STRES DAN COPING PADA IBU TUNGGAL YANG BEKERJA DI BANDUNG
(Studi Grounded Theory pada dua ibu tunggal dewasa madya yang bekerja dan memiliki anak di Kota Bandung)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
Syarifah Zhavira Maziyya 0800921
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN IINDONESIA
BANDUNG 2014
STRES DAN COPING PADA IBU TUNGGAL YANG BEKERJA DI BANDUNG
(Studi Grounded Theory pada dua ibu tunggal dewasa madya yang bekerja dan memiliki anak di Kota Bandung)
Oleh:
Syarifah Zhavira Maziyya
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© Syarifah Zhavira Maziyya 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Juni 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
ABSTRAK
Syarifah Zhavira Maziyya (0800921). Stres dan Coping pada Ibu Tunggal yang Bekerja di Bandung (Studi Grounded Theory pada Dua Ibu Tunggal Dewasa Madya yang Bekerja dan Memiliki Anak di Kota Bandung). Skripsi. Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung (2014).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi stresor munculnya masalah pada ibu tunggal dewasa madya di Bandung, peran dan tanggung jawab ibu tunggal di rumah dan tempat kerja, dan coping dalam mengelola stresor terkait hidup setelah menjadi ibu tunggal. Penelitian ini menggunakan desain penelitian grounded theory dengan pendekatan kualitatif. Partisipan penelitian adalah dua ibu tunggal usia dewasa madya, bekerja,memiliki anak, dan bertempat tinggal di Bandung. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur dan divalidasi dengan teknik triangulasi waktu dan refleksivitas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa macam stresor yang dialami oleh ibu tunggal yaitu isu finansial, isu anak, dan isu sosial. Terdapat pula peran dan tanggung jawab yang harus diemban oleh ibu tunggal di lingkungan rumah dan juga tempat kerja. Ibu tunggal menemukan cara dalam mengelola stresor mereka yaitu dengan melakukan coping. Hasil menunjukkan bahwa dukungan keluarga, dukungan sosial, dan keyakinan terhadap Tuhan terbukti dapat menyelesaikan atau mengurangi stresor yang dialami oleh para ibu tunggal. Namun pada masyarakat di Indonesia diharapkan muncul pendekatan tambahan untuk dapat menyelesaikan masalahnya dengan cara keyakinan terhadap Tuhan karena budaya yang diikuti oleh masyarakat Indonesia adalah budaya Timur dimana masyarakatnya menjadikan agama menjadi salah satu solusi alternatif dalam menyelesaikan masalahnya.
ABSTRACT
Syarifah Zhavira Maziyya (0800921). Stress and Coping in the Single Working Mothers in Bandung (Grounded Theory Study on Adult Associate Two Single Mothers Who Work and Having Children in Bandung).Paper. Psychology Department. Faculty of Education. Indonesia Univesity of Education. Bandung (2014).
The purpose of this study was to determine what factors are becoming stressors emergence of problems in middle adulthood, a single mother in Bandung, roles and responsibilities of single mothers in the home and workplace, and coping to manage stressors associated life after becoming a single mother. This study uses a grounded theory research design with qualitative approach. Study participants were two single mothers middle adulthood, work, have children, and resides in Bandung. Collecting data using an unstructured interview techniques and validated by time triangulation techniques and reflexivity. The results of this study indicate that there are several kinds of stressors experienced by single mothers are financial issues, children's issues, and social issues. There are also roles and responsibilities that must be carried by a single mother in the home environment and workplace. Single mothers find ways to manage their stressors, coping is to perform. Result found that family support, social support, and faith to god evidently may resolve or reduce stressors experienced by single mothers. But the people of Indonesia are expected to appear additional approach to solve the problem by means of faith in God because of the culture that is followed by the people of Indonesia are Eastern cultures where people make religion to be one of the alternative solutions to resolve the problem.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN………...i
ABSTRAK………... ii
ABSTRACT………...iii
KATA PENGANTAR………... iv
UCAPAN TERIMAKASIH………v
DAFTAR ISI………vi
DAFTAR TABEL………ix
DAFTAR LAMPIRAN………....x
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang……….. 1
B. Rumusan Masalah………. 5
C. Tujuan Penelitian……….. 5
D. Manfaat Penelitian……… 6
F. Sistematika Penulisan……… 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA………. 8
A. Ibu Tunggal……….. 8
1. Definisi Ibu Tunggal……….. 8
2. Fenomena Ibu Tunggal……….. 9
B. Konsep Stres……… 10
1. Definisi Stres………. 10
2. Masalah yang Dihadapi Ibu Tunggal………. 11
b. Konflik Peran dan Pembagian Peran………... 12
c. Kesendirian……….. 13
d. Membesarkan Anak………. 13
C. Konsep Coping……… 14
1. Definisi Coping………. 14
2. Klasifikasi dan Jenis Coping………. 15
BAB III METODE PENELITIAN……….18
A. Metode Penelitian………...18
B. Desain Penelitian………...18
C. Lokasi dan Partisipan Penelitian………...19
D. Instrumen Penelitian………...20
E. Teknik Pengumpulan Data………...20
F. Teknik Analisis Data………....22
G. Kode Etik Penelitian………...27
H. Uji Keabsahan Data………...28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………....32
A. Riwayat Hidup Partisipan………...32 1. Cinta………...32
2. Kasih………33
B. Stresor yang dialami ibu tunggal………...35
1. Isu Finansial………...36
2. Isu Anak………..39
3. Isu Sosial……….43
D. Coping dalam mengelola stresor terkait hidup setelah menjadi ibu
tunggal………...47
1. Dukungan Keluarga………...48
2. Dukungan Sosial………..49
3. Keyakinan Terhadap Tuhan………...…………...50
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI……….……….53
A. Kesimpulan………....53
1. Faktor-faktor yang menjadi stresor munculnya masalah pada ibu tunggal dewasa madya di Bandung……...………....53
2. Peran dan tangggung jawab ibu tunggal di rumah dan tempat kerja ………...…..55
3. Coping dalam mengelola stresor terkait hidup setelah menjadi ibu tunggal………..………..…………....55
B. Rekomendasi………...……..56
1. Rekomendasi Praktis………...56
2. Rekomendasi Teoritis………...57
DAFTAR PUSTAKA……….59
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Contoh hasil wawancara………..23
Tabel 3.2 Initial coding: line by line coding………...……….24
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Hal.
