1
Pengelompokkan Zona Musim (ZOM) dengan Agglomerative Hierarchical Clustering
(Studi Kasus: Pengelompokkan ZOM di Kabupaten Ngawi)
1
Dwi Putra Abdi Alam dan
2Sutikno
1,2
Jurusan Statistika FMIPA ITS
Email:
1[email protected],
2[email protected] Abstrak
Stasiun Klimatologi Klas II Karangploso Malang setiap tahun melakukan prediksi iklim, khususnya curah hujan menurut Zona Musim (ZOM) untuk wilayah di Jawa Timur.
Berdasarkan hasil evaluasi terha-dap kinerja pemodelan iklim (curah hujan) menunjukkan bahwa terdapat beberapa lokasi (ZOM) mempunyai kinerja yang kurang baik yaitu tingkat akurasinya rendah. Beberapa hal yang diduga menyebabkan rendahnya akurasi tersebut, diantaranya: (1) metode peramalan yang masih belum sesuai, (2) penentuan ZOM yang sudah tidak sesuai lagi. Penelitian ini bertujuan mengkaji metode pengelompokkan untuk men- dapatkan ZOM yang homogen. Proses pengelompokkan menggunakan data curah hujan bulanan di stasiun pengamatan Kabupaten Ngawi. Metode yang dikaji adalah analisis kelompok berhierarki dengan metode pautan lengkap, pautan rata-rata, dan ward’s. Hasil pengelompokkan ketiga metode tersebut dibandingkan dengan kriteria simpangan baku dalam kelompok (Sw) dan simpangan baku antar kelompok (Sb). Metode terbaik jika memiliki Sw kecil dan Sb terbesar atau nilai rasio antara Sw dan Sb kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ward’s terbaik dengan nilai rasio Sw dan Sb sebesar 0,1672. Hasil ZOM dengan metode ward’s adalah sebanyak 7 ZOM, yang selanjutnya dikoreksi dengan peta kontur curah hujan dan elevasi diperoleh 5 ZOM. Hasil ZOM ulang ini mempunyai kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan ZOM hasil BMKG dengan kriteria rasio Sw dan Sb.
Kata Kunci: Zona Musim, Analisis kelompok berhierarki, Pautan Lengkap, Pautan Rata-rata,
Ward’s
1. Pendahuluan
Stasiun Klimatologi Karangploso Malang setiap tahun melakukan pendataan dan prediksi iklim, khususnya curah hujan menurut Zona Musim (ZOM) untuk wilayah di Jawa Timur (www.staklim- karangploso.net). Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja pemodelan iklim (curah hujan) menunjukkan bahwa terdapat beberapa lokasi (ZOM) mempunyai kinerja yang kurang baik yaitu tingkat akurasinya rendah. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya akurasi tersebut, diantaranya: (1) metode peramalan yang masih belum sesuai, (2) penentuan ZOM yang sudah tidak sesuai lagi. Untuk mengatasi masalah yang pertama, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengembangkan metode-metode peramalan dengan menggunakan tiga metode untuk meramal iklim yaitu ARIMA, tranformasi wavelet, dan Adaptive Neuro-Fuzzy Inference Systems (ANFIS) (Indragustari, 2005a; 2005b).
Sementara itu untuk evaluasi ZOM sampai saat ini belum pernah dilakukan oleh pihak BMKG.
Metode penggabungan yang seringkali digunakan adalah complete linkage, average linkage, Ward’s (Bunkers et al., 1996); complete linkage (BMG, 2003); Ward’s dan Centroid (Wigena, 2006).
Bunkers et al. (1996) menyimpulkan bahwa average linkage mempunyai kinerja yang baik. Sementara itu Gong dan Richman (1995) menyimpulkan metode Ward’s mempunyai kinerja yang baik diantara metode- metode hierarki lainnya. Banyaknya metode dan prosedur dalam analisis kelompok seringkali menyulitkan dalam proses pemilihannya. Seperti pemilihan matriks jarak, hierarki atau nonhierarki, dan metode peng-gabungan (pautan). Dalam penelitian ini akan mengevaluasi ZOM BMKG khusus Kabupaten Ngawi dengan analisis diskriminan dan membuat kelompok baru dengan menggunakan analisis kelompok. Lebih khusus, akan dikaji penggunaan beberapa metode analisis kelompok berhierarki (pautan lengkap, pautan rata-rata, dan Ward’s) dengan ukuran jarak (jarak euclidius). Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu BMKG dalam rangka mendapatkan metode terbaik untuk penentuan ZOM untuk mendukung peramalan iklim yang handal.
