• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan pendidikan iman bagi anak berumur 0-16 tahun dalam perkawinan orangtua beda agama dan beda gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan pendidikan iman bagi anak berumur 0-16 tahun dalam perkawinan orangtua beda agama dan beda gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi."

Copied!
239
0
0

Teks penuh

(1)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “PELAKSANAAN PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK BERUMUR 0-16 TAHUN DALAM PERKAWINAN ORANGTUA BEDA AGAMA DAN BEDA GEREJA PAROKI HATI YESUS MAHA KUDUS PURWODADI”. Judul skripsi ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap maraknya perkawinan beda agama dan beda gereja yang berdampak pada pelaksanaan pendidikan iman anak. Pendidikan iman merupakan suatu proses dan bukanlah sesuatu yang sekali jadi. Di dalam proses pembinaan iman, isi pengajaran berdasarkan pertumbuhan dan usia anak. Di dalam proses ini anak dibimbing untuk menerima dan mengerti pewahyuan Allah, dalam Yesus Kristus. Kemudian mereka dibimbing untuk menanggapi pewahyuan Allah dengan mengungkapkan iman kepercayaan mereka, baik melalui perayaan-perayaan liturgis dan doa maupun perbuatan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan menunjukkan bahwa masih ada orangtua yang belum sungguh-sungguh melaksanakan pendidikan iman bagi anak dalam keluarga, yang meliputi mengenalkan Injil kepada anak, mengajak anak berdoa bersama, mendukung dan melibatkan anak dalam kegiatan menggereja.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran orangtua terhadap kewajibannya memberikan pendidikan iman bagi anak dalam keluarga. Di mana orangtua sebagai pendidik dan pewarta iman yang pertama mempunyai tanggung jawab memberikan pendidikan iman, baik melalui kata-kata maupun teladan dan kesaksian hidup iman. Keluarga memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan iman anak. Pertama-tama keluarga adalah iman yang pertama dan terutama. Tanpa pendidikan, iman anak tidak akan berkembang. Oleh karena itu, untuk mengkaji lebih lanjut, penulis melakukan pengamatan, wawancara, dan penyebaran kuesioner untuk mempelajari situasi yang terjadi di lapangan sejauh mana pengalaman keluarga dari pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja dalam menerapkan pendidikan iman kepada anak-anaknya. Sedangkan studi pustaka diperlukan untuk mempelajari Kitab Suci, ajaran dan dokumen Gereja yang kemudian direfleksikan untuk membuat ulasan program pendampingan yang menarik dan sesuai dengan keadaan umat.

(2)

ix

ABSTRACT

This thesis titled "IMPLEMENTATION OF FAITH EDUCATION FOR CHILDREN AGED 0-16 YEARS IN THE MARRIAGE OF PARENTS OF DIFFERENT RELIGIONS AND DIFFERENT CHURCHES IN PARISH OF SUPREME SACRED HEART OF JESUS PURWODADI". Title of thesis have been based on concerns the author of the proliferation of interfaith marriage and church different impact on the implementation of faith education of children. Education faith is a process and not something that once finished. In the process of faith formation, instructional content based on the growth and age of the child. In this process the child is guided to accept and understand the revelation of God, in Jesus Christ. Then they guided to respond to the revelation of God to express their faith, either through liturgical celebrations and prayer as well as concrete actions in everyday life. The fact shows that there are still parents who do not earnestly implement the faith education for children in the family, which includes introducing the Gospel to children, taking children to pray together, to support and engage children in churches activities.

A key issue in this thesis is how to increase parents' awareness of their obligation to provide education for children in the family of faith. Where educators and parents as the first herald of faith have a responsibility to educate faith, both by word and example and testimony of the life of faith. The family has a huge role to the development of a child faith. First of all faith family is first and foremost. Without education, the child will not develop faith. Therefore, to assess further, the authors make observations, interviews, and questionnaires to study the situation in the field extent of family experience of married couples marriage of different religions and different churches in applying faith education to their children. While the literature is needed to study the scriptures, teachings and documents of the Church which is then reflected to create interesting mentoring program review and in accordance with the state of the race.

(3)

PELAKSANAAN PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK BERUMUR 0-16

TAHUN DALAM PERKAWINAN ORANGTUA BEDA AGAMA DAN

BEDA GEREJA PAROKI HATI YESUS MAHA KUDUS PURWODADI

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Hana Puspita Canti

NIM: 091124020

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

Yang Utama dari Segalanya

Syukur dan anugrah kepada Tuhan Yesus atas karunia dan kemudahan akhirnya skripsi sederhana ini terselesaikan.

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan kusayangi

Papa dan Mama Tercinta Kakak dan ponakan kembarku tercinta

Sahabatku tersayang

Dosen pembimbing tugas akhir sekaligus dosen favoritku

(7)

v

MOTTO

Skripsi yang membanggakan dan menyenangkan seumur hidup penulisnya adalah skripsi dibuat dengan KEJUJURAN

Skripsi selesai beda dengan skripsi asal selesai. Pembuatnya bisa rasakan yang asal selesai: sumber malu saat dibaca ulang

(Anies Bawesdan)

Manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Ia tetaplah makhluk yang tidak dapat dimengerti oleh dirinya sendiri, kehidupannya tidak bermakna bila cinta tidak ditunjukkan padanya, bila ia tidak menemukan cinta, bila ia tidak mengalami cinta

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 20 April 2015 Penulis,

(9)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Hana Puspita Canti

NIM : 091124020

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan wewenang bagi Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulis yang berjudul

"PELAKSANAAN PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK BERUMUR 0-16

TAHUN DALAM PERKAWINAN ORANGTUA BEDA AGAMA DAN

BEDA GEREJA PAROKI HATI YESUS MAHA KUDUS PURWODADI” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin maupun memberikan royalti kepada penulis, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 20 April 2015 Yang menyatakan,

(10)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “PELAKSANAAN PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK BERUMUR 0-16 TAHUN DALAM PERKAWINAN ORANGTUA BEDA AGAMA DAN BEDA GEREJA PAROKI HATI YESUS MAHA

KUDUS PURWODADI”. Judul skripsi ini dipilih berdasarkan keprihatinan

penulis terhadap maraknya perkawinan beda agama dan beda gereja yang berdampak pada pelaksanaan pendidikan iman anak. Pendidikan iman merupakan suatu proses dan bukanlah sesuatu yang sekali jadi. Di dalam proses pembinaan iman, isi pengajaran berdasarkan pertumbuhan dan usia anak. Di dalam proses ini anak dibimbing untuk menerima dan mengerti pewahyuan Allah, dalam Yesus Kristus. Kemudian mereka dibimbing untuk menanggapi pewahyuan Allah dengan mengungkapkan iman kepercayaan mereka, baik melalui perayaan-perayaan liturgis dan doa maupun perbuatan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan menunjukkan bahwa masih ada orangtua yang belum sungguh-sungguh melaksanakan pendidikan iman bagi anak dalam keluarga, yang meliputi mengenalkan Injil kepada anak, mengajak anak berdoa bersama, mendukung dan melibatkan anak dalam kegiatan menggereja.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran orangtua terhadap kewajibannya memberikan pendidikan iman bagi anak dalam keluarga. Di mana orangtua sebagai pendidik dan pewarta iman yang pertama mempunyai tanggung jawab memberikan pendidikan iman, baik melalui kata-kata maupun teladan dan kesaksian hidup iman. Keluarga memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan iman anak. Pertama-tama keluarga adalah iman yang pertama dan terutama. Tanpa pendidikan, iman anak tidak akan berkembang. Oleh karena itu, untuk mengkaji lebih lanjut, penulis melakukan pengamatan, wawancara, dan penyebaran kuesioner untuk mempelajari situasi yang terjadi di lapangan sejauh mana pengalaman keluarga dari pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja dalam menerapkan pendidikan iman kepada anak-anaknya. Sedangkan studi pustaka diperlukan untuk mempelajari Kitab Suci, ajaran dan dokumen Gereja yang kemudian direfleksikan untuk membuat ulasan program pendampingan yang menarik dan sesuai dengan keadaan umat.

(11)

ix

ABSTRACT

This thesis titled "IMPLEMENTATION OF FAITH EDUCATION FOR CHILDREN AGED 0-16 YEARS IN THE MARRIAGE OF PARENTS OF DIFFERENT RELIGIONS AND DIFFERENT CHURCHES IN PARISH OF SUPREME SACRED HEART OF JESUS PURWODADI". Title of thesis have been based on concerns the author of the proliferation of interfaith marriage and church different impact on the implementation of faith education of children. Education faith is a process and not something that once finished. In the process of faith formation, instructional content based on the growth and age of the child. In this process the child is guided to accept and understand the revelation of God, in Jesus Christ. Then they guided to respond to the revelation of God to express their faith, either through liturgical celebrations and prayer as well as concrete actions in everyday life. The fact shows that there are still parents who do not earnestly implement the faith education for children in the family, which includes introducing the Gospel to children, taking children to pray together, to support and engage children in churches activities.

