• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Kristologis tentang Citra Yesus Menurut Pemahaman Pasien Panti Rehabilitasi Kejiwaan: Rumah Pemulihan Efata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Kristologis tentang Citra Yesus Menurut Pemahaman Pasien Panti Rehabilitasi Kejiwaan: Rumah Pemulihan Efata"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KRISTOLOGIS TENTANG CITRA YESUS

MENURUT PEMAHAMAN PASIEN PANTI REHABILITASI KEJIWAAN RUMAH PEMULIHAN EFATA

Oleh

Risma Juita Pardede 712010056

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi

disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si, Teol)

Program Studi Teologi

Fakultas Teologi

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Sejarah kekristenan mencatat, Yesus adalah tokoh yang berpengaruh terhadap

perkembangan spiritual manusia. Ia direpresentasikan sebagai manusia yang utuh secara fisik,

psikologis, moral dan spiritual. Kepopuleran Yesus tidak pernah pudar sepanjang masa.

Pemahaman-pemahaman tentang Yesus dilakukan dalam berbagai cara. Hal itu terbukti dari

banyaknya buku yang muncul sebagai hasil dari perenungan, diskusi dan penelitian ilmiah

para cendekiawan atas sosok Yesus. Citra Yesus yang mempesona kini tidak hanya

menyentuh orang pada umumnya tetapi juga menyentuh orang-orang khusus dengan

disabilitas atau yang disebut dengan ODD. Perhatian kalangan ODD (Orang Dengan

Disabilitas) dalam memandang sosok Yesus Kristus inilah yang disebut sebagai kristologi

disabilitas. Disabilitas mencakup kondisi yang luas dan kompleks. Istilah ini bukan hanya

merujuk pada kekurangan fisik semata, namun hasil interaksi dari keterbatasan yang dialami

seseorang dengan lingkungannya. Tujuan dari penulisan tugas ini adalah untuk mengetahui

citra Yesus dari sudut pandang iman dan pengalaman hidup orang dengan disabilitas,

khususnya mereka yang mengalami tantangan kejiwaan. Setelah melakukan studi terhadap

orang dengan persoalan kejiwaan serta membandingkannya dengan pendapat para ahli, maka

saya menemukan bahwa Yesus dicitrakan sebagai yang disable. Penggambaran Kristus yang

disable tidak hanya meng-imaginasikan Yesus Kristus sebagai yang able-bodied dan

able-minded, melainkan Dia dengan persoalan kejiwaan. Ke-disable-an Yesus Kristus bukan

hukuman atas dosa, melainkan simbol kerentanan Allah terhadap disabilitas dan Tuhan yang

berjuang. Maka dari itu orang - orang dengan persoalan kejiwaan pun bukan hukuman karena

dosa, sebab di dalam jiwa yang terbatas terdapat iman yang tidak terbatas.

(8)

1

KAJIAN KRISTOLOGIS TENTANG CITRA YESUS

MENURUT PEMAHAMAN PASIEN PANTI REHABILITASI KEJIWAAN RUMAH PEMULIHAN EFATA

1. Pendahuluan

Yesus Kristus merupakan sosok yang selalu membawa pengaruh besar lebih dari pengaruh

siapa pun yang pernah hidup di dunia ini. Ia dipandang sebagai pribadi agung oleh manusia

yang hidup setelah jaman-Nya, dan sosok yang mampu mendorong manusia menuju cara

berpikir etik yang lebih baik.

Sejarah kekristenan mencatat, Yesus adalah tokoh yang berpengaruh terhadap

perkembangan spiritual manusia. Ia direpresentasikan sebagai manusia yang utuh secara fisik,

psikologis, moral dan spiritual.1 Tidak ada pribadi yang kehidupannya telah begitu seksama diteliti, diselami, dicermati dan dianalisa, selain Yesus. Kepopuleran Yesus tidak pernah

pudar sepanjang masa. Pemahaman-pemahaman tentang Yesus dilakukan dalam berbagai

cara. Hal itu terbukti dari banyaknya buku yang muncul sebagai hasil dari perenungan,

diskusi dan penelitian ilmiah para cendekiawan atas sosok Yesus. Citra Yesus yang

mempesona tidak hanya menyentuh orang pada umumnya tetapi juga menyentuh orang-orang

khusus dengan disabilitas atau ODD (Orang Dengan Disabilitas).

Disabilitas mencakup kondisi yang luas dan kompleks. Istilah ini bukan hanya

merujuk pada kekurangan fisik semata, namun hasil interaksi dari keterbatasan yang dialami

seseorang dengan lingkungannya. Disabilitas memiliki banyak jenis, di antaranya; disabilitas

fisik, disabilitas mental, disabilitas intelektual, disabilitas sensorik, dan disabilitas

perkembangan.2 Disabilitas bisa terjadi kapan saja dan di mana saja atau selama seseorang masih hidup dia akan mempunyai potensi untuk masuk ke dalam kategori orang dengan

disabilitas. Tetapi, orang dengan disabilitas psikis (mental) sering sekali dipilih untuk

menjadi objek penelitian. Hal ini dikarenakan dua alasan: pertama, pada beberapa

pemahaman sering merekatkan disabilitas sebagai kutuk, hukuman atas dosa, serta lemahnya

iman seseorang sehingga ia mudah dirasuki roh jahat3; kedua, orang dengan disabilitas mental (psikis) dianggap orang aneh, bodoh, dan segala ucapannya adalah ilusi belaka, serta

khayalan yang menipu.

1

Yusak B.Setyawan, Basic Christology : A Draft (Salatiga, 2012), 12.

2

Thomas Oltmanns & Robert Emery, Psikologi Abnormal: Edisi ketujuh (Pustaka Pelajar, Cet 1, 2013), 30

3

(9)

2

Berdasarkan pengalaman penulis selama bekerja di Rumah Pemulihan Efata, penulis

menemukan dan merasakan secara langsung kompleksitas pergumulan yang nyata dari para

pasien yang dirawat. Dalam pergumulannya, pasien mencitrakan Yesus Kristus dengan

caranya sendiri sesuai dengan perkembangan iman serta pengalamannya terhadap

keselamatan dan cinta kasih dari Kristus. Maka dari itu, tugas akhir ini memiliki maksud untuk memahami bagaimana pasien di Panti Rehabilitasi Kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata” mencitrakan Yesus, yang diuraikan dalam judul : Kajian Kristologis Tentang Citra Yesus Menurut Pemahaman Pasien Panti Rehabilitasi Kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata

1.1. Batasan, rumusan masalah, dan tujuan penelitian

Berdasarkan judul dan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka penelitian akan

dibatasi pada kajian Kristologis tentang citra Yesus menurut pemahaman pasien panti rehabilitasi kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata”. Ada pun fokus permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana kajian Kristologis tentang citra Yesus menurut pemahaman pasien panti rehabilitasi kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata”.

Berdasarkan latar belakang, pembatasan masalah, dan rumusan masalah yang telah

dikemukakan, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah: pertama, melakukan deskripsi

analitis tentang pemahaman akan Kristus menurut pasien panti rehabilitasi kejiwaan Rumah

Pemulihan Efata; kedua, melakukan kajian Kristologi terhadap citra Yesus menurut

pemahaman pasien panti rehabilitasi kejiwaan Rumah Pemulihan Efata.

1.2. Metode Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian tugas akhir ini maka metode penelitian yang digunakan

adalah metode deskriptif analitis Metode penelitian Deskriptif adalah metode yang meneliti

suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu keadaan, suatu pemikiran atau suatu kelas

peristiwa pada masa sekarang.4 Metode ini bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu untuk menentukan

frekuansi atau penyebaran suatu gejala atau frekuansi adanya hubungan tertentu antara suatu

gejala dan gejala yang lain dalam suatu masyarakat. Jenis penelitian yang digunakan adalah

kualitatif. Bertujuan untuk menampilkan data bukan dalam bentuk hitungan angka-angka,

melainkan dalam bentuk kalimat.5 Penelitian deskriptif dilakukan dengan teknik: pertama,

4 Mohamad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta:Ghalia Indonesia,1988), 63

(10)

3

wawancara ini merupakan cara pengumpulan data dalam penelitian untuk mendapatkan

informasi (data) dari responden dengan cara bertanya langsung secara tatap muka (face to

face); kedua, observasi, yakni pengamatan langsung kapada suatu objek yang akan diteliti6; ketiga, studi pustaka ini digunakan untuk mengumpulkan bahan atau data dari berbagai

buku, jurnal, sebagai tolak ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan yang berguna

menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian.

1.3. Signifikasi Penulisan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan berkenaan dengan pencitraan Yesus, serta

membuka pemahaman bahwa pandangan tentang citra Yesus tampil dalam pemahaman

pasien yang mengalami gangguan jiwa, seperti “Rumah Pemulihan Efata”. Penelitian ini

juga diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan informasi kepada

masyarakat mengenai citra Yesus yang hadir dalam pemahaman pasien panti rehabilitasi kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata”.

1.4. Sistematika Penulisan

Dalam menyelesaikan karya tulis ini, maka berikut ini adalah sistematika penulisan yang

digunakan sebagai pedoman dalam menyusun karya tulis, yakni : bagian pertama, berisi latar

belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metodologi penelitian, dan sistematika penulisan; bagian kedua berisi landasan teori

mengenai Kristologi tentang siapa Yesus dari Kristologi disabilitas; bagian ketiga,

memaparkan hasil penelitian mengenai Kristologi menurut pemahaman pasien panti

rehabilitasi kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata” beserta kajian Kristologi terhadap

pemahaman tersebut; bagian keempat, berisi tinjauan kritis terhadap hasil penelitian; bagian

kelima berisikan kesimpulan dan saran.