2. Tinjauan Pustaka 2.1 Analisis Faktor
Analisis faktor mengasumsikan suatu struktur spesifik tertentu dalam sebuah model untuk variabel-
varabel random. Johnson dan Wichern (2002) mengatakan bahwa tujuan dari analisis faktor adalah untuk
2
menggambarkan hubungan-hubungan kovarian antara beberapa variabel yang mendasari tetapi tidak teramati, kuantitas random yang disebut faktor. Dengan kata lain analisis faktor berfungsi menerangkan variasi sejumlah variabel asal dengan menggunakan faktor yang lebih sedikit dan yang tidak teramati dengan anggapan bahwa variabel asal dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari faktor-faktor itu ditambahkan dengan suku residual.
Variabel random X yang diamati dengan p buah variabel komponen, yang memiliki rata-rata
dan matriks kovarian , maka model faktor dari X yang merupakan kombinasi linier beberapa variabel saling bebas yang tidak teramati adalah F
1, F
2,..., F
mdisebut sebagai common factors dan ditambahkan dengan
1,
2,...,
pdisebut specific factor, sehingga secara khusus dapat ditulis sebagai:
1 1
2 12 1 11 1
1
l F l F ... l
mF
m X
2 2
2 22 1 21 2
2
l F l F ... l
mF
m
X (1)
: : :
p m pm p
p p
p
l F l F l F
X
1 1
2 2 ...
dengan : F
j Common factor ke-j
l
ij= Loading factor ke-j dan variabel ke-i
i= Spesific factor ke-i
dimana : i = 1, 2, ..., p dan j = 1, 2, ..., m Dalam notasi matriks persamaan dapat ditulis sebagai :
X
p1
p1 L
pmF
m1
p1(2) 2.2 Analisis Diskriminan
Analisis diskriminan adalah salah satu metode analisis multivariate yang diterapkan untuk memodelkan hubungan antara satu variabel respon yang bersifat kategori dengan satu atau lebih variabel prediktor yang bersifat kuantitatif dengan membentuk fungsi diskriminan (Hair et al, 2006). Fungsi diskriminan meru-pakan kombinasi linier peubah-peubah asal yang memberikan nilai sedekat mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok. Pada analisis diskriminan, data harus berasal dari dua kelompok atau lebih karena analisis diskriminan digunakan sebagai interpretasi seberapa jauh antar kelompok yang dibeda-kan. Metode ini memiliki beberapa asumsi yang harus dipenuhi, yaitu data berdistribusi normal multivariate dan juga memiliki matriks varian kovarian yang sama (Johnson dan Wichern, 2002).
Tujuan analisis diskriminan, antara lain :
1. Untuk melakukan identifikasi variabel-variabel yang paling membedakan antar dua kelompok atau lebih.
2. Untuk membangun persamaan atau fungsi berdasarkan variabel-variabel pembeda yang dapat digunakan menghitung variabel baru sehingga dapat menggambarkan perbedaan antar 2 kelompok atau lebih.
3. Untuk mengelompokkan pengamatan ke dalam salah satu kelompok yang ada.
2.3 Evaluasi Fungsi Klasifikasi
Salah satu untuk menilai suatu prosedur klasifikasi adalah menghitung peluang kesalahan
klasifikasi yang dinamakan Apparent Error Rates (APER), didefinisikan dengan fraksi (proporsi)
pengamatan pada sampel yang salah diklasifikasikan oleh fungsi klasifikasi. Apabila asumsi multivariat
normal dan homogenitas matriks varian-kovarian terpenuhi maka akan berakibat nilai APER akan
semakin besar. APER dihitung dengan terlebih dahulu membuat tabel klasifikasi. Berikut merupakan
contoh struktur tabel klasifikasi pada Tabel 2.1.
3
Tabel 2.1 Tabulasi Silang
Kelompok Kelompok Prediksi Jumlah
Aktual 1 2 3 Observasi
1 𝑛
12 𝑛
23 𝑛
3Sumber: Rencher, 2002.