A key issue in this thesis is how to increase parents' awareness of their obligation to provide education for children in the family of faith. Where educators and parents as the first herald of faith have a responsibility to educate faith, both by word and example and testimony of the life of faith. The family has a huge role to the development of a child faith. First of all faith family is first and foremost. Without education, the child will not develop faith. Therefore, to assess further, the authors make observations, interviews, and questionnaires to study the situation in the field extent of family experience of married couples marriage of different religions and different churches in applying faith education to their children. While the literature is needed to study the scriptures, teachings and documents of the Church which is then reflected to create interesting mentoring program review and in accordance with the state of the race.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur bagi Tuhan Yesus yang telah menganugrahkan berkah dan kasih sayang-Nya sehingga atas ijin-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pelaksanaan Pendidikan Iman bagi Anak Berumur 0-16 Tahun dalam Perkawinan Orangtua Beda Agama dan Beda Gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi”.

Penulis menyusun skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar sarjana (S1) pada Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Jurusan Ilmu Pendidikan, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesainya skripsi ini tidak lepas dari campur tangan berbagai pihak. Untuk itulah penulis ingin berterima kasih sebesar-besarnya dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pihak-pihak terkait.

Dengan terselesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. FX. Heryatno W.W., S.J., M.Ed. selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penyelesaian Skripsi ini.

(13)

xi

3. Dra. Y. Supriyati, M.Pd selaku dosen penguji kedua sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan selama menjadi mahasiswa di prodi IPPAK terlebih dalam proses penyususnan skripsi ini.

4. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji ketiga yang dengan penuh kesabaran mendampingi penulis dalam skripsi ini.

5. Drs. M. Sumarno Ds.,S.J.,M.A selaku dosen wali kedua yang telah mendukung dan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi.

6. Segenap staf dosen dan seluruh karyawan prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang mendidik penulis selama menjadi mahasiswa IPPAK dan secara tidak langsung selalu memberikan semangat kepada penulis serta memberikan kemudahan adminitrasi.

7. Romo Ignatius Supriyantno, MSF sebagai Pastur Kepala dan umat Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan memberi dukungan.

8. Pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja khususnya pihak Katolik Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi yang memberikan dukungan kepada penulis dengan bersedia mengisi kuesioner.

(14)

xii

10.Mas Fajar-Mbak Pipit dan Mbak Ratri-Mas Ari yang selalu memberikan warna dalam bentuk doa, dukungan, canda, tawa dan macam-macam bantuan. Serta keponakan kembarku Jesse dan Avent yang selalu ngangeni dan gemesin.

11.Sahabat tersayang, yang senantiasa ada untuk memberikan dukungan, semangat, hiburan, ojekan, melantunkan doa serta mengusahakan segala macam bantuan terkait penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas semua yang dilakukan, terima kasih telah senantiasa menguatkan dan mengingatkan di kala penulis merasa bosan dan malas.

12.Frater Amor, Frater Indra dan Kolsani yang telah membantu proses penulisan skripsi ini dengan membantu meminjamkan buku sebagai referensi.

13.Sahabat-sahabat IPPAK 2009 atas ukiran hati bertemakan persahabatan yang tulus murni sepanjang masa pendidikan di IPPAK sejak awal hingga terselesainya pendidikan. Terima kasih atas segala canda tawa dan tangisan haru serta bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa.

(15)

xiii

Sebagai manusia biasa, tentunya penulis masih memiliki banyak kekurangan pengetahuan dan pengalaman pada topik yang diangkat dalam skripsi ini, begitu pula dalam penulisannya yang masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis akan sangat senang jika menerima berbagai masukan dari para pembaca baik berupa kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan penulisan skripsi.

Yogyakarta, 20 April 2015 Penulis

(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

MOTTO... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vii

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiv

DAFTAR SINGKATAN... xix

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penulisan... 6

D. Manfaat Penulisan... 7

E. Metode Penulisan... 7

F. Sistematika Penulisan... 8

BAB II. PELAKSANAAN PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK DALAM KELUARGA PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN BEDA GEREJA... 10

A. Pendidikan Iman bagi Anak... 11

1.Pendidikan Iman... 11

2.Pendidikan Iman dalam Keluarga... 14

a. Doa Pribadi dan Doa Bersama... 15

b. Mengikuti Perayaan Liturgi... 16

(17)

xv

d. Ikut Aktif dalam Kelompok Pembinaan Iman... 17

e. Ikut Ambil Bagian dalam Ziarah... 19

3. Kewajiban Orang Tua... 19

a. Pendidikan Psikis-afektif... 21

b. Pendidikan Sosio kultural... 22

c. Pendidikan Iman... 23

d. Pendidikan Moral... 24

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi... 27

5. Kegagalan Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga... 28

6. Tahap Perkembangan Iman... 29

a. Tahap 0: Elementari Awal/Primal... 30

b. Tahap I: Iman Intuitif-Projektif... 31

c. Tahap II: Iman Mitis-Literal... 32

d. Tahap III: Iman Sitentik-Konvensional... 33

e. Tahap IV: Iman Individuatif-Reflektif... 34

f. Tahap V: Iman Konjungtif... 35

g. Tahap VI: Iman Universal... 36

7. Konteks Perkembangan Iman... 37

a. Teladan Tokoh-tokoh Identifikasi... 37

b. Suasana... 38

c. Pengajaran... 39

d. Komunikasi... 39

8. Pendidikan Iman dalam Ajaran Gereja... 39

a. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes... 40

b. Deklarasi Gravissimum Educationis... 41

c. Deklarasi Dignitatis Humanae... 42

d. Himbauan Apostolik Familiaris Consortio... 43

e. Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae... 45

B. Perkawinan Beda Agama dan Beda Gereja... 46

(18)

xvi

2. Tujuan Perkawinan... 48

a. Kesejahteraan Suami-Istri... 50

b. Kelahiran Anak... 51

c. Pendidikan Anak... 51

3. Pelaksanaan Pendidikan Iman dan Pembaptisan Anak... 54

a. Pemenuhan Janji untuk Membaptis Anak... 54

b. Pemenuhan Janji untuk Mendidik Iman Katolik... 56

BAB III. PELAKSANAAN PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK BERUMUR 0-16 TAHUN PADA PASANGAN ORANGTUA PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN BEDA GEREJA PAROKI HATI YESUS MAHA KUDUS PURWODADI... 61

A. Gambaran Umum Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi... 62

1. Sejarah Paroki... 62

a. Purwodadi sebagai Stasi dari Paroki St. Yusuf Gedanga (1952- 1956)... 62

b. Purwodadi sebagai Stasi dari Paroki St. Evangelista Kudus (1957-1967)... 64

c. Purwodadi sebagai Paroki Hati Yesus Maha Kudus (1968-sekarang)... 65

2. Keadaan Geografis... 66

3. Keadaan Demografi... ... 68

4. Visi dan Misi Gereja... 70

5. Situasi Umum Umat Paroki... 70

a. Situasi Kependudukan... 71

1) Gambaran Umum... 71

2) Keadaan Umat... 74

3) Jenis Kelamin dan Hubungan Kekeluargaan... 76

4) Kesukuan (Etnis)... 78

5) Struktur Usia... 79

b. Situasi Sosial Ekonomi... 82

(19)

xvii

2) Kegiatan Ekonomi... 86

3) Tingkat Pendidikan... 89

c. Situasi Kekatolikan... 91

1) Pastoral Anak-anak... 91

2) Pastoral OMK... 93

3) Pastoral Dewasa... 94

4) Pastoral Keluarga... 96

5) Kelompok Permandian dan Penguatan... 99

6. Gambaran Umum Mengenai Perkawinan Beda Agama dan Beda Gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi... 102

B. Penelitian tentang Perkawinan Beda Agama dan Beda Gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi terhadap Pendidikan Iman bagi Anak Berumur 0-16 Tahun... 103