1 ADMINISTRASI PENELITIAN
a. SK Pengangkatan Dosen Pembimbing 64
b. Kartu Bimbingan 65
2 DATA HASIL PENELITIAN
a. Verbatim Wawancara Partisipan 1 70
b. Initial Coding Partisipan Kesatu 95
c. Verbatim Wawancara Partisipan 2 129
d. Initial Coding Partisipan Kedua 156 e. Hasil Initial Coding: Line By Line Partisipan 1 dan 2 196
f. Focused Coding 198
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Metode kualitatif digunakan untuk dapat memperoleh suatu informasi yang
mendalam tentang situasi yang dialami oleh subjek penelitian dimana yang digali
adalah proses atau sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu (Moleong, 2007).
Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Sugiyono (2010) dimana metode
kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang
mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang
merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Oleh karena itu, di dalam penelitian
kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna
(Sugiyono, 2010, hlm. 3).
B. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain
Grounded theory. Grounded theory adalah desain penelitian kualitatif di mana peneliti menghasilkan penjelasan umum (teori) dari sebuah proses, tindakan, atau
interaksi yang terbentuk oleh pandangan dari subjek atau partisipan (Creswell, 2013).
Menurut Charmaz (2006) yang mendasari desain Grounded theory adalah pedoman yang sistematis namun fleksibel dalam mengumpulkan dan menganalisis data
kualitatif yang bertujuan untuk membangun teori ‘mendasar’ dalam data itu sendiri.
Grounded theory mengumpulkan data untuk dapat mengembangkan analisis teoritis dari awal penelitian. Peneliti berusaha mempelajari apa yang terjadi dilapangan
dimana peneliti ikut serta didalamnya dan seperti apa kehidupan partisipan. Peneliti
mempelajari bagaimana partisipan menjelaskan mengenai pendapat dan perilaku
19
Tujuan pendekatan grounded theory adalah agar peneliti dapat keluar dari gambaran umum dan menghasilkan atau menemukan suatu teori yang berhubungan dengan situasi tertentu, “penjelasan dari kesatuan teori” untuk sebuah proses atau tindakan (Corbin & Strauss dalam Creswell, 2013, hlm. 83).
Menurut Creswell (2013, hlm. 85) terdapat beberapa karakteristik utama dari
grounded theory, yaitu:
1. Peneliti fokus pada proses atau tindakan yang didalamnya memiliki
langkah atau tahapan yang berbeda dan terjadi dari waktu ke waktu.
2. Peneliti juga berusaha, di akhir, untuk mengembangkan sebuah ‘teori’ dari
proses atau tindakan tersebut.
3. Memoing menjadi bagian dari pengembangan teori dimana peneliti menuliskan ide sebagai data untuk dikumpulkan dan dianalisis.
4. Bentuk utama dari pengumpulan data sering kali terjadi pada saat
wawancara di mana peneliti terus membandingkan data yang diperoleh
dari partisipan terhadap ide-ide mengenai munculnya suatu teori
5. Analisis data dapat terstruktur dan mengikuti pola pengembangan
kategori terbuka, memilih satu kategori untuk menjadi fokus teori, dan
dilanjutkan dengan penjelasan lebih lanjut mengenai kategori tambahan
(axial coding) untuk membentuk model teori. Titik temu dari kategori menjadi teori (dinamakan selective coding).
C. Lokasi dan Partisipan Penelitian
Dalam proses penelitian, partisipan mempunyai hak untuk dijaga
kerahasiannya. Hal ini dibenarkan oleh Flick (dalam Adriany, 2013) yang
berpendapat bahwa penelitian apapun harus didasari adanya persetujuan untuk
memberikan informasi dari para partisipan. Oleh karena itu, untuk melindungi
kerahasiaan partisipan maka nama partisipan dalam penelitian ini menggunakan nama
20
1. Cinta. Ibu tunggal, berusia 43 tahun, bekerja, memiliki anak, menjadi ibu
tunggal akibat kematian pasangan dan bertempat tinggal di Bandung.