2. Kristologi Dalam Perspektif Disabilitas

2.1. Definisi Kristologi

Sebagai langkah awal dalam memahami kristologi melalui perspektif disabilitas, penting

untuk memahami kristologi terlebih dahulu karena pembahasan utama dalam tulisan ini

(11)

4

adalah mengenai sosok Yesus Kristus. Secara garis besar, istilah kristologi berasal dari

bahasa Yunani, yaitu khristos yang berarti Kristus dan logos yang berarti ilmu. Maka

kristologi adalah ilmu tentang Kristus.7

Dalam kamus Teologi, kristologi diartikan sebagai studi teologi atas Yesus Kristus

yang secara sistematis menyelidiki Dia dalam diri-Nya sendiri, sekaligus bagi orang-orang

yang percaya kepada-Nya.8 Pemahaman yang hampir sama juga dikemukakan oleh Dister yang menjelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang ke-Tuhanan, teologi mempunyai

kekhasan yakni ilmu yang tidak hanya didasarkan pada pengalaman inderawi manusia, serta

ratio yang dimiliki setiap orang, tetapi juga pada wahyu Tuhan yang diterima dalam iman.

Dengan demikian kristologi merupakan ilmu berdasarkan wahyu dan iman, atau sebagai

refleksi atas iman kristiani kepada Kristus.9

Kristologi muncul karena adanya keinginan untuk lebih mengenal dan memahami

Kristus. Sehubungan dengan itu, Gronen mengatakan, kristologi bukan sarana utama,

melainkan kristologi dimulai dengan kenyakinan iman. Artinya kristologi tidak

membicarakan Yesus Kristus sendiri, tetapi pikiran umat tentang Dia berdasarkan hubungan

pribadi, serta pengalaman umat dalam pelbagai perjumpaan dengan-Nya.10 Maka dari sini muncullah berbagai pemahaman iman terhadap Yesus, di antaranya, Yesus sebagai Mesias,

Anak Allah, Anak Manusia, Juru Selamat, Anak Domba Allah, Putra Allah yang hidup, dan

lainnya.

Maka dengan definisi di atas, tugas kristologi meliputi usaha memahami Yesus

Kristus sebagai manusia dimulai dengan kehidupan iman sesuai dengan pergumulan iman

setiap komunitas kristen. Sehubungan dengan definisi-definisi Kristologis tersebut lahirlah

berbagai pemahaman terhadap Yesus Kristus, yang akan dipaparkan pada bagian berikutnya.

2.1.1. Gambaran-gambaran Tentang Yesus dari Berbagai Teolog

Gambaran tentang Yesus yang ditampilkan begitu luas. Berbagai teolog mencoba memahami

siapa Yesus berdasarkan pergumulan iman, pengalaman umat pada masa lampau dan waktu

sekarang, maupun berdasarkan penelitian terhadap Yesus sejarah. Beberapa diantaranya

adalah Robert R. Boehlke. Menurutnya Yesus seharusnya dipahami dalam dua kualitas.

Pertama, Yesus sebagai manusia. Sebutan anak manusia menunjuk pada kemanusiaan Yesus,

7

Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 13

8Gerald O‟

Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 170

9

Nico Dister, Kristologi: Sebuah Sketsa (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 22

10

(12)

5

seperti: Yesus lahir secara manusia; Yesus bertumbuh dan berkembang sama dengan manusia

normal; Ia mengalami pertumbuhan fisik, pertumbuhan intelektual, sosial dan spiritual11; Yesus memiliki sifat-sifat manusiawi; Ia mengalami keletihan fisik,12 perasaaan lapar dan haus13, merasakan kesedihan atau duka, menangis, marah,14 bahkan Yesus mengalami penderitaan dan kematian.15 Kedua, Yesus sebagai Tuhan. Sebagai Tuhan, Yesus memiliki sifat-sifat keillahian, seperti: Ia bersifat kekal,16 maha hadir, maha kuasa. Yesus juga memiliki kuasa mengampuni dosa, memberi kehidupan rohani, membangkitkan orang mati,

bahkan bangkit dari kematian, hadir kembali serta menyatakan diri kepada mereka yang

masih hidup.17

Teolog lainnya seperti Marcus J. Borg menulis beberapa pemikiran baru tentang

Yesus. Ia menjelaskan, pertama, bahwa Yesus sejarah adalah seorang pribadi rohani, seorang

tokoh dalam sejarah dunia yang memiliki kesadaran mengenai realitas Allah. Kedua, Yesus

adalah seorang guru hikmat yang secara teratur menggunakan bentuk ajaran yang klasik

(perumpamaan dan aformisme). Dan ketiga, Yesus adalah seorang nabi sosial seperti

nabi-nabi Israel. Ia mengkritik elit sosial (ekonomi, politikdan agama) pada jaman-Nya, membela

visi sosial baru yang sering bertentangan dengan penguasa. Yesus adalah seorang pendiri

gerakan yang merintis gerakan pembaruan Yahudi yang menantang dan mengguncang

batasan sosial waktu itu, sebuah gerakan yang menjadi gereja mula-mula.18

Berikutnya adalah Louay Fatohi, yang memandang Yesus sebagai Al-Masîh, yang

berarti Mesias. Fatohi mengemukakan dalam Al-Quran sendiri gelar Al-Masîh hanya

ditujukan terhadap Yesus dan tidak ada nabi lain yang menerima gelar tersebut. Itu artinya

Al-Quran hanya mengakui satu Al-Masîh (Mesias) yaitu Yesus. Yesus sebagai Isa Al-Masîh

dikisahkan sebagai seseorang yang terkemuka baik di dunia maupun di akhirat, dan

merupakan seseorang dari antara orang-orang yang didekatkan kepada Allah.19 Pemahaman Fatohi yang demikian itu dikemukakan juga oleh orang-orang kristen Perjanjian Baru, yang

mana “Mesias” dalam dengan bahasa Yunani, khristos/Kristus memiliki arti „Yang diurapi‟.

11

Lih. Luk 2 : 52

12

Lih. Yoh 4 : 6

13

Lih. Mat 21 : 18, Yoh 4 : 7

14

Lih. Yoh.11 : 3, 35, Mrk.11 : 15

15

Lih. Yoh.19:30

16

Lih. Yoh.8:58, 17:5

17

Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 81 – 99 .

18

Markus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali: Yesus sejarah dan hakikat iman Kristen masa kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 21 – 37.

19

(13)

6

Dari hal ini terlihat bahwa Yesus dipandang sebagai orang yang secara khusus ditahbiskan

untuk tugas yang tertentu.

2.1.2 Kesimpulan

Dari pemahaman-pemahaman seperti yang dikemukakan di atas nampaklah bahwa Yesus

Kristus yang tetap sama semakin hidup dalam hati orang-orang beriman dan semakin relevan

dan bermakna bagi seluruh kehidupannya. Mereka semua mengimani iman kepercayaan yang

sama, tetapi membeberkan dan mengungkapkannya dengan cara yang berbeda-beda.

2.2. Kristologi Disabilitas 2.2.1. Pengertian Disabilitas

Istilah „disabilitas‟ mungkin kurang akrab di sebahagian masyarakat Indonesia berbeda

dengan „penyandang cacat‟, istilah ini sering digunakan dan banyak yang mengetahui. Istilah

disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris

disability yang berarti cacat atau ketidakmampuan.20 Istilah ini merupakan istilah payung yang mengacu kepada ketidak-berfungsian individu dalam beberapa aspek tertentu.

Dalam pemahaman masyarakat awam, disabilitas digolongkan ke dalam kategorial

orang yang kehilangan anggota tubuh. Penggunaan kursi roda, tunarunggu, tunanetra dan

mereka yang memiliki kesulitan berbicara disebut orang dengan disabilitas. Padahal bila

dicermati disabilitas lebih dari sekedar hal itu. Dunia disabilitas bukan hanya mengacu pada

persoalan medis, atau ketidak-mampuan individu secara fisik, tetapi juga pada rekontruksi

masyarakat dan hakikat manusia.

Dalam kaitannya definisi, WHO mendefinisikan disabilitas adalah fenomena

kompleks yang merefleksikan interaksi antara ciri-ciri tubuh manusia dan ciri-ciri masyarakat

dimana seseorang hidup.21 The Persons with Disabilities Act 1995 (PWD), juga menyebutkan orang dengan disabilitas adalah orang yang mengalami berbagai penderitaan dengan tidak

kurang dari empat puluh persen dari apa pun disabilitas yang dialami yang disertifikasikan

oleh otoritas medis. Jenisnya meliputi; situasi kebutaan, penglihatan yang berkurang,

20

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi keempat (Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Gramedia, 2008)

21

(14)

7

gangguan pendengaran, disabilitas locomotor, mental illnes, mental retardation, juga multiple

disabilities. 22

Ada pula definisi medis yang berpendapat bahwa disability (disabilitas) adalah

keterbatasan atau kekurangan (yang diakibatkan oleh kerusakan) kemampuan untuk

melakukan aktivitas yang ada di dalam atau di antara rentang skala yang dianggap normal.

Menurut mereka disabilitas bisa dikategorikan dengan derajat disfungsi atau ketidakcakapan

untuk melaksanakan berbagai peran sosial tertentu atau berfungsi normal seperti yang

diharapkan sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan posisi sosial individu yang bersangkutan.23 Dari ke tiga definisi tersebut dapat dikatakan bahwa disabilitas adalah isu kompleks yang

terus berkembang dan lebih merupakan akibat dan bukan penyebab.