(3) Keterangan:
n
11= Jumlah pengamatan dari kelompok 1 tepat diklasifikasikan sebagai kelompok 1 n
12= Jumlah pengamatan dari kelompok 1 salah diklasifikasikan sebagai kelompok 2 n
13= Jumlah pengamatan dari kelompok 1 salah diklasifikasikan sebagai kelompok 3 n
21= Jumlah pengamatan dari kelompok 2 salah diklasifikasikan sebagai kelompok 1 n
22= Jumlah pengamatan dari kelompok 2 tepat diklasifikasikan sebagai kelompok 2 n
23= Jumlah pengamatan dari kelompok 2 salah diklasifikasikan sebagai kelompok 3 n
31= Jumlah pengamatan dari kelompok 3 salah diklasifikasikan sebagai kelompok 1 n
32= Jumlah pengamatan dari kelompok 3 salah diklasifikasikan sebagai kelompok 2 n
33= Jumlah pengamatan dari kelompok 3 tepat diklasifikasikan sebagai kelompok 3 n
1, n
2, n
3= Jumlah pengamatan dari kelompok 1, 2, dan 3
2.4 Analysis of Variance (ANOVA)
Analysis of Variance (ANOVA) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk menguji tentang perbedaan rata-rata populasi secara univariat (Johnson dan Wichern, 2002). Pengujian kesamaan rata-rata secara univariat dilakukan dengan hipotesis:
H
0:
1
2
gH
1: paling tidak ada satu µ
iyang tidak sama, i = 1,2,...,g
Tabel ANOVA untuk perbandingan rata-rata populasi secara univariat disajikan pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 ANOVA
Sumber variasi Jumlah Kuadrat (SS) Derajat bebas Perlakuan
) ( x i x
SS n
g 2
1 i
tr
i
g-1
Residual
g
1 i
n
1 j
i ij
2 res
i
) x x
SS (
g
i
i
g
n
1
Total
(Terkoreksi)
g
1 i
n
1 j
ij 2 cor
i
) x x
SS (
g
i
n
i 11 (Sumber : Johnson dan Wichern, 2002)
3 2 1
32 31 23 21 13 12
n n n
n n n n n APER n
n
11n
21n
31n
12n
22n
32n
13n
23n
334 Statistik uji yang digunakan yaitu sebagai berikut:
𝐹 =
𝑆𝑆𝑡𝑟 𝑔−1 𝑆𝑆𝑟𝑒𝑠
g
1 i
i
g
n
(4)
Tolak H
0jika F > F n g
g
1 i , i 1 -
g
(α) 2.5 Jarak Euclidius
Jarak euclidius berawal dari jarak Minkowski dengan dua objek sehingga dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2002):
𝑑(𝑥
𝑖, 𝑥
𝑗) = 𝑥
𝑖𝑘− 𝑥
𝑗𝑘 𝑝 2𝑘=1
dengan i = 1,2,...,n; j = 1,2,...,n; i ≠ j (5)
Dimana 𝑑(𝑥
𝑖, 𝑥
𝑗) merupakan jarak antara dua objek i dan j, 𝑥
𝑖𝑘adalah nilai objek i pada variabel k dan 𝑥
𝑗𝑘merupakan nilai objek j pada variabel k.
Jarak euclidius pada dasarnya merupakan bentuk perluasan dari Teorema Pythagoras pada data multidimensional. Persamaan jarak euclidius di atas juga dapat ditransformasi ke dalam persamaan vektor berikut (Richards dan Jia, 2006):
𝑑 𝒙
𝒊, 𝒙
𝒋= (𝒙
𝒊− 𝒙
𝒋)
𝑡(𝒙
𝒊− 𝒙
𝒋) (6)
Dimana 𝒙
𝒊dan 𝒙
𝒋merupakan vektor objek i dan objek j.
2.6 Metode Pautan Lengkap (Complete Linkage)
Pautan lengkap memberikan kepastian bahwa semua objek-objek dalam satu kelompok berada dalam jarak paling jauh (similaritas terkecil) satu sama lain. Algoritma aglomerative pada umumnya dimulai dengan menentukan elemen matriks dalam D = {d
ik} dan menggabungkan objek-objek yang bersesuaian misalnya U dan V untuk mendapatkan kelompok (UV). Untuk langkah dari algoritma di atas jarak-jarak antara kelompok (UV) dan kelompok W yang lain dihitung dengan:
d
(UV)W= maks{d
UW,d
VW} (7)
Di sini besaran-besaran d
UWdan d
VWberturut-turut adalah jarak antara tetangga terdekat kelompok- kelompok U dan W dan juga kelompok-kelompok V dan W (Johnson dan Wichern, 2002).
2.7 Metode Pautan Rata-Rata (Average Linkage)
Pautan rata-rata memperlakukan jarak antara dua kelom-pok sebagai jarak rata-rata antara semua pasangan objek-objek di mana satu anggota dari pasangan tersebut kepunyaan tiap kelom-pok. Mulai dengan mencari matriks jarak D = {d
ik} untuk mem-peroleh objek-objek paling dekat (paling mirip) misalnya U dan V. Objek objek ini digabungkan untuk membentuk kelompok (UV). Untuk langkah (3) dari algoritma di atas jarak-jarak antara (UV) dan kelompok W yang lain ditentukan oleh:
d
(UV),W = UV W
n
i n
k ik
N N
d
) (
1 1
(8)
di mana d
ikadalah jarak antara objek i dalam kelompok (UV) dan objek k dalam kelompok W, dan N
UVdan N
Wberturut-turut adalah banyaknya objek-objek dalam kelompok (UV) dan W (Johnson dan Wichern,
2002).
