan motivasi belajar,
bakat-minat dan intelegensi, termasuk rasa ingin tahu merupakan “faktor hulu” penentu efektivitas proses dan ketercapaian tujuan perkuliahan. Penyediaan lingkungan
belajar yang kondusif, kebijakan kelembagaan, letak geografis juga merupakan
input pencipta-pendukung suasana perkuliahan.
Persoalan penyediaan lingkungan (environment input) sebagai variabel
atau faktor konteks (contexts variable), secara simultan memiliki koherensi
dengan persoalan mahasiswa (raw input) dalam mem-pressure efektivitas
ketercapaian tujuan perkuliahan (product variable). Sebagai interaksi yang
melibatkan multiperan, multimedia, multipelaku, proses perkuliahan
(instructional process) juga dipengaruhi oleh instrument input. Kurikulum yang
diacu dan digunakan, bahan ajar yang dikembangkan atau dimanfaatkan,
ketersediaan dosen mata kuliah dengan kualifikasi dan kuantifikasi memadai
(adekuasi), fasilitas yang menunjang, dukungan media perkuliahan, termasuk di
dalamnya aspek finansial dan manajerial merupakan faktor penentu efektivitas
proses belajar-pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keterampilan menulis mahasiswa yang rendah dan kemampuan penalaran
dan berpikir yang lemah merupakan persoalan ranah output factor/variable.
Upaya penyediaan instrumen perkuliahan (instrumental input) berupa sumber
belajar tertulis seperti buku ajar dan berbagai bahan lainnya merupakan alternatif
solusi mengatasi persoalan tersebut. Untuk mendukung keterampilan menulis
yang baik dan keterampilan berpikir yang memadai diperlukan bahan ajar dengan
orientasi keterampilan berpikir kritis. Karena itulah kajian ini dibatasi pada
persoalan perkuliahan Bahasa Indonesia yang belum mampu mengarahkan
mahasiswa untuk memiliki keterampilan berbahasa produktif maupun reseptif
dihubungkan dengan ketidak-tersediaan bahan ajar dengan orientasi keterampilan
berbahasa dan keterampilan berpikir secara simultan.
Terkait langsung dengan bahan ajar – sebagai salah satu instrumental
input dalam format bahan ajar cetak seperti buku ajar – masalah yang dapat
teridentifikasi berdasarkan observasi lapangan dan memperkuat hasil penelitian
persoalan, yakni (1) buku Bahasa Indonesia yang ada belum memenuhi
kebutuhan mahasiswa PTAI, (2) buku Bahasa Indonesia yang beredar belum
berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi, (3) buku Bahasa
Indonesia yang sesuai dengan kurikulum Bahasa Indonesia PTAI belum
tersedia, (4) buku Bahasa Indonesia yang sudah beredar secara asumtif belum
diuji kualitasnya secara komprehensif, (5) buku rujukan yang direkomendasikan
oleh Kurikulum PTAI dari sisi kemutakhiran telah out of date, (6) bahan ajar
Bahasa Indonesia yang digunakan masih berupa kompilasi yang memiliki
keterbatasan, (7) Perkuliahan Bahasa Indonesia untuk perguruan tinggi berbeda
dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, baik orientasi, cakupan,
tingkat kesulitan, serta tingkatan berpikir yang seharusnya dimiliki mahasiswa,
dan (8) belum tersedia buku Bahasa Indonesia PTAI yang ditulis dengan
orientasi keterampilan berpikir tingkat tinggi keterampilan berpikir kritis.
Kehadiran buku yang beredar di pasaran tidak mampu mendukung
sepenuhnya keperluan bahan untuk interaksi kelas. Hal ini menarik untuk
direnungkan pendapat Dunne dan Wragg (1996: 65) yang menyatakan bahwa
bahan ajar berupa buku yang sudah ada pun tidak begitu saja digunakan. Bahan
ajar tersebut harus dikembangkan oleh dosen sesuai dengan tahap perkembangan
dan keterampilan mahasiswa serta keadaan lingkungan masing-masing.