2. Kasih. Ibu tunggal, berusia 42 tahun, bekerja, memiliki anak, menjadi ibu
tunggal akibat perceraian dan bertempat tinggal di Bandung.
Pada lokasi penelitian, tidak ada lokasi yang spesifik untuk dijadikan lokasi
penelitian mengingat peneliti lebih terfokus terhadap pengalaman partisipan
Sebagaimana karakteristik kualitatif grounded theory yang telah dikemukakan sebelumnya dimana peneliti fokus pada proses atau tindakan yang didalamnya
memiliki langkah atau tahapan yang berbeda dan terjadi dari waktu ke waktu
(Creswell, 2013, hlm. 85). Sehingga lokasi tidak menjadi acuan dalam pengumpulan
data.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian pada penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Peneliti
sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan
sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis
data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2010,
hlm. 222)
Lincoln dan Guba menjelaskan bahwa manusia sebagai instrument
pengumpulan data memberikan keuntungan untuk dapat lebih flexibel dalam bersikap
dan adaptif, serta dapat menggunakan seluruh alat indra yang dimilikinya untuk
menghadapi sesuatu (Satori & Komariah, 2011).
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara, Menurut Esterberg (2002) wawancara merupakan pertemuan saling
21
dari suatu topik tertentu. Wawancara digunakan untuk dapat mengetahui situasi
partisipan secara lebih mendalam. Wawancara dimaksudkan untuk dapat
menganalisis dan menguji kebenaran di lapangan (The Kvale and Brinkmann dalam
Crewell, 2013). Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara tidak terstruktur dimana peneliti memiliki kebebasan untuk
mengeksplorasi ide yang diberikan oleh responden. Wawancara tidak terstruktur
adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan
datanya. (Satori & Komariah, 2011).
Wawancara yang peneliti lakukan adalah sebanyak tiga kali kepada tiap
partisipan. Peneliti fokus terhadap wawancara karena dengan melakukan proses
wawancara, peneliti dapat mengetahui pandangan dan perspektif partisipan pada
suatu kejadian atau pengalaman yang dialaminya. Seperti yang dikemukakan oleh
Sugiyono (2010) bahwa tujuan dari wawancara adalah untuk menemukan makna di
balik topik yang dibicarakan. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui informasi
mengenai pengalaman partisipan seputar masalah-masalah yang muncul pasca
menjadi ibu tunggal, tantangan yang dihadapi sehari-hari di rumah dan tempat kerja
serta yang berkaitan dengan cara mengatasi masalah yang muncul akibat perubahan
statusnya menjadi seorang ibu tunggal.
Berikut contoh cuplikan hasil wawancara pada tanggal 26 April 2013.
Apa ibu rasain waktu ibu pertama kali merasakan jadi orangtua tunggal ibu? “Pertama kali yang ibu rasakan yah ya tidak bisa dipungkiri yang namanya kesedihan, bingung.. terus apa.. takut rasa takut itu ada, bingung ada, sedih yang pertama
eee bingungnya itu mau kemana gitu eee harus sama siapa kan ibu eee biasanya eee apa..
kalau ada apa-apa masalah selalu sama suami ketika suami meninggal perasaan yang
dihantui itu yang paling besar itu takut.”
Eee kira-kira ada perbedaan lain lagi engga bu sebelum dan sesudah ibu jadi
orangtua tunggal?
22
teh ibu itu nah pengen membeli sesuatu kaya orang lain tapi setelah engga ada suami
perbedaanya itu ibu.. ibu tuh harus betul-betul berhemat itu karena apa.. kalau ibu tidak
berhemat takut anak-anak sekolahnya terputus karena ibu, takut anak-anak engga makan,
takut…”
Sebagaimana contoh hasil wawancara yang telah diperlihatkan diatas, peneliti
menggunakan percakapan informal. Dimana menurut Moleong (2007) peneliti dan
partisipan terlibat dalam suatu percakapan informal dan secara kekeluargaan serta
berlangsung secara alamiah agar partisipan secara sadar maupun tidak terpancing
untuk mengungkapkan informasi yang diharapkan oleh peneliti tanpa adanya paksaan.
F. Teknik Analisis Data
Charmaz (2006) mengungkapkan bahwa teknik analisis grounded theory
merupakan teknik analisis yang sesuai untuk memahami data penelitian kualitatif.
Grounded theory menawarkan sebuah cara yang untuk menolong kita memulai, terlibat, dan menyelesaikan penelitian kita (Charmaz, 2006).
Grounded theory menggunakan prosedur yang rinci dalam menganalisis.
Strauss dan Corbin (dalam Creswell, 2013) mengatakan terdapat tiga tahapan dalam
melakukan proses koding, yaitu Open Coding, Axial Coding, dan Selective Coding.
Namun Charmaz (2006) menyatakan bahwa terdapat dua tahapan dalam proses
koding yaitu Initial coding: Line by line coding atau Initial coding: Word by word coding yang dilanjutkan dengan proses Focused coding. Peneliti dalam hal ini melakukan teknik analisis data menurut Charmaz.