5 2.8 Metode Ward’s
Jarak antara dua kelompok pada metode ini adalah jumlah kuadrat antara dua kelompok untuk seluruh variabel. Metode ini cenderung digunakan untuk mengkombinasi kelompok-kelompok dengan jumlah kecil (Landgrebe, 2003).
𝐸𝑆𝑆 =
𝐾𝑘=1 𝐽𝑗 =1 𝑁𝑖=1𝑘𝑋
𝑖𝑗𝑘− 𝑋
.𝑗𝑘 2(9)
K adalah jumlah kelompok dan J adalah jumlah variabel sedangkan N
kmerupakan observasi pada kelompok k.
2.9 Definisi Curah Hujan
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Tinggi curah hujan diasumsikan sama disekitar tempat penakaran, luasan yang tercakup oleh sebuah penakar curah hujan tergantung pada homogenitas daerahnya maupun kondisi cuaca lainnya (Arsyad, 1989).
Pola iklim di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga yaitu pola moonson, pola equatorial dan pola lokal ( Handoko,1993 ).
1. Pola moonson
Bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan). Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.
2. Pola equatorial
Dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober yaitu pada saat matahari berada dekat equator.
3. Pola lokal
Bentuk pola hujan adalah unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson.
2.10 Zona Musim (ZOM)
Zona Musim (ZOM) adalah daerah yang pola hujan rata-ratanya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan (www.bmkg.go.id). Daerah-daerah yang pola hujan rata- ratanya tidak memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan disebut, non ZOM. Luas suatu wilayah ZOM tidak selalu sama dengan luas suatu wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian, suatu wilayah ZOM bisa terdiri dari beberapa kabupaten, dan sebaliknya suatu wilayah kabupaten bisa terdiri atas beberapa ZOM (www.telukbone.org).
3. Metodologi
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari BMKG. Data ini berupa data curah hujan bulanan yang diambil dari tiap stasiun curah hujan di kabupaten Ngawi. Terdapat 3 tahapan dalam melakukan analisis data, yaitu (1) evaluasi ZOM BMKG dengan analisis diskriminan dan pengelompokkan stasiun (membangun ZOM) dengan metode analisis kelompok hierarki (pautan lengkap, pautan rata-rata, dan Ward’s) dengan ukuran jarak (jarak euclidius), (2) modifikasi hasil pengelompokan melalui koreksi elevasi dan kontur curah hujan, (3) membanding kinerja ZOM antara ZOM BMKG dan ZOM terbaik.
Tahap 1: Evaluasi ZOM BMKG dengan analisis diskriminan dan pengelompokkan dengan metode cluster analysis hierarki (pautan lengkap, pautan rata-rata, dan Ward’s) dan ukuran jarak (jarak euclidius).
a. Mendeskripsikan data curah hujan yang merupakan hasil rataan dari masing-masing stasiun di kabupaten Ngawi.
b. Melakukan reduksi variabel dengan analisis faktor untuk menghindari variabel yang dependen sehingga dapat digunakan untuk analisis kelompok hirarkhi.
c. Melakukan evaluasi hasil pengelompokan ZOM BMKG dengan analisis diskriminan.
d. Membentuk kelompok dengan metode pautan (pautan lengkap, pautan rata-rata, dan ward’s) dengan ukuran jarak (jarak euclidius).
e. Dilakukan evaluasi model yang didapat dengan kriteria dua nilai simpangan baku, yaitu dalam kelompok (S
w) dan antar kelompok (S
B) sehingga didapat metode terbaik dengan rumus:
(Bunkers et al. 1996)
6
𝑆
𝑤= 𝐾
−1𝑆
𝑘𝐾
𝑘 =1
Dimana, K adalah banyaknya kelompok yang terbentuk dan S
kmerupakan simpangan baku kelompok ke- k.
𝑆
𝐵= 𝐾 − 1
−1𝑋
𝑘− 𝑋
2𝐾
𝑘=1
1 2
Dimana, 𝑋
𝐾adalah rataan kelompok ke-k dan 𝑋 rataan keseluruhan kelompok. Semakin kecil nilai S
wdan semakin besar nilai S
B,maka metode tersebut memiliki kinerja yang baik, artinya mempunyai homogenitas yang tinggi.
Tahap 2: Modifikasi hasil pengelompokan melalui kontur curah hujan dan scatterplot skor faktor.
a. Digunakan peta evaluasi Ngawi sebagai acuan untuk memodifikasi hasil pengelompokan yang didapat.
b. Pemodifikasian hasil pengelompokan berdasarkan kontur curah hujan dan scatterplot skor faktor.
c. Mendapatkan ZOM baru dengan mengidentifikasi anggota ZOM.