2.2.2. Pengertian Kristologi Disabilitas

Dalam hubungan dengan pembahasan kristologi disabilitas, adalah baik jika terlebih dulu

memahami apa yang dimaksud dengan teologi disabilitas, karena di awal telah dikemukakan

bahwa kristologi adalah studi atau ilmu yang lebih luas, yakni teologi.

Istilah disabilitas mengacu pada persoalan kompleks kemanusiaan. Istilah ini bukan

pada ketidakmampuan semata, namun merupakan hasil interaksi dari keterbatasan yang

dialami seseorang dengan lingkungannya. Sedangkan teologi disabilitas adalah refleksi iman

dari sudut pandang dan pengalaman ODD dan NODD terhadap Allah yang hidup dalam

Kristus. Artinya teologi disabilitas bukan hanya membicarakan soal tubuh dan daging,

melainkan juga sebuah tindakan yang berkaitan dengan kebertubuhan dan penafsirannya.

Teologi disabilitas penting dilakukan untuk mengembangkan pandangan tentang

manusia dan Tuhan yang disembah. Maka dari itu, teologi disabilitas adalah usaha-usaha

yang dilakukan oleh orang beriman disable atau non disable dalam memahami Yesus Kristus,

Allah, dan kemanusiaan-Nya, melalui latar belakang historis dan pengalaman manusia

khususnya ODD.24 Maka dari itu jika dikaitkan arti kristologi dengan arti teologi disabilitas, dapat disimpulkan bahwa kristologi disabilitas merupakan suatu pemikiran, pemahaman,

penafsiran terhadap seluk beluk kehidupan Yesus Kristus dari sudut pandang iman dan

pengalaman hidup orang dengan disabilitas.

2.2.1. Kristus Yang Disable

22

Yusak B. Setyawan, Teologi Disabilitas: Hand Out, (Salatiga; Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), 4.

23

Leksikon, Istilah Kesehatan Jiwa dan PsikiatrikEdisi 2: WHO, (Penerbit Buku Kedokteran), 55, 56.

24

(15)

8 2.2.1.1. Pendahuluan

Kristus yang disabled merupakan citra Allah atau konsep pemahaman yang dikemukakan

oleh orang dengan disabilitas. Allah yang disable merupakan simbol yang muncul dari

pengalaman orang dengan disabilitas sendiri. Kristus yang tersalib, dan tubuh kebangkitan

Yesus yang terluka adalah simbol yang menolak disabilitas sebagai buah dosa, hukuman atau

kutukan.

Perlu ditegaskan bahwa, tradisi teologi yang kita warisi masih melihat ODD sebagai

orang yang abnormal. Dosa dan Iman dengan kondisi ODD secara sepihak kita tempatkan

sebagai alasan menunjuk kepada kerusakan, ketidaksempurnaan, serta ketidakberdayaan.

Oleh karena itu citra Allah dalam Kristus yang disable merupakan bentuk pembebasan untuk

menolak posisi teologis dan penafsiran Alkitab yang merendahkan harkat kemanusiaan.

2.2.1.2. Perspektif Kaum Disabilitas Terhadap Yesus – Disable

Nancy Eisland adalah seorang sosiologis dan juga orang dengan disabilitas yang mencoba

memahami lebih mendalam tentang ide yang mencitrakan Yesus sebagai disable. Asumsi

yang dibangunnya adalah bahwa ODD adalah minoritas. ODD adalah orang yang

mendefinisikan diri sendiri bukan dalam arti esensialis tentang disabilitas, tetapi dalam

proyek historis bagi pembebasan.25

Sebelum masuk pada idenya, sebagai langkah awal Eisland mengidentifikasi tiga

pemahaman teologi tradisional yang umum dijumpai dalam berteologi terhadap ODD.26 Pemahaman pertama adalah dosa. Disability dilihat sebagai hukuman karena perbuatan yang

salah di hadapan Tuhan sehingga citra atau gambar Allah di dalam diri manusia itu sendiri

menjadi rusak. Stigma yang diberikan pada ODD adalah „para pendosa‟. Pemahaman kedua

adalah disabilitas merupakan penderitaan yang mulia yang harus ditanggungkan berkenaan

dengan kehendak Tuhan. Pemahaman semacam ini membuat ODD menerima secara pasrah

keadaan mereka dan pasrah juga terhadap diskriminasi-diskriminasi sosial yang diberlakukan

terhadap mereka atas nama kepatuhan kepada Tuhan. Semakin besar penderitaan yang

mereka tanggung berarti mereka semakin mulia di mata Tuhan. Pemahaman ketiga adalah

ODD sebagai tujuan charity (layak menerima belas kasihan). Menurut Eisland, pada

permukaannya memang kegiatan karitatif itu ditujukan untuk menciptakan keadilan, namun

ternyata malah menimbulkan ketidakadilan karena pemahaman seperti ini mengandung

25

Setyawan, Teologi Disabilitas: Hand Out, 18.

26

(16)

9

muatan adanya pemisahan ODD dalam masyarakat. Ketiga pemahaman teologis tersebut

menurut Eiesland telah menjadi hambatan dan stigma buruk pada ODD, sekaligus disabling

theology.

Berangkat dari karakteristik teologis tersebut, Eiesland sebagai orang dengan

disabilitas memperkenalkan gambaran Allah sebagai disabled (the disabled God). Eiesland

menandaskan Tuhan yang disabled sangat berkaitan dengan ide inkarnasi. Gambaran Allah

yang disabled dihubungkan dalam dua peristiwa, yaitu Kristus mengalami penyaliban dan

Yesus yang bangkit adalah Kristus yang terluka. Kristologi Eisland menandaskan bahwa

Kristus yang mengalami penyaliban dipenuhi dengan luka-luka, memar, legam dan pucat

pasi. Setelah kebangkitan menurut Eisland, Yesus adalah Tuhan dengan tubuh yang tidak lagi

utuh dan Yesus menjadi disabled. Berbagai macam penyiksaan terhadap Yesus sebelum

kematian-Nya sangat memungkinkan kerusakan dan gangguan pada fungsi-fungsi organ

tubuh-Nya.27 Dua pernyataan yang vital tersebut memperlihatkan bahwa Tuhan seperti halnya manusia sangat rentan terhadap disabilitas.

Pemikiran yang hampir sama dengan Eisland, juga dicetuskan oleh Burton yang

melihat bahwa metafora-metafora yang digunakan untuk menggambarkan tentang Tuhan itu

berangkat dari pengalaman. Secara metaforis Tuhan digambarkan memiliki telinga untuk

mendengar dan mata untuk melihat, mulut untuk berbicara dan tangan untuk meraih.

Menurutnya Yesus yang tersalib adalah gambaran Tuhan yang lemah, rapuh dan disabled. 28 Masih berkaitan dengan Kristus yang disableb, seorang teolog lain bernama Sujoko

menjelaskan, di Getsemani Yesus mengalami ketakutan dan gentar. Dalam bahasa Yunani,

pengalaman Yesus itu diungkapkan dengan kata ekthambestai dan adèmonein. Kata

ekthambestai mengandung arti, suatu shock atau keterkejutan yang hebat akibat berhadapan

dengan suatu kenyataan yang tiba-tiba, tanpa disangka-sangka. Sedangkan kata adèmonein

mengandung arti suatu disorientasi yang membuat orang tiba-tiba merasa asing dengan

dirinya sendiri dan dengan lingkungannya. Dalam dunia psikologi kata ekthambestai dan

adèmonein disebut dengan istilah delirium. Kata delirium adalah suatu sindrom atau

sekelompok simtom yang terkait dengan ciri-cirinya, ialah kesadaran kabur, pikiran tidak

karuan, disorientasi, gelisah, kadang-kadang disertai dengan ketakutan ekstrem.29 Sosok Yesus yang mengalami kesadaran kabur, pikiran tidak karuan, disorientasi, gelisah, shock

berawal tepat ketika Ia di taman Getsemani. Ia tidak tahu lagi di mana Ia berada, dari mana Ia

27

Yusak B.Setyawan, “Teologi Disabilitas”: Hand–Out, (Salatiga, 2014), 30 – 31

28

Burton Cooper, “The Disabled God”, dalam Theology Today, Vol. XLIX, No.2, USA: Princeton Theological Seminary, 1992, hal. 174-175.

29

(17)

10

datang dan ke mana Ia pergi.30 Ia sedih, menangis, seperti mau mati rasanya31; Ia berlutut, rebah ke tanah, dan berdoa.32 Kesemuanya itu merupakan bagian dari kesedihan Yesus yang disebabkan oleh ketakutan. Dari hal ini terlihat bahwa Tuhan yang rapuh dan rentan tidak

hanya tampak pada Kristus yang tersalib dan tubuh kebangkitan Yesus yang terluka, tetapi

tampak juga pada penderitaan di Getsemani. Penting untuk kita ketahui bahwa tidak ada hal

aneh dengan gejala-gejala tersebut. Dan gejala-gejala itu juga bukan suatu tanda dosa pribadi.

Gejala-gejala itu bisa merupakan manifestasi alami dari pertumbuhan fisiologis yang sehat

serta tanda dari kedukaan. Dari penderitaan Yesus di Getsemani, kita bisa mengenal manusia

Yesus yang di dalam diri-Nya juga ada kerapuhan dari sisi manusiawi. Di situ tampak bahwa

Yesus bukanlah “superman”, seperti kesan umum bila kita membicarakan tentang Yesus

iman sebagai Putra Allah. Ketakutan Yesus menghadapi kematian adalah bukti bahwa Yesus

berada dalam kondisi yang lemah, serta rentan terhadap disabilitas.