1. Metodologi Penelitian... 103

a. Tujuan penelitian... 104

b. Manfaat Penelitian... 104

c. Jenis Penelitian... 105

d. Tempat dan Waktu Penelitian... 105

e. Responden Penelitian... 105

f. Instrumen Penelitian... 106

g. Variabel Penelitian... 107

2. Laporan Hasil dan Pembahasan Penelitian... 108

a. Gambaran Pemahaman Tujuan Perkawinan Pasangan Suami Istri Perkawinan Beda Agama dan Beda Gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi... 108

b. Pelaksanaan Pendidikan Iman Anak... 136

c. Keadaan Umat Perkawinan Beda Agama dan Beda Gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi... 141

3. Keterbatasan Penelitian... 141

4. Kesimpulan Hasil Penelitian... 142

BAB IV. REFLEKSI KRITIS ATAS AJARAN GEREJA DENGAN KENYATAAN YANG TERJADI... 146

(20)

xviii

B. Kenyataan yang Terjadi... 153

BAB V. REKOLEKSI BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN BEDA GEREJA SEBAGAI USAHA UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN ORANGTUA AKAN PENTINGNYA PENDIDIKAN IMAN ANAK PAROKI HATI YESUS MAHA KUDUS PURWODADI... 158

A. Latar Belakang Pemilihan Program dalam Bentuk Rekoleksi... 159

B. Usulan Program Pembinaan Iman Orangtua dalam Bentuk Rekoleksi Orang Tua... 161 C. Tema dan Tujuan Program Rekoleksi... 162

D. Matrik Program... 166

E. Gambaran Pelaksanaan Program... 173

F. Contoh Persiapan Pelaksanaan Rekoleksi... 173

BAB VI. PENUTUP... 192

A. Kesimpulan... 192

B. Saran... 194

DAFTAR PUSTAKA... 196

LAMPIRAN... 199

Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian... (1)

Lampiran 2 : Salah Satu Kuesioner Penelitian dari Responden... (7)

Lampiran 3 : Hasil Kuesioner Terbuka dan Wawancara... (13)

(21)

xix

DAFTAR SINGKATAN

A. SINGKATAN KITAB SUCI

KS : Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia

B. SINGKATAN DOKUMENRESMI GEREJA

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

DH : Dignitatis Humanae, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang kebebasan beragama, 7 Desember 1965.

FC : Fimiliaris Consortio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, 22 November 1981.

GE : Gravissimum Educationis, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen, 28 Oktober 1965.

GS : Gadium et Spes. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.

(22)

xx

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964.

NA : Nostra Aetate, Pernyataan Konsili Vatikan II tengtang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen, 28 Oktober 1965. PBIUD : Pedoman Bina Iman Usia Dini dalam Keluarga, pedoman yang

dikeluarkan oleh Komisi Keluarga Keuskupan Malang, pada tahun 1998

PPKK : Pedoman Pastoral Keluarga, pedoman yang dikeluarkan oleh KWI, 15 November 2010.

SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1965.

C. SINGKATAN LAIN

ARDAS : Arah Dasar

APP : Aksi Puasa Pembangunan Art : Artikel

BKSN : Bulan Kitab Suci Nasional BPS : Badan Pusat Statistik DPR : Dewan Perwakilan Rakyat Kan. : Kanon

KAS : Keuskupan Agung Semarang KK : Kepala Keluarga

(23)

xxi Litbang : Penelitian dan Pengembangan MUDIKA : Muda-mudi Katolik

OMK : Orang Muda Katolik Pasutri : Pasangan Suami Istri

PHK : Pemutusan Hubungan Kerja PIA : Pendidikan Iman Anak PIR : Pendidikan Iman Remaja PNS : Pegawai Negri Sipil

PSE : Pengembangan Sosial Ekonomi SD : Sekolah Dasar

SLB : Sekolah Luar Biasa

SMP : Sekolah Menengah Pertama SMA : Sekolah Menengah Atas SPG : Sekolah Pendidikan Guru St : Santo

TOP : Tahun Orientasi Pastoral

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia memiliki dasar negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika karena masyarakat kita merupakan masyarakat yang bersifat majemuk. Di Indonesia kemajemukan dihormati termasuk dalam hal agama dan hidup beragama. Sebagian besar masyarakat kita memeluk agama Islam dan sebagian kecil memeluk agama-agama lain (Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu) serta kepercayaan. Ada sebagian dari mereka yang hidup berdekatan dengan saudara-saudara yang seiman, terutama di pulau Flores. Akan tetapi ada pula yang hidup berbaur dengan saudara-saudara yang beragama lain, yang tampak seperti di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya.

(25)

facto mampu untuk melaksanakan hak itu. Namun dengan demikian, pelaksanaan

hak itu tidak lepas dari tatanan moral, etika dan hukum.

Tidak dapat disangkal bahwa semua agama tidak menghendaki atau memandang perkawinan antar agama sebagai perkawinan tidak ideal. Menurut Gereja Katolik, maksud dari tidak ideal dalam hal ini yaitu perkawinan beda agama maupun beda gereja tidak termasuk dalam perkawinan sakramen. Selain itu, perkawinan beda agama dan beda gereja memiliki masa depan yang tidak ideal seperti rawan gagal, tidak harmonis, perasaan yang sensitif, dilematis, membingungkan anak-anak yang dilahirkan, dan sebagainya. Tidak hanya masa depan yang tidak ideal, melainkan proses menuju terwujudnya perkawinan bisa sangat tidak ideal, seperti memancing percecokkan bila tidak adanya toleransi, salah satu harus berganti agama untuk menikah, tidak direstuinya keluarga besar masing-masing pasangan, dan sebagainya.

Di satu pihak, perkawinan beda agama dan beda gereja memang memuat resiko dan bahaya yang pantas dijadikan keprihatinan karena perbedaan praktik perkawinan beda agama mengalami kesulitan yang cukup berat. Tetapi di lain pihak, perkawinan semacam ini jika dihayati secara bertanggung jawab dan penuh kedewasaan akan menjadi berkat bagi kedua agama dengan mengadakan dialog agama di rumah.

(26)

dan beda gereja, salah satunya adalah pendidikan iman pada anak. Bukan sesuatu yang mudah bagi keluarga dengan perkawinan orangtua beda agama dan beda gereja, khususnya bagi orangtua dalam menerapkan pendidikan iman anak.

Dalam usia pertumbuhan, anak-anak yang hidup dalam keluarga yang berbeda keyakinan tentunya akan mengalami kebingungan dengan dua ritual keagamaan yang berbeda. Namun, dari sikap ini akan memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi anak untuk mempelajari agama mana yang akan dipilih. Sekilas pasangan suami istri tidak mengalami kesulitan atau konflik dalam hal pendidikan iman anak, bahkan tampak demokratis membiarkan anak memilih iman yang diyakininya. Tetapi sebenarnya mereka mengalami masalah dilematis mengenai pendidikan iman anak.

Masalah pendidikan iman anak dengan perkawinan orangtua beda agama dan beda gereja memang merupakan persoalan yang sangat rumit dan dilematis. Paus Paulus VI juga mengatakan bahwa pendidikan iman dalam keluarga perkawinan beda agama dan beda gereja merupakan masalah yang cukup rumit dan dilematis, karena masing-masing pribadi orangtua terikat tugas dan tanggung jawab mendidik anaknya dalam iman yang mereka yakini. Gereja sendiri menegaskan bahwa pihak Katolik dari pasangan perkawinan beda agama dan beda gereja itu mempunyai tugas dan tanggung jawab mendidik dan membaptis anak-anak dalam iman Katolik (Agung Prihartana, 2008: 7).

(27)

pendidik pertama dan utama yang mengajarkan kebenaran. Konsekuensinya, mereka juga harus memperkenalkan Tuhan dan membimbing untuk mengimaninya.

Orangtua merupakan pewarta iman yang pertama bagi anak-anaknya melalui perkataan dan teladan hidup iman. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban mendidik anak, orangtua diminta mendidik dengan sekuat tenaga tanpa paksaan dan kekerasan yang dapat mengganggu kebahagiaan dan keharmonisan hidup berkeluarga. Pihak Katolik perlu mencari pola pendidikan yang sesuai dengan perbedaan dan ketegangan yang ada. Ia harus menghargai kebebasan beragama pada pasangan yang non Katolik dan juga tidak boleh menghalang-halangi pasangan dalam menjalankan kewajiban beragama. Selain itu, orangtua Katolik tidak boleh menjelek-jelekan agama pasangannya ketika mendidik anaknya dalam iman Katolik. Meskipun begitu, Gereja tidak berarti mengijinkan atau membiarkan anak-anaknya boleh dididik dalam iman non Katolik. Berdasarkan kodrat dan martabat perkawinan dan baptisnya, pihak Katolik mempunyai tugas dan tanggung jawab membaptis dan mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik. Namun dalam menjalankannya, pihak Katolik tidak boleh mengorbankan keharmonisan keluarga (Agung Prihartana, 2008: 21).