Tahap 3: Membandingkan kinerja ZOM antara ZOM BMKG dan ZOM terbaik.
a. Membandingkan ZOM baru yang didapat dengan ZOM milik BMKG menggunakan kriteria simpangan baku dalam dan antar kelompok.
b. Didapat ZOM terbaik dari hasil evaluasi kriteria simpangan baku dalam dan antar kelompok.
4. Pembahasan
4.1 Deskripsi Umum Iklim di Kabupaten Ngawi
Gambaran umum keadaan iklim di Kabupaten Ngawi dilihat berdasarkan curah hujan beberapa tahun sangat diperlukan sebelum melakukan analisis lebih mendalam. Hal ini sangat penting untuk mengetahui informasi awal tentang bagaimana pola dan bentuk data yang akan digunakan untuk analisis.
Hasil deskripsi menyatakan bahwa rata-rata curah hujan tiap stasiun pengamatan di Kabupaten Ngawi hampir sama. Namun demikian ada daerah stasiun curah hujan seperti Jogorogo memiliki rata-rata curah hujan di atas 200 mm dengan curah hujan tertinggi 417,4 mm dan terendah sebesar 19,6 mm. Daerah yang memiliki rata-rata curah hujan terendah yaitu pada Stasiun Begal dengan curah hujan rata-rata 128,5 mm. Daerah di sekitar stasiun Begal memiliki curah hujan terendah 13,1 mm dan tertinggi 291,6 mm.
Apabila ditinjau dari keragaman curah hujan, Karang jati dan Jogorogo memiliki keragaman curah hujan yang mencolok atau berbeda jauh dengan stasiun curah hujan yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah disekitar stasiun curah hujan tersebut memiliki curah hujan yang ekstrem.
4.2 Evaluasi Zona Musim Kabupaten Ngawi Hasil Pengelompokan BMKG
Asumsi dasar analisis diskriminan adalah Pemeriksaan kenormalan dan pemeriksaan kesamaan matrik varian kovarian. Jika salah satu asumsi tersebut tidak terpenuhi maka hasil analisis diskriminan tidak sahih (Johnson dan Wichern, 2002). Hasil pemeriksaan kenormalan data didapat nilai d
j2
=0,61 sehingga dapat disimpulkan data curah hujan berdistribusi normal multivariat. Dalam pemeriksaan kesamaan matrik varian kovarian antar kelompok dapat digunakan statistik uji Box’s M. Berdasarkan perhitungan menggunakan software SPSS didapat nilai Box’s M sebesar 12,240 dan p-value 0,722 yang artinya tidak ada perbedaan matrik varian kovarian tiap kelompok.
Hasil pengklasifikasian dengan analisis diskriminan menunjukkan bahwa ketepatan klasifikasi keseluruhan mencapai 94,4%, dengan menggunakan rumus (3) diperoleh 5,56% salah pengelompokkan.
Kesalahan pengelompokkan seperti ini harus dihindari untuk menunjang keakuratan prediksi iklim. Oleh karena itu dilakukan pengelompokkan Zona Musim (ZOM) untuk mendapatkan ZOM yang homogen dengan metode terpilih.
4.3 Membangun Zona Musim (ZOM) di Kabupaten Ngawi
Sebelum melakukan pengelompokkan stasiun curah hujan dilakukan pereduksian variabel dengan analisis faktor. Pereduksian peubah ini dilakukan untuk menghindari dependensi antar variabel.
4.3.1 Analisis Faktor
Berdasarkan nilai eigenvalue terdapat lima komponen yang optimum dari 12 variabel. Namun
dalam hal ini diambil empat komponen optimum saja, karena kondisi iklim di indonesia khususnya
7
Kabupaten Ngawi terdapat dua musim yaitu kemarau dan penghujan. Empat komponen yang optimum menggambarkan musim transisi kemarau ataupun penghujan, musim kemarau dan musim penghujan (Piem, 2009). Untuk lebih mudah memahami bulan-bulan musim penghujan dan kemarau, disajikan hasil komponen utama pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Loading Faktor Dengan Rotasi Varimax
Peubah Loading Faktor
1 2 3 4
Januari 0,903 -0,125 -0,141 0,174
Februari 0,890 -0,102 0,168 -0,01
Maret 0,638 0,025 0,534 -0,359
April 0,552 0,13 0,678 0,222
Mei 0,331 -0,791 0,461 -0,026
Juni 0,575 0,016 -0,056 0,572
Juli 0,057 -0,064 0,623 -0,111
Agustus 0,02 -0,101 -0,14 -0,839
September 0,015 -0,899 0,036 -0,084
Oktober 0,071 -0,599 -0,137 0,579
November -0,122 -0,289 0,786 0,314
Desember 0,708 -0,516 0,296 -0,098
Ket: Angka bercetak tebal merupakan nilai tertinggi dari masing-masing loading faktor
Tabel 4.1 merupakan hasil loading faktor dengan rotasi varimax. Berdasarkan nilai loading faktor menunjukkan bahwa bulan-bulan pada faktor 1 merupakan musim penghujan yaitu pada bulan Januari- Maret, dan Desember. Pada faktor 2 dan faktor 3 merupakan musim transisi baik transisi musim kemarau yang terjadi pada bulan April, Mei, dan Juli, maupun musim penghujan yang terjadi pada bulan September-November. Sementara puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juni dan Agustus yang dapat dijelaskan oleh faktor 4. Total keragaman yang dapat dijelaskan keempat faktor tersebut sebesar 77,7%
dengan keragaman masing-masing faktor secara berurutan adalah 36,2%, 51,5%, 65,7%, dan 77,7%.