Adapun persoalan pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah persoalan
ketersediaan bahan ajar mata kuliah Bahasa Indonesia dengan tujuan keterampilan
berpikir kritis. Persoalan ini akan menjadi semakin kompleks manakala dikaitkan
dengan masih sedikitnya usaha-usaha pengembangan keterampilan berpikir
mahasiswa melalui rekayasa kurikulum, perkuliahan atau pengembangan bahan
ajar melalui pengembangan model. Rumusan masalah penelitian ini adalah “bagaimanakah sosok model bahan ajar Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)?”
C. Pertanyaan Penelitian
Hasil observasi peneliti di beberapa PTAI terutama di IAIN Mataram
bahan ajar oleh dosen. Secara umum masalah yang ditemukan adalah masalah
penentuan jenis materi, kedalaman, ruang lingkup, urutan penyajian, perlakuan
(treatment) terhadap materi perkuliahan, dan pemilihan sumber bahan ajar. Ada
kecenderungan sumber bahan ajar dititikberatkan pada buku. Padahal banyak
sumber bahan ajar selain buku yang dapat digunakan.
Termasuk masalah yang sering dihadapi dosen berkenaan dengan bahan
ajar adalah dosen memberikan bahan ajar atau materi perkuliahan terlalu luas atau
terlalu sedikit, terlalu mendalam atau terlalu dangkal, urutan penyajian yang tidak
tepat, dan jenis bahan ajar yang tidak sesuai dengan kompetensi yang ingin
dicapai oleh mahasiswa. Berkenaan dengan buku sumber – di perguruan tinggi –
buku yang digunakan umumnya relatif sama, yakni buku yang beredar di pasaran
saja.
Untuk lebih terfokusnya penelitian ini, peneliti merumuskan permasalahan
penelitian dalam pertanyaan penelitian berikut.
1. Bagaimanakah kondisi perkuliahan Bahasa Indonesia selama ini di PTAI?
2. Bagaimanakah sosok model bahan ajar Bahasa Indonesia untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kritis mahasiswa PTAI?
3. Bagaimanakah kelebihan dan keterbatasan model bahan ajar Bahasa Indonesia
PTAI hasil pengembangan?
D. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menyodorkan sebuah
alternatif model bahan ajar Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan
berpikir kritis mahasiswa di PTAI. Model ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih yang berharga bagi para dosen Bahasa Indonesia, para penulis buku
teks/paket, lembaga-lembaga terkait, para mahasiswa PTAI dalam rangka
mengoptimalkan perkuliahan Bahasa Indonesia, khususnya dalam meningkatkan
keterampilan berpikir kritis.
Secara khusus penelitian pengembangan ini bertujuan untuk:
1) mengeksplorasi dan mendeskripsikan kondisi bahan ajar termasuk potret
2) menghasilkan sosok model bahan ajar Bahasa Indonesia PTAI untuk
meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa; dan
3) mendeskripsikan kelebihan dan keterbatasan model bahan ajar Bahasa
Indonesia PTAI hasil pengembangan.
Adapun produk yang diharapkan dari penelitian ini adalah model bahan
ajar mata kuliah Bahasa Indonesia dan validasinya yang meliputi:
1) model bahan ajar Bahasa Indonesia yang bertujuan meningkatkan
keterampilan berpikir kritis, yang meliputi unsur-unsur (a) silabus, (b)
organisasi sajian, (c) organisasi isi, (d) sistem penilaian, dan (e) contoh unit
bahan ajar;
2) informasi tentang persepsi mahasiswa dan persepsi dosen terhadap model
hasil pengembangan;
3) informasi tentang taraf peningkatan keterampilan berpikir kritis melalui
model bahan ajar yang dikembangkan serta hasil pengembangan model yang
sudah teruji secara empiris; dan
4) informasi tentang aspek keterbatasan dan kelebihan produk model ditinjau
dari berbagai segi, baik dipandang dari sisi internal model maupun dari sisi
pemanfaatannya (eksternal).