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio (FC), Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, menegaskan dan

mengingatkan bahwa orangtua sudah diikutsertakan Tuhan dalam proses penciptaan anak-anak mereka, maka selanjutnya orangtua juga mempunyai tugas untuk mendidik mereka. Maka orangtua menjadi “pendidik pertama dan utama

(28)

tanggung jawab dan kewajiban untuk membaptis dan mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik. Mereka harus menyambut kahadiran anak-anak sebagai anugrah Tuhan yang harus didampingi dan dibimbing selama masa pertumbuhan mereka dengan memberikan pengajar iman dan nilai-nilai Injili. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, orangtua diminta untuk memberikan teladan dan kesaksian hidup iman yang baik.

(29)

Oleh sebab itu, melalui skripsi ini penulis bermaksud ingin memberikan sumbangan pemikiran bagi pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja di Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi terhadap pelaksanaan pendidikan iman anak dengan mangangkat judul skripsi “PELAKSANAAN PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK BERUMUR 0-16 TAHUN DALAM

PERKAWINAN ORANGTUA BEDA AGAMA DAN BEDA GEREJA

PAROKI HATI YESUS MAHA KUDUS PURWODADI”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam hal ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Bagaimana pendidikan iman anak menurut Gereja Katolik? 2. Bagaimana pendidikan iman anak dalam masyarakat Pluralistik?

3. Bagaimana saran yang baik untuk pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi dalam memberikan pendidikan iman bagi anaknya.

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Mengetahui pendidikan iman anak menurut Gereja Katolik. 2. Mengetahui pendidikan iman anak dalam masyarakat Pluralistik.

(30)

D. MANFAAT PENULISAN

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang perkawinan Katolik beda agama dan beda gereja khususnya dalam hal pendidikan iman bagi anak-anak.

2. Membantu pasangan perkawinan beda agama dan beda gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi dalam menerapkan pendidikan iman bagi anak-anaknya.

3. Memberikan sumbangan kepada para remaja yang ingin melaksanakan perkawinan Katolik beda agama dan Gereja di Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi supaya mengetahui kesulitan-kesulitan yang akan terjadi dalam perkawinan beda agama dan beda gereja sekaligus siap menghadapinya.

4. Memenuhi syarat untuk mendapat gelar sarjana.

E. METODE PENULISAN

(31)

menggunakan angka, tetapi lebih untuk memudahkan pembaca memahami hasil penelitian.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memperoleh gambaran yang jelas, penulis menyampaikan pokok-pokok sebagai berikut:

BAB I :

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II :

Bab ini membahas tentang refleksi teologi yang dijabarkan dalam dua pokok yaitu pelaksanaa pendidikan iman dalam keluarga dan perkawinan beda agama dan beda gereja.

BAB III:

Bab ini membahas tentang laporan penelitian bagi pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja terhadap pendidikan iman bagi anak yang terdiri dari dua pokok. Pertama, latar belakang gereja yang meliputi: Sejarah paroki, keadaan geografis, keadaan demografi, visi dan misi gereja, situasi umum umat, dan gambaran umum mengenai perkawinan beda agama dan beda gereja. Kedua, laporan hasil dan pembahasan penelitian.

BAB IV:

(32)

pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja terhadap kenyataan yang terjadi di Paroki Hati Yesus Yang Maha Kudus Purwodadi.

BAB V :

Bab ini berisi tentang usulan program dalam bentuk rekoleksi sebagai usaha untuk mendampingi pasangan suami istri perkawinan beda agama dan beda gereja dalam memberikan pendidikan iman bagi anak-anaknya.

BAB VI :

(33)

BAB II

PELAKSANAAN PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK DALAM

PERKAWINAN ORANGTUA BEDA AGAMA DAN BEDA GEREJA

Dua hal pokok yang akan dikembangkan pada bab ini yakni pendidikan iman bagi anak dan perkawinan beda agama dan beda gereja terkhusus pada tujuan perkawinan. Pokok permasalahan yang akan diangkat adalah bagaimana pasangan perkawinan beda agama dan beda gereja melaksanakan pendidikan iman anak sesuai dengan tujuan perkawinan. Kedua hal ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, di mana dalam suatu perkawinan Katolik baik perkawinan sakramen maupun non sakramen, keduanya memiliki tujuan perkawinan yang sama yaitu salah satunya adalah pendidikan bagi anak.

Menurut para Uskup yang hadir dalam Konsili Vatikan II pada tahun 1965, seperti yang terungkap dalam Gadium et Spes (GS), hakikat perkawinan dan cinta kasih suami istri tertujukan kepada adanya keturunan serta pendidikan. Memang anak-anak merupakan karunia perkawinan yang paling luhur dan besar sekali, dalam arti bagi kesejahteraan orangtua sendiri. Perkawinan mempunyai berbagai tujuan, yakni kesejahteraan suami istri, kesejahteraan anak-anak, dan kesejahteraan masyarakat (GS, art. 50). Sementara itu, dalam sejarah Gereja Katolik, ajaran perkawinan Paus Leo XIII disebutkan bahwa perkawinan mempunyai tujuan primer “kelahiran dan pendidikan anak” dan tujuan sekunder

(34)

adanya 3 tujuan utama perkawinan yang terdiri dari kesejahteraan suami istri, kelahiran dan pendidikan anak.

A. PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK

1. Pendidikan Iman

Pendidikan adalah usaha orang-orang dewasa untuk membantu anak-anak muda dalam memperkembangkan kepribadian mereka (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007: 1) yang cocok dengan tujuan dan kondisinya. Pedoman Pastoral Keluarga (PPK), pedoman yang dikeluarkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengatakan bahwa tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya adalah pembinaan pribadi manusia menuju kedewasaan, sehingga dapat menyumbangkan nilai-nilai yang baik demi kesejahteraan masyarakat (PPK, no. 29). Sedangkan yang dimaksud dengan iman, menurut J. Hardiwiratno seorang imam MSF yang dikutip oleh Soerjanto dan Widiastoeti Soerjanto (2007: 10) ialah jawaban pribadi manusia atas pewahyuan Allah dalam Yesus Kristus. Maka yang dimaksud dengan pendidikan iman ialah proses dan usaha orang-orang dewasa untuk membantu anak-anak muda agar mereka mampu menghormati dan mengasihi Allah, Pencipta, dan Penyelamat. Karena masih anak-anak, mereka belum dapat menjawab pewahyuan Allah dalam Yesus Kristus secara bebas dan pribadi, sehingga mereka perlu mendapat bimbingan dan pendidikan agar iman dapat tertanam secara mendalam dan pada akhirnya anak dapat menjawab secara bebas dan pribadi.

(35)

yang sekali jadi, tetapi melalui dan membutuhkan suatu proses yang panjang. Pengajaran dan pembinaan adalah sarana dan wahana dalam proses penanaman iman kepada anak-anak. Di dalam proses pembinaan iman itu, isi pengajaran tidak diurutkan menurut urutan dan sistem teolog, melainkan menurut kronologi pertumbuhan dan kebutuhan spiritual berdasarkan usia anak. Di dalam proses ini anak dibimbing untuk menerima dan mengerti pewahyuan Allah, dalam Yesus Kristus. Kemudian mereka dibimbing untuk menanggapi pewahyuan Allah dengan mengungkapkan iman kepercayaan mereka, baik melalui perayaan-perayaan liturgis dan doa maupun perbuatan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, orangtua sebagai pendidik dan pewarta iman yang pertama mempunyai tanggung jawab memberikan pendidikan iman, baik melalui kata-kata maupun teladan dan kesaksian hidup iman. Anak-anak akan sangat terbantu untuk mengungkapkan imannya bila mereka melihat teladan dan kesaksian hidup iman yang konkret dari orangtuanya.

Pendidikan iman bertujuan menumbuhkan sikap beriman dalam diri anak-anak. Dengan sikap beriman itu anak-anak siap menyambut kasih Allah yang diterima dan membalasnya, serta aktif mengambil bagian dalam hidup Gereja (PPK, no. 31).

(36)

kehidupan kita sendiri yang dapat dijadikan alat untuk menanamkan dan mengembangkan iman anak. Misalkan: orangtua mengajak anak untuk memaknai hari ulang tahunnya dengan ucapan syukur, memaknai perayaan Paskah sebagai hari kebangkitan Kristus, mengajarkan anak untuk menghormati Kitab Suci dengan membaca dan merenungkannya serta meletakkannya di tempat yang terhormat.