Melihat hasil pada Tabel 4.1 mengindikasikan di Kabupaten Ngawi musim penghujan lebih lama daripada musim kemarau yaitu sampai empat bulan.
4.3.2 Model Metode Pautan Lengkap
Metode pautan lengkap menggunakan jarak terjauh untuk mengelompokkan suatu objek.
Berdasarkan nilai F yang didapat dari ANOVA, diperoleh empat Zona Musim yang anggota masing- masing Zona sebagai berikut:
Zona 1:Mardiasri, Paron, Ngawi, dan Mantingan.
Zona 2:Bekoh, Sambiroto, Padas, Ngadirejo/ sooko, Ngale, Guyung, Kedunggalar, Ngrambe, Tretes, dan Walikukun.
Zona 3:Karang Jati, Jogorogo, dan Kedung Urung-urung.
Zona 4:Begal
Banyaknya Zona Musim (kelompok) didapat berdasarkan nilai F-pseudo tertinggi hasil simulasi 2 sampai 10 kelompok dengan metode pautan lengkap sehingga didapat empat Zona Musim di Kabupaten Ngawi. Nilai ini menunjukkan tingkat keragaman antar kelompok yang terbentuk. Zona satu terdiri atas Mardiasri, Paron, Ngawi, dan Mantingan memiliki iklim yang sama (homogen). Ditinjau dari letak geografis daerah tersebut, tidak semua anggota zona satu berdekatan. Hal ini dikarenakan adanya amatan yang ekstrim tinggi curah hujan. Stasiun Begal membentuk kelompok sendiri, hal ini dikarenakan ketidaksamaan tinggi curah hujan dengan kelompok yang lain.
4.3.3 Model Metode Pautan Rata-Rata
Pengelompokkan ini berdasar pada jarak rata-rata antar stasiun curah hujan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa metode pautan rata-rata menghasilkan empat kelompok. Sama halnya dengan pemilihan kelompok pada metode pautan lengkap, pemilihan kelompok ini berdasarkan nilai F yang tinggi hasil simulasi 2 sampai 10 kelompok dengan ANOVA. Pada zona satu, Stasiun Mardiasri, Paron, Ngawi, dan Mantingan menjadi satu kelompok. Sama halnya dengan hasil pengelompokkan dengan metode pautan lengkap
Anggota ZOM yang terbentuk dengan metode pautan rata-rata masing-masing Zona sama dengan
metode pautan lengkap yaitu:
8 Zona 1:Mardiasri, Paron, Ngawi, dan Mantingan.
Zona 2:Bekoh, Sambiroto, Padas, Ngadirejo/ Sooko, Ngale, Guyung, Kedunggalar, Ngrambe, Tretes, dan Walikukun.
Zona 3:Karang Jati, Jogorogo, dan Kedung Urung-urung.
Zona 4:Begal
4.3.4 Model Metode Ward’s
Metode ward’s merupakan metode yang mempunyai kinerja paling baik diantara metode hierarki lainnya (Gong dan Richman, 1995). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa metode ward’s menghasilkan tujuh kelompok. Hasil ini berdasarkan nilai F hasil simulasi 2 sampai 10 kelompok dengan ANOVA.
Pada zona satu mempunyai anggota tiga stasiun curah hujan yaitu Mardiasri, Paron, dan Ngawi. Hasil pengelompokkan pada zona satu ini berbeda dengan pengelompokkan dengan metode pautan lengkap dan pautan rata-rata. Stasiun curah hujan seperti Begal dan Mantingan membentuk kelompok sendiri. Hal ini dikarenakan perbedaan tinggi curah hujan stasiun tersebut dengan ZOM yang lain sehingga memungkinkan untuk membentuk kelompok sendiri. Anggota kelompok masing-masing ZOM sebagai berikut:
Zona 1:Mardiasri, Paron, dan Ngawi
Zona 2:Bekoh, Sambiroto, Padas, Guyung, dan Begal.