E. Definisi Operasional
Ada dua variabel penelitian yang perlu dijelaskan definisi operasionalnya
yakni (1) model bahan ajar untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan
(2) keterampilan berpikir kritis. Berikut definisi operasional variabel tersebut.
1) Model Bahan Ajar untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis
Yang dimaksud dengan model bahan ajar untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kritis dalam penelitian ini adalah pola dan deskripsi tentang
seperangkat komponen dan prosedur sistematis bahan ajar mata kuliah Bahasa
Indonesia PTAI yang berisi konten kebahasaan, konten keterampilan berbahasa,
dan konten keterampilan berpikir kritis dengan tujuan untuk meningkatkan
2) Keterampilan Berpikir Kritis
Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan dan keterampilan
mahasiswa dalam berpikir tingkat tinggi yang ditandai dengan keterampilan
memberikan penjelasan dasar/sederhana (elementary clarification), membangun
keterampilan dasar (basic support), menyimpulkan (inference), membuat
penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), dan menerapkan strategi dan
taktik (strategies dan tactics).
F. Manfaat/Signifikansi Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian diharapkan ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan
dan pengembangan pendidikan bahasa dan pengembangan kurikulum. Dalam
studi pendidikan bahasa, model yang dikembangkan terutama berkontribusi pada
pandangan transdisipliner studi pembelajaran bahasa. Hal itu tidak saja dalam
ilmu linguistik terapan tetapi juga bagaimana bahasa dikaitkan dengan teori
psikologi kontemporer tentang minda (deBono, 1995), tentang multikecerdasan
(Gardner, 2003) dan teori psikologi pendidikan semisal brain-based teaching
(Given, 2007) serta teori berpikir yang didekati melalui perspektif Alquran (Badi
dan Tajdin, 2004).
Sebagai penelitian yang secara khusus terkait dengan pengembangan
model bahan ajar penelitian ini penting untuk keperluan teoretis instruksional.
Pemanfaatannya terutama pengayaan teoretis kajian kurikulum (baca: konten
kurikulum) dan teori belajar-pembelajaran terutama pada desain bahan ajar untuk
kepentingan pembelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini juga memperkuat studi
desain instruksional yang merupakan kajian teknologi pendidikan.
2. Manfaat Praktis
Di samping manfaatnya sebagai pijakan teoretis bagi pemecahan persoalan
teoretis-normatif studi bahasa dan pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan
tinggi terutama dikaitkan dengan bahasa Indonesia sebagai wahana berpikir dan
berpikir kritis mahasiswa, penelitian ini memiliki signifikansi secara
diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam upaya peningkatan
mutu perkuliahan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi khususnya perguruan
tinggi agama Islam. Manfaatnya terutama berkaitan dengan kepentingan
penyusunan bahan ajar cetak seperti buku ajar Bahasa Indonesia dan bahan ajar
non cetak yang bermakna. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi para penulis buku ataupun penerbit di dalam menyusun buku teks
fungsional Bahasa Indonesia khususnya untuk mahasiswa.
Secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
a. Pribadi Peneliti
Di bawah arahan dan bimbingan pembimbing yang kompeten penelitian
ini memiliki manfaat yang signifikan khususnya bagi pribadi peneliti karena hasil
penelitian ini menjadi salah satu tagihan profesi (dosen) dalam melaksanakan
pendidikan dan penelitian. Hal ini sejalan dengan pasal 93 ayat 8 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan yang berbunyi: hasil penelitian perguruan tinggi
yang dilaksanakan oleh dosen dimanfaatkan untuk memperkaya materi
pembelajaran mata kuliah yang relevan.
b. Pengambil Kebijakan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi pengembang kurikulum terutama para analis konten kurikulum dan
desainer-programer pembelajaran atau perkuliahan. Lembaga semisal Pusat Kurikulum dan
Perbukuan (Puskurbuk), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Agama, dan instansi terkait dapat memanfaatkan hasil riset ini dan riset sejenis.