1. Langkah-langkah analisis
a. Initial coding : Line by line coding
Setelah mendapatkan data, peneliti melanjutkannya dengan
melakukan analisis data. Analisis data yang dilakukan adalah melakukan
23
Koding menurut Charmaz (2006) adalah sebuah proses dimana
data penelitian dikategorisasi atau dikelompokkan dengan nama yang
lebih singkat yang juga menunjukkan kesamaan dengan data yang lain.
Koding juga memperlihatkan bagaimana data penelitian dipisahkan,
dipilih dan diurutkan oleh peneliti untuk memulai proses analisis
Dalam grounded theory terdapat beberapa macam koding, dan proses koding yang digunakan peneliti adalah initial coding: line by line coding. Line by line coding merupakan proses koding yang memberikan nama untuk setiap data yang kita dapatkan.
[image:16.612.133.535.356.697.2]Contoh proses line by line coding dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.1 Contoh hasil wawancara
Iter/Itee Pertanyaan/Pernyataan Koding
Iter Eee sedikit berpengaruh engga ibu dengan ditempat kerja pada saat anak sakit, ke ibunya?
Itee (1.) Iya ada pengaruhnya juga waktu anak ibu sakit ibu tuh engga tenang kerja juga pengen pulang gitu pengen cepet ngasih obat anak pengen cepet ngasih eee anak apa ke dokter pengen dibawa ke dokter takut penyakitnya berat atau gimana walaupun anak itu sakitnya baru sehari dua hari tapi rasa khawatir ibu tuh lebih besar sekarang itu engga eee (2.) jadi setelah bapanya meninggal itu ibu lebih takut anak sakit sekarang itu
1. Masalah anak 2. Kepergian
suami
Iter Hmm Berarti bisa dibilang prioritas ibu itu kerja atau mengurus anak ibu?
Itee (1.) Kalau pingin kalau disiapapun kalau punya materi lebih mungkin ibu memprioritaskan anak tapi karena tuntutan hidup ibu harus menghidupi anak-anak jadi mungkin sekarang itu lebih memprioritaskan bekerja karena apa anak-anak harus hidup, anak-anak harus maju, anak-anak harus eee kuat gitu jadi ibu.. ibu itu harus kuat
24
jadi ibu kenapa ibu memprioritaskan kerja ya buat anak-anak gitu.
Iter Pada saat ibu lebih memprioritaskan kerja sempet ada keluhan-keluhan engga ibu dari keluarga?
Itee (1.) Ooo engga karena ibu setelah bapanya meninggal ibu ngobrol sama anak-anak ibu ngobrol secara bijaksana sama anak-anak. Sekarang ibu tunggal penghasilan ibu cukup dari ibu jadi bukan eee engga ada lagi penghasilan dari bapa jadi tolong anak-anak harus lebih berhemat terus harus lebih mengerti ibu ditempat kerja karena apa kalau (2.) tempat kerja itu engga.. engga mau tau kan eee engga mau tahu ini eee apa ibu lebih berat ke anak engga akan tahu kan kalau eee ini situasi dirumah (3.) makanya ibu eee minta kebijaksanaan anak-anak untuk ibu kalau ada apa-apa ditempat kerja anak-anak pengen ibu lebih mengerti gitu jadi ibu eee sifatnya eee memberitahu dulu kepada anak-anak
1. Dukungan dari anggota
keluarga 2. Tuntutan tempat
kerja
3. Dukungan dari anggota
keluarga
Iter Hmm jadi biar anak bisa toleransi gitu ya ibu ya?
Itee (1.) Iya jadi toleran, anak-anak harus bisa mengerti ke ibunya itu gitu, ya karena mau tidak mau anak-anak lagi masa-masa butuh biaya gitu kalau ibu engga seperti itu makanya ibu juga dengan mengurus orangtua bergiliran dengan anak ibu jadi ibu engga ada anak yang besar atau anak yang kecil harus ada yang bisa menunggu eee orangtua ibu juga gitu
1. Dukungan dari anggota
keluarga
[image:17.612.132.534.111.553.2]Hasil initial coding: line by line coding, peneliti menemukan 24 koding dari data berdasarkan table dibawah ini:
Tabel 3.2 Initial coding: line by line coding
Nomor Koding
1 Masalah finansial 2 Masalah anak
25
4 Kepergian suami 5 Masalah di tempat kerja 6 Rutinitas di rumah 7 Mendidik anak 8 Mengurus orangtua 9 Bekerja demi keluarga
10 Peran di lingkungan masyarakat rumah 11 Rutinitas di tempat kerja
12 Lingkungan tempat kerja 13 Tuntutan di tempat kerja 14 Keyakinan terhadap Tuhan 15 Dukungan dari anggota keluarga 16 Dukungan dari teman
17 Mengisi waktu luang 18 Harapan ibu tunggal 19 Berpikir rasional
20 Mengalah
21 Keteguhan hati 22 Sendiri mengurus anak 23 Sosok suami
24 Menikah Siri
b. Focused coding
Selanjutnya peneliti melanjutkan proses koding yang disebut
focused coding. Menurut Charmaz (2006, hlm. 57) focused coding
“membutuhkan sebuah keputusan mengenai initial codes mana yang dapat membuat arti yang paling analitik agar dapat membuat kategori data anda menjadi jelas dan lengkap.”