Zona 3:Karang Jati, Jogorogo, dan Kedung Urung-urung.
Zona 4:Kedunggalar, Ngadirejo/Sooko, dan Ngale.
Zona 5:Begal
Zona 6:Ngrambe, Tretes, dan Walikukun Zona 7:Mantingan
4.3.5 Pemilihan Motode Pengelompokkan terbaik
Penentuan banyaknya zona yang terbentuk pada masing-masing metode didasarkan nilai F yang konsisten tinggi, sedangkan untuk penentuan simpangan baku antar kelompok dan dalam kelompok, digunakan nilai F terbesar pada masing-masing faktor. Berdasarkan simpangan baku dalam kelompok hasil pengelompokkan dengan ketiga metode (pautan lengkap, pautan rata-rata, dan ward’s), metode ward’s memiliki simpangan baku dalam kelompok yang lebih kecil daripada dua metode yang lainnya (Tabel 4.2), sedangkan nilai simpangan baku dalam kelompok dan antar kelompok pada metode pautan lengkap dan pautan rata-rata memiliki nilai yang sama karena anggota kelompok yang sama. Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa tidak ada metode yang paling baik karena nilai simpangan baku dalam dan antar kelompok tidak ada yang konsisten dari ketiga metode tersebut. Akan tetapi, apabila ditinjau dari rasio antara simpangan baku dalam kelompok dengan simpangan baku antar kelompok menunjukkan bahwa metode ward’s memiliki rasio yang paling kecil (Tabel 4.3), sehingga hal ini mendukung pernyataan Gong & Richman bahwa metode ward’s memiliki kinerja paling baik diantara metode hierarki lainnya.
Berikut secara lengkap disajikan hasil perhitungan simpangan baku dalam kelompok (S
W) dan simpangan baku antar kelompok (S
B) pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Simpangan Baku Dalam Kelompok (SW
) dan Simpangan Baku Antar Kelompok (S
B) Masing-Masing Komponen
Jumlah Kelompok* Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Pautan Lengkap
A= 4 SW 0,5995 0,4240 0,9786 0,3865
SB 1,9230 1,7840 0,6059 2,1101
B SW 0,6323 0,3853 0,6683 0,4199
SB 1,9357 1,8457 1,6501 2,1166
Pautan Rata-rata
A= 4 SW 0,5995 0,4240 0,9786 0,3865
SB 1,9230 1,7840 0,6059 2,1101
B SW 0,6323 0,3853 0,6683 0,4199
SB 1,9357 1,8457 1,6501 2,1166
Ward’s
A= 7 SW 0,484 0,2195 0,5602 0,417
SB 2,2887 2,3631 2,0606 3,337
B SW 0,512 0,3729 0,6719 0,43
SB 2,156 2,0652 1,279 2,9754
Ket *: A merupakan jumlah kelompok berdasarkan nilai F tertinggi dan B
adalah jumlah kelompok yang sama tiap metode
9
Berikut adalah tabel perbandingan simpangan baku dalam kelompok dan simpangan baku antar kelompok dengan jumlah kelompok berbeda (A) dan jumlah kelompok sama (B) yang diperoleh dari Tabel 4.2. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa metode ward’s memiliki rasio paling kecil diantara metode lainnya, baik dengan tujuh kelompok maupun lima kelompok.
Tabel 4.3 Rasio Simpangan Baku Dalam Kelompok (SW
) dan Simpangan Baku Antar Kelompok (S
B) Masing-Masing Metode
Metode Jumlah
Kelompok*
Rasio
Pautan Lengkap A 0,3719
B 0,2790
Pautan Rata-Rata A 0,3719
B 0,2790
Ward’s A 0,1672
B 0,2344
Ket *: A merupakan jumlah kelompok berdasarkan nilai F tertinggi dan B adalah jumlah kelompok yang sama tiap metode
4.3.6 Rancangan Zona Musim
Zona Musim (ZOM) yang ada merupakan hasil pengelompokkan oleh BMKG dengan menggunakan metode pautan lengkap. Tahap awal setelah diketahui anggota kelompok yaitu dengan mengidentifikasi daerah ZOM dengan peta kontur curah hujan dan plot skor faktor. Proses identifikasi ini memungkinkan terjadi pengelompokkan ulang anggota Zona Musim yang telah terbentuk.
Penentuan luasan Zona Musim menggunakan kelompok dari metode ward’s yaitu tujuh kelompok.