Kedua aspek ini sangat penting dan saling berkaitan dalam pelaksanaan pendidikan iman anak dalam keluarga. Orangtua tidak dapat memisahkan salah satu dari kedua aspek tersebut, hanya memberikan pengetahuan tentang iman tanpa menerapkan dalam perbuatan atau hanya mengajarkan perbuatan baik tanpa pengetahuan tentang iman.

(37)

2. Pendidikan Iman dalam Keluarga

Keluarga memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan iman anak. Pertama-tama keluarga adalah iman yang pertama dan terutama. Tanpa pendidikan, iman anak tidak akan berkembang. Untuk dapat berkembang dengan baik, maka anak memerlukan lahan yang subur sehingga benih iman yang telah ditaburkan oleh Allah sendiri dalam diri anak berkembang dan berbuah. Keluarga adalah lahan subur pertama dan utama untuk perkembangan iman anak. Agar keluarga dapat menjadi lahan yang subur bagi perkembangan anak-anak, maka orangtua harus dapat menciptakan keluarga menjadi satu komunitas antar pribadi yang dapat memberi rasa nyaman semua anggota keluarga. Hal ini dapat diwujudkan dengan semangat saling mencintai dengan penuh kesetiaan, menjalin komunikasi dengan jujur dan terbuka, saling menghormati, saling menghargai perbedaan yang ada, saling menerima apa adanya, saling memperhatikan, saling memaafkan, saling mendoakan, saling mengingatkan dan menegur jika ada anggota keluarga yang bertindak salah dan sebagainya. Jika orangtua dapat menciptakan keluarga menjadi suatu komunitas antar pribadi, maka keluarga dapat berfungsi sungguh-sungguh menjadi Gereja Mini dengan Kristus sebagai dasar hidupnya sehingga iman anak dapat lebih berkembang dengan baik (Hardiwiratno, 1994: 84-85).

(38)

a. Doa pribadi dan doa bersama

Anak-anak sebaiknya dibiasakan berdoa secara teratur, baik secara pribadi, bersama keluarga maupun komunitas basis gerejawi. Perlu dijelaskan kepada mereka bahwa berdoa adalah berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka perlu diberi teladan konkret dalam hidup doa melalui doa keluarga itu sendiri. Mereka yang masih kecil pada awalnya hanya meniru sikap orangtua saja dalam berdoa, namun secara bertahap sesuai dengan perkembangan umur dan pemahamannya, mereka perlu didorong untuk mengungkapkan isi hati secara spontan dalam berdoa. Selain itu, dalam berdoa mereka dilatih untuk mengungkapkan secara tepat benda-benda rohani seperti salib, patung, gambar, rosario, dan lain-lain (PPK, no. 35§1). Orangtua harus mengusahakan agar dapat melaksanakan doa bersama setiap hari, entah pada pagi atau sore hari. Doa bersama juga dapat dilakukan pada saat sebelum dan sesudah makan. Dengan adanya teladan dari orangtua dan pembiasaan diri sejak dini untuk melaksanakan doa pribadi maupun doa bersama, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang beriman dan hidup dalam doa.

(39)

b. Mengikuti Perayaan Liturgi

Sejak dini anak-anak perlu diajak mengambil bagian aktif dalam perayaan liturgi terutama Ekaristi, supaya mereka mengenal dan mencintai Tuhan. Perayaan Ekaristi khusus untuk anak-anak dapat diselenggarakan, karena perayaan Ekaristi tersebut membantu mereka untuk lebih terlibat di dalamnya. Bila mereka sudah terlibat dan mampu memahami, orangtua sebaiknya menjelaskan makna perayaan Ekaristi sebagai perjamuan kasih Tuhan. Dalam perjamuan itu, Tuhan memberikan diri-Nya untuk kita karena cinta-Nya kepada umat manusia yang sangat besar dan tak ada duanya. Maka, menyambut Tubuh Kristus dalam komuni berarti bersatu dengan Tuhan dan Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus (PPK, no. 35§2).

(40)

c. Membaca dan Merenungkan Kitab Suci

Kitab Suci memuat kekayaan iman yang sangat baik dan efektif untuk mengembangkan iman anak-anak. Melalui pembacaan Kitab Suci, anak-anak mengenal Allah yang menyelamatkan manusia dalam sejarah keselamatan terutama dalam diri Yesus Kristus. Dengan membaca dan mendengarkan serta merenungkan Kitab Suci, hati mereka diarahkan kepada Allah yang hadir melalui sabda-Nya. Melalui pembacaan Kitab Suci itu, anak-anak menemukan dasar iman, yaitu ajaran Tuhan Yesus dan menimba inspirasi untuk hidup iman mereka melalui teladan hidup-Nya dan tokoh-tokoh iman dalam Kitab Suci. Jadi, Kitab Suci adalah buku pegangan yang paling tepat untuk anak-anak (PPK, no. 35§3).

Kitab Suci patut menjadi sumber inspirasi pribadi dan keluarga Katolik serta mendapat tempat terhormat dalam keluarga. Maka dari itu, perlu diusahakan agar anak menjadi sungguh akrab dan mencintai Kitab Suci yang diperkenalkannya. Melalui Kitab Suci, anak dapat diperkenalkan: tokoh-tokoh Kitab Suci, terutama kehidupan Yesus dengan kisah-kisah yang menarik, makna dan amanat Kitab Suci yang dapat ditangkap anak lewat contoh-contoh konkret. Kitab Suci sebagai bahan bina iman dapat didukung dengan upaya-upaya: memiliki Kitab Suci sendiri dan rajin memperlajarinya, jika anak masih balita dapat menggunakan Kitab Suci bergambar, kebiasaan membaca Kitab Suci secara pribadi dan bersama dalam keluarga (PBIUD, no. 13§1-§2).

d. Ikut Aktif dalam Kelompok Pembinaan Iman

(41)

senantiasa mendorong anak-anak untuk ikut aktif dalam kelompok pembinaan iman, misalnya Sekolah Minggu, Pembinaan Iman Anak dan Pembinaan Iman Remaja (PIA dan PIR). Dalam pertemuan kelompok-kelompok tersebut anak-anak dibantu untuk memperkembangkan iman dan dilatih untuk menghayati kebersamaan sebagai Gereja (PPK, no. 35§4).

Kelompok Bina Iman Usia Dini hendaknya berperan sebagai wadah yang mendukung, melengkapi dan memperkaya bina iman usia dini dalam keluarga, wadah pra sekolah dan sekolah. Hal ini makin berhasil apabila pembina bukan hanya petugas comotan melainkan dipersiapkan sebaik-baiknya. Kerja sama dengan keluarga dan wadah-wadah lain hendaknya dilaksanakan dengan komunikasi timbal balik, sehingga ada koordinasi yang dapat mengurangi pengulangan dan tumpang tindih yang tidak hanya membosankan anak, melainkan juga membuang waktu dan tenaga serta dana (PBIUD, no. 30§3).

(42)

Kristus sebagai Tuhan, Juruselamat dan penebus dosa manusia, mengenal Bunda Maria sebagai Bunda Allah, mengasihi sesama, terlibat aktif dalam kehidupan menggereja, belajar firman Tuhan, dan belajar hidup bersosialisasi.

e. Ikut Ambil Bagian dalam Ziarah

Ziarah sudah dikembangkan cukup lama dalam Gereja dan menghasilkan buah-buah yang baik. Maka, orangtua hendaknya mendorong dan mendukung anak-anaknya untuk mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan tersebut demi pengembangan hidup beriman mereka (PPK, no. 35§5).

Ziarah yang dilakukan oleh umat Katolik merupakan bentuk ungkapan penghayatan iman melalui penghormatan dan pujian kepada Bunda Maria. Orangtua perlu memperkenalkan hal ini kepada anak sehingga anak tidak hanya mengenal tempat-tempat rekreasi, seperti taman hiburan atau mall tetapi juga tempat-tempat doa umat Katolik. Praktek devosi ini sering marak dilakukan umat Katolik pada bulan Mei dan Oktober yang merupakan bulan yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria. Tidak ketinggalan, kelompok Pembinaan Iman, seperti PIA-PIR juga mengadakan ziarah ke Goa Maria dengan tujuan memperkenalkan tempat ziarah umat Katolik sekaligus mengajak anak untuk berdevosi kepada Bunda Maria.