Karena itu gambaran Kristus yang tersalib dan tubuh kebangkitan Yesus yang terluka,

serta delirium adalah simbol Allah yang bukan cukup dalam dirinya sendiri. Ia juga Tuhan

yang berjuang. Kalau Kristus adalah disabled maka disabilitas bukanlah dosa. Ide dosa

sebagai penyebab disabilitas merupakan tindakan meng-ekslusi para disabilitas. Mengatakan

disabilitas adalah nasib manusia yang tidak terelakkan sesudah Allah menyatakannya sebagai

hukuman karena dosa, ini merupakan gambaran Tuhan yang kejam, keji dan tidak adil. Jika

kepada orang lain Tuhan memberikan sukacita sebagai anugerah, lalu mengapa kepada

sebagian orang Tuhan harus memberikan penderitaan sebagai anugerah? Gambaran Tuhan

yang seperti itu tidak mencerminkan gambaran Tuhan yang baik dan adil. Karena itu

pengalaman akan Yesus yang disable menjadi simbol baru, khususnya bagi ODD.

2.3. Kesimpulan

Kristologi merupakan suatu pemikiran dan sasaran kenyakinan iman komunitas kristen atas

Kristus. Pemahaman tersebut sesuai dengan pergumulan iman setiap orang. Dalam kristologi,

baik yang spontan, maupun yang refleksi ilmiah, Yesus Kristus melalui konsep-konsep

menjadi bahasa “logos”, atau kata mengenai Kristus. Yesus yang diimani tidak hanya

sebagai manusia dan Ilahi melainkan juga Kristus yang disable. Kristus yang disable

merupakan simbol kerentanan Allah terhadap disabilitas. Penggambaran Kristus yang disable

30

Albertus Sujoko, Identitas Yesus & Misteri Manusia: Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental, (Yogyakarta: Kanisius 2009), 200 – 203

31

Lht. Mrk 14:34

32

(18)

11

ini juga meng-imaginasikan Yesus Kristus bukan hanya sebagai yang able-bodied dan

able-minded, melainkan Dia dengan disabilitas fisik serta psikis.

3. Deskripsi Hasil Penelitian Mengenai Kristologi Menurut Pemahaman Pasien Panti Rehabilitasi Kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata” beserta kajian Kristologi terhadap pemahaman tersebut

3.1. Gambaran Umum Panti Rehabilitasi Kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata”

Berdasarkan hasil wawancara awal penulis dengan ketua panti serta melihat data arsip

panti, Rumah Pemulihan Efata adalah Panti Rehabilitasi Kejiwaan, berdiri sejak tahun 2005

dan memiliki jumlah pasien 54 orang. Rumah Pemulihan Efata beralamat di Jalan Raya

Salatiga – Kopeng; Kecamatan Getasan – Kabupaten Semarang – Jawa Tengah.

Rumah Pemulihan Efata berdiri di atas lahan seluas 2735m2 dilengkapi dengan sarana olah raga, perkebunan, peternakan, pertokoan dan perikanan sehingga akan sangat membantu

di dalam proses pemulihan klien secara rohani dan jasmani. Rumah Pemulihan Efata

mengemban tugas untuk melayani dan membina orang-orang yang terkena penyakit jiwa

(gila) dengan berbagai latar belakang. Mereka dilayani secara langsung oleh para

Rohaniawan, Psikolog, Dokter Umum, Psikiater, dan pekerja sosial.

3.2. Gambaran Pasien Rumah Pemulihan Efata

Rumah Pemulihan Efata berfungsi sebagai tempat untuk melindungi, memperhatikan,

memelihara, mengobati dan sebagai tempat pembelajaran pasien penderita gangguan jiwa

agar mereka dapat diterima kembali di masyarakat jika telah pulih. Para pasien yang ada di

panti berasal dari berbagai wilayah yang berbeda, yaitu dari Kudus, Ambarawa, Salatiga,

Semarang, Surabaya, sampai Kalimantan. Kebanyakan pasien berasal dari suku bangsa

Tionghoa dan beragama Kristen Protestan aliran kharismatik.

Beberapa dari pasien yang dirawat di Rumah Pemulihan Efata sebelumnya pernah

dirawat di Rumah Sakit Jiwa di berbagai daerahnya masing-masing, beberapa diantaranya

juga pernah dirawat di rumah mereka dengan penyembuhan tradisional. Namun pada

akhirnya, keluarga pasien sendirilah yang memutuskan untuk memindahkan pasien ke Rumah

Pemulihan Efata dengan alasan lelah dengan pengobatan di Rumah Sakit Jiwa dan

penyembuhan tradisional yang tak kunjung sembuh. Namun sebagian lagi dari keluarga

pasien langsung memilih Rumah Pemulihan Efata sebagai tempat yang dipercaya untuk

(19)

12 3.3. Hasil Penelitian

Untuk melihat bagaimana kristologi menurut pemahaman pasien panti rehabilitasi kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata” maka penulis memusatkan penelitian kepada pasien dengan persoalan kejiwaan skizofrenia. Alasannya walaupun dalam tingkat terbatas, pasien

skizofrenia masih dapat diajak berkomunikasi dengan cara-cara tertentu. Skizofrenia adalah

istilah umum yang merunjuk pada beberapa tipe gangguan mental berat.33 Mereka yang mengalami tantangan kejiwaan ini telah kehilangan kontak dengan kenyataan, mengalami

gangguan kepribadian, pikiran tidak teratur, menarik diri, terlalu agresif, atau sebaliknya

tenang sekali.34

Dari jumlah 54 pasien yang saat ini sedang dirawat di rumah pemulihan Efata,

terhitung ada sebanyak tujuh orang pasien yang dapat menjadi responden, karena ketujuh

pasien tersebut telah mencapai fase sembuh dan mampu mengorganisasikan kembali seluruh

kehidupannya. Di sini responden meminta penulis untuk mencantumkan inisial saja. Maka

dari itu, penggolongan pasien berdasarkan buku data pasien yang ditangani oleh dr. Agnes

Fatimah, Sp.KJ,M.Kes dan Shirley A Kusuma, S.Psi., Psi (Psikolog Panti) adalah sebagai

berikut:

No Jenis Kelamin Mengalami Gangguan Keterangan

1 Perempuan psikosis paranoid 3

2 Perempuan Psikotik mania-depresif (Bipolar)

1

3 Laki-laki Psikotik mania-depresif (Bipolar)

1

4 Laki-laki psikosis paranoid 1

5 Laki-laki Skizofrenia hebefrenik 1

Melalui pengalaman penulis selama bekerja di Rumah Pemulihan Efata, penulis

menemukan adanya gambaran dan pemahaman baru mengenai sosok Yesus dari para pasien.

Pemahaman akan Kristus tersebut lahir dari pergumulan nyata para pasien. Berikut adalah

gambaran profil para responden.

Responden yang pertama adalah Al. Ia seorang perempuan, berusia 28 tahun.

Mengalami gangguan Psikotik mania-depresif (Bipolar). Responden ini dirawat di Rumah

Pemulihan Efata sejak 2 juli 2012. Pemicu gangguan berawal dari pola asuh yang terlampau

33

Thomas F. Oltmans dan Robert E. Emery, Psikologi Abnormal, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013), 4.

34

(20)

13

keras, disiplin, otoriter, terutama dari sang ibu. Responden kedua adalah Iva. Seorang

perempuan berusia 35 tahun, dengan diagnosa skizofrenia paranoid. Pemicu gangguan

berawal dari kedukaan atas meninggalnya sang Ayah. Responden ketiga adalah Adel.

Perempuan berusia 38 tahun. Masuk RPE, 6 januari 2014 dengan diagnosa skizofrenia

paranoid. Pemicu gangguan berawal dari tindakan kekerasan sang Ayah semenjak kematian

ibunya. Responden keempat, seorang perempuan, berinisial Dewi, berusia 28 tahun.

Responden didiagnosa skizofrenia paranoid, dan dirawat sejak 2015. Pemicu gangguan

adalah faktor ekonomi keluarga dan kedukaan atas meninggalnya kedua orang tua.

Responden kelima adalah bapak Iwa, usia 51 tahun, dirawat sejak 4 Nopember 2010.

Responden didiagnosa Psikotik mania-depresif (Bipolar). Pemicu gangguan berawal dari

kegagalan dalam rumah tangga. Responden keenam adalah bapak Budi, usia 53 tahun.

Responden dirawat sejak 16 mei 2010, di diagnosa Skizofrenia Paranoid Remisi Partial.

Pemicu gangguan berawal dari kegagalan dalam rumah tangga. Responden ketujuh adalah

Sw, seorang laki-laki berusia 36 tahun, di diagnosa Skizofrenia hebefrenik. Masuk panti, 25

Maret 2012. Pemicu gangguan berawal dari pemukulan (sosial dan lingkungan).

Berikut ini penulis akan memaparkan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada

responden dengan latarbelakang yang berbeda-beda sebagai pemicu terjadi gangguan

kejiwaan. Dari ketujuh responden yang diwawancarai, semua mempercayai Kristus, tetapi

mereka mengungkapkan atau memahani Yesus Kristus dengan cara yang berbeda. Berikut

adalah inti pemahaman ketujuh responden:

Al yang mengatakan Yesus adalah Sahabat Sejati; Iva yang mengatakan Yesus adalah

Sang Pengasuh; Adel yang berpendapat Yesus adalah Kunci Kerajaan Sorga; Dewi

memahami Yesus adalah Sang Pejuang; Pak Iwa yang berpendapat Yesus sebagai Penunjuk

Waktu; Bapak Yd yang berpikir Yesus adalah Anak Allah yang Terpenjara; dan Sw yang

memandang Yesus sebagai Sang Malaikat.