Pengelompokkan ulang dilakukan pada stasiun yang memencil pola sebarannya (outlier). Sementara itu identifikasi pengelompokan ulang digunakan peta kontur curah hujan (Gambar 4.1). Peta kontur tersebut berdasarkan nilai skor faktor 1 (musim penghujan), skor faktor 2 dan 3 (musim transisi), dan skor faktor 4 (musim kemarau). Berdasarkan peta kontur curah hujan musim penghujan (Gambar 4.1a) menunjukkan bahwa pada zona 3 dengan Stasiun Karang jati cenderung mengelompok dengan zona 2 sehingga Stasiun Karang jati akan dialokasikan ke zona 2. Apabila dilihat dari letak geografisnya zona ini terletak pada dataran yang flat. Stasiun Begal pada zona 5 dilakukan pengelompokkan ulang dengan zona 2. Stasiun Kedung Urung-urung pada zona 3 akan dikelompokkan ulang dengan zona 6 sesuai peta kontur curah hujan musim transisi (Gambar 4.1c). Pada zona 3 yaitu Stasiun Jogorogo dialokasikan pada zona 6, pengelompokkan ulang zona ini didasarkan pada peta kontur curah hujan musim kemarau (Gambar 4.1d).
Zona 6 merupakan daerah pegunungan. Pada kontur curah hujan musim transisi (Gambar 4.1b) menunjukkan bahwa Stasiun Mantingan pada zona 7 tidak mengalami pengelompokkan ulang.
Gambar 4.1. Kontur Curah Hujan Dengan Skor Faktor 1 (a), Skor Faktor 2 (b), Skor Faktor 3 (c),
dan Skor Faktor 4 (d)
a)
c)
b)
d)
10
Secara lengkap hasil pengelompokan ulang menjadi lima kelompok sebagai berikut:
Zona 1:Mardiasri, Paron, dan Ngawi.
Zona 2:Bekoh, Sambiroto, Padas, Guyung, Karang jati, dan Begal Zona 3:Kedunggalar, Ngadirejo/Sooko, dan Ngale.
Zona 4: Ngrambe, Tretes, Walikukun, Jogorogo, Kedung Urung-urung.
Zona 5:Mantingan
Sedangkan Karakteristik tiap Zona Musim untuk setiap periode musim dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 4.4 Karakteristik Zona Musim (curah hujan dalam mm)
Zona
Musim Penghujan Transisi Transisi Kemarau Zona 1 284,67 91,25 174,29 36,79 Zona 2 286,91 66,83 170,06 36,30 Zona 3 256,97 73,25 154,97 36,71 Zona 4 305,03 74,75 143,11 43,36 Zona 5 300,56 104,67 149,57 41,18
Tabel 4.4 menjelaskan bahwa Zona 4 memiliki tinggi curah hujan yang lebih tinggi daripada zona yang lainnya yaitu sebesar 305,03 mm pada musin penghujan dan 43,36 mm pada musim kemarau. Zona 4 ini merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki gunung lawu sehingga memiliki curah hujan yang relatif tinggi. Sementara Zona 1, 2, dan 3 memiliki tinggi curah hujan yang hampir sama terutama pada musim penghujan. Kesamaan tinggi curah hujan ini dikarenakan letak stasiun curah hujan pada Zona tersebut terletak pada dataran yang flat. Zona 5 memiliki tinggi curah hujan pada musim penghujan sebesar 300,56 mm dan curah hujan tertinggi pada musim transisi baik transisi musim penghujan ke musim kemarau ataupun musim kemarau ke musim penghujan. curah hujan yang tinggi ini disebabkan letak geografis Zona ini yang berdekatan dengan gunung lawu. Hasil pengelompokan ulang secara visual tersaji pada Gambar 4.2 berikut.
Gambar 4.2. Pengelompokkan setelah revisi
4.4 Perbandingan ZOM dengan ZOM BMKG
Zona Musim yang terbentuk versi BMKG terbagi menjadi dua kelompok, akan dibandingkan
dengan ZOM baru dengan lima kelompok. Nilai simpangan baku dalam kelompok pada ZOM hasil
BMKG pada Tabel 4.5 konsisten tinggi sedangkan jika dilihat simpangan baku antar kelompok
menunjukkan nilai yang tidak konsisten. Berbeda dengan nilai simpangan baku dalam kelompok pada
ZOM baru yang menunjukkan nilai yang lebih kecil daripada hasil BMKG. Apabila ditinjau berdasarkan
nilai rasio antara simpangan baku dalam kelompok dan antar kelompok, ZOM baru memiliki rasio yang
lebih kecil sehingga dapat dikatakan memiliki kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan ZOM
hasil BMKG.
11
Tabel 4.5 Rasio Simpangan Baku Dalam Kelompok (SW
) dan Simpangan Baku Antar Kelompok (S
B)
ZonaMusim
SW SB
Rasio
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4
ZOM
BMKG
0,950 1,023 0,882 0,928 0,836 0,425 0,815 0,106 1,734
ZOMBaru