3. Kewajiban Orangtua

(43)

1986: 25). Semasa masih berada dalam kandungan, anak sudah dapat dipersiapkan secara rohani (Pudjiono & Oetomo, 2007: 4). Sang ibu bukan saja bertanggung jawab untuk memberikan makanan jasmani kepada sang bayi, tetapi terutama cinta, damai dan rasa aman (Zanzucchi, 1986: 25). Mereka tidak boleh menunda atau menghentikan bahkan meniadakan pendidikan iman. Penegasan kewajiban orangtua ini bukan merupakan suatu pemaksaan yang disertai sikap tidak mau tahu dari Gereja terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pihak Katolik dari keluarga kawin campur. Penegasan ini adalah bentuk tanggung jawab Gereja untuk mengingatkan martabat dan kewajiban hakiki orangtua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anak. Tanggung jawab merupakan tujuan dan makna dari hak atau wewenang. Orangtua yang mengemban tanggung jawab atas pendidikan anaknya juga dibekali dengan hak atau wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab itu (Go, 1990: 21).

Ada dua alasan prinsip mengapa orangtua Katolik harus memberikan pendidikan iman kepada anak-anak dalam situasi dan kondisi apa pun. Pertama, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pembinaan untuk mencapai pertumbuhan yang meliputi fisik, intelektual, moral dan spiritual secara harmonis. Kedua, orangtua adalah pribadi pertama yang mempunyai kesempatan untuk

(44)

segi fisik, moral, maupun sosial budaya sehingga anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab. Di samping itu, orangtua harus menyediakan waktu untuk membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang mengenal Allah dan melaksanakan ajaran-Nya.

Tanggung jawab orangtua terhadap anak atas pendidikan meliputi pendidikan psikis afektif, pendidikan sosio kultural, pendidikan religius, dan pendidikan moral (Go, 1990: 21-23).

a. Pendidikan psikis afektif

Aspek psikis afektif usia dini menurut psikologi perkembangan dan pengalaman sangat mempengaruhi kepribadian manusia, sehingga perlu memperhatikan peranan orangtua dan anggota keluarga lainnya dalam pertumbuhan psikis afektif anak. Anak berhak atas perkembangan psikis afektif yang hanya mungkin dalam relasi mesra dan interaksi dengan para anggota keluarga, maka orangtua bertanggung jawab atas penciptaan suasana yang mendukung perkembangan ini.

Pendidikan ini tidak kalah penting dibandingkan pendidikan lainnya di dalam keluarga. Pendidikan yang mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap emosi, dan nilai ini akan membantu orangtua mengetahui perasaan yang dirasakan anak, tingkat perkembangan anak dan mengembangkan minat anak baik dalam hal bakat maupun pelajaran sekolah.

(45)

Orangtua berkewajiban menghindarkan anak-anak dari sifat minder, penakut, merasa rendah diri, masa bodoh. Dengan demikian, orangtua perlu menghindarinya dengan cara membangkitkan rasa percaya diri anak melalui pujian terhadap sekecil apapun itu, memberi semangat untuk terus mencoba dan tidak mencela ketika gagal, memberikan kesempatan pada anak untuk mengeluarkan pendapat dan menentukan pilihan.

Dalam Pendidikan Agama Kristen Thomas H. Groome (1980: 99) mengutip pendapat Fowler bahwa iman adalah kegiatan mengetahui atau mengartikan di mana “kognisi” (sang rasional) dengan tak dapat dihindarkan

terkait dengan “afeksi” atau “menghargai” (sang perasaan). Bagi Fowler, iman

adalah urusan kepala dan hati, yang artinya iman bersifat baik rasional maupun perasaan.

Dimensi perasaan adalah aspek emosional afektif yang muncul dari iman sebagai cara berhubungan yang berisi mengasihi, memperhatikan, menghargai, rasa kagum, hormat dan takut. Beriman berarti berhubungan dengan seorang atau sesuatu sedemikian rupa sehingga hati kita dicurahkan, perhatian kita diberikan, harapan kita difokuskan kepada orang lain.

b. Pendidikan sosio kultural

(46)

Pendidikan sosio kultural ini akan membantu anak mengembangkan nilai-nilai budaya sejak dini. Apa yang dimulai sejak usia dini dalam lingkup keluarga harus dikembangkan lebih lanjut pada jenjang berikutnya dengan bantuan instansi terkait. Keluargalah subyek pewaris penerus nilai-nilai budaya yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya yang masih dilestarikan akan menjadi identitas kita. Orangtua dapat mengajarkan dan memberi contoh nilai-nilai budaya lingkungan sekitar, misalnya membungkukkan badan ketika berjalan di depan orangtua, tidak boleh memegang kepala orang yang lebih tua, memakai pakain yang sopan, tidak berbicara kotor, dan sebagainya.

Pendidikan iman akan mendukung terjadinya pendidikan sosio kultural di rumah. Dengan iman yang anak-anak miliki akan membantunya menerapkan sosio kultural yang berlaku di lingkungan dan tidak akan terpengaruh oleh perubahan-perubahan negatif yang ada.

c. Pendidikan iman

(47)

seperti Sekolah Minggu (Minggu Gembira, Bina Iman), sekolah Katolik, mudika dan sebagainya.

Pendidikan iman menyangkut perkembangan anak dalam hubungan dengan Tuhan. Pendidikan iman ini merupakan hal yang esensial dalam hidup keluarga Kristiani. Orangtua mengemban hak pertama dan tanggung jawab dalam pendidikan religius anaknya. Aspek ini menjadi semakin mendesak jika agama dipilih oleh orangtuanya melalui baptisan bayi/anak-anak. Pendidikan agama atau iman harus mempersiapkan anak agar ia sadar dan sukarela menyambut pilihan iman orangtuanya, dan selanjutnya mengembankan rahmat baptisan itu dengan iman Katolik (Wignyasumarta, 2000: 151).

Pendidikan iman membawa anak-anak kepada pengenalan akan Tuhan Yesus sejak dini, sehingga mereka mengenal dan mengerti akan kebenaran Firman Tuhan dan menerapkan dalam kehidupan mereka. Selanjutnya anak dapat berkembang sebagai orang Katolik yang tangguh, tanggap dan terlibat dalam hidup menggereja. Pendidikan iman dapat dilakukan orangtua dalam keluarga dengan mengajak anak berdoa sebelum dan sesudah makan, berdoa bersama, membacakan Kitab Suci, menanamkan nilai-nilai Kristiani, seperti cinta kasih, saling menghormati, saling berbagi, memaafkan kesalahan orang lain dan belajar meminta maaf jika berbuat kesalahan.

d. Pendidikan moral

(48)

Juga dalam hal ini, orangtua dibantu oleh Gereja dengan aneka wadah dan program pembinaannya (Go, 1990: 21-23).

Norma-norma moral diperkenalkan kepada anak secara bertahap dan berkelanjutan, dimulai di dalam keluarga dan dilanjutkan di dalam masyarakat. Sebagai orang Katolik, kita perlu menyadari bahwa norma-norma moral adalah penjabaran dari perintah kasih kepada Allah dan sesama (Mat 22:37-39) (PPK, no. 36§4).

Peran keluarga dalam mengembangkan moral anak sangatlah penting karena berpengaruh pada moral di masa depan. Pendidikan moral dalam keluarga membawa anak dalam bertindak dan dapat membedakan bagaimana yang salah dan benar, bagaimana sikap yang harus dilakukan dan bagaimana sikap yang harus dijauhi.

(49)

lain. Pembiasaan dalam perilaku ini dilaksanakan karena pendidikan moral tidak akan pernah tercapai apabila hanya dilakukan dalam satu waktu saja. Nilai-nilai moral yang ditanamkan pada anak harus senantiasa terus menerus dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan pada perilaku anak sehari-hari.

Iman mempunyai implikasi moral, artinya penghayatan iman juga berarti penghayatan moral yang mengungkapkan kehendak Tuhan. Moral diperlukan untuk membangun kehidupan bersama. Dalam diri anak harus ditanamkan sesuatu yang dapat diukur dari segi moral, baik-buruk, benar-salah, wajib-tidak wajib. Maka, anak harus pula dipersiapkan dengan pendidikan moral terutama pembentukan suara hati (Wignyasumarta, 2000: 151).

(50)

merenungkan Kitab Suci, bercerita tentang tokoh-tokoh Suci Gereja. Yang tidak kalah pentingnya yaitu mengajak anak berkunjung ke biara, seminari, pastoran dan keuskupan guna memperkenalkan anak bentuk hidup panggilan; Keempat, sesekali orangtua juga meminta anak untuk sharing atau membuat refleksi pribadi atas iman dan tindakan. Dengan cara ini, orangtua akan lebih bisa memantau perkembangan iman anak, semakin mengenal anak dan mengetahui kebutuhan iman anak (Sutarno, 2013: 41-45).