Pada tahap ini peneliti membandingkan beberapa kode yang
berbeda. Peneliti membandingkan kode-kode yang berbeda, dan terdapat
26
kesamaan. Seperti contoh, peneliti menggabungkan kode masalah
finansial, masalah anak, masalah dengan saudara, kepergian suami,
masalah di tempat kerja kedalam satu tema besar yaitu stresor. Kode-kode
yang tergabung tidaklah menjadi hilang, melainkan tersaji dalam sebuah
kode baru yaitu stresor. Peneliti juga menggabungkan kode Keyakinan
terhadap Tuhan dukungan dari anggota keluarga, dukungan dari teman,
mengisi waktu luang, harapan ibu tunggal, berpikir rasional, mengalah,
keteguhan hati menjadi sebuah tema besar yaitu Coping dimana hal tersebut membantu peneliti untuk membantu memahami secara mendalam
coping dalam mengelola stresor terkait hidup setelah menjadi ibu tunggal. Analisis yang peneliti lakukan dengan menggunakan focused coding telah dianggap cukup bagi peneliti untuk dapat melihat teori yang muncul dari data. Dengan terus membandingkan tiap kode yang terdapat
pada data, peneliti mampu melihat hubungan timbal balik antara
kode-kode yang berbeda (Jordan & Cowan dalam Adriany, 2013).
[image:19.612.149.530.471.704.2]Adapun tema besar yang peneliti temukan adalah sebagai berikut:
Tabel 3.3 Focused coding
Tema besar Koding
Stresor
1. Masalah finansial 2. Masalah anak
3. Masalah dengan saudara 4. Kepergian suami 5. Masalah di tempat kerja 6. Sosok suami
7. Menikah Siri
Tantangan sehari-hari dirumah dan tempat kerja
27
5. Peran di lingkungan masyarakat rumah
6. Sendiri mengurus anak 7. Rutinitas di tempat kerja 8. Lingkungan tempat kerja 9. Tuntutan di tempat kerja
Coping
1. Keyakinan terhadap Tuhan 2. Dukungan dari anggota keluarga 3. Dukungan dari teman
4. Mengisi waktu luang 5. Harapan ibu tunggal 6. Berpikir rasional 7. Mengalah 8. Keteguhan hati
G. Kode Etik Penelitian 1. Proses Izin
Dalam melakukan proses perizinan, peneliti tidak melakukan proses
izin secara resmi atau tertulis terhadap partisipan. Walaupun diharapkan agar
peneliti melakukan proses perizinan terhadap partisipan, namun karena partisipan
adalah karyawan di tempat kerja ayah peneliti yang secara lebih rinci akan
dijelaskan di bagian refleksivitas membuat peneliti secara langsung melakukan
proses pengambilan data tanpa adanya proses perizinan terlebih dahulu dari
partisipan yang bersangkutan. Hal ini sebenarnya menjadi sebuah dilema bagi
peneliti karena adanya kode etik dimana peneliti harus terlebih dahulu
menanyakan kesediaan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitiannya.
Namun peneliti menemukan pandangan dari Warin (2011) yang menjelaskan
mengenai continuous consent atau persetujuan secara bekelanjutan. Dimana
persetujuan secara berkelanjutan ini, peneliti secara terus menerus meninjau
ulang kesediaan partisipan untuk berpartisipasi di dalam penelitian. Menurut
28
persetujuan secara verbal maupun non-verbal dari partisipan Peneliti perlu
mengerti bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh partisipan apakah mengindikasikan
partisipan tetap nyaman untuk terus berpartisipasi atau tidak. Dalam penelitian ini
partisipan terus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti,
bahkan ada kalanya partisipan bercerita mengenai latar belakang dan perasaan
mereka secara lebih dalam.
2. Privasi dan Confidentiality (Kerahasiaan)
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, partisipan mempunyai
hak untuk dijaga kerahasiannya. Flick (dalam Adriany, 2013) berpendapat
bahwa penelitian apapun harus didasari adanya persetujuan untuk
memberikan informasi dari para partisipan. Sehingga dalam hal ini peneliti
demi melindungi kerahasiaan partisipan, peneliti menggunakan nama samaran
kepada kedua partisipan yaitu Cinta dan Kasih.
H. Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data akan dilakukan dengan maksud meningkatkan derajat
kepercayaan data sehingga data tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Moleong,
2007). Beberapa cara pemeriksaan yang digunakan Peneliti adalah dengan melalui
proses triangulasi waktu dan refleksivitas. Triangulasi waktu menurut Sugiyono
(2010) dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan yang sama pada waktu yang
berbeda yaitu pada saat wawancara berikutnya (Sugiyono, 2010). Peneliti memilih
teknik triangulasi waktu karena peneliti hanya mewawancarai 1 subjek ibu tunggal
akibat perceraian dan 1 subjek ibu tunggal akibat kematian suami. Untuk
menghindari adanya data yang kurang, peneliti menanyakan pertanyaan yang sama
pada waktu yang berbeda terhadap subjek yaitu pada saat wawancara-wawancara
berikutnya.