3.3.1. Kajian Kristologi terhadap Pemahaman Pasien 3.3.1.1. Yesus Sahabat Sejati

Pemahaman ini dikemukakan responden Al, yang muncul karena pengalaman pahit masa

lalunya. Al telah mengalami depresi selama hampir empat tahun. Sebagian besar keluhannya

berfokus pada ibunya. Al bersikukuh bahwa ibunya selalu menentangnya, selalu memaksanya

untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan sang ibu. Ayahnya hebat, namun ia terlalu

(21)

14

marmer di Surabaya. Sikap kedua orang tuanya membuat Al mengambil kesempatan di

bangku kuliah untuk mendapatkan kebebasannya, namun karena hal itu Al akhirnya

terjerumus ke dalam pergaulan bebas dan gagal dalam perkuliahannya. Peristiwa itu membuat

orang tuanya begitu kecewa. Ia mengatakan bahwa mereka tidak banyak berkomunikasi, dan

ia tidak merasakan kehangatan kasih sayang dan perhatian dari mereka sejak kegagalannya

itu. Akhirnya Al mencari kebahagian di luar, dan dunia prostitusi menjadi pilihannya. Dan ia

pun meninggalkan kedua orang tuanya.

Selama berkecimpung di dunia prostitusi, Al mendapat kebebasan, kemewahan,

fasilitas lebih, dan materi yang berlimpah, namun tidak jarang ia mendapat perlakukan kasar

dari salah seorang pelanggan menetapnya. Suatu ketika Al sakit, karena itu ia tidak begitu

bergairah untuk melakukan pekerjaannya. Pada waktu itu pelanggan meminta Al untuk

melayani dia, namun Al menolaknya. Penolakan itu membuat sang pelanggan marah dan dia

mengancam Al dengan penjara. Mendengar ancaman itu Al terpaksa memenuhi keinginan

pria itu karena takut kehilangan pekerjaannya. Al hanya bisa menangis menerima nasibnya,

dan tiba-tiba terjatuh dengan tubuh kaku tidak berdaya. Keesokan harinya Al sadar dari

pingsannya, ia melihat dirinya terbaring di ruang klinik yang tidak jauh dari losmen tempat ia

bekerja.

Al mencoba mencari tahu siapa yang sudah menolongnya, akan tetapi suster yang kala

itu sedang melakukan pemeriksaan hanya mengatakan bahwa seseorang yang membawanya

adalah seorang clining servis losmen. Al mencoba untuk kembali ke losmen itu sekedar untuk

mengucapkan terima kasih kepada clining servis yang telah menolongnya itu, akan tetapi

tiba-tiba saja tubuhnya gemetaran seperti orang yang ketakutan, akhirnya Al mengulurkan

niatnya untuk datang ke losmen tersebut. Peristiwa itu menimbulkan niat Al untuk kembali

kepada orang tuanya. Dengan perasaan malu dan bersalah Al menceritakan semua kejadian

yang menimpanya dan meminta maaf pada orang tuanya. Namun bukan belas kasihan yang

Al terima akan tetapi penolakan. Al mencoba bertahan dengan sikap orang tuanya, namun

hari demi hari ia selalu menjadi kambing hitam dalam keluarga. Maka sejak dari itu Al mulai

mengalami depresi yang berkembang kepada skizofrenia Bipolar.

Melihat perubahan itu kedua orang tua Al belum siap menerima. Orang tua Al

memahami bahwa seseorang yang mengalami tantangan kejiwaan adalah sebuah aib, maka

dari itu mereka mengurung Al dalam kamar. Peristiwa itu membuat Al benar-benar putus asa

dan berusaha membunuh diri namun tidak berhasil. Suatu ketika, Om Al datang berkunjung,

dan ia mengetahui semua kejadian yang terjadi di rumah Al. Kemudian tanpa banyak alasan

(22)

15

mendapat perlakuan yang baik, dan untuk mendapat perawatan yang maksimal Al dibawa ke

rumah pemulihan Efata. Kini Al mulai stabil, bahkan ingin pulang untuk bertemu orang

tuanya dan bekerja semampunya. Di rumah pemulihan Efata ia setia mengikuti kegiatan yang

ada, bahkan ia bersedia terlibat dalam setiap ibadah sebagai organis.

Dari pengalaman yang ada responden Al memperoleh gambaran baru tentang Yesus

yang tidak bersifat menggantikan gambaran yang sudah ada. Gambaran baru itu adalah Yesus

sahabat sejati. Semula Al hanya memahami Yesus Anak Allah. Sebagai anak Allah Ia

bersemayam jauh, dan kalau pun Ia datang mendekati manusia tentu hanya kepada

orang-orang yang berperilaku baik saja. Namun kini pemahaman itu berubah. Ketika Al dalam

keadaan sulit masih ada orang yang bersedia menolongnya. Al yakin benar bahwa setiap

pertolongan yang datang bukanlah sesuatu yang kebetulan, namun ada sosok ilahi yang

mengerakkan, dan sosok itu adalah Yesus sendiri. Oleh karena itu pemahaman Yesus sahabat

sejati menggambarkan Yesus yang peduli dalam segala hal.

Dalam hal ini penulis menilai bahwa pemahaman Yesus sahabat sejati menunjuk pada

pribadi Yesus yang ilahi dan pribadi Yesus yang manusia. Pemahaman Yesus yang seperti ini

terlihat dari kesediaan Yesus membuka diri untuk mengasihi, membuka diri menjadi

pendengar yang baik, membuka diri untuk menghibur, menguatkan melalui orang lain, dan

yayasan Efata sendiri. Kehadiran Kristus yang mengisi hari-hari Al telah memampukan Al

hidup dalam pengharapan baru hidup dengan keadaan jiwa terbuka.

3.3.1.2. Yesus adalah Sang Pengasuh

Bagi Iva Kristus adalah pengasuh. Semasa kuliah Iva berpacaran dengan pria Manado dari

Tana Wangko. Pria itu bekerja sebagai pelayan restoran milik tantenya di Jakarta. Menurut

Iva pria itu sangat baik, dan penuh perhatian. Melihat prilaku pria itu Iva semakin suka dan

cinta. Suatu ketika pria itu mengajak Iva jalan-jalan ke Mall, dan membeli pakaian serta

perawatan kecantikan yang cukup mahal. Kemudian pria itu mengantar Iva sampai ke

rumahnya. Dengan gembira hati Iva pun mengajak pacarnya itu masuk ke rumah, dan kala itu

tidak ada seorang pun di sana kecuali Iva dan pacarnya. Situasi itu menjadi peluang bagi pria

kekasih Iva, ia merayu Iva dan mengajaknya untuk berkencan. Iva merasa bersalah jika ia

menolak keinginan kekasihnya itu. Akhirnya Iva dengan terbuka melakukan hubungan intim

dengan kekasihnya itu. Perbuatan itu ternyata tidak hanya di situ, beberapa kali Iva dan

kekasihnya itu melakukan hubungan suami-istri di luar sepengetahuan orang tuanya. Satu

tahun berpacaran akhirnya Iva hamil. Mengetahui hal itu Iva meminta kesediaan pacarnya

(23)

16

Iva tanpa alamat yang jelas. Peristiwa itu membuat Iva malu, bersalah dan berdosa. Dia

merasa tercampakkan sendirian. Hidup tak ada gunanya lagi. Dia mengalami kedukaan yang

dalam. Dia benar-benar putus asa dan memang telah berusaha membunuh diri berkali-kali

namun tidak berhasil.

Suatu ketika Iva memberanikan diri menceritakan kejadian yang ia alami kepada

kedua orang tua dan saudaranya. Mengetahui hal itu keluarga Iva berusaha membantu Iva

menemukan solusinya. Dengan segera mereka menggugurkan kandungannya yang kala itu

masih berusia dua bulan dengan berbagai obat dan jamu berulangulang, akhirnya semuanya

itu berhasil. Sejak peristiwa itu Iva mulai mengalami tantangan kejiwaan. Ia kerap kali

murung, kadang menangis, berubah kembali tertawa. Perubahan kejiwaan ini membuat Iva

mendapat perawatan dari salah satu rumah sakit jiwa di Jakarta. Namun karena biaya cukup

besar akhirnya keluarga memutuskan untuk merawat Iva di rumah saja dan selama itu Iva

dijaga oleh papanya. Tahun 2013 papanya Iva meninggal dunia karena penyakit kanker

paruparu yang di deritanya. Sejak itu Iva mengalami kedukaan yang mendalam, dan

kondisinya semakin tidak stabil. Akhirnya Iva dibawa ke Pusat Rehabilitasi Sosial dan Balai

Pengobatan Pondok Pemulihan Doulos (PPD) di Jakarta.

Menurut Iva sewaktu dirinya di rawat di PPD Ibunya selalu menyempatkan diri untuk

mengunjunginya, akan tetapi dalam setiap pertemuan Ibunya selalu meneteskan air mata

sambil memeluknya. Belum setahun di sana Iva dipindahkan oleh keluarga karena alasan

biaya. November 2014 Iva dibawa ke Rumah Pemulihan Efata. Setelah kondisi Iva sudah

mulai terkontrol, ia memberanikan diri untuk meminta izin pada panti berkomunikasi dengan

Ibunya lewat telfon. Dalam komunikasinya dengan si Ibu Iva memberanikan diri menanyakan

soal biaya. Atas permintaannya itu si Ibu menjawab bahwa semua biaya yang diperlukan Iva

itu dari teman-teman segereja dan dari gereja sendiri (GKI Pondok Gede). Mendengar itu hati

Iva pun lega, segala kecurigaannya kini telah terjawab.

Dari pengalaman Iva, ia memahami Yesus sebagai pengasuh. Ketika ditanyakan

alasan Iva, ia menjawab Yesus telah mengirim orang-orang baik untuk membantu Ibunya

membiayai pengobatannya. Penulis menilai „Kristus sebagai pengasuh‟ menunjuk pada

Yesus yang hadir di saat berbagai masalah yang dihadapi, Yesus yang hadir memberikan

jalan keluar dari setiap masalah yang dialami karena Ia memiliki kuasa untuk memberi jalan

keluar bagi setiap persoalan yang dihadapi. Di sini Yesus sebagai seorang yang membela rasa

begitu ditekankan, seperti: Dia memelihara, memenuhi, mengawasi seluk beluk kehidupan

Iva dan keluarganya, sehingga mereka terbebas dari rasa takut dan kekuatiran. Yesus Dan

(24)

17 3.3.1.3. Yesus adalah Kunci Kerajaan Sorga

Adel adalah mahasiswa sebuah universitas tinggi swasta terkenal di Jakarta. Ketika masih

kuliah ia memiliki riwayat perilaku tidak lazim, di mana gaya hidup hedonisme menjadi

pilihannya. Akhirnya gaya hidup ini mengakibatkan dia hamil sebelum menikah. Dia merasa

menyesal karena tidak seorang pun dari beberapa laki-laki yang ia pacari bersedia

bertanggung jawab. Dia merasa malu, bersalah dan berdosa. Dia benar-benar putus asa dan

memang telah berusaha menggugurkan kandungannya dengan berbagai obat dan jamu

berulang-ulang, namun semua itu tidak berhasil. Akhirnya Adel memilih untuk melahirkan

anaknya. Ketika ia sedang hamil tujuh bulan, Ibunya meninggal dunia. Setelah beberapa

bulan setelah kematian sang Ibu, Ayahnya berencana menikah dengan gadis muda (seusia

Adel), beragama Islam.

Keinginan Ayahnya itu mendapat penolakan dari lima putrinya. Walau tidak

mendapat restu dari putri-putrinya sang Ayah tetap pada niatnya menikahi gadis pilihannya

itu. Sejak saat itu Adel dan keempat adik-adiknya kehilangan kasih sayang dari orang tua

mereka, karena Ayah mereka lebih memperhatikan Ibu tirinya. Setahun menikah rumah

tangga Ayahnya bubar karena sang istri selingkuh. Kemudian menikah lagi, cerai lagi,

demikianlah sampai empat kali. Peristiwa itu menimbulkan stigma negatif pada diri Adel, dia

merasa bahwa semua yang terjadi itu adalah sebuah kutukan Tuhan atas dosa-dosa yang

pernah mereka lakukan.

Dari pengalaman Adel, ia mengatakan bahwa Yesus adalah kunci kerajaan sorga.

Pemahaman baru ini muncul dari kejadian-kejadian hidup yang menimpa dia dan

keluarganya. Seperti, rencana menggugurkan kandungan namun gagal, sampai pernikahan

Ayah yang juga berkali-kali gagal. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa kehendak manusia

tidak pasti; hidup manusia bukan pada keputusannya melainkan pada kuasa Tuhan. Adel

yakin betul bahwa Allah-lah yang menciptakan, Allah-lah yang merancang dan Allah-lah

membentuk hidupsetiap individu.

Dari pemahaman Adel penulis menilai bahwa Yesus yang dipahami sebagai sosok

yang memiliki hak penuh dalam segala hal. Perubahan Pemahaman disebabkan karena segala

yang pernah ada, seperti harta yang berlimpah, kini diambing kebinasaan. Sedangkan

kekuasaan dan kemuliaanNya kekal selama-lamanya. Bagi responden Yesus adalah pribadi

yang memiliki kedaulatan yang tidak dapat diatur oleh siapa pun. Kuasa Allah dalam diri

Yesus tidak berawal dan tidak berakhir. Allah adalah Allah yang tidak berubah. Hakikat,

(25)

18 3.3.1.4. Yesus Sang Pejuang

Responden berikutnya adalah Dewi, yang memahami Yesus sebagai pejuang. Dewi dulunya

pernah bekerja di Perusahaan Ura Babutama Kudus sebagai Accounting dan Monitoring WIP

barang jadi. Namun di tahun ke tiga ( 2012 – 2014) prilakunya mulai aneh, pikiran tidak

teratur, menarik diri, dan terlalu agresif atau sebaliknya. Misalnya saja dalam pergaulan

sehari-hari (lingkungan kerja maupun lingkungan tempat tinggal) ia memilih untuk menutup

diri dan menjauhi diri dari orang-orang di sekelilingnya. Hal ini dikarenakan, pertama;

kurangnya dukungan, perhatian dan kasih sayang dari sang kakak yang adalah satu-satunya

keluarga terdekat setelah kedua orang tua mereka meninggal. Kedua; bentuk dan ukuran

tubuh yang tidak ideal atau tidak seperti tubuh orang dewasa (pendek, kecil, kerdil dan

kurus). Ke dua faktor tersebut membuat Dewi selalu berfikir bahwa mereka sedang

mengolok-olok dirinya atau ingin berbuat jahat. Kecurigaan yang berlebihan namun tidak

realistis selalu ada di benak pikirannya.

Pemahaman Dewi pada Yesus sang pejuang berangkat dari pengalaman masa

sekarang, di mana selama di rumah pemulihan ia mampu berbagi pengetahuan dengan

anak-anak keterbelakangan mental; sekali waktu ia di minta membantu di kantor rumah pemulihan

Efata. Menurut Dewi perasaan yang selalu menilai diri tidak baik sempat membuat dirinya

kehilangan gairah untuk hidup, akan tetapi berkat kesediaan panti dan orang-orang yang

bekerja di dalamnya menjadi teman seperjalanannya telah membantu dirinya melihat

hubungannya dengan pihak lain, dan belajar mengatur kembali hubungannya dengan dirinya

sendiri. Oleh karena itulah Dewi memperoleh gambaran baru tentang Yesus. Gambaran baru

itu adalah Yesus sang pejuang. Tokoh pejuang yang dipahami Dewi menunjuk pada

kesediaan Yesus yang berjuang serta berperang untuk kebebasannya. Kata kebebasan di sini

menunjuk pada pola pikirnya yang tidak berjalan di tempat untuk selamanya dengan

keputusasaan, melainkan beranjak maju pada masa depan. Keterbukaan rumah pemulihan

Efata pada Dewi untuk berkarir tampaknya bukan hal yang kebetulan baginya akan tetapi

cara Tuhan membebaskannya dari belenggu-belenggu dirinya yang telah mengikat dirinya

sendiri. Yesus yang dipahami responden tidak sebagai yang Ilahi saja, namun secara sadar

Yesus juga dipahami sebagai manusia yang hidup dan bersedia menerima responden

sebagaimana adanya. Akhirnya responden lahir kembali menjadi manusia baru melalui

kedukaannya.

(26)

19

Responden lain adalah bapak Iwa. Pak Iwa mengalami permasalahan emosi yang sulit

memfilter dengan tepat terhadap apa-apa yang dikatakan orang lain kepada dirinya (dalam hal

psehingga menjadi masalah bagi dirinya). Pak Iwa berkehendak mengontrol dunianya,

dirinya dengan lingkungannya seakan orang lain tidak memiliki peranan dan tidak berguna

bagi dirinya.

Dulu pak Iwa pernah mengajar di salah satu lembaga pendidikan SMP di salah satu

wilayah di Salatiga, namun karena kemampuan akademiknya mengangumkan ia menjadi

sombong. Kesombongannya itu membuat ia kurang di senangi. Terlebih dengan kondisi usia

yang sudah lanjut, ia selalu ingin dihormati dan didengarkan. Apabila tindakan dan segala

ucapannya tidak didengarkan timbullah tindakan kekerasan, seperti memukul, mengeluarkan

kata-kata kotor, atau mengancam, karena ia anggap sebagai penghinaan. Sikap seperti itulah

yang membuat keluarganya pergi jauh meninggalkannya. Akhirnya responden di tampung

oleh keluarga kakaknya. Dan supaya keluarga itu tidak terganggu dengan sikap responden

yang dianggap abnormal, ia di masukkan ke rumah pemulihan Efata untuk ditindaklanjutin.

Suatu ketika tiba-tiba saja pak Iwa merasa kesepian dan kehilangan, ia mengaku sebelumnya

ia tidak pernah merasakan perasaan yang begitu mendalam terhadap keluarganya sendiri.

Ketika masa berpuasa datang (sudah menjadi suatu keharusan bahwa setiap pasien

berpuasa satu kali setiap bulan) pak Iwa memakai waktu itu sebaik mungkin untuk berdoa

dengan pola pikir tulus hati. Dua hari setelah usai masa berpuasa, keluarga pak Iwa datang

dan meminta izin pada panti untuk dua hari cuti. Selama waktu dua hari cuti itu pak Iwa

bertemu dengan keluarganya sendiri. Walau waktu yang diberi pada pak Iwa sangat singkat

untuk berkumpul bersama keluarga, baginya sudah cukup untuk mengobati rasa rindu, dan

kehampaannya. Kejadian itu mengubah pola pikir pak Iwa terhadap Yesus. Yesus yang

selama ini dipahami sebagai Raja, anak Allah, gembala, anak manusia, dan Juruselamat

ternyata lebih dari pada itu. Responden mengaku bahwa Yesus begitu sempurna, Dia tidak

dapat dibatasi hanya sebagai Raja, anak Allah dan lainnya, karena kedudukan Yesus

berorientasi pada diri-Nya sendiri bukan pada dunia dan manusia. Hal inilah yang membuat

ia memahami Yesus sebagai petunjuk waktu. Gambaran baru itu hendak mengatakan bahwa

Yesus dapat bertindak dan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Kekuatan dan kuasa Allah

melalui diri Yesus tidak terbatas, sama dengan diri-Nya yang tidak terbatas.

Berdasarkan pemahaman responden penulis menilai bahwa eksistensi Allah dalam

(27)

20

Yesus juga dipahami sebagai Ilahi yang begitu sempurna. Pemerintahan dan kuasa Yesus

yang dirasakan responden dipahami sebagai pribadi yang penuh dengan Roh.

3.3.1.6. Yesus adalah Anak Allah yang Terpenjara

Selanjutnya adalah bapak Yd yang mamandang Kristus sebagai Anak Allah yang terpenjara.

Pemahaman ini muncul ketika istrinya mengatakan bahwa dirinya ingin bercerai. Pak Yd

sudah menikah selama 5 tahun dan ia sama sekali tidak siap mendengarkan pemberitahuan

ini. Ia tahu bahwa perkawinannya tidak sempurna, terlebih kemampuan akademiknya yang

begitu lamban. Namun pak Yd selalu berusaha untuk membahagiakan istri dan anaknya.

Awalnya, pak Yd sama sekali tidak percaya dengan pengakuan istrinya mengatakan

bahwa ia merasa tidak bahagia selama bertahun-tahun, tetapi baru akhir-akhir ini memiliki

keberanian untuk meninggalkannya. Penjelasan ini bertentangan dengan pandangan Yd

tentang perkawinan mereka. Ia dengan terbuka menanyakan masalah sebenarnya, akan tetapi

istrinya tetap pada keputusannya untuk bercerai. Istri Yd menginginkan perceraian yang

damai, sebaliknya pak Yd tidak menginginkan perceraian, bahkan ia berusaha keras untuk

menghindari konflik. Realitas itu mulai menohok Yd ketika istrinya meninggalkan rumah

mereka, dan ia menelepon Yd memberi tahunya bahwa ia jatuh cinta dengan laki-laki lain

dan telah melakukan hubungan intim dengan pria pujaannya itu. Yd mengakui selain marah,

ia merasakan luka dan kepedihan yang sangat. Di tengah kesedihannya, ia selalu

bertanya-tanya apakah pernikahannya selama ini adalah palsu belaka. Sejak saat itu Yd tidak

mempercayai lingkungannya; ia lebih menutup diri dan menyendiri. Pengalaman inilah yang

memberikan gambaran lain mengenai pribadi Yesus. Pola pikir pak Yd tentang Yesus anak

Allah yang terpenjara menggambarkan sikap Allah yang mengizinkan orang-orang tidak

bersalah menderita kehancuran. Sedangkan orang-orang merencanakan kejahatan dan

menindas yang lemah tanpa memperhatikan penghakiman Ilahi atas tingkah laku mereka

hidup makmur. Yd juga dibingungkan dengan dilema moral yakni bagaimana Allah yang

kudus dan penuh kuasa menyediakan kenyamanan bagi orang-orang yang tegar tekuk.

Dari pernyataan Yd penulis menilai sikapnya itu mungkin kelihatan terlalu berani

tetapi pengaduannya itu diutarakan kepada Allah untuk mencari jawaban untuk soal yang

penting sekali. Gambaran Yesus yang terpenjara bukan menuduh Yesus sebagai sosok yang

lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa; tidak ada keraguraguan atas pemerintahan Yesus

akan tetapi Yd yang terluka menginginkan dasar yang kuat, ia ingin jawaban Tuhan, karena

(28)

21 3.3.1.7. Yesus adalah Sang Malaikat

Responden lain adalah Sw. Sw mengaku bahwa Yesus adalah Sang Malaikat. Pemahaman ini

berlatarbelakang dari peristiwa pengkroyokan yang dilakukan oleh teman-temannya. Dulu

semasa duduk di bangku SMA, Sw gemar melakukan tawuran antar sekolah atau lingkungan.

Namun dalam setiap tawuran Sw dan timnya selalu mengalami kekalahan. Akhirnya ia

memilih untuk berguru ilmu hitam, dengan maksud agar Sw tidak lagi mengalami kekalahan

dan ia bisa menjaga nama baik timnya. Setelah pulang dari perguruan, Sw tangguh untuk

beberapa kali tawuran, akan tetapi pada tawuran berikutnya Sw tiba-tiba kehilangan

kekuatan. Menurut Sw pada saat itu ia tiba-tiba saja merasakan bahwa seluruh tubuhnya

terasa kaku, gemetaran dan keberanian diri hilang darinya. Maka tidak sulit bagi tim lawan

untuk memukul habis dirinya.

Pada kejadian itu tidak seorang pun dari timnya yang menolongnya, sebaliknya

mereka kabur meninggalkan Sw sendirian. Ketika itu pula Sw terjatuh, dan ia tidak sadarkan

diri sampai pada beberapa hari di rawat di RSUD Surabaya karena mengalami pendarahan

pada otak. Mengingat peristiwa itu, mustahil nyawa Sw tertolong, namun fakta berkata lain,

Sw hidup akan tetapi mengalami kemunduran kognitif. Sejak saat itu Sw tidak begitu suka

bergaul bersama kaum laki-laki di lingkungan panti. Pengalaman seperti inilah memunculkan

gagasan baru pada Sw bahwa Yesus adalah sang Malaikat. Sw mengaku, Yesus sang

Malaikat menunjuk pada kehadiran Tuhan yang menolong. Maka dari itu, Yesus yang di

kenal sebagai Juruselamat.

Sesuai dengan pengalaman responden, penulis menilai bahwa gambaran baru dari

Yesus mengenai diri-Nya secara khas menunjuk pada kehendak Allah untuk membebaskan

umat-Nya dari penindasan yang tidak berperikemanusiaan. Di sini aspek keilahian Yesus

ditekankan. Keilahian Yesus tampak saat Ia menyelamatkan nyata Sw dan berjuang demi

kesembuhannya. Tampaknya Allah yang hidup dengan kuasa-Nya yang tetap nyata dan tidak

terbatas merupakan pola pikir responden secara penuh, sehingga ia bersedia menerima bahwa

dirinya adalah orang yang tidak sempurna.

3.4. Kesimpulan

Berhubungan dengan analisa, maka gambaran kristologi dari pasien sangat dipengaruhi oleh

jenis tantangan kejiwaan masa lalu, seperti dengan keluarga atau lingkungan tempat ia

tinggal. Disini para responden berbicara tentang keadaan mereka serta berefleksi tentang

(29)

22

mengenai Yesus dari Nazaret, melainkan pengungkapan iman, interpretasi terhadap seluruh

pengalaman mereka dengan Yesus dari Nazaret itu. Di dalam Yesus Allah mewahyukan diri

kepada mereka. Mereka memberikan kesaksian mengenai pengalaman mereka dalam

pertemuan dengan Allah dalam Yesus.

4. Tinjauan Kritis Terhadap Hasil Penelitian

Pada bagian ini penulis akan melakukan tinjauan kritis dengan cara mengkaji pemahaman

orang dengan disabilitas (ODD) mengenai sosok Yesus Kristus dengan menggunakan teori

kristologi.

4.1. Kristologi Umum dan Kristologi Disabilitas

Pada kamus teologi dijelaskan kristologi berarti studi teologi atas Yesus Kristus yang secara

sistematis menyelidiki Dia dalam diriNya sendiri. Pada bagian dua juga telah dikemukakan

beberapa pendapat ahli mengenai kristologi, seperti Dister yang mengemukakan bahwa

kristologi tidak hanya sebuah ilmu pengetahuan serta ratio yang dimiliki setiap orang, tetapi

juga refleksi atas iman kristiani kepada Kristus. Pemahaman Dister juga tidak jauh berbeda

dengan pemahaman Gronenn yang menjelaskan bahwa kristologi dimulai dengan kenyakinan

iman yang berarti kristologi tidak hanya membicarakan Yesus Kristus, tetapi pikiran umat

tentang Dia berdasarkan hubungan pribadi, serta pengalaman umat dalam pelbagai

perjumpaan dengan-Nya. Maka melalui pengertian tersebut lahirlah berbagai pandangan

mengenai sosok Yesus Kristus, seperti Robert R. Boehlke yang memandang Kristus sebagai

Manusia dan Tuhan; Marcus J. Borg yang melihat Kristus sebagai pribadi rohani (Manusia

Roh), guru hikmat, dan nabi sosial, dan lain sebagainya.

Tidak hanya berhenti sampai di sana, citra Kristus yang mempesona juga menarik

perhatian kalangan ODD untuk ikut mengambil bagian dalam memandang sosok Yesus

Kristus dan hal inilah yang disebut sebagai kristologi disabilitas. Kristologi disabilitas adalah

sebuah pemikiran, pemahaman, penafsiran terhadap seluk beluk kehidupan Yesus Kristus

dari sudut pandang iman dan pengalaman hidup orang dengan disabilitas. Melalui pengertian

ini muncullah pemahaman baru tentang Kristus melalui sudut pandang ODD, seperti Eisland

yang berpendapat bahwa Kristus adalah Allah yang disable. Pemikiran ini didasarkan pada

peristiwa salib dan kebangkitan yang dialami Yesus dimana hal ini menunjukkan bahwa

Yesus juga sangat rentan dengan disabilitas. Berikutnya, Sujoko yang memahami Yesus

(30)

23

Yesus mengalami ketakutan dan gentar, shock, disorientasi, kesadaran kabur, pikiran tidak

karuan, gelisah, dan kadang-kadang disertai dengan ketakutan ekstrem.

4.2. Kristus yang Utuh di Dalam Jiwa yang Rapuh: Kristus di Mata Pasien Panti Rehabilitasi Kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata”

Pada bagian ke dua telah dideskripsikan bahwa teologi Eisland mengenai Allah yang disable

bertujuan untuk menolak pandangan tentang disabilitas sebagai akibat dari dosa. Peristiwa

Kristus yang tersalib dan tubuh kebangkitan Yesus yang terluka menunjukkan bahwa Kristus

rentan terhadap disabilitas, dan Ia juga adalah Tuhan yang berjuang dari sisi kehidupanNya

sebagai manusia. Peristiwa di Getsemani ketika Yesus menangis, gelisah, takut, pikiran tidak

karuan, kesadaran kabur menunjukkan kerapuhanNya dari segi psikis. Melihat Kristus sang

Ilahi yang tidak ternoda dosa namun rentan terhadap disabilitas, maka pandangan mengenai

disabilitas sebagai hukuman atas dosa adalah tindakan pengeksklusian terhadap para

disabilitas dan hal ini tidak dapat dibenarkan. Para disabilitas juga memiliki hak yang sama

dengan orang non-disabilitas (NODD) dalam memahami, mengimani, dan mengenal Kristus.

Melalui pandangan tersebut maka kini pemikiran dan suara para disabilitas mengenai

Kristus mulai didengarkan. Maka penulis mengambil bagian dan kesempatan tersebut dengan

mendengarkan berbagai pandangan mengenai Kristus dari pasien di panti rehabilitasi kejiwaan “Rumah Pemulihan Efata”.

4.2.1. Pandangan Para Pasien Terhadap Kristus

Yesus sebagai sahabat sejati: pasien melihat Kristus sebagai sosok yang menopang,

menemani dan mendampingi bahkan seburuk apa pun dirinya Kristus tetap menyayangi dia.

Kristus sang pengasuh: pasien memandang Kristus sebagai sosok orang tua yang berjuang

demi keselamatan anaknya. Yesus kunci Kerajaan Sorga: pasien mengimani Yesus sebagai

Allah yang merajai hidup tiap orang. Yesus sang Pejuang: pasien mengalami serta menikmati

pemeliharaan dan perlindungan Allah setiap hari. Yesus bertindak sebagai pembela di dalam

segala perkara hidup. Yesus sebagai penunjuk waktu: pasien melihat Yesus sebagai sosok

yang terus menerus bekerja memimpin serta menguasai hidupnya. Yesus adalah Anak Allah

yang terpenjara: pasien memandang Yesus sebagai sosok yang tidak berbeda dengan dirinya,

yakni umat yang di hianati, di sakiti, di hina dan ditolak. Yesus adalah sang Malaikat: pasien

merasakan bahwa Kristus benar-benar secara nyata hadir di dalam hidupnya.

Pada bagian 4.1 telah dikemukakan bahwa dalam pernyataannya Dister mengatakan

(31)

24

pasien mengenai Yesus Kristus dapat dibenarkan berdasarkan teori tersebut, mengingat

pandangan-pandangan tersebut didasarkan pada pengalaman hidup dan refleksi iman mereka.

Kaum ODD merupakan orang-orang yang mempunyai kemampuan berbeda. Mereka

mempunyai cara sendiri untuk memproduksikan sesuatu. Dari hasil wawancara penulis tidak

menemukan pemahaman atau pun sikap yang menjauhkan diri dari Tuhan. Para responden

sepertinya mampu menerima keberadaannya, dan tanpa menyangkut-pautkan keadaannya

dengan dosa dan hukuman Tuhan. Melalui hal ini dapat disimpulkan bahwa orang dengan

disabilitas bukan berarti memiliki iman yang disabilitas, dengan kata lain, di dalam jiwa yang

terbatas terdapat iman yang tidak terbatas.

5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan

Melalui proses dan perenungan panjang selama masa penulisan tugas ini, penulis memahami

bahwa secara garis besar kristologi merupakan suatu pemikiran dan sasaran kenyakinan iman

komunitas kristen terhadap Kristus. Sedangkan kristologi disabilitas merupakan sebuah

pemikiran, penafsiran dari sudut pandang dan pengalaman seorang dengan disabilitas. Para

teolog disabilitas memahami Yesus sebagai Tuhan yang disable dari sisi kemanusiaanNya

yang rapuh dan rentan terhadap disabilitas. Penggambaran Kristus yang disable untuk

meng-imaginasikan Yesus Kristus bukan hanya sebagai yang able-bodied dan able-minded,

melainkan juga sebagai yang Dia dengan disabilitas fisik serta psikis. Ke-disable-an Yesus

Kristus bukan merupakan hukuman atas dosa, karena Kristus adalah sang Ilahi yang kudus,

karena itu pula para disabilitas bukan kaum yang di kutuk atau di hukum atas dosa mereka

dan karenanya tidak ada hukum yang dapat menentang maupun membatasi kebebasan

mereka dalam memahami Yesus Kristus.

5.2. Saran

5.2.1. Bagi Gereja

Dalam masyarakat khususnya komunitas Kristen, masih sering terdengar adanya kasus

diskriminasi terhadap kaum disabilitas, karena memandang mereka sebagai kutukan atau

hukuman atas dosa, serta aib dalam keluarga. Gereja sebagai lembaga sekaligus perpanjangan

tangan Tuhan dalam memberitakan dan mengajarkan kasih mestinya mampu menjadi

(32)

25

keanekaragaman, namun ada kesatuan juga, ada persekutuan, sehingga diantara para anggota

jemaat tiada ancaman pertentangan dan tiada perbuatan yang saling merugikan. Dalam hal ini

gereja ditugaskan untuk tidak hanya mengundang ODD dalam komunitas, melainkan juga

menghargai kontribusinya.

5.2.2. Bagi Fakultas Teologi

Setelah mengetahui betapa pentingnya citra Yesus yang disable sebagai wawasan yang baru

bagi kaum disabilitas, fakultas teologi perlu menjadikan MK disabilitas bukan sebagai mata

kuliah tambahan, tetapi sebagai MK pokok, agar mahasiswa semakin memahami bahwa

Yesus tidak hanya Allah bagi orang-orang yang NODD, melainkan bagi mereka kaum ODD.

Dengan demikian, mahasiswa Teologi dapat menjadi penggerak terciptanya keseimbangan

antara kaum NODD dan ODD, serta menyadari tanggungjawabnya sebagai mitra kerja Allah,

dan pelaku kasih.

(33)

26

DAFTAR PUSTAKA

Borg, Marcus J. (2003). Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, Jakarta: Gunung Mulia.

Bruggen, Jakob van. (2001). Kristus di bumi: Penuturan Kehidupan-Nya oleh Murid-murid

dan oleh Penulisan-penulis Sezaman, Jakarta : Gunung Mulia.

Felicianus, J. (2005). Siapa Sebenarnya Yesus.Yogyakarta : Pustaka Marwa.

Holdaway, David. (2001). Kehidupan Yesus : Memberi Gambaran Utuh Keempat Injil secara

Kronologis, Berdasarkan Teks dari New International Version. Semarang: Sinode

GKMI.

Hunter, A.M. (1987). Yesus, Tuhan dan Juruselamat. Cet.1, Jakart: Gunung Mulia.

Keraf, Gorys. (1993). Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Nusa Indah.

Moleong, Lexy J. (1989). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya.

Nazir, Mohamad. (1988). Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Oltmans,Thomas F & Emery, Robert E. (2013). Psikologi Abnormal. Buku ke 1,Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Oltmans,Thomas F & Emery, Robert E. (2013). Psikologi Abnormal, Buku ke 2,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semiun, Yustinus. (2006). Kesehatan Mental 3, Yogyakarta: Kanisius.

Setyawan, Yusak B. (2014). Teologi Disabilitas: Hand – Out, Salatiga.

Setyawan, Yusak B. (2012). Basic Christology: A Draft, Salatiga.

Simanjuntak, Julianto. (2008). Konseling Gangguan Jiwa & Okultisme, Jakarta: Gramedia.

Seng Lee, Chua. (2012). Menolak Kalah : Mengatasi Depresi, Menggapai Damai di Hati.

Jakarta: Libri.

Stott, John R.W. (2010). Kristus yang tiada tara.terj. Ina Elia Gani, cet 3, Surabaya:

Momentum.

Thong, Denny. (2011). Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa, Jakarta:

Gramedia.

Jacobs SJ, Tom. (1982). Siapakah Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta:

Kanisius.

Boehlke, Robert R. (2000). Siapakah Yesus sebenarnya, Jakarta: Gunung Mulia.

Wessels, Anton. (2010). Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya, Jakarta:

Gunung Mulia.

(34)

27

Cooper Burton. (1992). “The Disabled God”, dalam Theology Today, Vol. XLIX, No.2:

USA: Princeton Theological Seminary.

Sujoko Albertus. (2009). Identitas Yesus & Misteri Manusia:

Referensi

Dokumen terkait