Pendidikan moral dan pendidikan iman harus sejalan dan tidak dapat dipisahkan maupun berat sebelah. Untuk membentuk pribadi yang bermoral harus dibentengi dengan keimanan. Pendidikan iman mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral anak. Maka dengan iman yang baik, moral yang kita miliki akan tetap terjaga dan tetap bertumbuh terutama di dalam Tuhan. Dengan iman yang ada, manusia harus belajar untuk menumbuhkan moralnya.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat eksternal maupun internal.

(51)

pembunuhan dan hal-hal negatif lainnya pasti mempunyai pengaruh pada kehidupan iman anak.

Sedangkan yang dimaksud pengaruh internal adalah pengaruh-pengaruh yang berasal dari lingkungan keluarga sendiri. Pengaruh itu misalnya, bisa datang dari suasana umum di dalam rumah. Dalam keluarga yang diwarnai hubungan yang tidak harmonis antar para anggotanya, misalnya tidak bisa diharapkan adanya dukungan dari pertumbuhan iman anak secara sehat (Pudjiono & Oetomo, 2007: 5-6).

5. Kegagalan Pendidikan Iman Anak-anak dalam Keluarga

Pelaksanaan pendidikan iman anak dalam keluarga dapat mengalami kegagalan yang disebabkan orangtua sendiri kurang sungguh beriman dan terlalu mempercayakan pendidikan iman anak kepada pihak ketiga.

a. Orangtua sendiri kurang sungguh beriman

(52)

hanya membuang-buang waktu saja. Mereka menganggap lebih baik menggunakan waktu untuk menunjang prestasi belajar anak dengan mengikutkan anak dalam berbagai les mata pelajaran (Hardiwiratno, 1994: 93-94).

b. Orangtua terlalu mempercayakan pendidikan iman anak mereka kepada pihak ketiga (sekolah, Gereja dan sebagainya)

Sebagian orangtua, tidak memikirkan mengenai pendidikan iman bagi anak-anaknya di rumah. Mungkin karena kesibukan orangtua, kurang perhatian dari orangtua dalam hal pendidikan iman atau menganggap pendidikan itu menjadi tanggung jawab sekolah dan gereja, atau bahkan mungkin mereka acuh tak acuh.

Tugas mendidik iman anak merupakan tugas esensial dan primer bila dibandingkan dengan tugas-tugas yang lain. Tugas ini tidak tergantikan dan tidak terpindahkan karena tugas mendidik iman tidak dapat diserahkan kepada orang lain. Dalam mendidik anak, orangtua tidak berjalan sendirian. Mereka bisa bekerjasama dengan Gereja dan Pemerintah melalui lembaga dan kegiatan pendidikan yang diadakan oleh Gereja dan Pemerintah (Hardiwiratno, 1994: 83-84).

6. Tahap Perkembangan Iman

(53)

James W. Fowler (1995: 96-218) adalah seorang psikolog dan teolog Amerika Serikat yang mengembangkan teori perkembangan iman menjadi tujuh tahap menurut usianya masing-masing sebagaimana dikutip oleh Hadiwiratno dalam bukunya Menuju Keluarga Bertanggung jawab. Orangtua perlu mengetahui tahap perkembangan anak sehingga dapat menerapkan pendidikan sesuai dengan umur dan kebutuhan anak yaitu tahap 0 (Elementari awal/prima), tahap I (iman intuitif-projektif), tahap II (iman mitis-literal), tahap III (iman sintetik-konvensional), tahap IV (iman individuatif-reflektif), tahap V (iman konjungtif), dan tahap VI (iman universal).

a. Tahap 0: Elementari Awal / Primal

Tahapan ini terjadi pada usia 0-3 tahun. Benih iman pada kurun hidup paling dini ini terbentuk oleh “rasa percaya si anak pada orang-orang yang mengasuhnya” dan oleh “rasa aman yang dialaminya di tengah lingkungannya”.

Seluruh interaksi timbal balik antara si anak dan orang-orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. Interaksi yang mendukung perkembangan iman adalah interaksi yang menumbuhkan keyakinan pada dirinya, bahwa ia adalah insan yang dicintai dan dihargai (Agus Cremers, 1994: 96-104).

(54)

ataupun pengasuhnya dapat menunjukkan dan memperdengarkan hal-hal yang tepat dan berguna bagi anak. Mereka dapat memperkenalkan iman kepada anak dengan mengajarkan tanda salib, mengenalkan patung Yesus, Bunda Maria, dan salib Yesus, gambar Paus, dan gambar santo-santa.

b. Tahap I: Iman Intuitif-Projektif

Tahap iman intuitif-projektif terjadi pada anak-anak usia 3-7 tahun. Tahap pertama ini merupakan fase yang ditandai oleh hidup yang penuh fantasi dan proses imitasi di mana secara kuat dan permanen si anak dapat dipengaruhi oleh contoh-contoh suasana hati, perbuatan dan cerita-cerita.

Pada tahap ini, anak belum memiliki kemampuan berpikir logis yang mantap karena daya imajinasi dan dunia gambaran sangat berkembang. Dunia gambaran dan daya imajinasi tersebut berkembang secara bebas karena belum dikontrol oleh pikiran logis dan kognitif lain. Dengan timbulnya kemampuan simbolisasi dan bahasa, maka imajinasi dan dunia gambar itu dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, upacara, simbol-simbol dan kata-kata. Adapun bahaya yang timbul pada tahap ini adalah kemungkinan “dirasuki”nya imajinasi anak oleh gambaran tentang kekerasan dan kehancuran yang tak terhalangi (Fowler, 1995: 28, 130-131).

(55)

Tuhan sebagai sang tokoh yang mirip dengan ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, pastor, suster atau tokoh berpengaruh yang lain. Pada tahapan ini, iman seorang anak diwarnai oleh rasa takut dan hormat pada tokoh-tokoh kunci itu. Usaha-usaha untuk mengembangkan iman seorang anak pada tahapan usia ini seyogyanya dilaksanakan dengan cara yang sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran, dan menghindari ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang nyata.

Usaha-usaha pendidikan iman pada tahapan ini hendaknya lebih mengandalkan keteladanan, melalui perilaku yang nyata dari para tokoh kunci. Karena dalam tahap pertama ini anak menerima sikap iman orangtuanya tanpa pertanyaan dan diterima begitu saja. Maka teladan atau contoh dan praktek hidup orangtua atau keluarga sebagai orang beriman sangat penting (Hardiwiratno, 1994: 89). Pada usia ini, pendidikan iman bagi anak dapat dilakukan dengan mengajak berdoa dan mengikuti Ekaristi bersama, mewarnai tokoh Kitab Suci, memberikan cerita-cerita teladan dalam Kitab Suci bergambar, cerita yang menggugah hati dan merangsang pertumbuhan iman sesuai dengan kebutuhan si anak sehingga imajinasi si anak mengarah pada kebenaran tentang Tuhan.

c. Tahap II: Iman Mitis-Literal

(56)

hikayat. Anak menjadi seorang penutur dongeng yang sungguh ulung. Namun cara anak menangkap dan menafsirkan seluruh cerita, simbol, pendapat, dan kepercayaan orang lain serta kelompok-kelompoknya masih sangat terbatas, sebab anak masih memahami semuanya itu secara harfiah dan konkret. Anak memiliki minat yang besar terhadap cerita mitos atau cerita bergambar, tokoh-tokoh pahlawan, riwayat hidup tokoh-tokoh berpetualang yang berani entah nyata atau fiksi. Cerita pada tahap ini dijadikan sebagai sarana utama (Agus Cremers, 1995: 117-118,125).

Pada tahapan ini, yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok bina iman, sekolah, atau kelompok Sekolah Minggu. Kelompok atau institusi tersebut berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pendidikan iman itu paling mengena kalau disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran lewat kisah rekaan cenderung diterima olehnya secara harafiah (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007: 13-14). Pada tahap ini peranan pembimbing atau pendidik menjadi penting karena anak-anak akan mempunyai kesadaran yang semakin berkembang akan sikap iman yang berbeda-beda yang ditemui dan dilihat serta dialaminya di dalam masyarakat, tetapi masih cenderung berpegang pada sikap iman yang ada dalam keluarga dan tradisi religi yang dihayati dalam keluarga.

d. Tahap III: Iman Sintetik-Konvensional

(57)

sintesis-konvensional, pengalaman akan dunia meluas melewati batas lingkungan keluarga. Sejumlah lingkungan menuntut perhatian seseorang, seperti keluarga, sekolah atau tempat kerja, teman-teman sebaya, media massa dan agama. Tahap ini terjadi dan menguasai masa remaja, tetapi masih juga orang dewasa yang berada dalam tahap ini. Tahap ini menyususn realitas dasar atau lingkungan akhir menurut model hubungan antar pribadi. Kemampuan yang muncul pada tahap ini ialah pembentukan sebuah mitos pribadi (Agus Cremers, 1995: 187-188).