Selain melakukan proses triangulasi waktu, peneliti juga melakukan proses
29
dari suatu posisi diri dan identitas. LeCompte and Preissle (dalam Adriany, 2013)
mengatakan bahwa reflektivitas peneliti adalah hal yang fundamental pada proses penelitian. Refleksivitas menurut Creswell (2013) berhubungan dengan posisi
seseorang dalam sebuah komunitas yang sedang diteliti. Refleksivitas dapat diartikan
sebagai “cara dimana produk penelitian dipengaruhi oleh personil dan proses dalam
melakukan penelitian” (C. A. Davies dalam Adriany, 2013).
Menurut Harding (dalam Adriany, 2013) validitas dan reliabilitas sangat
terkait dengan pandangan objektivitas yang kuat. Sehingga, semakin besar peneliti
menyadari relfeksivitas dirinya dalam melakukan proses penelitian, semakin tinggi
pula validitas yang dapat dicapai dalam penelitiannya. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa semakin peneliti menyadari latar belakang personalnya semakin peneliti dapat
lebih berhati-hati dalam melakukan penelitiannya, seperti dalam hal menghakimi
suatu peristiwa.
Berdasarkan proses penelitian yang peneliti lakukan muncul 3 reflektivitas
yang menjadi isu penting yaitu peran sebagai peneliti, pengenalan dunia orang
dewasa, dan persepsi awal terhadap ibu tunggal
Selanjutnya peneliti akan mengungkapkan bagaimana proses reflektivitas
dalam penelitian berlangsung:
a. Peran sebagai peneliti
Peneliti memiliki kebiasaan untuk berbicara dengan sopan kepada
orang-orang yang usianya lebih tua dari dirinya. Pada saat wawancara
pertama peneliti menggunakan kata-kata formal ketika wawancara
berlangsung, partisipan menjadi menggunakan bahasa baku saat menjawab
pertanyaan yang diajukan. Peneliti merasakan adanya perasaan tidak nyaman
dari para partisipan dalam menjawab pertanyaan sehingga pada saat
melakukan wawancara untuk kedua dan ketiga kalinya peneliti berusaha
menggunakan bahasa yang tidak terlalu baku guna memberikan keleluasaan
30
Kesulitan dalam menemukan partisipan membuat peneliti meminta
pertolongan dari orangtua. Partisipan yang didapat merupakan karyawan yang
bekerja di tempat ayah peneliti bekerja. Peneliti menyadari akan adanya
masalah dalam hal relasi kekuasaan dimana partisipan akan melihat sosok
peneliti lebih memiliki kuasa terhadap diri partisipan. Sehingga membuat
partisipan mau tidak mau akan selalu menyetujui apapun yang diminta oleh
peneliti. Peneliti dalam menyadari hal tersebut berusaha untuk bersikap tidak
mendominasi partisipan dan fokus dalam melakukan peran sebagai peneliti
yang sedang melakukan sebuah penelitian.
Peneliti juga mengalami beberapa ketakutan dimana partisipan akan
selalu berusaha memberikan kesan baik pada peneliti dan tidak terbuka atau
tegang karena mengetahui latar belakang peneliti. Peneliti juga memiliki
ketakutan akan munculnya bias pada partisipan karena opini-opini yang sering
orangtua peneliti kemukakan mengenai sosok partisipan di tempat kerja.
Dengan mengetahui ketakutan tersebut, peneliti mencoba menjelaskan
terhadap partisipan tujuan dari penelitian yang peneliti lakukan, tanpa perlu
melakukan atau menyiapkan apapun. Partisipan hanya diminta menceritakan
suatu pengalaman yang terjadi pada dirinya. Peneliti juga berusaha untuk
bersikap objektif dan fokus terhadap data yang diperoleh tanpa menghiraukan
pendapat atau opini dari orang lain.
b. Pengenalan dunia orang dewasa
Membaca secara mendalam hasil data dan membuat analisis bagi
peneliti seperti proses pengenalan dunia secara nyata. Peneliti masih sangat
buta dengan fase ibu tunggal, jangankan ibu tunggal peneliti sendiri masih
belum merasakan arti dari sebuah pernikahan. Peneliti awalnya mencari dari
literatur dan memiliki asumsi tersendiri pada sosok ibu tunggal. Namun apa
31
Tidak semua kejadian atau peristiwa akan muncul sama persis pada setiap
individu. Peneliti mencoba merenungi pengalaman hidup partisipan tanpa lagi
memunculkan asumsi-asumsi yang nantinya akan mengkotak-kotakkan
pandangan peneliti terhadap suatu peristiwa tanpa peduli mengenai proses
yang dialami. Peneliti juga berusaha dapat memahami sudut pandang secara
lebih mendalam dari partisipan mengalami pengalaman hidupnya saat menjadi
ibu tunggal.
c. Persepsi awal terhadap ibu tunggal
Peneliti sebelum melakukan penelitian mencoba membaca mengenai
topik seputar ibu tunggal, dan peneliti selalu menemukan bahwa sosok ibu
tunggal adalah sosok yang rapuh, tidak berdaya, selalu dilanda berbagai
macam masalah dan masalah tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat stres
para ibu tunggal. Saat peneliti terjun ke lapangan, peneliti mengira akan
menemukan pandangan yang serupa mengenai sosok ibu tunggal.
Namun ternyata yang peneliti temukan di lapangan berbeda dengan
yang pernah peneliti baca di literatur pada umumnya. Tidak selamanya ibu
tunggal akan terus terpuruk terhadap masalah yang dihadapinya, ibu tunggal
memiliki cara mereka sendiri atau coping mereka sendiri untuk mengatasi tiap permasalahan yang dihadapinya dan terus menjalani hidupnya sebagaimana
tanggung jawab mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Hal tersebut
membuka mata peneliti agar tidak secara gamblang menghakimi seseorang
karena kehidupan nyata akan selalu berbeda dengan tulisan-tulisan yang
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang stres dan coping pada ibu tunggal di Bandung, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa macam stresor dimana
memunculkan masalah pada diri ibu tunggal dan juga terdapat beberapa coping yang dilakukan oleh ibu tunggal guna mengatasi masalah yang dialami.
1. Faktor-faktor yang menjadi stresor munculnya masalah pada ibu tunggal dewasa madya di Bandung.
Sumber stress pada ibu tunggal di Bandung berdasarkan penelitian ini yaitu:
a. Isu Finansial
Baik Cinta maupun Kasih, keduanya sama-sama mengalami stresor
yang berhubungan dengan masalah finansial, anak, dan sosial. Dimana
masalah finansial telah terbukti menjadi salah satu stresor kritis yang dapat
berdampak hebat pada kehidupan individu dan keluarga (Edin, Kissan,
Seccombe dalam Williams, Cheadle, & Goosby, 2013). Jencks (dalam Duvall
& Miller, 1985) juga mengungkapkan bahwa rata-rata perempuan hanya
memperoleh setengah dari pendapatan yang didapat oleh pria, sehingga
mereka merasa kekurangan dalam hal menyokong diri dan anak mereka
dibandingkan ketika masih dengan suami mereka.
b. Isu Anak
Selain isu finansial, anak juga menjadi salah satu penyebab stres pada
ibu tunggal. Ketakutan dalam mendidik anak seorang diri, kurangnya waktu
dalam hal pengasuhan anak, hingga munculnya kesulitan dalam mengurus
54
ditinggal meninggal maupun perceraian, mengalami stres dalam proses
adaptasinya seperti yang dirasakan oleh ibu tunggal. Stinnet (1984)
mengatakan bahwa umumnya semua keluarga orangtua tunggal mengalami
masalah dalam hal membesarkan anak. Ibu/Bapak tunggal kadang khawatir
mengenai kematian dan perpisahan dengan pasangan berpengaruh terhadap
anak. Namun Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa anak-anak dari
keluarga yang bercerai adalah korban yang paling tak berdaya dan yang
paling merasakan dampak yang sangat dalam.
c. Isu Sosial
Banyaknya keluarga bahkan di dalam satu rumah memunculkan
kebingungan dalam hal pembagian tugas-tugas rumah tangga. Greenhaus dan
Beutell (dalam Yang, et.al, 2000) mengatakan konflik ketegangan pada ibu
tunggal akan memunculkan stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat
marah, dan sakit kepala.
Dalam hubungan sosialnya di masyarakat, ibu tunggal semakin
mengurangi waktunya untuk bersosialisasi. Banyaknya waktu yang
dihabiskan di tempat kerja, dan munculnya rasa malas dalam mengikuti
berbagai macam kegiatan yang diadakan di rumah maupun tempat kerja
menimbulkan adanya kesenjangan antara ibu tunggal dengan sosialnya. Hal
ini tidak terlepas dari finansial yang terbatas (Wiludjeng, 2011).
Untuk ibu tunggal dengan karakteristik sering mengalami masalah
dengan keluarga khususnya dengan saudara, dimana seringkali kurang adanya
komunikasi yang baik dalam hal urusan pembagian tugas di rumah, dapat
dikatakan bahwa ibu tunggal tersebut mengalami masalah dalam hal sosial.
Dalam hal ini, sosok Cinta adalah isu sosial mengalami masalah dengan
saudaranya dimana terdapat dua kepala keluarga yang menduduki satu rumah
55
Sedangkan untuk ibu tunggal dengan karakterisik sering berhutang
bahkan kesulitan untuk membayar hutang yang ada dapat dikatakan ibu
tunggal tersebut mengalami masalah dalam hal finansial. Dalam hal ini sosok
Kasih, menganggap bahwa finansial merupakan masalah terberat yang
dirasakannya, dimana pendapatan yang didapat dirasa tidak mencukupi
kebutuhan sehari-hari Kasih dan keluarga sehingga salah satu cara yang
dilakukan oleh Kasih adalah dengan berhutang .
2. Peran dan tangggung jawab ibu tunggal di rumah dan tempat kerja.
Muncul kesadaran dalam diri Cinta maupun Kasih untuk berusaha taat
dalam melaksanakan aturan-aturan yang ada di tempat kerja. Disini ibu
tunggal harus bisa menunjukkan sisi profesionalitas mereka dalam bekerja.
Profesionalitas bekerja bukan hanya semata-mata fokus terhadap orientasi
karir namun menjadi salah satu upaya dalam memenuhi kebutuhan keluarga
karena pada dasarnya tujuan ibu tunggal bekerja adalah demi keluarga.
3. Coping dalam mengelola stresor terkait hidup setelah menjadi ibu tunggal.
Coping-coping yang muncul dalam mengelola stresor Cinta maupun Kasih berasal dari dukungan keluarga, dukungan sosial, dan juga keyakinan
terhadap Tuhan. Usaha Cinta untuk dapat mengatasi permasalahannya
menjadi ibu tunggal yaitu dengan mencari dukungan dari anak-anaknya.
Berbeda dengan Cinta yang mendapatkan dukungan dari anak-anaknya, Kasih
menganggap sosok anak sebagai faktor penguat Kasih untuk terus menjalani
hidup setiap harinya.
Ibu tunggal yang mendapat dukungan dan bantuan dari teman-teman
56
daripada ibu tunggal yang hanya mendapatkan sedikit dukugan dari orang lain.
(Colleta dalam Duvall & Miller, 1985).
Coping yang dilakukan baik oleh Cinta maupun Kasih merupakan salah satu coping yang terfokus pada emosi. Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2012), mengatakan bahwa dengan mengatur emosi diharapkan
individu dapat menyesuaikan dirinya dari dampak yang akan ditimbulkan oleh
suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Dukungan sosial bisa efektif
dalam mengatasi tekanan psikologis pada masa-masa sulit dan menekan
(Broman dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Coping lain yang muncul pada diri Cinta dan Kasih adalah dimana kepercayaan mereka terhadap Tuhan dijadikan sebagai salah satu cara dalam
menghadapi masalah-masalah yang dialaminya. Solusi yang dilakukan oleh
Cinta maupun Kasih menegaskan kentalnya budaya Timur yang mereka
terapkan, hal ini berlainan dengan budaya barat yang kerap lebih terfokus
terhadap diri serta belum menjadikan agama sebagai prioritas utama. Peneliti
menilai teori yang digunakan dalam strategi coping memiliki keterbatasan
penerapan mengingat ketiadaan nilai ketuhanan dalam teori tersebut hal ini
didasari perbedaan yang mendasar antara budaya barat dan budaya timur yang
terlihat dari sadar eksisteni dari nilai ketuhanan tersebut
B. Rekomendasi
Mengacu terhadap hasil temuan, maka peneliti akan mengemukakan beberapa
rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi suatu masukan bagi pihak-pihak yang
57
1. Rekomendasi Praktis
Perlunya sebuah lembaga dimana dapat memberikan dukungan berupa
support system terhadap orangtua tunggal khususnya ibu tunggal agar mereka dapat didukung supaya bisa beraktualisasi diri.
2. Rekomendasi Teoritis
Rekomendasi untuk penelitian yang berikutnya:
a. Penelitian terhadap ibu tunggal akan menjadi lebih kaya jika dimasukkan
perspektif anak didalamnya, karena anaklah yang mendapatkan dampak
terberat dari akibat oratuanya menjadi orangtua tunggal. Diharapkan
adanya teknik pengumpulan data yang lebih bervariasi agar data yang
didapat lebih kaya yaitu dengan melakukan teknik pengumpulan data
observasi, dokumentasi, dan juga field note.
b. Penelitian ini masih terbatas pada ruang lingkup yang sangat kecil, dimana
hanya dua partisipan yang diminta kesediaannya untuk memberikan
informasinya, diharapkan pada penelitian berikutnya dapat membahas
mengenai ibu tunggal secara lebih meluas dan bervariasi seperti jumlah
partisipan yang diperbanyak atau memunculkan partisipan yang
mengalami kohabitasi atau yang mengangkat/ mengadopsi anak.
c. Penelitian terhadap orangtua tunggal seringkali terfokus kepada ibu
tunggal dimana ibu tunggal dianggap sosok yang rapuh dan rentan
mengalami masalah dalam menjalani tanggungjawabnya di dalam
keluarga maupun tempat kerja, namun pada kenyataanya orangtua tunggal
bukan hanya ibu tunggal saja melainkan ayah tunggal juga dimana sosok
mereka kadang kala sering terabaikan padahal mereka akan mengalami
masalah yang tidak kalah sulit dengan yang dialami oleh ibu tunggal.
Ayah tunggal dapat menjadi sosok yang tidak kalah menarik untuk diteliti.
Peneliti melihat bahwa temuan mengenai keyakinan terhadap Tuhan dapat dijadikan
58
menjadi salah satu cara bagi seseorang untuk dapat menyelesaikan atau
meminimalisir masalah yang dialaminya. Sehingga diharapakan bagi peneliti yang
berikutnya untuk mencoba meneliti secara lebih mendalam mengenai coping