c. Perguruan Tinggi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi peningkatan mutu proses dan hasil perkuliahan terutama menindaklanjuti
amanat kurikulum berbasis kompetensi (competence-based curriculum) yang
dianut perguruan tinggi. Hajat pengembangan model bahan ajar ini senada dengan
semangat UUPT 12 Tahun 2012 dimana disebutkan bahwa bahan ajar merupakan
Berbasis Kompetensi khususnya pada perkuliahan dengan pendekatan kompetensi
pada mata kuliah Bahasa Indonesia dengan penguatan keterampilan berpikir.
d. Dosen.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan, acuan, dan
perbandingan bagi dosen dalam menyusun dan mengembangkan bahan ajar yang
kreatif, variatif, inovatif dan adaptif, sesuai dengan situasi dan kondisi
perkuliahan di perguruan tinggi. Kepentingannya yang pertama bagi dosen mata
kuliah Bahasa Indonesia yang ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
mengembangkan bahan ajar yang memadai. Kedua, secara spesifik model yang
dihasilkan dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan bahan ajar dengan
orientasi meningkatkan kapasitas keterampilan berpikir kritis.
Orientasi perkuliahan Bahasa Indonesia untuk kepentingan khusus
(Bahasa Indonesia for Special Purposes/BISP) semisal English for Special
Purposes (ESP) menjadi model yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan
maupun hanya sekadar pengadaptasian bahan ajar. Model BISP dapat
dimanfaatkan untuk penyiapan silabus dan satuan acara perkuliahan dan terutama
kemanfaatannya sebagai alternatif model pengembangan bahan ajar.
e. Mahasiswa
Secara tidak langsung, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
introspeksi diri bagi mahasiswa melalui perkuliahan Bahasa terutama untuk
meningkatkan kapasitas keterampilan berpikir kritis. Penguatan kapasitas berpikir
tidak terlepas dari asas penyelenggaraan perguruan tinggi, yakni asas penalaran. “Asas penalaran” adalah pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mengutamakan kegiatan
berpikir (UUPT 12 Tahun 2012 pasal 3).
f. Peneliti lain
Peneliti yang meminati penelitian pengembangan model bahan ajar dapat
dan keterampilan berpikir kritis. Peneliti berikutnya dapat menguji kembali hasil
penelitian ini dengan memperluas cakupan penelitian.
G. Struktur Organisasi Disertasi
Organisasi isi penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I Pendahuluan,
membahas tentang latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian dan
struktur organisasi disertasi.
Bab II Kajian Pustaka mengkaji berbagai literatur yang terkait dengan
pengembangan. Kajian tersebut meliputi kajian keterampilan berpikir kritis dalam
wacana studi bahasa, kajian epistimologis keterampilan berpikir kritis,
keterampilan berpikir kritis dalam kurikulum pendidikan tinggi, pengembangan
bahan ajar, dan model pengembangan bahan ajar. Kajian pustaka dilengkapi
dengan tilikan hasil-hasil riset yang relevan untuk mengukuhkan posisi penelitian
yang dilakukan. Kajian ditutup dengan sajian paradigma penelitian yang
tergambar dalam kerangka pikir penelitian.
Bab III Metode Penelitian menyajikan ulasan tentang desain penelitian,
metode penelitian, lokasi dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data,
instrumen dan pengembangan instrumen penelitian, teknik analisis data, dan
spesifikasi model yang dikembangkan.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini berisi paparan data hasil
penelitian dan pembahasannya sebagai jawaban pertanyaan penelitian tentang: (1)
kondisi faktual perkuliahan Bahasa Indonesia di IAIN Mataram; (2) model bahan
ajar Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis
mahasiswa; dan (3) kelebihan dan keterbatasan model bahan ajar Bahasa
Indonesia PTAI hasil pengembangan.
Bab V Penutup berisi simpulan, implikasi dan rekomendasi bagi
tindak-lanjut produk pengembangan dan terutama penelitian tindak-lanjutan. Sistematika
penulisan mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan
oleh UPI (2012) dengan beberapa pengembangan sesuai karakteristik dan
BAB III
METODE PENELITIAN
Bagian ini berisi ulasan tentang desain penelitian, metode penelitian,
lokasi dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen dan
pengembangan instrumen penelitian, teknik analisis data, dan spesifikasi model
yang dikembangkan.
A. Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model bahan ajar Bahasa
Indonesia. Sebagai penelitian yang menjembatani kepentingan penelitian dasar
dan penelitian terapan, dipilih model penelitian pengembangan dengan
pendekatan Research and Development (R&D). Model desain R&D yang
dipakai adalah educational research and development mengingat yang akan
dikembangkan adalah komponen desain instruksional. Menyikapi berbagai
pendekatan yang ada, dipilih model R&D dengan pendekatan sistem.
Pendekatan sistem yang dijadikan acuan adalah pendekatan sistem yang disusun
secara kolaboratif oleh Walter Dick, Lou Carey, dan James Carey. Buku yang
dijadikan acuan adalah The Systematic Design of Instruction terbitan 2009 edisi
ketujuh. Pendekatan ini di Indonesia populer dengan sebutan Model Dick and
Carey.
Penelitian ini secara spesifik digolongkan ke dalam jenis penelitian
pengembangan program pengajaran (developing of instruction program),
meminjam istilah Creswell (2008: 23). Dalam konteks ini, kegiatan penelitian
dilakukan untuk memenuhi tuntutan keberadaan bahan ajar yang berorientasi
pada keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kritis.
Dick, et al. (2006: 1) menggunakan istilah instructional. Istilah ini
diterjemahkan (diserap) ke dalam bahasa Indonesia menjadi instruksional.
Instruksional adalah istilah dalam pendidikan yang masih populer pada era
Seiring perubahan trend pendidikan di Indonesia, istilah pengajaran direposisi
menjadi pembelajaran (periksa juga Abdulhak, 2001: 5). Dalam penelitian ini
ketiga istilah tersebut digunakan semakna dengan istilah pembelajaran di jenjang
pendidikan tinggi yakni perkuliahan.
Pendekatan sistem Dick and Carey (Dick, et al., 2009: 1) terdiri atas 10
langkah yaitu (1) mengidentifikasi tujuan instruksional; (2) melakukan analisis
instruksional; (3) mengidentifikasi karakteristik mahasiswa dan konteks; (4)
menulis tujuan instruksional khusus; (5) mengembangkan asesmen; (6)
mengembangkan strategi instruksional; (7) mengembangkan dan memilih materi
instruksional; (8) merancang dan melaksanakan evaluasi formatif; (9) merivisi
instruksional; dan (10) merancang dan melaksanakan evaluasi sumatif.
Model Dick & Carey dalam pengembangan desain pembelajaran secara
sistematis memberi kesempatan kepada pengembang desain pembelajaran untuk
bekerja sama dengan para ahli di bidang materi/isi bidang studi, ahli media, ahli
desain pembelajaran, dan ahli lainnya yang berhubungan dengan pembelajaran,
sehingga diperoleh suatu hasil pengembangan desain pembelajaran yang
berkualitas baik.
Pemilihan pendekatan model Dick and Carey juga didasarkan pada
berbagai pertimbangan praktis-akademis lainnya, terutama jika dihadapkan
dengan prosedur pengembangan yang dikutip Gall. Pertimbangan tersebut
adalah:
(1) Model Dick and Carey memiliki tahapan pengembangan yang cocok
untuk desain pembelajaran. Gall tidak menyebutkan secara spesifik bahwa
tahapan proseduralnya cocok untuk desain pembelajaran namun untuk penelitian
pendidikan secara umum.
(2) Model Dick and Carey yang khusus untuk desain pembelajaran
(instructional design) memuat komponen pembelajaran yang akan
dikembangkan jelas tahap demi tahap. Berbeda halnya dengan tawaran Gall
yang bersifat umum. Komponen yang harus dan tidak harus dikembangkan tidak
jelas. Artinya tahapan prosedural Model Dick and Carey adalah tahapan
(3) Model Dick and Carey diacu sebagai model teoretis mandiri dalam
ranah disiplin desain pembelajaran dan menjadi salah satu model pengembangan
dalam Research and Development (R&D). Adapun Gall tidak demikian. Pada
bukunya Educational Research, an Introduction edisi ketujuh tahun 2003 tidak
muncul lagi 10 langkah strategi penelitian dan pengembangan. Kutipan 10
langkah terdapat pada buku yang sama namun pada terbitan tahun 1983.
Sukmadinata (2008: 169) juga menukilkan “tahapan Gall” sebagai contoh
strategi R&D yang dikembangkan oleh Far West Laboratory, bukan milik Gall.
(4) Model Dick and Carey menjelaskan komponen yang dikembangkan
secara prosedural – satu demi satu – dengan relatif detil. Sementara itu, Gall
tidak demikian. Dalam kaitannya dengan desain pembelajaran yang
mengembangkan model bahan ajar melalui R&D, tahapan yang diacu Gall tidak
cukup informatif dan kurang memadai.
(5) Peneliti ingin mengikuti trend R&D yang paling umum (terpopuler)
bahkan terluas pemakaiannya (most widely used). Hal itu sebagaimana
dinyatakan sendiri oleh Gall, et al. (2003: 570) bahwa one of the most widely
used models of educational research and development is the system approach
model designed by Walter Dick and Lou Carey. Model Dick and Carey
diadaptasi oleh Gall dari buku Dick, et al. dan Gall sudah tidak lagi menyebut
model yang diklaim oleh banyak peneliti sebagai model Borg and Gall. Gall, et
al. (2003: 570) mencantumkan model ini sebagai satu-satunya model yang
disebut R&D models. Meskipun Gall juga mencatat model R&D lain seperti
Gagne, et al. (1992).
(6) Model Dick and Carey memiliki model konseptual. Model konseptual
adalah model yang bersifat analitis yang memerikan komponen-komponen
produk yang akan dikembangkan serta keterkaitan antarkomponen. Hal ini tentu
(relatif) akan memudahkan bagi pengembang. Berbeda halnya bila
menggunakan model yang tidak memiliki model konseptual. Setiap model
pengembangan desain pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan,
Model Dick dan Carey digunakan dengan berdasarkan pertimbangan
bahwa:
(1) model ini relatif lebih sederhana namun tahapan dan komponen yang
dikembangkan rinci ;
(2) desainnya banyak yang memiliki kesamaan dengan rancangan lain seperti
model Kemp (2001) dan Briggs (1992);
(3) model ini memberikan perhatian besar kepada kemampuan awal mahasiswa;
(4) dapat digunakan untuk mengembangkan bahan ajar (langkah 7);
(5) berorientasi pada tujuan dan pemecahan masalah belajar;
(6) menampilkan analisis pembelajaran yang terinci;
(7) menampilkan sistem evaluasi yang variatif;
(8) langkahnya lengkap sampai pada tingkat produk yang jelas; dan
(9) ada langkah revisi (periksa Degeng, 2001: 60; Martha, 2003: 20).
B. Metode Penelitian
Sebagai pendekatan “mandiri” di luar pendekatan yang menggunakan paradigma positivism dan postpositivism yang menghasilkan poros penelitian
kualitatif dan kuantitatif (Syamsuddin dan Damaianti, 2007: 20), ada dua metode
yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan yaitu
penelitian deskriptif-kualitatif dan improftif-evaluatif (Sukmadinata, 2008: 18).
Metode deskriptif digunakan dalam penelitian awal untuk menghimpun data
tentang kondisi objektif setting penelitian yaitu situasi, lokasi, lingkungan dan
kondisi perkuliahan Bahasa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, metode ini
berhampiran dengan metode etnografik, tepatnya mikro etnografi terutama
karena pembatasan studi etnografi pada perkuliahan Bahasa Indonesia saja
(etnografi kelas). Studi etnografi juga bersifat kasuistis.
Adapun metode improftif-evaluatif digunakan untuk perbaikan kondisi
yang ada berdasarkan hasil penelitian terdahulu. Pada tahap ini dilakukan
pengembangan model yang melalui serangkaian evaluasi (penilaian, assessment,