Pada masa remaja pengaruh kelompok menjadi penting. Termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan iman. Kesetiaan dalam norma kelompok adalah sesuatu yang tertinggi. Pada masa ini tugas orangtua adalah memperhatikan kebutuhan anak-anaknya untuk berkelompok atau berkumpul dengan sesama rekan seumuran, yaitu dengan mengarahkan kepada kelompok-kelompok gerejani yang dapat memperkembangkan pribadi dan imannya (Hardiwiratno, 1994: 90). Kelompok-kelompok gerejani yang dapat membantu anak mengembangkan imannya, seperti kelompok Putra Altar, PIR, MUDIKA, dan lektor. Kelompok-kelompok ini akan memberikan kegiatan yang bermanfaat bagi anak, tidak hanya mengembangkan iman saja tetapi juga membantu anak untuk bersosialisasi.

e. Tahap IV: Iman Individuatif-Reflektif

(58)

Dengan sikap kritis, ia mencari dan menyusun suatu gambaran tentang Allah yang dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi dan rasional (Agus Cremers, 1995: 178-180). Mereka yang mencapai pada tahap ini mulai memeriksa iman mereka dengan kritis dan memikirkan ulang kepercayaan mereka, terlepas dari otoritas eksternal dan norma kelompok.

Pada tahap ini orang muda sudah memikirkan masa depan, memikirkan panggilan hidup dalam perkawinan dan keluarga serta panggilan hidup yang lain seperti hidup membiara atau imam. Tugas orangtua sebagai pelaksana pendidikan iman adalah mendampingi anak dalam memilih panggilan hidup, serta mendampingi anak dalam mengalami dan menghadapi masa transisi atau masa krisisnya, sehingga anak akhirnya dapat dengan mantap maju memperjuangkan panggilan hidupnya penuh iman dan harapan (Hardiwiratno, 1994: 90). Untuk mendampingi anak dalam menentukan panggilan, orangtua dapat memberikan contoh kehidupan perkawinan yang baik dengan menjadi ayah yang bertanggung jawab dan menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Selain itu, perlu orangtua mengenalkan kehidupan membiara kepada anak dengan mengunjungi biara dan melihat langsung kegiatan-kegiatan di dalam biara. Dengan demikian, diharapkan anak dapat menentukan jalan hidupnya sesuai dengan panggilan.

f. Tahap V: Iman Konjungtif

(59)

sikap iman orang lain ke dalam dirinya. Kemudian mengekspresikannya sacara pribadi sehingga menjadi ekspresi imannya sendiri dan diharapkan pada tahap ini iman seseorang sudah masak atau dewasa (Hardiwiratno, 1994: 91). Ia menyadari bahwa tidak segala-galanya bergantung pada kebebasan, otonomi, pilihan, dan pengontrolan rasionya sendiri. Kini perhatian utama ditujukan pada upaya membuat hidupnya menjadi lebih utuh, menggabungkan kembali daya rasio dengan sumber ketidaksadarannya dan melampaui egosentrismenya yang tertutup menuju pengabdian diri yang lebih radikal pada kepentingan orang lain.

Pada tahap kelima ini dapat menghargai simbol-simbol, mitos, dan ritus (miliknya sendiri dan milik orag lain), karena dalam ukuran tertentu, tahap ini dicapai melalui keadaan realitas yang mereka tunjukkan (Fowler, 1995: 35).

g. Tahap VI: Iman Universal

Tahap ini terjadi pada usia 45 tahun ke atas. Pribadi dalam tahap ini masih jarang. Mereka adalah orang-orang yang hidupnya sedemikian rupa sehingga hidup dan ekspresi imannya sudah di luar kepentingan pribadinya. Hidup dan imannya dipersembahkan bagi Tuhan, serta untuk dan demi kepentingan, kebahagiaan, keselamatan semua orang. Inilah titik puncak perkembangan iman (Hardiwiratno, 1994: 91).

(60)

Mereka yang dapat mencapai tahap ini ialah Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Martin Luther.

7. Konteks Perkembangan Iman

Perkembangan iman anak melalui pendidikan iman kepada anak berlangsung dalam konteks atau ruang lingkup yang diwarnai oleh teladan tokoh-tokoh identifikasi, suasana, pengajaran, dan komunikasi (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007: 14-16).

a. Teladan tokoh-tokoh identifikasi

Iman biasanya tumbuh pada anak saat ia mengamati dan mengikuti tokoh-tokoh identifikasinya, secara spontan dan belum disadari. Tokoh-tokoh-tokoh identifikasi tersebut adalah orang-orang dewasa yang terpenting dan terdekat baginya, yakni orangtua dan kemudian anggota keluarga lainnya. Sikap dan perilakunya mengacu pada sikap atau perilaku dari orang-orang dewasa yang dihormatinya, tokoh-tokoh panutannya.

(61)

keluarga saling membantu untuk tumbuh dalam iman karena kesaksian dan teladan kehidupan, yang sering kali bekerja diam-diam, tetapi dalam keseharian bertekun hidup menurut Injil” (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007: 14-15).

b. Suasana

Yang dimaksud dengan suasana adalah keadaan dari suatu tempat. Suasana itu sulit dirumuskan, tetapi mudah dirasakan atau dialami. Bagi seorang anak, suasana merupakan keadaan yang menyenangkan atau tidak, membuatnya kerasan atau tidak. Pengaruh suasana rumah terhadapnya sangatlah besar, apalagi bila hal itu dialaminya selama bertahun-tahun. Karena itulah pimpinan Gereja Katolik menegaskan bahwa suasana keluarga yang diresapi kasih dan hormat mempengaruhi anak seumur hidupnya.

Suasana memang dapat terjadi karena kebetulan saja. Namun, mengingat pengaruhnya yang besar dalam perkembangan iman anak, suasana di rumah sebaiknya tidak terjadi karena kebetulan, melainkan karena “direkayasa” (dalam

(62)

c. Pengajaran

Keteladanan kadang bersifat agak tersembunyi. Maka keteladanan itu sebaiknya juga diperkuat dengan pengajaran, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan daya tangkap anak, sesuai dengan tahapan perkembangan kepribadian.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan iman, meliputi pengajaran harus sesuai dengan keadaan dan situasi anak, usia anak, dan kepekaan emosionalnya; pengajaran harus membantu anak mengolah pengalaman dan perasaannya; pengajaran harus bersifat komunikatif, dan merangsang anak untuk berpikir secara aktif (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007: 16).

d. Komunikasi

Komunikasi antara semua anggota keluarga merupakan faktor pendukung perkembangan iman yang tak tergantikan. Memang, hal-hal yang dikomunikasikan tidak perlu selalu langsung mengenai iman. Meskipun demikian, isi komunikasi itu sebaiknya dapat memperluas wawasan iman dan menjadi sumber inspirasi iman. Sementara itu, bentuk-bentuk komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Dengan komunikasi tidak hanya dimaksudkan memberitahu, melainkan berbagi diri, pikiran, perasaan, dan aspirasi. Komunikasi juga dapat diartikan sebagai ekspresi atau ungkapan diri dan sarana, karena tanpa komunikasi hidup tidak “jalan” (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007: 16).

8. Pendidikan Iman dalam Ajaran Gereja

(63)

Katolik. Dokumen Gereja yang mengatur tentang pendidikan iman yaitu Gadium et Spes (GS), Gravissimum Educationis (GE), Dignitatis Humanae (DH), Familiaris Consortio (FC) dan Catechesi Tradendae (CT).

a. Konstitusi pastoral Gadium et Spes

Konstitusi ini menekankan bahwa menurut hakikatnya perkawinan dan cinta kasih suami istri terarah pada melahirkan dan mendidik anak-anak. Keturunan, selain merupakan anugrah perkawinan yang paling luhur, juga sangat besar artinya bagi kesejahteraan orangtua sendiri. Anak-anak sebagai anggota keluarga, dengan cara mereka sendiri ikut serta menguduskan orangtua mereka. Mereka akan membalas budi kepada orangtuanya, terutama disaat

Gambar

Tabel 1. Keadaan Umat
Tabel 2. Keadaan Umat Berdasarkan Agama
Tabel 4. Keadaan Umat Berdasarkan Tempat Tinggal (%)
Tabel 5. Jenis kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait